• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modeling of vulnerability level and zone of forest and land fires using GIS in Kapuas Tengah Sub Basin, Kalimantan Barat Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modeling of vulnerability level and zone of forest and land fires using GIS in Kapuas Tengah Sub Basin, Kalimantan Barat Province"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN TINGKAT DAN ZONA KERAWANAN

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SUB DAS KAPUAS

TENGAH, PROPINSI KALIMANTAN BARAT

IIN ARIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Sub DAS Kapuas Tengah, Propinsi Kalimantan Barat karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006

Iin Arianti

(3)

ABSTRACT

IIN ARIANTI. Modeling of vulnerability Level and Zone of forest and land fires using GIS in Kapuas Tengah Sub Basin, Kalimantan Barat Province. Under the direction of NAIK SINUKABAN and I NENGAH SURATI JAYA.

In the last two decades, forest and land fire in Indonesia has become a serious problem at national, regional and even international levels. The smoke of the fires gave a negative impact on human activities and health and in turn caused economical and social loss. In addition, the haze pollution has become a serious problem internationally. This study was conducted to establish a vulnerability model of forest and land fire in Kapuas Tengah watershed, Kalimantan Barat Province. The model was based on scoring and weighting of bio-physical and human activity factors. Ranking method and Composite Mapping Analysis (CMA) were used to establish the model.

The result showed that the accuracy of model by ranking method to determine the vulnerability level and zone of forest and land fire was only 62.4% in Kapuas Tengah watershed. Therefore the model was not good enough to represent actual condition in the field. The accuracy of model using CMA method to determine the vulnerability level and zone of forest and land fires was 84%. Therefore, CMA method could be used to determine vulnerability level and zone of forest and land fire. Using the CMA method showed that the Kapuas Tengah watershed consisted of 1,051,029.4 ha highly vulnerable, 379,307.0 ha of moderate and 195,010.7 ha of low vulnerable. The vulnerability map can be used for early warning system to prevent forest and land fires.

(4)

ABSTRAK

IIN ARIANTI. Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Sub DAS Kapuas Tengah, Propinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh NAIK SINUKABAN dan I NENGAH SURATI JAYA.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada dua dekade terakhir ini sudah menjadi masalah yang serius baik di tingkat nasional, regional, bahkan tingkat internasional. Hal ini diakibatkan oleh dampak negatif berupa asap kebakaran yang mengganggu kesehatan masyarakat sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomi dan sosial. Selain itu kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran juga telah melintasi batas Negara sehingga menjadi masalah internasional yang sangat serius.

Studi ini dilakukan untuk membuat model kerawanan kebakaran hutan di DAS Kapuas Tengah, Kalimantan Barat. Model dibentuk berdasarkan skor dan bobot dari peubah faktor biofisik dan aktifitas manusia menggunakan metode ranking (TKB-MR) dan analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA atau TKB-CMA).

(5)

Judul Tesis Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan menggunakan SIG di sub DAS Kapuas Tengah,

Propinsi Kalimantan Barat.

Nama lin Arianti

NIM A 252034011

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban. M.Sc

Ketua Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya. M.Agr Anggota

Ketua Program Studi Pengelolaan DAS Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban. M.Sc

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1 . Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban,M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu,

pengarahan serta wawasan dalam membimbing penulis.

2. Dr. lr. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku pembimbing yang telah sabar

meluangkan waktu untuk memberi ilmu, membimbing dan mengarahkan serta

memberi dukungan dan doa kepada penulis.

3. Dr. lr. Kukuh Murtilaksono, MSi selaku dosen penguji luar komisi yang telah

memberikan masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis.

4. Kedua orang tua H. A. Usman M. Noor dan Hj Djumiati , mertuaku Hj Siti Asiati,

guru Aribani, ustadz K. H. Mochjar Dahri dan saudara-saudaraku H. udy dan Donny

Usman yang tak pernah lelah memberi dukungan, semangat, dan doa.

5. Suamiku tercinta Muhammad Rafani Ginting dan ke-tiga anakku: Nun, Lula dan

Zadu yang dengan setia dan sabar menungguku menyelesaikan studi dan selalu

memberikan dukungan serta doa.

6. Bapak Uus Saeful M. atas ilmu dan kesabarannya dalam membantu penulis

mempelajari hal-hal teknis penginderaan jarak jauh dan Sistem lnformasi Geografis

7. lbu Belinda, lbu Mela, lbu Leli (Badan Planologi Kehutanan) dan Bapak Israr serta

Ibu Mira (Gd. Manggala Wanabakti Departemen Kehutanan) atas bantuan dalam

penyediaan data dijital dan data titik panas.

8. Staf Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat atas bantuan dalam penyediaan

data dan dokumentasi.

9. lr. Endang A. Husaeni, MS dan Dr. lr. Lailan Syaufina, M.Sc yang telah meluangkan

waktu untuk wawancara sebagai ahli bidang kebakaran hutan dan lahan Fakultas

Kehutanan IPB

10. Mami Anita Zainali sekeluarga atas tempat tinggal, dukungan dan doa selama penulis

menyelesaikan studi di IPB Bogor.

11. Bapak Samsuri dan Anita sekeluarga, Bapak Hildanus , Ibu Nining Puspaningsih,

Bapak Rahmanta Ginting, Edwin Setia Purnama, Tanty Erningtyas, dan Mba Etta

yang telah membantu dan meluangkan waktu untuk berdiskusi.

(7)

dapat kusebutkan satu per satu yang telah bersama-sama dalam suka dan duka dalam

kebersamaan di fordas.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mempawah, Kabupaten Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 5 Januari 1970, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari keluarga H. A. Usman M. Noor, SE (ayah) dan Hj. Djumiati (ibu). Pada tanggal 4 September 1998, Penulis menikah dengan Muhammad Rafani Ginting, MT. Penulis dikaruniai tiga orang anak yang terdiri dari dua anak laki-laki yaitu Dzannun Fansyiari Austi Ginting (anak pertama) dan Zadu Taqwa Austi Ginting (anak ketiga) dan seorang anak perempuan yaitu Zhilaluha Qur’ani Austi (anak kedua).

(9)

Prakata

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya semata maka penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul "Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Sub DAS Kapuas Tengah, Propinsi Kalimantan Barat” dengan tujuan agar penulis dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan karya dalam bidang kebakaran hutan dan lahan. Karya ini juga sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister pada Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, Msc dan Bapak Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr selaku Dosen Pembimbing, yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam memberikan arahan serta bimbingan baik sewaktu penyusunan tesis maupun selama pelaksanaan proses belajar mengajar.

Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa penulisan penelitian ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca yang budiman demi kesempurnaan dan perbaikan di masa yang akan datang, dan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2006

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... ii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang Permasalahan... 1

Kerangka Pemikiran... 2

Tujuan Penelitian... 4

Manfaat Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Kebakaran Hutan dan Lahan... 5

Faktor-faktor Pendukung Kebakaran... 6

Peran Teknologi Penginderaan Jauh... 10

Sistem Informasi Geografis... 16

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 21

Letak dan Luas... 21

Komponen Fisik... 21

Administrasi Pemerintahan... 26

Kependudukan... 30

Pendidikan... 30

Teknik Pembukaan Lahan... 30

METODE PENELITIAN... 31

Lokasi dan waktu Penelitian... 31

Data dan Alat Penelitian... 31

Metode Penelitian... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

Faktor Utama Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan... 46

Model Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan... 48

Pemetaan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan... 62

KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

DAFTAR PUSTAKA... 67

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik band Landsat TM... 11

2. Perkiraan luas dan jumlah curah hujan bulan Agustus 2002 di sub DAS Kapuas Tengah berdasarkan interpolasi data curah hujan tahun 2002 ... 23

3. Luas areal tutupan lahan di sub DAS Kapuas Tengah... 25

4. Luas areal daerah penggunaan lahan di sub DAS Kapuas Tengah ... 25

5. Nama dan luas Kabupaten di sub DAS Kapuas Tengah ... 25

6. Nama dan luas Kecamatan di sub DAS Kapuas Tengah... 29

7. Jumlah dan kepadatan penduduk di sub DAS Kapuas Tengah... 30

8. Kisaran nilai NDVI berdasarkan kerapatan vegetasi... 33

9. Kisaran nilai NDVMI berdasarkan kelas kadar air vegetasi... 33

10. Indeks Pentingnya setiap peubah dalam mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan ... 46

11. Skor pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan ... 49

12. Bobot pengaruh dari setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan di sub DAS Kapuas Tengah berdasarkan penilaian ahli (expert judgement) ... 50

