SOLIDARITAS MIGRAN DESA “KAKI LIMA MODERN
STASIUN BOGOR”
SEPTIANA NURHANIFAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
SEPTIANA NURHANIFAH. Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor”. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING.
Solidaritas migran desa adalah rasa persatuan di kalangan anggota perkumpulan pedagang kaki lima. Metode sensus digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui karakteristik individu migran desa yang menjadi pedagang kaki lima di Stasiun Bogor, menganalisis solidaritas pedagang dari desa, dan menganalisis hubungan antara keduanya. Hasil penelitian menemukan bahwa hubungan hanya terjadi antara etnis dan kerjasama, umur dan formalitas, jenis kelamin dan solidaritas, status perkawinan dan formalitas, serta status perkawinan dan solidaritas. Selain mereka semua, tidak terdapat hubungan. Solidaritas sosial yang terbentuk di kalangan pedagang Kaki Lima Modern Stasiun Bogor adalah solidaritas organik.
Kata kunci : Solidaritas, karakterisik individu, migran desa, pedagang kaki lima
ABSTRACT
SEPTIANA NURHANIFAH. Rural Migrant Solidarity “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor”. Supervised by LALA M. KOLOPAKING.
Rural migrant solidarity is a sense of unity among association members of street vendors. Census method was used in this study to determine the individual‟s characteristics of rural migrants who become street vendors in Bogor Station, to analyze the solidarity of the vendors from villages, and to analyze the relationship between the two. The results found out that the relationship only happened on ethnicity and cooperation, age and formality, sex and solidarity, marital status and formality, as well as marital status and solidarity. Besides those all, there was no relationship. Social solidarity formed among street vendors Kaki Lima Modern Stasiun Bogor was organic solidarity.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SOLIDARITAS MIGRAN DESA “KAKI LIMA MODERN
STASIUN BOGOR”
SEPTIANA NURHANIFAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor” Nama : Septiana Nurhanifah
NIM : I34090057
Disetujui oleh
Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor”. Penulisan skripsi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam proses penyusunan skripsi ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para pedagang anggota paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada Bapak Ir Hadiyanto, MSi sebagai dosen penguji petik, Dr Ir Saharuddin, MS sebagai penguji utama, dan Ir Sutisna Riyanto, MS sebagai dosen penguji akademik, yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat untuk memperbaiki laporan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah Jumar, ibu Kholiyah dan adik, Bagus Irvanudin, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Turasih SKPm yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Cindy Paloma, Lutfi Afifah, Niki Nurhayati, Tuti Purwaningsih, Raysa, Vini Virdiana Mulideas, Listia Hesti Yuana, Hilda Nurul Hidayati, Tri Nuryanti, M. Rangga Husein, Sondang Fitriani Pakpahan, teman-teman SKPM 46 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dan semua pihak yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 5
Pedagang Kaki Lima Bagian dari Sektor Informal 5
Konsep Pedagang Kaki Lima 6
Paguyuban Pedagang Kaki Lima 7
Konsep Solidaritas 8
Konsep Migran Desa 11
Konsep Etnis 13
Kerangka Pemikiran 14
Hipotesis Penelitian 15
Definisi Operasional 16
PENDEKATAN LAPANGAN 19
Metode Penelitian 19
Lokasi dan Waktu 19
Teknik Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data 19
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 21
GAMBARAN UMUM KAKI LIMA MODERN STASIUN BOGOR 23
Sejarah Paguyuban Pedagang Kaki Lima Modern Stasiun Bogor 23
Karakteristik Pedagang Kaki Lima 24
Etnis 24
Tingkat Umur 28
Jenis Kelamin 29
Status Perkawinan 31
SOLIDARITAS MIGRAN DESA SEBAGAI PEDAGANG KAKI LIMA
MODERN STASIUN BOGOR 33
Derajat Formalitas Hubungan 35
Derajat Kerjasama 40 HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN DERAJAT SOLIDARITAS
MIGRAN DESA 43
Hubungan Etnis dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat Ketergantungan
Anggota dan Derajat Kerjasama 43
Hubungan Tingkat Umur dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama 45
Hubungan Jenis Kelamin dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama 46
Hubungan Status Perkawinan dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama 47
SIMPULAN DAN SARAN 49
Simpulan 49
Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 51
LAMPIRAN 53
DAFTAR TABEL
1 Perbedaan solidaritas mekanik dan solidaritas organik 9
2 Metode pengumpulan data 20
3 Jumlah responden berdasarkan etnis dan jenis barang dagangan 27 4 Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan jenis barang dagangan 30 5 Jumlah dan presentase sebaran derajat solidaritas pedagang kaki lima
modern Stasiun Bogor, 2013 34
6 Jumlah dan presentase derajat formalitas hubungan migran desa PKL
modern Stasiun Bogor 36
7 Jumlah dan presentase derajat ketergantungan anggota migran desa
PKL modern Stasiun Bogor 39
8 Jumlah dan presentase derajat kerjasama migran desa PKL modern
Stasiun Bogor 40
9 Hasil uji korelasi Rank Spearman etnis dengan derajat solidaritas dan
variabel-variabelnya 43
10 Hasil uji korelasi Rank Spearman tingkat umur dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya 45
11 Hasil uji korelasi Rank Spearman jenis kelamin dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya 47
12 Hasil uji korelasi Rank Spearman status perkawinan dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya 48
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan kerangka pemikiran 15
2 Alur pengambilan responden 20
3 Jumlah dan presentase responden berdasarkan etnis 26 4 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat umur 28 5 Jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis kelamin 29 6 Jumlah dan presentase responden berdasarkan status perkawinan 31
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Stasiun Bogor, Kota Bogor 53
2. Jumlah responden berdasarkan etnis dan jenis barang dagangan 53 3. Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan jenis barang dagangan 54 4. Data pengukuran derajat solidaritas migran desa PKL Modern Stasiun
Bogor 55
5. Data pengukuran derajat ketergantungan anggota migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 56
6. Data pengukuran derajat kerjasama migran desa PKL Modern Stasiun
Bogor 57
7. Data pengukuran derajat formalitas hubungan migran desa PKL Modern
8. Hubungan etnis dan derajat solidarias migran desa PKL Modern
Stasiun Bogor 60
9. Hubungan etnis dan derajat formalitas hubungan migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 60
10. Hubungan etnis dan derajat ketergantungan anggota migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 60
11. Hubungan etnis dan derajat kerjasama migran desa PKL Modern
Stasiun Bogor 61
12. Hubungan tingkat umur dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 61
13. Hubungan tingkat umur dan derajat formalitas hubungan migran desa
PKL Modern Stasiun Bogor 61
14. Hubungan tingkat umur dan derajat ketergantungan anggota migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor 62
15. Hubungan tingkat umur dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 62
16. Hubungan jenis kelamin dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 62
17. Hubungan jenis kelamin dan derajat formalitas hubungan migran desa
PKL Modern Stasiun Bogor 63
18. Hubungan jenis kelamin dan derajat ketergantungan anggota migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor 63
19. Hubungan jenis kelamin dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 63
20. Hubungan status perkawinan dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 64
21. Hubungan status perkawinan dan derajat formalitas hubungan migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor 64
22. Hubungan status perkawinan dan derajat ketergantungan anggota
migran desa PKL Modern Stasiun Bogor 64
23. Hubungan status perkawinan dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor 65
24. Data sensus migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
berdasarkan karakteritik individu 66
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor informal merupakan salah satu sektor ekonomi yang bertahan dalam dinamika perekonomian Indonesia. Yusuf (2006), menyatakan bahwa jika memperhatikan struktur ketenagakerjaan, penduduk yang bekerja di sektor informal cukup besar, dari analisis data sekunder jumlah tenaga kerja di sektor informal hampir seimbang dengan tenaga kerja di sektor industri. Departemen Transmigrasi dalam Pelawi (2004), menyebutkan bahwa sektor informal mempunyai lima sub sektor, yaitu: perdagangan, angkutan dan transportasi, industri, konstruksi, dan Jasa. Sub sektor yang memiliki banyak peminat adalah perdagangan, dan salah satu contoh sub sektor ini adalah pedagang kaki lima (PKL). Kesempatan kerja untuk menjadi pedagang kaki lima dibawa oleh pekerja migran yang berusaha memperoleh penghasilan di perkotaan. Para migran berharap dengan bekerja di kota, maka perekonomian mereka akan meningkat dan hidup mereka akan sejahtera. Hal ini dapat ditelusuri dari pandangan Alisjahbana dalam Lamba (2011), yang menyebutkan bahwa sektor informal sebagai akibat dari daya dorong pedesaan dan daya tarik perkotaan. Banyaknya sektor informal diberbagai kota besar di dunia, termasuk di Indonesia tidak lepas dari adanya urbanisasi dan daya dorong sulitnya mendapatkan pekerjaan, serta tingkat upah yang rendah di desa.
