• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Review of Gneralized Space Time autoregressive Model (Case of Forest Fire Hotspots Data in Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Review of Gneralized Space Time autoregressive Model (Case of Forest Fire Hotspots Data in Riau)"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN MODEL REGRESI DIRI RUANG-WAKTU

TERAMPAT

(Kasus : Data Hotspot Kebakaran Hutan di Riau)

RAHMADENI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Model Regresi Diri Ruang-Waktu Terampat (Kasus : Data Hotspot Kebakaran Hutan di Riau) adalah karva saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Rahmadeni G151090131

(3)

ABSTRACT

RAHMADENI. The Review of Gneralized Space Time autoregressive Model (Case of Forest Fire Hotspots Data in Riau). Under direction of ERFIANI, and KUSMAN SADIK.

Review of Gneralized Space Time autoregressive Model (GSTAR) model was a method used to model space-time series data. This model was developmented of the STAR model in which GSTAR generate space-time model with the parameters that should not be the same for the time and space dependence. This study aims to assess and develop procedures for the establishment of an appropriate model GSTAR on spatial time series data and determine the best and appropriate GSTAR model on the number of forest fire hotspots data in Riau. Estimating the parameters in the model GSTAR can be done using the least squares method by minimizing the sum squares of error. It was resulted that GSTAR Model (11) with inverse distance weighting is the best model for

modeling the number of forest fire hotspots data in Riau.

(4)

RINGKASAN

RAHMADENI. Kajian Model Regresi Diri Ruang-Waktu Terampat(Kasus : Data Hotspot Kebakaran Hutan di Riau). Dibimbing oleh ERFIANI dan KUSMAN SADIK.

Kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997/1998 telah mendapatkan perhatian yang luas baik nasional maupun internasional. Peristiwa tersebut menghanguskan 11,7 juta Ha hutan dengan kerugian ekonomi sebesar 1,62-2,7 milyar dollar dan menghasilkan emisi karbon sebesar 206,6 juta ton karbon serta dampak asapnya mempengaruhi 75 juta jiwa (Tacconi 2003). Untuk sektor transportasi udara, kerugian total berkisar antara Rp.100,78 - Rp.122,69 milyar. Belum lagi dampak lainnya seperti kerusakan ekologis, hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya produktifitas tanah, timbulnya dampak sosial dimasyarakat dan lain sebagainnya.

Pemantauan kejadian kebakaran hutan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi pola kebakaran yeng terjadi dapat dilihat dari data sebaran

hotspot (titik panas) dari suatu daerah. Data yang dihasilkan ditampilkan sebagai data sebaran titik api. Data sebaran titik api akan mempunyai sebaran yang berbeda pada waktu-waktu tempat-tempat tertentu. Fenomena kebakaran hutan ini pada umumnya terjadi seiring dengan pergeseran musim kearah kemarau dan juga dapat terjadi pada daerah yang rawan kebakaran hutan. Salah satu model dalam statistika yang dapat menggabungkan unsur ketergantungan waktu dan lokasi pada suatu data deret waktu peubah ganda adalah model ruang-waktu. Model ruang-waktu ini pertama kali diperkenalkan oleh Pfeifer dan Deutsch (1980). Model ruang-waktu yang sering digunakan adalah STAR (space time autoregressive) dan GSTAR (generalized space time autoregressive). Pada model STAR lebih sesuai untuk lokasi dengan karakteristik serba sama, karena model tersebut mengasumsikan parameter autoregresi dan parameter ruang-waktu bernilai sama untuk semua lokasi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data banyaknya jumlah koordinat hotspot untuk setiap bulan di setiap kabupaten di Riau. Data ini adalah data jumlah hotspot dari enam kabupaten di provinsi Riau yang mempunyai jumlah hotspot tertinggi setiap tahunnya. Selanjutnya kabupaten-kapupaten tersebut akan menjadi variabel dalam penelitian ini. Z1 variabel untuk jumlah

hotspot kebakaran hutan di Kabupaten Bengkalis, Z2 variabel untuk jumlah

hotspot kebekaran hutan di Kabupaten Rokan Hulu, Z3 variabel untuk jumlah

hotspot kebekaran hutan di Kabupaten Rokan Hilir, Z4 variabel untuk jumlah

hotspot kebekaran hutan di Kabupaten Indragiri Hulu, Z5 variabel untuk jumlah

hotspot kebekaran hutan di Kabupaten Indragiri Hilir, Z6 variabel untuk jumlah

hotspot kebekaran hutan di Kabupaten Pelalawan.

Penelitian ini menentukan model GSTAR terbaik dan sesuai pada data jumlah hotspot kebekaran hutan di Riau, dengan menggunakan matrik pembobot invers jarak dan korelasi silang.

(5)

dari model GSTAR(p1) ini terletak pada nilai-nilai parameter pada lag spasial

yang sama diperbolehkan berlainan. Pada model STAR adalah pada parameter autoregresifnya yang diasumsikan sama pada seluruh lokasi. Penaksiran parameter pada model GSTAR dapat dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dengan meminimumkan jumlah kuadrat simpangannya.

Matriks pembobot yang digunakan yaitu, matriks pembobot korelasi silang dan matriks pembobot normalisasi korelasi silang antar lokasi pada lag waktu yang bersesuaian.

Hasil yang diperoleh dari penelitian memperlihatkan bahwa Model GSTAR terbaik dan sesuai pada data jumlah hotspot kebakaran hutan di Riau adalah model GSTAR (11) dengan bobot lokasi invers jarak yang mempunyai nilai RMSE

terkecil yang bernilai 5.57014.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KAJIAN MODEL REGRESI DIRI RUANG-WAKTU

TERAMPAT

(Kasus : Data Hotspot Kebakaran Hutan di Riau)

RAHMADENI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Statistika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Kajian Model Regresi Diri Ruang-Waktu Terampat (Kasus : data hotspot kebakaran hutan di Riau) Nama : Rahmadeni

NRP : G151090131 Program Studi : Statistika

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Erfiani, M.Si. Dr. Kusman Sadik, M.Si Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Statistika Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Erfiani, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah model deret waktu, dengan judul “Kajian Model Regresi Diri Ruang-Waktu Terampat (kasus : data hotspot kebakaran hutan di Riau)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Erfiani, MSi dan Bapak Dr. Kusman Sadik, MSi selaku pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, kesabaran dan waktunya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS selaku penguji luar.

Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada orang tua dan seluruh keluarga atas do’a, dukungan, dan kasih sayangnya. Terimakasih kepada teman-teman Statistika angkatan 2009 dan keluarga besar Statistika dan semua pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuan, waktu dan kebersamaannya. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Air Tiris, pada tanggal 18 Juni 1984 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Tarmizi Saleh dan Ibu Nursa’diah.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Titik panas ... 5

Deret Waktu Peubah Tunggal ... 6

Deret Waktu Peubah Ganda ... 7

Model Regresi Diri Ruang-Waktu ... 9

Model Regresi Diri Ruang-Waktu Terampat ... 11

Kriteria Pemilihan Model Terbaik ... 15

DATA DAN METODE Data ... 17

Metode ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskriptif Data ... 19

Model GSTAR ... 22

Pengujian Asumsi Galat ... 28

Pemilihan Model Terbaik... 29

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 30

Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Statistik deskriptif jumlah data hotspot kebakaran bhutan ... 21

2 Nilai matriks pembobot korelasi silang ... 23

3 Pendugaan paramater dengan pembobot korelasi silang ... 24

4 Jarak antar lokasi dalam kilometer ... 26

5 Nilai matriks pembobot invers jarak... 26

6 Pendugaan paramater dengan pembobot invers jarak ... 27

7 Nilai Shapiro-Wilk ... 29

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Diagram alur analisis data ... 18 2 Plot deret waktu jumlah data hotspot kebakaran hutan per minggu ... 21 3 Plot nilai asli dan nilai peramalan model GSTAR dengan bobot korelasi

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Korelasi antar lokasi ... 35

2 Korelasi antar waktu ... 36

3 Hasil tes stasioneritas ... 39

4 Hasil model GSTAR dengan pembobot korelasi silang ... 44

5 Hasil model GSTAR dengan pembobot invers jarak ... 45

6 Hasil nilai Ljung and Box ... 46

(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Di saat kompleksitas ekosistem global sedikit demi sedikit dimengerti, interaksi antara satu kejadian alam dengan yang lainnya menjadi lebih jelas. Hal ini berlaku pada fenomena perubahan iklim global dengan penyebab sekaligus dampak yang menyertainya di Indonesia, yaitu kebakaran hutan dan lahan. Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan merupakan permasalahan yang serius yang harus dihadapi setiap tahun pada musim kemarau. Persepsi dan pendapat masyarakat yang berkembang tentang peristiwa kebakaran yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah bahwa kebakaran tersebut hanya terjadi di dalam hutan semata, padahal sesungguhnya peristiwa tersebut dapat saja terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan terjadi tidak hanya dilahan kering tetapi juga dapat di lahan basah seperti lahan gambut, terutama pada musim kemarau dimana lahan gambut tersebut mengalami kekeringan.