13. Sebaran Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Menggunakan Model TKB-MR 52 14. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai NDVI di Sub DAS Kapuas Tengah……... 53

15. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai NDVMI di Sub DAS Kapuas Tengah…….... 53

16. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai Curah Hujan bulan Agustus di Sub DAS Kapuas Tengah……... 54

17. Skor Pengaruh pada Jenis Tutupan Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah…..….... 55

18. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Pemukiman Penduduk di Sub DAS Kapuas Tengah ... 56

19. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Jalan di Sub DAS Kapuas Tengah... 56

20. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Sungai di Sub DAS Kapuas Tengah... 56

21. Skor Pengaruh pada Tipe Penggunaan Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah…….. 57

22. Bobot pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan secara mikro dan makro pada model 1... 58

(12)

24. Bobot pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Segitiga Api... 6

2. Kurva Spektral Ideal Pantulan dari Vegetasi yang Sehat... 12

3. Spektra pantulan dari sampel permukaan dari tanah mineral... 13

4. Pengaruh klorofil dan sedimen pada pantulan air... 14

5. Peta Lokasi Penelitian (Sub DAS Kapuas Tengah) ... 22

6. Pola curah hujan ... 24

7. Peta Tutupan Lahan... 27

8. Peta Penggunaan Lahan... 28

9. Peta NDVI... 34

10. Peta NDVMI... 35

11. Peta Sebaran Hotspot tahun 2002 ... 37

12. Diagram Alir Tahapan Penentuan tingkat dan zone kabakaran hutan dan lahan... 45

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai Penting Setiap Peubah Dalam Mempengaruhi Kebakaran

Hutan Lahan Berdasarkan Penilaian Ahli... 69 2. Data Jumlah Curah Hujan Bulanan Tahun 2002 di Kab. Sanggau,

Ketapang dan Sintang... 70 3. Grafik Jumlah Curah Hujan Bulanan di Kab. Sanggau, Sintang

dan Ketapang... 71 4. Matriks korelasi antar peubah yang mempengaruhi kebakaran

hutan dan lahan... 72 5. Nilai Skor Berdasarkan Formulasi Logis dari Sub Peubah Dalam

Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan di Sub DAS Kapuas

Tengah ... 73 6. Bobot Pengaruh Setiap Peubah Terhadap Kebakaran Hutan dan

Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Berdasarkan Penilaian Ahli

(expert judgement)... 74 7. Konfusi Matrik Model Kerawanan Menggunakan Metode

Ranking dengan Kepadatan Titik Panas (hotspot) ... 74 8. Skor NDVI Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik

Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas Yang Diharapkan Ada .. 75 9. Skor NDVMI Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik

Panas Aktual Dengan Titik Panas yang Diharapkan Ada. ... 75 10. Grafik Hubungan Antara Curah Hujan dengan Jumlah Hotspot 11.

Peta Sebaran Hotspot tahun 2002 ... 76 11. Skor Tutupan Lahan Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah

Titik Panas Aktual dengan Titik Panas yang Diharapkan Ada. ... 77 12. Skor Curah Hujan Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio antara

Jumlah Titik Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas yang

Diharapkan Ada. ... 78 13. Skor Jarak dari Sempadan Pemukiman Penduduk Berdasarkan

Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik Panas Aktual dengan

Jumlah Titik Panas yang Diharapkan Ada... 79 14. Skor jarak dari sempadan jalan berdasarkan luas wilayah dan rasio

jumlah titik panas aktual dengan jumlah titik panas yang

diharapkan ada ... 79 15. Skor Jarak dari Sempadan Sungai Berdasarkan Luas Wilayah dan

Rasio Jumlah Titik Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas

(15)

wilayah dan rasio jumlah titik panas aktual dengan jumlah titik

panas yang diharapkan ada ... 80 17. Bobot mikro pengaruh aktifitas manusia dan alam model 1

kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan. ... 81 18. Bobot makro pengaruh aktifitas manusia dan biofisik model 1

berdasarkan rerata rasio perbandingan Jumlah titik panas aktual

dengan jumlah titik panas yang diharapkan ada. ... 81 19. Bobot Mikro Pengaruh Aktifitas Manusia dan Biofisik model 2. .. 82 20. Bobot Mikro Pengaruh Aktifitas Manusia dan Biofisik model 2. .. 82 21. Konfusi Matrik Model Kerawanan Menggunakan Metode CMA

(TKB I-CMA) dengan Kepadatan Titik Panas (hotspot)... 83 22. Konfusi Matrik Model Kerawanan Menggunakan Metode CMA

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

Kalimantan adalah pulau yang memiliki hutan terbesar di Indonesia yaitu 92.4 juta ha atau 85% dari luas hutan di Indonesia. Luas ini telah mengalami

kerusakan sebesar 18.7 juta ha dalam kurun waktu 15 tahun yaitu tahun 1 983 ∼ 1 998 (Dephut, 1998). Salah satu penyebab kerusakan hutan ini adalah kebakaran. Kebakaran tersebut telah menimbulkan kerusakan ekologis, ekonomi dan sosial pada tingkat regional dan asap tebal yang ditimbulkan dari peristiwa kebakaran juga dirasakan oleh negara tetangga seperti Malaysia, Brunai dan Singapura.

Selain Kalimantan Timur yang telah mengalami kerusakan hebat sebesar 3.6 juta hektar akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 1983 di Bukit Soeharto, kebakaran hebat juga terjadi di Kalimantan Barat pada bulan Agustus tahun 1 997 yang merusak sekitar 18 ribu hektar hutan. Bila dikaitkan dengan pengamatan titik panas (hotspot) dalam 5 tahun terakhir (2 000 ∼ 2 004), Kalimantan Barat adalah wilayah yang memiliki kepadatan titik panas yang tinggi dan cenderung meningkat intensitasnya setiap tahun. Tahun 2 000 terdeteksi titik panas sebanyak 2 589 titik meningkat menjadi 4 989 titik pada tahun 2 001 dan 7 061 titik pada tahun 2 002, 6 322 titik di tahun 2 003 dan 7 000 titik di tahun 2 004. Sebaran jumlah titik panas tersebut umumnya terjadi pada bulan Agustus. Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada daerah sub DAS Kapuas Tengah yang mengalami peningkatan jumlah titik panas setiap tahun yaitu dari 495 titik pada tahun 2000 hingga 1 760 titik pada tahun 2 002 dengan kejadian tertinggi pada bulan Agustus. Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran tersebut terjadi pada bulan-bulan kering setiap tahunnya. Pada waktu tersebut, aktivitas manusia cenderung tinggi sehingga dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

(17)

baik dikarenakan kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan/slash and burning) dan kecil kemungkinannya oleh faktor alamiah seperti penomena iklim,

areal gambut, areal batubara, petir, gesekan kayu dan benturan batu. Berdasarkan hal itu, diperlukan solusi yang tepat dan upaya yang serius dalam penanganan masalah kebakaran ini perlu dicari. Solusi yang telah diambil selama ini lebih difokuskan pada teknis memadamkan kebakaran hutan, sehingga tidak efektif untuk usaha pencegahan.

Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui pemantauan wilayah rawan secara kontinyu. Salah satu upaya untuk memudahkan pemantauan resiko kebakaran hutan dan lahan pada suatu daerah adalah melalui penyediaan informasi tingkat bahaya kebakaran.

Informasi tingkat dan zona kebakaran hutan dan lahan dapat diwujudkan dalam bentuk peta berwarna. Setiap warna melambangkan penilaian secara kualitatif yang ditentukan berdasarkan tingkat resiko rendah, tinggi dan sangat tinggi. Tersedianya informasi tentang tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan akan memberikan informasi penting sebagai sistem peringatan dini (early warning system), melalui informasi ini maka zona yang memiliki tingkat kerawanan tinggi (sangat tinggi) harus diprioritaskan untuk diberi tindakan pencegahan.

Pemetaan tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan ini dapat dibangun menggunakan teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis) dan penginderaan Jauh (remote sensing). Teknik SIG ini mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan spasial secara cepat dan konsisten, sedangkan penginderaan jauh mampu memberikan data yang up-to-date, handal dan akurat.

Kerangka Pemikiran

(18)

Peubah yang merupakan faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan, antara lain adalah curah hujan, indeks kerapatan vegetasi (NDVI), indeks kadar air vegetasi (wetness index), tutupan lahan (landcover) dan peubah yang merupakan faktor aktifitas manusia menekankan pada perilaku masyarakat disekitar hutan yang menggunakan api untuk penyiapan lahan meliputi: jarak akses sungai, jalan menuju lokasi hutan dan jarak dari dari pemukiman penduduk tersebut dari lokasi hutan serta daerah yang di gunakan sebagai hutan tanaman industri, transmigrasi, perkebunan, HPH dan penggunaan areal lainnya.