Setiono dalam Lamba (2011), juga mengungkapkan bahwa kota dengan berbagai kemajuan dan fasilitasnya merupakan daya tarik, sementara desa dengan berbagai keterbatasan dan keterbelakangannya merupakan daya dorong. Akibatnya, kehidupan di kota menjadi alternatif utama bagi sebagian mereka yang ingin menyelamatkan diri dari tekanan kemiskinan di desa.
Pedagang kaki lima umumnya berbekal modal rendah untuk menjalankan usahanya. Menurut Anggraini (2007), walaupun oleh sebagian pihak pedagang kaki lima dipadang sebelah mata, akan tetapi pada kenyataannya keberadaan sub sektor ini mampu mengurangi jumlah pengangguran. Disamping itu, pedagang kaki lima merupakan penyumbang besar terhadap perekonomian disaat sektor usaha-usaha besar sedang terpuruk. Namun, kerapkali usaha pedagang kaki lima ini tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah bahkan dipandang sebagai beban sosial (menganggu ketertiban umum dan kelancaran lalu lintas, memanfaatkan fasilitas umum sebagai lokasi untuk aktivitas usaha). Tindakan yang dipilih selanjutnya, oleh pemerintah dan beberapa pihak terkait dalam menanggapi permasalahan tersebut adalah dengan penertiban pedagang kaki lima, dari cara halus sampai penggusuran paksa.
2
jauh dari asal daerah mereka dan datang untuk menjalankan aktivitas usahanya. Mereka tentunya membutuhkan bantuan dan bantuan tersebut salah satunya datang dari perasaan moral dan kepercayaan migran lainnya. Akhirnya, pemenuhan kebutuhan tersebut dapat mereka capai dalam kelompok seperti paguyuban pedagang kaki lima.
Anggota Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor umumnya sama seperti pedagang kaki lima di kota-kota besar lainnya. Mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda dan sebagian besar adalah migran dari desa. Namun, para pedagang kaki lima tersebut menyatu dalam sebuah naungan yang mereka namakan paguyuban. Meskipun dalam satu wadah sosial, interaksi sosial yang terbentuk tidak menutup kemungkinan masih membawa karakteristik etnis yang mereka miliki. Hal ini selanjutnya dapat mempengaruhi solidaritas dalam paguyuban tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui karakteristik individu dan solidaritas pedagang kaki lima. Hal menarik untuk diteliti, karena bagaimanapun pedagang kaki lima termasuk pelaku ekonomi yang memiliki pilihan rasional untuk menghasilkan keuntungan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perumusan Masalah
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu bentuk pekerjaan yang ada pada sektor informal. PKL yang ada di kota-kota besar biasanya berasal dari daerah lain, dan merupakan migran dari desa. Mereka pergi meninggalkan desa dengan harapan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang mereka jalani di desa. Selain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak sedikit juga dari PKL yang mengirimkan uang hasil usaha berdagang mereka ke keluarga dan sanak saudara di desa tempat mereka berasal.
Pada satu sisi, bagi pedagang kaki lima, berdagang adalah pekerjaan utama dan sumber nafkah utama mereka. Pendapatan yang mereka peroleh, dijadikan sebagai penyambung hidup. Akan tetapi, bagi beberapa pihak keberadaan para pedagang kaki lima dianggap sebagai beban sosial dan mengganggu ketertiban umum. Karena itu, sering terjadi penggusuran lapak pedagang kaki lima oleh aparat yang berwajib. Seperti penggusuran yang dilakukan kepada para PKL yang ada di sekitar stasiun, baik dari Stasiun Jakarta Kota sampai Stasiun Bogor, maupun stasiun di jalur lainnya. Namun, PKL yang berada di Stasiun Bogor mempunyai nasib yang lebih beruntung, tidak mengalami penggusuran seperti di stasiun lainnya. Para PKL yang tergabung dalam paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor tersebut, justru dapat menempati bangunan yang bersih dan tertata rapi sebagai tempat mereka berjualan. Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor juga mempunyai PKL yang merupakan migran yang berasal dari desa. Para migran tersebut mampu bertahan sebagai PKL dan tergabung dalam paguyuban yang anggotanya berbeda asal daerah. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana karakteristik individu pada migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor?.
3 mereka di Stasiun Bogor. Akhirnya, para PKL memperoleh izin dari PT KAI untuk menyewa lahan dan mendirikan bangunan. Keberhasilan mendapatkan izin tersebut tidak terlepas dari adanya solidaritas yang dimiliki antar pedagang anggota paguyuban. Setelah memperoleh tempat yang nyaman untuk berdagang, kemungkinan solidaritas yang dimiliki PKL anggota paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor masih ada. Oleh sebab itu, dari penelitian ini akan diketahui bagaimana solidaritas migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor?.
Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor mempunyai anggota yang berasal dari migran desa yang berbeda-beda daerah. Para migran tersebut membawa karakteristik individu mereka dalam menjalani hubungan sosial dengan pedagang lain yang juga berbeda daerah dengan mereka. Namun, mereka mampu bertahan sebagai anggota paguyuban. Karena itu, dalam penelitian ini terdapat rumusan masalah bagaimana hubungan karakteristik individu dan solidaritas migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor?.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengetahui karakteristik individu pada migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
2. Mengetahui solidaritas migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor 3. Menganalisis hubungan karakteristik individu dan solidaritas migran desa
Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi peneliti dan akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu, diharapkan penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan bidang sosial dan ketenagakerjaan.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana dan menambah pengetahuan terkait dengan kondisi sosial di pedagang kaki lima. 3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu saran
TINJAUAN PUSTAKA
Pedagang Kaki Lima Bagian dari Sektor Informal
Berdasarkan penggolongan penduduk yang bekerja, Rusli (1995) membagi kesempatan kerja dalam dua kategori, yaitu jenis pekerjaan dan status pekerjaan. Jenis pekerjaan terdiri dari tenaga profesional, teknisi dan sejenis, tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, tenaga tatausaha dan tenaga yang sejenis, tenaga usaha penjualan, tenaga usaha jasa, tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan, tenaga produksi, operator alat angkutan, pekerjaaan kasar dan lainnya. Berikutnya, penggolongan status pekerjaan terdiri dari berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain, berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap, berusaha dengan buruh tetap, buruh/karyawan dan pekerja keluarga. Penggolongan status pekerjaan tersebut dalam Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2012), diperinci menjadi sektor formal (kegiatan ekonomi formal) dan sektor informal (kegiatan ekonomi informal).
