PENGGEROMBOLAN SPASIAL HOTSPOT KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN MENGGUNAKAN
DBSCAN DAN ST-DBSCAN
UTSRI YUSTINA PURWANTO
SEKOLAH PASCARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Utsri Yustina Purwanto
UTSRI YUSTINA PURWANTO. Spatial Hotspots Clustering of Forest and Land Fires using DBSCAN and ST-DBSCAN. Under direction of BABA BARUS, and HARI AGUNG ADRIANTO.
Forest and land fire has become international important environmental and economic issue for the last several years. For Indonesia and some neighboring countries, it also produces huge amount of smog and air pollution causing economic, environmental and health problems. The objective of this research is to find hotspot clustering pattern using DBSCAN dan ST-DBSCAN. There is a possibility that the hotspot is not spread randomly but naturally gather in some area to form clusters based on proximity of distance and time. DBSCAN and ST-DBSCAN are density based clustering in spatial data mining. The advantage of these methods is the clusters form can be more flexible, especially when applied on a large data size. However, DBSCAN cannot differentiate two adjacent clusters with different density while ST-DBSCAN can. As the results, DBSCAN clustering detected 38 hotspot clusters with 6 noises while ST-DBSCAN detected more. Since ST-DBSCAN is an extension of DBSCAN algorithm, ST-DBSCAN can process both of spatial and non-spatial data by using Eps 1 for spatials attributes and Eps 2 for non-spatial attributes, such as time. With this algoritm, there are 147 hotspot clusters and 149 noises. The biggest cluster are located in Musi Rawas, Muara Enim, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir. Furthermore, this research is expected to identify hotspot clustering patterns and behaviors and to produce useful information to evaluate and mitigate forest and land fires hazards and also generate it’s prototype.
Keywords : Spatial Data mining, Forest and Land Fires, Clustering, DBSCAN,
UTSRI YUSTINA PURWANTO. Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan Dan Lahan Menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN. Dibimbing oleh BABA BARUS, and HARI AGUNG ADRIANTO.
Saat ini kebakaran hutan dan lahan menjadi isu lingkungan dan ekonomi yang menjadi perhatian internasional. Kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak yang besar bagi kelangsungan ekosistem lingkungan. Setiap tahunnya berjuta hektar hutan dan lahan terbakar di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Kondisi alam di Indonesia yang beriklim tropis, pengaruh pemanasan global serta tindakan manusia yang tidak menghargai alam merupakan penyebab kebakaran. Untuk itu diperlukan suatu cara mendeteksi terjadinya kebakaran untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan serta arahan kebijakan dalam mengatasinya.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah hotspot dari satelit penginderaan jauh yang mendeteksi adanya variasi panas dengan area studi di wilayah Sumatera Selatan tahun 2002 sampai dengan 2003. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi yang dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebakaran hutan. Terdapat kemungkinan bahwa hotspot tidak tersebar secara acak tetapi menggerombol dalam ruang secara alami mengikuti hukum Geografi 1 Tobbler yaitu semuanya terkait dengan segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang jauh (Tobbler 1970, diacu dalam Miller 2004) sehingga hotspot akan mengelompok karena kedekatan secara lokasi dan waktu.
Data persebaran hotspot berukuran besar dapat dianalisis menggunakan teknik spatial data mining (SDM). Salah satu pendekatan untuk menganalisis data
spatiotemporal pada data mining adalah clustering (penggerombolan). Penggerombolan adalah proses pengelompokan data besar sehingga membentuk kelompok-kelompok sehingga pada setiap kelompoknya memiliki persamaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang lain. DBSCAN dan ST-DBSCAN merupakan penggerombolan berbasis kepadatan dalam data mining. Penggerombolan berbasis kepadatan memiliki kelebihan yaitu bentuk penggerombolan yang lebih fleksibel, dan ukuran data yang besar.
DBSCAN dan ST-DBSCAN memiliki kelebihan tahan terhadap noise dan dapat mengatasi penggerombolan yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda. Akan tetapi, DBSCAN tidak mampu mendeteksi penggerombolan dengan kepadatan yang bervariasi, sedangkan ST-DBSCAN mampu mengatasi kelemahan tersebut. ST-DBSCAN merupakan perluasan algoritma DBSCAN, jika DBSCAN hanya dapat mengolah data
spatial saja, ST-DBSCAN dapat mengolah data non spatial seperti waktu, dengan menggunakan Eps 1 yaitu parameter jarak dalam mengukur kedekatan antar titik dan Eps 2 yaitu parameter waktu yang digunakan dalam mengukur kedekatan antar titik.
yang tertinggi pada daerah Ogan Komering Ilir.
Diharapkan pada penelitian selanjutnya menggunakan data penelitian yang lebih panjang dan menambah data yang berkaitan dengan kebakaran hutan seperti iklim, tata guna lahan, dan sebagainya sehingga dapat diambil informasi yang lebih dalam mengenai kebakaran hutan tersebut.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
HUTAN DAN LAHAN MENGGUNAKAN
DBSCAN DAN ST-DBSCAN
UTSRI YUSTINA PURWANTO
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Komputer
Pada Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN
Nama Mahasiswa : Utsri Yustina Purwanto Nomor pokok : G651100101
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Baba Barus Hari Agung Adrianto, S.Kom, M.Si Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pascasarjana
Ilmu Komputer
Dr.Yani Nurhadryani S.Si, M.T. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Penggerombolan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan DBSCAN Dan ST-DBSCAN dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Baba Barus dan Bapak Hari Agung Adrianto, S.Kom,M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini dan Bapak Dr. Erianto Indra yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) beserta staf, serta Kementrian Riset dan Teknologi atas kesempatan studi lanjut yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibunda, ayah, Asyraf, rekan-rekan S2 Ilkom angkatan 12, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam pembuatan tesis ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna memperbaiki tesis ini. Atas perhatian penulis ucapkan terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Juli 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 7 Juni 1984, dari pasangan Bapak Purwanto dan Ibu Dra. Sri Utami sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 2
1.3. Ruang Lingkup ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Kebakaran Hutan ... 5
2.2. Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan ... 5
2.3. Iklim ... 6
2.4. Hotspot ... 8
2.5. Panjang Derajat Lintang Bujur ... 10
2.6. Spatial Data mining (SDM) ... 11
2.7. Spatiotemporal Data ... 11
2.8. Penggerombolan Spasial ... 12
2.9. Penggerombolan Spatiotemporal ... 13
2.10. DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering of Applications with Noise).. ... 13
2.11. ST-DBSCAN ... 15
2.12. Metode Prototipe ... 16
3 METODOLOGI PENELITIAN ... 19
3.1. Kerangka Berpikir ... 19
3.2. Tahapan Penelitian ... 21
3.2.2. Perhitungan Jarak ... 22
3.2.3. Penentuan Eps dan MinPts ... 23
3.2.4. Penggerombolan DBSCAN ... 24
3.2.5. Penggerombolan ST-DBSCAN ... 24
3.3. Pengembangan Prototipe Visualisasi ... 25
3.4. Waktu Penelitian ... 25
4 PEMBAHASAN ... 27
4.1. Sumber Data dan Karakteristik Data ... 27
4.2. Praproses Data ... 27
4.2.1. Pemilihan Data ... 27
4.2.2. Tranformasi Data Tanggal ... 28
4.2.3. Pembersihan Data ... 28
4.3. Penentuan Nilai Eps ... 28
4.4. Penggerombolan DBSCAN ... 30
4.5. Penggerombolan ST-DBSCAN ... 33
4.6. Pembahasan Umum ... 40
4.6.1. DBSCAN ... 40
4.6.2. ST-DBSCAN ... 41
4.6.3. DBSCAN dan ST-DBSCAN ... 41
4.6.4. Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran yang Telah Ada ... 42
4.7. Pengembangan Prototipe Visualisasi ... 44
4.7.1. Komunikasi ... 44
4.7.2. Perencanaan dan Perancangan ... 47
4.7.3. Pembangunan Prototipe ... 47
xi
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 51
5.1. Simpulan ... 51
