• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum islam terhadap Putusan Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tentang Perkara Pidana Penghinaan oleh Pers : Putusan No.1426/PID.B/2003/PN.Jkt.Pst

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hukum islam terhadap Putusan Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tentang Perkara Pidana Penghinaan oleh Pers : Putusan No.1426/PID.B/2003/PN.Jkt.Pst"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PENGHINAAN OLEH PERS

(PUTUSAN NO. 1426/PID.B/2003/PN.Jkt.Pst.)

Oleh :

NURHIKMAH

NIM : 103045128157

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puja dan puji syukur terucap hanya kepada Illahi Rabbi yang telah memberikan kekuatan lahir batin, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW sebagai Uswatun Hasanah yang telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran.

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI), sebagai salah satu tugas akademis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Tanpa bantuan dan uluran tangan maka tentunya skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan seperti sekarang ini. Ucapan terima kasih ini secara khusus penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mencurahkan baktinya kepada kami, selaku Mahasiswa dan Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum ;

2. Bapak Asmawi, M. Ag dan Ibu Sri Hidayati, M. Ag, selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan

(3)

ramah serta kekeluargaan membimbing dan mengarahkan kami, selaku mahasiswa dan mahasiswi Program Studi Jinayah Siyasah ;

3. Bapak Drs. H. Odjo Kusnara N, M.Ag, selaku pembimbing I dan Bapak Kamarusdiana S. Ag, MH, selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu, arahan dan perhatian serta motivasi kepada penulis dari awal hingga akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan ;

4. Seluruh Dosen yang telah memberi ilmu kepada penulis, selama penulis belajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ;

5. Pimpinan dan Pegawai Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu penulis dalam proses pencarian data yang berkaitan dengan pembahasan. 6. Pimpinan dan Pegawai Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu penulis dalam proses pencarian data yang berkaitan dengan pembahasan.

7. Pimpinan dan Pegawai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah mengizinkan dan memberi penulis untuk mencari data-data yang dibutuhkan dalam skripsi ini ;

8. Kepada Ayahanda H.Nasan dan Ibunda Sopiah, satu dari sekian harapan kalian telah ananda penuhi, semoga harapan-harapan kalian yang lain dapat pula ananda wujudkan. Tiada kata yang pantas ananda ucapkan selain ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas segala pengorban, kasih

(4)

sayang, dukungan dan bimbingan kalian, hanya Allah lah yang dapat membalas kebaikan kalian selama ini.

9. Teruntuk suamiku tercinta, Ahmad Shobari yang selalu memberikan semangat dan motivasi bagi penulis agar selalu berjuang terus pantang menyerah, dan telah memberikan spirit baik lahir maupun batin, serta do’a yang diberikan kepada penulis dan senantiasa mendampingi baik dalam suka maupun duka. 10.Kepada Putra Kecilku, M. Fatich Abd. Rohim yang selalu memberikan

keteduhan, keceriaan. Kehadiran dan senyumannya yang selalu meringankan segala beban kehidupan.

11.Kepada Teman-teman Konsentrasi Pidana Islam Angkatan 2003, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatunya, segala kenangan indah maupun duka yang kita hadapi bersama merupakan sebuah kenangan yang tidak akan terlupakan.

12.Kepada kakanda Syahrul dan Neneng hulia terima kasih atas dorongan dan kritiknya .

Hanya dengan bermunajat kepada Allah SWT, penulis memohon dan berdo’a semoga amal baik serta jasa-jasa mereka diberi balasan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Amin Ya Rabbal ’Alamin.

Jakarta, 8 September 2008 M

8 Ramadhan 1429 H

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI……….. iv

BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Tinjauan Pustaka... 7

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan... 9

F. Sistematika Penulisan... 11

BAB II : TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA A. Pengertian Tindak Pidana... 13

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana……… 15

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana……… 19

D. Pertanggungjawaban Pidana……… 25

BAB III : TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENGHINAAN DAN PERS A. Pengertian Penghinaan... 32

B. Bentuk-bentuk Penghinaan... 34

C. Kode Etik Jurnalistik... 40

D. Kebebasan Pers... 45

(6)

BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAJELIS

HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT

TENTANG PERKARA PIDANA PENGHINAAN OLEH PERS

A. Gambaran Kasus pada Perkara Penghinaan Oleh

Pers... 54

B. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Perkara Penghinaan Oleh Pers... 59

C. Analisis Hukum Islam pada Perkara No.1426/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst. Tentang Penghinaan Oleh Pers... 61

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan... 74

B. Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA...77

LAMPIRAN... 80

(7)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sekarang ini, masyarakat dunia hampir tidak bisa melepaskan diri dari keterikatan dan ketergantungan terhadap kebutuhan dunia pers. Keterikatan dan ketergantungan akan dunia pers juga menimpa masyarakat Indonesia. Kebutuhan dunia pers tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat akan informasi. Pada zaman sekarang ini kebutuhan informasi telah menjadi seperti kebutuhan pokok yang tak beda dengan kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan.

Adapun pers adalah wahana sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.1

Pers menjelma menjadi salah satu struktur masyarakat yang menonjol dan mempunyai ruang lingkup cakupan yang sangat luas dalam masyarakat di abad ke- 21 ini. Dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan

1 Sudirman Tebba, Hukum Media Massa Nasional, (Ciputat: Pustaka Irvan, 2007) , h. 153.

(8)

kontrol sosial. Dengan segala fungsi tersebut yang dimiliki pers, pers membawa fungsi yang sangat luas terhadap pola tingkah laku manusia, karena pers dengan keberadaaannnya dapat menjangkau seluruh kalangan masyarakat siapa pun, kapan pun dan dimana pun serta memberikan efek yang mempengaruhi masyarakat.

Efek dari pers yang mempengaruhi masyarakat dapat timbul akibat dari pengaruh yang besar dalam masyarakat. Efek pengaruh yang dihasilkan oleh pers tersebut harus disikapi secara serius terutama dampak negatif yang dapat dihasilkan dari pers yang begitu besar dalam masyarakat dapat menjadi tidak terkontrol dan dapat merugikan baik untuk pers itu sendiri maupun masyarakat luas yang dapat menimbulkan dampak negatif. Tetapi muncul Sekalipun pers memilliki aturan-aturan yang jelas yang mengatur pers, ternyata pers tidak bebas dari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum, baik hal tersebut dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, dalam arti singkat adalah pers tetap dapat melakukan tindak pidana walaupun sudah memilliki aturan-aturan hukum yang mengatur tentang pers.

