Merujuk pada Durkheim yang dikutip Johnson (1986), solidaritas merupakan satu keadaan hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut oleh pengalaman emosional bersama. Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor merupakan wadah bagi kelompok pedagang kaki lima yang juga memiliki solidaritas, baik antar individu maupun kelompok. Solidaritas menurut Durkheim dalam Johnson (1986) terbagi menjadi solidaritas mekanik dan solidarias organik. Solidaritas mekanik berdasarkan pada integritas dan ikatan yang mempersatukan individu dalam organisasi, serta tingkat homogenitas yang tinggi dalam sentimen, kepercayaan, dan sebagainya. Sebaliknya, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar dan rasa saling ketergantungan.
Berdiri sebagai suatu wadah pada bidang perdagangan, paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor cenderung memiliki bentuk solidaritas organik. Latar belakang yang mempersatukan pedagang kaki lima dalam paguyuban adalah keinginan anggota akan imbalan ekonomi (keuntungan) yang diperoleh dari partisipasinya. Motivasi tersebut ada dengan tujuan kenyaman pedagang dalam menjalankan usaha mereka, sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan yang diharapkan dari keuntungan barang dagangan mereka.
Johnson (1986) menyebutkan bahwa kepentingan ekonomi pribadi tidak menjelaskan secara lengkap sifat integrasi sosial yang ada dalam satu organisasi dagang. Ditambahnya, organisasi itu mungkin memperlihatkan saling ketergantungan yang penting antara para anggota yang berpartisipasi dengan masing-masing sumbangan pribadinya, yang tergantung pada sumbangan beberapa anggota lainnya. Kondisi tersebut terjadi pada partisipasi seluruh anggota paguyuban untuk membayar iuran, terutama iuran yang berkaitan dengan keamanan dan kebersihan. Ketika hanya satu pedagang yang membayar iuran untuk kebersihan dan keamanan, tanpa partisipasi dari pedagang yang lain, maka dalam paguyuban akan terjadi kekacauan dan memungkinkan terjadinya pembubaran paguyuban karena tidak dapat membayar petugas kebersihan dan keamanan. Padahal, kebersihan dan keamanan menjadi salah satu peraturan utama yang diterapkan oleh PT KAI kepada para pedagang kaki lima. Selain itu, saling ketergantungan antar anggota paguyuban Kaki Lima Modern dapat terlihat pada sistem sewa lahan dengan PT KAI. Pedagang yang rata-rata memiliki perekonomian menengah ini masih belum mampu untuk menyewa sendiri lahan milik PT KAI, terlebih untuk mendirikan bangunan. Apabila anggota paguyuban lainnya juga menyewa lahan dan meminta ijin untuk mendirikan bangunan, akan memperoleh proses perizinan dengan mudah.
Berdasarkan penelitian, derajat ketergantungan dominan pada kategori tinggi dan pembagian kerja yang tinggi. Hasil tersebut dapat menjadi indikasi kecenderungan bentuk solidaritas organik pada paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor. Selain itu, paguyuban juga cenderung memiliki sifat industrial- perkotaan dibandingkan dengan primitif-pedesaan. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh lokasi perdagangan yang berada di kota. Terkait peraturan, solidaritas organik dalam paguyuban dapat diketahui dengan tidak adanya peraturan resmi
34
yang disepakati bersama, namun peraturan datang dari PT KAI yang terkait sewa lahan dan berbagai peraturan mengenai kebersihan, keamanan, dan kerapihan. Oleh sebab itu, PT KAI disini merupakan badan sosial yang mempunyai wewenang apabila terjadi penyimpangan yang tidak sesuai kontrak yang mereka sepakati.
Derajat solidaritas dalam penelitian ini diukur melalui beberapa variabel, yaitu derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama. Masing-masing dari ketiga variabel tersebut mempunyai pengukuran sendiri dengan skor yang telah ditentukan. Selanjutnya, dilakukan penjumlahan dari ketiga variabel. Berdasarkan hasil dari penjumlahan tersebut, derajat solidaritas digolongkan dalam tiga kategori, yaitu rendah (skor 15-24), sedang (skor 25-33), dan tinggi (skor 34-42). Berikut jumlah dan presentase sebaran derajat solidaritas pedagang kaki lima Stasiun Bogor.