5.2. Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jarak derajat lintang ... 10
2 Data penggolongan tipe penggerombolan ... 34
3 Data 11 penggerombolan terbesar ... 35
4 Data penggerombolan terbagi dalam bulan... 39
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kejadian El Nino (merah) dan La Nina (biru) selama periode 1982-2009
sebaliknya (Anggraini & Trisakti 2011) ... 7
2 Perbandingan bulan basah, lembab, dan kering untuk tiga periode Lokasi Palembang laut (Slamet & Berliana 2007) ... 8
3 Ilustrasi perubahan data spatiotemporal (Rahim 2006) ... 11
4 Tahapan proses penggerombolan (Fayyad et al. 1996). ... 12
5 Directly density reachable ... 14
6 Density connected ... 15
7 Metode Prototipe (Pressman) ... 16
8 Kerangka berfikir ... 21
9 Diagram alir tahap-tahap penelitian ... 21
10 Grafik nilai Eps ... 23
11 Lokasi Sumatera Selatan ... 27
12 Pergeseran nilai ambang pada k-dist ... 28
13 Grafik pergeseran penggerombolan ... 29
14 Hubungan titik noise dengan Eps1 ... 30
15 Hubungan banyak titik noise, penggerombolan dan Eps2 ... 30
16 Penggerombolan terbesar menggunakan DBSCAN ... 31
17 Lokasi titik noise pada kabupatenBanyuasin, kabupaten Lahat dan kabupaten Muara Enim ... 32
18 Grafik jumlah penggerombolan tahun 2002-2003 ... 32
19 Grafik jumlah hotspot tahun 2002-2003 ... 33
20 Ilustrasi penggunaan parameter ST-DBSCAN ... 34
21 Penggerombolan terbesar ... 35
22 Penggerombolan Ogan Komering Ilir ... 36
24 Penggerombolan Banyuasin ... 37
25 Penggerombolan Musi Rawas ... 37
26 Penggerombolan OKU, OKU Selatan, dan OKU Timur... 38
27 Penggerombolan jarang terjadi ... 38
28 Penggerombolan DBSCAN dan ST-DBSCAN ... 42
29 Ilustrasi metode densitas ... 42
30 Ilustrasi metode expert ... 43
31 Diagram konteks aplikasi Penggerombolan. ... 45
32 DFD level 1 aplikasi Penggerombolan. ... 45
33 DFD level 2 proses 3 aplikasi Penggerombolan. ... 46
34 DFD level 2 proses 4 aplikasi Penggerombolan. ... 46
35 Perancangan antarmuka aplikasi. ... 47
1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Saat ini, kebakaran hutan menjadi isu lingkungan dan ekonomi yang
menjadi perhatian internasional dimana setiap tahunnya berjuta hektar hutan
terbakar di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kebakaran hutan
memiliki dampak yang besar bagi kelangsungan ekosistem lingkungan,
diantaranya dapat menyebabkan pencemaran kabut asap, merosotnya nilai
ekonomi hutan dan produktivitas tanah, peningkatan emisi karbon dan dampaknya
bagi keanekaragaman hayati di Indonesia. Perhatian masyarakat dunia terfokus
ketika dunia dilanda bencana El Nino (ENSO) 1997/1998 yang menghanguskan
lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia (Rowell & Moore 2001). Di
tahun tersebut, Indonesia mengalami bencana kebakaran hutan terburuk dalam
sejarah, dimana melalui pengkajian nasional diketahui bahwa total 9,75 juta
hektar lahan yang terbakar selama periode tersebut (Bappenas-ADB 1999).
Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi yang dapat
digunakan sebagai indikasi adanya kebakaran hutan. Data hotspot diperoleh
melalui satelit penginderaan jarak jauh. Terdapat kemungkinan bahwa hotspot
tidak tersebar secara acak tetapi hotspot menggerombol dalam ruang secara alami
mengikuti hukum Geografi 1 Tobbler yaitu semuanya terkait dengan segala
sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang
jauh (Tobbler 1970, diacu dalam Miller HJ 2004) sehingga hotspot akan
mengelompok karena kedekatan secara lokasi dan waktu. Apabila
penggerombolan lokasi hotspot diketahui maka dapat digunakan dalam analisis
terjadinya kebakaran hutan, sehingga dapat diambil langkah dini dalam
menanggulangi kebakaran hutan yang sangat penting dalam hal keperluan
perencanaan.
Data persebaran hotspot berukuran besar dapat dianalisis menggunakan
teknik spatial data mining (SDM). Salah satu pendekatan untuk menganalisis data
spatiotemporal pada data mining adalah clustering (penggerombolan).
daripada data numerik dan data kategori sehubungan dengan kompleksitas tipe
data spasial, ukuran yang lebih besar, dan waktu. Penggerombolan adalah proses
pengelompokan data besar sehingga membentuk kelompok-kelompok sehingga
pada setiap kelompoknya memiliki persamaan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang lain. DBSCAN dan ST-DBSCAN merupakan penggerombolan
berbasis kepadatan dalam data mining. Penggerombolan berbasis kepadatan
memiliki kelebihan yaitu bentuk penggerombolan yang lebih fleksibel, dan ukuran
data yang besar.
DBSCAN dan ST-DBSCAN memiliki kelebihan tahan terhadap titik
noise dan dapat mengatasi penggerombolan yang memiliki perbedaaan bentuk dan
ukuran tetapi DBSCAN gagal dalam mendeteksi penggerombolan dengan
kepadatan yang beragam sedangkan ST-DBSCAN mampu mengatasi kelemahan
DBSCAN tersebut. DBSCAN menggunakan data spasial sedangkan ST-DBSCAN
menggunakan data spatiotemporal (Xu X at al. 1998; Han & Kamber 2001; Liu
et al. 2007). ST-DBSCAN merupakan perluasan algoritma DBSCAN, jika
DBSCAN hanya mengolah data spatial saja ST-DBSCAN mampu mengolah data
non spatial seperti waktu dengan menggunakan Eps1 pada atribut spatial dan
Eps2 pada atribut nonspatial (Birant & Kut 2007).
Pada penelitian ini proses data mining akan diterapkan pada data hotspot
kebakaran hutan di Sumatra Selatan tahun 2002-2003. Dengan diterapkannya
proses data mining diharapkan dapat menghasilkan informasi atau pengetahuan
yang penting dan berguna dari data spasial dan spatiotemporal dengan
menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN.
1.2.Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menemukan pola penggerombolan data spasial berbasis jarak dengan
menggunakan penggerombolan DBSCAN.
2. Menemukan pola penggerombolan data spasial berbasis jarak dan waktu
1.3.Ruang Lingkup
Teknik yang digunakan dalam mendeterminasi penggerombolan titik-titik
rawan kebakaran hutan dengan menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN. Data
spasial yang digunakan adalah hotspot kebakaran hutan di Sumatra Selatan tahun
2002-2003.
1.4.Manfaat Penelitian
Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi yang menyebar secara bebas
dari perpaduan antar unsur oksigen, bahan bakar hutan dan panas yang
mengkonsumsi bahan bakar alam yang terdapat di hutan seperti serasah, rumput,
humus, ranting – ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, dan pohon
segar lainnya untuk tingkat terbatas yang ditandai dengan adanya panas, cahaya
dan asap (Brown & Davis 1973).
2.2.Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan
Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap
sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk
membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan penggembalaan, memburu satwa
liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan
sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan
faktor manusia. Secara alami kebakaran dipengaruhi oleh beberapa faktor alam
yang berkaitan, yaitu iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis
tanaman (misalnya pinus, mengandung resin), tipe vegetasi (alang-alang, hutan
terbakar, hutan-hutan monokultur tertentu), bahan-bahan sisa vegetasi (serasah,
ranting kering), humus dan lain-lain (Direktorat Perlindungan Hutan, 1983 dalam
Franky, 1999). Suratmo (1985) menyatakan bahwa penyebab kebakaran hutan
pada umumnya adalah :
1. Dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
2. Api berasal dari ladang yang berdekatan dengan hutan.
3. Bara dari kereta api.
4. Api dari pekerja hutan dan penebang pohon.
5. Api dari perkemahan (api unggun).
6. Petir.
8. Sebab lain-lain,misalnya api dari gunung berapi.
9. Tidak diketahui penyebabnya.
Penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari
kegiatan atau permasalahan seperti sistem perladangan tradisional dari penduduk
setempat yang berpindah-pindah, pembukaan hutan oleh para pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa
sawit, penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan
pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum
adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan
hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran
karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan
tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan
turun temurun (Dove, 1988).