Adapun pers yang mempunyai dan melaksanakan peranan sebagai berikut: 1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan;

3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;

(9)

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.2

Adapun istilah tindak pidana penghinaan sebagaimana tercantum dalam pasal 310 KUHP, dapat dikatakan sebagai suatu istilah yang umum dalam mengambarkan tindak pidana terhadap kehormatan. Tetapi bila dicermati dengan teliti dan dipandang dari sisi sasaran atau object delicti maka berdasarkan maksud dan tujuan dari pasal tersebut, yakni melindungi “kehormatan”, istilah tindak pidana terhadap kehoramatan jauh lebih tepat. Pada dasarnya penghinaan adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang, yang bukan dalam artian seksual, sehingga orang tersebut merasa dirugikan.3

Tindak pidana kehormatan ini, menurut hukum pidana terdiri dari empat bentuk, yakni 4:

1. Menista ( secara lisan ); 2. menista secara tertulis; 3. fitnah;

4. penghinaan ringan;

2 Frans Hendra Winata, “Kebebasan Pers Dalam RUU KUHP,” artikel diakses pada 25 Agustus 2007 dari http://www.duniaesai.com/hukum/hukum2.htm

(10)

Tetapi di dalam KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) dimuat juga tindak pidana lain terhadap kehormatan, yang erat terkait dengan kehormatan dan nama baik, yakni :

1. Pemberitahuan palsu; 2. Persangkaan palsu;

3. Penistaan terhadap yang meninggal;

Penghinaan merupakan pelanggaran yang menyangkut harkat dan martabat manusia, yang berupa penghinaan biasa / fitnah tuduhan melakukan suatu perbuatan tertentu. Berita penghinaan sangat besar pengaruhnya dan sangat jauh akibatnya, karena dapat mencemarkan nama baik seseorang, karirnya, juga dapat mengoncangkan masyarakat5. Di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat/49: 11, Allah berfirman :

(11)

)

أ

ا

/

49

:

11

(

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil- memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat , maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”.

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa mengolok-olok, mengejek, menghina dan merendahkan orang lain merupakan kesombongan yang tersembunyi dan harus dihindari dalam pergaulan hidup manusia. Ayat tersebut menjadi peringatan bagi orang-orang yang beriman agar tidak merasa bahwa dirinya serba lengkap, serba tinggi dan serba cukup. Padahal setiap manusia terdapat segala macam kekurangan, kealpaan dan kesalahan.

(12)

pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet ) dan unsur kesalahan (schuld ) yang memenuhi unsur tindak pidana.6

Peradilan terhadap pers selalu diartikan sebagai ancaman terhadap kebebasan pers ( freedom of the press ). Mereka menghendaki kebebasan yang sebesar-besarnya dalam melakukan tugas jurnalistik dengan tameng kebebasan pers amat penting dalam kehidupan demokrasi. Mereka menilai jika wartawan atau pers salah dalam membuat berita itu adalah sesuatu yang wajar, sehingga tidak layak wartawan atau pers yang menulisnya diseret ke Pengadilan.

Atas dasar pemikiran yang diuraikan di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji, meneliti dan menganalisa masalah ini dalam skripsi yag berjudul :

“ Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat Tentang Perkara Pidana Penghinaan oleh Pers ”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan lebih fokus dan tidak terlalu meluas, serta analisa masalahnya dapat dilakukan secara lebih mendalam, maka dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba membatasi masalah hanya pada tindak pidana penghinaan yang dilakukan oleh pers khususnya media cetak yang terjadi di wilayah yuridiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Penulis memfokuskan pada perkara No.1426/Pid.B/2OO3/PN.Jkt.Pst.

(13)

Adapun pembatasan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Apakah yang dimaksud tindak pidana penghinaan ?

2. Bagaimanakah Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada pers ?

3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam mengenai perkara pidana penghinaan yang dilakukan oleh pers?

C. Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Untuk menjelaskan tentang maksud dari penghinaan, khususnya penghinaan yang dilakukan oleh pers.

2. Untuk menjelaskan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang perkara pidana penghinaan oleh pers serta sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada pers.

3. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam tentang masalah tindak pidana penghinaan oleh pers.

Sedangkan kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Memberikan kontribusi keilmuan dalam hukum pidana Islam, mengenai tindak pidana penghinaan khususnya yang dilakukan oleh pers (media cetak). Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin canggih.

(14)

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang tindak pidana penghinaan yang akhir-akhir ini menjadi pembahasan yang aktual telah dikaji dan diteliti oleh berbagai pihak dengan tingkat akademis yang berbeda. Antara lain skripsi yang ditulis oleh M. Handrio Akbarullah, dengan judul ”Pencemaran nama baik oleh media massa ( pers ) kajian hukum pidana dan perdata”. Dalam skripsinya ia menjelaskan bahwa pencemaran nama baik bisa diperkarakan pidana maupun perdata, Dalam pemberitaan pers sudah ada aturan mainnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) dan ditambah UU No. 40 Tahun 1990. Maksud dari ketentuan ini agar tidak terjadi pelanggaran pencemaran nama dan kebebasan pers yang kebablasan di sengaja itu, terdapat ketentuan hukuman pidana yang oleh kebanyakan wartawan ditolak dengan alasan bisa memasung kebebasan pers itu menjadi rambu-rambu agar pers lebih arif dan seimbang dalam merumuskan sebuah berita.

(15)

Buku lainnya yang membahasa masalah ini yaitu karya Bambang Sadono yang berjudul Penyelesaian Delik Pers Secara Politis. Di dalamnya ia membahas tentang banyak kasus yang memenuhi kualifikasi delik pers, namun diselesaikan di luar sistem pidana dan menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana ternyata bukan satu-satunya cara yang dipilih pemerintah untuk penyelesaian delik pers. Dalam penelitiannya ia membuktikan bahwa walaupun kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan delik pers secara politis dapat dimengerti, dari segi konsistensi yuridis mengandung kelemahan.Sementara ada juga keinginan tertentu tetap memanfaatkan sistem peradilan pidana untuk menyelesaikan delik pers.

Adapun karya yang lain ditulis oleh Oemar Seno Adji yang berjudul Perkembangan Delik Pers Di Indonesia yang menjelaskan tentang kwalifikasi delik pers, penyelesaiannya dan bahwa pertanggungjawaban ( pidana) atas suatu tulisan, dalam kehidupan pers, dikenal dua sistem berturut-turut. Dimana dalam sistem hukum pidana pertanggungjawaban pidana didasarkan atas ajaran penyertaan dan ajaran kesalahan.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Adapun metode penelitian skripsi ini,adalah : 1. Jenis Penelitian

(16)

norma-norma dalam hukum positif.7 Dan pembahasannya bersifat deskriptif-analitis, yaitu dengan menganalisa gejala-gejala yang ada, sehingga dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori baru.

2. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini dibagi ke dalam tiga kategori yang berbeda, yaitu :

a. Sumber Data primer yaitu peraturan perundang-undangan yang dijadikan acuan seperti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Undang-Undang No. 40 Tentang Pers dan Undang-Undang No.21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UU. No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.

b. Sumber data sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer seperti buku-buku, majalah, artikel-artikel baik dari media cetak maupun elektronik , hasil-hasil penelitian dan pendapat para pakar hukum yang berkaitan dengan masalah ini.

7

(17)

c. Sumber data tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap sumber data primer dan sekunder seperti kamus ( hukum ) dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumenter yaitu proses pengumpulan data yang dilakukan melalui penggunaan bahan dokumen yang diperlukan dalam hal ini Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang perkara pidana penghinaan oleh pers, dan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menjadi rujukan utama dan buku-buku atau literatur-literatur lain yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Qualitative Content Analysis yaitu pengolahan data sesuai dengan menganalisa materi yang sesuai dengan pembahasan.

