• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ekowisata Berbasis Masyarakat terhadap Perubahan Kondisi Ekologi, Sosial dan Ekonomi di Kampung Batusuhunan, Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Ekowisata Berbasis Masyarakat terhadap Perubahan Kondisi Ekologi, Sosial dan Ekonomi di Kampung Batusuhunan, Sukabumi"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT TERHADAP

PERUBAHAN KONDISI EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI

DI KAMPUNG BATUSUHUNAN, SUKABUMI

EMMA HIJRIATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Ekowisata Berbasis Masyarakat terhadap Perubahan Kondisi Ekologi, Sosial, dan Ekonomi di Kampung Batusuhunan, Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

(4)

oleh RINA MARDIANA.

Ekowisata merupakan perjalanan wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat lokal. Peran aktif masyarakat dalam mengelola potensi ekowisata menjadi penting karena masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik ekowisata. Pengembangan ekowisata yang dikelola oleh masyarakat berpengaruh terhadap kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan terhadap perubahan kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekowisata berbasis masyarakat memberikan perubahan bagi masyarakat Batusuhunan khususnya pada aspek ekologi dan sosial. Pada aspek ekologi, penduduk telah memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan dengan cara membuang sampah pada tempatnya dan gaya hidup ramah lingkungan. Pada aspek sosial, ekowisata meningkatkan kerjasama masyarakat khususnya di bidang ekowisata. Kegiatan sosial di masyarakat menjadi lebih sering diadakan seiring dengan pengembangan ekowisata. Pada aspek ekonomi, peluang pekerjaan yang diperoleh dari sektor ekowisata dapat menjadi penghasilan tambahan bagi keluarga. Namun, perubahan taraf hidup belum dapat dirasakan oleh masyarakat Batusuhunan karena pengembangan ekowisata baru saja dimulai dan baru berjalan kurang lebih selama 3 tahun.

Kata kunci: ekowisata berbasis masyarakat, ekologi, sosial, ekonomi

ABSTRACT

EMMA HIJRIATI. Community Based Ecotourism influence the condition of Ecology, Social, and Economic Batusuhunan village, Sukabumi. Supervised by RINA MARDIANA.

(5)

Social activities in the community often held in line with the development of ecotourism. On the economic, employment opportunities derived from ecotourism sector could be extra income for the family. However, changes in the standard of living can not be perceived by the Batusuhunan community because ecotourism development has just started and has been running for about 3 years.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

EMMA HIJRIATI

PENGARUH EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT TERHADAP

PERUBAHAN KONDISI EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI

DI KAMPUNG BATUSUHUNAN, SUKABUMI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi: Pengaruh Ekowisata Berbasis Masyarakat terhadap Perubahan Kondisi Ekologi, Sosial dan Ekonomi di Kampung Batusuhunan, Sukabumi

Nama : Emma Hijriati NIM : I34090135

Disetujui oleh

Rina Mardiana, SP, MSi. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Ekowisata Berbasis Masyarakat terhadap Perubahan Kondisi Ekologi, Sosial dan Ekonomi di

Kampung Batusuhunan, Sukabumi” ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Rina Mardiana, SP, MSi selaku dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan, masukan, saran dan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ummi Yeti dan Bapak Amar Rusli, orang tua penulis atas doa dan kasih sayangnya, serta Sumayyah, Siti Hapsari, dan Hamzah Ali, kakak dan adik tersayang yang telah menghibur, memberikan dukungan doa dan semangat selama penulisan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan atas keramahan dan kerjasama seluruh warga Kampung Batusuhunan Ibu Apsiah, Pak Haji Bayi, Rizal, Pak Dasep, Teh Anti, Pak Camat Surade, Pak Lurah Surade, dan warga yang telah senantiasa membantu penulis selama penelitian yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat menjadi rujukan bagi pihak-pihak terkait yang akan membangun Kampung Batusuhunan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan HIMASIERA 2012 Rizka Amalia, Femy, Zela, Kiki, Mezy. Teman-teman seperjuangan Pasurenaners, Eka, Tante Dewi, Nuy, Tanti, Putra, dan Kuncoro. Keluarga besar K2NUI 2013 Pulau Brass yang telah memberikan doa, semangat, dan menginspirasi penulis dalam menyelesaikan skripsi. Teman-teman terdekat penulis, Zulmiziar Marwandana, Tiara Anja Kusuma, Finka Dwi Utami, Andri Nur Azizah, Indah Permatasari, Dewi Maharani Putri, Erni Sri Mulyani, Cucu Setiawati, dan Arniesa Nuur Endah yang senantiasa mendampingi penulis disaat senang maupun sedih dan senantiasa menjadi penyemangat bagi penulis. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada teman seperjuangan dan satu bimbingan, Melisa Anjani dan Vici Novia, serta teman-teman SKPM 46 yang telah memberikan doa, motivasi serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, November 2013

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Kerangka Pemikiran 10

Hipotesis 11

Definisi Operasional 12

METODE 17

Metode Penelitian 17

Teknik Sampling 18

Teknik Pengumpulan Data 19

Teknik Analisis Data 19

PROFIL LOKASI PENELITIAN 21

Kondisi Geografis, Topografis, dan Demografis Kelurahan Surade 21

Kondisi Infrastruktur Kelurahan Surade 23

Gambaran Umum Kampung Batusuhunan 24

Ekowisata Berbasis Masyarakat Kampung Batusuhunan 24

Karakteristik Responden 30

PERUBAHAN KONDISI EKOLOGI KAMPUNG BATUSUHUNAN 33

Kondisi Ekologi Masyarakat Sebelum Adanya Ekowisata 33 Kondisi Ekologi Mayarakat Setelah Adanya Ekowisata 35

PERUBAHAN KONDISI SOSIAL KAMPUNG BATUSUHUNAN 38

(14)

PERUBAHAN KONDISI EKONOMI KAMPUNG BATUSUHUNAN 43 Kondisi Ekonomi Masyarakat Sebelum Adanya Ekowisata 43 Kondisi Ekonomi Masyarakat Setelah Adanya Ekowisata 45

SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 51

(15)

DAFTAR TABEL

1 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 18

2 Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Surade menurut jenis

kelamin, tahun 2013 21

3 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan tingkat

kelestarian lingkungan 36

4 Jumlah dan persentase perubahan tingkat kerjasama masyarakat

Kampung Batusuhunan 41

5 Jumlah dan persentase perubahan tingkat pendapatan rumahtangga

Kampung Batusuhunan 46

6 Jumlah dan persentase perubahan tingkat taraf hidup rumahtangga

Kampung Batusuhunan 48

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 11

2 Jenis pekerjaan mayarakat Surade 22

3 Persentase tingkat pendidikan masyarakat Surade 23 4 Ketersediaan jumlah sarana infrastruktur Kelurahan Surade 23 5 Struktur kepengurusan ekowisata berbasis masyarakat 29

6 Persentase pekerjaan utama responden 31

7 Persentase pekerjaan sampingan responden 31

8 Persentase responden menurut tingkat pendidikan di Kampung

Batusuhunan, tahun 2013 32

9 Kesadaran masyarakat membuang sampah pada tempatnya 34 10 Tingkat pendapatan masyarakat sebelum ekowisata 44

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Kelurahan Surade 52

2 Daftar sensus masyarakat yang terlibat dalam sektor ekowisata 54

3 Kuesioner 55

4 Panduan pertanyaan 62

5 Dokumentasi 65

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi keindahan alam dan kekayaan budaya yang bernilai tinggi dalam pasar industri ekowisata. Potensi alam tersebut dapat berupa sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, keanekaragaman flora, fauna dan gejala alam dengan keindahan pemandangan yang masih alami. Untuk kebudayaan, Indonesia memiliki sistem religi, kesenian, bahasa daerah, ritus kebudayaan, pengetahuan, dan organisasi sosial. Berdasarkan laporan World Travel Tourism Council (WTTC) tahun 2000, pertumbuhan ekowisata rata-rata sebesar 10 persen per tahun. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan rata-rata per tahun untuk pariwisata pada umumnya yaitu sebesar 4.6 persen per tahun. Sebagai bentuk wisata, ekowisata mempunyai kekhususan tersendiri yaitu mengedepankan konservasi lingkungan, pendidikan lingkungan, kesejahteraan penduduk lokal, dan menghargai budaya lokal. Sehingga ekowisata banyak diminati wisatawan, hal ini karena adanya pergeseran paradigma kepariwisataan internasional dari bentuk pariwisata masal (mass tourism) ke wisata minat khusus yaitu ekowisata.

Terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 20091 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah, telah mendorong Pemerintah Daerah untuk mengembangkan ekowisata yang belakangan ini telah menjadi trend dalam kegiatan kepariwisataan di Indonesia. Secara garis besar, peraturan ini menjelaskan bahwa ekowisata merupakan potensi sumberdaya alam, lingkungan, serta keunikan alam dan budaya yang dapat menjadi salah satu sektor unggulan daerah yang belum dikembangkan secara optimal. Dengan demikian, dalam rangka pengembangan ekowisata di daerah secara optimal perlu strategi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, penguatan kelembagaan, serta pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial, ekonomi, ekologi, dan melibatkan pemangku kepentingan dalam mengelola potensi ekowisata. Selanjutnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Mari Elka Pangestu menambahkan bahwa kebutuhan untuk berwisata, berekreasi dan menghasilkan suatu karya kreatif telah menjadi kebutuhan gaya hidup masyarakat2.

Yoeti (2008) mengemukakan bahwa ekowisata sebagai kegiatan pariwisata memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak positif dan negatif. Di bidang ekonomi, Ekowisata telah berkembang sebagai salah satu industri pariwisata yang potensial untuk meningkatkan penerimaan devisa negara, terutama pada dasawarsa terakhir ini. Di Indonesia, ekowisata telah menyumbangkan devisa sebesar Rp 80 triliun pada tahun 2008 dengan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 6.5 juta orang. Penerimaan tersebut meningkat 33 persen dari tahun 2007 (Rp 60 triliun), dengan jumlah wisatawan mancanegara

1

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah

2

Oleh I Made Asdhiana, Senin, 29 Oktober 2012, url:

(18)

yang datang ke Indonesia sebesar lima juta orang3. Sektor ekowisata akan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) apabila sektor ini dikelola dengan pengelolaan yang tepat guna dan tepat sasaran sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hasil penelitian Tafalas (2010) menyatakan bahwa pengembangan ekowisata bahari di Pulau Mansuar menimbulkan dampak positif pada kelestarian lingkungan berupa semakin terpeliharanya perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan hidupnya, tetapi menimbulkan dampak negatif terjadinya konflik kepemilikan lahan. Hasil penelitian Ayuningtyas (2011) memaparkan bahwa adanya ekowisata berpengaruh pada aspek sosial, yaitu tingkat kerjasama di Desa Citalahab Central relatif meningkat meskipun tidak rutin. Hal ini terjadi karena di Citalahab Central terdapat tokoh agama dan ketua KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang selalu mengingatkan tentang kerjasama atau gotong royong.

Konsep pengembangan ekowisata berbasis komunitas hadir sebagai alternatif solusi untuk melestarikan dan mempertahankan keseimbangan alam dan budaya setempat dengan memanfaatkan potensi alam, budaya, kearifan lokal, dan melibatkan masyarakat dalam seluruh kegiatan pelaksanaan pengembangan ekowisata. Ekowisata berbasis komunitas merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata. Hasil penelitian Untari (2009) permasalahan yang muncul seiring pengembangan ekowisata, seperti kasus pengembangan ekowisata di Zona Wisata Bogor Barat adalah pengelolaan yang belum optimal karena dalam implementasinya masyarakat masih diposisikan sebagai objek dalam kegiatan wisata dan pelibatan dalam pengembangan ekowisata masih kurang. Selain itu, pengetahuan masyarakat masih rendah terutama dalam pengelolaan ekowisata.

Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang menerapkan prinsip ekowisata berbasis masyarakat dalam pengelolaannya. Kawasan ini merupakan wilayah yang masuk ke dalam rencana pengembangan prioritas di Kelurahan Surade. Surade terletak di selatan Kabupaten Sukabumi, jarak dari kota Sukabumi menuju Surade sekitar 63 km. Kampung Batusuhunan terletak di bagian selatan Kelurahan Surade. Kampung Batusuhunan menjadi prioritas pertama dalam rencana pembangunan karena terdapat curug yang berpotensi untuk dijadikan kawasan ekowisata, yang diberi nama Curug Cigangsa. Selain memiliki keindahan alam yang oleh orang-orang disebut “the little Niagara” juga memiliki keunikan sendiri yaitu masyarakatnya yang merupakan masyarakat adat dan Islam yang sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam. Sehingga konsep ekowisata yang

ditawarkan di Kampung Batusuhunan adalah “Ekowisata Islami” yang sesuai

dengan kehidupan masyarakat setempat yang masih sangat Islami (Adelia 2012). Ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat setempat, khususnya pada aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Kegiatan ekowisata dapat membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Di bidang sosial, adanya interaksi antara masyarakat

3

(19)

setempat untuk mengelola ekowisata menjadikan tingkat kerjasama dan tolong menolong dapat menjadi semakin erat. Selain itu, di bidang ekologi, masyarakat diharapkan memiliki kesadaran akan menjaga kelestarian lingkungan. Atas dasar pemikiran diatas, diperlukan penelitian tentang perubahan ekologi, sosial dan ekonomi yang dipengaruhi oleh pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan.

Perumusan Masalah

Ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan wisata ke tempat yang memiliki daya tarik alami dengan mengutamakan aspek konservasi. Aspek konservasi inilah yang membedakan ekowisata dengan pariwisata yang bertujuan untuk kepuasan semata sehingga ekowisata dapat menyadarkan wisatawan dan pengelola agar bertanggungjawab akan kelestarian lingkungan dan budaya daerah tujuan wisata. Daya tarik alami ekowisata berasal dari keindahan alam, kebudayaan, tradisi, dan kesenian khas dari masyarakat suatu daerah. Hal ini memungkinkan masyarakat setempat untuk dapat mengelola ekowisata berdasarkan pengetahuan tentang alam dan budaya yang mereka miliki.

Curug Cigangsa yang terdapat di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu ekowisata yang telah menerapkan prinsip ekowisata berbasis masyarakat dalam pengelolaannya. Pengembangan ekowisata tentu akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, sehingga terjadi perubahan dalam aspek ekologi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Perubahan tersebut ada yang bersifat positif dan ada yang negatif. Pada aspek sosial, adanya interaksi antara masyarakat setempat untuk mengelola ekowisata menjadikan tingkat kerjasama dan tolong menolong dapat menjadi semakin erat. Pada aspek ekonomi tentu terjadi perubahan, antara lain perubahan taraf hidup masyarakat. Sedangkan pada aspek lingkungan diharapkan dapat terjaga kelestariannya untuk keberlanjutan ekowisata. Dengan demikian, agar nantinya pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di Curug Cigangsa lebih memberikan kontribusi secara signifikan terhadap ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat setempat, maka sejak awal perlu dilakukan penelitian yang mendalam mengenai pengaruh ekowisata terhadap ekologi, sosial, dan ekonomi di Curug Cigangsa. Terkait dengan kondisi tersebut, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perubahan kondisi ekologi di Kampung Batusuhunan setelah

adanya ekowisata berbasis masyarakat?

2. Bagaimanakah perubahan kondisi sosial di Kampung Batusuhunan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat?

(20)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Menganalisis perubahan kondisi ekologi di Kampung Batusuhunan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat.

2. Menganalisis perubahan kondisi sosial di Kampung Batusuhunan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat.

3. Menganalisis perubahan kondisi ekonomi di Kampung Batusuhunan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya terkait perubahan ekologi, sosial, dan ekonomi di kawasan ekowisata.