Pada beberapa tahun belakangan ini peristiwa kebakaran hutan merupakan salah satu peristiwa yang banyak terjadi di wilayah Indonesia. Peristiwa kebakaran hutan bukan hanya menimbulkan kerugian penduduk dan pemerintah Indonesia, namun juga asap kebakaran hutan tersebut menyebar ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Bahkan baru-baru ini pemerintah Singapura secara khusus mengirimkan personil dan peralatan untuk mengatasi kebakaran hutan di Propinsi Riau. Jika terjadi kebakaran hutan dalam skala luas akan menyebabkan perubahan iklim secara global di Asia Tenggara.

(17)

Pemantauan kejadian kebakaran hutan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi pola kebakaran yang terjadi dapat dilihat dari data sebaran

hotspot (titik api) dari suatu daerah. Pemantauan kejadian kebakaran hutan menggunakan satelit hingga saat ini menggunakan data citra (image) dari sensor NOAA-AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration-Advance Very High Resolution Radiometer). Data yang dihasilkan ditampilkan sebagai data sebaran titik api.

Data sebarantitik api akan mempunyai sebaran yang berbeda pada waktu-waktu tempat-tempat tertentu. Fenomena kebakaran hutan ini pada umumnya terjadi seiring dengan pergeseran musim kearah kemarau dan juga dapat terjadi pada daerah yang rawan kebakaran hutan.

Berdasarkan pengalaman tersebut maka upaya pencegahan kebakaran hutan haruslah dilakukan secara terpadu. Salah satu upaya yang efektif dan efisien adalah melalui penyediaan informasi tingkat bahaya kebakaran hutan yang dapat dilihat dari jumlah titik api kebakaran hutan pada waktu-waktu tertentu dalam satu daerah dengan memanfaatkan data-data titik api untuk dianalisis menjadi suatu model sehingga diperoleh gambaran tentang jumlah titik api untuk waktu yang akan datang pada daerah tertentu.

Analisis data deret waktu merupakan salah satu metode yang mampu menggambarkan pola data deret waktu terjadinya titik api, sedangkan model spasial diharapkan mampu menggambarkan sebaran tingkat kerawanan kebakaran hutan melalui jumlah titik api yang terjadi pada suatu daerah.

(18)

Kelemahan ini telah direvisi dan dikembangkan dengan nama Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) atau regresi diri ruang-waktu terampat. Model GSTAR adalah salah satu model yang banyak digunakan untuk memodelkan dan meramalkan data deret waktu dan lokasi, pada model GSTAR menghasilkan model ruang-waktu dengan parameter yang tidak harus sama untuk ketergantungan waktu maupun ketergantungan lokasi. Model ini merupakan pengembangan dari model STAR yang diperkenalkan pertama kali oleh Pfeifer dan Deutsch (1980).

Tujuan Penelitian

(19)
(20)

TINJAUAN PUSTAKA Titik Panas

Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak terkendali dan terjadi dengan tidak sengaja pada areal tertentu yang kemudian menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia dihutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul, daun-daunan dan pohon-pohon yang masih hidup. Syufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali.

Konsep kebakaran hutan dilukiskan sebagai segitiga api yang (the fire triangle). Sisi-sisi segitiga api tersebut adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas atau api. Jika salah satu atau lebih dari ketiga komponen pada sisi-sisi segitiga api tersebut tidak ada, maka kebakaran tidak akan pernah terjadi. Ketiga komponen yang mempengaruhi kebakaran hutan sangat tidak mungkin untuk mengatur jumlah oksigen karena oksigen selalu tersedia di alam namun bahan bakar dan sumber api dapat dikontrol, sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan. Berdasarkan pemahaman ini maka usaha pencegahan dapat dilakukan dengan cara membatasi ketersediaan dari komponen segitiga api yaitu bahan bakar dan sumber api.

Titik panas (hotspot) adalah terminology dari satu piksel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration).

Menurut Liew (2002) besaran batas ambang untuk penetapan titik api adalah sebesar 3160K. Sementara itu dalam proyek kerjasama DEPHUT-JICA (Japan

International Cooperation Agency) penetapan batas ambang titik api untuk wilayah Sumatra dan Kalimantan adalah sebesar 3150 K (420C) untuk hasil

siaman sensor siang hari dan 3100K (370) untuk malam hari (Sihaloho 2004).

(21)

nilai suhu yang menyebabkan terjadinya api aktif. Perbedaan berbagai penyedia data (provider) dalam penetapan batas ambang suhu untuk penetapan data titik api ini menunjukkan ketidak pastian informasi titik api.

Pemanfaatan data titik api sebagai informasi awal kejadian kebakaran tercatat digunakan pada berbagai kajian. Informasi tentang titik api di Indonesia dapat diperoleh dari beberapa sumber antara lain dari LAPAN, Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan Departemen Kehutanan-JICA. Suatu wilayah yang beriklim tropis seperti Indonesia kejadian kebakaran hutan umumnya semakin meningkat dengan semakin bergesernya musim kearah musim kemarau dimana hujan semakin jarang terjadi. Tingkat kekeringan berdampak pada semakin tingginya suhu pada iklim mikro yang memperbesar peluang keberhasilan meluasnya kebakaran/pembakaran.

Deret Waktu Peubah Tunggal

Deret waktu (Time Series) adalah proses stokastik ( ), ∈ , dengan indeks parameter waktu misalnya T = {0,1,…}. Waktu bisa saja merupakan parameter yang kontinu atau pun parameter diskret. Tetapi biasanya waktu yang digunakan merupakan indeks parameter diskret. Unit dari waktu bisa saja tahun, bulan, hari, atau tiap detik, bergantung pada situasi yang kita modelkan.

Masalah yang sering muncul dalam data deret waktu, jika kita mempunyai observasi x(1), … ,x(n), besar x(n+1) bisa ditaksir dengan menentukan :

1. Model dari x(t), dan

2. Prakiraan untuk x(t+1) untuk suatu l yang kita tentukan, dimana l merupakan

beda waktu.

Salah satu konsep dasar dalam analisis deret waktu sebagai alat pendeteksi utama mengetahui besar ketergantungan diri sendiri pada waktu-waktu sebelumnya merupakan hal yang cukup penting, yaitu fungsi korelasi diri sampel dan fungsi korelasi diri parsial sampel. Dari sini kita bisa menentukan model yang akan kita gunakan untuk menaksir data ke depan.

(22)

ganda. Pemodelan deret waktu dengan satu peubah tanpa mempertimbangkan peubah lain biasa disebut dengan deret waktu peubah tunggal.

Model regeresi diri (autoregressive) merupakan model regresi pada diri sendiri. Lebih spesifik lagi proses regresi diri (x(t)) orde ke p, dilambangkan

dengan AR(p), memenuhi nilai sekarang dari deret X(t) adalah kombinasi linear

dari p nilai sebelumnya ( yang terakhir ) dari dirinya sendiri ditambah galat a(t),

yang tidak dijelaskan oleh nilai-nilai sebelumnya.

Bentuk umum regresi diri dengan ordo p atau dapat ditulis dengan AR (p) mempunyai persamaan sebagai beriukut :

x(t) = ϕ x + ϕ x + ⋯ + ϕ x + a

dengan, adalah parameter regresi diri dan adalah nilai galat waktu t. Regresi diri juga dapat diartikan sebagai korelasi linear deret waktu itu sendiri dengan selisih waktu (lag) 0,1,2 periode atau lebih.