Peubah curah hujan mempengaruhi kerawanan kebakaran disuatu wilayah karena semakin banyak jumlah curah hujan maka semakin tidak rawan dan sebaliknya semakin sedikit jumlah curah hujan disuatu wilayah maka semakin rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Peubah indeks kerapatan vegetasi (NDVI) menunjukkan kerapatan dari suatu vegetasi yang diketahui berdasarkan tingkat kehijauan vegetasi, semakin hijau menunjukkan semakin rapat suatu vegetasi. Semakin rapat vegetasi maka semakin cepat pemasokan oksigen untuk reaksi pembakaran maka pemindahan panas berlangsung cepat sehingga mempengaruhi laju penjalaran api. Oleh sebab itu maka semakin rapat vegetasi maka semakin rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Peubah indeks kadar air vegetasi (NDVMI) menunjukkan kadar air dari vegetasi. Semakin kecil kadar air vegetasi maka semakin mudah penyalaan api sehingga menjadi rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan karena dan semakin banyak kadar air vegetasi maka semakin tidak rawan.

Kerawanan kebakaran hutan dan lahan sangat di pengaruhi oleh jenis tutupan lahan di suatu wilayah. Tutupan lahan yang bervegetasi dan terdapat kontak ekologis yang besar antara manusia dan lingkungannya akan memiliki kerawanan yang tinggi terhadap kebakaran hutan dan lahan. Semakin bervegetasi suatu tutupan lahan dan semakin banyak aktifitas manusia dalam pemanfaatan hutan dan lahan maka semakin rawan terhadap kebakaran.

(19)

api dalam penyiapan lahan, maka semakin tinggi aktifitas masyarakat dalam penyiapan lahan maka semakin rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Jarak dari jaringan jalan, pemukiman penduduk mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan dan lahan karena berkaitan dengan aktifitas manusia di sekitar hutan. Semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan dan sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran.

Kombinasi secara keseluruhan peubah-peubah tersebut maka penentuan tingkat dan zona kerawanan kebakaran di suatu wilayah dapat di prediksi.

Pembuatan model kerawanan tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan sebagai usaha pencegahan agar tidak terjadi lagi kabut asap yang dapat merugikan kesehatan dan kerusakan hutan akibat kebakaran dapat teratasi.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah dan kerangka berfikir tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi tingkat pengaruh dari setiap penyebab kebakaran hutan dan lahan, (2) membangun model kerawanan kebakaran hutan dan lahan, (3) memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah studi.

Manfaat Penelitian

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan hutan menjadi rusak. Kebakaran hutan dan lahan dapat menimbulkan berbagai kerugian baik ekonomis, ekologis maupun sosial (Sartiani, 2001). Secara ekonomis, kebakaran hutan dapat menyebabkan musnahnya aset-aset (sumberdaya alam) yang bernilai tinggi seperti musnahnya kayu, matinya satwa dan terbukanya sumber-sumber hasil hutan lainnya seperti rotan, biji-bijian, buah-buahan maupun getah. Secara ekologis, kebakaran hutan membawa dampak kerusakan lingkungan seperti hilangnya fungsi hutan sebagai penghasil oksigen dan penyerap karbon, lepasnya karbon ke udara, pencemaran udara dan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Dari sudut pandang sosial, asap dari kebakaran hutan dapat mengganggu aktifitas masyarakat contohnya terganggunya transportasi udara dan laut dan darat, liburnya aktifitas sekolah dan kantor serta terganggunya kesehatan masyarakat.

(21)

Gambar 1. Segitiga api

Segitiga api menggambarkan proses hubungan reaksi berantai dari pembakaran. Ketersediaan dari tiga komponen tersebut akan menyebabkan terjadinya kebakaran. Berdasarkan dari pemahaman ini maka usaha pencegahan dapat dilakukan dengan cara membatasi ketersediaan dari komponen segitiga api yaitu komponen bahan bakar dan sumber api.

Adapun proses pembakaran yang terjadi pada kebakaran hutan merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses kimia yang terdiri dari karbondioksida, air dan energi panas matahari sehingga menghasilkan oksigen dan senyawa lainnya. Pada proses fotosintesis, pembakaran energi akan menghasilkan panas.

Perbandingan kedua proses dituliskan dalam formula umum, yaitu:

Fotosintesis:

CO2 + H2O (C6H10O6)n + O2

Pembakaran:

(C6H10O6)n + O2 + temperatur CO2 + H2O + panas.

Faktor-Faktor Pendukung Kebakaran

Para ahli yang telah meneliti faktor-faktor pendukung kebakaran antara lain Clar dan Chattan (1954), Brown dan Davis (1973), Suratmo (1985), Sahardjo (2003), namun kesemuanya mengacu kepada komponen–komponen pada segitiga

(22)

api. Adapun komponen-komponan yang mempengaruhi kebakaran adalah sebagai berikut:

Bahan Bakar

Suratmo (1985), Brown dan Davis (1973) memaparkan karakteristik bahan bakar sebagai berikut:

Ukuran Bahan Bakar. Ukuran bahan bakar dibedakan kedalam tiga macam, yaitu bahan bakar halus, bahan bakar sedang dan bahan bakar kasar. Bahan bakar halus mudah mengering tetapi mudah pula menyerap air. Apabila terbakar akan cepat meluas, namun cepat pula padamnya. Bahan bakar halus ini terdiri dari daun, serasah, rumput dan ranting. Bahan bakar sedang meliputi tumbuhan bawah, savana dan padang alang-alang. Sedangkan bahan bakar kasar memiliki kadar air yang lebih stabil, tidak cepat mengering sehingga sulit terbakar. Apabila terbakar akan memberikan penyalaan yang lebih lama. Bahan bakar kasar ini meliputi pohon, batang kayu dan pohon-pohon mati yang belum tumbang.

Susunan Bahan Bakar. Susunan bahan bakar terbagi kedalam susunan vertikal dan susunan horisontal. Susunan vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat dan berkesinambungan ke arah atas. Susunan ini memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu singkat. Sedangkan susunan horisontal merupakan bahan bakar yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan yang mempengaruhi penjalaran kebakaran.

Jumlah Bahan Bakar. Jumlah bahan bakar menunjukkan banyaknya bahan bakar yang tersedia dalam hutan. Yaitu dapat berupa luasan hamparan bahan bakar, volume bahan bakar dan berat bahan bakar. Bahan bakar dalam jumlah besar menjadikan api lebih besar dan temperatur tinggi, hal ini menyebabkan kebakaran sulit dipadamkan.

(23)

Kondisi Bahan Bakar. Kondisi bahan bakar dapat dilihat dari kadar air bahan bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, api tidak mudah menyala jika kadar airnya tinggi. Kelembaban < 30% mendukung terjadinya kebakaran.

Kerapatan Bahan Bakar. Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antar partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan partikel tinggi menjadikan tumpukan log kayu terbakar dengan baik dalam waktu lama. Kebakaran akan berhenti jika kerapatan partikelnya rendah.

Lokasi Bahan Bakar. Menurut Brown dan Davis (1973), bahan bakar dapat diklasifikasikan menurut lokasinya, yaitu: (1) Bahan bakar bawah (ground fuels), yaitu terdiri dari serasah yang berada di bawah permukaan tanah, akar pohon, bahan organik yang membusuk, gambut dan batu bara; (2) Bahan bakar permukaan (surface fuels), yaitu bahan bakar yang berada di lantai hutan, antara lain serasah, log sisa tebangan, tunggak pohon dan tumbuhan bawah lainnya; (3) Bahan bakar atas (aerial fuels), yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan tingkat bawah dan tajuk tumbuhan tingkat tinggi, seperti cabang pohon, daun dan semak serta pohon mati yang masih berdiri.

Iklim Mikro dalam Hutan

Iklim akan mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan karena temperatur udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan curah hujan serta kelembaban vegetasi (wetness) dapat mempengaruhi kondisi bahan bakar, bahan bakar yang kering akan mudah terbakar (Suratmo, 2003).

Topografi

(24)

akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar dan Chatten, 1954). Brown dan Davis (1973) juga mengatakan bahwa kemiringan berperan dalam penyebaran api.

Waktu Harian.

Syaufina (1988) menyatakan bahwa hampir setiap kasus kebakaran nasional terjadi pada musim kemarau. Berdasarkan waktu dalam selang bulanan adalah pada bulan Agustus dan September. Sedangkan berdasarkan selang waktu dalam sehari, saat yang paling peka terhadap kebakaran hutan adalah antara jam 12.00 ∼

15.00 dan antara jam 09.00 ∼ 12.00. Umumnya, kebakaran hutan terjadi pada

bulan kering dengan curah hujan < 60 mm, temperatur udara berkisar 26 ∼ 300C dengan frekuensi terbesar pada suhu 280C dan kelembaban relatif berkisar antara 60 ∼ 70%.