2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan pengembangan ekowisata kedepan. 3. Bagi masyarakat, dapat memberikan pemahaman dan wawasan dalam

(21)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Pariwisata, Ekowisata, dan Prinsip Ekowisata

Pariwisata adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya untuk bersenang-senang, memenuhi rasa ingin tahu dan menghabiskan waktu senggang atau waktu libur (Zalukhu 2009 seperti dikutip Saputro 2011).

Berbeda dengan pariwisata, ekowisata didefinisikan The International Ecotourism Society (TIES) (2000) seperti dikutip Damanik dan Weber (2006) sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Hector Ceballos Lascurian, setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masing-masing meninjau dari sudut pandang berbeda. Menurut Hector Ceballos-Lascurain definisi dari ecoturism (ekowisata) adalah perjalanan wisata alam yang tidak mengganggu atau merusak lingkungan alam, dengan tujuan khusus misalnya untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan serta tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, seperti setiap perwujudan kebudayaan (baik masa lampau atau sekarang) yang ada di daerah yang bersangkutan (Fennell 1999).

From (2004) seperti dikutip Damanik dan Weber (2006) menyusun tiga konsep dasar yang lebih operasional tentang ekowisata, yaitu sebagai berikut: Pertama, Perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Wisata ini biasanya menggunakan sumberdaya hemat energi, seperti tenaga surya, bangunan kayu, bahan daur ulang, dan mata air. Sebaliknya kegiatan tersebut tidak mengorbankan flora dan fauna, tidak mengubah topografi lahan dan lingkungan dengan mendirikan bangunan yang asing bagi lingkungan dan budaya masyarakat setempat.

Kedua, wisata ini mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola masyarakat kawasan itu. Prinsipnya, akomodasi yang tersedia bukanlah perpanjangan tangan hotel internasional dan makanan yang ditawarkan juga bukan makanan berbahan baku impor, melainkan semuanya berbasis produk lokal. Oleh sebab itu, wisata ini memberikan keuntungan langsung bagi masyarakat lokal.

(22)

Dari definisi di atas dapat diidentifikasi beberapa prinsip ekowisata TIES (2000) dikutip Damanik dan Weber (2006), yaitu sebagai berikut:

a). Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.

b). Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal, maupun pelaku wisata lainnya.

c). Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi obyek daya tarik wisata.

d). Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.

e). Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal. f). Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan, dan politik di

daerah tujuan wisata.

g). Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak azasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata.

Definisi dan prinsip-prinsip ekowisata yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan inilah yang telah mendorong para pengelola tempat wisata untuk menerapkan konsep ekowisata pada daerah tujuan wisata. Seperti yang telah diterapkan di sejumlah taman nasional di Indonesia yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Terdapat pula di kawasan konservasi mangrove di Nusa Lembongan Bali dan Teluk Youtefa, Jayapura. Ekowisata Bahari juga diterapkan di Pulau Mansuar Raja Ampat, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Taman Nasional Teluk Cendrawasih Papua, dan Pulau Pasi Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Di kawasan dataran tinggi, terdapat ekowisata Dataran Tinggi Dieng dan yang terakhir adalah kawasan konservasi penyu di Kepulauan Derawan Kalimantan Timur.

Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

(23)

menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing masing (WWF Indonesia 2009).

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 bahwa prinsip pengembangan ekowisata meliputi: (1) kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata; (2) konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan, dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata; (3) ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan; (4) edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya; (5) memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung; (6) partisipasi masyarakat, yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan (7) menampung kearifan lokal.

Prinsip pengembangan ekowisata berbasis masyarakat ini dapat kita lihat pada contoh kasus pengelolaan ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Taman Wisata Teluk Youtefa Jayapura. Penerapan ekowisata berbasis masyarakat pada kasus taman nasional di Gunung Halimun Salak dan Bukit Tigapuluh bertujuan untuk konservasi sumberdaya yang ada dihutan agar tetap lestari sehingga adanya ekowisata diharapkan lebih meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kawasan dan segala kegiatan yang merusak alam karena jika alam rusak maka akan merugikan masyarakat sendiri. Ekowisata juga merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh taman nasional untuk membantu perekonomian masyarakat lokal. Masyarakat pun ikut berperan serta dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata. Ekowisata berbasis masyarakat telah menjadi salah satu upaya untuk menghormati adat dan budaya masyarakat setempat dan ikut menjaga hutan alam.

(24)

Dampak Ekowisata

Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas (Soemarwoto 1989). Ekowisata merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan. Pengelolaan ekowisata yang baik akan menghasilkan beberapa keuntungan dalam berbagai aspek. Akan tetapi, apabila tidak dikelola dengan benar, maka ekowisata dapat berpotensi menimbulkan masalah atau dampak negatif. Berdasarkan kacamata ekonomi makro, ekowisata memberikan beberapa dampak positif (Yoeti 2008), yaitu:

1. Menciptakan kesempatan berusaha; 2. Menciptakan kesempatan kerja;

3. Meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran wisatawan yang relatif cukup besar;

4. Meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah; 5. Meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB);

6. Mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor ekonomi lainnya;

7. Memperkuat neraca pembayaran. Bila neraca pembayaran mengalami surplus, dengan sendirinya akan memperkuat neraca pembayaran Indonesia, dan sebaliknya.

Pengembangan ekowisata tidak saja memberikan dampak positif, tetapi juga dapat memberikan beberapa dampak negatif, antara lain (Yoeti 2008):

1. Sumber-sumber hayati menjadi rusak, yang menyebabkan Indonesia akan kehilangan daya tariknya untuk jangka panjang;

2. Pembuangan sampah sembarangan yang selain menyebabkan bau tidak sedap, juga dapat membuat tanaman di sekitarnya mati;

3. Sering terjadi komersialisasi seni-budaya; dan

4. Terjadi demonstration effect, kepribadian anak-anak muda rusak. Cara berpakaian anak-anak sudah mendunia berkaos oblong dan bercelana kedodoran.

Yoeti (2008) mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan ekowisata dapat memberikan pengaruh pada berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Pengaruh terhadap Ekologi

Pengembangan ekowisata harus benar-benar dilakukan denagn penuh kehati-hatian dan pengelolaan yang cermat, tidak terjebak atau tergiur pada keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi harus berpedoman pada pengembangan berkelanjutan. Artinya, generasi kini dapat memetik manfaatnya, namun tanpa melupakan bahwa generasi berikutnya pun memiliki hak mendapat manfaat SDA yang sama (Warpani 2007). Oleh karena itu, kebijakan dalam kaitan dengan ekowisata dilandasi oleh dimensi ekologi yaitu (Damanik dan Weber 2006):

1. Penentuan dan konsistensi pada daya dukung lingkungan

(25)

3. Prioritas pengembangan produk dan layanan jasa berbasis lingkungan 4. Peningkatan kesadaran lingkungan dengan kebutuhan konservasi

Pengembangan ekowisata dapat mendatangkan dampak positif berupa meningkatnya upaya reservasi sumberdaya alam, pembangunan taman nasional, perlindungan pantai, dan taman laut. Namun di lain pihak, pengelolaan kegiatan ekowisata yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak negatif berupa polusi, kerusakan lingkungan fisik, pemanfaatan berlebihan, pembangunan fasilitas tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, dan kerusakan hutan mangrove (Tuwo 2011). Pengaruh terhadap Sosial-Budaya

Ekowisata sebagai industri pariwisata merupakan bagian dari cultural industry yang melibatkan seluruh masyarakat. Meskipun hanya sebagian masyarakat yang terlibat, namun pengaruh sosial lebih luas seperti terjadinya ketimpangan/kesenjangan sosial dalam masyarakat. Pengaruh pariwisata terhadap masyarakat termasuk terjadinya perubahan proses sosial masyarakat yang di dalamnya terdapat kerjasama dan persaingan antara pelaku pariwisata. Proses sosial adalah hubungan timbal balik antar individu, individu dengan kelompok, dan antar kelompok, berdasarkan potensi atau kekuatan masing-masing (Abdulsyani 1994). Proses sosial merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat dimana terdapat proses hubungan antar manusia berupa interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia secara terus-menerus. Terbentuknya interaksi sosial apabila terjadi kontak sosial dan komunikasi sosial. Proses sosial dapat terjadi dalam berbagai bentuk yaitu, kerjasama, persaingan, pertikaian/pertentangan, dan akomodasi (Tafalas 2010).

Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskan norma-norma masyarakat. Mula-mula norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja. Namun lama-kelamaan norma tersebut dibuat secara sadar. Norma-norma yang ada di masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang, sampai yang terkuat daya ikatnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis Soekanto dibagi menjadi 4 tingkatan norma (Soekanto 1982), yaitu:

a. Cara (usage): suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus;

b. Kebiasaan (folkways): suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar;

c. Tata kelakuan (mores): sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur memaksa atau melarang suatu perbuatan; dan

(26)

Pengaruh terhadap Ekonomi

Menurut Sedarmayanti (2005) kegiatan ekowisata yang banyak menarik minat wisatawan telah memberikan sumbangan devisa untuk negara dan juga telah membuka kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Masyarakat tidak saja mendapatkan pekerjaan dan peningkatan pendapatan, tetapi juga dapat menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru yang menunjang kegiatan pariwisata.

Taraf hidup dikutip dari Data BPS tahun 2005 dalam Rahman (2009) adalah variabel kemiskinan yaitu luas lantai bangunaan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, fasilitas tempat buang air besar, sumber penerangan rumah tangga, sumber air minum, bahan bakar untuk memasak, konsumsi daging/ayam/susu/perminggu, pembeliaan pakaian baru setiap anggota rumah tangga setiap tahun, frekuensi makan dalam sehari, kemampuan membayar untuk berobat ke puskesmas atau dokter, lapangan pekerjaan kepala rumahtangga, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga dan kepemilikan asset/harta bergerak maupun tidak bergerak. Taraf hidup adalah tingkat kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kerangka Pemikiran

Adanya potensi ekowisata berupa Curug Cigangsa di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Sukabumi menjadikan kawasan ini sebagai salah satu lokasi pengembangan ekowisata di sukabumi. Dalam pengembangannya, ekowisata Curug Cigangsa menerapkan konsep ekowisata berbasis masyarakat mengingat masyarakat memiliki peran penting dalam kegiatan ekowisata. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak.

(27)

Gambar 1 Kerangka pemikiran Keterangan

: Berpengaruh : Fokus Penelitian

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran maka diajukan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Ho: Tidak terdapat beda nyata antara kondisi ekologi sebelum dan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan. H1: Terdapat beda nyata antara kondisi ekologi sebelum dan setelah adanya

ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan.

2. Ho: Tidak terdapat beda nyata antara kondisi sosial sebelum dan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan.

H1: Terdapat beda nyata antara kondisi sosial sebelum dan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan.

3. Ho: Tidak terdapat beda nyata antara kondisi ekonomi sebelum dan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan.

H1: Terdapat beda nyata antara kondisi ekonomi sebelum dan setelah adanya ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan.

Pengembangan Ekowisata

Ekologi - Tingkat kelestarian

lingkungan

Sosial

- Tingkat kerjasama

Ekonomi

- Tingkat Pendapatan

- Taraf hidup Rumahtangga Perubahan

Pengelolaan Ekowisata Berbasis

Masyarakat Kondisi Awal

Sebelum Ekowisata

(28)

Definisi Operasional

Penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat terhadap perubahan kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat di Curug Cigangsa, Kampung Batusuhunan. Berikut adalah beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur variabel. Istilah-istilah tersebut, yaitu:

1. Perubahan kondisi ekologi adalah perubahan yang terjadi pada lingkungan dilihat dari sebelum dan setelah adanya ekowisata. Perubahan ini diukur dengan indikator tingkat kelestarian lingkungan.

H1 diterima jika terdapat perbedaan skor, kategori rendah ke tinggi atau tinggi ke rendah pada kelestarian lingkungan dan Ho ditolak. Hal ini berarti telah terjadi perubahan kondisi ekologi antara sebelum dan setelah adanya ekowisata di Kampung Batusuhunan.

Ho diterima jika tidak terdapat perbedaan skor, kategori rendah ke rendah atau tinggi ke tinggi pada tingkat kelestarian lingkungan dan H1 ditolak. Hal ini berarti tidak terjadi perubahan kondisi ekologi antara sebelum dan setelah adanya ekowisata di Kampung Batusuhunan.

Tingkat kelestarian lingkungan adalah upaya responden terlibat dalam tindakan-tindakan menjaga lingkungan tetap bersih dan indah seperti membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, dan membiasakan gaya hidup ramah lingkungan.

a. Ya, skor 2 b. Tidak, skor 1

Pengukuran pada tingkat kelestarian lingkungan sebelum dan setelah adanya ekowisata adalah sama. Kuesioner terdiri atas 10 pertanyaan untuk mengukur tingkat kelestarian lingkungan. Berdasarkan hasil perhitungan data kuesioner, skor maksimal untuk mengukur keterlibatan masyarakat adalah 20, sedangkan skor minimum adalah 10. Tingkat kelestarian lingkungan mempunyai 2 kategori untuk menunjukkan tingkat perubahannya, yaitu tinggi dan rendah. Kategori tersebut dapat diperoleh melalui inverval kelas yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Interval kelas (IK) = skor maksimum – skor minimun ∑ kategori

Maka interval kelas pada tingkat kelestarian lingkungan adalah 5 dan dapat menunjukkan kategori:

Tingkat kelestarian rendah = 10≤x<15 Tingkat kelestarian tinggi = 16<x≤20

(29)

H1 diterima jika terdapat perbedaan skor, kategori rendah ke tinggi atau tinggi ke rendah pada tingkat kerjasama masyarakat dan Ho ditolak. Hal ini berarti telah terjadi perubahan kondisi sosial antara sebelum dan setelah adanya ekowisata di Kampung Batusuhunan.

Ho diterima jika tidak terdapat perbedaan skor, kategori rendah ke rendah atau tinggi ke tinggi pada tingkat kerjasama masyarakat dan H1 ditolak. Hal ini berarti tidak terjadi perubahan kondisi sosial antara sebelum dan setelah adanya ekowisata di Kampung Batusuhunan.

Tingkat kerjasama antar masyarakat adalah kegiatan yang dilakukan oleh responden bersama masyarakat lainnya untuk mengelola ekowisata dan mempererat ikatan antar masyarakat. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk variabel ini adalah keterlibatan responden dalam kegiatan masyarakat.

a. Ya, skor 2 b. Tidak, skor 1

Pengukuran pada tingkat keterlibatan masyarakat sebelum dan setelah adanya ekowisata adalah sama. Kuesioner terdiri atas 10 pertanyaan untuk mengukur tingkat kerjasama. Berdasarkan hasil perhitungan data kuesioner, skor maksimal untuk mengukur tingkat kerjasama adalah 20, sedangkan skor minimum adalah 10. Tingkat kerjasama dibagi menjadi 2 kategori untuk menunjukkan tingkat perubahannya, yaitu tinggi dan rendah. Kategori tersebut dapat diperoleh melalui inverval kelas yang dihitung dengan rumus interval kelas.

Maka interval kelas pada Tingkat kerjasama adalah 5 dan dapat menunjukkan kategori:

Tingkat kerjasama rendah = 10≤x<15 Tingkat kerjasama tinggi = 16<x≤20

3. Perubahan kondisi Ekonomi adalah perubahan yang terjadi pada kondisi ekonomi masyarakat dilihat dari sebelum dan setelah adanya ekowisata. Perubahan ini diukur dengan indikator tingkat pendapatan dan taraf hidup. 1) Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor ekowisata diukur dari seberapa besar pendapatan yang diperoleh setiap anggota rumahtangga dalam suatu rumahtangga melalui aktivitas usaha ekowisata, baik berupa uang maupun barang yang dinilai dengan menggunakan ukuran rupiah dalam kurun waktu satu bulan. Usaha ekowisata yang dimaksud adalah keseluruhan aktivitas yang terkait dengan ekowisata mulai dari berjualan hingga menjadi pemandu wisata (tour guide).