Deret Waktu Peubah Ganda

Deret waktu peubah ganda (multivariate time series) merupakan deret waktu yang terdiri dari beberapa peubah. Hal ini sering terjadi pada beberapa studi empirik. Contohnya dalam studi penjualan, beberapa peubah yang mungkin terlibat adalah volume penjualan, harga barang, dan biaya iklan. Identifikasi pada model deret waktu peubah ganda hampir sama dengan dengan model deret waktu peubah tunggal. Identifikasi tersebut dapat dilakukan berdasarkan pola atau struktur matriks fungsi korelasi diri (MAFC) dan matriks fungsi korelasi diri parsial (PAFC) setelah data stasioner.

Secara visual kestasioneran data pada model deret waktu paubah ganda juga dapat dilihat dari plot MACF dan MPACF serta plot Box-Cox. Plot MACF yang turun secara lambat mengindikasikan bahwa data belum stasioner dalam rataan sehingga perlu dilakukan pembedaan (differencing) untuk menstasionerkan data. Demikian juga dengan kestasioneran dalam ragam. Agar data stasioner dalam ragam, maka perlu dilakukan transformasi.

a. Kestasioneran

(23)

waktu. Berdasarkan plot tersebut dapat dilihat pola data. Jika diperkirakan mempunyai nilai tengah dan ragam yang konstan, maka data tersebut dapat disimpulkan stasioner.

Dalam menentukan kestasioneran sebaran data dengan menggunakan grafik tidak mudah, untuk itu dibutuhkan uji formal dalam menentukan kestasioneran data. Ada dua macam pengujian formal yang dapat dilakukan yaitu korelogram dan unit root test.

Serupa dengan model deret waktu peubah tunggal secara visual kestasioneran data pada model deret waktu peubah ganda juga dapat dilihat dari plot MACF dan PACF serta plot Box-Cox. Plot MCF dan MPACF yang turun secara lambat mengindikasikan bahwa data belum stasioner dalam rataan sehinga perlu dilakukan pembedaan untuk menstasionerkan data. Selain korelogram, kestasioneran juga dapat dilihat dengan menggunakan sebuah uji formal yaitu

Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test. Kestasioneran dalam ragam, dikatakan belum stasisioner jika batas atas dan batas bawah dari nilai lambda pada plot Box-Cox kurang dari nol. Agar data stasioner dalam ragam, maka transformasi perlu dilakukan.

Model GSTAR , terutama model GSTAR(11), adalah satu bentuk khusus

dari model VAR (Borovkova dkk, 2002 dan Ruchjana, 2002). Oleh karena itu, stasioneriatas dari model GSTAR dapat diperoleh dari kestasioneran model VAR.

Model GSTAR (11), ( ) = [Φ + Φ ] ( − 1) + ( ) dapat

direpresentasikan sebagai model VAR(1) : ( ) = Φ Z(t − 1) + e(t) dimana

Φ = [Φ + Φ ]. Jadi secara umum model GSTAR dikatakan stasioner jika

semua akar dari akar ciri pada matiks [Φ + Φ ] berada diluar lingkaran satuan atau | | < 1 (Suhartono dan Subanar 2006).

b. Matriks Fungsi Korelasi Diri

Diberikan suatu vektor deret waktu sebanyak n pengamatan Z1, Z2, …, Zn

matriks korelasi sampel dinyatakan sebagai :

( ) = [ ( )]

(24)

= ∑ , ( , )

[∑ ( , ) ∑ ( , ) ] /

dengan ̅ dan ̅ adalah mean sampel dari komponen deret yang bersesuaian. Fungsi matriks korelasi (matrix autocorrelation function) sampel sangat diperlukan dalam model MA, bila matriks korelasinya bernilai nol setelah lag ke-q maka model yang bersesuaian adalah MA(q). bentuk matriks dan grafik semakin kompleks apabila dimensi dan vektornya semakin besar, sehingga menyulitkan dalam hal pengidentifikasian.

c. Matriks Fungsi Korelasi Diri Parsial

Fungsi matriks parsial korelasi (matrix partial autocorrelation function)

sampel sangat diperlukan dalam model AR. Korelasi antara Zt dengan Zt+k bisa

diketahui setelah ketergantunga linear pada peubah , , … ,

dihilangkan. Persamaan matriks fungsi korelasi diri parsial(MPACF) dirumuskan sebagai berikut (Wei, 2006) :

Φ = [ − , − ]

( − ) −

Tiao dan Box (1981) dalam Wei (2006) mendefinisikan matriks fungsi korelasi parsial pada lag ke-k dinotasikan dengan ℘( ) sebagai koefisien matriks terakhir jika data diterapkan untuk suatu proses vektor regresi diripada orde ke-k. hal ini merupakan pengembangan definisi fungsi parsial sampel untuk deret waktu peubah tunggal yang dikemukakan oleh Box dan Jenkins (1976). Sehingga ℘( )

sama dengan Φ dalam regresi liniear peubah ganda. Seperti fungsi korelasi parsial (PACF) untuk kasus deret waktu peubah tunggal, MPACF juga bersifat terputus setelah lag p pada model VAR(p).

Model Regresi Diri Ruang-Waktu

(25)

menjelaskan hubungan antara suatu wilayah dengan wilayah sekitarnya adalah model spasial.

Salah satu permasalahan dalam model spasial adalah pemilihan atau penentuan bobot lokasi. Matriks ketergantungan spasial adalah matriks yang menggambarkan hubungan antar daerah.

Model ruang-waktu (space time) adalah salah satu model yang dapat menggabungkan unsur ketergantungan waktu dan lokasi pada suatu data deret waktu peubah ganda. Model ini merupakan pemodelan dari sejumlah pengamatan Zi(t) yang terdapat pada tiap N lokasi dalam dalam suatu ruang (i=1,2, …, N)

terhadap T periode waktu. N lokasi dalam suatu ruang disebut sites dan dapat mewakili berbagai situasi.

Data deret waktu dalam beberapa studi empirik seringkali terdiri atas pengamatan dari beberapa peubah, atau dikenal dengan deret waktu peubah ganda. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari kita jumpai data yang tidak hanya mengandung keterkaitan dengan kejadian pada waktu-waktu sebelumnya, tetapi juga mempunyai keterkaitan dengan lokasi atau tempat yang lain. Data semacam ini seringkali disebut dengan data deret waktu dan lokasi.

Efek waktu dirumuskan sebagai model deret waktu, dan efek lokasi dirumuskan sebagai matriks bobot spasial. Penelitian deret waktu mencakup segi teori dan praktis dalam rangka penerapan pada data titik api kebakaran hutan.

Model regresi diri ruang-waktu (space time autoregressive) adalah model yang dikategorikan berdasarkan lag yang berpengaruh secara linear baik dalam lokasi maupun waktu (Pfeiper and Deutsch, 1980). Seperti metode deret waktu pada umumnya, model ruang-waktu ini juga membutuhkan suatu sistem yang tidak berubah.

Model regresi diri ruang-waktu orde p1 atau STAR(p1) dirumuskan

sebagai berikut (Pfeifer and Deutsch, 1980) :

( ) = ∑ Φ ( ) ( − ) +Φ ( ) ( − ) + ( ) (1)

dengan :

Φ : parameter STAR pada lag waktu k dan lag spasial l,

(26)

( ) : vektor noise ukuran (n x 1) berdistribusi normal peubah ganda dengan rataan 0 dan matriks ragam-peragam

Z(t) : vektor acak ukuran (n x 1) pada waktu t, yaitu : ( ) = [ ( ) … ( )]

n : jumlah lokasi.

Model Regresi Diri Ruang-Waktu Terampat

Dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan data ruang-waktu yang merupakan gabungan data spasial dan data model deret waktu, misalnya dalam bidang ekologi, pertanian, ekonomi, geologi dan bidang aplikasi lainnya. Model regresi diri ruang-waktu terampat (generalized space time autoregressive) merupakan perluasan model STAR dari Pfeifer (1979). Model STAR merupakan model regresi diri deret waktu dari Box-Jenkins yang dikembangkan di beberapa lokasi secara simultan dan mempunyai karakteristik adanya keterantungan lokasi dan waktu.

Dari segi aplikasi, model STAR dari Pfefer lebih sesuai untuk lokasi-lokasi dengan karakteristik serba sama, karena model tersebut mengasumsikan parameter regresi diri dan parameter ruang-waktu bernilai sama untuk semua lokasi. Dalam praktek lebih sering ditemukan fenomena lokasi dengan sifat heterogen. Oleh karena itu, model GSTAR diusulkan sebagai perluasan model STAR dengan asumsi parameter-parameter model berubah untuk setiap lokasi.

