• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing Kenderaan Bermotor (Studi pada PT. Astra Credit Company Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing Kenderaan Bermotor (Studi pada PT. Astra Credit Company Medan)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

080200349

SATRIO ADI PRASETIO

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN LEASING KENDERAAN BERMOTOR

(Studi pada PT. Astra Credit Company Medan)

Oleh

SATRIO ADI PRASETIO 080200349

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

Disetujui Oleh :

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum Azwar Mahyuzar, SH

NIP. 0195902051986012081 NIP.195112311985031006

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

* Satrio Adi Prasetio

**Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum ***Azwar Muhyar, SH

Leasing menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/ KMK.01/1991 adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk secara berkala”. Sebagai suatu perjanjian, leasing mempunyai alas hukum yang pokok yaitu asas kebebasan berkontrak.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimanakah bentuk dan isi perjanjian leasing PT. Astra Credit Company. Bagaimanakah Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian Leasing PT. Astra Credit Company. Bagaimanakah Tanggung jawab para pihak terhadap objek perjanjian leasing kenderaan bermotor pada PT. Astra Credit Company Medan dan Bagaimanakah Penyelesaian apabila terjadi perselisihan antara pihak lessor dan pihak lessee yang timbul karena wanprestasi?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data primer di lapangan.

Hasil dari skripsi ini bahwa Bentuk perjanjian antara konsumen dengan PT. Astra Credit Company Cabang Medan diatur dalam perjanjian secara tertulis antar perusahaan leasing dengan konsumen. Kewajiban lessor adalah menyerahkan uang sebagai biaya barang yang dibeli kepada supplier. Untuk itu lessor mempunyai hak untuk mendapatkan pengembalian dari biaya yang telah dikeluarkannya itu dan mendapatkan bunga atas jasanya dari biaya yang telah dikeluarkannya. Selain itu yang menjadi hak lessor adalah apabila lessee tidak dapat membayar biaya lease, maka lessor dapat menuntut kembali barangnya yang belum dibayar oleh lessee dalam tenggang waktu yang telah disepakati (biasanya 30 hari). Tanggung Jawab Lessee terhadap obyek perjanjian mobil dalam praktek perjanjian leasing di PT. Astra Credit Company Cabang Medan adalah tanggung jawab mengenai penggunaan barang leasing, Pemeliharaan barang leasing, Kehilangan dan kerusakan barang leasing karena sebab apapun, Wanprestasi atau ingkar janji dari lessee, Pembiayaan barang leasing, yaitu meliputi biaya asuransi, pajak, bunga, serta risiko-risiko yang terjadi atas barang leasing selama masa leasing berlangsung

Kata Kunci : Tanggung Jawab Perjanjian, Leasing

* Mahasiswa

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah

Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing Kenderaan

Bermotor (Studi pada PT. Astra Credit Company Medan)

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Safruddin Hasibuan, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan

6. Ibu Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Azwar Mahyuzar, SH, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis papa Eri Sutrimo, dan Endang Susmiati yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

10.Buat teman-teman stambuk 08, yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukung dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, September 2014 Penulis,

SATRIO ADI PRASETIO

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUN UMUM MENGENAI PERJANJIAN ... 16

A. Pengertian Perjanjian dan Unsur Perjanjian ... 16

1. Pengertian Perjanjian ... 16

2. Unsur-unsur dalam Perjanjian ... 20

B. Asas-asas Perjanjian ... 22

1. Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Leasing ... 22

2. Asas Kepribadian (Privity of contract) dalam Perjanjian Leasing ... 30

C. Syarat Sahnya Perjanjian ... 32

(7)

1. Prestasi ... 37

2. Wanprestasi ... 40

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG LEASING ... 48

A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing ... 48

1. Pengertian Leasing ... 48

2. Dasar Hukum Leasing ... 50

B. Pihak-pihak dalam Leasing ... 53

C. Bentuk dan Macam Leasing serta Karakteristik Yuridis dari Leasing ... 53

1. Bentuk dan Macam Leasing ... 54

2. Karakteristik Yuridis dari Leasing ... 57

BAB IV TANGGUNGJAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIKAN LEASING KENDARAAN BERMOTOR ... 60

A. Bentuk dan Isi Perjanjian Leasing PT. Astra Credit Company .... 60

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Leasing PT. Astra Credit Company ... 66

C. Tanggung Jawab Para Pihak terhadap Objek Perjanjian Leasing Kenderaan Bermotor pada PT. Astra Credit Company Medan ... 68

D. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kreditmenggunakan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82

(8)

ABSTRAK

* Satrio Adi Prasetio

**Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum ***Azwar Muhyar, SH

Leasing menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/ KMK.01/1991 adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk secara berkala”. Sebagai suatu perjanjian, leasing mempunyai alas hukum yang pokok yaitu asas kebebasan berkontrak.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimanakah bentuk dan isi perjanjian leasing PT. Astra Credit Company. Bagaimanakah Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian Leasing PT. Astra Credit Company. Bagaimanakah Tanggung jawab para pihak terhadap objek perjanjian leasing kenderaan bermotor pada PT. Astra Credit Company Medan dan Bagaimanakah Penyelesaian apabila terjadi perselisihan antara pihak lessor dan pihak lessee yang timbul karena wanprestasi?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data primer di lapangan.