Ada 3 (tiga) macam bentuk kebakaran hutan berdasarkan model penyebaran dan karakteristik dari masing-masing kebakaran (Sahardjo, 2003), yaitu:

Kebakaran Tajuk (crown fire)

Api membakar tajuk dan pohon belukar. Api berawal dari serasah (kebakaran permukaan) yang kemudian merambat ke tajuk pohon. Pohon akan mati terbakar.

Kebakaran Permukaan (surface fire)

Kebakaran terjadi pada permukaan tanah dan hanya membakar serasah, semak-semak dan anakan pohon. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi hingga mencapai tajuk pohon.

Kebakaran Bawah (ground fire)

(25)

ini akan diikuti oleh kebakaran permukaan jika kelembaban bahan bakar permukaan memungkinkan.

Peran Teknologi Penginderaan Jauh

NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)

Saat ini satelit NOAA AVHRR telah dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi kejadian kebakaran hutan. Pendugaan bahaya kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan dapat dilakukan dengan memanfaatkan band-band thermal dari citra NOAA untuk mendeteksi jumlah titik panas.

Data satelit NOAA AVHRR merupakan sarana potensial untuk mendeteksi dan memantau terjadinya kebakaran hutan dan lahan karena selain memiliki sensor yang peka terhadap panas obyek, juga dapat meliput daerah yang sangat luas (2 600 x 1 500 km2), dengan frekwensi perekaman mencapai dua kali dalam sehari (Dephut, 1989).

Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics And Space Administration – USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan

cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi (NOAA 12, 16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin, 2004).

Dalam kenyataannya tidak semua hotspot diindikasikan sebagai titik api kebakaran. Istilah hotspot lebih tepat disebut sebagai titik panas (Anderson, Imanda dan Muhnandar, 1999). Meskipun secara teoritis resolusi spasial citra NOAA adalah 1 km x 1 km atau luas 1 pixel NOAA setara dengan 100 ha, yang berarti bahwa 1 titik panas (hotspot) akan mewakili luasan 100 ha. Akan tetapi mengingat yang di tangkap sensor adalah suhu rata-rata titik dan daerah sekitarnya maka meskipun luasan yang terbakar relatif kecil dari resolusi spasial namun bila

(26)

Jadi pendeteksian satu titik panas oleh NOAA tergantung pada suhu yang tinggi dari suhu sekitarnya. Contohnya pada fase bara pembakaran (suhu sekitar 400oK ∼ 500oK) luasan yang hanya 1/1 000 dari ukuran piksel atau setara dengan luasan 400 m2 dapat terdeteksi sebagai titik panas. Sedangkan pada fase api pembakaran (suhu sekitar 800 ∼ 1 200oK), kebakaran yang luasnya hanya 1/10 000 dari ukuran piksel yaitu sekitar 11 m x 11 m dapat terdeteksi sebagai satu hotspot.

Hotspot juga merupakan indikasi awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan

dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA yang memiliki teknologi AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer).

Secara sederhana satelit NOAA akan mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang

terdeteksi berkisar antara 37°C untuk siang hari dan 42°C untuk malam hari. Titik panas tersebut akan diproyeksikan menjadi suatu pixel pada sebuah peta yang juga menunjukkan koordinat yang sama. Titik panas baru dikatakan sebagai lokasi kebakaran bila dideteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari.

Jumlah titik panas bervariasi dari setiap pengukuran tergantung pada waktu pengukuran pada hari itu (aktifitas api berkurang pada malam hari dan tertinggi pada sore hari), cuaca (sensor tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur/suhu untuk mendefinisikan titik panas menjelaskan bahwa data hotspot dapat dikelola dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (Jaya, 2002).

Landsat ETM+

(27)

Tabel 1. Karakteristik band Landsat 7ETM+ Band Panjang Gelombang

(µm) Karakteristik

1 0.45 ~ 0.52 Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda vegetasi-tanah dan analisis penggunaan lahan.

2 0.52 ~ 0.60 Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan

3 0.63 ~ 0.69

Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi dan membantu dalam penentuan spesies tumbuhan

4 0.76 ~ 0.90

Berguna untuk menentukan tipe vegetasi, dan biomassa vegetasi, dan memperkuat kontras anara tanaman tanah dan tubuh air dan pembeda kelembaban tanah

5 1.55 ~ 1.75 Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air vegetasi dan kondisi kelembaban tanah.

6 10.4 ~ 12.5

Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas.

7 2.08 ~ 2.35 Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan batuan.

Sumber: Lillesand-Kiefer, 1990

Aplikasi citra satelit banyak digunakan di bidang kehutanan khususnya yang berhubungan dengan sifat-sifat vegetasi. Karakteristik pantulan dari vegetasi sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat daun, termasuk orientasi dan struktur dari kanopi daun. Proporsi dari radiasi yang dipantulkan pada bagian spektrum yang berbeda tergantung pada pigmentasi daun, ketebalan daun dan kompisisi (struktur sel) dan kandungan air pada jaringan daun (Parkinson, 1997) (Gambar 2).

(28)

Pada bagian spektrum tampak, pantulan dari sinar biru dan merah relatif rendah karena bagian tersebut diserap oleh tanaman (terutama oleh klorofil) untuk fotosintesis dan vegetasi lebih banyak memantulkan sinar hijau (Gambar 2). Pantulan paling tinggi pada inframerah dekat tetapi jumlahnya tergantung pada perkembangan daun dan struktur sel daun. Pada infra merah tengah, pantulan terutama ditentukan oleh air bebas pada jaringan daun, semakin banyak air bebas maka akan memberikan lebih sedikit pantulan. Daun yang mengering menghasilkan pantulan lebih tinggi pada inframerah tengah, sedangkan pantulan inframerah dekat menurun.

Nilai pantulan permukaan dari tanah kosong (bare soil) tergantung pada banyak faktor, sehingga sulit memberikan satu kurva umum pantulan tanah. Namun, faktor utama yang mempengaruhi pantulan tanah adalah warna tanah, kadar kelembaban, adanya kandungan karbonat dan oksida besi (Gambar 3).

Keterangan: (a) di dominasi bahan organik, (b) sedikit berubah,

(c) berubah kadar besinya, (d) dipengaruhi bahan organik, (e) didominasi besi.

Gambar 3 Spektra pantulan dari sampel permukaan dari tanah mineral

(29)

diberikan oleh air turbid (berlumpur) dan air yang mengandung tanaman dengan puncak pantulan klorofil pada panjang gelombang hijau. (Gambar 4).

Keterangan: (a) air lautan (b) air turbid

(c) air dengan klorofil Sumber: ITTO, 1999

Gambar 4. Reflektansi permukaan air pada berbagai kondisi

Prinsip yang harus diperhatikan dalam interpretasi citra secara manual (ITTO, 1999) adalah spektral reflektan vegetasi. Jenis dan jumlah energi radiasi yang dipantulkan atau diteruskan oleh vegetasi tergantung pada 4 faktor utama yaitu: (1) Kualitas dan kuantitas radiasi yang dipengaruhi waktu dan kandungan (polusi) atmosfir, (2) Keadaan vegetasi yang dipengaruhi perbedaan jenis pohon, tempat tumbuh, musim, hama dan penyakit tanaman, (3) Fisiologi tanaman, (4) Posisi daun-daun pada tajuknya.

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Teknik yang digunakan untuk menganalisis perkembangan vegetasi didasarkan pada formula indeks vegetasi (vegetation index) yang merasiokan spektrum NIR (near infra red) dengan R (red) dengan pembagian yang sederhana hingga melibatkan rumus yang kompleks (Kristijono, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa teknik yang paling populer dengan formula yang relatif sederhana adalah NDVI. Formula aritmatis NDVI adalah:

(30)

Angka yang didapat berkisar antara -1 (non vegetasi) hingga +1 (vegetasi dengan tingkat kehijauan tertinggi). Karena spektrum NIR merupakan wilayah berkarakteristik high reflectance dan spectrum Red adalah wilayah maksimum absorbsi (minimum reflectance) dedaunan, maka nilai NVDI vegetasi akan selalu positif dan berbanding langsung dengan biomasa daun per satuan luas. Oleh Karena itu, NDVI lazim digunakan sebagai indikator yang akurat bagi tingkat penutupan vegetasi (Soewarso 2003).

