• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediksi Emisi Gas Metana pada Ransum yang Mengandung Tanin dalam Sistem RUSITEC Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prediksi Emisi Gas Metana pada Ransum yang Mengandung Tanin dalam Sistem RUSITEC Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini para ahli banyak membicarakan tentang perubahan lingkungan terutama pemanasan global yang menyebabkan ketidak-seimbangan iklim dan berbagai fenomena alam yang mengganggu kelangsungan hidup di bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4), N2O, dan chlorofluorocarbon (CFC). Gas-gas ini mampu menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga suhu di permukaan bumi menjadi meningkat. Pemanasan global mempengaruhi perubahan iklim sehingga menjadi sumber bencana di bumi seperti semakin menipisnya lapisan ozon, suhu permukaan bumi meningkat, permukaan laut meningkat akibat mencairnya es di kutub, banjir, badai, dan berbagai fenomena alam lainnya.

(2)

2 yang mengandung tanin pada ternak ruminansia karena tanin dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara et al., 2011).

Gas metana dapat diketahui melalui percobaan yang menggunakan sistem in vivo dengan metode open circuit respiratory chambers dan in vitro dengan metode

gas chromatography dan infrared methane analyzer. Selain itu ada juga percobaan yang menggunakan sistem RUSITEC (rumen simulation technique) yang merupakan sistem in vitro rumen semi continuous. Percobaan yang menggunakan sistem RUSITEC lebih mampu mendekati kondisi sesungguhnya dibandingkan dengan sistem in vitro batch. Pengukuran emisi gas metana dengan metode diatas membutuhkan alat dan biaya yang mahal sehingga prediksi CH4 melalui komposisi asam lemak terbang (VFA) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dari permasalahan tersebut.

Kandungan emisi CH4 dapat diprediksi menggunakan faktor-faktor terkait yaitu faktor yang terlibat dalam pembentukan gas metana seperti gas hidrogen (H2) dan juga terkait dengan komposisi VFA. Oleh karena itu diharapkan produksi gas metana dapat diprediksi melalui pendekatan stoikiometri komposisi VFA di dalam rumen.

Tujuan

(3)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Pemanasan Global

Pemanasan global merupakan gejala alam yang mulai secara intensif diteliti sejak tahun 1980-an. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2) dan beberapa jenis gas lainnya (CH4, N2O, CFC) akibat aktivitas industri dan sisa pembakaran bahan bakar minyak bumi. Efek rumah kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas-gas rumah kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu dipermukaan bumi menjadi meningkat. Pertanian menyumbang 25,5% GRK dari total emisi antropogenik dunia. CO2 mendapatkan perhatian lebih karena dianggap sebagai faktor relatif terhadap pemanasan global, di samping CH4, N2O, dan chlorofluorocarbon (CFC) juga menyebabkan radiasi yang signifikan (Sejian et al., 2011). Dampak dari gas rumah kaca berbeda dengan polutan. Polutan secara langsung berdampak pada makhluk hidup, sedangkan gas rumah kaca berdampak tidak langsung. Melalui perantara proses di dalam lingkungan biogeokimia gas-gas rumah kaca baru berdampak pada makhluk hidup dan memiliki life time yang relatif lama.

Akumulasi GRK terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrrogen oksida (N2O) di atmosfer memberi kontribusi pada peningkatan suhu permukaan bumi (Moss et al., 2000). Akumulasi gas-gas ini diketahui meningkat 0,3%-0,9% per tahun, terutama karena efek antropogenik pada siklus karbon dan nitrogen (Janzen et al., 1999). Potensi pemanasan global (Global warming Potential = GWP) digunakan untuk membandingkan satu satuan berat gas rumah kaca tertentu dengan jumlah gas CO2 yang digunakan sebagai acuan. GWP dari CH4 adalah 21 kali lipat lebih besar dari CO2 dan GWP dari N2O adalah 310 kali lebih besar daripada CO2 (Janzen et al., 1999).

Gas Metana

(4)

4

et al., 1976). CH4 dan N2O berasal dari siklus yang berbeda. CH4 ini biasanya dihasilkan setelah degradasi komponen karbon (C) selama proses pencernaan pakan dan pupuk kandang, sedangkan N2O berkaitan dengan siklus nitrogen (N) dengan pupuk kimia dan pupuk kandang sebagai sumber utamanya (Monteny et al., 2006).

Gas metana berasal dari berbagai sumber baik antropogenik maupun alami (Rotz et al., 2010). Lebih dari 70% emisi gas metana berasal dari kegiatan antropogenik (IPCC, 2007). Sisanya berasal dari sumber alam termasuk lahan basah, gas hidrat, lapisan es, rayap, laut, tanah non-lahan basah, gunung berapi dan kebakaran hutan (Breas et al., 2001). Berikut adalah sumber utama dan penyerapan gas metana menurut Moss et al. (2000):

Gambar 1. Sumber Utama dan Penyerapan Gas Metana di Atmosfer Sumber: Moss et al, (2000)

Di dalam pencernaan Ternak (75 Tg) Pembakaran Biomasa (40 Tg) Tempat Pembuangan Sampah (40 Tg)

(5)

5 Gas metana tidak hanya diproduksi oleh sektor peternakan, berbagai sektor berpotensi dalam menyumbang gas metana yang semakin berlimpah di atmosfer. Anggapan bahwa sektor peternakan menjadi produsen gas metana terbesar merupakan anggapan yang tidak benar. Melimpahnya gas metana dia atmosfer bukan hanya tanggungjawab dari salah satu sektor saja tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Produksi gas metana dari berbagai sektor dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Produksi Gas Metana dari Berbagai Sektor

Sektor Produksi Gas Metana Produksi Gas Metana

Tg Gram

Lahan Basah 265 268180

Tanaman Padi 110 111320

Minyak dan Gas Bumi 95 96140

Eruktasi Ternak 75 75900

Pembakaran Biomasa 40 40480

Tempat Pembuangan sampah 40 40480

Pertambangan Batu Bara 35 35420

Kotoran Hewan 25 25300

Laut dan Danau 5 5060

Sumber: Moss et al, (2000)

Kontribusi Ternak Ruminansia Terhadap Produksi Gas Metana

Secara umum ternak ruminansia bertanggung jawab terhadap 85 Tg (1 Tg = 1012 g = 1 juta metrik ton) dari 550 Tg gas metana yang dibebaskan ke alam setiap tahunnya (Sejian et al., 2011). Produksi gas metana dari ternak ruminansia telah banyak dikaji karena sebagian anggapan bahwa ternak ruminansia merupakan produsen dari gas metana. Menurut Arora (1989) produksi gas CO2 di dalam rumen adalah 50%-70% dan sisanya adalah gas CH4. Ternak ruminansia, khususnya sapi (Bos taurus), kerbau (Bubalus bubalis), domba (Ovis aris), kambing (Capra hircus) dan unta (Camalus camalis) menghasilkan sejumlah besar gas metana melalui pencernaan anaerobik. Proses fermentasi mikroba disebut sebagai fermentasi enterik

(6)

6 faktor-faktor seperti spesies hewan, reproduksi, pH cairan rumen, rasio asetat:propionat, populasi metanogen, komposisi pakan dan jumlah konsentrasi pakan. Sapi merupakan salah satu ternak ruminansia yang paling berkontribusi terhadap efek rumah kaca melalui emisi gas metana diikuti oleh domba, kambing dan kerbau. Perkiraan emisi metana pada sapi; kerbau; domba dan kambing di negara maju adalah 150,7; 137; 21,9 dan 13,7 (g/hewan/hari) (Sejian et al., 2011). Proses pembentukan gas metana di dalam rumen ternak ruminansia disebut metanogenesis.

Metanogenesis terbentuk oleh Archaea metanogen, sekelompok mikroorganisme yang berada dalam kondisi anaerob termasuk di dalam rumen. Di dalam rumen, mikroba metanogen memanfaatkan H2 dan CO2 sebagai substrat untuk memproduksi gas metana. Lebih dari 60 spesies metanogen yang diisolasi dari berbagai habibat yang berbada namun hanya lima jenis metanogen dilaporkan telah diisolasi dalam rumen yaitu Methanobrevibacter ruminantium, Methanosarcina barkeri, Methanosarcina mazei, Methanobacterium formicicum dan

Methanomicrobium mobile. Diantara kelima spesies tersebut, hanya

Methanobrevibacter ruminantium dan Methanosarcina barkeri yang telah ditemukan dalam rumen pada populasi >106 koloni/ml yang diasumsikan berperan penting pada proses metanogenesis di dalam rumen (Moss et al., 2000).

Meskipun H2 adalah salah satu produk akhir dari fermentasi yang dilakukan oleh protozoa, jamur, dan bakteri namun H2 digunakan oleh bakteri lain, terutama metanogen yang ada di dalam campuran ekosistem mikroba (Boadi et al., 2004) agar tidak terjadi akumulasi H2 di dalam rumen (Hegarty dan Nolan, 2007). Akan tetapi dengan adanya pembentukan gas metana maka proses fermentasi glukosa yang menghasilkan propionat akan menurun karena H2 yang dibutuhkan untuk pembentukan propionat digunakan untuk produksi gas metana oleh Archaea

metanogen dengan CO2 sebagai akseptoryang kemudian dibebaskan bersama gas buangan lainnya oleh rumen melalui pernapasan (Hegarty dan Nolan, 2007).