Model GSTAR merupakan pengembangan dari model STAR model ini cendrung lebih fleksibel dibandingkan model STAR. Secara matematis, notasi dari model GSTAR(p1) adalah sama dengan model STAR(p1). Perbedaan utama

dari model GSTAR(p1) ini terletak pada nilai-nilai parameter pada lag spasial

yang sama diperbolehkan berlainan. Pada model STAR adalah pada parameter regeresi dirinya yang diasumsikan sama pada seluruh lokasi. Dalam notasi matriks, model GSTAR(p1) dapat ditulis sebagai berikut :

= ∑ [ + ] + (2)

dengan :

= ( , … , ) dan = ( , … , )

W = matriks pembobot (n x n) diplih sedemikian sehingga = 0 dan

(27)

e(t) = vektor noise ukuran (n x 1) Z(t) = vektor acak ukuran (n x 1) untuk model GSTAR orde 1:

diagonal ( , … , ) = matriks diagonal parameter regresi diri lag waktu 1 diagonal ( , … , ) = matriks diagonal parameter ruang-waktu lag spasial 1 dan lag waktu 1 ( )~ (0, ) untuk i = 1, 2, …, n

jadi persamaan (1) dapat ditulis :

( )( ) = Φ ( ) ( )( − 1) +Φ ( ) (( ) ) ( )( − 1) + ( )( )(3)

a. Pendugaan Metode Kuadrat Terkecil pada Model GSTAR Orde 1 Penaksir parameter model GSTAR dapat dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat simpangannya.

Jika jumlah pengamatan Zi(t), t = 0, 1, …, T, untuk lokasi i = 1, 2, …, n

dengan

( ) = ( )

maka model untuk lokasi ke-i dapat ditulis dengan :

= +

(28)

= ( , … ), = ( , … , ). Untuk setiap i = 1, 2, …, n, maka model liniear

parsialnya = + dengan kuadrat terkecil parameter untuk masing-masing lokasi dapat dihitung secara terpisah. Nilai dari penduga tergantung pada nilai-nilai Zt pada lokasi yang lain, karena ( ) = ∑ ( ).

Untuk tujuan teoritis selanjutnya akan dibawa kedalam struktur tambahan untuk memisahkan bobot dari variabel random Zi(t). untuk setiap i = 1, 2, …,n

didapatkan :

= 0 … 0

, 10

0

,

… 0

kemudian Xi dapat ditulis dengan :

= [ (0) (1) … ( − 1)] (4)

demikian juga dengan :

= ( ⨂[ (0) (1) … ( − 1)])

dimana M = diag (Mi, …, Mn). ⨂ menandakan matriks blok dengan aijB.

dapat disimpulkan bahwa penduga kuadrat terkecil untuk

= ( , , , , … , , ) Cukup baik pada persamaan umum

= dengan X dan u yang diuraikan diatas. Selain itu dapat ditentukan

sendiri bahwa matriks X’X adalah nonsingular, sehingga persamaan (4)

mengikuti hal tersebut, yaitu :

= ( ⨂ ( − 1) ( − 1))

= ( ( ( − 1) ( )))

dimana vec(.) merupakan tumpukan kolom dari matriks. Hal ini dibatasi oleh prilaku dari yang sepenuhnya dipengaruhi oleh

∑ ( − 1) ( − 1) dan ( − 1) ( ))

Struktur data yang diguakan untuk penelitian ini adalah :

( ) =Φ Z(t − 1) +Φ W( )Z(t − 1) + e(t)

(29)

( )

b. Pemilihan Bobot Lokasi pada Model GSTAR

Salah satu permasalahan utama pada pemodelan GSTAR adalah pemilihan atau penentuan bobot lokasi. Terdapat beberapa cara penentuan bobot lokasi yang sering digunakan dalam aplikasi model GSTAR yaitu :

Bobot Inverse Jarak

Nilai dari bobot invers jarak yang didapatkan dari perhitungan berdasarkan jarak sebenarnya antar lokasi. Lokasi yang berdekatan mendapatkan nilai bobot yang lebih besar.

(30)

dengan jarak yang jauh diduga memiliki keterkaitan antar lokasi yang kecil. Sebaliknya, untuk lokasi dengan.

Bobot Korelasi Silang

Suhartono dan Subanar (2006) memperkenalkan suatu metode penentuan bobot baru yaitu dengan menggunakan hasil normalisaasi korelasi silang antar lokasi pada lag waktu yang bersesuaian. Penggunaan bobot ini pertama kali diperkenalkan oleh Suhartono dan Atok (2006). Secara umum korelasi silang antar dua variabel atau antara lokasi ke-i dan ke-j pada lag waktu ke-k ,

( ), ( − ) didefinisikan sebagai :

( ) = ( ), = 0, ±1, ±2, …

Dengan adalah kovarians silang antara kejadian di lokasi ke-i dan ke-j

pada lag waktu ke-k, dan adalah standar deviasi dari kejadian di lokasi ke-i

dan ke-j. Taksiran dari korelasi silang ini pada data sampel adalah :

( ) = ∑ [ ( ) − ][ ( − ) − ]

(∑ [ ( ) − ] )(∑ [ ( ) − ] )

Nilai-nilai korelasi silang pada sampel ini dapat diuji, nilainya sama atau berbeda dengan 0 (nol). Uji hipotesis atau inferensia statistik itu dapat dilakukan dengan taksiran interval ( ) ±[ , ]. Selanjutnya penentuan bobot lokasi dapat ditentukan dengan normalisasi dari hasil inferensia korelasi silang antar lokasi pada waktu yang bersesuaian tersebut. Proses ini secara umum menghasilkan bobot lokasi untuk model GSTAR (11) sebagai berikut :

= |( )( )| , dengan ≠ dan bobot ini memenuhi ∑ = 1.

Kriteria Pemilihan Model Terbaik

Akaike’s Information Criterion (AIC) dan nilai Root Mean Squared Error

(RMSE) akan digunakan dalam proses pemilihan model terbaik. Berikut ini dijelaskan masing-masing kriteria pemilihan model terbaik.

Salah satu kriteria pemilihan dalam penentuan model terbaik pada training

(31)

( ) = log det ( ( )) +2

~

Log adalah notasi logaritma natural, det (.) merupakan notasi determinan ,

dan ∑ ( ) =~ ∑ adalah matriks taksiran kovarian residual dari model

VAR(p), T merupakan banyak observasi dan K merupakan jumlah parameter dalam model.

Root Mean Squared Error ( RMSE ) adalah ukuran perbedaan antara nilai prediksi dari model atau penaksir dengan nilai sebenarnya dari observasi. RMSE digunakan untuk memperoleh gambaran keseluruhan standar deviasi yang muncul saat menunjukkan perbedaan antara model, atau hubungan yang dimilki. Untuk mengetahui besarnya nilai RMSE, dapat digunakan rumus sebagai berikut :

= √ = 1 ( − )

(32)

DATA DAN METODE Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data aplikasi titik panas yang mengindikasikan terjadinya kebakaran hutan di Riau, yaitu banyaknya jumlah titik panas untuk setiap bulan di setiap kabupaten di Riau. Data ini adalah data jumlah titik panas dari enam kabupaten di provinsi Riau yang mempunyai jumlah titik panas tertinggi setiap tahunnya, yaitu kabupaten Bengkalis, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan Pelalawan. Data diambil dari tahun 2007 sampai 2011 pada bulan Februari sampai bulan Agustus setiap tahunnya.

Data titik panas diperoleh dari hasil rekaman satelit NOAA AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration-Advance Very High Reswolution Radiometer) diperoleh dari Departemen Kehutanan. Pemantauan kebakaran hutan dilakukan berdasarkan hasil citra NOAA AVHRR yang dipresentasikan dalam data titik panas. Penetapan titik panas dari citra NOAA ini didasarkan pada satu nilai batas ambang (threshold).

Metode

Tahapan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 dan dijabarkan secara rinci sebagai berikut :

1. Data jumlah titik panas kebakaran hutan di setiap kabupaten di Riau

Data jumlah titik panas yang dikumpulkan yaitu data jumlah titik panas per hari untuk setiap kabupaten. Dari data per hari tersebut dapat dihitung data per minggu dan dapat digunakan sebagai data untuk analisis selanjutnya.