Areal bervegetasi menghasilkan nilai yang tinggi karena pantulan near-infrared yang tinggi dan pantulan visible yang rendah. Sebaliknya, air, awan dan salju memiliki pantulan visible yang lebih lebar dibandingkan dengan pantulan near-infrared. Sehingga, feature tersebut menghasilkan nilai indeks negatif. Areal batuan dan bare soil (lahan kosong) memiliki pantulan yang mirip pada kedua band sehingga menghasilkan indeks vegetasi yang mendekati nol.

Biasanya nilai indeks vegetasi kurang dari -0.5 sampai -0.3 merupakan non vegetasi (air), nilai indeks lebih dari -0.3 hingga + 0.1 merupakan tanah gersang dan nilai > 0.2 hingga + 1 menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi yang lebih besar, yang terbagi atas kelas kerapatan vegetasi rendah hingga tinggi. Nilai indeks di luar jangkauan ini lebih tidak sensitif terhadap perubahan faktor-faktor dalam lingkungan (Uni Eropa,1999)

Vegetasi hijau yang sehat merefleksikan sebagian besar near infrared dan nilai sinar merah (red) cenderung menurun seiring dengan bertambahnya vegetasi (Parkinson, 1997). Semakin tinggi nilai NDVI berarti vegetasi semakin banyak atau rapat.

Normalized Difference Vegetation Moisture Index (NDVMI). Banyak istilah yang dipakai untuk mendefinisikan indeks kadar air vegetasi. Namun semuanya menunjukkan bahwa formulasi yang dibentuk oleh proses pengurangan dan pertambahan serta pembagian saluran (band) yang memiliki panjang gelombang yang berbeda akan menghasilkan warna yang berbeda pula. Adapun formulasi untuk indeks kadar air vegetasi adalah sebagai berikut:

MIR NIR

MIR NIR NDVMI NDMSI

(31)

Nilai indeks kadar air vegetasi ini berkisar -1 hingga 1 dengan asumsi semakin tinggi nilainya atau semakin mengarah pada nilai plus maka semakin tinggi kadar air vegetasi (Jaya, 2005).

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan terorganisir yang terdiri dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang didesain untuk memperoleh, menyimpan memperbaiki, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI, 1990). Lebih lanjut Aronoff (1989) juga mengatakan SIG sebagai sebuah sistem komputerisasi yang memfasilitasi fase entri data, analisis data dan presentasi data yang terutama berkenaan dengan data yang memiliki georeferensi. Burrough (1986) mengatakan bahwa SIG mempunyai tiga komponen penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan konteks organisasi yang baik. Perangkat lunak untuk sistem informasi geografis terdiri dari lima modul teknis dasar yang disebut subsistem,yaitu: (1) input dan verifikasi data, (2) penyimpanan data dan pengelolaan basis data, (3) keluaran data dan presentasi, (4) transformasi data, (5) interaksi dengan pengguna.

Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait, seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility networks, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough, 1986).

(32)

kadar kelembaban), (c) pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), (d) aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain, (e) tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan, (f) jarak dari kota atau pemukiman, (g) tanah dan bahan bawah tanah, (h) sejarah kebakaran atau catatan kebakaran, (i) ketersediaan air.

Jaya (2002) menyatakan bahwa analisis spasial yang juga disebut dengan pemodelan adalah suatu proses untuk mendapatkan atau mengekstraksi dan membentuk informasi baru dari data (feature) geografis. Analisis spasial mencakup proses pemodelan, pengujian model dan interpretasi hasil model. Analisis spasial sangat bermanfaat untuk prediksi suatu kejadian melalui proses simulasi data geografis.

Penentuan Bobot

Dalam SIG, penentuan bobot dari masing-masing elemen atau peubah yang pada umumnya menggunakan 5 (lima) metoda dasar untuk menganalisis tingkat bahaya kebakaran hutan, yaitu: metode proporsi atau skala (rating method), metode berdasarkan tingkat kepentingan (ranking method), metode

analisis pemetaan komposite (composite mapping analysis), analisis komponen utama, proses hirarki analisis (analytic hierarchy process /AHP) (Jaya, 2006).

Metode Proporsi atau Skala (rating method). Metode ini langsung memberikan bobot secara eksplisit pada setiap elemen keputusan dengan mengalokasikan sejumlah nilai yang jika dijumlahkan akan menjadi 100 atau 1 (penilaian dilakukan secara kualitatif).

0 < wij < 100, dan wij = 100 untuk semua i,

dimana wij adalah bobot dari indikator ke-i dan kriteria ke-j.

Metode ini menilai setiap peubah berdasarkan tingkat pengaruhnya, dan dilakukan secara coba-coba (trial and error). Bobot yang dipilih adalah bobot yang menghasilkan keakuratan penilaian yang tinggi.

(33)

(cardinal rank). Besar-kecilnya bobot yang diberikan ditentukan melalui penilaian para ahli (expert panel). Bobot relatif dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

= m i n i n k rjki rjki wji

dimana wji adalah bobot dari indikator ke-i dan kriteria ke-j, rjki adalah ranking dari indikator ke-i, kriteria ke-j untuk akhli ke-k, m dan n secara berturut-turut adalah jumlah indikator dan ahli.

Suatu peubah akan diberikan nilai 1 untuk menyatakan bahwa peubah tersebut kurang penting (weakly important), 3 untuk menyatakan cukup penting (moderately important), 5 menyatakan penting (important), 7 sangat penting (very important) dan 9 dan 10 untuk menyatakan sangat penting sekali (extremely important). Nilai 2, 4, 6 dan 8 merupakan nilai antara dari nilai-nilai tersebut

(Prabu dalam Pukkala, 2002).

Analisis Pemetaan Gabungan (Composite Mapping Analysis /CMA). Metode CMA ini merupakan metode yang umum digunakan untuk aplikasi di bidang lingkungan, khususnya analisis kesesuaian lahan atau dalam menilai sensitifitas lingkungan. Lowry (1995) mengunakan metode ini untuk menganalisis kepekaan terhadap kontaminan berbahaya, sedangkan Boonyanuphap (2001) menggunakan CMA untuk membuat pemodelan spasial kerawanan kebakaran hutan. CMA melakukan karakterisasi lokasi berdasarkan koinsidensi spasial dari masing-masing peubah yang relevan yang mempengaruhi aktifitas yang ada atau yang diusulkan. Oleh karena CMA berdasarkan pada koinsidensi spasial maka CMA memanfaatkan overlay poligon atau memanfaatkan kemampuan manipulasi sel (raster) dari SIG. Metode ini dilakukan dengan memberikan bobot terhadap peubah yang telah diskala, sehingga skor total merupakan kombinasi yang linier.

C = i

n

i ix w =1

atau C = w1x1 + w2x2 + ……+ wnxn

(34)

dimana C adalah model atau skor komposit (composite score) untuk suatu unit spasial tertentu, dan N adalah jumlah peubah (variables).

Penentuan bobot dapat dilakukan dengan 2 tingkat, untuk menentukan bobot tingkat makro dan tingkat mikro. Penentuan tingkat bobot ini tergantung kebutuhan sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang akan dipecahkan. Dalam penentuan bobot ini, diperlukan pengetahuan yang lengkap. CMA yang berbasis SIG biasanya menggabungkan faktor-faktor yang terkait dengan bencana dan yang terkait dengan manusia.

Analisis Komponen Utama. Metode ini adalah metode matematik untuk mengetahui hubungan antara banyak variable atau peubah. Dengan analisis komponen utama masing-masing peubah ditransformasikan kedalam kombinasi linier dari komponen orthogonal dengan penurunan variasi. Transformasi linier mengasumsikan bahwa komponen komponen tersebut akan menjelaskan semua variasi dari setiap peubah. Dengan demikian setiap komponen membawa informasi berbeda yang tidak berkorelasi dengan komponen lainnya (ITC, 2004).

Metode Perbandingan Berpasangan (Pairwise comparison). Metode perbandingan berpasangan ini memberikan informasi yang paling lengkap dan paling banyak digunakan karena dalam prosesnya melibatkan informasi yang relatif banyak. Untuk menentukan bobot, setiap peubah dibandingkan dengan indikator yang lainnya. Salah satu teknik menentukan bobotnya adalah menggunakan metode yang dikembangkan oleh Prof. Saaty yang dikenal dengan metode AHP (Analytic Hierarchy Process). AHP adalah suatu metode dimana gagasan (idea), perasaan (feeling) dan emosi (emotion) dikuantitatifkan melalui penilaian subyektif sehingga menghasilkan skala numerik untuk memprioritaskan alternatif-alternatif keputusan (Taha dalam Jaya, 2006).