Hasil dari skripsi ini bahwa Bentuk perjanjian antara konsumen dengan PT. Astra Credit Company Cabang Medan diatur dalam perjanjian secara tertulis antar perusahaan leasing dengan konsumen. Kewajiban lessor adalah menyerahkan uang sebagai biaya barang yang dibeli kepada supplier. Untuk itu lessor mempunyai hak untuk mendapatkan pengembalian dari biaya yang telah dikeluarkannya itu dan mendapatkan bunga atas jasanya dari biaya yang telah dikeluarkannya. Selain itu yang menjadi hak lessor adalah apabila lessee tidak dapat membayar biaya lease, maka lessor dapat menuntut kembali barangnya yang belum dibayar oleh lessee dalam tenggang waktu yang telah disepakati (biasanya 30 hari). Tanggung Jawab Lessee terhadap obyek perjanjian mobil dalam praktek perjanjian leasing di PT. Astra Credit Company Cabang Medan adalah tanggung jawab mengenai penggunaan barang leasing, Pemeliharaan barang leasing, Kehilangan dan kerusakan barang leasing karena sebab apapun, Wanprestasi atau ingkar janji dari lessee, Pembiayaan barang leasing, yaitu meliputi biaya asuransi, pajak, bunga, serta risiko-risiko yang terjadi atas barang leasing selama masa leasing berlangsung

Kata Kunci : Tanggung Jawab Perjanjian, Leasing

* Mahasiswa

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan dana atau modal bagi seseorang saat ini sangatlah penting, untuk memenuhi kebutuhan dana atau modal maka diperlukan suatu lembaga pembiayaan. Bank sebagai lembaga keuangan ternyata tidak cukup mampu untuk menanggulangi kebutuhan dana atau modal yang dibutuhkan masyarakat. Hal tersebut diakibatkan keterbatasan jangkauan penyebaran kredit oleh bank, keterbatasan sumber dana, dan keterbatasan lain yang mengakibatkan kurang fleksibel dalam melakukan fungsinya.1

Pengertian leasing menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/ KMK.01/1991 adalah “suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk secara berkala”. Sebagai suatu perjanjian, leasing mempunyai alas hukum yang pokok yaitu asas kebebasan berkontrak.

Sehingga terciptalah lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel, dan dalam hal tertentu tingkat risikonya lebih tinggi yang dikenal sebagai lembaga pembiayaan, yang menawarkan bentuk-bentuk baru terhadap pemberian dana atau pembiayaan, yang salah satunya dalam bentuk sewa guna usaha atau leasing.

2

1

Munir Fuady , Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek) , Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hal 2.

2

Ibid. hal 6

(10)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya dalam tulisan ini disebut KUHPerdata), yang disebutkan:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”3

1. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-38/ MK/ IV/ 1/ 1972, tentang Lembaga Keuangan, yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 562/ KMK/ 011/ 1982.

Setiap orang bebas melakukan perjanjian, asal perjanjian tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan mengenai sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sepanjang memenuhi syarat seperti yang diatur oleh perundang-undangan, maka leasing berlaku dan ketentuan tentang perikatan seperti yang terdapat dalam buku ketiga KUHPerdata, berlaku juga untuk leasing, namun demikian di samping alas hukum mengenai asas kebebasan berkontrak terdapat beberapa alas hukum lainnya yang lebih bersifat administratif, dapat disebutkan sebagai berikut:

2. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, No. Kep-122/ MK/ IV/ 2/ 1974, No. 32/ M/ SK/ 2/ 1974, No. 30/ Kpb/ I/ 1974, Tentang Perijinan Usaha Leasing.

3. Keputusan Presiden RI, No. 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan.

3

(11)

4. Keputusan Menteri Keuangan RII No. 1251 /KMK.013/ 1988, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana telah berkali-kali diubah, terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/ KMK.017/ 2000 tentang Pembiayaan Perusahaan.

5. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 634/ KMK.013/ 1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna usaha (Perusahaan Leasing).

6. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/ KMK.01/ 1991, tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).

Leasing sebagai lembaga pembiayaan dalam sistim kerjanya akan

menghubungkan kepentingan dari beberapa pihak yang berbeda, Dalam suatu perjanjian leasing terdapat beberapa pihak atau subyek perjanjian, yaitu :4

1. Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang, terdiri dari beberapa perusahaan. Lessor disebut juga sebagai investor, equity holder, owner participants, atau truster owners.

2. Lessee, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, barang modal mana dibiayai oleh lessor dan diperuntukan kepada lessee.5

3. Kreditur atau lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan.

4

Dahara Djoko Prakoso, Leasing dan Permasalahan, Semarang: Effhar & Prize, 1999, hal 3-4.

5

(12)

4. Supplier, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan, dapat terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri.6

Fasilitas yang diadakan oleh perusahaan leasing sebagai perusahaan pembiayaan sangat meringankan konsumen/ pasar yang kekurangan modal untuk membeli alat pendukung usaha maka leasing menjadi alternatif. Demikian pula kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh PT. Astra Credit Company, Cabang Medan. Memberikan kemudahan bagi masyarakat yang membutuhkan sarana transportasi di Kota Medan dengan pembiayaan secara leasing. Sehingga menimbulkan perjanjian antara pihak lessor dalam hal ini PT. Astra Credit Company Cabang Medan, dengan pihak lessee dalam hal ini pihak konsumen PT. Astra Credit Company Cabang Medan. Hubungan lessor dan lessee merupakan hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian financial lease atau kontrak leasing, dimana perjanjian yang dimuat dan disepakati harus berbentuk perjanjian tertulis, tidak ada ketentuan khusus apakah harus dalam bentuk akta otentik atau akta di bawah tangan. Apabila ditinjau dari sudut hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia, maka bukti yang paling kuat adalah bukti dalam bentuk akta otentik, seperti yang diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari apa yang dimuat di dalamnya“.