Sektor informal mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sektor yang lain. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2012), mengungkapkan bahwa sektor formal mempunyai konsep berusaha dengan buruh tetap dan sebagian dari pekerja/buruh/karyawan sedangkan berusaha sendiri tanpa bantuan, berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap pekerja bebas di sektor pertanian, pekerja bebas di sektor nonpertanian, pekerja tak dibayar dan sebagian dari pekerja/buruh/ karyawan merupakan bagian dari sektor informal.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (1991) dalam Seftiani (2006), menemukan bahwa ada tiga jenis lapangan usaha yang termasuk ke dalam sektor informal, yang memberikan kesempatan berusaha bagi migran yaitu perdagangan, buruh, dan jasa angkutan. Departemen Transmigrasi dalam Pelawi (2004) menyebutkan bahwa sektor informal mempunyai lima sub sektor, yaitu: perdagangan, angkutan dan transportasi, industri, konstruksi, dan jasa. Sub sektor yang memiliki banyak peminat adalah perdagangan, dan salah satu contoh sub sektor ini adalah pedagang kaki lima. Bekerja sebagai pedagang kaki lima didapatkan oleh para tenaga kerja baik dari kerabat maupun atas usahanya sendiri. Walaupun oleh sebagian pihak pedagang kaki lima dipadang sebelah mata, akan tetapi pada kenyataannya keberadaan sub sektor ini mampu mengurangi jumlah pengangguran (Anggraini 2007).
Mochtar (2003), meneliti tentang karakteristik usaha pedagang kaki lima yang membuat usaha ini berkembang pesat, yaitu walaupun modal terbatas dan adanya berbagai kendala dalam kegiatan usaha, tetapi ada keyakinan bahwa usaha kaki lima dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dinamika pedagang kaki lima dapat terlihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pedagang kaki lima yaitu terdiri dari faktor personal, faktor modal, dan faktor lingkungan yang terdiri dari keluarga, tetangga, komunitas serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (Anggraini 2007).
6
Konsep Pedagang Kaki Lima
Danisworo (2000) dalam Ginting (2004), menjelaskan bahwa istilah pedagang kaki lima pertama kali dikenalkan pada masa Hindia Belanda, ketika Gubernur Jenderal Stanford Rafless berkuasa. Pada saat itu, dikeluarkan peraturan yang mengharuskan pedagang informal membuat jarak sejauh 5 kaki atau sekitar 1.2 meter dari bangunan formal di pusat kota. Tempat pedagang tersebut kemudian dikenal dengan “Kaki Lima”, dan pedagang yang berjualan di tempat tersebut dinamakan “Pedagang Kaki Lima” atau PKL. Namun, saat ini istilah PKL tidak lagi ditunjukkan kepada pedagang informal yang berada 5 kaki dari bangunan formal, tetapi telah meluas menjadi seluruh pedagang yang berjualan secara informal (Ginting 2004).
Menurut BPS (2003), usaha kaki lima adalah bagian dari usaha sektor informal (mencakup seluruh sektor ekonomi yang ada seperti sektor perdagangan, jasa-jasa dan industri) yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya menggunakan bagian jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum dan peruntukannya bukan sebagai tempat usaha atau tempat lain yang bukan miliknya, kecuali pada lokasi resmi. Disamping itu, menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 20021, pedagang kaki lima merupakan perorangan atau pedagang yang didalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.
Mochtar (2003) menjelaskan bahwa pada umumnya pedagang kaki lima dalam melakukan aktivitasnya tidak menghiraukan peruntukan lahan yang digunakan asal daerah tersebut ramai dilewati orang maka pedagang kaki lima ada di tempat tersebut. Anggraini (2007), menyebutkan pemakaian lahan mengharuskan mereka membayar penyewaan lahan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah maupun oleh penguasa informal lokal. Pungutan atau retribusi yang dilakukan oleh pemerintah biasanya bila pedagang menggunakan lahan di halaman pasar resmi dan lokasi-lokasi resmi, sedangkan retribusi yang dilakukan oleh penguasa informal bila pedagang menempati halaman pasar liar, disekitar pasar resmi, dan non-pasar.
Chandrakirana dan Sadoko dalam Anggraini (2007), mengungkapkan pedagang kaki lima memenuhi kebutuhan penjualannya dengan membeli barang secara kontan terutama yang bermodal kecil, sedangkan yang bermodal besar membeli barang dengan sistem kredit. Bagi yang membayar secara kontan merasa lebih untung karena dapat membeli dengan harga yang lebih rendah daripada dengan kredit. Umumnya usaha kaki lima bermodal kecil. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan pedagang kaki lima memiliki modal sebesar Rp5 000 000 diluar modal tanah dan bangunan tempat usaha. Modal yang sedikit tersebut menyebabkan pedagang kaki lima tidak membutuhkan karyawan dan biasanya ditemukan pada pedagang makanan. Kebutuhan karyawan biasanya dicukupi dari keluarga sendiri dan mereka yang jarang diupah.
1
7 Paguyuban Pedagang Kaki Lima
Hubungan-hubungan positif antara manusia oleh Ferdinand Tonnies dianggap selalu bersifat gemeinschaftlich atau gesellscaftlich dan mengemukakan teori tentang paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) (Soekanto 1982). Paguyuban diartikan sebagai bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Bentuk paguyuban terutama akan dijumpai didalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga, dan lain sebagainya (Soekanto, 1982).
Disamping itu, Tonnies dalam Soekanto (1982) juga menjelaskan konsep patembayan (gesellschaft) sebagai ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk patembayan terdapat dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik, misalnya ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik atau industri, dan lain sebagainya.
Tonnies dalam Johnson (1986) mengungkapkan masyarakat gemeinschaft mencerminkan satu kemauan yang bersifat alamiah dan memperlihatkan satu struktur sosial yang ditandai oleh kesatuan organik, tradisi yang kuat, hubungan yang menyeluruh dan memperhatikan spontanitas dalam perilaku. Sebaliknya, gesellschaft ditandai oleh kemauan yang lebih bersifat rasional, yang lebih direncanakan, serta mengutamakan hubungan sosial yang didasarkan pada spesialisasi tertentu.
Soekanto (1982) menjelaskan bahwa ajaran Tonnies mengenai paguyuban dan patembanan dapat dibandingkan dengan pandangan Emile Durkheim tentang dasar pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan pembagian kerja, masyarakat secara keseluruhan mempunyai kedudukan yang lebih penting dari pada individu, yang selanjutnya disebut struktur mekanik. Sebaliknya, dalam masyarakat kompleks yang sudah terdapat spesialisasi bagi anggotanya masing-masing, maka akan timbul keahlian dan setiap golongan tidak akan hidup secara sendiri, yang selanjutnya disebut sebagai struktur organik.
Menurut Tonnies dalam Soekanto (1982), suatu paguyuban mempunyai ciri pokok, yaitu (1) intimate, merupakan hubungan menyeluruh yang mesra, (2) private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk beberapa orang saja, (3) exclusive, yaitu hubungan tersebut hanya untuk “kita” saja dan tidak untuk orang-orang lain di luar “kita”. Selain itu, terdapat tiga tipe paguyuban, yaitu: 1. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu paguyuban yang
merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan, contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.
2. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling tolong menolong, contoh: rukun tetangga, rukun warga, arisan.
8
semacam ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuban karena darah atau keturunan.
Diantara bentuk gemeinschaft dan gesellschaft terdapat bentuk-bentuk campuran yang disebut burgerlichegesellschaft, seperti perseroan terbatas, firma, serta badan-badan hukum lainnya. Berdasarkan sejarah, paguyuban muncul lebih dahulu daripada patembayan, walaupun dalam perkembangan lanjut didalam patemabayan mungkin saja muncul lagi persamaan pemikiran dan persamaan batin yang menimbulkan paguyuban.
Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri kelompok sosial di atas, pedagang kaki lima dapat dikategorikan sebagai paguyuban (gemeinschaft). Disisi lain, paguyuban juga termasuk kelompok sosial dalam masyarakat. Menurut Soedijanto (1980), kelompok dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu kelompok berdasarkan tugas, kelompok berdasarkan interaksinya, dan kelompok berdasarkan strukturnya (kelompok formal dan kelompok informal). Tuyuwale (1990) menyebutkan bahwa suatu kelompok dapat mempunyai formalitas tinggi apabila memenuhi ciri-ciri pembentukan organisasi atau kelompok formal. Adapun kriteria formalitas tersebut disebutkan oleh Bierstedt dalam Kolopaking (2003) sebagai: 1) mempunyai fungsi dan tujuan yang khas; 2) mempunyai kebijakan umum dalam mencapai tujuannya; 3) mempunyai dan mengembangkan susunan hierarki status; 4) mempunyai wewenang; 5) mengenakan prasyarat; 6) mempunyai property; 7) mempunyai nama atau lambang-lambang.
Konsep Solidaritas
Johnson (1986) menyebutkan bahwa solidaritas merupakan kesatuan, persahabatan, saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan kepentingan bersama diantara para anggotanya. Soekanto (2003) menyebutkan solidaritas sebagai kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas sosial atau kasta, diantara berbagai pribadi, kelompok, maupun kelas-kelas membentuk masyarakat atau bagian-bagiannya.
Durkheim yang dikutip Johnson (1986), menyebutkan solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung dan mempengaruhi derajat tinggi rendahnnya solidaritas dalam suatu kelompok.
Menurut Soekanto (1982), faktor-faktor yang mempengaruhi solidaritas adalah taraf proses dan kuatnya pengaruh dari: (1) lingkungan; 2. Okupasi; 3 bentuk-bentuk asosiasi; (4) mobilitas, taraf perubahan sosial; (5) komposisi etnis; (6) latar belakang budaya populasi. Soedijanto (1980) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi solidaritas adalah kepemimpinan kelompok, keanggotaan kelompok, homogenitas kelompok, tujuan kelompok, keterpaduan atau integrasi, kerjasama atau kegiatan kooperatif dan besarnya kelompok. Solidaritas juga menghasilkan persamaan, kesalingtergantungan, dan pengalaman yang sama merupakan unsur pengikat bagi unit kolektif seperti keluarga, kelompok, dan komunitas.
9 masyarakat seperti: (1) pola-pola interaksi-interaksi (struktur klik, kenggotaan organisasi, perkawinan, dan sebagainya), (2) kesamaan atau ketidaksamaan sistem kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai, (3) kesadaran akan kedudukan masing-masing, (4) aktivitas sebagai organ kolektif.
Wahyuni (2003) merumuskan faktor yang mempengaruhi kohesi atau solidaritas antara lain: karakteristik sosial anggota kelompok, ukuran kelompok, mobilitas fisik anggota, efektifitas komunikasi. Karakteristik sosial anggota kelompok merupakan kesamaan anggota kelompok yang meliputi kesamaan ciri anggota kelompok, kesamaan latar belakang budaya, dan norma. Ukuran kelompok adalah besar kecilnya jumlah anggota kelompok yang mempengaruhi keintiman hubungan antar anggota. Mobilitas fisik anggota adalah gerak anggota kelompok kesuatu wilayah lain yang terpisah jauh dari keberadaan kelompok. Efektivitas komunikasi kelompok menjadi sangat penting dalam kelompok karena dapat memperlancar penyesuaian para anggota kelompok pada norma-norma perilaku kelompok. Selain itu, efektivitas komunikasi juga dapat mempengaruhi sikap anggota sehingga mereka merasa satu jalur dalam mencapai tujuan kelompok.
Durkheim dalam Johnson (1986) menganalisa ada dua bentuk solidaritas yaitu solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama yang menunjuk pada kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama. Solidaritas mekanik terbentuk karena adanya individu-individu yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan serta pola normatif yang sama pula. Faktor penting dalam solidaritas mekanik adalah homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya.
Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar. Faktor pembentuknya adalah tingkat kesalingtergantungan yang sangat tinggi. Rasa saling tergantung tersebut bertambah besar seiring dengan spesialisasi dalam pembagian kerja, yang memungkinkan perbedaan tingkat individu. Lebih rinci, perbedaan solidaritas mekanik dan organik menurut Johnson (1986) adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Perbedaan solidaritas mekanik dan solidaritas organik
Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik
Secara relatif saling ketergantungan itu rendah
10
Faktor lain yang mempengaruhi solidaritas adalah kerjasama dan konflik. Kerjasama berarti bekerja bersama dalam rangka mencapai suatu tujuan bersama. Cooley yang dikutip Kolip dan Setiadi (2011) dalam Rohayati (2012) menyebutkan bahwa kerjasama timbul jika orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama. Sebaliknya, konflik adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan (Soekanto 1982).
Solidaritas dalam beberapa masyarakat dicontohkan oleh James Scott (1976) dalam Damsar (2009), bahwa masyarakat petani umumnya dicirikan dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang menekankan tolong menolong, pemilikan bersama sumberdaya dan keamanan subsistensi. Namun, tidak dengan pedagang, yang cederung tertangkap di tengah masyarakat petani dan pihak-pihak lain di luar desa. Mereka dapat disebut sebagai tengkulak karena tidak hanya meanggung resiko kerugian secara ekonomi, tetapi juaga resiko terhadap diskriminasi dan kemarahan petani.
Perkembangan teori solidaritas oleh Durkheim dalam Johnson (1986) menunjukkan bahwa interaksi yang semakin bertambah, akan meningkatkan kerjasama yang semakin tinggi dan merangsang munculnya gagasan-gagasan baru. Hal ini menjadi sebab pembagian kerja yang meningkat. Namun, faktor utamanya adalah perubahan-perubahan demografik dan akibatnnya pada frekuensi interaksi antara manusia serta pada perjuangan kopetitif untuk mempertahankan hidup. Disamping itu, Durkheim dalam Johnson (1986) juga menambahkan:
“Tetapi karena penduduk bertambah, perjuangan untuk hidup juga bertambah. Akibatnya individu secara bertahap meningkatkan spesialisasinya karena mereka mencari suatu jalan untuk tetap hidup dimana kompetisi atau konflik dengan orang lain kurang parah. Selanjutnnya, karena individu berspesialisasi, mereka menjadi lebih efisien, yang memungkinkan penduduk yang lebih besar dapat bertahan. Selain itu, spesialisasi juga menggairahkan peningkatan saling ketergantungan dan pertukaran kontraktual karena individu membatasi dirinya pada spesialisasi dan mengandalkan pada orang lain akan barang-barang lain atau jasa yang dibutuhkan”.
Durkheim dalam Johnson (1986) menyatakan peralihan dari solidaritas mekanik ke organik tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh keseimbangan tanpa ketegangan-ketegangan. Hal ini dikarenakan ikatan sosial primodial yang lama dalam bidang agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak oleh meningkatnnya pembagian kerja, mungkin ada ikatan-ikatan sosial lainnya yang tidak berhasil menggantikannya. Akibatnya, masyarakat menjadi terpecah dimana individu terputus ikatan-ikatan sosialnya dan kelompok-kelompok yang menjadi perantara individu dan masyarakat luas tidak berkembang dengan baik, sehingga memunculkan ancaman terhadap solidaritas.
11 terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasama, yaitu 1) motivasi atau kepentingan pribadi, misalnya tolong menolong); 2) kepentingan umum misalnya gotong royong; 3) motivasi altruistik, misalnya semangat pengabdian, menolong tanpa pamrih; dan 4) tuntutan situasi, misalnya karena bencana alam. Selanjutnya bentuk-bentuk kerjasama dalam suatu kelompok dapat diketahui dapat berupa tolong menolong, gotong royong, dan musyawarah.