Metode ini adalah metode matematika untuk melakukan analisis permasalahan pengambilan keputusan yang kompleks dengan kriteria ganda (multiple criteria).

(35)

dekomposisi permasalahan menjadi hirarki suatu elemen yang saling terkait (interrelated), (2) Membuat data input yang terdiri atas hasil evaluasi berpasangan dari suatu elemen keputusan, (3) Melakukan sintesa terhadap hasil evaluasi dan melakukan estimasi bobot relatif, (4) Menentukan agregasi dari bobot relatif dari suatu keputusan untuk mendapatkan suatu set proporsi dari suatu alternatif keputusan.

Disamping menentukan bobot, metode AHP juga memberikan ukuran konsistensi yang disebut dengan indeks konsitensi (consistency index). Indeks ini memberikan informasi penting terhadap konsistensi dari suatu perbandingan yang berpasangan. Ukuran konsistensi tidak semata-mata untuk menyatakan elemen mana yang lebih penting dari suatu pasangan, tetapi seberapa penting peranan dari setiap elemen. Konsistensi tersebut juga mencerminkan baik kelogisan ordinal maupun kardinal.

Analisis Sensitivitas

(36)

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak dan Luas

Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU ∼ 0o35’ LS dan 109o45’ ∼ 111o11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640 200 ha. Sub DAS ini berbatasan dengan Sub DAS Kapuas Hilir, DAS Sambas, DAS Pawan, Sub DAS Pawan dan Sub DAS Melawi serta Sub DAS Ketungau (Gambar 5).

Komponen fisik

Iklim

Klasifikasi iklim (Scmidth dan Ferguson) Kabupaten Sintang dan Kabupaten Ketapang, pada Sub Das Kapuas Tengah termasuk tipe A dan B1, dengan bulan basah sembilan bulan berturut-turut dan tiga bulan kering. Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan bulanan kurang dari 100 mm. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 46 mm dengan 4 hari hujan dan tertinggi pada bulan Januari yaitu 598 mm dengan 24 hari hujan (Lampiran 2 dan 3),

Berdasarkan hasil interpolasi dari data curah hujan bulan Agustus 2002 pada tiga stasiun BMG Rahadi Usman Kab. Ketapang, Susilo Kab. Sintang dan BMG Kab. Sanggau menunjukkan bahwa Curah hujan pada wilayah penelitian berkisar antara 46 ~ 153 mm (Tabel 2). Wilayah bagian Selatan memiliki curah hujan yang relatif rendah dan terus meningkat ke arah Barat Laut (Gambar 5). Hal ini dikarenakan oleh wilayah tersebut didominasi oleh hutan primer sedangkan pada daerah bagian Selatan didominasi oleh pertanian lahan kering bervegetasi semak.

(37)
[image:37.792.113.700.115.443.2]
(38)

Kelembaban udara terendah pada bulan Agustus (81%) dan tertinggi pada bulan Nopember (88%). Penyinaran matahari tertinggi juga terjadi pada bulan Agustus (83%) dan terendah pada bulan Pebruari (50%).

Tabel 2. Perkiraan Luas dan Jumlah Curah Hujan bulan Agustus 2002 di Sub DAS Kapuas Tengah

Jumlah Curah Hujan (mm) Perkiraan Luas

(ha) %

46.0 ∼ 57.9 174 346.74 10.73

57.9 ∼ 69.8 453 166.69 27.88

69.8 ∼ 81.7 363 804.65 22.38

81.7 ∼ 93.6 185 570.18 11.42

93.6 ∼ 105.4 113 077.55 6.96

105.4 ∼ 117.2 74 702.72 4.60

117.2 ∼ 129.2 58 873.82 3.62

129.2 ∼ 141.1 82 893.50 5.10

141.1 ∼ 153.0 118 911.22 7.32

Jumlah 1 625 347.05 100.00

Topografi dan Geologi

Kelerengan pada areal penelitian tergolong datar (0 ∼ 8%). Adapun jenis tanah yang dijumpai di Kalimantan Barat adalah podzolik merah kuning (PMK), OGH (orgosol, gley, humus) dan aluvial (BPS Kalbar, 2002).

Daerah Rawan Kebakaran

Daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2 001 di propinsi Kalimantan Barat antara lain kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak (Bapedal, 2002).

(39)
[image:39.792.105.705.108.452.2]
(40)

Aksesibilitas

Lokasi penelitian dapat dicapai melalui beberapa alternatif, yaitu: (1) Jalur sungai, menggunakan kapal cepat dari pelabuhan Pontianak menyusuri sungai Kapuas sekitar 6 jam sampai ke lokasi, (2) Jalur udara, penerbangan Pontianak – Ketapang dapat ditempuh selama 30 menit, (3) Jalur darat, menggunakan mobil dan menyeberang menggunakan ferry, dapat ditempuh selama 12 jam perjalanan.

Tutupan Lahan (landcover)

[image:40.612.135.505.411.625.2]

Tutupan lahan yang terdapat pada sub DAS Kapuas Tengah sangat beragam adalah sebagai berikut: Areal perkebunan, Bandar udara, Hutan lahan kering primer, Hutan lahan kering sekunder, Hutan Rawa sekunder, Hutan tanaman, Lahan terbuka, Pemukiman, Pertanian lahan kering, Pertanian lahan kering campur semak, Semak belukar, Belukar Rawa. Adapun luas kawasan tutupan lahan di sajikan pada Tabel 3 sedangkan peta tutupan lahan disajikan pada Gambar 6.

Tabel 3. Luas Areal Tutupan Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah

Tutupan Lahan Luas (ha) %

Areal Perkebunan 115 987.02 7.14

Bandar Udara 7.85 0.00

Hutan Lahan Kering Primer 43 077.51 2.65 Hutan Lahan Kering Sekunder 126 957.00 7.81

Hutan Rawa Sekunder 21 313.87 1.31

Hutan Tanaman 12 884.02 0.79

Lahan Terbuka 2 565.55 0.16

Pemukiman 1 525.84 0.09

Pertanian Lahan Kering 6 678.61 0.41

Pertanian Lahan Kering Campur Semak 1 220 385.09 75.08

Semak Belukar 65 384.83 4.02

Semak Belukar Rawa 4 596.56 0.28

Tertutup Awan 3 073.13 0.19

Tubuh Air 910.16 0.06

Jumlah 1 625 347.02 100.00

Daerah Tipe Penggunaan Lahan

(41)

lahan adalah suatu area yang dikelola untuk menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya atau yang dipertahankan sebagai vegetasi berkayu yang dimanfaatkan secara tidak langsung sebagai areal lindung atau daerah rekreasi (UNEP, 1999).

Dalam penelitian ini, terdapat lima tipe penggunaan lahan yaitu: wilayah Hutan Tanaman Industri (HTI), wilayah Hak Penguasaan Hutan (HPH), wilayah transmigrasi dan wilayah perkebunan serta wilayah penggunaan lainnya (Tabel 4) dan Gambar 8.

Tabel 4. Luas Areal Daerah Penggunaan Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah

Penggunaan Lahan Luas (ha) %

Areal Penggunaan Lain 1 069 128.72 65.78

HPH 27 789.77 1.71

HTI 258 458.16 15.90

Kebun 263 475.41 16.21

Transmigrasi 6 494.96 0.40

Jumlah 1 625 347.02 100.00

Berdasarkan Tabel 4, luas areal penggunaan lahan lainnya memiliki luas lahan yang terluas yaitu sebesar 1 069 128.72 ha atau 65.78%, sedangkan areal penggunaan transmigrasi memiliki luas lahan yang terkecil yaitu 6 494.96 ha atau 0.40%.

Administrasi Pemerintahan

Menurut administrasi pemerintahan, Sub DAS Kapuas Tengah meliputi tujuh wilayah kabupaten yaitu Bengkayang, Landak, Melawi, Ketapang, Sanggau, Sekadau, dan Sintang (Tabel 5). dan 36 kecamatan (Tabel 6) dengan total luas mencapai 1.6 juta hektar .

Tabel 5. Nama dan Luas Kabupaten di Sub DAS Kapuas Tengah

No Kabupaten Luas (ha) %

1 Bengkayang 12 739.98 0.78

2 Ketapang 6 824.18 0.42

3 Landak 7 506.92 0.46

4 Melawi 5 584.06 0.34

5 Sanggau 637 542.94 39.23

6 Sekadau 565 227.35 34.78

7 Sintang 389 921.38 23.99

(42)
[image:42.792.110.701.109.452.2]
(43)
[image:43.792.108.705.109.457.2]
(44)

Berdasarkan Tabel 5, Kabupaten Sanggau memiliki luas wilayah sebesar 637 542.94 ha atau 39.23%, sedangkan luas wilayah kabupaten terkecil adalah Kabupaten Ketapang yaitu 6 824.18 ha atau 0.42%.