2.3.Iklim
Cuaca dan iklim merupakan faktor yang menentukan kadar air bahan
bakar, terutama karena hujan (Brown & Davis 1973). Dengan cara yang saling
berhubungan cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan seperti iklim
menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, iklim menentukan jangka
waktu dan kekerasan musim kebakaran, cuaca mengatur kadar air dan kemudahan
bahan bakar untuk terbakar, cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan
penjalaran kebakaran (Chandler et al. 1983).
Menurut Sulistyowati (2004) terdapat beberapa unsur iklim yang
berpengaruh terhadap kebakaran diantaranya adalah suhu udara, kelembapan
udara, curah hujan dan kecepatan angin. Ketiga unsur tersebut memiliki nilai
korelasi dan tingkat pengaruh yang berbeda-beda dengan titik panas. Suhu,
kelembapan relatif, dan angin tidak berhubungan erat dan tidak berpengaruh
nyata. Curah hujan memiliki korelasi/hubungan cukup erat dan berpengaruh
nyata.
Banyaknya curah hujan juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan La
lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan laut di perairan Indonesia. Sedangkan
fenomena La Nina adalah kebalikan dari El Nino. Tinggi rendahnya intensitas
curah hujan berpengaruh pada jumlah kejadian kebakaran yang diidentifikasi
dengan adanya hotspot. Semakin rendahnya intensitas curah hujan semakin
meningkatnya jumlah hotspot yang terjadi demikian sebaliknya (Anggraini &
Trisakti 2011). Kejadian El Nino dan La Nina tahun 1982-2009 terdapat pada
Gambar 1.
Gambar 1 Kejadian El Nino (merah) dan La Nina (biru) selama periode
1982-2009 sebaliknya (Anggraini & Trisakti 2011)
Indonesia memiliki tiga tipe curah hujan yaitu monsunal, equatorial, dan
lokal. Iklim dan musim berbeda-beda pada setiap daerah di Indonesia. Perbedaan
iklim dipengaruhhi oleh faktor pengendali iklim yang mencangkup radiasi surya,
letak geografis, ketinggian, posisi lokasi terhadap laut, pusat tekanan tinggi dan
rendah, aliran massa udara, halangan oleh pengunungan, dan arus laut (Slamet &
Berliana 2007).
Dalam Slamet dan Berliana (2007) pembagian periode curah hujan yang
digunakan berdasarkan penelitian The How Liong et al (2006) bahwa terjadi
pembalikan fasa terhadap siklus bilangan sunspot dari periode 1950-1975 (periode
I) ke periode 1976 -2000 (periode II). Pembalikan fasa mengakibatkan terjadinya
perubahan iklim ekstrim di Indonesia. Wilayah Sumatra Selatan (Palembang)
sebanyak satu bulan yang terpisah oleh bulan lembab. Sementara periode II
memiliki dua kali musim basah. Musim basah panjang dari Oktober sampai
Pebruari dan musim basah pendek dari April ke Juni. Musim kering hanya selama
dua bulan (Juli-Agustus) dengan dua bulan lembab (September dan Maret).
Periode III mirip dengan periode II sehingga yang terjadi pergeseran bulan basah
antara periode I dan II. Perbandingan kriteria bulan terdapat pada Gambar 2
Kriteria bulan kering, lembab, dan basah adalah dari Schmidth-Fergusson dengan
kategori sebagai berikut :
- Bulan kering (BK) : bulan dengan curah hujan <60 mm
- Bulan lembab (BL) : bulan dengan curah hujan antara 60-100 mm
- Bulan basah (BB) : bulan dengan curah hujan >100 mm.
Gambar 2 Perbandingan bulan basah, lembab, dan kering untuk tiga periode
Lokasi Palembang laut (Slamet & Berliana 2007)
2.4.Hotspot
Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi
suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di
sekitarnya (Menhut 2009).
Hotspot dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya kebakaran suatu
lahan/hutan tetapi pembakaran biomasa dalam jumlah besar, gunung berapi,
cerobong api pengeboran minyak, dan hotspot palsu juga dapat dideteksi sebagai
hotspot. Hotspot palsu disebabkan oleh gelombang radio dan efek sun glint.
Gelombang radio dapat mengganggu penerimaan hotspot dan muncul sebagai
hotspot palsu sedangkan efek sun glint terjadi ketika satelit melalui dan tegak
matahari. Kebakaran hutan yang dideteksi sebagai hotspot adalah kebakaran
dengan luas dan intensitas tertentu.
Menurut Albar (2002) secara terminologi hotspot adalah satu piksel daerah
yang memiliki suhu lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar
yang tertangkap oleh oleh sensor satelit data dijital.
Salah satu sensor satelit yang digunakan untuk memonitoring permukaan
bumi adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). MODIS
merupakan sensor yang terdapat pada satelit Terra (EOS AM-1), yang diluncurkan
pada 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM-1) yang diluncurkan pada 4 Mei
2002). MODIS merekam permukaan bumi setiap hari dengan cakupan wilayah
2330 Km dan menggunakan 36 spektral band. Pemanfaatan data MODIS untuk
memantau perubahan lahan dan kebakaran hutan telah banyak dilakukan
(Suwarsono et al. 2009; Cassanova et al. 2004, diacu dalam Anggraini & Trisakti
2011)
MODIS (Terra/Aqua) dapat mendeteksi kebakaran hutan/lahan seluas
1000 m2. Dalam kondisi pengamatan yang optimal (dekat nadir, asap sedikit/tidak
ada, permukaan bumi yang relatif homogen) kebakaran hutan/lahan dengan
ukuran 100 m2 dapat dideteksi. Namun dalam kondisi bebas awan/asap/polusi
(sangat jarang sekali) kebakaran seluas 50 m2 dapat dideteksi (FIRMS 2012).
Hotspot dapat diartikan bahwa terjadi kebakaran terjadi di dalam lingkup
pixel berukuran 1 Km2. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu
pixel pada citra satelit NOAA, TERRA dan AQUA setara dengan + 1 Km2.
Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 Km2 ketika berada di pinggiran
lintasan. Ketika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu maka koordinat tersebut
akan ditampilkan di tengah pixel meskipun kebakaran berada di pinggir pixel,
sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang
lebih 1 Km2 dari lokasi koordinat hotspot tersebut.
Data hotspot disajikan dalam bentuk koordinat hotspot dari titik panas.
Koordinat hotspot berada di tengah piksel sebuah citra satelit. Titik panas dari
lokasi kebakaran hutan di lapangan dapat bergeser hingga radius 1 km di
Dalam menentukan hotspot nilai ambang suhu sehingga suatu titik
diidentifikasi sebagai hotspot yaitu 315K (420C) pada siang hari dan 310K (370C)
pada malam hari (Dephut-JICA 2002).
2.5.Panjang Derajat Lintang Bujur
Koordinat geografis pada permukaan bumi dinyatakan dalam satuan sudut
(derajat), dimana satu lingkaran memiliki 360 derajat, 60 menit per derajat, dan 60
detik per menitnya. Pengukuran lintang dan bujur pada permukaan bumi mengacu
pada besaran sudut di suatu model elipsoida bumi, sehingga panjang 1 derajat
lintang akan berbeda-beda sesuai dengan posisinya di permukaan bumi.
Panjang 1 derajat lintang di ekuator adalah sebesar 110,57 km (68,7 mil),
sedangkan di kutub sebesar 111.69 km (69,4 mil). Panjang derajat lintang
dijelaskan pada Tabel 1 (Kirvan 1997), sehingga panjang satu derajat lintang di
sekitar khatulistiwa adalah sekitar 110,574 km.