Sedangkan Teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman dan merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

F. Sistematika penulisan

(18)

memberikan gambaran umum pada bab per bab yang akan dibahas, adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Bab 1 : Pendahuluan, Dalan bab ini berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II : Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam bab ini berisi uraian tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Bab III : Yaitu menjelaskan tentang hubungan antara penghinaan dan pers, yang meliputi pengertian tentang penghinaan, bentuk-bentuk penghinaan, kode etik jurnalistik dan kebebasan pers. Bab IV : Bab ini merupakan bab yang menjadi pembahasan pokok. Pada

bab ini menjelaskan tentang gambaran kasus pada perkara penghinaan oleh pers, Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada perkara penghinaan oleh pers dan Analisis hukum Islam pada Perkara No.1426/Pid.B/2003/pn.Jkt.Pst.) Tentang Penghinaan oleh pers.

(19)

BAB II

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

A. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan peerundang-undangan. Dalam tulisan para pakar hukum, adakalanya digunakan istilah delik untuk pengertian tindak pidana. Istilah delik berasal dari kata delict dalam bahasa Belanda. Sementara itu ada pula yang menggunakan istilah perbuatan pidana untuk tindak pidana. Istilah perbuatan pidana diambil dari frasa Criminal Act dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Belanda selain digunakan istilah delict juga straafbaar feit. Sementara itu, istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Act.1

Straafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straaf, baar dan feit. Secara literlijk kata ”straaf artinya pidana, ”baar” artinya dapat atau boleh dan ”feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah straafbaar feit secara utuh, ternyata straaf diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straaf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.2

1 Sutan Remi Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Koorporasi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Pers, 2006), h.25

2

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), h.69.

(20)

Untuk kata ”baar” ada dua istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat. Sedangkan kata ”feit” digunakan empat istilah yakni tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Adapun mengenai istilah straafbaar feit ini, para sarjana hukum telah merumuskan suatu teori yang berbeda, antara lain :

1. Menurut Simons, seorang ahli hukum pidana Belanda, tindak pidana (delict) adalah kelakuan, perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan, dilakukan oleh orang yang bertanggungjawab.

2. Menurut Profesor Pompe, staraafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpelihara tertib umum dan kepentingan hukum.3

3. Menurut R. Soesilo mendefinisikan bahwa tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan Undang-Undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana

4. Menurut Bambang Poernomo, bahwa istilah straafbaar feit dibedakan pengertiannya menjadi dua, yaitu :

3

(21)

a. Pengertian menurut teori, bahwa yang dimaksud dengan straafbaar feit yaitu suatu pelanggaran terhadap norma atau aturan yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar, diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. b. Pengertian menurut hukum positif, bahwa yang dimaksud dengan

straafbaar feit yaitu suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana yang merupakan perilaku melanggar ketentuan pidana, yang berlaku ketika perilaku itu dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni : (1) sudut pandang teoritis; dan (2) sudut pandang Undang-Undang.4 Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

1. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi :

4

(22)

a. Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana adalah : 1) Perbuatan;

2) Yang dilarang;

3) Ancaman pidana ( bagi yang melanggar larangan ). b. Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur, yakni :

1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan;

2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3) Diadakan tindakan penghukuman;5

c. Menurut Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

1) Perbuatan (yang);

2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan); 3) Kesalahan ( yang dilakukan oleh orang yang dapat ); 4) Dipertanggungjawabkan.

Walaupun rincian dari rumusan di atas tampak berbeda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsurnya mengenai perbuatan dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

2. Unsur Rumusan Tindak Pidana dalam Undang-Undang

Adapun rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang , yaitu : a. Unsur tingkah laku;

b. Unsur melawan hukum;

5

(23)

c. Unsur akibat konstitutif;

d. Unsur keadaan yang menyertai;

e. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di tuntut pidana; f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Dari delapan unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan melawan hukum adalah termasuk unsur subyektif. Sedangkan selebihya adalah beberapa unsur obyektif.

Adapun unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia atau si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek tindak pidana. Misalnya melawan hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (pasal 362) adalah terletak bahwa dalam mengambil itu diluar persetujuan atau kehendak pemilik.

(24)

hal itu dilarang dan termasuk rumusan pencurian.6 Begitu juga unsur memiliki dalam penggelapan pasal 372 KUHP, bahwa terdapatnya kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu adalah merupakan celaan masyarakat.7

Kemudian yang dijadikan sebagai titik utama dari unsur obyektif adalah tindakannya. Sedangkan unsur subyektif adalah pelakunya, baik seseorang ataupun beberapa orang. Dari kedua unsur tersebut dapat diketahui apabila seseorang telah memenuhi syarat melakukan tindak pidana atau belum. Adapun syarat-syarat tindak pidana adalah :

1. Harus ada perbuatan;

2. Perbuatan tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam ketentuan umum;

3. Adanya bukti tentang kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan; 4. Harus tersedianya ancaman hukuman.

Menurut Apeldoorn, elemen atau unsur delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum (onrechttinating/wedrrechttelijk) dan elemen subyektif yang berupa adanya seseorang pembuat ( dader ) yang mampu bertanggungjawab atau dipersalahkan

6

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Rineka Cipta), h.62.

7

(25)

( toerekeningsyat baarheid ) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum.8

Jadi, unsur-unsur tindak pidana dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut Undang-Undang dan dari sudut para teoritisi yang mempunyai unsur yang berbeda-beda. Sedangkan menurut undang-undang yaitu terdiri dari delapan unsur.dan dari delapan unsur tersebut terbagi ke dalam unsur subyektif yang mengenai pelakunya atau keadaan batin seseorang. Sedangkan unsur obyektif yaitu unsur mengenai tindakannya yang bertentangan dengan hukum

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) terbagi atas kejahatan ( misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolonggan ini pertama-tama terlihat dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari tiga buku. Buku I memuat ketentuan-ketentuan umum (algcemen teerstukken). Buku II memuat penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk golongan ”Kejahatan” atau ”Misdrijven”. Buku II memuat penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk golongan ”Pelanggaran” atau ”Overtredingen”.9

8

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1978), Cet.Ke-1., h. 338-339.