Tabel 6. Nama dan Luas Kecamatan di Sub DAS Kapuas Tengah

No Kecamatan pada DAS

Kapuas Tengah Luas (ha) %

1 Air Besar 7 199.31 0.44

2 Beduwai 41 503.70 2.55

3 Belimbing 5 584.06 0.34

4 Belitang 49 003.71 3.01

5 Belitang Hilir 77 139.41 4.75

6 Belitang Hulu 93 970.72 5.78

7 Binjai Hulu 31 502.45 1.94

8 Bonti 81 827.60 5.03

9 Entikong 48 684.51 3.00

10 Jagoi Babang 12 739.98 0.78

11 Jangkang 149 315.60 9.19

12 Kelam Permai 5 508.12 0.34

13 Kembayan 57 238.70 3.52

14 Ketungau Hilir 67 433.07 4.15

15 Ketungau Hulu 1 173.90 0.07

16 Ketungau Tengah 23 749.85 1.46

17 Kuala Behe 307.61 0.02

18 Meliau 3 248.63 0.20

19 Mukok 54 628.61 3.36

20 Nanga Mahap 68 828.92 4.23

21 Nanga Taman 97 792.16 6.02

22 Noyan 34 493.93 2.12

23 Parindu 9 251.87 0.57

24 Sandai 4 183.64 0.26

25 Sanggau Kapuas 113 203.82 6.96

26 Sekadau Hilir 90 010.61 5.54

27 Sekadau Hulu 88 481.84 5.44

28 Sekayam 43 178.00 2.66

29 Sepauk 103 754.89 6.38

30 Simpang Hulu 31.50 0.00

31 Sintang 13 252.61 0.82

32 Sungai Laur 2 609.04 0.16

33 Sungai Tebelian 28 894.64 1.78

34 Tayan Hilir 161.71 0.01

35 Tayan Hulu 806.27 0.05

36 Tempunak 114 651.85 7.05

(45)

Kependudukan

Pada tahun 2 002, penduduk Propinsi Kalimantan Barat sekitar 3.9 juta jiwa dan sekitar 306 850 jiwa berada pada sub DAS Kapuas Tengah, dengan kepadatan penduduk tergolong jarang yaitu satu jiwa per 0.8 ha (Tabel 7). Kondisi ini tidak menguntungkan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah khususnya yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam dengan segala potensi dan keragaman cukup besar.

Tabel 7. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di sub DAS Kapuas Tengah

No Kabupaten Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/Km2)

1 Bengkayang 1 411 11.1

2 Ketapang 1 914 28.0

3 Landak 1 325 17.7

4 Melawi 286 5.1

5 Sanggau 89 475 29.7

6 Sekadau 16 479 2.9

7 Sintang 95 960 24.6

Total 306 850 119.1

Pendidikan

Salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia adalah melalui sektor pendidikan. Namun pendidikan di Kalimantan Barat cukup memprihatinkan terutama di tingkat pendidikan dasar. Meskipun jumlah prasarana sekolah dasar bertambah (2002/2003) tetapi tidak diikuti dengan pertambahan jumlah murid malah mengalami penurunan (BPS Kalbar, 2002).

Teknik Pembukaan Lahan

(46)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian di Sub DAS Kapuas Tengah di Propinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis (GIS) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data dimulai dari September sampai Desember 2 005, yang kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dari bulan Desember 2 005 sampai Maret 2 006.

Data dan Alat Penelitian

Data Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: (1) Peta digital yang terdiri atas peta tutupan lahan, sungai, jalan, pemukiman, batas DAS, batas Administrasi, sebaran HTI dan HPH, transmigrasi, kebun. Data ini diperoleh dari BAPLAN-Dephut dan Dishut Kalbar; (2) Data koordinat titik panas (hotspot) Kalimantan Barat hasil pantauan satelit NOAA – AVHRR tahun 2 002, data ini diperoleh dari Departemen Kehutanan; (3) Citra Satelit Landsat 7 ETM+, cakupan wilayah Sub DAS Kapuas Tengah, Kalimantan Barat, terdiri atas path: 120 – row: 60, rekaman tanggal 5 Agustus tahun 2 002, dan path: 121 – row: 60, rekaman tanggal 20 Pebruari 2 002; path: 121 – row: 59, rekaman tanggal 18 Mei 2 000, diperoleh dari BAPLAN-Dephut; (4) Data iklim yang meliputi suhu (temperatur), curah hujan bulanan, kelembaban relatif yang diperoleh dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika Kalimantan Barat tahun 2 002; (5) Data-data penunjang lainnya seperti Data-data letak goegrafis dan luas wilayah studi, Data-data penduduk dan sosial masyarakat dari BPS dan Bappeda Kalimantan Barat.

AlatPenelitian

(47)

3.2 dan ERDAS versi 8.7. Pengambilan dokumentasi di lapangan, menggunakan kamera digital.

Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini terdiri atas dua tahapan pokok, yaitu: persiapan dan analisis data.

Persiapan

Tahap persiapan ini meliputi: pengumpulan data digital, wawancara kepada ahli kebakaran hutan dan lahan, pengolahan citra Landsat 7 ETM+, pengolahan data titik panas (hotspot) dan penentuan peubah yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Pengumpulan Data Digital. Data digital pada penelitian ini mencakup semua data spasial, baik vektor maupun raster.

Wawancara. Wawancara kepada ahli kebakaran hutan dan lahan diperlukan untuk analisis secara kualitatif (expert judgement).

Pengolahan citra Landsat 7 ETM+. Agar data citra dapat dioverlaykan (digabung/dimosaik) dengan data vektor lainnya, maka perlu dilakukan:

Rektifikasi. Rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Transformasi geometrik membantu kita mendapatkan citra dengan sistem koordinat seperti yang kita inginkan. Pada penelitin ini, citra landsat TM dikoreksi menggunakan acuan peta rupa bumi setara skala 1 : 50 000. pada proses ini digunakan transformasi affine dengan RMSE < 0.5 pixel.

(48)

Mosaik. Agar citra areal penelitian menjadi satu kesatuan yang utuh, maka citra yang telah dikoreksi (rectified) digabungkan (disambung). Proses ini sering disebut dengan mozaicking.

Normalised Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI digunakan sebagai pendekatan empiris untuk menilai jumlah kegiatan fotosintesa pada vegetasi alam maupun vegetasi yang ditanam. Jenis vegetasi dapat diketahui berdasarkan kehijauannya dan nilai NDVI dapat menunjukkan kerapatan dari suatu vegetasi sehingga jumlah bahan bakar yang tersedia pada suatu lokasi kebakaran dapat diprediksi. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus NDVI maka dihasilkan nilai indeks vegetasi (Tabel 8). Peta NDVI (Gambar 9).

Tabel 8. Kisaran Nilai NDVI berdasarkan Kerapatan Vegetasi

No NDVI Kerapatan Vegetasi

1 -0.500 ∼ -0.272 air

2 -0.272 ∼ -0.043 non vegetasi

3 -0.043 ∼ 0.183 vegetasi kerapatan rendah 4 0.185 ∼ 0.413 vegetasi kerapatan sedang 5 0.413 ∼ 0.641 vegetasi kerapatan tinggi

Normalised Difference Vegetation Moisture Index (NDVMI). Kadar air vegetasi digunakan sebagai pendekatan empiris untuk melihat indeks kelembaban vegetasi. Kadar air vegetasi merupakan faktor yang berhubungan dengan mudah tidaknya suatu vegetasi (bahan bakar) terbakar karena kadar air vegetasi (bahan bakar) merupakan faktor yang mempengaruhi laju pelepasan energi sebagai peluang terjadinya penyalaan. Nilai kadar air atau wetness disajikan pada Tabel 9 dan pola sebarannya disajikan dalam Gambar 10.

Tabel 9. Kisaran Nilai NDVMI berdasarkan Kelas Kadar Air Vegetasi

No NDVMI Kelas Kadar Air Vegetasi

1 -0.398 ∼ -0.195 Sangat Rendah

2 -0.195 ∼ 0.007 Rendah

3 0.007 ∼ 0.209 Sedang

4 0.209 ∼ 0.411 Tinggi

(49)
[image:49.792.112.699.115.433.2]
(50)
[image:50.792.114.697.108.433.2]
(51)

Pengolahan Data Titik Panas (hotspot). Data titik panas diperoleh dari hasil rekaman satelit NOAA AVHRR (JICA) diperoleh dari Departemen Kehutanan dibaca dengan perangkat lunak ArcView. Selanjutnya dilakukan transformasi koordinat, dari koordinat geografis menjadi koordinat UTM dengan datum WGS84 dan zone 49S. Dengan bantuan software Arc View maka peta sebaran hotspot pada tiap komponen fisik wilayah penelitian dapat diketahui, dan

selanjutnya dapat dibuat peta kepadatan hotspot. Peta kepadatan hotspot ini selanjutnya akan digunakan sebagai referensi dalam verifikasi model-model spasial yang dikembangkan. Peta sebaran hotspot di sub DAS Kapuas Tengah disajikan dalam Gambar 11.