2. Eksplorasi data

(33)

Gambar 1. Diagram alur tahapan analisis data

3. Memeriksa data-data tersebut stasioner atau tidak, jika tidak stasioner maka dilakukan transformasi atau pembedaan

Kestasioneran data merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam pemodelan deret waktu. Ada dua kestasioneran yang harus dipenuhi yaitu data harus stsioner dalm rataan dan ragam . jika data tidak stasioner dalam rataan maka akan dilakukan pembedaan data. Sedangkan jika data tidak stasioner dalam ragam maka dilakukan transformasi.

Data jumlah hotspot di setiap Kabupaten

Eksplorasi data

Apakah data stasioner ?

Penentuan orde GSTAR

Estimasi parameter model dengan Penerapan bobot korelasi Estimasi parameter model

dengan Penerapan bobot invers

Pengujian asumsi residual Pengujian asumsi residual

Penarikan kesimpulan

Transformasi / pembedaan Tidak

(34)

4. Menentukan orde GSTAR

Penentuan orde GSTAR dihitung dari nilai AIC yang diambil adalah nilai AIC yang mempunyai nilai paling kecil. Ordo model adalah pada lag berapa masih terdapat pengaruh yang nyata dari salah satu peubah (deret) terhadap deret lainnya.

5. Pendugaan parameter model GSTAR

Mendapatkan model GSTAR tiap kabupaten untuk masing-masing bobot lokasi yaitu bobot lokasi invers jarak dan bobot lokasi menggunakan hasil normalisaasi korelasi silang antar lokasi pada lag waktu yang bersesuaian, dengan menggunakan metode kuadrat terkecil.

6. Pengujian Asumsi galat

Melakukan uji asumsi galat dari model yang diperoleh untuk masing-masing bobot lokasi. Asumsi galat yang harus dipenuhi dalam pengujian ini adalah

white noise dan berdistribusi normal ganda. 7. Menarik kesimpulan

(35)
(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data

Penelitian ini diawali dengan melihat ketergantungan antar lokasi dan waktu. Lokasi-lokasi dalam penelitian ini saling berhubungan, hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi yang nyata. Hasil korelasi antar lokasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Sedangkan untuk ketergantungan terhadap waktu dapat dilihat pada Lampiran 2. Plot CCF menunjukkan bahwa adanya korelasi antara jumlah data titik panas pada waktu-t dalam lokasi-lokasi tertentu, ini dapat dilihat dari plot CCF yang mempunyai pola yang hampir sama pada setiap lokasi.

Data jumlah titik panas dalam penelitian ini adalah data jumlah titik panas pada 6 kabupaten di Provinsi Riau selama periode 2007 - 2011 pada musim kemarau (Februari sampai Agustus) setiap tahunnya. Deskripsi data secara statistik dapat dilihat pada Gambar 2.

minggu

Time Series Plot of data hotspot

Bengkalis kebakaran hutan di enam kabupaten di Provinsi Riau selama dari tahun 2007-2011 sesuai runtun waktu pada masing-masing kabupaten. Untuk analisis selanjutnya

(37)

jumlah titik panas pada masing-masing kabupaten disebut peubah. Z1 peubah

untuk jumlah titik panas kebakaran hutan di kabupaten Bengkalis, Z2 peubah

untuk jumlah titik panas kebakaran hutan di kabupaten Rokan Hulu, Z3 peubah

untuk jumlah titik panas kebakaran hutan di kabupaten Rokan Hilir, Z4 peubah

untuk jumlah titik panas kebakaran hutan di kabupaten Indragiri Hulu, Z5 peubah

untuk jumlah titik panas kebakaran hutan di kabupaten Indragiri Hilir, Z5 peubah

untuk jumlah titik panas kebakaran hutan di kabupaten Pelalawan. Keenam peubah memiliki pola yang hampir sama yaitu mengalami kenaikan serta penurunan pada waktu yang hampir sama.

Dari Gambar 2 juga terlihat bahwa secara visual pola data relatif fluktuatif. Untuk mengetahui kondisi kestasioneran data maka perlu dilakukan identifikasi terhadap kestasioneran data.

Tabel 1 memberikan informasi bahwa rata-rata jumlah hotspot pada setiap kebupaten berbeda. Rata-rata tertinggi terdapat pada peubah Z3 (kabupaten Rokan

Hilir) yaitu sebanyak 17 titik api dengan jumlah tertinggi sebanyak 392 titik panas yang terjadi pada minggu ke 87 dan jumlah titik api yang terendah adalah sebanyak 0 titik panas yang terjadi beberapa minggu sepanjang tahun. Sedangkan rata-rata jumlah titik panas terendah terdapat pada peubah Z2 (kabupaten Rokan

Hulu) dan peubah Z5 (kabupaten Indragiri Hilir) yaitu masing-masing dengan

rata-rata sebanyak 4 titik api. Peubah yang mempunyai ragam paling besar yaitu pada peubah Z3.

Tabel 1. Statistik deskriptif jumlah data hotspot kebakaran hutan

Peubah Rata-rata Simpangan baku Minimum Maksimum

Z1 14.78 37.78 0 340

Z2 4.48 12.23 0 116

Z3 17.61 54.68 0 392

Z4 8.48 24.15 0 170

Z5 4.6 10.37 0 76

Z6 10.39 24.35 0 167

(38)

Pada Gambar 2 dapat dilihat plot data jumlah hotspot di kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Rokan Hilir. Jumlah titik api di Kabupaten Bengkalis tertinggi terlihat pada minggu-minggu awal dan antara minggu ke 50 dan minggu ke 100. Sedangkan untuk kabupaten Rokan Hilir jumlah titik api tertinggi juga terdapat pada minggu-minggu awal serta antara minggu ke 50 dan minggu ke 100, namun jumlah titik api tertinggi terjadi antara minggu ke 50 dan minggu ke 100.

Jumlah titik api di Kabupaten Rokan Hulu tertinggi terlihat antara minggu ke 50 dan minggu ke 100. Sedangkan untuk kabupaten Indragiri Hulu jumlah titik api tertinggi terdapat pada minggu-minggu awal serta antara minggu ke 50 dan minggu ke 100, namun jumlah titik api tertinggi terjadi antara minggu pertama dan minggu ke 50.

Jumlah titik api di Kabupaten Indragiri Hilir tertinggi terlihat antara minggu 25 sampai dengan minggu ke 100. Sedangkan untuk kabupaten Pelalawan jumlah titik api tertinggi terdapat pada minggu-minggu awal serta antara minggu ke 50 dan minggu ke 100 dan jumlah titik api tertinggi juga terjadi antara minggu pertama dan minggu ke 50.

Model GSTAR

Dalam analisis model GSTAR, proses pertama yang harus dilakukan adalah: pengujian kestasioneran data, jika data tidak stasioner maka harus distasionerkan melalui proses staioseritas. Tahap yang kedua adalah menentukan ordo GSTAR yang akan digunakan, baik ordo spasial maupun untuk ordo waktunya. Selanjutnya menerapakan bobot spasial pada model untuk membangun model GSTAR tersebut.

a. Pengujian Kestasioneran Data

Model GSTAR merupakan salah satu model yang ada dalam analisis deret waktu. Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi dalam pemodelan deret waktu yaitu stasioner dan galat white noise. Asumsi yang harus dipenuhi pada langkah awal identifikasi model yaitu data harus stasioner dalam ragam maupun rataan.

Borovkova, dkk (2002) dan Ruchjana (2003) menyatakan bahwa model GSTAR, Khususnya GSTAR(11), merupakan model versi terbatas dari model

(39)

kondisi stasioneritas pada VAR. Stasioneritas data pada penelitian ini dapat dilihat dengan menggunakan uji formal, yang dikenal dengan ‘uji Unit root’. Dengan melihat hasil uji Unit root dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini sudah stasioner. (Lampiran 3).

b. Ordo Model GSTAR

Ordo yang akan ditentukan dalam penelitian ini adalah ordo spasial dan ordo waktu. Ordo spasial pada umumnya terbatas pada ordo1, karena untuk ordo yang lebih tinggi akan sulit untuk diinterpretasikan. Sementara untuk ordo waktu pada GSTAR dapat diturunkan dari ordo pada VAR.

Tahapan penting pada pemodelan VAR adalah menentukan ordo model. Ordo model tidak lain adalah pada lag berapa masih terdapat pengaruh yang nyata dari salah satu peubah (series) terhadap series lainnya.