Strategi Menurunkan Gas Metan

(7)

7 yaitu 28% dari emisi antropogenik (Beauchemin et al., 2008). Berbagai cara telah dilakukan untuk menurunkan produksi gas metana. Ternak ruminansia khususnya sapi perah telah diteliti dan diterapkan beberapa strategi penurunan gas metana yaitu dilakukan penambahan ionofor, lemak, penggunaan hijauan berkualitas tinggi, dan meningkatkan penggunaan biji-bijian (konsentrat). Pengurangan emisi gas metana dapat dilakukan dengan memanipulasi proses fermentasi di dalam rumen baik itu dengan langsung menghambat methanogen dan protozoa, atau dengan mengalihkan molekul hidrogen dari methanogen. Beberapa sumber mengidentifikasi cara baru untuk mengurangi emisi gas metana yaitu dengan penambahan probiotik, acetogens, bakteriosin, virus archaea, asam organik, ekstrak tumbuh-tumbuhan (misalnya, minyak esensial) untuk pakan, serta imunisasi, dan seleksi genetik sapi (Boadi et al., 2004).

Gas metana merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dalam rumen. Meningkatkan produktivitas ternak tampaknya menjadi cara yang paling efektif untuk mengurangi pelepasan gas metana dalam jangka pendek. Perlu diingat bahwa metode ini hanya berhasil jika produksi secara keseluruhan tetap konstan. Sarana untuk mencapai kenaikan produktivitas ini telah dibahas, tapi hampir semua melibatkan peningkatan penggunaan pakan yang mengandung kualitas lebih tinggi/rendah kandungan seratnya (Moss et al., 2000). Strategi pemberian pakan yang dilakukan salah satunya adalah pemberian pakan yang mengandung tanin pada ternak ruminansia karena tanin dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara

et al., 2011).

Tanin

(8)

8 Menurut Patra dan Saxena (2010) berdasarkan strukturnya tanin diklasifikasikan menjadi dua grup yaitu tanin terhidrolisis (HT: asam galik dan ellagik) dan tanin terkondensasi (CT: katecin dan gallokatecin). Berikut adalah stuktur tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi menurut Patra dan Saxena (2010) dapat dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 2. Unit Monomer Tanin Terkondensasi (Catechin dan Gallocatechin) dan Monomer Tanin Terhidolisis (Asam GallicdanEllegic)

Sumber: Patra dan Saxena (2010)

Kedua jenis tanin tersebut terdapat pada tanaman yang berbeda dan pengaruhnya terhadap ternak juga berbeda sehingga perlu dilakukan analisis yang tepat untuk mengukur masing-masing jenis tanin tersebut dan dapat diperkirakan secara tepat pengaruhnya terhadap ternak. Tanin terkondensasi memiliki berat molekul 17.000-28.000, membentuk komples stabil dengan protein, tidak memiliki inti karbohidrat dan merupakan oligomer dan polimer dari unit flavonoid dan tahan terhadap hidrolisis serta tidak larut pada pH 3,5-7. Ikatan tanin terkondensasi dengan protein tidak stabil dan ikatan tersebut lepas pada pH<3,0 dan pH 8. Tanin terhidrolisis adalah tanin yang memiliki inti karbohidrat, dihubungkan oleh jembatan ester karboksilat, dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim esterase serta

Catechin

Asam Ellagic Asam Gallic

(9)

9 berikatan sangat kuat dengan protein pada pH 3-4 tetapi kekuatan ikatan tersebut menurun pada pH>5 (Farida et al., 2000).

Dilihat dari segi kebutuhan nutrisi pada pakan ternak tanin memiliki dampak yang menguntungkan dan merugikan, tergantung pada hijauan pakan ternak itu sendiri dan konsentrasinya di dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Dampak yang menguntungkan dari tanin adalah mampu mempercepat peningkatan bobot badan, meningkatkan produksi susu, meningkatkan fertilitas, meningkatkan kesejahteraan hewan dan kesehatan dengan mencegah bloat dan mengurangi resiko cacingan (Mueller-Harvey, 2006). Dampak yang merugikan dari tanin adalah tanin menjadi toksik bagi beberapa mikroba di dalam rumen (Goel et al., 2005) dan berpengaruh terhadap konsumsi, kecernaan, dan performa (Reed, 1995).

Tanin memiliki kemampuan sebagai agen anti metanogen di dalam rumen. Aktivitas antimetanogen oleh tanin tergantung pada jenis dan dosis tanin yang digunakan. Tanin dengan berat molekul yang rendah lebih efektif dalam menghambat bakteri metanogen daripada tanin dengan berat molekul yang tinggi karena tanin dengan berat molekul yang rendah mampu membentuk ikatan yang kuat dengan enzim mikroba. Tanin dengan bobot molekul yang tinggi tidak mampu menembus protein mikroba sehingga tingkat toksisitasnya rendah terhadap bakteri metanogen (Patra dan Saxena, 2010)

RUSITEC (rumen simulation technique)

(10)

10 atau jam dan sulit untuk melakukan kontrol yang cukup atau untuk menafsirkan hasil percobaan pada ternak secara langsung. Oleh karena itu alat ini tepat digunakan untuk mensimulasikan kondisi di dalam rumen karena prosedurnya sederhana dengan semi kontinu.

Estimasi Produksi Gas Metan

Moss et al. (2000) menyatakan bahwa produksi CH4 dapat diestimasi dari stoikiometri dari VFA yang terbentuk selama fermentasi, yaitu asetat (C2), propionat (C3) dan butirat (C4) melalui persamaan stoikiometri berikut:

CH4 = 0,45 C2 - 0,275 C3 + 0,40 C4

Dengan demikian, persentase molar VFA berpengaruh terhadap produksi CH4. Asam asetat dan butirat mendorong produksi CH4, sementara pembentukan propionat berfungsi sebagai jalur kompetitif untuk penggunaan H2 dalam rumen.

Menurut Hegarty dan Nolan (2007) komposisi VFA dapat digunakan untuk memprediksi produksi metan melalui persamaan stoikiometri berikut:

CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4 – 0,25 C3 – 0,25 C5

Persamaan tersebut dapat digunakan dengan beberapa asumsi berikut:

 VFA merupakan produk akhir fermentasi (tidak ada hidrogen yang digunakan dalam produksi polimer sel)

 Tidak ada H2 bebas yang keluar dari rumen

 Proses pencernaan mikroba terjadi secara anaerob (H2 tidak digunakan untuk mereduksi O2 menjadi H2O)

 H2 tidak digunakan pada reaksi lain, seperti reduksi sulfat menjadi sulfide atau ikatan rangkap dalam asam lemak.

(11)

11

Review: Efek dari Ekstrak Tanaman yang Kaya Akan Senyawa Metabolit

Sekunder untuk Memodifikasi Fermentasi Rumen (Sliwinski et al., 2002)

(12)

12

Review: Efek dari Lokasi Budidaya pada Kualitas Hijauan Pakan Ternak dari

Calliandra calothyrsus Var. Patulul (Hess et al., 2006)

(13)

13

Review: Kajian In Vitro Kelayakan Penggantian Leguminosa rendah tanin

Vigna unguiculata dengan Legum Mengandung Tanin Leucaena leucocephala,

Flemingia macrophylla atau Calliandra calothyrsus dalam Ransum Rumput

Tropis (Hess et al., 2008)

Kajian in vitro ini dilakukan untuk mengetahui efek dari penggantian sebagian Vigna unguiculata dengan tanaman tanniferous terhadap fermentasi rumen dan degradasi protein kasar yang dikombinasikan dengan rumput tropis seperti

Brachiaria humidicola. Campuran legung terdiri dari Vigna unguiculata saja dan

Vigna unguiculata dengan Leucaena leucocephala, Flemingia macrophylla atau

Calliandra calothyrsus dengan rasio (3:2). Total kandungan tanin terkondensasi dari

Leucaena leucocephala, Flemingia macrophylla atau Calliandra calothyrsus

masing-masing adalah 51, 124, dan 311 (g/Kg DM). Penelitian ini menggunakan RUSITEC (Rumen Simulatoin Technique) (n=8). Penggantian sebagian Vigna unguiculata dengan beberapa tanaman taniniferous semak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penurunan konsentrasi amunia dalam cairan rumen dan degradasi serat. Penurunan tersebut lebih terlihat jelas pada penggantian sebagia Vigna unguiculata dengan Calliandra calothyrsus dan Flemingia macrophylla

dibandingkan dengan Leuchaena leucocephala. Penggantian sebagian Vigna unguiculata dengan Calliandra calothyrsus dan Flemingia macrophylla berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penurunan kecernaan BO dan PK, namun penggantian sebagian Vigna unguiculata dengan Leuchaena leucocephala tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Penambahan Leuchaena leucocephala dan Flemingia macrophylla tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap konsentrasi VFA total, namun terjadi penurunan konsentrasi pada penambahan Calliandra calothyrsus (P<0,05). Produksi gas metana hampir sama pada semua perlakuan (P>0,05).