9

(26)

Misdriif atau kejahatan berarti tidak lain daripada ”perbuatan melanggar hukum ”. Overtredingen atau pelanggaran berarti suatu perbuatan yang melanggar sesuatu, dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada ”perbuatan melanggar hukum”.10

Sedangkan Pipin Syarifin mengemukakan bahwa kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-Undang sebagai perbuatan pidana, tetapi dapat dirasakan sebagai suatu yang bertentangan dengan tata hukum yang dapat diketahui setelah adanya Wet yang menentukan dilarangnya suatu perbuatan.11

Namun ada pula yang berpendapat bahwa perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran terletak pada berat atau ringannya suatu tindak pidana seperti tindak kejahatan, misalnya pemerasan ( pasal 368 KUHP ) dan tindak pelanggaran seperti kenakalan ( pasal 489 KUHP ) dan mengganggu kesejahteraan di malam hari ( pasal 503 KUHP ). Hal tersebut secara spesifik dapat di lihat dari aturan pidana yang terdapat dalam KUHP sebagai berikut : 1. Pidana penjara hanya diancamkan pada tindak pidana kejahatan saja;

2. Mengenai bentuk kesalahan ( beberapa kesengajaan atau kealpaan ), tindak kejahatan harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan pelanggaran tidak harus dibuktikan;

3. Percobaan dan pembantuan pada pelanggaran tidak dapat dipidana;

4. Masa daluwarsa pada pelanggaran lebih pendek daripada masa daluwarsa pada kejahatan;

10

Ibid., h.31.

11

(27)

5. Perbarengan atau concursus pemidanaan pada pelanggaran lebih mudah daripada kejahatan.12

Perbuatan-perbuatan pidana selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain : 1. Delik Dolus dan Delik Culpa

Tindak pidana sengaja ( doleus delicten )adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.13 Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan; misalnya pasal 338 KUHP; dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”. Sedangkan tindak pidana culpa ( culpose delicten ) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa, dan unsur kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan. Misalnya menurut pasal 359 KUHP ”dapat dipidanannya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya”.

2. Delik Commissionis dan Delikta Ommissionis

Tindak pidana aktif ( delicta commissionis ) adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif ( positif ). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan anggota tubuh orang yang berbuat, dan perbuatannya tersebut yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal

12

Ibid., h.95.

13

(28)

362 KUHP), menggelapkan (pasal 372 KUHP), dan menipu (pasal 378 KUHP).

Tindak pidana pasif (delicta ommissionis) adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya delik dirumuskan dalam pasal 164; mengetahui sesuatu pemufakatan jahat (samenspanning)untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu. Pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena.14

3. Delik biasa dan Delik yang dikualifisir

Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Adakalanya unsur-unsur lain yaitu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa, adakalanya obyek yang khas, adakalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa tadi. Contoh pasal 362 KUHP adalah pencurian biasa, dan pasal 363 adalah pencurian yang dikualifisir, yaitu karena cara melakukannya di waktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena obyeknya adalah hewan. Pasal 351 adalah penganiayaan yang dikualifisir, karena mungkin caranya, obyeknya maupun akibatnya adalah lebih khusus daripada dalam penganiayaan biasa.15

14

Ibid., h.126.

15

(29)

4. Delik seketika dan Delik yang berlangsung terus menerus

Delik seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja. Misalnya pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya selesai, maka tindak pidana itu selesai secara sempurna.16

Delik yang berlangsung terus menerus adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus. Tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang. Seperti pasal 333 perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama, bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan.

5. Delik Formal dan Delik materiil

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dimaksudkan dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu. Jadi, semata-mata hanya pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (362) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil.

Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan pidana dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu. Tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu. Misalnya

16

(30)

pembunuhan yang dalam pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan matinya oranglain, tanpa disebutkan wujud dari perbuatan itu.

6. Delik biasa dan Delik Aduan

Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak.

Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan, yakni korban atau wakilnya. Tindak pidana aduan ada dua macam, yaitu (1) tindak pidana aduan mutlak yaitu tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan itu harus ada. Misalnya pencemaran nama pasal (310) dan fitnah (311).dan (2) tindak pidana aduan relatif adalah sebaliknya, hanya dalam keadaan tertentu atau jika memenuhi syarat atau unsur-unsur tertentu saja tindak pidana itu menjadi aduan, misalnya pencurian dalam keluarga pasal (376 ayat 2 jo 362-365) atau penggelapan dalam keluarga pasal (376 jo 367).

7. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus

(31)

D. Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana tersebut sebagai Toerekenbaarheid, Criminal responsibility, Criminal Liability. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana atau Crime yang terjadi atau tidak.17

Menurut Van Hamel, sebagaimana yang dikutip oleh Martiman, pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tentang macam kemampuan untuk dipahami arti dan akibat perbuatannya sendiri. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat menentukan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu.18

Sedangkan menurut Satochid Kartanegara, pertanggungjawaban pidana adalah merupakan kelanjutan dari perbuatan pidana yang merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Ia juga berpendapat bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya atas perbuatannya jika :

17

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem Pathaem, 1996), h. 245.

18

Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,

(32)

1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, juga akan mengerti akan akibatnya.

2. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menekan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.

3. Orang itu harus sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat maupun tata susila.19

Dari tiga hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang mampu bertanggungjawab atau tidak pada dua faktor. Pertama, faktor akal, yaitu seseorang dengan akalnya dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kedua, faktor kehendak, yaitu seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan, mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, “Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”.20 Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama tergantung dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan

19

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah I, h. 224

20

(33)

terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya. Dengan demikian, tidak mungkin seorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana seorang dapat dimintai pertanggungjawaban.21

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak. Jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang dapat dipertanggung-jawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan-tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tiadak ada sifat peniadaan melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang ”mampu bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawab (pidana) kan. Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvaatbaar), bilamana pada umumnya :

1. Keadaan jiwanya :

21

(34)

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);

b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya); c. Tidak terganggu karena terkejut, seperti hypnotisme, amarah yang

meluap, pengaruh bawah sadar, menindur, menggigau karena demam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. 2. Kemampuan jiwanya :

a. Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya;

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;

c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.22

Dalam hukum pidana untuk dapat dimintakannya pertanggungjawaban pidana atas tindakan yang dilakukannya, harus disandarkan pada kemampuan bertanggungjawab. Karena pada dasarnya hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab sajalah yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya. Doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa dalam pertanggungjawaban pidana ini kemampuan tidak didasarkan pada keadaan dan kemampuan berfikir seseorang, melainkan didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa orang tersebut.

Penentuan kemampuan bertanggungjawab pidana ini lebih ditujukan pada subyek tindak pidana yang harus sesuai dengan ketentuan undang-undang sebagai salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemidanaan terhadap pelaku selain memperhatikan adanya unsur kesalahan pada pelaku tindakan pelaku tersebut bersifat melawan hukum (baik secara formil maupun materiil)

22

(35)

dan dilakukan sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan lain yang ditentukan dalam undang-undang.

Pasal 44 KUHP mengatur bahwa seseorang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya karena keadaan jiwanya yang cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit tidak dipidana.23

Sementara Ruslan Saleh mengemukakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi tiga unsur, yaitu :

1. Dapat menginsyafi makna dari perbuatannya;

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Seseorang yang dianggap memiliki keadaan jiwa yang cacat pertumbuhannya apabila orang tersebut meski sudah dewasa namun masih berkelakuan seperti anak-anak. Hal ini diakibatkan oleh lambatnya pertumbuhan jiwa orang tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit adalah kondisi jiwa seseorang yang semula sehat atau baik-baik saja namun kemudian dihinggapi penyakit kejiwaan tertentu. Kondisi lazim ini disebut ”gila” (pathologische ziektetoestand).