Namun, Pranadji (2003) mengungkapkan beberapa jenis solidaritas dan bentuk perwujudan dari solidaritas dalam masyarakat, yaitu:
1. Solidaritas ketetanggaan, yang perwujudannya seperti: a) selametan, kesripahan, dan beberapa peringatan yang berkaitan dengan kematian (nyatus, nyewu, dan ngekoli); b) peringatan yang berkaitan dengan upacara atau tradisi pernikahan; c) solidaritas ini juga sedikit banyak mendasari kegiatan pertanian antar tonggo teparo (untuk luku, nggaru, maul, matun, dan panen); d) tolong menolong untuk membuat rumah. Gotong royong merupakan kekayaan kehidupan ketetanggaan, yang dalam praktek semacam kewajiban sosial atau norma (hukum) tidak tertulis.
2. Solidaritas sosial budaya, perwujudannya masih diwarnai kebersamaan yang didasarkan atas norma kekeluargaan dan ketetanggaan. Tjondronegoro (1997) dalam Pranadji (2003) menyebutkan istilah sodalitas sebagai demokrasi sederhana (“primitif”) yang menunjung tinggi asas musyawarah yang masih tampak hidup pada kehidupan solidaritas di tingkat pedukuhan. Selain itu terdapat pula bentuk solidaritas pada kategori ini, yaitu arisan rumah dan lumbung padukuhan.
3. Solidaritas birokratik, penerapan dari solidaritas ini tidak lepas dari hukum-hukum pengaturan formal.
4. Solidaritas rasional, didasarkan atas imbalan, atau pertukaran yang individualistik atau rasional. Sistem imbalan berlaku secara kelembagaan yang ditunjukkan oleh upah dan jasa peminjaman.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bentuk kerjasama sangat beragam. Hal ini tergantung jenis dan konsep yang dihadapi. Namun, dapat ditarik kesamaan dari bentuk kerjasama tersebut, yaitu tolong menolong, gotong royong, musyawarah, arisan, dan imbalan.
Konsep Migran Desa
12
Secara umum, Rusli (1995) membagi migrasi dalam dua jenis, yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Migrasi internal terjadi antar negara. Sementara emigrasi (pelakunya disebut emigran) adalah migrasi internasional dipandang dari negara asal atau negara pengirim, sedangkan imigrasi (pelakunya disebut imigran) adalah migrasi yang dilihat dari negara penerima atau negara tujuan. Namun, terdapat jenis migrasi lainnya, yaitu migrasi musiman. Pada migrasi ini, umumnya para migran pergi ketika tidak sedang ada kerja, terutama setelah mengolah tanahnya, untuk mencari tambahan penghasilan ke daerah lain, dan kemudian kembali ke desa saat panen tiba.
Teori mengenai migrasi sudah lama terbentuk, baik dari Ravenstein yang muncul dengan “hukum-hukum migrasi”, teori dorong-tarik ( push-pull theory), teori dari karya Lee, dan teori kesempatan antara. Hukum-hukum migrasi yang dibawa oleh Ravenstein berkaitan dengan migrasi dan jarak, migrasi berlangsung menurut tahap-tahap, stream, dan counterstream, perbedaan antara desa dan kota dalam kecenderungan bermigrasi, lebih dominannya perempuan kalangan migrasi jarak dekat, teknologi dan migrasi, dan dominannya motivasi ekonomi.
Teori dorong-tarik mengungkapkan pendapat bahwa alasan meninggalkan daerah asal dapat dipandang sebagai faktor-faktor pendorong, sedangkan alasan untuk memilih daerah tujuan dipandang sebagai faktor-faktor penarik (Rusli 1995). Mengutip pendapat Anitawati (1986), faktor pendorong tersebut seperti sempitnya pemilikan tanah, kegagalan panen, kurangnya lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian di desa dan faktor-faktor lain yang terdapat di desa yang mendorong para migran keluar dari desa mereka. Disamping itu, faktor-faktor penarik migrasi seperti fasilitas pendidikan yang lebih baik, adanya perbedaan upah di desa dengan daerah tujuan, sehingga penduduk desa tertarik untuk meninggalkan desanya. Menurut Rhoda (1980) dalam Anitawati (1986), faktor-faktor pendorong dan penarik mempunyai hubungan yang dekat, orang yang terdorong untuk melakukan migrasi secara bersamaan juga akan tertarik oleh harapan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik di tempat tujuan.
Menurut Rusli (1995), teori kesempatan antara menyebutkan bahwa jumlah orang yang pergi kesuatu jarak tertentu berbanding langsung dengan jumlah kesempatan pada jarak tersebut dan berbanding terbalik dengan jumlah kesempatan antara. Sementara teori yang dibawa Lee yang dikutip Rusli (1995), menunjuk pada sejumlah hipotesa yang berkaitan dengan volume migrasi, stream, dan counterstream, serta karakteristik para migran. Selanjutnya, teori tersebut menjelaskan bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi, dan rintangan-rintangan antara. Disetiap daerah terdapat tiga set faktor-faktor (Rusli 1995), yaitu :
1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau mengikat orang dalam daerah itu, yang disebut sebagai faktor-faktor minus (-).
2. Faktor-faktor yang cenderung untuk menolak mereka (faktor-faktor plus). 3. Faktor-faktor yang pada dasarnya indifferen, tak punya pengaruh menolak
atau mengikat.
13 Biasanya, pada sebuah daerah terdapat perintis yang memulai adanya proses migrasi. Kemudian diikuti oleh keluarga, teman, tetangga, yang mengandalkan pendahulunya untuk memperoleh pekerjaan, dan segala jenis bantuan yang dapat digunakan untuk menekan biaya relokasi di tempat migrasi yang baru. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi para migran dapat berupa Faktor-faktor pendorong seperti tuntutan ekonomi, maupun faktor penghambat seperti budaya (Seftiawati 2009).
Namun menurut Suharso (1978) yang dikutip Anitawati (1986), faktor yang mempengaruhi migran berpindah ke kota adalah adanya kenalan atau teman di kota. Sedangkan untuk kepemilikan tanah pertanian memiliki pengaruh yang kecil, karena sama-sama mempunyai keinginan untuk bermigrasi. Bagi yang mempunyai tanah pertanian, pindah ke kota untuk mendapatkan pendidikan dan membuka usaha dagang serta usaha lainnya di kota. Akan tetapi, bagi yang tidak memiliki tanah pertanian, pindah ke kota dimaksudkan untuk memperoleh pekerjaan.
Para migran yang datang ke kota-kota, khususnya kota besar seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat, akan menimbulkan berbagai implikasi baik dalam bidang sosial maupun ekonomi. Pada bidang sosial, para migran akan menambah jumlah kepadatan penduduk di kota-kota yang tidak menambah diferensiasi sistem sosial dan indepensi kecuali menambah orang dalam proses pekerjaan yang sama. Meskipun saat ini sektor informal masih dapat diharapkan untuk menampung para migran, akan tetapi masalah pengangguran belum dapat teratasi sepenuhnya. Keadaan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif, seperti meningkatnya jumlah kejahatan. Sementara itu, banyaknya penduduk yang bermigrasi menyebabkan desa mengalami kekurangan tenaga kerja yang dinamis, dan sumberdaya manusia yang dapat membangun serta mengembangkan desa.
Konsep Etnis
Smith (1983)2 mengartikan kelompok etnik atau suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, atau ciri-ciri biologis. Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Disamping itu, Fredrik Barth (1969) dan Eric Wolf (1982)3, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenetis.