6

(13)

Berdasarkan Pasal ini, maka beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal kebenaran akta otentik tersebut. Sedangkan akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian jika pihak yang menandatangani akta mengakui tanda tangannya dalam akta tersebut. Mengingat hal tersebut, maka banyak perusahaan leasing yang membuat perjanjian leasing secara notariil. Dalam perjanjian dimana bentuk, syarat atau isi yang dituangkan dalam klausul-klausul telah dibuat secara baku (standard contract) maka posisi hukum (recht positie-kedudukan hukum) pembeli tidak leluasa atau bebas dalam mengutarakan kehendak. Hal ini bisa terjadi karena pembeli tidak mempunyai kekuatan menawar (bargaining power). Dalam standard form contarct pembeli disodori perjanjian dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh penjual, sedangkan pembeli hanya dapat mengajukan perubahan pada hak-hak tertentu, umpamanya tentang harga, tempat penyerahan barang dan tata cara pembayaran, di mana hal inipun dimungkinkan oleh penjual. Tentang hal-hal essensial dalam perjanjian, umpamanya mengenai pembatalan perjanjian, cara penyelesaian perselisihan, risiko perjanjian, tidak dapat ditawar lagi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah tentang syarat-syarat dalam perjanjian baku.

(14)

pembeli, maka perlu adanya pembatasan kebebasan berkontrak. Untuk itu perlu campur tangan pemerintah guna melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pembeli, melalui peraturan perundang-undangan. Hal tersebut penting karena mengingat menyangkut kepentingan rakyat banyak dan pembangunan ekonomi.

Leasing termasuk bisnis yang loosely regulated, dimana perlindungan para pihaknya hanya sebatas itikad dari masing-masing pihak tersebut yang dituangkan dalam bentuk perjanjian leasing. Dalam hal ini terdapat kemungkinan salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat melaksanakan prestasinya sesuai dengan perjanjian, sebagai contoh kelalaian pihak lesse dalam menjaga barang modal di tengah berlangsungnya proses pelaksanaan leasing tersebut. Menyangkut terhindar dari risiko adalah tidak terikatnya seorang lessee pada kemungkinan hilang atau rusaknya obyek leased, karena antisipasi keadaan tersebut telah beralih ke asuransi, dalam hal pembayaran uang sewa atau pembayaran lain yang menjadi kewajiban lessee dalam perjanjian.

(15)

kelalaian dari pihak lessee karena bagaimanapun juga dalam suatu perjanjian para pihak tidak boleh ada yang dirugikan.

Berdasarkan latar belakang di atas mertarik untuk dilakukan penelitian secara khusus pada perusahaan leasing PT. Astra Credit Company Medan, dengan judul Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing Kenderaan Bermotor (Studi pada PT. Astra Credit Company Medan)

B. Permasalahan

Dari uraian pada latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut

1. Bagaimanakah bentuk dan isi perjanjian leasing PT. Astra Credit Company?

2. Bagaimanakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian Leasing PT. Astra Credit Company?

3. Bagaimanakah tanggung jawab para pihak terhadap objek perjanjian leasing kenderaan bermotor pada PT. Astra Credit Company?

4. Bagaimanakah penyelesaian apabila terjadi perselisihan antara pihak lessor dan pihak lessee yang timbul karena wanprestasi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bentuk dan isi perjanjian Leasing PT. Astra Credit Company.

(16)

3. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak terhadap objek perjanjian leasing kenderaan bermotor pada PT. Astra Credit Company.

4. Untuk mengetahui penyelesaian apabila terjadi perselisihan antara pihak lessor dan pihak lessee yang timbul karena wanprestasi.

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka manfaat penelitian ini adalah : 1. Dari segi teoretis

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum perjanjian.

2. Dari segi Praktis

Bagi pelaku usaha lembaga leasing, khususnya PT. Astra Credit Company, diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka pembuatan klausula perjanjian pembiayaan leasing, sehingga menghindari timbulnya permasalahan atau konflik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

(17)

Metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data primer di lapangan.7

2. Sifat penelitian

Faktor yuridisnya adalah seperangkat aturan-aturan hukum perdata pada umumnya dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang hukum perjanjian sebagai cabang ilmu hukum dan sangat berkitan erat dengan materi penelitian ini, sedangkan faktor empirisnya adalah PT. Astra Credit Company Medan yang mengadakan perjanjian Leasing dengan pihak Lessee.

Sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis. Penelitian dengan menggunakan deskriptif analistis adalah penelitian yang hanya semata-mata melukiskan keadaan objek atau peristiwanta tanpa suatu maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan secara umum.8

3. Jenis dan sumber data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.

a. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kali. Dalam penelitian ini data primer dikumpulkan dengan cara wawancara yang dilakukan pada pimpinan perusahaan, bagian hukum dari perusahaan leasing.

b. Data sekunder, adalah perolehan data dengan studi dokumen yang meliputi :

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 2012, hal. 7.

8

(18)

1) Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

b) Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-38/ MK/ IV/ 1/ 1972, tentang Lembaga Keuangan, yang telah diubahdengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 562/ KMK/ 011/ 1982.

c) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, No. Kep-122/ MK/ IV/ 2/ 1974, No. 32/ M/ SK/ 2/ 1974, No. 30/ Kpb/ I/ 1974, Tentang Perijinan Usaha Leasing.

d) Keputusan Presiden RI, No. 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan.

e) Keputusan Menteri Keuangan RII No. 1251 /KMK.013/ 1988, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana telah berkali-kali diubah, terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/ KMK.017/ 2000 tentang Pembiayaan Perusahaan.

f) Keputusan Menteri Keuangan RI No. 634/ KMK.013/ 1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna usaha (Perusahaan Leasing).