Tabel 1 Jarak derajat lintang (Kirvan 1997)
derajat
Panjang derajat bujur bergantung pada radius lingkaran lintang. Untuk
bidang lengkung (bulatan) radius nilai radius pada lintang adalah dan
panjang arc untuk satu derajat (/180 radian) bertambah dengan
Jika bumi dimodelkan seperti elips maka persamaan dimodifikasi menjadi
Dimana e merupakan penyimpangan elipsoid yang berhubungan dengan x
2.6.Spatial Data mining (SDM)
Spatial data mining merupakan salah satu proses yang digunakan dalam
melakukan analisis terhadap data spasial. Spatial Data Mining (SDM) merupakan
proses menemukan sesuatu yang menarik yang sebelumnya tidak diketahui, tetapi
memiliki potensi yang besar dan bermanfaat dari data spasial yang besar (Roddick
& Spiliopoulou 1999; Shekhar & Chawla 2003). Tujuan dari SDM adalah
menemukan pola atau informasi yang tersembunyi dan berguna dari basis data
spasial(Leung 2010).
2.7.Spatiotemporal Data
Data spatiotemporal diindek dan diambil sesuai dengan dimensi ruang dan
waktu. Periode waktu yang melekat pada data spasial yang berlaku dan disimpan
dalam basis data yang valid (Birant & Kut 2007).
A AB B
Ruang
t1 t2 tn
Waktu
Perubahan
Gambar 3 Ilustrasi perubahan data spatiotemporal (Rahim 2006)
Menurut Rahim (2006) data spatiotemporal dalam kenyataannya
merupakan data spasial yang berubah seiring waktu. Gambar 3 merupakan
ilustrasi perubahan objek A menjadi AB dan B dalam waktu t1 ke tn. Data
spatiotemporal merupakan rangkaian perubahan data spasial yang akan terjadi
hingga waktu ke n dan pergerakan lokasi geografis (geographic movement).
Informasi geografis terdiri dari informasi ruang, atribut, dan waktu. Ruang
mendeskripsikan lokasi dan bentuk. Atribut mendeskripsikan tipe fitur, nama dan
selalu berhubungan dengan perubahan geografis. Sehingga ruang dan atribut
memiliki hubungan dengan waktu.
2.8.Penggerombolan Spasial
Penggerombolan merupakan proses penggolongan data ke dalam kelas
atau clustering, sehingga objek di dalam suatu penggerombolan memiliki tingkat
persamaan lebih tinggi dari pada objek yang terdapat pada penggerombolan yang
lain (Han & Kamber 2006). Metode ini akan membentuk data menjadi k grup
partisi dengan persyaratan minimal memiliki satu anggota pada setiap grup dan
setiap objek pada basis data harus berada dalam satu grup partisi.
Penggerombolan spasial dapat diterapkan pada sekelompok objek spasial
yang serupa secara bersama-sama, dengan asumsi implisit bahwa pola cenderung
dikelompokkan dalam ruang dibandingkan dengan pola acak. Sebagai fungsi dari
data mining, penggerombolan spasial dapat digunakan sebagai alat yang berdiri
sendiri untuk mendapatkan wawasan tentang distribusi data, mengamati
karakteristik setiap penggerombolan, dan fokus pada kelompok penggerombolan
tertentu untuk analisis lebih lanjut (Han et al. 2001).
Segmentasi atau penggerombolan melibatkan partisi satu kumpulan data
yang dipilih ke dalam kelompok yang bermakna atau kelas. Proses
pengelompokan dapat mengakibatkan partisi yang berbeda pada suatu data,
tergantung pada kriteria khusus yang digunakan untuk penggerombolan. Jadi
sebelum melakukan penggerombolan dibutuhkan praproses dalam satu kumpulan
data. Langkah-langkah dasar untuk proses penggerombolan disajikan Gambar 4
(Fayyad et al. 1996).
2.9.Penggerombolan Spatiotemporal
Penggerombolan spatiotemporal adalah proses dalam mengelompokkan
objek berdasarkan persamaan spatial dan temporal (Kisilevich et al. 2010).
Dimensi temporal mendeskripsikan perubahan objek dari data dan dimensi spasial
mendeskripsikan lokasi dari suatu objek tersebut.
Dapat ditemukan berbagai bentuk penggerombolan secara spatiotemporal.
Dari beberapa kemungkinan bentuk penggerombolan spatiotemporal diantaranya
stasionary, muncul kembali, jarang dan trak (Poelitz & Andrienko, 2010) .
1. Stasionary yaitu penggerombolan terbatas dalam ruang dan diperpanjang
dalam waktu selama rentang waktu pada data atau dari saat beberapa waktu
tertentu sampai akhir periode waktu yang diteliti.
2. Reappearing yaitu beberapa penggerombolan temporal terjadi pada tempat
yang sama dan dipisahkan oleh interval waktu dimana tidak ada atau sangat
sedikit peristiwa terjadi di tempat ini. Terdapat dua jenis penggerombolan
muncul kembali yaitu penggerombolan regular (periodic) dan irregular.
Penggerombolan regular yaitu penggerombolan temporal yang dipisahkan oleh
interval waktu dengan panjang interval kira-kira sama. Penggerombolan
irregular yaitu penggerombolan temporal yang dipisahkan oleh interval waktu
dengan panjang interval yang tidak sama.
3. Occasional yaitu penggerombolan yang terbatas waktu sehingga tidak ada
penggerombolan lainnya yang terjadi pada tempat yang sama.
4. Track yaitu penggerombolan temporal padat dalam peristiwa yang kemudian
dialihkan dalam ruang sehubungan dengan peristiwa sebelumnya.
2.10. DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering of Applications with Noise)
Density-based clustering algoritma (algoritma penggerombolan berbasis
kepadatan) mengelompokkan titik berdasarkan kepadatan data di suatu wilayah.
Algoritma DBSCAN diperkenalkan pertama kali oleh Ester tahun 1996.
Algoritma DBSCAN mengidentifikasi anggota suatu penggerombolan dari
kepadatan suatu titik. Ide dasar DBSCAN yaitu untuk setiap titik dari
penggerombolan sekitar radius tertentu harus memiliki setidaknya minimum
suatu penggerombolan sedangkan wilayah dengan kepadatan rendah diidentifikasi
sebagai titik noise.
Jika neighboorhood dengan radius dari suatu objek disebut sebagai
Eps-neighborhood dari suatu objek dan MinPts merupakan jumlah minimum tetangga
dari pusat objek (core) suatu penggerombolan. Konsep DBSCAN adalah sebagai
berikut (Ester et al. 1996) :
1. Eps-neighborhood dari suatu titik p, dinotasikan dengan yang
didefinisikan oleh . Titik p merupakan
directly density-reachable dari titik q wrt Eps, MinPts jika
dan
| (kondisi titik pusat).
2. Core objek merupakan titik yang memiliki jumlah minimum (MinPts) pada
radiusEps neighborhood.
3. Suatu objek p merupakan directly density reachable dari objek q jika p berada
pada radius epsilon dari q dan q merupakan core objek.
4. Titik p merupakan density reachable dari titik q wrt. Eps dan MinPts jika
terdapat rantai titik sehingga directly density reachable
dari sehubungan dengan Eps dan MinPts, untuk . Gambar 5
merupakan hubungan q sebagai core point dan p sebagai border point. Titik p
directly density reachable dari q sedangkan q tidak directly density reachable
dari p. Directly density-reachable simetrik untuk pasangan titik pusat tetapi
tidak simetrik jika salah satunya merupakan titik border.
p q
Gambar 5 Directly density reachable
5. Suatu objek merupakan density-connected pada objek q sehubungan dengan
Eps dan MinPts dalam himpunan objek D jika terdapat suatu objek
o p
q
Gambar 6 Density connected
DBSCAN mencari sebuah cluster dengan memeriksa Eps-neighborhood
pada setiap titik dalam suatu basis data. Jika Eps-neighborhood dari suatu titik x
memiliki lebih dari MinPts, suatu penggerombolan baru dengan titik x sebagai
pusat penggerombolan terbentuk, kemudian secara iteratif menggabungkan
penggerombolan density-reachable sampai tidak terdapat lagi titik yang dapat
ditambahkan dalam penggerombolan.