Review: Kecernaan Serat pada Ruminan Menjelaskan Nilai Gizi yang Rendah

dan Mengurangi Proses Metanogenesis dalam Legum Tropis yang Tinggi Kandungan Tanin-nya (Tiemann et al., 2008)

(14)

14 serat pada pencernaan rumen dan pembentukan gas metan. Legum yang mengandung CTs (Calliandra calothyrsus, Flemingia macrophylla) dan tanaman yang bebas dari CTs (Vigna unguiculata, Brachiaria humidicola) digunakan dalam penelitian ini. Perlakuan yang terpisah untuk CTs yang tidak aktif menggunakan polietilen glikol atau pemurnian serat bebas dari CTs yang diperoleh. Pada percobaan 1, sepertiga dari rumput dalam ransum digantikan oleh legum dan telah dilengkapi dengan urea. Pada percobaan 2, serat hanya dimurnikan dan kasein diinkubasi.

Pemurnian serat pada legum yang rendah akan CTs memiliki penguraian yang berbeda dalam mencegah degradasi lignin terutama hemiselulosa. Tingkat degradasi hemiselulosa diperkirakan mempengaruhi metanogenesis. Sedikit pengaruh yang dihasilkan dari perlakuan pada Ransum yang kebutuhan N sudah tercukupi. degradasi serat pada CTs yang tidak aktif, masih lebih rendah pada penggunaan Calliandra calothyrsus dibandingkan dengan Vigna unguiculata.

Review: Efisiensi Sesbania sesban dan Acacia angustissima dalam mengurangi

metanogenesis dan meningkatkan ketersediaan nitrogen dalam rumen pada pakan yang berbasis rumput tropis tergantung pada aksesi (Bekele et al., 2009)

Strategi baru untuk meningkatkan gizi yang sangat rendah pada pakan tropis untuk ternak ruminansia harus bertujuan untuk meningkatkan nilai pakan dan secara bersamaan mengurangi emisi gas metana. Kedua tujuan itu ditunjukanan pada saat ini secara in vitro. percobaan dengan melengkapi kualitas rumput tropis yang rendah seperti Brachiaria humidicola dengan dedaunan dari berbagai legum semak, semuanya mengandung senyawa metabolit sekunder dalam konsentrasi yang berbeda. Dedaunan Acacia angustissima, Sesbania sesban, Samanea saman, dan

(15)

15 kombinasi sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas nutrisi yang rendah pada pakan tropis.

Review: Bukti Penghambatan Biohidrogenasi asam α-Linolenat pada Tahap

Akhir oleh Tanin Terkondensasi (Khiaosa-Ard et al., 2009)

Pengaruh tanin terkondensasi (CT) baik dalam bentuk ekstrak maupun terikan pada tanaman, dan ekstrak saponin pada biohidrogenasi rumen dari asam α-Linolenat (ALA) dianalisis secara in vitro. Rumput-rumput semanggi berfungsi sebagai pakan basal (kontrol). Jerami kontrol yang dilengkapi dengan ekstrak CT dari Acacia mearensii (7,9% dari bahan kering pakan DM) atau dengan ekstrak saponin dari

(16)

16 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai Mei 2012 bertempat di Fakultas Peternakan Kampus IPB Dramaga.

Materi

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah laptop dan software microsoft excel 2010. Bahan yang digunakan adalah data publikasi dari 6 penelitian dan 43 perlakuan yang diperoleh dari hasil penelitian Khiaosa-Ard et al. (2009), Hess et al. (2008), Tiemann et al. (2008), Hess et al. (2006), Bekele et al. (2009), dan Sliwinski

et al. (2002) terhadap ransum yang mengandung tanin yang diinkubasi menggunakan sistem RUSITEC.

Prosedur

Pembuatan Database

Data publikasi dari 6 penelitian dengan 43 perlakuan ditabulasi dengan berdasarkan kriteria penelitian yang menggunakan ransum mengandung tanin, menggunakan sistem Rusitec, dan menggunakan ternak ruminan terutama sapi. Data yang diperoleh diklasifikasikan menjadi dua yaitu perlakuan pada ransum yang mengandung tanin dan ransum yang tidak mengandung tanin. Setelah diklasifikasikan, data yang digunakan sebagai database adalah data ransum mengandung tanin, sehingga total data yang digunakan berasal dari 6 penelitian dengan 25 perlakuan. Parameter yang dimasukkan ke dalam database yaitu peneliti, tahun penelitian, sumber tanin, level tanin yang digunakan, jumlah substrat, kecernaan, produksi CH4 (dalam mmol/day), dan komponen VFA.

Perhitungan nilai CH4

Satuan mmol/day yang diperoleh dari sumber data hasil pengukuran Rusitec

CH4 dikonversi menjadi satuan mmol/l. Metode estimasi dilakukan melalui pendekatan stoikiometri VFA terhadap gas metana dengan dua model, yaitu:

1. Berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007):

(17)

17 2Hu (hydrogen utilized) X 100

2Hp (hydrogen produced)

2. Berdasarkan Moss et al. (2000) yang juga digunakan oleh (Montoya et al., 2011): CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4

Keterangan: C2 = asetat C3 = propionat C4 = butirat C5 = valerat

Pada software microsoft excel, data C1, C2, C3, C4, dan C5 dikonversi menjadi satuan mmol/l kemudian dihitung dengan masing-masing persamaan di atas. H2recovery dihitung berdasarkan persamaan Demeyer (1979) dilihat dari komponen VFA yaitu:

H2 recovery =

Hu= C3 + C4 + 2C1 + 0,5 C5

Hp = C2 + 0,5C3 + 2C4 + isoC5 + C5

Kemudian CH4 pengukuran setelah mengalami penyesuaian dihitung melalui persamaan:

CH4 setelah penyesuaian = CH4 sebelum penyesuaian x 100 H2 recovery Perhitungan Kesalahan Prediksi

Berdasarkan Alemu et al. (2011), penilaian kesalahan dalam prediksi dihitung dengan Mean Square Prediction Error (MSPE)

sedangkan akar dari penilaian kesalahan dalam prediksi dihitung dengan Root Mean Square Prediction Error (RMSPE)

(18)

18 Keterangan:

Oi = data hasil observasi Pi = data hasil prediksi n = total data yang di gunakan

Analisis Data

Data estimasi gas metana dianalisis menggunakan model persamaan Hegarty dan Nolan (2007), Moss et al. (2000), dan dilakukan Regresi berganda menggunakan

(19)

19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kompilasi data yang telah dibuat dalam bentuk database dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tidak semua data digunakan dalam pembuatan database

karena data yang digunakan hanya data yang terkait dengan topik penelitian. Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 ada beberapa data yang diberi tanda strip (-) karena sumber yang digunakan tidak melakukan pengukuran terhadap parameter tersebut.

Hubungan Antara Tanin dengan Kecernaan

Tanin adalah senyawa polifenolik larut dalam air yang merupakan anti nutrisi bagi ruminansia dengan membentuk kompleks dengan protein (Goel et al., 2005). Tanin memiliki efek positif dan negatif bagi ruminansia. Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa tanin bepengaruh terhadap penurunan kecernaan Bahan Organik (BO). Kecernaan BO pada masing-masing perlakuan <60%, hal itu karena kandungan tanin yang >5%. Menurut Sutardi (1980) nilai kecernaan yang tinggi apabila >60%. Berdasarkan epidemilogi tanin dalam jumlah moderat 2%- 4% di dalam pakan dapat mencegah bloat pada ruminansia, namun tanin dalam jumlah yang tinggi (>5%) dapat menghambat pencernaan bakteri dan menurunkan kinerja ruminansia terutama penurunan konsumsi dan rendahnya kecernaan nutrisi (Smith et al., 2005). Selain mencegah bloat pengaruh positif tanin dalam pakan adalah sebagai penyedia protein

by pass bagi organ pasca rumen. Hal tersebut karena ikatan kompleks antara tanin dengan protein menyebabkan protein sulit didegradasi di dalam rumen (Makkar et al., 2007). Kecernaan PK pada Tabel 2 cukup bervariasi, sehingga terlihat bahwa level tanin dan jenis tanin kurang berpengaruh terhadap kecernaan protein. Hal tersebut bisa saja terjadi karena selain level tanin, jenis dan strukturnya juga sangat berpengaruh. Tanin memiliki tingkat reaktivitas yang berbeda-beda. Reaktivitas tanin dipengaruhi oleh perbedaan struktur kimia tanin dan bobot molekul rata-rata (Min et al., 2003), bobot molekul yang tinggi pada tanin menyebabkan protein sulit didegradasi (Min et al., 2003).

Hubungan Antara Tanin dengan Produksi Gas Metana

(20)

20 O2. Produksi CH4 pada masing-masing perlakuan cukup bervariasi dari 1,55 – 10,94 mmol/hari (Tabel 2). Semakin tinggi level tanin pada masing-masing penelitian berpengaruh positif terhadap penurunan CH4. Hal tersebut karena tanin memiliki kemampuan sebagai agen anti metanogen di dalam rumen (Patra dan Saxena, 2010) sehingga dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara et al., 2011) dan penurunan ekskresi nitrogen (Makkar et al., 2007). Penelitian dengan ransum yang mengandung Sainfoin (Onobrychis viciifolia), dan CT (Tanin extract), kedua sumber tanin ini memiliki jenis dan level tanin yang sama namun produksi CH4 yang berbeda yaitu 6,18 mmol/hari dan 3,44 mmol/hari. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing sumber tanin memiliki tingkat rektivitas yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh struktur kimia tanin dan bobot molekul rata-rata (Min et al., 2003) sehingga berpengaruh terhadap produksi CH4.

Hubungan Antara Tanin dengan Produksi VFA

(21)

Tabel 2. Database Penelitian Menggunakan Ransum yang Mengandung Tanin Menggunakan Sistem RUSITEC.