(19)

2) Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku tentang perjanjian leasing, dan hukum perkreditan.

3) Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, dan kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang di gunakan untuk memperoleh data sekunder adalah dengan cara studi kepustakaan dan kajian dokumen. Untuk melengkapi penelitian ini agar mempunyai tujuan yang jelas dan terarah serta dapat dipertanggung jawabkan sebagai salah satu hasil Karya Ilmiah, maka metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk mendukung antara lain :

a. Library Research atau penelitian kepustakaan

(20)

b. Field Research atau penelitian lapangan

Pengumpulan data melalui riset dilakukan dengan melakukan wawancara kepada Lufi Chief Marketing Officer dan Bertha Aditya Wakil Kepala Cabang PT. Astra Credit Company Medan yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.

5. Analisis data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu semua data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan dianalisis secara kualitatif, untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif, adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan.

Pengertian analisis dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan mengambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.9

F. Keaslian Penelitian

Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Berdasarkan penelursan dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis menemukan judul skripsi antara lain :

9

(21)

1. Arta Dameria P (890200201) dengan judul skripsi financial leasing sebagai suatu alternative pembiayaan perusahaan.

2. Mangasal Situmorang (89200042) dengan judul masalah wanprestasi lessee dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak lessor dalam perjanjian leasing.

3. Heksawati Panjaitan (940200080) dengan judul hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian leasing mobil (studi kasus pada PT. Swadharma Indotama Finance)

Dalam penelitian skripsi ini penulis mengambil judul tentang tanggung jawab para pihak dalam perjanjian leasing kenderaan bermotor (studi pada Astra Company Medan). Jadi penelitian ini belum diteliti oleh peneliti yang lain. Kajian pada penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Penulis mengkaji dan mengambil permasalahan tentang bentuk dan isi perjanjian leasing PT. Astra Credit Company. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam perjanjian Leasing PT. Astra Credit Company, tanggung jawab para pihak terhadap objek perjanjian leasing kenderaan bermotor pada PT. Astra Credit Company, Pengaturan mengenai putusnya perjanjian leasing pada PT. Astra Credit Company dan Penyelesaian apabila terjadi perselisihan antara pihak lessor dan pihak lessee yang timbul karena wanprestasi.

(22)

G. Sistematika Penelitian

Dalam penulisan skripsi yang berjudul Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing Kenderaan Bermotor (Studi pada PT. Astra Credit Company Medan), sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

Pada bab ini akan membahas mengenai pengertian perjanjian, unsur perjanjian, syarat sahnya perjanjian, prestasi dan wanprestasi.

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG LEASING

Pada bab ini akan membahas mengenai pengertian leasing, asas-asas perjanjian dasar hukum leasing, pihak-pihak dalam leasing, bentuk dan macam leasing, karakteristik yuridis dari leasing, hak dan kewajiban lessor dan lesseeing

BAB IV TANGGUNGJAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN

LEASING KENDERAAN BERMOTOR (Studi pada PT. Astra

Credit Company Medan)

Pada bab ini akan membahas mengenai bentuk dan isi perjanjian leasing PT. Astra Credit Company. Hak dan kewajiban para pihak

(23)

jawab para pihak terhadap objek perjanjian leasing kenderaan bermotor pada PT. Astra Credit Company, Penyelesaian apabila terjadi perselisihan antara pihak lessor dan pihak lessee yang timbul karena wanprestasi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(24)

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian dan Unsur Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Hukum Perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian, yaitu bagian umum yang memuat peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, dan bagian khusus yang memuat peraturan mengenai perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan telah memiliki nama-nama tertentu. Pengaturan secara khusus mengenai perjanjian diatur pada Buku III KUHPerdata, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351.

Dalam sehari-hari istilah perjanjian disepadankan dengan istilah kontrak. Dalam penulisan ini istilah perjanjian disamakan dengan perjanjian berlandaskan pada KUHPerdata buku III titel kedua tentang “perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian atau kontrak”. Contract adalah: an agreement between two or more persons which creates an obligation to do or no to do a particular thing.10 Unsur-unsur esensial kontrak yaitu: component parties, subject matter, a legal consideration, and mutuality of obligation.11

Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan definisi mengenai perjanjian yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

10

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., ST. Paul Minnesota, USA, 2000. hal.293

11

(25)

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:12

1. Suatu perbuatan;

2. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut.

Kata “perbuatan” dalam rumusan di atas menjelaskan bahwa suatu perjanjian hanya mungkin tercapai bila ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Selanjutnya pengertian “antara sekurangnya dua orang” menunjukkan bahwa suatu perjanjian tidak mungkin dibuat sendiri. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut.13

Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana salah satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat

12

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet.V, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010, hal.7.

13

(26)

terdiri dari satu atau lebih orang. Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.14

1. Menurut Subekti

Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai perjanjian:

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.15 2. Menurut Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.16

3. Menurut Herlien Budiono

Perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.17

Berdasarkan uraian pengertian perjanjian menurut beberapa para sarjana, maka dapat dipahami bahwa: pertama, perjanjian adalah perbuatan hukum dalam

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. IX, Bandung: Mandar Maju, 2011, hal.4.

17

(27)

lapangan hukum harta kekayaan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang; kedua, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang konkrit dalam hubungan tersebut.