2.11. ST-DBSCAN
Algoritma ST-DBSCAN memerlukan empat parameter input yaitu Eps1,
Eps2, MinPts dan . Eps1 digunakan untuk mengukur parameter jarak pada
atribut spasial (lintang dan bujur). Eps2 digunakan untuk mengukur parameter
jarak untuk atribut non spasial. MinPts merupakan jumlah minimum anggota titik
didalam Eps1 dan Eps2. Parameter terakhir digunakan untuk mencegah
penemuan penggerombolan gabungan karena perbedaan kecil nilai non spasial
dari lokasi tetangga.
Algoritma ST-DBSCAN dibangun dengan memodifikasi algoritma
DBSCAN. Berbeda dengan algoritma penggerombolan berbasis kepadatan
lainnya, Algoritma ST-DBSCAN memiliki kemampuan untuk menemukan
penggerombolan yang berkaitan dengan nilai-nilai non spasial, spasial dan
temporal dari objek. Ketiga modifikasi yang dilakukan dalam algoritma DBSCAN
adalah sebagai berikut, (i) algoritma ST-DBSCAN dapat mengelompokkan data
spatiotemporal sesuai dengan atribut non spasial, spasial dan temporal. (ii)
DBSCAN tidak mendeteksi titik noise ketika kepadatan bervariasi tetapi algoritma
ini mengatasi masalah ini dengan menetapkan faktor kepadatan untuk setiap
dengan membandingkan nilai rata-rata penggerombolan yang akan datang dengan
nilai baru (Birant & Kut 2007).
Algoritma dimulai dengan titik pertama p dalam basis data D dan
mengambil semua titik density reachable dari p sehubungan dengan Eps1 dan
Eps2. Jika p adalah objek inti, penggerombolan terbentuk. Jika p adalah border
objek, tidak ada poin yang density reachable dari p dan algoritma akan
mengunjungi titik berikutnya dari basis data.
2.12. Metode Prototipe
Prototipe merupakan salah satu pengembangan model yang berkembang
(evolutionary process model). Model ini merupakan model iterasi yang
dikelompokan dalam berbagai cara yang memungkinkan software engineer
mengembangkan perangkat lunak lebih lengkap Gambar 7 ( Pressman 2005).
Gambar 7 Metode Prototipe (Pressman)
Metode prototipe biasanya digunakan jika pengguna hanya mampu
mendefinisikan tujuan umum perangkat lunak tetapi tidak mampu
mengidentifikasi detail input, pemrosesan, atau kebutuhan output. Dalam kasus
lain pengembang tidak yakin pada keefisienan algoritma, penyesuaian sistem
operasi atau bentuk interaksi pengguna dan mesin yang seharusnya sehingga
pengembangan prototipe menjadi pilihan yang terbaik. Iterasi model prototipe
1. Komunikasi.
Proses ini merupakan suatu proses dimana terdapat pertemuan antara
pengembang aplikasi dan pengguna dan mendefinisikan keseluruhan
kebutuhan perangkat lunak, mengidentifikasi kebutuhan yang diketahui dan
skema yang diperintahkan.
2. Perencanaan dan Perancangan
Melalui perencanaan dan pemodelan yang merupakan keseluruhan
perancangan desain cepat terfokus kepada representasi aspek perangkat lunak
yang terlihat oleh pengguna (seperti disain antar muka/format tampilan output).
Desain cepat akan memandu dalam proses pembuatan prototipe.
3. Pembangunan Prototipe
Prototipe menyajikan mekanisme untuk mengidentifikasi kebutuhan
perangkat lunak.
4. Evaluasi user dan feedback
Feedback digunakan untuk menyaring kebutuhan perangkat lunak, iterasi
sebagai prototipe beralih untuk melengkapi kebutuhan pengguna dalam waktu
3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Kerangka Berpikir
Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia berkaitan erat dengan
dua faktor utama yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kemungkinan terdapat
karakteristik yang dapat ditemukan baik pola waktu maupun pola lokasi terjadinya
kebakaran yang disebakan kedua faktor utama tersebut.
Karakter waktu dapat ditemukan pada beberapa faktor alami penyebab
kebakaran hutan seperti iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya).
Adanya kemungkinan bahwa kebakaran hutan terjadi pada musim musim tertentu
dan periode bulan tertentu memberi asumsi terdapatnya pola secara temporal
terjadinya kebakaran hutan.
Faktor manusia sebagai penyebab kebakaran hutan dipicu oleh kegiatan
perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah, pola
perilaku manusia setempat, dan pembukaan hutan oleh para pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
Terdapat kemungkinan bahwa pembukaan hutan yang dilakukan oleh para
pemegang HPH dan petani tradisional dengan perladangan berpindah pindah
dilakukan pada periode waktu tertentu. Misalnya periode waktu dimana kondisi
alam mendukung dilakukannya pembakaran seperti kondisi musim kering, tidak
lembab dan sebagainya. Hal ini juga memberikan asumsi bahwa kebakaran hutan
memiliki pola temporal dalam periode waktu tertentu dan spasial pada lokasi
lahan para pemegang HPH dan petani tradisional. Meskipun perilaku masyarakat
seperti kebiasaan dalam membakar tanah gambut, semak belukar dan sebagainya
muncul sebagai kondisi bebas kapanpun dan dimanapun dapat terjadi kebakaran
hutan. Dari asumsi – asumsi tersebut maka terdapat kemungkinan bahwa kebakarn
hutan memiliki karakter-karakter pola persebaran tertentu secara spatiotemporal.
Sangat diperlukan pengenalan pola karakter kebakaran hutan baik itu
secara spasial maupun temporal dalam mengatasi kebakaran hutan. Dimana secara
logis berdasarkan Hukum Geografi 1 Tobler hotspot akan mengelompok karena
tersebar secara acak tetapi terdapat pola penggerombolan secara alami. Jika lokasi
dan pola persebaran kebakaran hutan diketahui maka pihak terkait mampu
melakukan perencanaan dalam melakukan manajemen pengelolaan kebakaran
hutan. Misalnya untuk daerah yang dinilai rawan dalam waktu tertentu dan
lokasinya pada batas administrasi maka diperlukan pengelolaan yang terpadu pada
wilayah yang bersangkutan yang pada saat ini pengelolaannya dipisahkan.
Saat ini tingkat kerawanan kebakaran hutan dilakukan dengan melakukan
metode expert dan densitas, dimana kedua metode ini menggerombolkan hotspot
kebakaran hutan tidak secara alami yaitu dengan membagi kelompok berdasarkan
kedekatan sifat pada setiap hotspot melainkan dengan mengukur densitas
kelompok kebakaran hutan yang berada di suatu lokasi tertentu. Sehingga
kelompok kebakaran hutan tidak selalu memiliki karakter yang sama baik secara
lokasi maupun waktu. Metode yang telah digunakan tidak sesuai dengan Hukum
Geografi 1 Tobler yang seharusnya mengelompok karena kedekatan karakter baik
lokasi maupun waktu.