Penentuan Peubah Pembangun Model Kerawanan Kebakaran

Untuk membuat model kerawanan kebakaran hutan dan lahan perlu ditentukan peubah yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan di sub DAS Kapuas Tengah baik dari faktor biofisik maupun faktor aktifitas manusia yang berpotensi menimbulkan kebakaran hutan dan lahan pada wilayah penelitian. Penentuan peubah pembangun model ini penting dilakukan untuk pembuatan model kerawanan yang baik. Model yang baik adalah model yang dibangun dengan peubah yang sedikit dan bebas multikolinieritas, mudah diukur dan memiliki nilai akurasi yang tinggi (> 80%). Agar tidak terjadi multikolinieritas maka dilakukan uji kolininieritas. Uji kolinieritas ini berguna untuk mengetahui ada atau tidaknya multikolinieritas (sifat saling mempengaruhi antar peubah atau variabel). Jika salah satu peubah memiliki korelasi yang tinggi dari peubah lainnya, dapat dikatakan terjadi multikolinieritas antar kedua peubah tersebut. Nilai korelasi antar peubah > 0.6 maka dapat dikatakan terjadi multikolinieritas. Adapun cara untuk menghilangkan adanya multikolinieritas antar peubah adalah dengan menghilangkan salah satu peubahnya (Arifin, 2005). Pengujian ini dilakukan terhadap atribut data spasial dengan menggunakan program statistik dalam perangkat lunak Arc View Gis 3.2.

(52)
[image:52.792.115.695.107.449.2]
(53)

Peubah yang dipilih untuk mewakili faktor aktifitas manusia adalah jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari pemukiman dan daerah penggunaan lahan. Sedangkan curah hujan, kelembaban, suhu, penutupan lahan (landcover), NDVI, NVMI (kadar air vegetasi) adalah faktor yang mencerminkan kondisi fisik wilayah.

Analisis Data Spasial

Kajian yang dilakukan dalam analisis data spasial meliputi proses data spasial, overlay, manipulasi, pengkelasan, skoring, pembobotan dan pembuatan model sehingga menghasilkan peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Overlay dilakukan pada semua data spasial peubah pembangun model (Jaya, 2002).

Pada penelitian ini menggunakan skoring dan pembobotan setiap peubah untuk mengidentifikasi derajat pengaruhnya terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan, yang dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara kualitatif (metode ranking) dan kuantitatif (metode analisis pemetaan komposit /CMA).

Pemberian Skor dan Bobot Menggunakan Metode Ranking

Skoring. Pemberian skor pada masing-masing sub faktor/peubah yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan dilakukan untuk mengkuantifikasikan data tekstual kedalam data numerik. Skor dilakukan dengan pertimbangan dari formulasi logis urutan tingkat pengaruh setiap faktor. Semakin tinggi pengaruh suatu peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan maka semakin besar skor yang diberikan.

(54)

Pemberian Skor dan Bobot Menggunakan Metode CMA

Penyekoran (skoring). Penyekoran berdasarkan metode CMA diperoleh dengan mengetahui informasi dari luasan setiap sub faktor, jumlah hotspot yang ada (observed) pada setiap sub faktor serta jumlah hotspot yang diharapkan atau yang seharusnya ada (expected). Dalam penelitian ini, hubungan sub-faktor dalam setiap faktor diklasifikasikan berdasarkan persentase terjadinya hotspot dalam setiap sub-faktor. Semua skor diberi skala nilai antara 0 ~ 100. Adapun perhitungan skor relatif untuk setiap subfaktor pada setiap faktor menggunakan persamaan sebagai berikut:

Nilai kerawanan sub-faktor (xi dan zi),

= i i i i i i e o 100 x e o z dan

x ... (4.1)

=

100 F x T

ei ………... (4.2)

dimana:

xi adalah skor kelas (sub-faktor) bio-fisik

zi adalah skor nilai kerawanan sub-faktor aktifitas manusia

oi adalah jumlah hotspot yang terdapat pada setiap sub-faktor (observed

hotspot)

ei adalah jumlah hot spot yang diharapkan ada dalam setiap sub-faktor

T adalah jumlah total titik panas (hotspot)

F adalah persentase daerah dalam setiap sub-faktor

(55)

kebakaran hutan dan lahan. Proses pembobotan tingkat makro diperoleh dari rata-rata rasio jumlah titik panas (hotspot) hasil observasi dengan jumlah titik panas (hotspot) yang diharapkan ada (expected).

Nilai bobot mikro faktor bio-fisik dan aktifitas manusia dihitung berdasarkan persamaan berikut:

i = M M w i

i ………... (4.3)

= i i i N N

y ………... (4.4)

dimana:

wi adalah bobot setiap faktor bio-fisik

yi adalah bobot setiap faktor aktifitas manusia

Mi adalah rerata persentase kepadatan hotspot per luasan untuk setiap faktor bio-fisik;

1

M adalah total rerata persentase kepadatan hotspot per luasan untuk semua faktor bio-fisik;

Ni adalah persentase hotspot per luasan untuk setiap faktor aktifitas

manusia; i

N adalah total persentase titik panas (hotspot) per luasan untuk semua faktor aktifitas manusia.

Penentuan nilai bobot makro dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: + = Eh Oh En On Eh Oh M + = Eh Oh En On En On

L ………... (4.5)

dimana :

M adalah bobot makro aspek pengaruh manusia; L adalah bobot makro aspek lingkungan fisik;

Oh adalah titik panas aktual (observed hotspot) yang diamati pada aspek pengaruh manusia;

Eh adalah titik panas yang diharapkan (expected hotspot) pada aspek lingkungan;

(56)

En adalah titik panas yang diharapkan (expected hotspot) pada aspek lingkungan.

Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Pembuatan model yang dapat menentukan tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara kualitatif (expert judgement) dengan metode ranking dan pendekatan kuantitatif (empiris) dengan metode analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA).

Pembuatan Persamaan Model dengan Metode Ranking . Berdasarkan pengkelasan, penyekoran dan pembobotan maka dibuatlah suatu formula matematik yang melibatkan semua krieria indikator atau peubah. Formula matematik untuk metode rangking tersebut adalah sebagai berikut:

V = w1x1 ... (4.6)

dimana :

V adalah nilai kerawanan kebakaran w1 adalah Bobot masing-masing peubah

x1 adalah Skor masing-masing peubah

Pembuatan Persamaan Model dengan Metode Analisis Pemetaan Komposit (CMA). Model dibangun berdas

Gambar

Gambar 1.  Segitiga api
Gambar 3  Spektra pantulan dari sampel permukaan dari tanah mineral
Gambar 4.  Reflektansi permukaan air pada berbagai kondisi
Gambar 5.  Peta Lokasi Penelitian (Sub DAS Kapuas Tengah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sipda Atau Sistem Informasi pelayanan desa adalah sistem yang bertujuan untuk mempermudah atau membantu aparat-aparat desa dalam konteks pelayanan Administrasi kependudukan

Rehab Panggung Auditorium Gelanggang Remaja Jakarta Barat Rehab Atap dan Plafon Gedung Induk Unit Pengelola. Gelanggang Remaja

Apa yang akan Bapak/Ibu lakukan pada gigi jikad. terjadi gigi avulsi

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian ini dilakukan demi mendapatkan rincian proses standar yang terjadi di sekolah menengah atas yang selanjutnya

Sampel bahan pakan diperoleh dari pakan yang diberikan pada ternak, kemudian dianalisis kandungan mineral seng pakan tersebut.. Sampel tanah diambil dari daerah

Sesudah penerapan fasilitas kerja yang ergonomis, terjadi perbaikan sikap kerja pada kelompok perlakuan dan terdapat pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal

Dalam inovasi pendidikan terdapat difusi inovasi pendidikan yaitu, penyebarluasan dari gagasan inovasi pendidikan tersebut melalui suatu proses komunikasi yang dilakukan

Dalam arti luas, partai sama dengan masyarakat madani merupakan penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang tidak terbatas pada organisasi politik..