Pasal 1338 KUHPerdata mengatur mengenai akibat suatu perjanjian bagi para pihak, yaitu:

a. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,

b. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu,

c. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Agar kepentingan pihak lain terlindungi karena pada saat dibuat berdasarkan kepada kesepakatan antara kedua belah pihak, maka pada saat pembatalannnya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Pasal 1339 KUHPerdata menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutuan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah:

a. isi perjanjian; b. kepatutan; c. kebiasaan; dan d. undang-undang.18

18

(28)

2. Unsur-unsur dalam perjanjian

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam Perjanjian. Unsur-unsur tersebut diuraikan oleh Ahmadi Miru sebagai berikut :19

a. Unsur esensialia, adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, karena jika tidak ada unsur ini maka perjanjian tidak ada;

b. Unsur naturalia, adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undang-undang yang mengaturnya;

c. Unsur aksidentalia, adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-kalusul lainnya yang sering ditentukan dalam perjanjian, yang bukan merupakan unsur esensial dalam perjanjian.

Sedangkan menurut Herlien Budiono20

a. Bagian esensialia, adalah bagian dari perjanjian yang harus ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian (bernama) yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain. Kata sepakat merupakan bagian esensialia yang harus ada. Misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa bagian esensialianya adalah:

menggunakan istilah “bagian” dari perjanjian dan bukan unsur-unsur perjanjian. Pendapatnya terhadap bagian dari perjanjian tersebut adalah :

19

Ahmadi Miru, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal.31-32.

20

(29)

1) Sepakat dari para pihak; 2) Objek sewa;

3) Jangka waktu sewa; dan 4) Uang sewa.

b. Bagian naturalia, adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak, yang galibnya bersifat mengatur termuat di dalam ketentuan perundang-undangan untuk masing-masing perjanjian bernama. Ini berarti bahwa para pihak bebas untuk mengaturnya sendiri, bahkan karena ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa, bebas untuk menyimpanginya. Sebaliknya, jika para pihak tidak mengatur sendiri di dalam perjanjian, ketentuan perundang-undangan tentang perjanjian tersebut akan berlaku. Bagian naturalia dari perjanjian sewamenyewa adalah ketentuan-ketentuan, baik Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 maupun KUHPerdata yang sifatnya tidak memaksa. Contoh dari ketentuan yang bersifat mengatur yang merupakan bagian naturalia dari perjanjian sewa-menyewa adalah: perjanjian sewa-menyewa tidak putus dengan dijualnya objek sewa, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Jika ada perjanjian demikian, penyewa tidak berhak menuntut ganti rugi apabila tidak diperjanjikan dengan tegas (Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 jo. Pasal 1576 KUHPerdata).

(30)

pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan barang. Contoh dari ketentuan aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah: 1) Pilihan hukum dan pilihan domisili.

2) Cara pembayaran uang sewa.

3) Denda atas keterlambatan penyerahan kembali setelah sewa berakhir. 4) Pengaturan pembayaran rekening listrik, air, telepon, pajak bumi dan

bangunan, iuran RT, dan asuransi. Singkatnya bagian aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah bagian yang tidak termasuk, baik ke dalam bagian essentialia maupun naturalia dari perjanjian sewa-menyewa.

B. Asas-asas Perjanjian

1. Asas kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Leasing

(31)

misalnya dalam jual beli dan sewa). Hal ini membedakan arti perjanjian yang unilateral dimana salah satu pihak saja yang melakukan prestasi tanpa menerima

balasan janji atau berjanji untuk melakukan kontra prestasi dari lawannya.

Subyek hukum yang cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian, menurut para ahli hukum Indonesia ada dua yaitu:

a. Orang-orang pribadi

b. Badan Hukum (legal entity)21

Pasal 1654 KUHPerdata adalah dasar hukum yang menyatakan badan apa saja yang dapat melakukan perbuatan hukum atau menjadi pihak/subyek dalam suatu hubungan hukum. Ketentuan ini menegaskan bahwa "semua perkumpulan yang sah, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata" selanjutnya tidak ada penjelasan dalam KUHPerdata tentang apa yang merupakan badan yang sah itu, tetapi mengkualifisir perkumpulan atau badan yang sah itu dalam dua golongan yaitu:

a. Perseroan sejati (badan usaha);

b. Perhimpunan orang (badan/organisasi sosial) atau perkumpulan dalam arti sempit.

Keberadaan perkumpulan-perkumpulan ini harus diakui oleh kekuasaan umum dan dibolehkan atau didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang/kesusilaan (Pasal 1653 KUH Perdata). Dihadapkan dengan leasing, maka Surat Keputusan Menteri Keuangan R.I. No. Kep-448/KMK.017/2000 tentang perizinan usaha leasing menetapkan bahwa

21

(32)

usaha leasing hanya dapat dilakukan oleh lembaga keuangan dan badan usaha baik yang untuk perusahaan nasional maupun perusahaan campuran, yang sebelumnya harus mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan didirikan berdasarkan hukum Indonesia khusus untuk usaha sebagai agen tunggal harus mendapat Izin Departemen Perdagangan dan atau Departemen Perindustrian (Pasal 2 ayat (1) dan (2); Pasal 4 ayat( 2). Sedangkan pihak lainnya (lessee) adalah orang-orang tertentu yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha yang dipimpinnya, yang tentu pula didirikan atas hukum Indonesia. Oleh sebab itu pada pembukaan perjanjian sewa guna usaha telah disebutkan siapa saja yang menjadi subyek perjanjian yaitu, perusahaan sebagai pihak lessee dan orang- perorangan sebagai pihak lessor. Kemudian tentang syarat-syarat "hal yang tertentu" atau "sebab yang halal" disini diartikan bahwa dalam suatu perjanjian harus mempunyai pokok (obyek) sesuatu barang, jumlahnya dapat ditentukan pada waktu dibuatnya perjanjian (Pasal 1333 KUH Perdata). Bila dilihat dari bahasa belanda, maka terjemahan kata "Barang" dalam Pasal 1333 tersebut berasal dari kata "zaak" , yang menurut kamus Umum Indonesia:

1) Benda (barang); 2) Usaha (Perusahaan); 3) Sengketa (perkara); 4) Pokok persoalan;

5) Sesuatu yang diharuskan22

22

(33)

Perihal "sebab yang halal" dijelaskan sebagai sebab yang tidak terlarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang, sebab yang sesuai dengan kesusilaan, sebab yang sesuai dengan ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata). Dengan demikian, maka sebab yang bertentangan dengan undang-undang akan menyebabkan perjanjian menjadi batal, bila ternyata perjanjian itu menimbulkan akibat yang bertentangan dengan undang-undang atau membahayakan kepentingan umum (publik interest). Hal tertentu dalam perjanjian leasing lebih tepat kita sebut sebagai pokok persoalan, hal mana antara lainnya dapat kita temukan dalam Pasal 2, Pasal 5 dan Pasal 6 perjanjian sewa guna usaha (lease agreement). Sedangkan perihal "sebab yang halal" dapat disimpulkan dari amar menimbang S.K. bersama tiga Menteri yang mengatur tentang perizinan usaha leasing, yang antara lain dikemukakan:

a. Bahwa leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan yang dianggap penting peranannya dalam peningkatan pembangunan perekonomian Nasional;

b. Bahwa usaha leasing termaksud memerlukan pengaturan dan pengawasan untuk dapat mengarahkan perkembangannya sesuai dengan pola umum kebijaksanaan pemerintah di bidang pembangunan.

(34)

pembangunan perekonomian nasional. Dengan demikian, leasing dari segi syarat obyektif memenuhi kriteria atau syarat sahnya perjanjian.

Memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian baik syarat subyektif maupun syarat obyektif berarti pula suatu perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang telah membuatnya. Dengan kata lain, memenuhi unsur tertentu Pasal 1338 KUHPerdata yang mengandung asas kebebasan berkontrak.

Adapun yang dimaksud syarat subyektif disini ialah para pihak dalam perjanjian leasing sekurang-kurangnya ada dua pihak yaitu lessor yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk menyediakan barang modal, dan pihak lessee yang menggunakan barang modai dengan pembayaran harga sewa guna secara berkala sebagai imbalannya.23

Di negara-negara common law system asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract dikenal dengan istilah Laissez Fairs yang pengertiannya secara garis besar adalah sebagai berikut: “...men of full age and understanding shall have the at most liberty of contracting and that contracts which are freely and voluntary entered into shall be held sacred and enforced by the courts...you

are notlightly to interfere with this freedom of contract” (setiap orang dewasa yang waras mempunyai hak kebebasan berkontrak sepenuhnya dan kontrak-kontrak yang dibuat secara bebas dan atas kemauan sendiri dianggap mulia dan

23

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Buku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,

(35)

harus dilaksanakan oleh pengadilan dan kebebasan berkontrak ini tidak boleh dicampuri).24

Kriteria tersebut di atas bila dihadapkan dengan perjanjian leasing kedua hal yang dipersoalkan ini sekiranya telah terakomodir dalam perjanjian sewa guna usaha (lease agreement). Masa sewa guna usaha dalam perjanjian biasanya dihitung sejak ditandatanganinya perjanjian dan berakhir pada waktu lessee menyelesaikan secara tuntas seluruh kewajibannya kepada lessor sesuai dengan perjanjian yang dibuat pada Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha wajib melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling lama 40 (empat puluh) Hari terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan.. Dalam Pasal 3 S.K. Menteri Keuangan Nomor 1169/ KMK.01/ 1991 dinyatakan kegiatan sewa guna (leasing)

Berdasarkan praktek di negara-negara common law system, indikasi dari ketiadaan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian dapat dilihat pada ada tidaknya menyebutkan jangka waktu tertentu untuk pokok permasalahan (obyek) yang diperjanjiakan dan atau disebut tidaknya besar/ jenis prestasi/kontra prestasi dari pihak-pihak dalam perjanjian. Kedua hal ini dipandang penting karena jika tidak secara tegas disebutkan jangka waktu dan besar / jenis prestasi (kontra prestasi) dalam suatu perjanjian, dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena membatasi usaha/perdagangan tanpa batas waktu serta besar jenis prestasinya.

24

(36)

digolongkan sebagai sewa guna dengan hak opsi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Jumlah pembayaran sewa guna selama masa sewa guna pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan yang menyewa gunakan;

b. Masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya dua tahun untuk barang modal golongan satu, tiga tahun untuk barang golongan dua dan tiga, dan tujuh tahun untuk golongan bangunan;

c. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi penyewa gunaan.

(37)

membutuhkan barang modal, ditempatkan pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. Pasal 18 menentukan bahwa lessee wajib membayar sejumlah uang simpanan kepada lessor pada permulaan masa sewa untuk menjamin kelancaran pembayaran lease dan hak untuk menggunakan uang jaminan itu ada pada lessor baik untuk pembayaran yang menurut pertimbangan lessor wajib dibayar oleh lessee.