Alternatifnya adalah melakukan penggerombolan hotspot kebakaran hutan
dengan menggunkan suatu metode, dimana metode tersebut akan
mengelompokkan hotspot berdasarkan kedekatan karakter dari hotspot tersebut
baik lokasi maupun waktu secara alami. Tehnik yang sesuai dengan metode ini
diantaranya adalah DBSCAN dan ST-DBSCAN. DBSCAN melakukan
penggerombolan dengan mengukur kedekatan anggota dalam setiap gerombolnya
dengan jarak tertentu. ST-DBSCAN melakukan penggerombolan dengan
mengukur kedekatan anggota dalam setiap gerombolnya dengan jarak dan waktu
tertentu. Sehingga dengan melakukan penggerombolan menggunakan DBSCAN
dan ST-DBSCAN dapat diperoleh gambaran penggerombolan yang anggota
penggerombolannya memiliki sifat yang mirip satu dengan lainnya. Terdapat
kemungkinan ditemukannya karakter dan pola spasiotemporal dari
penggerombolan yang dihasilkan dimana karakter dan pola tersebut sangat
diperlukan menyangkut isu-isu manajemen pengelolaan kebakaran hutan yang
terjadi di Indonesia. Kerangka berpikir pada penelitian ini terdapat pada Gambar
Rujukan Teori Teori Hukum (jarak dan waktu) digunakan untuk mengetahui pola
persebaran hotspot kebakaran
hutan - Hotspot biasanya muncul,
bisa teratur atau tidak
Pada penelitian ini untuk mendeterminasi penggerombolan titik-titik rawan
kebakaran hutan dengan menggunakan metode DBSCAN dan ST-DBSCAN
tahap–tahap yang akan dilakukan terdapat pada Gambar 9.
Mulai
Gambar 9 Diagram alir tahap-tahap penelitian
3.2.1. Sumber Data dan Praproses
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pusat telah
mengidentifikasi daerah rawan kebakaran hutan Sumatera Selatan merupakan
salah satu diantaranya. Selain Sumatera Selatan terdapat juga provinsi Riau,
Data spasial yang digunakan adalah hotspot kebakaran hutan di Sumatra
Selatan tahun 2002-2003. Data hotspot yang digunakan diperoleh dari Fire
Information For Resource Management System (FIRMS) yang merupakan data
hotspot MODIS yang disediakan oleh National Aeronautics and Space
Administration (NASA).
Data Sumatera Selatan dan data tahun 2003 sudah cukup mewakili
pengembangan metode dalam melakukan salah satu usaha pemecahan masalah
kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan Sumatera Selatan
merupakan salah satu daerah rawan bencana kebakaran. Analisis time series
dalam melakukan prediksi bencana kebakaran masih memerlukan cakupan data
dengan periode tahun yang lebih panjang.
Tahapan praproses dilakukan terhadap semua data yang digunakan.
Tahapan praproses data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan Data
Pada proses ini dilakukan pemilihan data hotspot yang terjadi di provinsi
Sumatra Selatan pada tahun 2002-2003. Pada data tersebut akan dilakukan
pemilihan field data yang diperlukan untuk mempercepat perhitungan data.
Field data yang diperlukan yaitu lintang, bujur, dan tanggal.
Untuk penggerombolan menggunakan DBSCAN, data dikelompokkan per
bulan sedangkan penggerombolan ST-DBSCAN seluruh data akan diproses
tanpa melakukan pengelompokan data.
2. Tranformasi Data Tanggal
Data tanggal akan disamakan dalam format dd-mm-yyy, setelah itu
sebelum diolah dalam Matlab akan diubah lagi dalam format number.
3. Pembersihan Data
Pada semua data dilakukan pembersihan data untuk mengganti nilai atribut
yang hilang atau kosong.
3.2.2. Perhitungan Jarak
Dalam perhitungan radius epsilon (Eps) dan untuk mengukur kesamaan
suatu titik apakah dimasukan dalam satu penggerombolan atau tidak digunakan
suatu parameter dist (jarak). Pengukuran jarak menggunakan Euclidean distance
Dimana dan j merupakan objek data dua
dimensi.
Pada data DBSCAN digunakan satu parameter jarak yaitu Eps untuk
mengukur persamaan data spasial sedangkan pada data ST-DBSCAN digunakan
dua parameter jarak yaitu Eps1 untuk mengukur persamaan jarak data spasial
yaitu jarak titik geografis dan Eps2 untuk mengukur persamaan data non spasial
dalam penelitian ini menggunakan atribut waktu (tanggal terjadi kebakaran).
3.2.3. Penentuan Eps dan MinPts
Menentukan parameter Eps dan MinPts dari penggerombolan terkecil pada
basis data dapat dilakukan melalui observasi k-dist (Gambar 10). Berikut
langkah-langkah penentuan nilai Eps dan MinPts dari k-dist.
k-dist
Ambang batas
point
penggerombolan noise
Gambar 10 Grafik nilai Eps
1. Komputasikan k-dist untuk seluruh titik pada beberapa k. Urutkan dalam
urutan menurun dan plot nilai yang telah diurutkan.
2. Perubahan tajam pada nilai k-dist yang berhubungan dengan nilai Eps dan
nilai k gunakan sebagai MinPts yang sesuai.
3. Poin yang k-dist lebih kecil dari Eps akan disebut sebagai core point (titik
inti), sementara titik lain akan dilabeli sebagai titik noise atau titik border.
4. Jika k terlalu besar maka penggerombolan kecil (ukuran kurang dari k)
cenderung diberi label sebagai titik noise. Jika k terlalu kecil maka titik noise
atau outlier akan salah diberi label sebagai penggerombolan.
3.2.4. Penggerombolan DBSCAN
Data hasil praproses yang telah dikelompokkan per bulan akan dilakukan
penggerombolan menggunakan DBSCAN. Setelah ditemukan nilai Eps dan
MinPts yang sesuai dengan algoritma sebagai berikut (Tan et al. 2006 ):
Menghilangkan titik noise dengan
1. Melakukan pengelompokan pada titik yang tersisa dengan cara
menghubungkan semua titik inti (core) dengan jarak yang kurang dari Eps
satu sama lain
2. membuat setiap kelompok dari titik inti yang terhubung menjadi
penggerombolan yang terpisah
3. menetapkan setiap titik perbatasan ke salah satu penggerombolan rekanannya
3.2.5. Penggerombolan ST-DBSCAN
Setelah diperoleh nilai Eps1 dan Eps2 data hasil praproses akan dilakukan
penggerombolan dengan menggunakan algoritma ST-DBSCAN dengan dimulai
dengan titik pertama p dalam basis data D dan mengambil semua titik density
reachable dari p sehubungan dengan Eps1 dan Eps2.
1. Titik p diproses sesuai dengan algoritma DBSCAN dan titik berikutnya
diambil.
2. Fungsi Retrieve_Neighbors (objek, Eps1, Eps2) mengambil semua titik
density reachable dari objek yang dipilih sehubungan dengan Eps1, Eps2 dan
MinPts. Jika titik yang kembali berada dalam Eps neigborhood lebih kecil dari
nilai MinPts, objek dinilai sebagai titik noise.
3. Titik noise dapat diubah kemudian jika titik bukan directly density reachable
tetapi merupakan density reachable.
4. Jika titik dipilih adalah titik core, maka sebuah penggerombolan baru
dibangun. Kemudian seluruh titik directly density reachable neighborhood
dari titik core akan dimasukkan dalam penggerombolan.
5. Kemudian algoritma secara iteratif mengumpulkan objek density reachable
dari core objek.
6. Jika objek tidak ditandai sebagai titik noise atau tidak dalam penggerombolan
dan perbedaan antara nilai rata-rata dari penggerombolan dan nilai baru lebih
7. Jika dua kelompok C1 dan C2 dekat satu sama lain, sebuah titik p mungkin
milik kedua C1 dan C2. Kemudian titik p dimasukkan dalam penggerombolan
pertama yang menemukan titik tersebut.
3.3.Pengembangan Prototipe Visualisasi
Metode yang digunakan dalam pengembangan aplikasi penggerombolan
ST-DBSCAN dan DBSCAN adalah prototipe. Metode prototipe merupakan jenis
metode yang memiliki siklus pengembangan. Metode ini digunakan karena dalam
pembangunan atau pengembangan suatu aplikasi, proses yang dilakukan akan
selalu bersifat dinamis atau selalu mengalami perubahan (update) sesuai dengan
perkembangan jaman.
Metode prototipe dimulai dari komunikasi untuk mendiskusikan tujuan
keseluruhan dari perangkat lunak tersebut, mengidentifikasikan kebutuhan, dan
menguraikan permintaan klien. Pada prototipe tahap perencanaan dan
perancangan dilakukan secara cepat. Perancangan tersebut difokuskan pada
tampilan akhir dari perangkat lunak yang dibangun.