Dalam KUHP sebenarnya tidak diberikan batasan-batasan yang jelas, namun dalam pasal 44 KUHP digambarkan bahwa keadaan pelaku atau

23

(36)

seseorang yang tidak mampu bertanggungjawab itu disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

1. Kurang sempurna akalnya

Kurang sempurna akal ini dapat dijelaskan sebagai jiwa yang pertumbuhannya terlambat atau terbelakang atau dapat pula kurang sempurna kecerdasan otaknya. Orang semacam ini bila dilihat keadaan fisiknya sebenarnya tidak sakit, tetapi keadaan jiwa masih seperti anak-anak. Hal itu disebabkan oleh pikirannya yang tidak dapat berkembang maju sehingga tidak mempunyai pikiran yang normal untuk dapat membedakan baik dan buruknya suatu perbuatan. Biasanya orang demikian dalam keadaan sehari-hari disebut idiot. Keadaan seperti ini juga terkadang keadaan yang sejak lahir :

a. Pembelaan diri;

b. Menjalankan ketentuan undang-undang; c. Menjalankan perintah jabatan;

d. Pengajaran dan pengobatan. 2. Sakit berubah akal atau ingatan

(37)

Adapun dalam teori hukum pidana, terdapat alasan-alasan yang menghapuskan hukuman, yaitu :

1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan hukuman, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan pembenar disebut juga ”fait D’justificatif” yang bertalian dengan perbuatan itu sendiri karena adanya suatu sifat pada perbuatannya, sehingga perbuatan itu tidak dilarang.

2. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana karena tidak ada kesalahan. Alasan pembenar disebut juga ”fait D’execuse” atau hal yang dimaafkan karena si pelaku oleh undang-undang hukum pidana :

a. Belum dewasa; b. Daya paksa;

(38)

BAB III

PENGHINAAN DAN KEBEBASAN PERS

A. Pengertian Penghinaan

Pada dasarnya penghinaan adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang, yang bukan dalam arti seksual, sehingga orang itu merasa dirugikan. Kejahatan yang berkaitan dengan bidang seksual tidak termasuk dalam bidang penghinaan disini, melainkan termasuk dalam ruang lingkup kejahatan kesusilaan atau kejahatan terhadap kesopanan yang telah diatur dalam pasal-pasal yaitu pasal-pasal 281 sampai 303 KUHP.1

Penghinaan berasal dari kata benda dengan perubahan kata kerja penghina yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, penghinaan asal kata dari kata hina yang berarti rendah kedudukannya (pangkat martabat) keji, tercela, tidak baik (perbuatan atau kelakuan).2

Penghinaan merupakan sebuah proses, perbuatan atau cara menghina atau menista baik dilakukan secara lisan maupun tulisan. Sedangkan, menghina adalah (1) merendahkan, memandang rendah, (2) memburukkan nama seseorang, menyinggung perasaan orang lain (seperti) mencaci maki.

1

Wina Armada S.A, Wajah Hukum Pidana Pers, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989), h. 53.

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 322.

(39)

Menurut R. Soesilo bahwa tindak kejahatan menghina adalah menyerang seseorang dan nama baik seseorang. Akibatnya, yang diserang merasa malu. kehormatan yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang ”nama baik”, bukan kehormatan dalam lingkup seksual atau kehormatan yang dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.3

Salah satu kunci penghinaan adalah mencemarkan nama baik. Mencemarkan mempunyai arti merusak, menodai, membuat kotor dan buruk pada suatu nama baik (reputation) seseorang atau kelompok orang dengan cara-cara yang tidak baik seperti menyebarluaskan pernyataan yang tidak berdasarkan fakta.

Definisi lain menegnai perbuatan penghinaan adalah pencemaran nama baik. Diberikan oleh The Reports Committee On Freedom Of The Press : ”Penghinaan terjadi apabila suatu pernyataan tidak didasarkan fakta dan bernada nista mengenai seseorang yang teridentifikasi dipublikasikan kepada pihak ketiga, sehingga menimbulkan kerugian terhadap reputasinya.

Di Amerika dan Inggris dikenal dengan istilah ”Defarmation” (dari kata kerja to defame = menghina, menista). To Defame bisa diartikan (merusak atau menodai reputasi seseorang atau sekelompok orang dengan cara-cara yang tidak

3

(40)

fair seperti pernyataan yang tidak berdasarkan fakta (dalam perbuatan defarmation, suatu pernyataan dimasalahkan karena pernyataan itu telah mengakibatkan tercemarnya atau ternodanya nama baik seseorang.4

Dengan demikian, penghinaan adalah suatu perbuatan yang menyerang kehormatan seseorang yang mengakibatkan rusaknya nama baik atau reputasi seseorang, yang penghinaan tersebut tidak berdasarkan fakta disebarkan kepada khalayak ramai dan telah menimbulkan kerugian bagi pihak yang dihina. Dan kehormatan yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang ”nama baik” bukan dalam arti seksual.

B. Bentuk-Bentuk Penghinaan

Pada sasat awal KUHP disusun, istilah pencemaran nama atau mencemarkan nama baik belum dikenal. Istilah pencemaran nama atau menyerang kehormatan orang lain baru muncul sekitar pertengahan tahun 70-an. Delik penghinaan secara khusus diatur dalam bab XVI KUHP yang terdiri atas 12 pasal, yakni pasal 310 sampai pasal 321, penghinaan adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang, yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan.

Dalam hal obyek atau sasaran penghinaan yaitu : 1. Penghinaan terhadap pribadi seseorang

Contohnya si A menuduh si B telah mencuri uang dari tas si A.

4

(41)

2. Penghinaan terhadap institusi atau lembaga

Misalnya disebuah koran menulis dalam artikelnya : ”Semua pembesar polisi-polisi di Indonesia ini koruptor”.

3. Penghinaan suatu agama

Misalnya menghina suatu benda yang dipergunakan untuk mengerjakan ibadah (kebaktian) yang mana benda tersebut betul-betul sedang digunakan ibadah ditempat ibadah.

4. Penghinaan para pejabat, meliputi pegawai negeri pada waktu menjalankan pekerjaannya yang sah.

Misalnya agen polisi sedang meronda, jaga dan sebagainya. 5. Penghinaan kekuasaan yang ada di Indonesia

Misalnya pembesar-pembesar di Indonesia ini korup seperti orang yang tidak beragama.

6. Penghinaan terhadap orang yang meninggal.5

Adapun cara melakukan penghinaan, terdapat beberapa pembagian, yaitu : 1. Menurut Ilmu Pengetahuan

a. Secara formil yaitu penghinaan yang dilakukan dengan tegas dan langsung pada sasaran.

b. Secara materiil yaitu penghinaan yang dilakukan tidak secara terang-terangan, samar-samar dan tidak begitu kentara namun ”nyelekit” 2. Pembagian menurut KUHP

a. Secara lisan yaitu penghinaan yang diucapkan atau dilakukan dengan oral.

b. Secara tertulis yaitu penghinaan yang dilakukan melalui tulisan (barang cetakan).6

Tidak semua pembagian penghinaan sebagaimana diuraikan itu berhubungan dengan pers. Memang terhadap objek atau sasaran penghinaan, pers dapat melakukan kepada semuanya. Begitu pula dalam cara penghinaan, jika memakai pembagian dari sudut ilmu pengetahuan, kedua cara penghinaan dapat dilakukan pers. Namun sebaliknya, andaikata dilihat dari sudut

5

Oemar Seno Adji, Aspek-Aspek Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1997), Cet.Ke-3, h.297.