Pasal 10 menentukan bahwa lessee sebagai pemakai barang modal wajib mengasuransikan obyek lease atas biaya sendiri, tetapi dalam polis asuransi tersebut harus ditegaskan antara lain bahwa:

a. Secara eksplisit menetapkan bahwa obyek lease adalah milik lessor; b. Polis dikeluarkan atas tanggungan lessor dan lessee;

c. Melepaskan setiap hak atas ganti rugi perusahaan asuransi terhadap lessor, sekalipun kerusakan diakibatkan oleh cacat konstruksi atau force majeure atau disebabkan oleh mala petaka;

d. Menetapkan bahwa bagi hak lessor untuk menggantikan dirinya terhadap lessee bagi pembayaran premi selama lessor menganggap perlu.

(38)

ini terkesan terpaksa harus diterima oleh lessee karena sangat membutuhkan barang modal dan kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh lessor untuk mengikat lessee dengan ketentuan dan kewajiban yang mau tidak mau menguntungkan pada posisi lessor.

Dari perspektif “Unjust Enrichment Doctrine" dalam Common Law System (suatu prinsip umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya diri sendiri secara tidak adil dari biaya pihak lain). Pada leasing posisi lessee tersebut khususnya dengan kewajiban membayar semua beban yang timbul dalam perjanjian yang seyogyanya ditanggung bersama lessor dapat dikualifikasikan sebagai upaya lessor untuk memperkaya diri sendiri secara tidak adil.

Kriteria yang diajukan untuk rnenentukan apakah seseorang telah memperkaya diri sendiri menurut doktrin ini adalah:

a. Ada sesuatu manfaat atau keuntungan yang diperbuat salah satu pihak kepada pihak lain;

b. Manfaat atau keuntungan ini berharga atau dimengerti oleh pihak lain; c. Pihak lain menahan manfaat itu adalah merupakan hal yang tidak patut

bila tidak disertai dengan pembayaran.

2. Asas Kepribadian (Privity of contract) dalam Perjanjian Leasing

(39)

guna kepentingan pihak ketiga tidak dapat ditarik kembali bila pihak ketiga itu telah menyatakan menerimanya.

Satu-satunya ketentuan dalam perjanjian sewa guna usaha (lease agreement) yang menyebut-nyebut janji terhadap pihak ketiga termuat dalam Pasal 10 ayat (1):

"...pelanggan bersedia menanggung seluruh biaya/ kerugian yang timbul..". Lessee sebagai pemakai bertanggung jawab untuk lessor".

Lessee sebagai pemakai bertanggung jawab untuk mengasuransikan kendaraan/ peralatan atas biaya sendiri. Sedangkan lessor sebagai pemilik bertanggungjawab untuk hal-hal cacat pada orang atau badan yang disebabkan oleh kendaraan/ peralatan terhadap pegawai-pegawai dari lessee atau dari pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksudkan disini adalah pihak perusahaan (asuransi dalam kaitannya dengan polis asuransi antara lessee dan pihak ketiga lainnya, karena hal-hal atau kerugian-kerugian yang disebabkan oleh kendaraan/ peralatan dalam hubungannnya dengan lessor, pertanggung jawaban lessor terhadap pihak ketiga lainnya, sebagaimana tersebut di atas adalah karena kepatutan atau kepantasan. Kepatutan oleh banyak ahli hukum menduduki tata urutan terakhir setelah undang-undang dan kebiasaan.25

Namun, demikian kepatutan adalah hal yang sangat penting dan dibutuhkan sebelum pelaksanaan perjanjian itu, hal ini untuk menghindari ketidakpatutan dan ketidak adilan dalam perjanjian. Sedangkan suatu peijanjian

25

(40)

yang tidak patut atau tidak adil dapat dipahami dari adanya hubungan atau keadaan yang tidak seimbang. 26

C. Syarat sahnya Perjanjian

Berlakunya perjanjian dalam sewa guna usaha adalah terdapatnya kondisi "Unconscionability" atau keadaan yang berat sebelah. Kondisi tersebut dalam perjanjian sewa guna usaha dapat dilihat dari perlakuan pihak yang mempunyai kedudukan yang kuat dalam usahanya memaksakan atau memanfaatkan transaksinya terhadap pihak lain yang lemah kedudukannya. Fullagar J. menjelaskan kedudukan yang lemah atau orang lemah (under a special disability) dapat disebabkan oleh kemiskinan, sedang membutuhkan, sakit, usia, ketidak stabilan jasmani dan rohani, mabuk, kurang mendapat bantuan atau penjelasan yang mana bantuan atau penjelasan itu sekarang setelah keluarnya undang-undang No. 4 Tahun 1996, pembebanannya dilakukan dengan surat kuasa memasang hak tanggungan. Dari kedua pendapat di atas hal yang penting adalah memberikan perlindungan yang kuat terhadap debitur sebagai pemilik kredit dengan cara mengikat obyek leasing melalui pembebanan lembaga jaminan yang sesuai dengan sistem hukum jaminan.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji dengan suatu kata sepakat kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan antara para pihak yang

26

(41)

mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan kedudukan para pihak dalam perjanjian kerja.27

Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:28 1. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak

sebagai subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi29

2. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka;

;

3. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;

27

Djumadi, Perjanjian Kerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 13. 28

Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005, hal 5-6.