(30)

Pengukuran pada tingkat pendapatan masyarakat Berdasarkan hasil wawancara responden diperoleh pendapatan terendah sebesar Rp 250 000 dan pendapatan tertinggi sebesar Rp 5 000 000. Tingkat pendapatan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Kategori tersebut dapat diperoleh melalui inverval kelas yang dihitung dengan rumus interval kelas. Dari hasil perhitungan, didapat Rp 1 583 333.33 sebagai interval kelas untuk rata-rata pendapatan masyarakat Kampung Batusuhunan. Sehingga, tingkat pendapatan dapat dikategorikan sebagai berikut: ditolak. Hal ini berarti telah terjadi perubahan kondisi ekonomi antara sebelum dan setelah adanya ekowisata di Kampung Batusuhunan.

Ho diterima jika tidak terdapat perbedaan skor, kategori rendah ke rendah atau tinggi ke tinggi pada tingkat pendapatan rumah tangga dan H1 ditolak. Hal ini berarti tidak terjadi perubahan kondisi ekonomi antara sebelum dan setelah adanya ekowisata di Kampung Batusuhunan.

2) Taraf hidup rumahtangga

Taraf hidup rumahtangga adalah tingkat kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan mengacu pada data BPS SUSENAS 2005, Taraf hidup diukur dengan variabel: (a) Jenis lantai bangunan tempat tinggal; (b) Jenis dinding bangunan tempat tinggal; (c) Status kepemilikan rumah; (d) Daya listrik; (e) Bahan bakar untuk memasak; (f) Kepemilikan barang berharga. Namun, variabel status kepemilikan rumah (poin c) tidak diikutsertakan dalam penghitungan skor yang menjadi dasar penggolongan variabel. Hal tersebut disebabkan jawaban responden pada kuesioner tersebut bersifat homogen. Sehingga hanya terdapat 6 variabel yang dihitung dalam pengukuran taraf hidup.

a. Jenis lantai bangunan terluas tempat tinggal: merupakan jenis lantai bangunan terluas yang menjadi tempat tinggal rumah tangga responden dan dikategorikan:

(31)

b. Jenis dinding terluas: merupakan jenis dinding bangunan terluas yang menjadi tempat tinggal rumah tangga responden dan dikategorikan: 1. Tembok, diberi skor 4

2. Bambu, diberi skor 3 3. Kayu, diberi skor 2 4. Rumbia, diberi skor 1

c. Status rumah: merupakan status kepemilikan rumah yang ditempati responden saat ini, dikategorikan menjadi:

1. Sendiri, diberi skor 2

2. Sewa (kontrak), diberi skor 1

d. Daya listrik: merupakan jumlah daya yang digunakan responden sebagai sumber penerangan tempat tinggalnya dan dikategorikan: 1. 2200 watt, diberi skor 4

2. 1200 watt, diberi skor 3 3. 900 watt, diberi skor 2 4. 450 watt, diberi skor 1

e. Bahan bakar untuk memasak: merupakan jenis bahan bakar yang digunakan oleh rumah tangga responden untuk aktivitas memasak dan dikategorikan:

1. Gas dan Kayu Bakar, diberi skor 4 2. Gas, diberi skor 3

3. Minyak tanah, diberi skor 2 4. Kayu Bakar, diberi skor 1

f. Kepemilikan barang berharga: merupakan jenis barang yang dimiliki oleh rumah tangga responden dan dikategorikan:

1. Mobil 2. Memiliki 3- 4 barang berharga = skor 2 3. Memiliki ≤ 2 barang berharga= skor 1

Kemudian taraf hidup rumahtangga digolongkan kedalam 2 kategori setelah dihitung total skor dari masing-masing variabel yang diperoleh yaitu, total skor minimum adalah 10 dan total skor maksimum adalah 22. Kategori tersebut dapat diperoleh melalui rumus interval kelas dengan ketentuan hasil interval kelas adalah 6. Sehingga total skor dapat dikategorikan menjadi:

(32)

H1 diterima jika terdapat perbedaan skor, kategori rendah ke tinggi atau tinggi ke rendah pada taraf hidup rumah tangga dan Ho ditolak. Hal ini berarti telah terjadi perubahan kondisi ekonomi antara sebelum dan setelah adanya ekowisata di Kampung Batusuhunan.

(33)

METODE

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokoknya (Singarimbun dan Effendi 1989). Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendukung penelitian kuantitatif, yang dilakukan melalui observasi, studi literatur, dan wawancara mendalam.

Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan metode survei tehadap responden. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang ditujukan kepada responden mengenai pengaruh ekowisata berbasis masyarakat terhadap kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat di Kampung Batusuhunan. Adapun kuesioner dapat dilihat pada lampiran 3. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa panduan wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih menggunakan metode snowball untuk melengkapi data pendekatan kuantitatif. Snowball adalah teknik penentuan informan menggunakan

“rantai rujukan”, informan yang ditemui akan merujuk peneliti ke informan lain sehingga memungkinkan perkembangan mata rantai rujukan yang dibutuhkan peneliti (Bungin 2007).

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory merupakan penelitian dengan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi 1989).

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lokasi tempat dikembangkannya kawasan ekowisata Curug Cigangsa, yaitu di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan hasil pengamatan peneliti sebelumnya terhadap lokasi melalui internet, studi literatur, dan survei penelitian. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa Kampung Batusuhunan memiliki potensi ekowisata berupa Curug Cigangsa yang dikelola berbasis masyarakat. Kampung Batusuhunan merupakan kampung yang lokasinya paling dekat dengan Curug Cigangsa, sehingga kegiatan ekowisata yang dilakukan di Curug Cigangsa akan memberikan pengaruh langsung terhadap masyarakat Kampung Batusuhunan. Selain itu, Kampung Batusuhunan merupakan kawasan yang menjadi prioritas pertama dalam pembangunan wilayah Kelurahan Surade karena selama ini wilayah Kampung Batusuhunan kurang berkembang dibandingkan dengan kampung-kampung di Kelurahan Surade lainnya

(34)

pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 Kegiatan

Populasi sasaran dari penelitian ini adalah masyarakat Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya diduga. Unit analisis yang diteliti adalah rumahtangga. Populasi dalam penelitian ini adalah rumahtangga pemilik usaha di bidang ekowisata, bekerja di industri ekowisata, maupun pengelola ekowisata yang berada di Kampung Batusuhunan RW 08 yang terdiri atas 5 RT yaitu, RT 11, 12, 14, 16, dan 17. Unit sasaran dalam penelitian ini adalah suami/istri/anggota rumahtangga lainnya yang dapat memberikan data yang relevan mengenai masalah penelitian.

Responden didefinisikan sebagai pihak yang memberi keterangan tentang diri sendiri dan kegiatan yang dilaksanakannya. Penelitian ini menggunakan metode sensus, sehingga semua anggota populasi dijadikan responden dalam penelitian ini. Penentuan responden tersebut berdasarkan alasan bahwa pemilik usaha, pekerja, dan pengelola di bidang ekowisata merupakan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan ekowisata berbasis masyarakat sehingga dapat memberikan data yang relevan mengenai perubahan kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi sebelum dan setelah adanya ekowisata. Jumlah responden dengan metode sensus ini berjumlah 34 orang yang terlibat langsung dalam kegiatan usaha ekowisata di Kampung Batusuhunan.

(35)

lingkungannya, dalam penelitian ini khususnya mengenai pengelolaan ekowisata kampung batusuhunan, profil desa, serta perubahan ekologi dan sosial ekonomi masyarakat dengan adanya pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan.