6

(42)

pembagian KUHP, pers hanya berkaitan dengan cara tertulis, dan tentang bentuk penghinaan yang terdapat dalam KUHP juga tidak seluruhnya berhubungan dengan pers. Cuma tiga bentuk yang berkaitan dengan pers, yaitu pencemaran tertulis, penghinaan ringan dan fitnah.

Mengenai pembagian tindak pidana terhadap kehormatan dan nama baik, Leden Marpaung membagi ke dalam 7 (tujuh) bagian, yaitu :

1. Menista;

2. Menista secara tertulis; 3. Fitnah;

4. Penghinaan ringan; 5. Pemberitahuan fitnah; 6. Persangkaan palsu;

7. Penistaan terhadap orang yang meninggal.7

Sedangkan R. Soesilo membagi kejahatan penghinaan kedalam enam kategori, yaitu :

1. Menista (pasal 310) :

a. Barangsiapa dengan sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-

2. Menista dengan tulisan (pasal 310) :

7

(43)

a. Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-

b. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri (KUHPH 134s, 142s, 207, 311s, 319s, 483, 448).

3. Memfitnah (pasal 311) :

a. Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ini diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak tersebut pasal 35 No. 1-3 (KUHP 312s, 316s, 319, 488)

4. Penghinaan ringan (pasal 315) :

(44)

dikirim atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.500,- (KUHP 134s, 142s, 312, 316, 319, 488).

5. Mengadu dengan memfitnah

a. Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar Negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35, No. 1-3 (KUHP 72, 220, 310, 488)

6. Menyuruh dengan memfitnah (pasal 318) :

a. Barangsiapa denagn sengaja melakukan sesuatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamnya empat tahun.

b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut pada pasal 35 No. 1-3 (KUHP 319, 488).8

8

(45)

Adapun KUHP tidak menentukan perbuatan apa yang bisa dikualifisir ”fitnah” atau ”nista”. Menurut R. Soesilo, perbuatan yang dituduhkan, tidak harus perbuatan yang bisa dihukum seperti mencuri, menggelapkan uang, berzinah, dan sebagainya. Akan tetapi cukup perbuatan biasa yang dianggap memalukan misalnya, menuduh seseorang berkunjung ke tempat prostitusi, berkunjung ke tempat pelacuran, sebetulnya, bukanlah perbuatan yang dapat dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi seseorang bila diumumkan kepada publik. Tuduhan di atas harus dilakukan dengan lisan. Apabila dilakukan secara tertulis atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan ”menista dengan surat” dan dikenakan pasal 310 ayat (2).

Pasal 310 ayat (2) mengatur tentang ketentuan delik penghinaan dengan pers (press libel). Istilah ”disiarkan” dalam konteks reformasi, jelas termasuk juga publikasi yang dilakukan oleh media massa, terutama surat kabar, radio, dan televisi. Namun, ketentuan dalam ayat (3) menyatakan perbuatan sebagaimana diatur di dalam ayat (1) dan (2) tidak termsuk dalam tindak pidana menghina, apabila tuduhan itu dilakukan untuk ”membela kepentingan umum” atau terpaksa untuk ”membela diri”.

(46)

Sedangkan dalam delik menista, unsur kesengajaan tidak ada atau tidak perlu dibuktikan. Oleh sebab itu, sanksi hukum atas perbuatan memfitnah jauh lebih berat. Tindak kejahatan memfitnah dikenakan sanksi hukuman setinggi-tingginya empat tahun, sedang sanksi hukum atas kejahatan menista maksimal hanya penjara sembilan bulan. Dengan demikian, bobot kesalahan perbuatan menghina jauh lebih besar daripada menista.

C. Kode Etik Jurnalistik

Di Indonesia pada dasarnya terdapat suatu badan yang berfungsi melakukan kontrol kualitas terhadap pemberitaan media massa selain Undang-undang Pokok Pers. Badan ini adalah kode etik jurnalistik. Yang dimaksud denagn kode etik sendiri adalah daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan melekatnya dalam mempraktekannya. Dengan kata lain, kode etik merupakan tuntunan, bimbingan, atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan melekatnya dalam mempraktekannya.

(47)

sekaligus memelihara harkat dan martabat pers. Dapat dikatakan, kepatuhan terhadap kode etik menjadi salah satu ukuran kedewasaan seorang jurnalis.9

Pemberitaan pers berarti berbicara jurnalistik, guna memahami kegiatan jurnalistik lebih jauh, sebaiknya dipahami lebih dahulu dasar-dasar itu. Kata jurnalistik dalam bahasa Indonesia dikenal pada-nya ”kewartawanan” demikian juga dalam Undang-Undang Pokok Pers Indonesia. Dikenal dengan istilah kewartawanan.

Kewartawanan adalah kegiatan usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan, dan penyiaran berita dalam bentuk berita, pendapat ulasan, gambar dan sebagainya dalam bidang komunikasi massa. Sedangkan wartawan maksudnya adalah orang yang melakukan pekerjaan kewartawanan.

Pemberitaan pers terkadang kehilangan idelismenya, kondisi ini disebabkan oleh krisis manajemen pers dan profit oriented pers yang membuat pers menomor duakan misi edukatifnya.

Bisnis pers berorientasi ekonomi itu, mendorong media massa untuk lebih memprioritaskan kepentingan non pers, di atas kepentingan pers yang sesungguhnya. Akibatnya, idelisme pers yang dikehendaki publik media, menjadi semakin ”jauh asap dari media”. Ini antara lain disebabkan oleh solidnya berbagai kepentingan politik pemerintah atas kepentingan ekonomi

9

(48)

pemilik modal serta pengelola media massa, mudah sekali mengorbankan obyektifitas sajian pers.10

Dalam kasus berita ”Ada Tomy Di Tenabang ?” penggugat Tomy Winata mengaku bahwa akibat pemberitaan di Koran Tempo, ia merasa ketakutan, khawatir akan menjadi sasaran amarah para pedagang pasar Tanah Abang. Artinya, berita itu, menurut Tomy, dapat menimbulkan kebencian dikalangan pedagang yang menjadi korban kebakaran karena adanya persepsi yang ditimbulkan oleh pemberitaan Koran Tempo bahwa lahan dagang mereka telah ”dibakar” oleh orang-orang Tomy. Tomy juga mengaku menderita kerugian bisnis yang tidak kecil nilainya, sebab gara-gara berita tersebut, banyak mitra bisnisnya dari Taiwan yang mengurungkan niatnya untuk menjalin kerjasama dengan pihaknya. Dalam kasus Akbar Tanjung melawan rakyat merdeka, Akbar merasa terhina oleh karikatur yang dibuat dan dipubllikasikan oleh Rakyat Merdeka. Dalam kasus Rini Soewandi melawan Rakyat Merdeka, Rini merasa martabatnya sebagai pejabat pemerintah tercoreng karena dituding menonton pertunjukan tari telanjang di Moskow, suatu perbuatan yang secara moral bisa diartikan buruk oleh orang banyak.