29

(42)

4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya; 5. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun

tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada;

6. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi empat syarat sebagai berikut : 30

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Dua syarat pertama disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Berikut ini uraian masing-masing syarat tersebut:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

30

Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan,

(43)

Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika undang-undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap, orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampunan.31

c. Suatu hal tertentu

Menurut Pasal 1332 KUHPerdata dinyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan bahwa barang-barang yang baru akan ada, di kemudian hari dapat menjadi suatu pokok perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal

Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kesusilaan maupun ketertiban umum menurut Pasal 1337 KUHPerdata.32

31

Ibid.

32

(44)

Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:33

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan;

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya34

Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

.

33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal 93 34

(45)

Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.35

D. Prestasi dan Wanprestasi

1. Prestasi

Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.36

Prestasi dalam suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Di dalam hukum perjanjian, itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu: 37

a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai

35

Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4141/pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 21 Juni 2013.

36

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal 67.

37

(46)

pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Demikian pula suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUHPerdata).38

Prestasi dapat berwujud sebagai :39 a. Benda

Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya Sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihak-pihak yang menjual tenaga atau keahliannya. Contoh dari penyerahan hak milik adalah jual-beli mobil, dimana setelah salah satu pihak membayar harga yang disepakati untuk mobil tersebut, pihak yang lain harus menyerahkan mobil dan mobil tersebut menjadi milik seutuhnya dari pihak yang telah melakukan pembayaran sedangkan contoh penyerahan kenikmatan adalah sewa menyewa rumah dimana yang diberikan hanya kenikmatan dari rumah tersebut yang setelah berakhir perjanjiannya, rumah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya.

38

Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Bandung: Nuansa Aulia, 2012, hal. 98

39

(47)

Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut bebagaimana dia merawat barangnya sendiri atau yang sering diistilahkan dengan “sebagai bapak rumah yang baik”.

Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi apalagi kalau ia lalai menyerahkannya. b. Tenaga atau keahlian

Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini terdapat perbedaan karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama, sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda. Sebagai contoh suatu kontrak dengan prestasi berupa tenaga adalah kalau seorang yang disuruh memindahkan tumpukan pasir dari pinggir jalan ke dalam pekarangan seseorang, siapa pun yang mengangkat pasir tersebut, hasilnya pasir tersebut akan berada di pekarangan sesuai harapan orang yang menyuruh.

(48)

keahlian yang sama sehingga kalau pelukis tersebut diganti, kemungkinan lukisan wajah tersebut tidak sama bahkan mungkin tidak mirip dengan wajah aslinya. c. Tidak berbuat sesuatu

Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan.

Prestasi dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat:40

a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan, dan Undang-undang;

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan;

c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.

Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika salah satu pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/ wanprestasi.

2. Wanprestasi

Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.41

“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi

Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang dinyatakan bahwa :

40

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hal.79.

41

(49)

perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“. Kata “perintah“ (bevel) dalam Pasal 1238 KUHPerdata di atas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“.42

Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.43

42

Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari

somasi-bagian-i-brioleh-jsatrio-, pada tanggal 24 Mei 2014`

43

(50)

Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan tetapi pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk).44

Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Bentuk wanprestasi/ ketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk yaitu:45

a. Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya;

b. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/ melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya;

c. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; d. Debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitur untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitur untuk tidak melaksanakannya.46

dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu :

Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi,

47

a. Menuntut pemenuhan perikatan;

44

Somasi atau Teguran, diakses dari

45

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal.70. 46

Ibid.

47

(51)

b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal-balik, menuntut pembatalan perikatan;

c. Menuntut ganti rugi;

d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi;

e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Perlunya diketahui apakah penyebab dari terjadinya wanprestasi mengingat akibat yang terjadi karena tindakan wanprestasi itu dilakukan, semuanya dibuktikan dihadapan hakim. Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu: a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau Force

majeure);

b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus);

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking).

Menurut Subekti, ada empat akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu : a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat

dinamakan ganti rugi;

(52)

d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi di atas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut :48

Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi di atas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut :49

1) Ganti rugi

Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya Jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukkan, dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain. Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut. Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.50

48

Subekti, Op.cit, hal.55. 49

Ibid, hal 45. 50

Ibid., hal 54

(53)

dinyatakan bahwa bunga sebagai "...untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.."

Pasal 1247 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya” Dan Pasal 1248 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”

Dari dua pasal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.

b. Pembatalan perjanjian

(54)

“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”

Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka jelas bahwa pembatalan perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata–nyata melalaikan kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum.

c. Peralihan risiko

Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

(55)

tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu beralih kepada dia.

d. Pembayaran biaya perkara

Referensi

Dokumen terkait

“Dalam proses pembelajaran metode itu berpengaruh dalam berhasil tidaknya suatu pendidikan, maka dari itu penggunaan metode yang tepat adalah penting, dan di sekolah

peneliti terdiri dari bentuk gerakan penolakan HTI di Kecamatan Simpang Teritip,. kemudian dilanjutkan dengan melihat kelemahan dan kelebihan dalam

Skripsi Penentuan Kebutuhan Obat Dan Alat..... Alinea

Penelitian kasus “pengaruh operasi good corporate governance dengan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam penyajian laporan buku keuangan tahunan dan konsekuensinya

Saran-saran yang dianggap perlu dikemukakan disini guna perbaikkan dan pengembangan system lebih lanjut pada masa yang akan datang, serta dijadikan sebagai bahan rujukan oleh

menentukan: “ Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan

Karya-karya yang digunakan sebagai penentu indi- kator analisa penelitian ini masing-masing memiliki benang merah satu sama lain, serta menjadi bagian dari arus utama

Jadi dapat disimpulkan bahwa minat beli ulang atau pembelian ulang pada pelanggan atau konsumen ini mengalami tahap yaitu, minat membeli itu sendiri sehingga mengakibatkan