Perancangan ini mengarah kepada pembuatan prototipe dari perangkat
lunak. Kemudian prototipe tersebut diserahkan dan dievaluasi untuk menghasilkan
feedback yang akan digunakan untuk menyempurnakan permintaan kebutuhan
dari perangkat lunak tersebut.
3.4.Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Perangkat Lunak dan
Ilmu Informasi (Software Engineering and Information Science /SEIS) dimulai
4
PEMBAHASAN
4.1.Sumber Data dan Karakteristik Data
Data diperoleh dari Fire Information For Resource Management System
(FIRMS) yang merupakan data hotspot yang disediakan oleh National
Aeronautics and Space Administration (NASA). Hotspot tersebut diperoleh
menggunakan data satelit Terra dan Aqua yang memiliki sensor bernama
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dalam mendeteksi
suhu permukaan bumi.
Gambar 11 Lokasi Sumatera Selatan
Data yang diteliti adalah data titik panas (hotspot) kebakaran di Sumatera
Selatan yang terletak antara 5o10’ sampai 1o20’ lintang selatan dan 101o40’
sampai 106o30’ bujur timur. Sehingga 1o akan mewakili jarak sekitar 110 km
(Gambar 11).
4.2.Praproses Data
Tahapan praproses yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemilihan
data, transformasi data tanggal, dan pembersihan data.
4.2.1. Pemilihan Data
Terdapat 4822 record pada data hotspot Tahun 2002-2003 yang akan
dipilih field lintang, bujur, dan tanggal. Kemudian pada data yang telah terpilih
dilakukan pengelompokkan data berdasarkan bulan dan tahun yang sama sehingga
terdapat 24 pengelompokan data dari bulan Januari 2002 sampai Desember 2003
menggunakan ST-DBSCAN menggunakan field lintang, bujur dan tanggal tanpa
melakukan pengelompokan berdasarkan bulan dan tahun.
4.2.2. Tranformasi Data Tanggal
File diproses dalam ST-DBSCAN menggunakan format dd-mm-yyy,
kemudian diubah dalam format number sebelum diolah dalam Matlab.
4.2.3. Pembersihan Data
Field yang tidak diperlukan dan atribut yang kosong akan dihilangkan
pada data hotspot.
4.3.Penentuan Nilai Eps
Dalam pembentukan penggerombolan DBSCAN memerlukan parameter
MinPts dan Eps. Parameter MinPts digunakan sebagai jumlah minimum titik
dalam suatu penggerombolan. Penentuan nilai Eps pada DBSCAN juga digunakan
dalam mentukan nilai Eps1 pada ST-DBSCAN.
Ide dalam penentuan nilai Eps dan MinPts adalah untuk titik dalam sebuah
penggerombolan, maka k tetangga terdekat secara kasar memiliki jarak yang
sama, titik noise memiliki jarak terjauh dari k-tetangga terdekat sehingga
dilakukan plot jarak secara terurut pada setiap titik pada k-tetangga terdekat. Jika
jarak dari titik ke k tetangga terdekat = k-dist, maka pada titik yang berada pada
beberapa penggerombolan, nilai dari k-dist akan kecil jika k lebih kecil dari
ukuran penggerombolan dan pada titik yang tidak berada dalam penggerombolan
(titik noise) nilai k-dist relatif besar. Grafik k-dist dari data 2002-2003 terdapat
pada Gambar 12.
Pada DBSCAN untuk mengoptimasi nilai Eps dan MinPts, didasarkan
pada asumsi bahwa pada data tahun 2002-2003 yang telah ada, penggerombolan
dapat diidentifikasi terbaik jika k tetangga terdekat memiliki jarak yang sama
dengan titik yang lain atau dapat dikatakan bahwa titik dalam suatu
penggerombolan secara kasar memiliki jarak yang sama. Untuk mengetahuinya
dapat digambarkan dengan melakukan plot seluruh jarak ke k tetangga terdekat
dari seluruh titik dengan nilai k yang bervariasi.
Untuk mengoptimalkan nilai Eps dan MinPts, dipilih garis yang mendekati
garis menaik kemudian dipotong secara vertikal pada plot k tetangga terdekat
dimana seluruh titik di sebelah kiri garis vertikal merupakan core point (Gambar
13). Sehingga semakin jauh digeser ke kiri, core point lebih sedikit dan
penggerombolan yang terbentuk semakin sedikit. Sebaliknya jika garis potong
vertikal berada di dekat sisi kanan grafik core point lebih banyak dan
penggerombolan yang terbentuk semakin banyak. Pergeseran nilai ambang
dilakukan untuk mendapatkan nilai ambang dengaan nilai k-dist yang maksimum
yaitu penggerombolan dan jumlah titik noise yang kecil yang disesuaikan dengan
kebutuhan penelitian dan data.
Gambar 13 Grafik pergeseran penggerombolan
Pergeseran nilai ambang pada penelitian ini dilakukan pada nilai k=4, k=7,
k=11, k=15, dan k=18 dengan pergeseran nilai Eps 0.125 sampai 0.2. Dari
pergeseran nilai ambang didapatkan nilai Eps=0.2 dengan penggerombolan yang
paling sedikit yaitu berkisar antara 38-40 penggerombolan (Gambar 13). Nilai
titik noise paling sedikit didapatkan pada k=4, k=7, dan k=11 dengan Eps=0.2 dan
k=4 dengan Eps =0.175 dengan jumlah titik noise sebanyak 6. Sehingga
penggerombolan DBSCAN menggunakan nilai Eps =0.2 dan k =4 sebagai MinPts
Gambar 14 Hubungan titik noise dengan Eps1
Pada ST-DBSCAN selain parameter Eps1 dan MinPts juga menggunakan
parameter Eps2 (pada penelitian ini untuk mengukur waktu terjadinya kebakaran).
Dalam menentukan nilai Eps2 dilakukan beberapa percobaan untuk mencari hasil
penggerombolan optimal dengan jumlah penggerombolan kecil dan titik noise
yang kecil. Untuk itu dilakukan pengeplotan hasil menggunakan nilai Eps1=0.2
dan nilai Eps2 yang bervariasi yaitu 7, 15, 30 dan 35 sehingga didapatkan nilai
penggerombolan dan titik noise yang paling kecil pada nilai Eps2=30 dan 35
(Gambar 15).
Gambar 15 Hubungan banyak titik noise, penggerombolan dan Eps2
Setelah melalui beberapa percobaan akan digunakan k = 4, dengan nilai
Eps=0.2 yang mewakili jarak sekitar 22,2 km. Radius 0.2 juga dipilih dengan
pertimbangan sifat hotspot pada MODIS dengan lingkup 1 Km sehingga terdapat
kemungkinan kebakaran hutan yang menggerombol. Parameter Eps ini akan
menghasilkan penggerombolan yang relatif sedikit, tetapi mereka akan menjadi
kelompok yang berkorelasi.
4.4.Penggerombolan DBSCAN
Pada data hotspot kebakaran hutan tahun 2002-2003 terdapat 4822 data
dilakukan penggerombolan menggunakan DBSCAN pada lokasi lintang dan bujur
hotspot. Hasil DBSCAN pada hotspot tahun 2002-2003 dengan radius jarak
maksimum antara satu titik dengan titik tetangga terdekat adalah 0.2 derajat (Eps)
dan jumlah minimal anggota suatu penggerombolan 4 (MinPts) diperoleh 38
penggerombolan dan 6 titik noise.
Penggerombolan terbentuk berdasarkan kedekatan jarak antara hotspot
satu dengan yang lain. Setiap anggota penggerombolan memiliki persamaan yaitu
berkumpul dan memiliki jarak radius 0.2 derajat antar hotspot. Yang membedakan
antar hotspot satu dengan yang lain adalah jarak pada titik paling luar (border)
antar kelompok yang memiliki jarak lebih besar dari 0.2 derajat sehingga
membentuk penggerombolan yang terpisah. Waktu terjadinya hotspot diabaikan
dalam penentuan penggerombolan dan setiap penggerombolan yang terbentuk
memiliki anggota hotspot yang terjadi pada tahun 2002-2003 dan dalam waktu
yang berbeda-beda.