Dengan dalih kebebasan pers wartawan dengan sendirinya tidak mungkin dibiarkan oleh hukum dan undang-undang seenaknya atau menyiarkan tulisannya yang bersifat menghina dan fitnah atau pun mencemarkan nama baik

10

(49)

seseorang. Sekalipun demikian wartawan Indonesia bukan berarti hanya menulis atau menyiarkan tulisan-tulisan yang bersifat asal bapak senang (ABS). Oleh sebab itu maka kode etik jurnalistik disusun untuk ditaati dan dilaksanakan oleh wartawan Indonesia.

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan komunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, bertanggungjawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman opersional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik, yaitu :

(50)

2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik;

3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah;

4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul; 5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban

kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan;

6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap;

7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai embargo, informasi latar belakang, dan ”off the record” sesuai dengan kesepakatan;

8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani;

9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik;

10.Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar atau pemirsa.

11.Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara profesional.11

Dengan demikian kode etik jurnalistik merupakan suatu pedoman bagi pers dalam mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Adapun kode etik merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pers kepada masyarakat dan dapat menjaga kepercayaan masyarakat. Kode etik jurnalistik disusun untuk mencegah disalahgunakan pers sebagai media penghinaan, fitnah dan penghasutan.

11

(51)

D. Kebebasan Pers

Sejak berdiri Negara Proklamasi Republik Indonesia yang berkonstitusi dan berpancasila, maka Negara hukum Indonesia sejak semula telah mengenal dan mengakui adanya kemerdekaan (ini adalah istilah yang dipakai dalam UUD 1945 pasal 26) untuk menyatakan pikiran dengan lisan dan tulisan yang tidak lain dan tidak bukan adalah kemerdekaan pers.12

Dalam beberapa literatur hukum Indonesia, diakui dua padanan kata yang mempunyai arti yang sama, yaitu istilah kemerdekaan pers dan kebebasan pers. Demikian halnya dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Oemar Seno Adji dalam buku karangannya yang berjudul ”Pers Aspek-Aspek Hukum dan Media Massa dan Hukum” sebagian besar menggunakan istilah ”Kemerdekaan Pers”. Sedangkan J.C.T. Simorangkir dalam bukunya ”Hukum dan Kebebasan Pers” cenderung menggunakan istilah ”Kebebasan Pers”.13

Adapun istilah bebas atau merdeka, kebebasan atau kemerdekaan maka berikut bahan kutipan dari Kamus Umum Bahasa Indonesia sususnan W.J.S. Poerwadarminta, yaitu :

1. Bebas adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, tergantung dan sebagainya sehingga boleh bergerak, bercakap, berbuat dan sebagainya. Dengan leluasa); misalnya, tiap-tiap anggota bebas untuk melahirkan pendapatnya.

12

J.C.T. Simorangkir, Hukum dan Kebebasan Pers, (Bandung: Angkasa, 1980), Cet.Ke-1, h.51.

13

(52)

2. Lepas dari (kewajiban, tuntutan, ketakutan dan sebagainya); tidak dikenakan (pajak, hukuman dan sebagainya); tidak terikat atau terbatas; misalnya :bebas dari bea; bebas dari perasaan takut dan khawatir; bebas dari kewajiban membayar ganti rugi; penjualan bebas, penjualan yang tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dan sebagainya (semua orang boleh membeli) pasar bebas, pasar umum (dalam arti jual beli yang tidak terbatas atau terikat).

3. Merdeka (tidak diperintah atau sangat mempengaruhi Negara lain); misalnya : sehabis perang dunia kedua banyak negeri-negeri yang bebas; politik bebas, politik luar negeri yang tidak terpengaruhi oleh kekuasaan asing.

4. Merdeka diartikan bebas (dari hambatan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak tergantung pada suatu yang lain); lepas (dari bantuan); Bangsa (Negara dan sebagainya) merdeka tidak dijajah, orang merdeka, bukan hamba tebusan, majalah merdeka, dengan leluasa merdeka, merdeka sama sekali (boleh berbuat sekehendak hatinya).14

Memperhatikan kutipan arti kedua istilah kebebasan tampaknya lebih sesuai untuk digunakan sebagai istilah dalam kehidupan pers. Karena istilah kemerdekaan lebih sesuai dipakai dalam kehidupan ketatanegaraan.

Kebebasan pers dalam Convention On Freedom Of Information selalu dikatakan bahwa ia membawa kewajiban dan tanggung jawab (Carries With Duties And Responsibilities). Hal demikian diakui oleh TAP MPRS No.XXXII/MPRS/1966 tentang pembinaan pers yang dalam konsideransnya diakui, bahwa mengeluarkan pendapat dan pikiran melalui media massa pers adalah hak asasi tiap-tiap warga Negara.15

14

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.103.

15

(53)

Kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu hak manusia untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Istilah kebebasan pers sebenarnya nama generik untuk seluruh hak bersifat asasi warga masyarakat. Berupa hak untuk memproleh informasi (Right to Know) yang diperlukan dalam membentuk dan membangun secara bebas pemikiran dan pendapatnya disatu pihak. Dan hak untuk menyatakan pikiran dan pendapat dipihak lain (Right to Speech). Makna ini berkaitan dengan tersedianya informasi secara bebas, baik informasi sosial maupun estetis di tengah masyarakat.16

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yang diatur dalam pasal 28 UUD 1945. pasal ini menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Oleh karena itu Negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berfikir adalah merupakan bagian dari perwujudan Negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.

Hukum dan kebebasan pers tidak bisa dilepaskan dari masyarakat. Dimana hukum dan pers itu berada karena pers adalah bagian dari sistem sosial dimana

16

(54)

pers itu berbeda. Oleh karena itu mengenai kebebasan pers tergantung kepada sistem pers yang digunakan. Untuk menentukan sistem pers yang digunakan terdapat suatu cara yaitu dengan melihat hubungan antara pers dan pemerintah.

Berdasarkan hal itu keputusan dewan pers No. 79/XIV/1974 intinya mengemukakan bahwa kebebasan pers Indonesia berlandaskan :

1. Segi Idiil : Pancasila

2. Konstitusional : UUD 1945 dan TAP MPR

3. Strategi : Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 4. Yuridis : Undang-Undang Pers

5. Kemasyarakatan : Tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia.

6. Etis : Kode Etik Profesional17

Kebebasan pers di Indonesia adalah kebebasan yang bertanggungjawab yang berdasarkan pada nilai-nilai pancasila. Contohnya setiap pemberitaan tidak boleh menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan masyarakat dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.