Kriteria pemilihan ordo optimum dapat dilakukan dengan menggunakan statistik FPE, AIC, SC maupun HQ. Model yang baik adalah model yang mampu memberikan tingkat galat yang paling kecil. Dalam hal ini diwakilkan dengan nilai-nilai statistik yang paling kecil.

Pada penelitian ini akan menggunakan ordo 1 untuk lag waktu dan juga ordo 1 untuk lag spasial. Jadi, ordo untuk model GSTAR yang diperoleh adalah ordo 1 untuk spasial maupun waktu, dapat ditulis dengan GSTAR(11).

Penerapan Bobot Lokasi Korelasi Silang

Bobot lokasi normalisasi korelasi silang antar lokasi pada lag waktu yang bersesuaian adalah bobot lokasi yang memberikan nilai koefisien sama pada hubungan antar lokasi yang berbeda. Nilai dari bobot lokasi normalisasi korelasi silang antar lokasi pada lag waktu yang bersesuaian yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai matriks pembobot korelasi silang

Lokasi Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6

Z1 0 0.21 0.30 0.2 0.14 0.15

Z2 0.15 0 0.27 0.17 0.17 0.24

Z3 0.2 0.23 0 0.17 0.12 0.27

Z4 0.08 0.19 0.26 0 0.15 0.32

Z5 0.18 0.21 0.16 0.16 0 0.28

(40)

Tabel 3. Pendugaan parameter dengan pembobot korelasi silang

Berdasarkan matrik pembobot korelasi silang pada Tabel 2 dapat dilakukan taksiran parameter untuk model GSTAR(11) yaitu :

, parameter tidak berpengaruh nyata , parameter berpengaruh nyata t hitung :

Jika p-value < maka H0 ditolak, menyatakan bahwa parameter tersebut

berpengaruh nyata. Sebaliknya jika H0 diterima menyatakan bahwa parameter

tersebut tidak berpengaruh nyata.

Hasil pengujian parameter dengan menggunakan matrik pembobot korelasi silangdapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel ini dapat dilihat bahwa ada beberapa parameter yang tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh nilai p-value > 0.05. Misalkan untuk peubah Z1, Z3, Z4 semua parameter tidak nyata sehingga model

pada daerah tersebut tidak dapat dibentuk. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pada daerah tersebut jumlah titik api kebakaran hutan tidak dipegaruhi oleh waktu sebelumnya atau daerah lain.

Parameter Nilai

Pendugaan Galat baku t-hitung p-value

0.13 0.08 1.47 0.14

0.25 0.14 1.85 0.04*

0.15 0.31 0.49 0.63 0.16 0.15 1.05 0.23 0.45 0.06 7.13 0.00*

0.18 0.19 0.97 0.33 0.09 0.14 0.63 0.53 0.32 0.14 2.28 0.02*

-0.02 0.38 -0.06 0.95

0.17 0.17 1 0.31

0.02 0.15 0.15 0.88 0.39 0.15 2.69 0.01*

Keterangan : * parameter yang nyata

(41)

bobot lokasi normalisasi korelasi silang antar lokasi pada lag waktu yang bersesuaian pada Lampiran 4.

Dengan demikian model GSTAR yang diperoleh :

Z2(t) = 0.05Z1(t-1)+0.36Z2(t-1)+0.10Z3(t-1)+0.06Z4(t-1)+0.06Z5(t-1)+0.08Z6(t-1) dengan menggunakan metode peramalan GSTAR (11) menghasilkan ramalan

yang mengikuti pola data asli.

waktu (minggu)

Penerapan Bobot Lokasi Invers Jarak

Bobot lokasi berikutnya yang diterapkan adalah bobot lokasi invers jarak. Model GSTAR dengan menggunakan invers jarak ini memperlihatkan keterkaitan antara keenam lokasi (kabupaten) berdasarkan jarak antar lokasi sebenarnya. Karena keenam lokasi mempunyai jarak yang berbeda maka bobot lokasi invers jarak dapat diterapkan dalampemodelan. Adapun jarak antar lokasi dapat dilihat pada Tabel 4, jarak antar lokasi pada tabel merupakan hasil konversi batas lintang bujur (derajat) lokasi (kabupaten) menjadi satuan jarak (kilometer).

(42)

Tabel 5. Nilai matriks pembobot lokasi invers jarak Tabel 4. Jarak antar lokasi dalam Kilometer

Lokasi Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6

Z1 0 153.52 152.1 156.47 120.89 113.42

Z2 153.52 0 300.2 227.1 356.1 42.89

Z3 152.1 300.2 0 272.5 407.62 263.1

Z4 153.52 156.47 272.5 0 136.49 164.3

Z5 120.89 356.1 407.62 136.49 0 298.62

Z6 113.42 42.89 263.1 164.3 298.62 0

Bobot invers jarak memberikan koefisien bobot yang lebih kecil untuk jarak yang lebih jauh, demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh untuk lokasi dengan jarak yang jauh diduga memiliki keterkaitan antar lokasi yang kecil. Sebaliknya, untuk lokasi dengan jarak yang dekat diduga memiliki keterkaitan antar lokasi yang besar. Dari hasil perhitungan tersebut terbentuk matrik bobot lokasi yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Lokasi Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6

Z1 0 0.22 0.22 0.23 0.17 0.16

Z2 0.14 0 0.28 0.21 0.33 0.04

Z3 0.10 0.21 0 0.19 0.29 0.19

Z4 0.17 0.18 0.31 0 0.15 0.19

Z5 0.09 0.27 0.31 0.10 0 0.23

Z6 0.12 0.05 0.3 0.19 0.34 0

Berdasarkan matrik pembobot invers jarak diatas dapat dilakukan taksiran parameter untuk model GSTAR(11) sebagai berikut :

: = 0, parameter tidak berpengaruh nyata

: ∃ ≠0, parameter berpengaruh nyata

t hitung : = ( )

Jika p-value < maka H0 ditolak, menyatakan bahwa parameter tersebut

berpengaruh nyata.

Berdasarkan hasil pengujian parameter dengan menggunakan matrik pembobot korelasi silang ada beberapa parameter yang tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh nilai p-value > 0.05. Misalkan untuk peubah Z1, Z3, Z4 semua

(43)

Tabel 6. Pendugaan parameter dengan pembobot invers jarak

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pada daerah tersebut jumlah titik api kebakaran hutan tidak dipegaruhi oleh waktu sebelumnya atau daerah lain.

Berdasarkan p-value dari masing-masing parameter yang disajikan dalam Tabel 6, parameter yang nyata adalah , , dan . Sehingga berdasarkan parameter-parameter tersebut didapatkan model GSTAR dengan bobot lokasi invers jarak.

Parameter Pendugaan Nilai Galat Baku t-hitung p-value

0.12 0.09 1.38 0.17

0.29 0.16 1.86 0.04*

0.15 0.32 0.49 0.63

0.16 0.16 1.00 0.32

0.46 0.06 7.40 0.00*

0.19 0.21 0.90 0.37

0.12 0.14 0.85 0.40

0.26 0.13 2.06 0.04*

0.08 0.33 0.24 0.81

0.12 0.13 0.87 0.38

0.00 0.16 0.03 0.98

0.44 0.17 2.62 0.01*

Keterangan : * parameter yang nyata

Berdasarkan nilai pendugaan parameter pada Tabel 6 maka didapatkan model GSTAR dengan bobot lokasi invers jarak pada lampiran 5. Dengan demikian model GSTAR yang diperoleh :

Z2(t) = 0.05Z1(t-1)+ 0.42Z2(t-1)+0.09Z3(t-1)+0.06Z4(t-1)+0.10Z5(t-1)+ 0.01Z6(t-1)

Z5(t) = 0.48Z5(t-1)

Z6(t) = 0.06Z1(t-1)+ 0.02Z2(t-1)+ 0.13Z3(t-1)+ 0.08Z4(t-1)+ 0.15Z5(t-1)

Gambar 4 merupakanplot nilai asli data jumlah titik panas kebakaran hutan dan nilai peramalan model GSTAR dengan bobot invers jarak. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa penerapan masing-masing model pada data asli dengan menggunakan metode peramalan GSTAR (11) menghasilkan ramalan

(44)

waktu ( minggu)

Ju

m

lah

H

ot

spo

t

400

200

0

400

200

0

400

200

0

Variable s w

Time Series Plot of s; w

Keterangan : s = nilai asli dan w = nilai dugaan

Pengujian Asumsi Galat

Asumsi galat yang harus dipenuhi dalam pengujian ini adalah white noise dan berdistribusi normal. Pengujian dilakukan terhadap model GSTAR yang telah terbentuk dengan bobot lokasi seragam dan bobot lokasi berdasarkan normalisasi korelasi silang antar lokasi pada lag yang sesuai.

a. Asumsi White Noise

Maksud dari asumsi white noise adalah hasil galat yang bersifat bebas satu sama lain (independen). Pemeriksaan white noise pada penelitian ini dengan menggunakan Ljung and Box test.