Tabel 5 Jumlah dan presentase sebaran derajat solidaritas pedagang kaki lima Stasiun Bogor, 2013
Derajat Solidaritas Jumlah Responden %
Rendah 4 10.0
Sedang 31 77.5
Tinggi 5 12.5
Total 40 100
ᵃ
Sumber : Dihitung kembali dari Lampiran 4.Tabel 5 menunjukkan bahwa derajat solidaritas dominan sedang, yaitu sebesar 77.5 persen. Jumlah tersebut memiliki selisih yang besar dibandingkan kedua kategori lainnya. Selisih dengan kategori tinggi mencapai 65 persen, sedangkan untuk kategori rendah selisihnya sebanyak 67.5 persen. Berdasarkan hasil tersebut, solidaritas yang dimiliki oleh migran desa pedagang kaki lima modern di Stasiun Bogor berada pada taraf sedang. Rasa solidaritas yang dimiliki oleh para PKL modern ini belum kuat terbentuk sebagai anggota paguyuban.
Hal ini dapat diartikan bahwa rasa solidaritas untuk mempertahankan eksistensi paguyuban belum mencapai maksimal. Faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi antara lain, tidak adanya waktu khusus untuk saling berinteraksi antara sesama anggota pedagang. Seperti halnya pernyataan salah satu pedagang berikut ini:
“...ya sehari-hari selalu begini aja, lebih baik nungguin dagangan dari pada ngobrol-ngobrol. Nanti kalau ada pembeli siapa yang nglayanin?...” (KM, 55 tahun).
Selain itu, pedagang juga menganggap bahwa waktu berdagang mereka sangatlah berharga. Salah satu pengurus paguyuban menyatakan bahwa :
“... pedagang itu berbeda dengan pekerjaan lainnya, kalau ngga dagang ya ngga dapet duit. Beda sama petani yang masih ada harapan dari panennya...” ( WN, 50 tahun)
35 Kedua faktor di atas bukanlah faktor utama yang menyebabkan solidaritas berada pada dominan sedang. Derajat solidaritas tidak terlepas juga dari faktor- faktor lainnya, seperti derajat formalitas hubungan, derajat ketergantungan anggota dan derajat kerjasama. Sama halnya dengan hasil derajat solidaritas, derajat formalitas hubungan dominan pada kategori sedang. Namun, derajat ketergantungan anggota lebih dominan pada kategori tinggi. Sebaliknya, derajat kerjasama dominan pada kategori rendah.
Kondisi tersebut tidak sejalan dengan pendapat Durkheim dalam Johnson (1986) yang menyatakan bahwa interaksi yang semakin bertambah akan meningkatkan kerjasama yang semakin tinggi dan merangsang munculnya gagasan-gagasan baru. Hal ini menjadi sebab pembagian kerja yang meningkat. Perbedaan hasil tersebut juga dijelaskan oleh Durkheim bahwa kondisi tersebut terjadi karena faktor utamanya adalah perubahan-perubahan demografik dan akibatnnya pada frekuensi interaksi antara manusia serta pada perjuangan kopetitif untuk mempertahankan hidup. Oleh sebab itu, hasil derajat kerjasama yang rendah akan tetapi derajat ketergantungan yang tinggi dapat dikarenakan oleh perubahan demografik.
Kedua paguyuban yang ada di paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor sudah lama terbentuk, bahkan sudah mencapai tiga generasi pedagang. Meskipun secara resmi (namun belum berbadan hukum) baru dibentuk pada tahun 2005. Selain itu, perbedaan hasil penelitian dengan pendapat yang dikemukakan oleh Durkheim dalam Johnson (1986) dapat disebabkan bentuk kerjasama yang rendah. Jumlah bentuk kerjasama yang tertinggi yaitu 47.5 persen, pada pedagang yang melakukan dua bentuk kerjasama, yaitu tolong menolong dan musyawarah. Namun, hanya terdapat 1 pedagang atau 2.5 persen pedagang yang melakukan semua bentuk kerjasama.
Derajat Formalitas Hubungan
Sebuah kelompok seperti halnya paguyuban PKL modern di Stasiun Bogor dapat mempunyai tingkat formalitas dalam menjalani hubungan sesama anggota. Merujuk pada Bierstedt dalam Kolopaking (2003), tingkat formalitas suatu kelompok dapat diukur dengan tujuh kriteria, yiatu: 1) mempunyai fungsi dan tujuan yang khas; 2) mempunyai kebijakan umum dalam mencapai tujuannya; 3) mempunyai dan mengembangkan susunan hierarki status; 4) mempunyai wewenang; 5) mengenakan prasyarat; 6) mempunyai property; 7) mempunyai nama atau lambang-lambang. Namun, tidak semua dari ketujuh kriteria tersebut ada pada paaguyuban kaki lima modern Stasiun Bogor.
Kriteria yang tidak ada adalah kriteria keenam, yaitu mempunyai property. Property yang dimaksudkan disini adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh paguyuban untuk dijadikan sarana dan prasana keberlanjutan paguyuban mereka. Menurut ketua paguyuban Padasuka (WN, 50 tahun) dan pengurus paguyuban Awning Selatan (ZK, 52 tahun), mereka tidak mempunyai sekretariat maupun tempat pertemuan khusus yang dimiliki oleh paguyuban. Hal ini dikarenakan paguyuban jarang melakukan pertemuan-pertemuan rutin. Peralatan yang ada hanyalah buku dan ballpoint untuk mencatat iuran yang dilakukan setiap harinya. Namun, catatan khusus mengenai data-data para pedagang belum ada.