Pendekatan kualitatif juga digunakan untuk pelengkap data kuantitatif yang diperoleh dari responden mengenai perubahan kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi dengan adanya pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Selain itu, pendekatan kualitatif juga digunakan untuk menggali informasi mengenai profil lokasi penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner dan wawancara mendalam, kuesioner yang ditujukan kepada responden, dan informan. Wawancara mendalam diarahkan melalui panduan pertanyaan wawancara. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang terkait dengan data-data mengenai topik penelitian yang didapatkan dari studi literatur yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku teks, artikel, skripsi, tesis, karya ilmiah, serta arsip/dokumen Pemerintah Kelurahan Surade dan Kampung Batusuhunan.

Teknik Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh pada penelitian ini diperoleh merupakan data hasil kuesioner responden yang diolah dengan menggunakan program microsoft excel 2010. Data juga diolah dengan tabulasi silang dan dianalis secara statistik dengan uji statistik t yang menguji dua variabel dependen menggunakan software SPSS 16.0 For Windows. Uji statistik t (t test) ini digunakan untuk menguji beda adanya perubahan antara kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi sebelum dan setelah adanya ekowisata.

(36)
(37)

PROFIL LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis, Topografis, dan Demografis Kelurahan Surade

Secara administratif, Kampung Batusuhunan merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis Kelurahan Surade mempunyai luas 622,05 Ha, berada di sebelah selatan wilayah Kabupaten Sukabumi yang secara umum terbagi menjadi dua katagori lahan. Pertama, sebelah utara dan selatan yang mayoritas didominasi oleh lahan kering, perumahan, dan perkotaan. Kedua, sebelah barat dan timur didominasi oleh lahan basah pesawahan. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :

utara : Desa Citanglar timur : Desa Jagamukti

selatan : Desa Buniwangi dan Desa Pasiripis barat : Desa Kadaleman

Kelurahan Surade berjarak 63 km dari Ibu Kota kabupaten Sukabumi, sedangkan dari Ibu kota Provinsi berjarak 217.5 km. Kondisi Topografi Kelurahan Surade memiliki ketinggian 116 meter di atas permukaan laut (dpl) dan secara umum wilayah Kelurahan Surade memiliki ketinggian berkisar antara 15-300 meter dpl. Rata-rata suhu udara berkisar antara 150C-250C, dengan suhu rata-rata 260C. Bentuk permukaan tanah (morfologi) relatif datar diseluruh bagian Kelurahan, baik di bagian utara, timur, selatan maupun barat wilayah Kelurahan Surade.

Secara demografi, jumlah penduduk Kelurahan Surade Kecamatan Surade cenderung tetap dengan mutasi lahir, mati, pindah datang dan pindah pergi. Pada Bulan Januari 2013 ini penduduk Kelurahan Surade berjumlah 9 289 Jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2 762 KK. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk Kelurahan Surade dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Surade menurut jenis kelamin, tahun 2013

Sumber : Profil Kelurahan Surade (2013)

(38)

Jenis pekerjaan masyarakat Surade terbagi dalam beberapa bidang yaitu, pertanian, perdagangan, PNS, peternakan, jasa, home industry, kesenian, dan lain lain. Untuk rinciannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Jenis pekerjaan mayarakat Surade

Berdasarkan gambar 2 diatas, dapat dilihat bahwa terdapat beragam jenis pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat Surade, dari pertanian hingga kesenian. Pada bidang pertanian sebesar 781 orang (44.6 persen), di bidang perdagangan sebesar 302 orang (17.2 persen), PNS/Karyawan sebesar 260 (14.8 persen), di bidang jasa sebesar 133 orang (7.6 persen), home industry sebesar 47 orang (2.7 persen), di bidang kesenian sebesar lima orang (0.3 persen), dan sisanya yang berjumlah 45 orang (2.6 persen) bekerja pada bidang lain. Kondisi lahan pertanian yang masih mendukung untuk menghasilkan keuntungan dan kebutuhan sehari-hari masyarakat menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama di Kelurahan Surade.

(39)

Gambar 3 Persentase tingkat pendidikan masyarakat Surade

Masyarakat Surade dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Sunda, sedangkan para pendatang menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Di tempat formal, seperti sekolah, kantor instansi pemerintahan, dan tempat resmi lainnya masyarakat menggunakan bahasa Indonesia.

Kondisi Infrastruktur Kelurahan Surade

Ketersediaan sarana infrastruktur di Kelurahan Surade sudah cukup memadai dari sarana peribadatan, kesehatan, hingga pendidikan. Untuk sarana pendidikan, tersedia delapan PAUD, dua Taman Kanak-kanak, enam Sekolah Dasar, delapan Madrasah, dua SMK Swasta, tujuh Pondok Pesantren, dan dua Perguruan Tinggi Swasta. Sarana kesehatan terdiri dari satu Puskesmas, 12 Posyandu, empat Klinik Dokter, dan satu Poskesdes. Terdapat 28 masjid dan 46 mushola yang didirikan di Kelurahan Surade yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sedangkan untuk umat kristiani biasanya beribadah di Desa Ujung Genteng karena Kelurahan Surade tidak memiliki gereja.

(40)

Gambaran Umum Kampung Batusuhunan

Kampung Batusuhunan terletak di RW 08 Kelurahan Surade yang terdiri dari lima RT yaitu, RT 11, 12, 14, 16, dan 17. Wilayah Kampung Batusuhunan dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Kampung Batusuhunan berada di pinggiran Kelurahan Surade dengan jarak tempuh tiga km. Tidak ada transportasi umum layaknya angkot untuk menuju kampung ini, namun terdapat ojek motor dengan tarif sebesar Rp 5 000 dengan kondisi jalan yang rusak dan berbatu. Kampung ini memiliki 107 jiwa penduduk yang terbagi ke dalam 33 KK dengan jumlah pria 54 jiwa (50.5 persen) dan wanita 53 jiwa (49.5 persen). Nama Batusuhunan berasal dari bentuk batu-batu yang bersusun di tengah bendungan yang ada di kampung ini, susunan batu ini berbentuk seperti rumah sehingga masyarakat memberi nama Batusuhunan (batu yang bersusun) untuk kampung ini. Kampung Batusuhunan memiliki potensi wisata yang masih alami, yaitu:

a. Air terjun (curug) Luhur yang menggunakan aliran air sungai cigangsa, pada curug ini terdapat tiga undak yaitu, leuwi mariuk yang paling atas, undak tengah, dan di undak paling bawah terdapat batu masigit yang dianggap keramat oleh masyarakat. Dahulu, di batu masigit inilah tempat berkumpul dan beribadah para wali.

b. Area Persawahan yang terdapat diantara pemukiman warga dan curug cigangsa

c. Leuwi Kanyere dan Leuwi Bali

d. Curug Jawa dan Curug Nusa, Nusa adalah delta atau pulau kecil yang terdapat di tengah sungai.

e. Batu tonjong, yang merupakan dinding batu sungai cigangsa yang memiliki panjang + 200 m, batu tonjong ini mirip dengan green canyon.

f. Curug anjung merupakan curug yang tidak terlalu dalam tetapi seluruh permukaannya merupakan batu hijau.

g. Saluran irigasi cigangsa, saluran ini menggunakan air yang berasal dari aliran sungai cigangsa untuk mengairi sawah petani. Kedalaman saluran irigasi ini kurang dari 1 m sehingga potensial untuk dipergunakan sebagai salah satu

sarana permainan mini arum jeram dengan nama “papalidan”.

Ekowisata Berbasis Masyarakat Kampung Batusuhunan

(41)

1. Tahap Perencanaan

Implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan serta menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing masing.