= ( + 2) ∑ ~ ,

= autokorelasi ke-j, = banyak pengamatan

= banyak lag yang diuji, = lag maksimum

dengan H0 = galat tidak bebas lawan H1 = galat bebas. Terima H0 jika p-value >

0.5 yang menyatakan bahwa antar galat bebas. b. Asumsi Sebaran Normal

(45)

normal dari galat model GSTAR(11) dengan bobot lokasi invers jarak dan

korelasi silang dapat dilaht pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Shapiro-Wilk

Nilai Bobot korelasi silang Bobot invers jarak Shapiro-wilk W = 0.5943 W = 0.5429 Nilai P 4.148e-16 2.2e-16

Pemilihan Model Terbaik

Model terbaik adalah model dengan kesalahan ramalan terkecil. Oleh karena itu dilakukan perbandingan hasil ramalan dari tiap-tiap model yang terbentuk. Perbandingan hasil ramalan dilakukan dengan melihat nilai RMSE dari tiap-tiap model dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai RMSE

Lokasi Nilai RMSE pembobot dari korelasi silang Nilai RMSE dari pembobot invers jarak

Z2 5.10 5.03

Z5 4.60 4.60

Z6 8.70 7.06

Rata-rata nilai RMSE model dengan menggunakan matriks bobot lokasi normalisasi korelasi silang antar lokasi pada lag waktu yang bersesuaian adalah 6.14. Sedangkan rata-rata nilai RMSE model dengan menggunakan matriks bobot invers jarak adalah 5.57.

Dari nilai RMSE untuk kedua pembobot diatas, dapat diketahui bahwa tingkat ketepatan ramalan untuk model GSTAR(11) dengan raat-rata RSME yang

terkecil terletak pada bobot invers jarak yaitu sebesar 5.57. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model terbaik adalah model GSTAR(11) dengan bobot

(46)

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Model GSTAR merupakan salah satu model yang banyak digunakan untuk memodelkan dan meramalkan data deret waktu dan lokasi. Model ini merupakan pengembangan dari model STAR. Penaksiran parameter pada model GSTAR dapat dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dengan meminimumkan jumlah kuadrat simpangannya.

Model GSTAR terbaik dan sesuai pada data jumlah titik panas kebakaran hutan di Riau adalah model GSTAR (11) dengan bobot lokasi invers jarak yang

mempunyai nilai RMSE terkecil yang bernilai 27.45576. Saran

(47)
(48)

DAFTAR PUSTAKA

Borovkova S, Ruchjana BN, Lopuhaa H. 2008. Consistency and Asymptotic Normality of Least Squares Estimators in Generalized STAR Model. Malden: Statistica Neerlandica.

Dhoriva UW. 2010. Generalized Space-Time Autoregressive Modelling.

Proceedings of the 6th IMT-GT Conference on Mathematics, Statistics and its Applications (ICMSA2010). Kuala Lumpur: Universiti Tunku Abdul Rahman.

Epperson BK. 2000. Spatial and Space Time Correlation in Ecological Models.

Ecological Modelling132: 63-76.

Suhartono, Subanar. 2006. The Optimal Determination of Space Weight in GSTAR Model by Using Cross-Correlation Inference. Journal of quantitative methods : Journal Devoted to Mathematical and Statistical Application in Various Fields 2(2): 45-53.

Suhartono, Subanar. 2007. Some comments on the theorem providing stationarity condition for GSTAR Models in the paper by Borovkoa et al. Journal of the Indonesian Mathematical society13(1): 44-52.

Giacomini R, Granger CWJ. 2002. Aggregation Of Space-Time Process. Journal of econometrics 118: 7-26.

Kayoman L. 2010. Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Kalimantan Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nisa’ HDK. 2010. Peramalan Debit Air Sungai Brantas Dengan Metode GSTAR dan ARIMA [skripsi]. Surabaya: FMIPA, ITS.

Ruchjana BN. 2002. Pemodelan Kurva Produksi Minyak Bumi Menggunakan Model Generalisasi S-TAR. Bogor: Forum Statistika dan Komputasi, Special Edition, IPB.

(49)
(50)
(51)

Lampiran 1 : Korelasi antar lokasi

Correlations: Z1(t); Z2(t); Z3(t); Z4(t); Z5(t); Z6(t) Z1(t) Z2(t) Z3(t) Z4(t) Z5(t)

Z2(t) 0,473 0,000

Z3(t) 0,375 0,531 0,000 0,000

Z4(t) 0,392 0,465 0,296 0,000 0,000 0,002 Z5(t) 0,487 0,537 0,283 0,801 0,000 0,000 0,002 0,000 Z6(t) 0,354 0,454 0,543 0,564 0,647 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 Cell Contents: Pearson correlation

(52)
(53)
(54)

Lampiran 3 : Nilai test stasioneritas Null Hypothesis: ROHUL has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.691032 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835

5% level -2.882279 10% level -2.577908 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ROHUL)

Method: Least Squares Date: 07/11/11 Time: 12:20 Sample (adjusted): 2 140

Included observations: 139 after adjustments

(55)

Null Hypothesis: PELALAWAN has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.670947 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835

5% level -2.882279 10% level -2.577908 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PELALAWAN) Method: Least Squares

Date: 07/11/11 Time: 12:20 Sample (adjusted): 2 140

Included observations: 139 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PELALAWAN(-1) -0.810937 0.083853 -9.670947 0.0000 C 8.495387 2.220340 3.826165 0.0002 R-squared 0.405710 Mean dependent var 0.035971 Adjusted R-squared 0.401372 S.D. dependent var 31.09742 S.E. of regression 24.06040 Akaike info criterion 9.213295 Sum squared resid 79309.66 Schwarz criterion 9.255518 Log likelihood -638.3240 Hannan-Quinn criter. 9.230454 F-statistic 93.52722 Durbin-Watson stat 2.055295 Prob(F-statistic) 0.000000

Null Hypothesis: INHU has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.740937 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835

(56)

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INHU)

Method: Least Squares Date: 07/11/11 Time: 12:20 Sample (adjusted): 2 140

Included observations: 139 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INHU(-1) -0.818198 0.083996 -9.740937 0.0000 C 6.989675 2.150553 3.250176 0.0015 R-squared 0.409192 Mean dependent var 0.014388 Adjusted R-squared 0.404880 S.D. dependent var 30.99111 S.E. of regression 23.90780 Akaike info criterion 9.200570 Sum squared resid 78306.84 Schwarz criterion 9.242793 Log likelihood -637.4396 Hannan-Quinn criter. 9.217729 F-statistic 94.88586 Durbin-Watson stat 2.010041 Prob(F-statistic) 0.000000

Null Hypothesis: INHIL has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.30397 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835

(57)

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INHIL)

Method: Least Squares Date: 07/11/11 Time: 12:20 Sample (adjusted): 2 140

Included observations: 139 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INHIL(-1) -0.873224 0.084746 -10.30397 0.0000 C 4.045731 0.961971 4.205670 0.0000 R-squared 0.436612 Mean dependent var 0.000000 Adjusted R-squared 0.432500 S.D. dependent var 13.74404 S.E. of regression 10.35374 Akaike info criterion 7.526857 Sum squared resid 14686.39 Schwarz criterion 7.569079 Log likelihood -521.1165 Hannan-Quinn criter. 7.544015 F-statistic 106.1718 Durbin-Watson stat 2.003223 Prob(F-statistic) 0.000000

Null Hypothesis: BENGKALIS has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.63163 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835

5% level -2.882279 10% level -2.577908 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(BENGKALIS) Method: Least Squares

Date: 07/11/11 Time: 12:19 Sample (adjusted): 2 140

(58)
(59)
(60)
(61)

Lampiran 6. Hasil nilai Ljung and Box (error pada setiap lokasi dalam satu waktu) [2] [3] [4] [5] [6] [7]

(62)

Lampiran 7. Sintax program R 1. Pendugaan parameter

data<-read.table(file="D:/hotspot/data1.txt",header=T) attach(data)

names(data)

r<-cbind(r1,r2,r3,r4,r5,r6,r7,r8,r9,r10,r11,r12) g<-t(r)

g

x<-g%*%r x

library (MASS) p<-ginv(x) y<-matrix(y) s<-g%*%y s

b<-p%*%s b

2. Nilai Ljung and Box

x<-read.table(file="D:/hotspot/error invers jarak.txt",header=T) attach(x)

names(x) x<-as.matrix(x) library(stats)

v<-vector("numeric",140) for (i in 1:140){

v[i]<-Box.test(x[i,],lag=1,type="Ljung-Box",fitdf=0)$p.value }

(63)
(64)

ABSTRACT

RAHMADENI. The Review of Gneralized Space Time autoregressive Model (Case of Forest Fire Hotspots Data in Riau). Under direction of ERFIANI, and KUSMAN SADIK.