Gambar 16 merupakan 13 penggerombolan dengan jumlah anggota
terbesar dengan jumlah hotspot antar penggerombolan antara 110-557 hotspot.
Dari 15 kabupaten di Sumatera Selatan daerah yang memiliki penggerombolan
dengan jumlah anggota tertinggi terdapat pada kabupaten Ogan Komering Ilir
(tiga penggerombolan dengan jumlah 1464 hotspot). Selain itu terdapat
penggerombolan lainnya dengan jumlah anggota yang lebih kecil berkisar antara
5-96 hotspot.
Pada Tahun 2002-2003 diperoleh 6 titik noise yang berada pada kabupaten
Banyuasin, kabupaten Kota Pagar dan kabupaten Muara Enim titik-titik tersebut
tidak menggerombol/ kemunculannya tidak disertai dengan minimal 3 hotspot
yang berada di sekitarnya (Gambar 17) sehingga terdapat kemungkinan daerah ini
merupakan daerah yang sangat jarang terjadi kebakaran hutan atau hotspotpalsu.
Gambar 17 Lokasi titik noise pada kabupatenBanyuasin, kabupaten Lahat dan
kabupaten Muara Enim
Penggerombolan hotspot pada seluruh data tahun 2002-2003 dengan
menggunakan DBSCAN tanpa memperhatikan aspek waktu tidak dapat dianalisis
kemunculannya pada periode waktu tertentu sehingga menggunakan data hotspot
yang telah dikelompokan per bulan dari Januari 2002 – Desember 2003. Secara
visual pada penggerombolan hotspot tanpa pemisahan data per bulan terdapat
karakteristik lokasi yang terlihat jelas perbedaanya antar penggerombolan
meskipun tidak diketahui periode waktu penggerombolannya (Lampiran 1).
Dari hasil penggerombolan DBSCAN tahun 2002-2003 dengan input data
yang telah dikelompokan per bulan dihasilkan 187 penggerombolan dan 325 titik
noise dengan jumlah penggerombolan besar pada bulan Juli - Oktober yang berarti
bergerombol sampai 187 lokasi penggerombolan pada musim kering dan lembab
(Gambar 18 dan 19). Pada bulan Desember-Juni hampir tidak terdapat
penggerombolan yaitu pada musim basah. Menurut Sulistiyowati (2004)
tingginya jumlah hotspot pada musim kering menunjukkan adanya hubungan
bahwa pada bulan-bulan kering memiliki potensi sebagai penghasil hotspot. Pada
bulan-bulan itu juga biasanya kebakaran hutan dan lahan sering terjadi.
Gambar 19 Grafik jumlah hotspot tahun 2002-2003
Secara visual penggerombolan hotspot dengan melakukan pemisahan data
per bulan hampir menyebar pada seluruh lokasi sehingga sulit menemukan pola
dengan persebaran pada lokasi yang hampir sama tetapi waktu penggerombolan
yang berbeda ataupun penggerombolan pada lokasi yang sama tetapi periode
waktu yang berbeda (Lampiran 2).
4.5.Penggerombolan ST-DBSCAN
ST-DBSCAN merupakan salah satu teknik penggerombolan spatiotemporal
yang menggunakan parameter Eps1 sebagai parameter pengukur kedekatan antara
dua titik geografis (garis bujur dan garis lintang), Eps2 sebagai parameter non
spasial dalam penelitian ini sebagai waktu, MinPts sebagai parameter minimal
jumlah titik dalam suatu penggerombolan dan untuk menjaga penemuan
penggerombolan yang bervariasi dengan sedikit perbedaan dalam nilai non spasial
dnegan nilai tetangga terdekat. Jika perbedaan Cluster_Avg (nilai rata-rata atribut
yang akan diseleksi dalam penggerombolan) lebih besar dari nilai batas maka
objek tidak dimasukan dalam penggerombolan. Gambar 20 merupakan ilustrasi
parameter yang digunakan dalam ST-DBSCAN yaitu x, y sebagai lokasi titik yang
diukur menggunakan Eps1 dan T sebagai parameter waktu yang diukur
menggunakan Eps2.
Gambar 20 Ilustrasi penggunaan parameter ST-DBSCAN
Aplikasi penggerombolan ST-DBSCAN yang diaplikasikan pada kebakaran
hutan di Sumatra Sekatan dilakukan untuk menemukan pola kebakaran hutan
yang memiliki kesamaan karakteristik ruang dan waktu. Konsentrasi hotspot akan
mengindikasikasikan fenomena yang menarik baik merupakan pola kemunculan
yang sering terjadi ataupun yang jarang terjadi.
Pola spatiotemporal penggerombolan hotspot kebakaran hutan akan
mengadopsi penggolongan tipe dari Poelitz dan Andrienko (2006) yaitu
stasionary, reappearing (periodic/regular, irregular), occasional, dan tracks.
Tipe yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu regular, irregular, occasional.
Tabel 2 merupakan data penggolongan tipe yang akan dijadikan lambang anggota
penggerombolan untuk memudahkan ilustrasi hasil penggerombolan.
Tabel 2 Data penggolongan tipe penggerombolan
Tipe Penggerombolan Lambang
Stasionary
Periodic/ regular
X
irregular
Occasional
Track
Dari hasil ST-DBSCAN menggunakan radius jarak terdekat antara satu titik
titik dengan titik lainnya 30 hari dan jumlah minimal anggota dalam satu
penggerombolan adalah 4 anggota maka didapatkan 147 penggerombolan dan 149
titik noise. Pada penggerombolan tersebut terdapat 11 penggerombolan terbesar
dengan jumlah hotspot antara 81-219 dan 6 diantaranya merupakan
penggerombolan yang dimiliki Ogan Komering Ilir dengan total jumlah 1091
hotspot (Gambar 21). Lokasi penggerombolan tersebut menyebar di daerah Musi
Rawas, Muara Enim, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir. Informasi 11
penggerombolan terdapat pada Tabel 3.
Gambar 21 Penggerombolan terbesar
Tabel 3 Data 11 penggerombolan terbesar
No Daerah Jumlah
hotspot
Waktu
39 Ogan Komering Ilir 219 September – November 2002
27 Ogan Komering Ilir 197 Agustus – Oktober 2002
29 Ogan Komering Ilir 184 September –November 2002
30 Ogan Komering Ilir 170 September –November 2002
49 Ogan Komering Ilir 119 Oktober –November 2002
8 Ogan Komering Ilir 98 Agustus – September 2003
7 Musi Rawas 98 Juli – September 2002
111 Musi Rawas 98 Juli – Agustus 2003
48 Banyuasin 104 Oktober – November 2002
107 Musi Banyuasin 81 Juli – Agustus 2003
102 Muara Enim 118 Juli –Agustus 2003
Daerah Ogan Komering Ilir merupakan daerah dengan kepadatan hotspot
paling tinggi di wilayah Sumatera Selatan dan memiliki 3 tipe penggerombolan
waktu yang berbeda. Penggerombolan tipe ini pada daerah 1 muncul pada bulan
Oktober – November 2002, Juli – Agustus 2003, dan September – Oktober 2003.
Pada daerah 2 muncul pada bulan September – November 2002, dan Juli –
Oktober 2003. Dan pada daerah 3 muncul pada bulan Agustus – November 2002,
dan Juli – Agustus 2003. Lokasi penggerombolan terdapat pada Gambar 22.
Keterangan
Daerah 2 Daerah 3 Daerah 1
Gambar 22 Penggerombolan Ogan Komering Ilir
Daerah Musi Banyuasin merupakan salah satu daerah yang memiliki
kepadatan hotspot yang tinggi. Secara spatiotemporal ditemukan tipe
penggerombolan irregular (Gambar 23).
Keterangan
Daerah 2 Daerah 3 Daerah 1
Daerah 4
Gambar 23 Penggerombolan Musi Banyuasin
Tipe penggerombolan irregular pada Musi Banyuasin terdapat pada 4 lokasi