36
Kriteria lain yang ada pada paguyuban kemudian di spesifikasikan menjadi: 1) identitas atau nama kelompok, 2) peraturan kelompok, 3) struktur kelompok, 4) persyaratan anggota, 5) tujuan kelompok, dan 6) fungsi tugas. Berdasarkan keenam kriteria tersebut, derajat formalitas terbagi dalam beberapa kategori, yaitu kategori rendah ( skor 11-14), sedang (skor 15-18), dan tinggi (skor 19-22). Skoring tersebut di dapatkan melalui penjumlahan dari semua kriteria tingkat formalitas. Berikut tabel sebaran jumlah dan presentase derajat formalitas pedagang kaki lima Stasiun Bogor.
Tabel 6 Jumlah dan presentase derajat formalitas hubungan migran desa PKL modern Stasiun Bogor
Derajat Formalitas Hubungan Jumlah Responden %
Rendah 4 10.0
Sedang 24 60.0
Tinggi 12 30.0
Total 40 100
ᵃ
Sumber : Dihitung kembali dari Lampiran 7.Berdasarkan Tabel 6, derajat formalitas hubungan di paguyuban pedagang kaki lima modern Stasiun Bogor dominan pada sebaran sedang, yaitu sebanyak 60 persen (24 pedagang). Hal ini berarti bahwa hubungan antar PKL modern di Stasiun Bogor belum mempunyai tingkat formalitas yang kuat seperti hubungan pada lembaga-lembaga resmi. Kondisi tersebut dapat terjadi karena pengaruh dari kriteria tingkat formalitas yang ada pada paguyuban.
Sebanyak 77.5 persen (Tabel 4 dalam lampiran) pedagang mengetahui identitas atau nama paguyuban yang mereka ikuti. Sebaliknya, 22.5 persen sisanya mengaku tidak mengetahui nama paguyuban mereka. Sebagian besar dari yang tidak mengetahui nama paguyuban mereka adalah karyawan yang jarang dilibatkan dalam pertemuan atau musyawarah. Selain itu, juga terdapat pedagang yang tidak terlalu fokus pada paguyuban, sehingga tidak mengetahui identitas atau nama paguyuban mereka.
Menjalankan usaha sebagai PKL modern di Stasiun Bogor tidak terlepas dari sejumlah peraturan. Peraturan tersebut umumnya berasal dari PT KAI dan Bank Syari‟ah KCP Soedirman. Peraturan tersebut berada pada perjanjian kedua belah pihak, baik PKL dengan PT KAI mapun PKL dengan Bank Syari‟ah. Secara hukum, peraturan tersebut bentuknya tertulis, namun sampai kepada pedagang hanya melalui sosialisasi dari mulut ke mulut, sehingga dianggap oleh pedagang tidak berbentuk tertulis.
PT KAI menerapkan sejumlah peraturan yang berkaitan dengan penyewaan lahan. Biaya sewa lahan yang digunakan untuk mendirikan bangunan dibayar setahun sekali, akan tetapi jika sewaktu-waktu PT KAI membutuhkan lahan tersebut, maka pedagang harus siap dengan segala konsekuensinya. Situasi terburuk adalah pedagang harus rela meninggalkan tempat berjualan mereka. Mengenai sistem sewa lahan, PT KAI meminta untuk kepemilikan kios tidak dipindah tangan ke pedagang lain. Ringkasnya, pedagang tidak boleh menyewakan kios mereka kepada pedagang lain. Oleh sebab itu, saat ini sulit bagi
37 pedagang di luar paguyuban yang juga ingin berjualan di kaki lima modern Stasiun Bogor.
Disamping itu, PT KAI juga ketat melakukan peraturan tentang kerapihan, kebersihan, dan keamanan. Setiap pedagang harus menjaga barang dagangannya untuk tidak melewati batas kios yang telah diukur, baik batas tinggi maupun lebar barang dagangan. Batas tersebut ditandai dengan adanya garis merah pada lantai yang ada di setiap kios. Adanya peraturan mengenai batas tersebut membuat kios- kios PKL terlihat rapi dan nyaman untuk dilalui. Akan tetapi, bagi sebagian pedagang merasa dengan adanya batas maka tempat berjualan mereka lebih sempit dari sebelum dibangun dan harus melakukan berbagai cara untuk mengatur barang dagangan mereka agar tidak melawati batas.