Review of Gneralized Space Time autoregressive Model (GSTAR) model was a method used to model space-time series data. This model was developmented of the STAR model in which GSTAR generate space-time model with the parameters that should not be the same for the time and space dependence. This study aims to assess and develop procedures for the establishment of an appropriate model GSTAR on spatial time series data and determine the best and appropriate GSTAR model on the number of forest fire hotspots data in Riau. Estimating the parameters in the model GSTAR can be done using the least squares method by minimizing the sum squares of error. It was resulted that GSTAR Model (11) with inverse distance weighting is the best model for

modeling the number of forest fire hotspots data in Riau.

(65)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Di saat kompleksitas ekosistem global sedikit demi sedikit dimengerti, interaksi antara satu kejadian alam dengan yang lainnya menjadi lebih jelas. Hal ini berlaku pada fenomena perubahan iklim global dengan penyebab sekaligus dampak yang menyertainya di Indonesia, yaitu kebakaran hutan dan lahan. Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan merupakan permasalahan yang serius yang harus dihadapi setiap tahun pada musim kemarau. Persepsi dan pendapat masyarakat yang berkembang tentang peristiwa kebakaran yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah bahwa kebakaran tersebut hanya terjadi di dalam hutan semata, padahal sesungguhnya peristiwa tersebut dapat saja terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan terjadi tidak hanya dilahan kering tetapi juga dapat di lahan basah seperti lahan gambut, terutama pada musim kemarau dimana lahan gambut tersebut mengalami kekeringan.

Pada beberapa tahun belakangan ini peristiwa kebakaran hutan merupakan salah satu peristiwa yang banyak terjadi di wilayah Indonesia. Peristiwa kebakaran hutan bukan hanya menimbulkan kerugian penduduk dan pemerintah Indonesia, namun juga asap kebakaran hutan tersebut menyebar ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Bahkan baru-baru ini pemerintah Singapura secara khusus mengirimkan personil dan peralatan untuk mengatasi kebakaran hutan di Propinsi Riau. Jika terjadi kebakaran hutan dalam skala luas akan menyebabkan perubahan iklim secara global di Asia Tenggara.

(66)

Pemantauan kejadian kebakaran hutan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi pola kebakaran yang terjadi dapat dilihat dari data sebaran

hotspot (titik api) dari suatu daerah. Pemantauan kejadian kebakaran hutan menggunakan satelit hingga saat ini menggunakan data citra (image) dari sensor NOAA-AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration-Advance Very High Resolution Radiometer). Data yang dihasilkan ditampilkan sebagai data sebaran titik api.

Data sebarantitik api akan mempunyai sebaran yang berbeda pada waktu-waktu tempat-tempat tertentu. Fenomena kebakaran hutan ini pada umumnya terjadi seiring dengan pergeseran musim kearah kemarau dan juga dapat terjadi pada daerah yang rawan kebakaran hutan.

Berdasarkan pengalaman tersebut maka upaya pencegahan kebakaran hutan haruslah dilakukan secara terpadu. Salah satu upaya yang efektif dan efisien adalah melalui penyediaan informasi tingkat bahaya kebakaran hutan yang dapat dilihat dari jumlah titik api kebakaran hutan pada waktu-waktu tertentu dalam satu daerah dengan memanfaatkan data-data titik api untuk dianalisis menjadi suatu model sehingga diperoleh gambaran tentang jumlah titik api untuk waktu yang akan datang pada daerah tertentu.

Analisis data deret waktu merupakan salah satu metode yang mampu menggambarkan pola data deret waktu terjadinya titik api, sedangkan model spasial diharapkan mampu menggambarkan sebaran tingkat kerawanan kebakaran hutan melalui jumlah titik api yang terjadi pada suatu daerah.

(67)

Kelemahan ini telah direvisi dan dikembangkan dengan nama Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) atau regresi diri ruang-waktu terampat. Model GSTAR adalah salah satu model yang banyak digunakan untuk memodelkan dan meramalkan data deret waktu dan lokasi, pada model GSTAR menghasilkan model ruang-waktu dengan parameter yang tidak harus sama untuk ketergantungan waktu maupun ketergantungan lokasi. Model ini merupakan pengembangan dari model STAR yang diperkenalkan pertama kali oleh Pfeifer dan Deutsch (1980).

Tujuan Penelitian

(68)

TINJAUAN PUSTAKA Titik Panas

Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak terkendali dan terjadi dengan tidak sengaja pada areal tertentu yang kemudian menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia dihutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul, daun-daunan dan pohon-pohon yang masih hidup. Syufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali.

Konsep kebakaran hutan dilukiskan sebagai segitiga api yang (the fire triangle). Sisi-sisi segitiga api tersebut adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas atau api. Jika salah satu atau lebih dari ketiga komponen pada sisi-sisi segitiga api tersebut tidak ada, maka kebakaran tidak akan pernah terjadi. Ketiga komponen yang mempengaruhi kebakaran hutan sangat tidak mungkin untuk mengatur jumlah oksigen karena oksigen selalu tersedia di alam namun bahan bakar dan sumber api dapat dikontrol, sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan. Berdasarkan pemahaman ini maka usaha pencegahan dapat dilakukan dengan cara membatasi ketersediaan dari komponen segitiga api yaitu bahan bakar dan sumber api.

Titik panas (hotspot) adalah terminology dari satu piksel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration).

Menurut Liew (2002) besaran batas ambang untuk penetapan titik api adalah sebesar 3160K. Sementara itu dalam proyek kerjasama DEPHUT-JICA (Japan

International Cooperation Agency) penetapan batas ambang titik api untuk wilayah Sumatra dan Kalimantan adalah sebesar 3150 K (420C) untuk hasil

siaman sensor siang hari dan 3100K (370) untuk malam hari (Sihaloho 2004).

Gambar

Gambar 1. Diagram alur tahapan analisis data
Gambar 2 memperlihatkan bentuk pola data jumlah titik panas kejadian
Tabel 3. Pendugaan parameter dengan  pembobot korelasi silang
Gambar 3 merupakan plot nilai asli data jumlah hotspot kebakaran hutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan model VAR-GSTAR pada curah hujan di Jawa Tengah dengan 2 -means clustering diperoleh model VAR-GSTAR (11) untuk cluster 1 dengan 17 kabupaten/kotamadya dan VAR-GSTAR

Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan model GSTAR terbaik dan hasil peramalan untuk data ketinggian pasang surut air laut di empat stasiun Pulau Jawa

The automodelling provided option to choose the appropriate model for univariate series analysis with several adjustments including: (1) pretests for a logarithm

Berdasarkan hasil analisis, data inflasi enam kota survei biaya hidup di Jawa Tengah diperoleh kesimpulan model yang sesuai untuk data inflasi enam kota survei

Penelitian ini menggunakan model Generalized Space Time Autoregressive GSTAR dengan langkah- langkah analasis sebagai berikut: 1 Deskripsi data indeks harga konsumen 7 Kota di Jawa

Tabel 8 Hasil Perbandingan Nilai MAPE Untuk Masing-masing Pembobot Lokasi MAPE Kebalikan Jarak% MAPE Korelasi Silang% Belawan 1 2,7523 1,1046 Belawan 2 2,0399 1,0227 Belawan

Meanwhile, the two-level GSTARX-GLS model formed from the results of this study is GSTARX 31 for inflow dan GSTAR [1,3]1 for outflow in four cities/districts in East Java.. Generally,