(NDF) Neutral Detergent Fiber (ADF) Acid Detergent Fiber

(22)

22 Tabel 3. Komposisi VFA dari Database Penelitian

No Sumber Tanin 10 Brachiaria humidicola 52,50 35,07 11,39 4,11 0,68 0,79 0,45 1,13 11 Samanea saman 73,50 46,45 19,77 5,21 0,89 0,86 0,29 1,18 12 Acacia angustissima(1) 56,10 36,86 13,52 3,96 0,75 0,67 0,38 1,13 13 Acacia angustissima(2) 55,20 35,22 14,57 3,67 0,80 0,58 0,31 1,12 14 Sesbania sesban(3) 64,50 41,41 16,71 4,59 0,70 0,74 0,34 1,04

(23)

23 Tabel 4. Kondisi di Dalam Rumen dari Database Penelitian

No. Sumber Tanin

Kondisi Rumen Perhitungan Mikroba pH NH3 10 Brachiaria humidicola 6,98 0,17 7,836 3,258 11 Samanea saman 6,84 2,74 7,956 3,258 19 Sainfoin (Onobrychis viciifolia) 7,04 10,00 9,394 3,812 20 CT (Tanin extract) 7,09 5,10 9,825 3,281 21 Brachiaria humidicola 7,29 0,64 9,352 3,170 22 C. argentea +C.calothyrsus (5) 7,13 2,78 9,307 3,423 23 C. argentea +C.calothyrsus (6) 7,11 3,82 9,316 3,378 24 C.calothyrsus (5) 7,19 0,87 9,382 3,462 25 C.calothyrsus (6) 7,14 1,84 9,328 3,286

Prediksi Emisi Gas Metana

Nilai dari masing-masing pengukuran berturut-turut berdasarkan model stoikiometri Hegarty, model stoikiometri Moss, pengukuran CH4 RUSITEC sebelum penyesuaian dan pengukuran CH4 RUSITEC setelah penyesuaian dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, diperoleh hasil bahwa nilai estimasi CH4 oleh model

(24)

24 Hegarty dan model Moss mengalami prediksi berlebih dari CH4 sebelum penyesuaian (observasi). Nilai estimasi Hegarty lebih tinggi dari pada pengukuran CH4 sebelum penyesuaian, hal ini karena Hegarty mengasumsikan bahwa H2 yang di produksi di dalamrumen (H2 recovery) 100% digunakan untuk memproduksi CH4 melalui reaksi kimia sebagai berikut: CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O. Estimasi berdasarkan produksi VFA akan menghasilkan estimasi pengukuran gas metana yang lebih tinggi dari hasil observasi karena asimilasi hidrogen selama sintesis polimer-polimer mikroba dan reaksi redoks lainnya tidak diperhitungkan (Hegarty dan Nolan, 2007).

Nilai estimasi Moss lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai estimasi Hegarty namun lebih mendekati pengukuran CH4 observasi. Hal ini dikarenakan pada persamaan Moss, H2 recovery diasumsikan sebesar 90% dengan mempertimbangkan adanya reaksi lain yang menggunakan H2 yang diproduksi di dalam rumen seperti penggunaan H2 pada pembentukan propionat dan butirat seperti yang terlihat pada reaksi berikut:

CH3COCO2H + 4H → C2H5COOH+ H2O 2CH3COOH + 4H→ C3H7COOH + 2H2O

serta reaksi-reaksi redoks lainnya (Hegarty dan Nolan, 2007).

Nilai prediksi CH4 oleh model stoikiometri Hegarty dan Moss setelah penyesuaian (Gambar 2) jika dibandingkan dengan pengukuran CH4 sebelum penyesuaian (Gambar 1) lebih mendekati garis ideal, karena pada pengukuran CH4 setelah penyesuaian mempertimbangkan adanya H2 recovery. Garis ideal adalah garis dimana nilai dari CH4 melalui estimasi sama dengan CH4 melalui pengukuran (observasi). Sehingga dalam prediksi CH4, apabila garis persamaan mendekati garis ideal maka prediksi CH4 semakin akurat.

(25)

25 Tabel 5. Komparasi Hasil Pengukuran Gas Metan

No. Sumber Tanin 7 Leucaena leucocephala 18,18 15,30 41,05 5,57 13,57 8 Flemingia microphylla 17,12 14,41 41,17 5,29 12,85 9 Calliandra var patulul 16,66 14,04 41,05 5,12 12,47 10 Brachiaria humidicola 16,54 14,29 30,38 2,33 7,67 11 Samanea saman 20,67 17,55 34,37 3,61 10,50 19 Sainfoin (Onobrychis viciifolia) 31,36 27,13 34,86 6,18 17,73

20 CT (Tanin extract) 28,42 24,59 32,38 3,44 10,62

21 Brachiaria humidicola 22,64 19,63 31,24 3,76 12,04 22 C. argentea +C.calothyrsus (5) 27,57 23,88 35,27 6,67 18,91 23 C. argentea +C.calothyrsus (6) 27,70 23,97 36,26 7,25 19,99 24 C.calothyrsus(5) 27,30 23,76 30,85 4,69 15,20 25 C.calothyrsus (6) 27,28 23,67 33,50 5,81 17,34

Berdasarkan Gambar 3 dan Gambar 4, garis persamaan Moss lebih mendekati garis ideal daripada garis persamaan Hegarty. Hal ini menunjukkan bahwa model stoikiometri Moss lebih akurat dalam memprediksi emisi gas metana daripada model stoikiometri Hegarty. Nilai R2 dari model stoikiometri Hegarty dan Moss berturut-turut pada pengukuran CH4 setelah penyesuaian (0,763 dan 0,766) lebih besar daripada pengukuran CH4 sebelum penyesuaian (0,632 dan 0,633).

(26)

26 Gambar 3. Grafik Hubungan Antara CH4 Observasi Sebelum Penyesuaian dan CH4

Estimasi

(27)

27 Gambar 5. Grafik Perbandingan Antara Rumus Estimasi dengan Multiple Regresi

Berdasarkan hasil analisis multipel regresi diperoleh persamaan baru untuk prediksi emisi gas metana yaitu CH4 = 0,395C2 – 0,616C3 + 0,678C4 dengan (P<0,001) dan R2 = 0,976. Hasil persamaan multipel regresi jauh lebih akurat daripada kedua model persamaan stoikiometri. Hal itu terlihat pada (Gambar 5) garis persamaan multipel regresi lebih mendekati dengan garis ideal daripada kedua model stoikiometri. Hasil prediksi dengan multipel regresi lebih akurat daripada kedua model persamaan stoikiometri dengan R2 = 0,873. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alemu (2011) menyatakan bahwa ketepatan prediksi kemungkinan bisa tercapai apabila nilai (R2 = 0,700).

(28)

28 Tabel 6. Nilai MSPE dan RMSPE

No. Sumber Tanin Sebelum Penyesuaian Setelah Penyesuaian Moss Hegarty MLR Moss Hegarty MLR 1 Castanea sativa 18,17 26,46 11,50 0,39 2,27 0,06 7 Leucaena leucocephala 3,78 6,36 0,58 0,12 0,85 0,71 8 Flemingia microphylla 3,33 5,60 0,49 0,10 0,73 0,66 9 Calliandra var patulul 3,18 5,33 0,46 0,10 0,70 0,63 10 Brachiaria humidicola 5,72 8,08 2,12 1,75 3,15 0,15 11 Samanea saman 7,77 11,65 1,48 1,99 4,14 0,03 18 Grassclover hay 22,87 32,18 9,73 5,20 10,06 0,38 19 Sainfoin (Onobrychis

(29)
(30)

30 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Produksi gas metana dapat diprediksi menggunakan model persamaan stoikiometri komposisi VFA. Prediksi emisi gas metana menggunakan model stoikiometri Moss et al. (2000) lebih akurat daripada model stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007). Model persamaan multipel regresi (MLR) memiliki tingkat keakuratan dan ketepatan yang tinggi dalam memprediksi emisi gas metana. Tinggi dan rendahnya produksi gas metana bisa dijelaskan melalui komposisi VFA. Prediksi emisi gas metana pada sistem RUSITEC cukup akurat, namun harus mempertimbangkan H2recovery.

Saran

(31)

PREDIKSI EMISI GAS METANA PADA RANSUM

MENGANDUNG TANIN DALAM SISTEM

RUSITEC MELALUI KOMPOSISI

ASAM LEMAK TERBANG

SKRIPSI

HABIBAH PUSPA NEGARA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(32)

PREDIKSI EMISI GAS METANA PADA RANSUM

MENGANDUNG TANIN DALAM SISTEM

RUSITEC MELALUI KOMPOSISI

ASAM LEMAK TERBANG

SKRIPSI

HABIBAH PUSPA NEGARA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(33)

1 RINGKASAN

HABIBAH PUSPA NEGARA. D24080080. 2012. Prediksi Emisi Gas Metana pada Ransum Mengandung Tanin dalam Sistem RUSITEC Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc Pembimbing Anggota : Ir. Sudarsono Jayadi, M.Sc., Agr

Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) yang mampu menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga suhu di permukaan bumi menjadi meningkat dan menyebabkan efek pemanasan global. Ternak ruminansia merupakan salah satu penyumbang terbesar GRK melalui proses pencernaan di dalam rumen. Pemberian pakan yang mengandung tanin pada ternak ruminansia merupakan salah satu strategi untuk menanggulangi masalah ini karena tanin dianggap mampu menurunkan produksi gas metana. Produksi gas metana dapat di ketahui melalui alat yang canggih dan biaya yang mahal sehingga perlu dilakukan alternatif lain untuk mengukur produksi gas metana yaitu dengan prediksi emisi gas metana melalui model stoikiometri komposisi asam lemak terbang (VFA).