Secara universal, pers diakui memainkan peranan penting dalam proses demokrasi. Dalam kancah politik, pers kerap berfungsi sebagai filter komunikasi politik antar elit politik dan rakyat atau sebaliknya. Sebab jarang sekali pemimpin Negara berbicara langsung kepada rakyat. Pers menjadi

17

(55)

wahana penting untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.18 Kebebasan pers perlu diwujudkan agar pers bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Dengan terjamin kebebasan pers, roda lambang demokrasi yang selama ini kurang berfungsi akan digerakkan kembali.

Dalam menjalankan fungsinya, pers harus menghormati hak asasi setiap orang. Karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka. Dikontrol oleh masyarakat , Roeslan Abdul Gani menyatakan bahwa ”Dalam mengemukakan kritik, titik pangkalnya ialah bukan kritik untuk mengkritik”, melainkan kritik tersebut harus dapat memberikan alternatif dan menunjukkan jalan keluar.19

Pernyataan yang mengandung kritik tidak boleh dituangkan dalam bentuk, sehingga ia merupakan Formele Beledeging yaitu suatu penghinaan dimana yang ditonjolkan bukan apa (isi-nya, pernyataan demikian mungkin merupakan penghinaan materiil), melainkan bagaimana pernyataan itu dikemukakan. Oleh karena itu bentuk atau cara pernyataan itu dikemukakan adalah sangat menentukan untuk mengkualifisir suatu pernyataan sebagai penghinaan.20

Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya

18

Lesmana, Pencemaran Nama baik dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, h.100.

19

Oemar Seno Adji, Mass Media Dan Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1977), Cet.Ke-2, h.81.

20

(56)

bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan bertanggungjawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan peranan pers nasional. Sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pers, yaitu :

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan;

3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;

4. Melakukan pengawasan kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.21

Agar pers berfungsi sebagaimana mestinya dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Salah satu syarat penting itu ialah dalam menjalankan tugasnya pers mutlak membutuhkan kebebasan, seperti diutarakan oleh Mochtar Lubis ”Kemerdekaan pers merupakan satu unsur di dalam peradaban manusia yang maju dan bermanfaat tinggi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Dan jika kemerdekaan pers tidak ada, maka martabat manusia jadi hilang”.

Kebebasan pers yang demikian besar, bahkan cenderung ”kebablasan” telah menimbulkan berbagai akses yang merugikan masyarakat maupun pers, antara lain beberapa :

1. Pelarangan atas prinsip Check And Balanced sehingga berita yang dihasilkan tidak obyektif, bahkan cenderung amatiran;

2. Pelanggaran atas prinsip praduga tak bersalah

21

Adreas Harsono, “Kebebasan Pers”, Artikel diakses Pada Tanggal 28 Juni 2006 dari

(57)

Seorang purnawirawan petinggi kepolisian RI dan seorang letnan jendral TNI AD. Misalnya diberitakan terlibat dalam kasus bom Bali karena berada di Bali pada saat tragedi itu terjadi.

3. Pencemaran nama baik

Karena kurang teliti atau tidak melakukan penelitian yang seksama, wartawan adakalanya terperosok dalam perangkap pencemaran nama baik, misalnya Koran Tempo dan majalah Tempo diadili karena diadukan oleh Tomy Winata.

4. Di pengaruhi pola pikir yang negatif

Pola pikir yang negatif ini mungkin timbul akibat pengalaman buruk pers dengan pemerintah di masa silam. Contoh : menjelang diterapkannya status darurat militer di Aceh pada Mei 2003, Koran Tempo (21-4-2003) menurunkan sebuah headline di halaman pertama dengan judul yang amat profokatif : ”TNI siapkan ladang pembantaian GAM”. Berita seperti ini dikhawatirkan dapat meprovokasi masyarakat untuk menentang kebijakan darurat militer di Aceh, sekaligus membangkitkan kebencian mereka pada TNI.

5. Memelintir informasi yang sebenarnya

Wujudnya dengan mengiring seseorang seolah-olah menguatkan apa yang sebenarnya menjadi pendapat wartawan sendiri.

6. Salah kutip

Banyak wartawan yang berpendapat bahwa jika mereka mengutip pernyataan seseorang apalagi sumbernya sangat Credible dan kemudian pernyataan itu ternyata salah, maka wartawan itu tidak dapat disalahkan apalagi dijerat hukum, pandangan itu tentu keliru. Jika isi kutipan terbukti menghina pihak ketiga, pers dapat dituntut ke Pengadilan dan di hukum membayar ganti rugi pada pihak yang merasa tercemar nama baiknya.22

Kebebasan tanpa batas tidak mungkin ada di dunia ini, pasti ada yang membatasinya. Kebebasan pers Indonesia tersumber dari konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang memberikan jaminan kemerdekaan yang tercantum dalam pasal 28 ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul

22

(58)

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan undang-undang.23

Ketentuan mengenai kebebasan pers di Indonesia telah digariskan dalam beberapa ketentuan dan perundang-undangan, antara lain :

1. UUD 1945 dalam pasal 28 disebutkan :

”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 yang terdapat pada pasal 23 ayat 2 butir c ”memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggungjawab”.

3. Undang-Undang Pers No. 11 Tahun 1966 pasal 5 ayat 1 dan 2 serta Undang-Undang No. 21 Tahun 1982, yaitu :

Ayat 1 : “Kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara dijamin”. Ayat 2 : ”Kebebasan pers didasarkan atas tanggungjawab nasional dan

pelaksanaan pasal 2 dan 3 Undang-undang ini”.

4. Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978 dan Ketetapan MPR No. 11 Tahun 1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang mengenai penerangan dan media pers butir D menyebutkan :

”Pers yang bebas dan bertanggugjawab yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya, sebagai penyebar informasi yang obyektif”.

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan di atas, bahwa seluruh warga Negara khusus

Gambar

Gambaran Kasus Perkara Pidana Penghinaan Oleh Pers

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari permainan Find the pair adalah melatih kosentrasi dan daya ingat bagi yang memainkannya, tampilan permainan ini dibuat semenarik mungkin dengan adanya

Penulisan ilmiah ini berisi tentang pembuatan sistem informasi geografis objek wisata Kota Bukitinggi, yang dapat digunakan untuk mengetahui letak suatu obyek dan data-data yang

Berdasarkan nilai mean pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol serta hasil uji independent sample t-test maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian metode

Selain karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP pemindahbukuan dapat dilakukan juga jika terdapat kesalahan pengisian data pembayaran pajak melalui

Pada penelitian ini, uji statistik dengan Chi Square menunjukkan nilai yang signifikan (p value) sebesar 0,006 berarti nila p value kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan

Perhatian dititik beratkan pada pasien atau korban dengan kondisi medis yang paling urgent dan paling besar kemungkinannya untuk diselamatkan.. TUJUAN: Pada saat IGD penuh dan

Untuk kegiatan/proyek yang sumber dananya murni dari APBD masyarakat (laki-laki dan perempuan) tidak terlibat pada pelaksanaan pembangunan, hal ini disebabkan pelaksana