Menghadapi dilema perdagangan, Evers (1992) mengemukakan solusi yang dapat dilakukan, yaitu imigrasi pedagang komunitas, pembentukan kelompok-kelompok etnis atau religius, akumulasi status kehormatan (modal budaya),
14
munculnya perdagangan kecil dengan ciri “ada uang ada barang”, dan depersonalisasi (ketidaklekatan) hubungan-hubungan ekonomi. Kelima solusi tersebut memperlihatkan bahwa perdagangan mensyaratkan adanya solidaritas diantara pedagang dan juga mensyaratkan adanya jarak sosial dan budaya terhadap pelanggan.
Evers (1992) mengungkapkan kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui migrasi atau etnogenetis, yaitu munculnya identitas etnis baru. Contohnya adalah “pedagang kredit” yang sebagian berasal dari suku Batak dan beragama Kristen yang melakukan aktivitas dagangannya di Sumatera Barat. Mereka melakukan aktivitas dagang kepada orang-orang desa dengan pembayaran tidak kontan. “Pedangan kredit” sendiri membeli barang dagangannya kepada pedagang grosir, umumnya adalah orang Minangkabau.
Munculnya dua komunitas moral atau lebih dalam satu naungan pekerjaan yang menekankan kerja sama, tetapi tidak keluar dari batas-batas moral dapat berlangsung. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerima suatu agama baru atau menganut agama sebagaimana yang digariskan oleh aturan-aturan yang telah ditetukan dengan memperlihatkan kegairahan dalam menjalankan aturan-aturan tersebut. Disamping itu, kemungkinan lainnya adalah menekankan nilai-nilai budaya hingga batas menentukan identitas etnis milik sendiri. Selain itu, Evers (1992) juga mengungkapkan peningkatan akumulasi modal budaya berarti peningkatan derajat kepercayaan masyarakat, sehingga memudahkan pedagang melakukan aktivitasnya.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berfokus pada solidaritas sosial para migran pedagang kaki lima modern di Stasiun Bogor. Keberadaan solidaritas dalam kelompok sangat penting untuk dapat mempertahankan fungsi kelompok yaitu untuk menyelesaikan masalah, mencegah kesepian, dan keregangan masyarakat.
Solidaritas migran desa akan diamati berdasarkan derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama. Derajat formalitas hubungan diukur dengan menggunakan tujuh kriteria menurut Bierstedt dalam Kolopaking (2003), yaitu (1) mempunyai fungsi dan tujuan khusus; (2) mempunyai kebijakan umum dalam mencapai tujuannya; (3) mempunyai dan mengembangkan susunan hierarki status; (4) mempunyai wewenang; (5) mengenakan syarat; (6) mempunyai property; (7) mempunyai nama atau lambang-lambang. Semakin formal kelompok paguyuban pedagang kaki lima, diduga semakin rendah solidaritasnya.
Menurut Soekanto (2003), kerjasama merupakan bekerja bersama dalam rangka mencapai suatu tujuan bersama. Penelitian ini menduga semakin tinggi kerjasama maka solidaritas pedagang kaki lima semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah derajat kerjasama maka solidaritas pedagang kaki lima semakin rendah.
15 Faktor-faktor yang mempunyai hubungan terhadap solidaritas dalam penelitian ini adalah karakteristik individu, yang meliputi etnis, tingkat umur, jenis kelamin, dan status perkawinan. Menurut Smith (1983)4, etnis merupakan kelompok etnik atau suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Diduga, semakin tinggi kesamaan etnis dalam paguyuban pedagang kaki lima, maka semakin tinggi solidaritasnya. Sebaliknya, semakin beragam etnis maka semakin rendah solidaritasnya.
Umur merupakan keadaan anggota yang dihitung dari jumlah tahun sejak lahir sampai pada saat penelitian dilakukan. Diduga, semakin tinggi tingkatan umur pedagang kaki lima, maka semakin rendah solidaritasnya. Faktor lainnya adalah jenis kelamin, diduga pedagang kaki lima perempuan mempunyai tingkat solidaritas yang tinggi. Faktor terakhir yaitu status perkawinan. Semakin tinggi jumlah anggota yang memiliki status menikah diduga semakin tinggi solidaritasnya. Penelitian ini menguji antar variabel yang secara ringkas digambarkan dalam kerangka pemikiran seperti Gambar 1.
Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Keterangan :
: Berhubungan
Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan antara karakteristik individu pedagang kaki lima dan solidaritas pedagang kaki lima pada paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor. Secara rinci hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara etnis dengan derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan, dan derajat kerjasama.
2. Terdapat hubungan antara tingkat umur dengan derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan, dan derajat kerjasama.
16
4. Terdapat hubungan antara status perkawinan dengan derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan, dan derajat kerjasama.
5. Terdapat kecenderungan solidaritas organik daripada solidaritas mekanik pada migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor.
Definisi Operasional
Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut:
1. Karakteristik individu adalah identitas yang melekat pada individu pedagang kaki lima yang diketahui dari etnis, tingkat umur, jenis kelamin, dan status perkawinan.
a) Etnis adalah identitas yang terbentuk dari asal dan nilai-nilai budaya yang dibawa oleh pedagang kaki lima. Diukur dengan menggunakan skala nominal dengan kategori: etnis Minang (1), etnis Sunda (2), etnis Jawa (3), (Angka yang tertera merupakan pengkodean, bukan sebagai skoring). b) Tingkat umur adalah umur pada saat responden diwawancarai dan
dikelompokkan berdasarkan sebaran umur secara merata. Menurut BPS (2010), kategori umur berdasarkan umur produktif digolongkan menjadi umur produktif awal (15-31 tahun) dengan skor 3, umur produktif pertegahan (32-48 tahun) dengan skor 2, dan umur produktif akhir (49-64 tahun) dengan skor 1.
c) Jenis Kelamin adalah karakteristik yang sudah ada sejak lahir, yang membedakan individu berdasarkan biologisnya. Dikategorikan menjadi laki-laki (1) dan perempuan (2), angka yang tertera merupakan pengkodean, bukan sebagai skoring.
d) Status perkawinan adalah status pernikahan responden saat diwawancarai yang diketahui berdasarkan status menikah dan belum menikah. Adapun nilainya adalah menikah (1), belum menikah (2), angka yang tertera merupakan pengkodean, bukan sebagai skoring.
2. Solidaritas pedagang kaki lima adalah tingkatan rasa persatuan diantara anggota paguyuban pedagang kaki lima yang meliputi derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama.
a) Derajat formalitas hubungan adalah tingkat keformalan yang dimiliki suatu kelompok (Biersted dalam Kolopaking 2003), yang dioperasionalkan sebagai berikut:
i) Identitas atau nama kelompok adalah nama yang mengukuhkan kebersamaan anggota dalam satu kelompok. Identitas tersebut diukur menurut skala ordinal yang terdiri atas tidak (skor 1) dan ya (skor 2). ii) Peraturan kelompok adalah pedoman yang menjadi batasan anggota
bertingkah laku. Peraturan kelompok dikategorikan menjadi tiga pertanyaan yaitu terdapat peraturan; tidak (skor 1) dan ya (skor 2), bentuk peraturan; tidak tertulis (skor 1) dan tertulis (skor 2), terdapat sanksi; tidak (skor 1) dan ya (skor 2).