Data penelitian ini terdiri dari total 6 penelitian dan 43 perlakuan. Kemudian data diklasifikasikan menjadi dua yaitu perlakuan menggunakan ransum mengandung tanin dan ramsum yang tidak menggandung tanin. Setelah diklasifikasikan, yang digunakan sebagai database berasal dari 6 penelitian dengan 25 perlakuan. Prediksi emisi gas metana melalui komposisi VFA menggunakan model stoikiometri Hegarty dan Model stoikiometri Moss. Setelah itu dilakukan perhitungan nilai prediksi gas metana setelah penyesuaian dengan mempertimbangkan adanya H2recovery. Bias dalam prediksi dihitung menggunakan MSPE (Mean Square Prediction Error) dan RMSPE (Root Mean Square Prediction Error).

Nilai prediksi emisi gas metana menurut model stoikiometri Hegarty dan model Moss mengalami prediksi yang berlebih jika dibandingkan dengan hasil perhitungan emisi gas metana karena pada model stoikiometri Hegarty mengasumsikan H2 yang diproduksi di dalam rumen 100% digunakan seluruhnya untuk pembentukan gas metana sedangkan Moss mengasumsikan 90%. Hasil prediksi emisi gas metana menurut model stoikiometri Hegarty dan model Moss memiliki garis persamaan yang mendekati garis ideal pada pengukuran gas metana setelah adanya penyesuaian. Garis persamaan Moss (R2 = 0,766) lebih mendekati garis ideal daripada garis persamaan Hegarty (R2 = 0,763). Hal ini menunjukkan model stoikiometri Moss lebih akurat daripada Hegarty. Prediksi emisi gas metana pada sistem Rusitec cukup akurat namun tidak menunjukkan ketepatan. Tinggi dan rendahnya produksi gas metana bisa dijelaskan secara cukup akurat oleh komposisi VFA, namun harus mempertimbangkan adanya H2recovery.

(34)

2 ABSTRACT

Predicting Methane Emissions from Volatile Fatty Acid (VFA) Profiles in the Rumen Simulation Technique (RUSITEC) System

H. P. Negara, A. Jayanegara, dan S. Jayadi

Greenhouse gas (GHG) emissions from agricultural sector account for about 25.5% from total global anthropogenic emission. While CO2 receives most of the attention as a factor relative to global warming, CH4 is one of the most important GHGs with the relative global warming potential of 25 time higher than that of CO2. Ruminant animals contribute towards the greenhouse effect through methane emission as a result of fermentation processes occurring in the rumen through microbial activities. This study is aimed to predict CH4 emissions from volatile fatty acid (VFA) profiles in the rumen simulation technique system. Data from a total of 6 experiments comprising of 25 treatments were entered in a database. Rumen simulation technique measurements were distinguished as experimental approaches. Methane was predicted from volatile fatty acid (VFA) profiles, i.e. acetate, propionate and butyrate based on rumen stoichiometry and compared with the measured CH4 emission. Prediction of enteric CH4 emissions was according to Hegarty or Moss model. The results predicted by both Hegarty and Moss models showed closer regression lines to the ideal line measurement of CH4 (where the observed values are equal to the predicted values) after adjustment by accounting for the actual hydrogen recovery. Comparing the both models, Moss equation (R2 = 0.766) is closer to the ideal line than that of Hegarty (R2 = 0.763). It was concluded that prediction of CH4 emissions in the Rusitec system via VFA composition could explain the variation of CH4 quite accurately but there was a considerable bias from the ideal line.

(35)

3

PREDIKSI EMISI GAS METANA PADA RANSUM

MENGANDUNG TANIN DALAM SISTEM

RUSITEC MELALUI KOMPOSISI

ASAM LEMAK TERBANG

HABIBAH PUSPA NEGARA D24080080

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(36)

4 Judul : Prediksi Emisi Gas Metana pada Ransum yang Mengandung Tanin dalam

Sistem RUSITEC Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang Nama : Habibah Puspa Negara

NIM : D24080080

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt.M.Sc) NIP. 19830602 200501 1 001

Pembimbing Anggota,

(Ir. Sudarsono Jayadi, M.Sc.Agr) NIP. 19660226 199003 1 001

Mengetahui Ketua Departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP: 19670506 199103 1 001

(37)

5 RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 19 Februari 1990. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Hartono Basoeki dan Ibu Umayah.

Riwayat pendidikan penulis yaitu TK Uswatun Hasanah (1995-1996), Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SDN Babakan 1, Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 1 Ciwaringin dan pendidikan lanjutan menengah atas

diselesaikan pada tahun 2008 di SMAN 1 Palimanan. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk (USMI) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008.

Penulis pernah mengikuti magang di International Animal Resque (IAR) Bogor tahun 2010 dan Balai Embrio Ternak Cipelang Bogor pada tahun 2011. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa organisasi baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota, diantaranya adalah anggota Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB sebagai staf Konservasi Eksitu (periode 2009-2011), anggota Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC) IPB, Kepala Biro Satwa (periode 2009-2010) dan Ketua Kelompok Pecinta Alam (Kepal-D) Fakultas Peternakan IPB (periode 2010-2011), anggota Bina Desa “Fapet Goes to Village”, Anggota Biro Ilmu dan Teknologi (IT) Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) Fakultas Peternakan IPB (periode 2009-2010), anggota Teater Kandang Fakultas Peternakan IPB dan anggota Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung.

(38)

6 KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohiim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, karunia serta ridho-Nya penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Prediksi Emisi Gas Metana pada Ransum Mengandung Tanin dalam Sistem RUSITEC melalui Komposisi Asam Lemak Terbang”. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Sayyidina Muhammad SAW, seraya berharap semoga dengan syafa’atnya menjadikan ilmu yang dimiliki penulis dan skripsi ini menjadi manfaat dan penuh berkah.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Manfaat dari skripsi ini adalah menjadi data dan informasi dalam pengembangan ilmu permodelan bidang peternakan di Indonesia.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan pengembangan karya ilmiah ini. Ahirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2012

(39)
(40)
(41)

x DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produksi Gas Metana dari Berbagai Sektor ... 5 2. Database Penelitian Menggunakan Ransum yang Mengandung Tanin

(42)

xi DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Sumber Utama dan Penyerapan Gas Metana ... 4 2. Unit Monomer Tanin Terkondensasi (Catechin dan Gallocatechin)

dan Monomer Tanin Terhidrolisis (Asam Gallic dan Ellegic) ... 8 3. Grafik Hubungan Antara CH4 Observasi Sebelum Penyesuaian dan

CH4 Estimasi ... 26 4. Grafik Hubungan Antara CH4 Observasi Setelah Penyesuaian dan

CH4 Estimasi ... 26 5. Perbandingan Antara Rumus Estimasi dengan Multipel Regresi ... 27

(43)

xii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(44)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini para ahli banyak membicarakan tentang perubahan lingkungan terutama pemanasan global yang menyebabkan ketidak-seimbangan iklim dan berbagai fenomena alam yang mengganggu kelangsungan hidup di bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4), N2O, dan chlorofluorocarbon (CFC). Gas-gas ini mampu menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga suhu di permukaan bumi menjadi meningkat. Pemanasan global mempengaruhi perubahan iklim sehingga menjadi sumber bencana di bumi seperti semakin menipisnya lapisan ozon, suhu permukaan bumi meningkat, permukaan laut meningkat akibat mencairnya es di kutub, banjir, badai, dan berbagai fenomena alam lainnya.

(45)

2 yang mengandung tanin pada ternak ruminansia karena tanin dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara et al., 2011).

Gas metana dapat diketahui melalui percobaan yang menggunakan sistem in vivo dengan metode open circuit respiratory chambers dan in vitro dengan metode

gas chromatography dan infrared methane analyzer. Selain itu ada juga percobaan yang menggunakan sistem RUSITEC (rumen simulation technique) yang merupakan sistem in vitro rumen semi continuous. Percobaan yang menggunakan sistem RUSITEC lebih mampu mendekati kondisi sesungguhnya dibandingkan dengan sistem in vitro batch. Pengukuran emisi gas metana dengan metode diatas membutuhkan alat dan biaya yang mahal sehingga prediksi CH4 melalui komposisi asam lemak terbang (VFA) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dari permasalahan tersebut.

Kandungan emisi CH4 dapat diprediksi menggunakan faktor-faktor terkait yaitu faktor yang terlibat dalam pembentukan gas metana seperti gas hidrogen (H2) dan juga terkait dengan komposisi VFA. Oleh karena itu diharapkan produksi gas metana dapat diprediksi melalui pendekatan stoikiometri komposisi VFA di dalam rumen.