Pada awalnya, pemerintah yang menginisiasi masyarakat untuk bersama-sama membuka kawasan Curug Cigangsa sebagai tempat wisata. Namun masyarakat menolak untuk pembangunan area wisata karena khawatir akan ada pengaruh-pengaruh negative yang dibawa oleh wisatawan ke dalam kampung mereka. Namun, setelah ada perbincangan lebih mendalam antara pemerintah, tokoh masyarakat, dan masyarakat Kampung Batusuhunan akhirnya pembukaan kawasan wisata disetujui tetapi dengan syarat bahwa jenis wisata yang ditawarkan adalah

“Ekowisata Islami” sehingga segala tingkah laku wisatawan yang ada

harus sesuai dengan kaidah-kaidah islam. Mengingat mayoritas masyarakat Kampung Batusuhunan beragama islam dan untuk menghindari hal-hal yang buruk kedepannya.

2. Tahap Pelaksanaan

Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Pembangunan sarana prasarana ekowisata dimulai sejak tahun 2010 dengan dana dari pemerintah sebesar 300 juta Rupiah dan 75 juta Rupiah dari swadaya masyarakat. pembangunan ekowisata, baik pria maupun wanita ikut bekerjasama membuat sarana dan prasarana menuju Curug Cigangsa seperti jalan tangga menuju curug, pengaspalan jalan, membuat gapura, menyediakan tong sampah, dan menanam pohon. Pada saat pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ekowisata, pengurus ekowisata selalu mengundang seluruh masyarakat untuk diikutsertakan dalam musyawarah sehingga semua kegiatan pelaksanaan ekowisata juga diketahui oleh masyarakat setempat dan mereka ikut merasa memiliki ekowisata Curug Cigangsa. Akhirnya, pada tahun 2012 pembangunan sarana dan prasarana selesai dan selama masa pembangunan itu pula ekowisata Islami Curug Cigangsa mulai di buka sebagai ekowisata yang berada di kawasan Kampung Batusuhunan. Pada bulan November 2012, ekowisata ini dibuka secara resmi oleh Pemerintah Daerah Kecamatan Surade dan Kelurahan Surade.

3. Tahap Evaluasi

(42)

melakukan musyawarah bersama. Hal ini dilakukan untuk memonitoring kegiatan ekowisata dan sebagai pertanggungjawaban pengurus agar ekowisata yang dijalankan dapat terus berkembang dengan baik. Hasil dari keuntungan ekowisata digunakan untuk biaya perawatan fasilitas ekowisata dan disumbangkan untuk masyarakat Kampung Batusuhunan. Sejarah Ekowisata Curug Cigangsa

Pada awalnya, Curug Cigangsa yang berada di Kampung Batusuhunan bukanlah lokasi ekowisata. Pada tahun 1997 organisasi kepemudaan BALADAKA Kecamatan Surade mengusulkan untuk membangun kawasan wisata di Curug Cigangsa. Namun, rencana tersebut tidak diizinkan oleh tokoh adat setempat yaitu, Pak HBY. Alasannya adalah Curug Cigangsa merupakan kawasan keramat peninggalan nenek moyang yang harus dijaga, beliau khawatir akan terjadi kerusakan yang dilakukan oleh para wisatawan yang berkunjung ke Curug Cigangsa nantinya. Selain itu, jika dijadikan tempat wisata tidak menutup kemungkinan akan didirikan penginapan dan vila untuk menginap, beliau pun tidak mengizinkan dengan alasan mencegah pengaruh negatif yang dibawa oleh wisatawan ke kampung mereka. Pengaruh yang dibawa wisatawan ada yang bersifat negatif maupun positif sehingga masyarakat harus dapat memilah dengan tepat yang baik dan buruk seperti cara berpakaian, gaya hidup, dan cara berbicara wisatawan. Pengaruh ini akan masuk ke lingkungan masyarakat setempat dan akan mempengaruhi kondisi lingkungan yang hingga kini masih terjaga norma dan adatnya.

Kemudian selang beberapa tahun, dibuatlah Rencana Tindak Penataan Lingkungan dan Pemukiman (RTPLP) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007. Peraturan ini berisi tentang niat pemerintah daerah yang mulai tertarik untuk membangun kawasan wisata di Kampung Batusuhunan. Namun, dengan alasan yang sama masyarakat dan tokoh adat setempat menolak rencana tersebut.

Hingga pada tahun 2010, melalui PLP-BK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas) pemerintah mulai mengajak masyarakat untuk bersama-sama membuka kawasan Curug Cigangsa sebagai tempat wisata. PLP-BK ialah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan ditempatkan di enam kabupaten tiap provinsi. Tujuan utama pembentukan PLP-BK adalah untuk menciptakan tatanan kehidupan dan hunian yang tertata secara selaras, sehat, produktif, berjati diri, dan berkelanjutan. Fokus utama PLP-BK adalah pada penguatan dan pengembangan sosial kapital melalui pengokohan nilai-nilai universal dan kearifan lokal, penguatan pelayanan masyarakat di bidang ekonomi, lingkungan, sosial, serta membuka ruang kreativitas dan inovasi di masyarakat untuk menciptakan sumberdaya pembangunan pemukiman. Ciri utama PLP-BK ialah Community Based Management, yakni menangani persoalan pemukiman melalui perencanaan, pelaksanaan, serta pengelolaan hasil-hasil pembangunan yang dipelihara dan dikelola oleh masyarakat setempat.

(43)

perekonomiannya dibandingkan dengan wilayah di kawasan surade lainnya. Arah pengembangan ekowisata ini diharapkan dapat sesuai dengan visi pengembangan

Surade yaitu, “mewujudkan lingkungan dan masyarakat Kelurahan Surade yang

agamis, sehat, kreatif, produktif, dan sejahtera”.

Setelah melalui proses yang cukup lama dan kesepakatan bersama, akhirnya masyarakat Kampung Batusuhunan setuju apabila kawasan ini dibuka untuk umum dengan syarat jenis wisata yang ditawarkan adalah “Ekowisata

Islami” sehingga segala tingkah laku wisatawan yang ada harus sesuai dengan

kaidah-kaidah islam. Mengingat mayoritas masyarakat Kampung Batusuhunan beragama islam dan untuk menghindari hal-hal yang buruk kedepannya.

Hasil penelitian Adelia (2012) menjelaskan bahwa Ekowisata Islami yang ditawarkan di Curug Cigangsa dikembangkan dan dikelola berdasarkan mitos dan norma yang dipercaya dan dianut masyarakat setempat. Norma dan mitos tersebut sejalan dengan aturan-aturan yang diajarkan oleh agama islam. Dengan adanya mitos dan norma maka terbangun tata aturan/pedoman dalam mengelola ekowisata. Mitos, norma dan aturan adat lokal yang berbasis islam dianggap dapat menjadi penangkal dampak negatif yang mungkin hadir seiring dengan hadirnya wisatawan ke lokasi tersebut. Norma-norma dan mitos-mitos yang dipercaya dan diyakini masyarakat bersifat turun-temurun diperoleh dari para nenek moyang yang ada di Kampung Batusuhunan. Masyarakat yang mendiami Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat asli yang sudah dari dulu mendiami kawasan tersebut, sehingga segala peraturan, norma dan mitos yang ada juga bersifat turun-temurun dan mendarah daging dalam diri masyarakat.

Norma-norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa ditaati masyarakat karena sejalan dengan aturan-aturan yang diajarkan oleh agama Islam. Norma-norma tersebut antara lain:

1. Norma untuk tidak membuang sampah sembarangan baik di Kampung Batusuhunan maupun Curug Cigangsa.

2. Norma yang melarang menebang pohon sembarangan. 3. Norma yang melarang meminum minuman keras/alkohol. 4. Norma yang melarang untuk menggunakan narkotika.