17 iv) Persyaratan anggota adalah hal-hal yang harus dipenuhi sebelum menjadi anggota kelompok. Persyaratan tersebut dibagi dalam dua kategori, yaitu terdapat syarat masuk; tidak (skor 1) dan ya (skor 2), kemudahan syarat; mudah (skor 1) dan tidak mudah (skor 2).
v) Tujuan kelompok adalah hasil yang ingin dicapai oleh kelompok dan anggotanya. Dikategorikan dalam dua pertanyaan, yaitu terdapat tujuan khusus paguyuban; tidak (skor 1) dan ya (skor 2), kesamaan tujuan; tidak (skor 1) dan ya (skor 2).
vi) Fungsi tugas adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok dan anggotanya untuk mencapai tujuan. Diukur juga melalui interaksi mereka dengan anggota lainnya, yang terdiri atas ya (apabila mengenal anggota lainnya) memiliki skor 2, dan tidak (apabila tidak mengenal anggota lainnya) skor 1. Selain itu, dilihat pula dengan interaksi para anggota, yang terdiri atas ya (pernah berinteraksi) skor 2 dan tidak (tidak pernah berinteraksi) skor 1.
keenam kriteria tersebut dapat diukur dengan menggunakan skala ordinal, yang terdiri atas formalitas rendah (11-14) dengan value 1, formalitas sedang (15-18) dengan value 2, dan formalitas tinggi (19-22) dengan value 3.
b) Derajat ketergantungan anggota adalah tingkat ketergantungan anggota kelompok yang satu dengan yang lain dalam suatu kelompok. Durkheim yang dikutip Johnson (1986) mengungkapkan peningkatan pembagian kerja mengakibatkan peningkatan saling ketergantungan fungsional. Diukur menggunakan skala ordinal yang dikategorikan menjadi tingkat ketergantungan rendah (1-3) dengan value 1, tingkat ketergantungan sedang (4-6) dengan value 2, dan tingkat ketergantungan tinggi (7-10) dengan value 3.
c) Derajat kerjasama adalah kegiatan yang dilakukan secara bersama dengan anggota untuk mencapai tujuan kelompok. Derajat kerjasama dikategorikan sebagai berikut:
i) Pernah bekerjasama; tidak (skor 1) dan ya (skor 2)
ii) Bentuk kerjasama terdiri atas (1) gotong royong, (2) tolong menolong, (3) musyawarah, (4) arisan, (5) imbalan. Menjawab satu (skor 1), menjawab dua (skor 2), menjawab tiga (skor 3), menjawab empat (skor 4), dan menjawab lima (skor 5).
iii) Frekuensi kerjasama, diukur menggunakan jumlah kerjasama yang dilakukan selama satu bulan, kategorinya terdiri atas < 3 (skor 1), 3-5 (skor 2), dan >5 (skor 3).
berdasarkan ketiga kategori tersebut, dapat diukur dengan menggunakan skala ordinal yang terbagi menjadi kerjasama rendah (3-5), kerjasama sedang (6-8), dan kerjasama tinggi (9-10).
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitan
Penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian penjelasan (explanatory research), untuk menguji hubungan antar variabel yang menentukan suatu kejadian atau peristiwa. Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data dan informasi di lapangan adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitataif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian sensus dengan mengambil seluruh data populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pegumpul data yang utama.
Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap responden. Berdasarkan Wahyuni (2004), responden merupakan orang-orang yang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri. Hasil wawancara dicatat dalam catatan harian lapangan yang didokumetasikan oleh peneliti. Kemudian hasil yang diperoleh dideskripsikan oleh peneliti.
Lokasi dan Waktu
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor, Kota Bogor (Lampiran 1). Alasan lokasi tersebut dipilih adalah terjadi perubahan kondisi pada pedagang kaki lima di Stasiun Bogor. Kondisi yang awalnya berantakan kini menjadi tertata dan dikelola dengan rapi. Fenomena tersebut berbeda dengan stasiun lainnya, yang dalam tahun ini mengalami penertiban dengan menggusur para pedagang kaki lima. Selain itu, di lokasi tersebut juga terdapat pedagang dari beberapa etnis yang berbeda.
Penelitian dimulai sejak bulan Februari sampai pertengahan April 2013. Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan studi penjajagan berupa observasi lapang dan melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang dapat memberikan informasi mengenai lokasi ini. Proses pengambilan data dilakukan pada bulan April 2013. Penentuan waktu penelitian tersebut disesuaikan dengan jadwal akademik Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
Teknik Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara mendalam dengan responden. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan metode sensus kepada pedagang kaki lima modern dengan menggunakan kuesioner.
20
Tabel 2 Metode pegumpulan data
Konsep Variabel Metode Pengumpulan
Data Karakteristik
Individu Migran Desa Pedagang Kaki Lima
Etnis
Pengumpulan data primer melalui kuesioner dengan responden pedagang kaki lima
Tingkat Umur Jenis Kelamin Status Perkawinan Solidaritas Migran
Desa Pedagang Kaki Lima
Derajat formalitas hubungan
Derajat ketergantungan anggota
Derajat kerjasama
Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang kaki lima modern di Stasiun Bogor yang merupakan migran desa, yang ada di lokasi penelitian. Untuk memperoleh responden, maka ditentukan kerangka percontohan (sampling frame), yaitu individu di paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor, Kota Bogor.
Jumlah populasi diketahui melalui sensus kepada pedagang kaki lima yang berada di lokasi. Sementara itu, jumlah responden dipilih dari populasi sasaran melalui beberapa proses, seperti pada gambar berikut:
Gambar 2 Alur Pengambilan Responden
Pemilihan responden diawali dengan mengetahui data asal daerah dan etnis, namun data tersebut belum ada. Oleh sebab itu, dilakukanlah sensus kepada seluruh Pedagang Kaki Lima Modern Stasiun Bogor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah dan siapa saja responden yang merupakan migran desa.
Populasi pada penelitian adalah Pedagang Kaki Lima (PKL) Modern Stasiun Bogor
Sensus terhadap PKL,
Untuk mengetahui asal daerah (desa atau kota) dan etnis
Minang Sunda Jawa
21 Sensus sendiri merupakan teknik penelitian pengambilan data dari seluruh jumlah populasi. Namun, penelitian ini tetap menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok.
Setelah melakukan sensus, maka dapat diketahui siapa saja responden yang terlibat dalam penelitian berdasarkan asal daerah. Hasil sensus menunjukkan responden berasal dari daerah Padang, Sunda, dan Jawa. Pada penelitian ini, responden yang terlibat sejumlah 40 orang. Jumlah tersebut ditentukan untuk dapat mengolah data dengan menggunakan SPSS dan menghindari adanya data yang kurang akurat.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Unit analisis penelitian ini adalah individu. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan software SPSS 17.0.
Kemudian untuk menguji hubungan karakteristik individu pedagang kaki lima dengan solidaritas pedagang kaki lima, dianalisis melalui analisis Rank Spearman. Analisis Rank Spearman dengan nilai α (alpha) 20 persen untuk data-data nominal dan ordinal, yaitu (a) hubungan antara tingkat keberagaman etnis dengan derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama (b) hubungan antara jenis kelamin dengan derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama (c) hubungan antara status perkawinan dengan derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama. Selain itu, juga untuk data-data ordinal, yaitu hubungan antara tingkat umur dengan derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama. Hal tersebut berarti bila nilai probabilitas lebih kecil dari nilai α (0.2) hipotesis diterima, yang berarti terdapat hubungan nyata antara variabel. Sebaliknya, apabila nilai probabilitas lebih besar dari nilai α (0.2) hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan antara variabel.
GAMBARAN UMUM KAKI LIMA MODERN STASIUN
BOGOR
Sejarah Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
Menurut Buiten Zorg (2012)9, Stasiun Bogor didirikan pada tahun 1881 oleh pemerintah kolonial Belanda. Stasiun tersebut dibangun sebagai tempat pemberhentian terakhir yang menghubungkan kota Batavia dan Buitenzorg atau pada saat ini dikenal dengan kota Jakarta dan Bogor. Sebelum stasiun ini didirikan, kedua kota tersebut hanya dihubungkan dengan transportasi seperti kereta kuda. Bangunan Stasiun Bogor sampai saat ini belum berubah, termasuk empat bilah pintu dari kayu dan interior yang menghiasi bangunan ini.