Tujuan

(46)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Pemanasan Global

Pemanasan global merupakan gejala alam yang mulai secara intensif diteliti sejak tahun 1980-an. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2) dan beberapa jenis gas lainnya (CH4, N2O, CFC) akibat aktivitas industri dan sisa pembakaran bahan bakar minyak bumi. Efek rumah kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas-gas rumah kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu dipermukaan bumi menjadi meningkat. Pertanian menyumbang 25,5% GRK dari total emisi antropogenik dunia. CO2 mendapatkan perhatian lebih karena dianggap sebagai faktor relatif terhadap pemanasan global, di samping CH4, N2O, dan chlorofluorocarbon (CFC) juga menyebabkan radiasi yang signifikan (Sejian et al., 2011). Dampak dari gas rumah kaca berbeda dengan polutan. Polutan secara langsung berdampak pada makhluk hidup, sedangkan gas rumah kaca berdampak tidak langsung. Melalui perantara proses di dalam lingkungan biogeokimia gas-gas rumah kaca baru berdampak pada makhluk hidup dan memiliki life time yang relatif lama.

Akumulasi GRK terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrrogen oksida (N2O) di atmosfer memberi kontribusi pada peningkatan suhu permukaan bumi (Moss et al., 2000). Akumulasi gas-gas ini diketahui meningkat 0,3%-0,9% per tahun, terutama karena efek antropogenik pada siklus karbon dan nitrogen (Janzen et al., 1999). Potensi pemanasan global (Global warming Potential = GWP) digunakan untuk membandingkan satu satuan berat gas rumah kaca tertentu dengan jumlah gas CO2 yang digunakan sebagai acuan. GWP dari CH4 adalah 21 kali lipat lebih besar dari CO2 dan GWP dari N2O adalah 310 kali lebih besar daripada CO2 (Janzen et al., 1999).

Gas Metana

(47)

4

et al., 1976). CH4 dan N2O berasal dari siklus yang berbeda. CH4 ini biasanya dihasilkan setelah degradasi komponen karbon (C) selama proses pencernaan pakan dan pupuk kandang, sedangkan N2O berkaitan dengan siklus nitrogen (N) dengan pupuk kimia dan pupuk kandang sebagai sumber utamanya (Monteny et al., 2006).

Gas metana berasal dari berbagai sumber baik antropogenik maupun alami (Rotz et al., 2010). Lebih dari 70% emisi gas metana berasal dari kegiatan antropogenik (IPCC, 2007). Sisanya berasal dari sumber alam termasuk lahan basah, gas hidrat, lapisan es, rayap, laut, tanah non-lahan basah, gunung berapi dan kebakaran hutan (Breas et al., 2001). Berikut adalah sumber utama dan penyerapan gas metana menurut Moss et al. (2000):

Gambar 1. Sumber Utama dan Penyerapan Gas Metana di Atmosfer Sumber: Moss et al, (2000)

Di dalam pencernaan Ternak (75 Tg) Pembakaran Biomasa (40 Tg) Tempat Pembuangan Sampah (40 Tg)

(48)

5 Gas metana tidak hanya diproduksi oleh sektor peternakan, berbagai sektor berpotensi dalam menyumbang gas metana yang semakin berlimpah di atmosfer. Anggapan bahwa sektor peternakan menjadi produsen gas metana terbesar merupakan anggapan yang tidak benar. Melimpahnya gas metana dia atmosfer bukan hanya tanggungjawab dari salah satu sektor saja tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Produksi gas metana dari berbagai sektor dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Produksi Gas Metana dari Berbagai Sektor

Sektor Produksi Gas Metana Produksi Gas Metana

Tg Gram

Lahan Basah 265 268180

Tanaman Padi 110 111320

Minyak dan Gas Bumi 95 96140

Eruktasi Ternak 75 75900

Pembakaran Biomasa 40 40480

Tempat Pembuangan sampah 40 40480

Pertambangan Batu Bara 35 35420

Kotoran Hewan 25 25300

Laut dan Danau 5 5060

Sumber: Moss et al, (2000)

Kontribusi Ternak Ruminansia Terhadap Produksi Gas Metana

Secara umum ternak ruminansia bertanggung jawab terhadap 85 Tg (1 Tg = 1012 g = 1 juta metrik ton) dari 550 Tg gas metana yang dibebaskan ke alam setiap tahunnya (Sejian et al., 2011). Produksi gas metana dari ternak ruminansia telah banyak dikaji karena sebagian anggapan bahwa ternak ruminansia merupakan produsen dari gas metana. Menurut Arora (1989) produksi gas CO2 di dalam rumen adalah 50%-70% dan sisanya adalah gas CH4. Ternak ruminansia, khususnya sapi (Bos taurus), kerbau (Bubalus bubalis), domba (Ovis aris), kambing (Capra hircus) dan unta (Camalus camalis) menghasilkan sejumlah besar gas metana melalui pencernaan anaerobik. Proses fermentasi mikroba disebut sebagai fermentasi enterik

(49)

6 faktor-faktor seperti spesies hewan, reproduksi, pH cairan rumen, rasio asetat:propionat, populasi metanogen, komposisi pakan dan jumlah konsentrasi pakan. Sapi merupakan salah satu ternak ruminansia yang paling berkontribusi terhadap efek rumah kaca melalui emisi gas metana diikuti oleh domba, kambing dan kerbau. Perkiraan emisi metana pada sapi; kerbau; domba dan kambing di negara maju adalah 150,7; 137; 21,9 dan 13,7 (g/hewan/hari) (Sejian et al., 2011). Proses pembentukan gas metana di dalam rumen ternak ruminansia disebut metanogenesis.

Metanogenesis terbentuk oleh Archaea metanogen, sekelompok mikroorganisme yang berada dalam kondisi anaerob termasuk di dalam rumen. Di dalam rumen, mikroba metanogen memanfaatkan H2 dan CO2 sebagai substrat untuk memproduksi gas metana. Lebih dari 60 spesies metanogen yang diisolasi dari berbagai habibat yang berbada namun hanya lima jenis metanogen dilaporkan telah diisolasi dalam rumen yaitu Methanobrevibacter ruminantium, Methanosarcina barkeri, Methanosarcina mazei, Methanobacterium formicicum dan

Methanomicrobium mobile. Diantara kelima spesies tersebut, hanya

Methanobrevibacter ruminantium dan Methanosarcina barkeri yang telah ditemukan dalam rumen pada populasi >106 koloni/ml yang diasumsikan berperan penting pada proses metanogenesis di dalam rumen (Moss et al., 2000).

Meskipun H2 adalah salah satu produk akhir dari fermentasi yang dilakukan oleh protozoa, jamur, dan bakteri namun H2 digunakan oleh bakteri lain, terutama metanogen yang ada di dalam campuran ekosistem mikroba (Boadi et al., 2004) agar tidak terjadi akumulasi H2 di dalam rumen (Hegarty dan Nolan, 2007). Akan tetapi dengan adanya pembentukan gas metana maka proses fermentasi glukosa yang menghasilkan propionat akan menurun karena H2 yang dibutuhkan untuk pembentukan propionat digunakan untuk produksi gas metana oleh Archaea

metanogen dengan CO2 sebagai akseptoryang kemudian dibebaskan bersama gas buangan lainnya oleh rumen melalui pernapasan (Hegarty dan Nolan, 2007).

Strategi Menurunkan Gas Metan

(50)

7 yaitu 28% dari emisi antropogenik (Beauchemin et al., 2008). Berbagai cara telah dilakukan untuk menurunkan produksi gas metana. Ternak ruminansia khususnya sapi perah telah diteliti dan diterapkan beberapa strategi penurunan gas metana yaitu dilakukan penambahan ionofor, lemak, penggunaan hijauan berkualitas tinggi, dan meningkatkan penggunaan biji-bijian (konsentrat). Pengurangan emisi gas metana dapat dilakukan dengan memanipulasi proses fermentasi di dalam rumen baik itu dengan langsung menghambat methanogen dan protozoa, atau dengan mengalihkan molekul hidrogen dari methanogen. Beberapa sumber mengidentifikasi cara baru untuk mengurangi emisi gas metana yaitu dengan penambahan probiotik, acetogens, bakteriosin, virus archaea, asam organik, ekstrak tumbuh-tumbuhan (misalnya, minyak esensial) untuk pakan, serta imunisasi, dan seleksi genetik sapi (Boadi et al., 2004).

Gas metana merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dalam rumen. Meningkatkan produktivitas ternak tampaknya menjadi cara yang paling efektif untuk mengurangi pelepasan gas metana dalam jangka pendek. Perlu diingat bahwa metode ini hanya berhasil jika produksi secara keseluruhan tetap konstan. Sarana untuk mencapai kenaikan produktivitas ini telah dibahas, tapi hampir semua melibatkan peningkatan penggunaan pakan yang mengandung kualitas lebih tinggi/rendah kandungan seratnya (Moss et al., 2000). Strategi pemberian pakan yang dilakukan salah satunya adalah pemberian pakan yang mengandung tanin pada ternak ruminansia karena tanin dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara

et al., 2011).