5. Norma yang melarang wanita dan pria yang bukan muhrim berdua-duaan di lokasi ekowisata.

6. Norma yang melarang untuk membuat bangunan mencurigakan di lokasi ekowisata.

7. Norma yang melarang untuk berada di lokasi Curug Cigangsa setelah pukul 5 sore.

8. Norma yang melarang untuk merusak/mengotori kawasan Curug Cigangsa. Kesemua norma tersebut ditaati dan dijadikan pedoman masyarakat dalam pengembangan lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Norma-norma yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa dibuat berdasarkan kaidah-kaidah Islam dan aturan-aturan yang diajarkan oleh Islam. Norma-norma itu sendiri bermanfaat bagi kelestarian lingkungan Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa, dan juga bermanfaat untuk melestarikan kebudayaan masyarakat yang terkenal Islami dan masih menjunjung tinggi ajaran-ajaran leluhur.

(44)

masyarakat menyadari bahwa dampak negatif yang mungkin muncul dapat

menggeser konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan konsep ekowisata di Kampung Batusuhunan. Masyarakat pun lebih merasakan dampak positif yang muncul dibandingkan dengan dampak negatif dari ekowisata. Hal ini dikarenakan saat ini responden sudah merasakan dampak positif dari ekowisata berupa peningkatan pendapatan dan perluasan lapangan pekerjaan dalam bidang ekowisata.

Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata didorong oleh adanya harapan dari beberapa pihak untuk kemajuan ekonomi masyarakat dan wilayah ekowisata. Masyarakat Batusuhunan sebagai aktor utama dari kegiatan ekowisata di Curug Cigangsa memiliki harapan yang tinggi dalam aspek ekonomi dibandingkan dengan aspek ekologi juga sosial budaya. Hal ini terjadi karena masyarakat menginginkan adanya peningkatan pendapatan baik untuk masing-masing individu maupun untuk Kampung Batusuhunan secara keseluruhan. Harapan terhadap aspek ekonomi yang menjadi pendorong paling besar pada masyarakat untuk menyetujui pengembangan kawasan ekowisata.

Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat

Bentuk ekowisata yang ditawarkan di Curug Cigangsa konsep Ekowisata Islami yang dikelola berbasis masyarakat. Segala peraturan yang terdapat di lokasi ekowisata telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah islam dan adat masyarakat setempat di lokasi ekowisata ini. Walaupun belum sepenuhnya mengikuti kaidah islam, akan tetapi segala norma yang dibuat sudah berpedoman pada kaidah-kaidah islam. Masyarakat sebagai pengelola pun berupaya optimal untuk membangun dan merawat kawasan ekowisata agar menjadi lebih baik dan nyaman dikunjungi wisatawan. Objek daya tarik yang diunggulkan adalah ekowisata Curug Cigangsa yang menawarkan atraksi wisata tempat bermain, penyimpanan benda cagar budaya, irigasi, dan pemancingan. Selain itu, terdapat produk-produk khas untuk souvenir dan makanan khas seperti opak, gula kelapa, dan keripik singkong.

Pada tahun 2010, setelah adanya persetujuan untuk membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata dari masyarakat setempat, pemerintah Kelurahan Surade mulai mengajukan proposal dana kepada pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi untuk melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan Curug Cigangsa yang sebelumnya masih sangat alami. Bantuan awal yang diberikan oleh pemerintah kabupaten melalui PLP-BK ialah berjumlah sekitar 300 juta Rupiah. Ditambah lagi dengan iuran swadaya oleh masyarakat Kampung Batusuhunan yang mencapai 75 juta Rupiah. Sehingga total biaya pembangunan infrastruktur kawasan ekowisata sebesar 375 juta Rupiah. Dana tersebut dialokasikan untuk membangun jalan setapak dan tangga-tangga kecil yang dapat memudahkan wisatawan untuk mengunjungi Curug Cigangsa. Masyarakat juga membuat tiga buah tempat bersantai dan istirahat di tiga titik kawasan Curug Cigangsa. Selain itu, masyarakat sudah menyiapkan tiga bangunan tempat pembuangan sampah akhir, beserta beberapa tong sampah yang disimpan di sekitar Curug Cigangsa. Bantuan dana tersebut juga digunakan untuk membuat dua buah toilet umum dan bangunan loket untuk pembelian tiket.

(45)

Masa aktif kepengurusan PLP-BK sudah berakhir dan belum ada pergantian kepengurusan kembali hingga pada saat dilakukannya penelitian.

“PLP-BK ditugaskan untuk membimbing masyarakat Batusuhunan dan mengawasi jalannya ekowisata. Namun lembaga ini sekarang sudah tidak ada dalam organisasi kelurahan karena masa kepengurusan sudah berakhir.” (RIM/ 59 Tahun/ Sekertaris Kelurahan Surade)

Sampai saat ini, kepengurusan ekowisata masih dipegang oleh masyarakat setempat dengan struktur yang sederhana. Kepengurusan diketuai oleh tokoh yang dihormati di Kampung Batusuhunan yaitu Pak HBY. Kemudian sekretaris dan bendahara yang di jabat masing-masing oleh Pak WAN dan Ibu ROR.

“Struktur kepengurusan hanya sebagai formalitas saja, pada dasarnya

seluruh masyarakat Kampung Batusuhunan yang mengelolanya.” (HBY/ 70 Tahun/ Ketua Ekowisata)

Gambar 5 Struktur kepengurusan ekowisata berbasis masyarakat Kampung Batusuhunan

Berdasarkan gambar 5 di atas, struktur kepengurusan ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Batusuhunan dapat dijelaskan sebagai berikut, ketua ekowisata sekaligus sebagai tokoh yang dihormati oleh masyarakat setempat berperan sebagai wakil dari masyarakat yang dipercayai dan penasehat ekowisata yang mengarahkan pengelolaan jalannya ekowisata agar tetap pada aturan-aturan islami. Sekretaris berperan dalam mengurus berkas proposal pengajuan dana, surat-surat undangan rapat, dan laporan pertanggungjawaban mengenai pengelolaan ekowisata. Bendahara berperan dalam mengumpulkan keseluruhan dana yang masuk untuk pengelolaan ekowisata. Dana pengelolaan ekowisata sendiri berasal dari bantuan pemerintah uang tiket masuk sebesar Rp 2 000/ tiket. Apabila ada yang memakai jasa guide sebesar Rp 25 000, sebanyak 20 persen akan disumbangkan ke dalam uang kas yang dikumpulkan ke bendahara. Uang kas ini nantinya akan dibagi kepada seluruh KK (33 KK) pada saat Idul Fitri. Masyarakat Kampung Batusuhunan sendiri terlibat dalam kegiatan ekowisata dengan berperan sebagai tour guide, menyediakan katering, membuat gula kelapa sebagai oleh-oleh khas Kampung Batusuhunan, serta menjual es kelapa. Selain

BENDAHARA Ibu ROR Masyarakat Kampung

Batusuhunan KETUA

Pak HBY

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tabel 1 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013
Gambar 2 Jenis pekerjaan mayarakat Surade
Gambar 3 Persentase tingkat pendidikan masyarakat Surade
+4

Referensi

Dokumen terkait

pengolahan data kuisioner yang menunjukan bahwa terjadi kenaikan kondisi ekonomi masyarakat Desa Kertawangi sebelum dan setelah keberadaan Dusun Bambu, maka dapat

Hasil penelitian menunjukkan tentang dampak peralihan kawasan hutan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat desa di sekitar kawasan hutan, yakni pada aspek sosial terjadi

Gillin ‘Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan dan menganalisis perbedan yang terjadi dalam bidang sosial ekonomi sebelum dan sesudah adanya sentra industri jamu gendong di

Persepsi Adminis Sosial Ek Penen dampak yan perubahan Kecamatan dengan m variabel at skoring da perubahan ternyata me yang cukup kondisi so masyarakat berdampak masyarakat Hal

Dari hasil makalah ini dapat ditarik kesimpulan yaitu perubahan sosial dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 ini adalah ekowisata bahari, dengan Judul Dampak Pengembangan Ekowisata Terhadap Kehidupan Sosial dan

Lokasi ini dipilih dengan alasan karena di Jorong Tanjuang Pangka Nagari Lingkuang Aua ini, terjadi perubahan mata pencaharian, pendapatan dan keadaan sosial masyarakat setelah