Sama seperti tempat umum lainnya, Stasiun Bogor mempunyai daya tarik bagi sebagian orang, terutama para pedagang kaki lima, sebagai tempat matapencaharian utama mereka. Bertambahnya jumlah penduduk dan faktor migrasi, memungkinkan bertambahnya jumlah pedagang kaki lima yang menjadikan Stasiun Bogor sebagai tempat strategis untuk usaha perdagangan mereka.
Sebelum bangunan Kaki Lima Modern Stasiun Bogor didirikan, kondisi bangunan stasiun tertutupi oleh tenda-tenda dan hamparan lapak pedagang kaki lima, serta angkutan umum yang menurunkan dan menaikan penumpang. Hal tersebut membuat ketidaknyamanan bagi para penumpang kereta api. Namun, sejak didirikan bangunan pedagang kaki lima modern, kondisi pedagang yang semula berantakan, kini lebih terkesan rapi dan nyaman untuk dilalui oleh para penumpang atau pengunjung stasiun. Selain itu, pedagang kaki lima ini memiliki tempat dan bangunan sendiri yang tertata rapi dan bersih serta berada pada lokasi resmi milik PT KAI. Kondisi tersebut bertentangan dengan konsep pedagang kaki lima menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002. Konsep pedagang kaki lima yang dikemukakan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002 sebagai perorangan atau pedagang yang didalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu, yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.
Para pedagang kaki lima modern di Stasiun Bogor bernaung pada paguyuban yang mereka dirikan sendiri. Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor merupakan wadah perkumpulan pedagang kaki lima yang lokasi perdagangannya berada di Stasiun Bogor. Paguyuban ini juga dikenal dengan nama lain yaitu Kalmo yang diambil dari kepanjangannnya kaki lima modern. Kalmo Stasiun Bogor mulai terbentuk pada tahun 2012. Bangunan fisik yang dijadikan sebagai tempat berjualan selesai didirikan setelah bulan Ramadhan, tepatnya bulan September 2012. Namun, paguyuban yang diikuti para pedagang ini sudah ada jauh sebelum bangunan didirikan.
Kalmo Stasiun Bogor terdiri dari dua paguyuban, yaitu paguyuban Awning Selatan dan paguyuban Padasuka. Kedua paguyuban tersebut sudah lama
9
24
terbentuk sebelum didirikannya bangunan Kaki Lima Modern Stasiun Bogor. Namun, baik paguyuban Awning Selatan maupun Padasuka tidak dapat diketahui secara pasti tahun terbentuknya. Menurut ketua paguyuban Padasuka (WN, 50 tahun), paguyubannya secara resmi terbentuk pada tahun 2005. Sementara paguyuban Awning Selatan memiliki umur tiga generasi. Sejak berdiri, kedua paguyuban tersebut sudah terorganisasi dengan baik, yaitu dengan adanya struktur kepengurusan yang bersedia menampung aspirasi kebutuhan anggotanya.
Keberadaan para padagang Kalmo tersebut berada dibawah pengawasan PT KAI Indonesia. Pedagang menyewa tanah milik PT KAI untuk membangun tempat berjualan mereka selama satu tahun. Setelah satu tahun berlalu nantinya pedagang harus membayar sewa kembali untuk memperpanjang kontrak mereka. Berada dibawah naungan PT KAI tentunya terdapat sejumlah peraturan yang harus disepakati dan dipatuhi oleh para PKL. Diantaranya adalah selalu menjaga kebersihan, ketertiban, dan kenyamanan bersama tempat mereka berjualan.
Selain bekerjasama dengan PT KAI, padagang juga terlibat dengan Bank Syari‟ah Mandiri KCP Sudirman dalam hal permodalan dan keuangan. Bank tersebut membina para pedagang dengan memberikan modal bagi usaha mereka, dan seperti sistem simpan pinjam pada umumnya, pedagang kaki lima membayar pinjaman mereka setiap bulannya. Namun, para pedagang merasa senang dengan adanya bantuan lembaga keuangan tersebut, dan berharap usaha mereka bisa tetap bertahan, bahkan dapat berkembang.
Walaupun terikat dengan berbagai peraturan yang diberikan oleh PT KAI dan Bank Syari‟ah Mandiri, para pedagang tetap mempertahankan usahanya di Stasiun Bogor. Hal ini dikarenakan Stasiun Bogor merupakan strategis yang banyak dilalui orang setiap harinya. Terlebih, bangunan Kalmo berada pada pintu keluar yang memungkinkan para penumpang kereta api untuk melewati jalur lokasi perdagangan Kalmo, dan tertarik untuk membeli barang dagangan mereka. Selain itu, rasa nyaman sudah pedagang dapatkan baik dari sisi kebersihan keamanan maupun situasi penjualan.
Karakteristik Pedagang Kaki Lima
Etnis
Padagang Kaki Lima (PKL) modern di Stasiun Bogor umumnya menjadikan usaha perdagangannya sebagai pekerjaan utama. Hal ini dapat diartikan bahwa sumber nafkah utama mereka berasal dari usaha berdagang. Semua pedagang Kalmo tergabung dalam paguyuban, baik paguyuban Awning Selatan maupun Padasuka. Kedua paguyuban tersebut tidak membatasi darimana pedagang tersebut berasal. Oleh karenanya, pada kedua paguyuban terdapat beberapa etnis dan asal daerah baik kota maupun desa. Menurut Undang-Undang No.40 pasal 1 tahun 2008, yang dimaksud dengan etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatan.
25 keragaman pada karakteristik etnis. Daerah Bogor umumnya memiliki etnis sunda dalam menjalankan kebudayannya. Sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa. Wilayah asal etnis ini sebagian besar dari Jawa Barat. Menurut Sulaeman (2007), orang Sunda memiliki karakter Kasundan dalam menjalani hidup. Karakter yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/cerdas). Penduduk yang berasal dari etnis Sunda umumnya mempunyai sifat yang peramah. Budaya mereka terkenal dengan menyukai lalapan sebagai makanan mereka. Pedagang yang berasal dari etnis Sunda sebagian besar datang dari daerah Bogor, khususnya daerah pedesaan, seperti daerah Leuwiliang, Cibereum, dan Dramaga. Tanah Sunda lainnya yang menjadi asal para migran adalah Subang, dan Banten. Para pedagang umumnya merupakan pemilik dan karyawan yang lebih tertarik untuk mencari pekerjaan di kota dibandingkan bekerja di desa mereka sendiri.
Daerah lain yang menjadi asal pedagang kaki lima modern di Stasiun Bogor adalah Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Daerah Jawa Tengah memiliki kebudayaan Jawa dalam menjalani kehidupannya. Penduduk Jawa merupakan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Keberadaannya tidak hanya di pulau Jawa saja, tetapi juga di luar Jawa, bahkan di luar negeri. Karakteristik orang Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan santun, segan, ulet atau rajin, dan suka bekerja keras. Selanjutnya, orang Jawa juga menjaga etika berbicara mereka, baik isi dan bahasa pembicaraan maupun orang yang diajak berbicara. Disamping itu, orang Jawa juga mempunyai sifat menyembunyikan perasaan atau tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung. Menampik keinginan untuk menjaga etika dan sopan santun. Hal tersebut juga dimaksudkan agar tidak mendapatkan pekerjaan di desa mereka. Sektor pertanian yang biasanya menjadi andalan untuk mencari nafkah juga tidak membuat mereka tinggal di desa. Hal ini dikarenakan tidak mempunyai lahan untuk bercocok tanam dan juga terdapat kurangnya minat terhadap sektor pertanian.