Tanin

(51)

8 Menurut Patra dan Saxena (2010) berdasarkan strukturnya tanin diklasifikasikan menjadi dua grup yaitu tanin terhidrolisis (HT: asam galik dan ellagik) dan tanin terkondensasi (CT: katecin dan gallokatecin). Berikut adalah stuktur tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi menurut Patra dan Saxena (2010) dapat dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 2. Unit Monomer Tanin Terkondensasi (Catechin dan Gallocatechin) dan Monomer Tanin Terhidolisis (Asam GallicdanEllegic)

Sumber: Patra dan Saxena (2010)

Kedua jenis tanin tersebut terdapat pada tanaman yang berbeda dan pengaruhnya terhadap ternak juga berbeda sehingga perlu dilakukan analisis yang tepat untuk mengukur masing-masing jenis tanin tersebut dan dapat diperkirakan secara tepat pengaruhnya terhadap ternak. Tanin terkondensasi memiliki berat molekul 17.000-28.000, membentuk komples stabil dengan protein, tidak memiliki inti karbohidrat dan merupakan oligomer dan polimer dari unit flavonoid dan tahan terhadap hidrolisis serta tidak larut pada pH 3,5-7. Ikatan tanin terkondensasi dengan protein tidak stabil dan ikatan tersebut lepas pada pH<3,0 dan pH 8. Tanin terhidrolisis adalah tanin yang memiliki inti karbohidrat, dihubungkan oleh jembatan ester karboksilat, dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim esterase serta

Catechin

Asam Ellagic Asam Gallic

(52)

9 berikatan sangat kuat dengan protein pada pH 3-4 tetapi kekuatan ikatan tersebut menurun pada pH>5 (Farida et al., 2000).

Dilihat dari segi kebutuhan nutrisi pada pakan ternak tanin memiliki dampak yang menguntungkan dan merugikan, tergantung pada hijauan pakan ternak itu sendiri dan konsentrasinya di dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Dampak yang menguntungkan dari tanin adalah mampu mempercepat peningkatan bobot badan, meningkatkan produksi susu, meningkatkan fertilitas, meningkatkan kesejahteraan hewan dan kesehatan dengan mencegah bloat dan mengurangi resiko cacingan (Mueller-Harvey, 2006). Dampak yang merugikan dari tanin adalah tanin menjadi toksik bagi beberapa mikroba di dalam rumen (Goel et al., 2005) dan berpengaruh terhadap konsumsi, kecernaan, dan performa (Reed, 1995).

Tanin memiliki kemampuan sebagai agen anti metanogen di dalam rumen. Aktivitas antimetanogen oleh tanin tergantung pada jenis dan dosis tanin yang digunakan. Tanin dengan berat molekul yang rendah lebih efektif dalam menghambat bakteri metanogen daripada tanin dengan berat molekul yang tinggi karena tanin dengan berat molekul yang rendah mampu membentuk ikatan yang kuat dengan enzim mikroba. Tanin dengan bobot molekul yang tinggi tidak mampu menembus protein mikroba sehingga tingkat toksisitasnya rendah terhadap bakteri metanogen (Patra dan Saxena, 2010)

RUSITEC (rumen simulation technique)

(53)

10 atau jam dan sulit untuk melakukan kontrol yang cukup atau untuk menafsirkan hasil percobaan pada ternak secara langsung. Oleh karena itu alat ini tepat digunakan untuk mensimulasikan kondisi di dalam rumen karena prosedurnya sederhana dengan semi kontinu.

Estimasi Produksi Gas Metan

Moss et al. (2000) menyatakan bahwa produksi CH4 dapat diestimasi dari stoikiometri dari VFA yang terbentuk selama fermentasi, yaitu asetat (C2), propionat (C3) dan butirat (C4) melalui persamaan stoikiometri berikut:

CH4 = 0,45 C2 - 0,275 C3 + 0,40 C4

Dengan demikian, persentase molar VFA berpengaruh terhadap produksi CH4. Asam asetat dan butirat mendorong produksi CH4, sementara pembentukan propionat berfungsi sebagai jalur kompetitif untuk penggunaan H2 dalam rumen.

Menurut Hegarty dan Nolan (2007) komposisi VFA dapat digunakan untuk memprediksi produksi metan melalui persamaan stoikiometri berikut:

CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4 – 0,25 C3 – 0,25 C5

Persamaan tersebut dapat digunakan dengan beberapa asumsi berikut:

 VFA merupakan produk akhir fermentasi (tidak ada hidrogen yang digunakan dalam produksi polimer sel)

 Tidak ada H2 bebas yang keluar dari rumen

 Proses pencernaan mikroba terjadi secara anaerob (H2 tidak digunakan untuk mereduksi O2 menjadi H2O)

 H2 tidak digunakan pada reaksi lain, seperti reduksi sulfat menjadi sulfide atau ikatan rangkap dalam asam lemak.

(54)

11

Review: Efek dari Ekstrak Tanaman yang Kaya Akan Senyawa Metabolit

Sekunder untuk Memodifikasi Fermentasi Rumen (Sliwinski et al., 2002)

(55)

12

Review: Efek dari Lokasi Budidaya pada Kualitas Hijauan Pakan Ternak dari

Calliandra calothyrsus Var. Patulul (Hess et al., 2006)

(56)

13

Review: Kajian In Vitro Kelayakan Penggantian Leguminosa rendah tanin

Vigna unguiculata dengan Legum Mengandung Tanin Leucaena leucocephala,

Flemingia macrophylla atau Calliandra calothyrsus dalam Ransum Rumput

Tropis (Hess et al., 2008)

Kajian in vitro ini dilakukan untuk mengetahui efek dari penggantian sebagian Vigna unguiculata dengan tanaman tanniferous terhadap fermentasi rumen dan degradasi protein kasar yang dikombinasikan dengan rumput tropis seperti

Brachiaria humidicola. Campuran legung terdiri dari Vigna unguiculata saja dan

Vigna unguiculata dengan Leucaena leucocephala, Flemingia macrophylla atau

Calliandra calothyrsus dengan rasio (3:2). Total kandungan tanin terkondensasi dari

Leucaena leucocephala, Flemingia macrophylla atau Calliandra calothyrsus

masing-masing adalah 51, 124, dan 311 (g/Kg DM). Penelitian ini menggunakan RUSITEC (Rumen Simulatoin Technique) (n=8). Penggantian sebagian Vigna unguiculata dengan beberapa tanaman taniniferous semak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penurunan konsentrasi amunia dalam cairan rumen dan degradasi serat. Penurunan tersebut lebih terlihat jelas pada penggantian sebagia Vigna unguiculata dengan Calliandra calothyrsus dan Flemingia macrophylla

dibandingkan dengan Leuchaena leucocephala. Penggantian sebagian Vigna unguiculata dengan Calliandra calothyrsus dan Flemingia macrophylla berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penurunan kecernaan BO dan PK, namun penggantian sebagian Vigna unguiculata dengan Leuchaena leucocephala tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Penambahan Leuchaena leucocephala dan Flemingia macrophylla tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap konsentrasi VFA total, namun terjadi penurunan konsentrasi pada penambahan Calliandra calothyrsus (P<0,05). Produksi gas metana hampir sama pada semua perlakuan (P>0,05).

Review: Kecernaan Serat pada Ruminan Menjelaskan Nilai Gizi yang Rendah

dan Mengurangi Proses Metanogenesis dalam Legum Tropis yang Tinggi Kandungan Tanin-nya (Tiemann et al., 2008)

(57)

14 serat pada pencernaan rumen dan pembentukan gas metan. Legum yang mengandung CTs (Calliandra calothyrsus, Flemingia macrophylla) dan tanaman yang bebas dari CTs (Vigna unguiculata, Brachiaria humidicola) digunakan dalam penelitian ini. Perlakuan yang terpisah untuk CTs yang tidak aktif menggunakan polietilen glikol atau pemurnian serat bebas dari CTs yang diperoleh. Pada percobaan 1, sepertiga dari rumput dalam ransum digantikan oleh legum dan telah dilengkapi dengan urea. Pada percobaan 2, serat hanya dimurnikan dan kasein diinkubasi.

Pemurnian serat pada legum yang rendah akan CTs memiliki penguraian yang berbeda dalam mencegah degradasi lignin terutama hemiselulosa. Tingkat degradasi hemiselulosa diperkirakan mempengaruhi metanogenesis. Sedikit pengaruh yang dihasilkan dari perlakuan pada Ransum yang kebutuhan N sudah tercukupi. degradasi serat pada CTs yang tidak aktif, masih lebih rendah pada penggunaan Calliandra calothyrsus dibandingkan dengan Vigna unguiculata.

Review: Efisiensi Sesbania sesban dan Acacia angustissima dalam mengurangi

metanogenesis dan meningkatkan ketersediaan nitrogen dalam rumen pada pakan yang berbasis rumput tropis tergantung pada aksesi (Bekele et al., 2009)

Strategi baru untuk meningkatkan gizi yang sangat rendah pada pakan tropis untuk ternak ruminansia harus bertujuan untuk meningkatkan nilai pakan dan secara bersamaan mengurangi emisi gas metana. Kedua tujuan itu ditunjukanan pada saat ini secara in vitro. percobaan dengan melengkapi kualitas rumput tropis yang rendah seperti Brachiaria humidicola dengan dedaunan dari berbagai legum semak, semuanya mengandung senyawa metabolit sekunder dalam konsentrasi yang berbeda. Dedaunan Acacia angustissima, Sesbania sesban, Samanea saman, dan

(58)

15 kombinasi sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas nutrisi yang rendah pada pakan tropis.

Review: Bukti Penghambatan Biohidrogenasi asam α-Linolenat pada Tahap

Akhir oleh Tanin Terkondensasi (Khiaosa-Ard et al., 2009)

Pengaruh tanin terkondensasi (CT) baik dalam bentuk ekstrak maupun terikan pada tanaman, dan ekstrak saponin pada biohidrogenasi rumen dari asam α-Linolenat (ALA) dianalisis secara in vitro. Rumput-rumput semanggi berfungsi sebagai pakan basal (kontrol). Jerami kontrol yang dilengkapi dengan ekstrak CT dari Acacia mearensii (7,9% dari bahan kering pakan DM) atau dengan ekstrak saponin dari

(59)

16 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai Mei 2012 bertempat di Fakultas Peternakan Kampus IPB Dramaga.

Materi

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah laptop dan software microsoft excel 2010. Bahan yang digunakan adalah data publikasi dari 6 penelitian dan 43 perlakuan yang diperoleh dari hasil penelitian Khiaosa-Ard et al. (2009), Hess et al. (2008), Tiemann et al. (2008), Hess et al. (2006), Bekele et al. (2009), dan Sliwinski

et al. (2002) terhadap ransum yang mengandung tanin yang diinkubasi menggunakan sistem RUSITEC.

Prosedur

Pembuatan Database

Data publikasi dari 6 penelitian dengan 43 perlakuan ditabulasi dengan berdasarkan kriteria penelitian yang menggunakan ransum mengandung tanin, menggunakan sistem Rusitec, dan menggunakan ternak ruminan terutama sapi. Data yang diperoleh diklasifikasikan menjadi dua yaitu perlakuan pada ransum yang mengandung tanin dan ransum yang tidak mengandung tanin. Setelah diklasifikasikan, data yang digunakan sebagai database adalah data ransum mengandung tanin, sehingga total data yang digunakan berasal dari 6 penelitian dengan 25 perlakuan. Parameter yang dimasukkan ke dalam database yaitu peneliti, tahun penelitian, sumber tanin, level tanin yang digunakan, jumlah substrat, kecernaan, produksi CH4 (dalam mmol/day), dan komponen VFA.

Perhitungan nilai CH4

Satuan mmol/day yang diperoleh dari sumber data hasil pengukuran Rusitec

CH4 dikonversi menjadi satuan mmol/l. Metode estimasi dilakukan melalui pendekatan stoikiometri VFA terhadap gas metana dengan dua model, yaitu:

1. Berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007):

(60)

17 2Hu (hydrogen utilized) X 100

2Hp (hydrogen produced)

2. Berdasarkan Moss et al. (2000) yang juga digunakan oleh (Montoya et al., 2011): CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4

Keterangan: C2 = asetat C3 = propionat C4 = butirat C5 = valerat

Pada software microsoft excel, data C1, C2, C3, C4, dan C5 dikonversi menjadi satuan mmol/l kemudian dihitung dengan masing-masing persamaan di atas. H2recovery dihitung berdasarkan persamaan Demeyer (1979) dilihat dari komponen VFA yaitu:

H2 recovery =

Hu= C3 + C4 + 2C1 + 0,5 C5

Hp = C2 + 0,5C3 + 2C4 + isoC5 + C5

Kemudian CH4 pengukuran setelah mengalami penyesuaian dihitung melalui persamaan:

CH4 setelah penyesuaian = CH4 sebelum penyesuaian x 100 H2 recovery Perhitungan Kesalahan Prediksi

Berdasarkan Alemu et al. (2011), penilaian kesalahan dalam prediksi dihitung dengan Mean Square Prediction Error (MSPE)

sedangkan akar dari penilaian kesalahan dalam prediksi dihitung dengan Root Mean Square Prediction Error (RMSPE)

(61)

18 Keterangan:

Oi = data hasil observasi Pi = data hasil prediksi n = total data yang di gunakan

Analisis Data

Data estimasi gas metana dianalisis menggunakan model persamaan Hegarty dan Nolan (2007), Moss et al. (2000), dan dilakukan Regresi berganda menggunakan

(62)

19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kompilasi data yang telah dibuat dalam bentuk database dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tidak semua data digunakan dalam pembuatan database

karena data yang digunakan hanya data yang terkait dengan topik penelitian. Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 ada beberapa data yang diberi tanda strip (-) karena sumber yang digunakan tidak melakukan pengukuran terhadap parameter tersebut.

Hubungan Antara Tanin dengan Kecernaan

Tanin adalah senyawa polifenolik larut dalam air yang merupakan anti nutrisi bagi ruminansia dengan membentuk kompleks dengan protein (Goel et al., 2005). Tanin memiliki efek positif dan negatif bagi ruminansia. Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa tanin bepengaruh terhadap penurunan kecernaan Bahan Organik (BO). Kecernaan BO pada masing-masing perlakuan <60%, hal itu karena kandungan tanin yang >5%. Menurut Sutardi (1980) nilai kecernaan yang tinggi apabila >60%. Berdasarkan epidemilogi tanin dalam jumlah moderat 2%- 4% di dalam pakan dapat mencegah bloat pada ruminansia, namun tanin dalam jumlah yang tinggi (>5%) dapat menghambat pencernaan bakteri dan menurunkan kinerja ruminansia terutama penurunan konsumsi dan rendahnya kecernaan nutrisi (Smith et al., 2005). Selain mencegah bloat pengaruh positif tanin dalam pakan adalah sebagai penyedia protein

by pass bagi organ pasca rumen. Hal tersebut karena ikatan kompleks antara tanin dengan protein menyebabkan protein sulit didegradasi di dalam rumen (Makkar et al., 2007). Kecernaan PK pada Tabel 2 cukup bervariasi, sehingga terlihat bahwa level tanin dan jenis tanin kurang berpengaruh terhadap kecernaan protein. Hal tersebut bisa saja terjadi karena selain level tanin, jenis dan strukturnya juga sangat berpengaruh. Tanin memiliki tingkat reaktivitas yang berbeda-beda. Reaktivitas tanin dipengaruhi oleh perbedaan struktur kimia tanin dan bobot molekul rata-rata (Min et al., 2003), bobot molekul yang tinggi pada tanin menyebabkan protein sulit didegradasi (Min et al., 2003).

Hubungan Antara Tanin dengan Produksi Gas Metana

(63)

20 O2. Produksi CH4 pada masing-masing perlakuan cukup bervariasi dari 1,55 – 10,94 mmol/hari (Tabel 2). Semakin tinggi level tanin pada masing-masing penelitian berpengaruh positif terhadap penurunan CH4. Hal tersebut karena tanin memiliki kemampuan sebagai agen anti metanogen di dalam rumen (Patra dan Saxena, 2010) sehingga dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara et al., 2011) dan penurunan ekskresi nitrogen (Makkar et al., 2007). Penelitian dengan ransum yang mengandung Sainfoin (Onobrychis viciifolia), dan CT (Tanin extract), kedua sumber tanin ini memiliki jenis dan level tanin yang sama namun produksi CH4 yang berbeda yaitu 6,18 mmol/hari dan 3,44 mmol/hari. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing sumber tanin memiliki tingkat rektivitas yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh struktur kimia tanin dan bobot molekul rata-rata (Min et al., 2003) sehingga berpengaruh terhadap produksi CH4.

Hubungan Antara Tanin dengan Produksi VFA

(64)

Tabel 2. Database Penelitian Menggunakan Ransum yang Mengandung Tanin Menggunakan Sistem RUSITEC.

(NDF) Neutral Detergent Fiber (ADF) Acid Detergent Fiber

(65)

22 Tabel 3. Komposisi VFA dari Database Penelitian

No Sumber Tanin 10 Brachiaria humidicola 52,50 35,07 11,39 4,11 0,68 0,79 0,45 1,13 11 Samanea saman 73,50 46,45 19,77 5,21 0,89 0,86 0,29 1,18 12 Acacia angustissima(1) 56,10 36,86 13,52 3,96 0,75 0,67 0,38 1,13 13 Acacia angustissima(2) 55,20 35,22 14,57 3,67 0,80 0,58 0,31 1,12 14 Sesbania sesban(3) 64,50 41,41 16,71 4,59 0,70 0,74 0,34 1,04

Gambar

Gambar 1.  Sumber Utama dan Penyerapan Gas Metana di Atmosfer
Tabel 1.  Produksi Gas Metana dari Berbagai Sektor
Gambar 2. Unit Monomer Tanin Terkondensasi (Catechin dan Gallocatechin) dan
Tabel 2. Database Penelitian Menggunakan Ransum yang Mengandung Tanin Menggunakan Sistem RUSITEC
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misbahul Munir, LC., M.Ei Kata kunci : MOWN, INST, DER, dan PBV Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan,

Berita bencana ini akan dikirimkan ke pihak Penanganan Bencana (PB) Palang Merah Indonesia. Palang Merah Indonesia akan memberangkatkan tim.. SATGANA setelah

1) Prosedur atau tahapan yang dilakukan dalam pengembangan media pembelajaran berbasis aplikasi Videoscribe Sparkol pada mata pelajaran ekonomi di SMK Batik

secara nyata dalam menjalani kehidupan.Berangkat dari hal tersebut banyak dari muallaf Tionghoa setelah masuk Islam mengalami kemerosotan dari sektor ekonomi.Hal

Dalam mengukur DCV, posisi kabel probe warna merah (+/out) diletakkan pada titik positip (+) dari sumber tegangan yang akan diukur, kabel probe warna hitam

Berdasarkan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa : 1) Kemampuan mahasiswa pendidikan kimia dalam menyusun RPP berdasarkan Kurikulum 2013 dengan mengukur

KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI PT PABELAN KARTASURA TAHUN 2003. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei

Pengukuran terhadap perubahan berat tubuh mencit setiap kelompok memperlihatkan kenaikan rerata berat tubuh pada seluruh kelompok perlakuan, kecuali pada kelompok