Peraturan mengenai keuangan juga datang dari Bank Syari‟ah, khususnya KCP Soedirman. Sama seperti lembaga keuangan lainnya, Bank Syari‟ah meminjamkan dana kepada pedagang, dan memberikan periode pembayaran dari peminjaman tersebut. Namun selain memperoleh pinjaman, pedagang juga memperoleh program pembinaan dari Bank Syari‟ah. Peraturan lainnya adalah adanya beberapa iuran, baik yang bersifat harian maupun bulanan. Iuran tersebut dikumpulkan untuk memberikan honor bagi petugas kebersihan dan keamanan, serta untuk kebutuhan lainnya.
Ada peraturan, maka ada pula sanksi yang mengikuti. Sebagian besar PKL tidak mengetahui adanya sanksi jika melanggar peratuan-peraturan yang ada. Namun, sanksi dari sejumlah peraturan di atas tetap ada dari peringatan secara halus berupa teguran, hingga dipaksa keluar dari tempat berjualan. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada kasus pedagang yang dikeluarkan dari paguyuban.
Walau banyak terdapat peraturan dari pihak luar paguyuban, hubungan antar pedagang lebih fleksible tidak seperti pada organisasi maupun perusahaan- perusahaan besar. Para pedagang berinteraksi secara santai kepada siapapun. Kondisi tersebut terjadi karena tidak ada peraturan-peraturan khusus dari paguyuban sendiri kepada para anggotanya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan derajat formalitas berada pada sebaran sedang.
Paguyuban Awning Selatan maupun paguyuban Padasuka, masing-masing mempunyai struktur organisasi sendiri, yang berbeda pengurus satu sama lain. Struktur tersebut meliputi ketua, wakil ketua, dan bendahara. Selama beberapa tahun, jabatan ketua dan pengurus paguyuban lainnya belum pernah digantikan oleh pedagang lain. Oleh sebab itu, tidak ada penggantian pengurus walaupun setiap tahunnya dilakukan musyawarah kepengurusan, sehingga anggota tidak pernah menggantikan peran pengurus. Lagi pula, seluruh migran desa yang menjadi anggota paguyuban di Stasiun Bogor tersebut tidak mempunyai minat untuk menggantikan peran para pengurus, sehingga para PKL dapat tetap fokus pada usaha dagang mereka.
Memasuki paguyuban Awning Selatan dan Padasuka tidak membutuhkan persyaratan khusus. Pedagang cukup menyetorkan nama dan KTP. Persyaratan yang termasuk mudah tersebut, membuat sebagian besar migran desa yang bekerja sebagai PKL modern di Stasiun Bogor, menganggap tidak ada syarat untuk dapat masuk sebagai anggota. Akan tetapi, kemudahan syarat tersebut tidak berlaku bagi pedagang lain di luar paguyuban yang ingin masuk menjadi anggota dari kedua paguyuban tersebut. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah kios yang disediakan
38
oleh PT KAI. Sejak didirikan bangunan, pemilik kios adalah anggota paguyuban lama yang telah terdaftar.
Tujuan dari mendirikan paguyuban adalah untuk mengelola kebutuhan para pedagang, agar kebutuhan pedagang terpenuhi. Namun, banyak pedagang yang tidak tahu maksud didirikannya paguyuban. Secara umum, yang diketahui oleh para migran desa mengenai tujuan dari paaguyuban adalah untuk memperlancar usaha perdagangan mereka.
Banyak pedagang yang lebih mementingkan untuk menjaga barang dagangnnya dibandingkan untuk berinteraksi dengan pedagang lainnya. Sebagian dari mereka hanya mengenal dan berinteraksi dengan pedagang yang kiosnya dekat dengan mereka. Akan tetapi beberapa pedagang mengenal seluruh pedagang yang ada di paguyubannya. Pedagang tersebut biasanya merupakan pengurus paguyuban atau pedagang yang aktif mengikuti musyawarah.
Derajat Katergantungan Anggota
Menurut Durkheim dalam Johnson (1986), solidaritas terbagi dalam dua bentuk, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik dapat terbentuk dari adanya kesamaan sifat, kepercayaan, dan pola normatif yang dimiliki oleh individu-individu. Selain itu, solidaritas mekanik mempunyai faktor- faktor yang penting, yaitu homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya.
Sebaliknya, solidaritas organik faktor pembentuknya adalah tingkat kesalingtergantungan yang sangat tinggi. Rasa saling tergantung tersebut bertambah besar seiring dengan spesialisasi dalam pembagian kerja, yang memungkinkan perbedaan tingkat individu. Solidaritas ini muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar.
Paguyuban pedagang kaki lima modern Stasiun Bogor mengalami perubahan pembagian kerja sejak didirikannya bangunan oleh PT KAI. Perubahan dari pedagang kaki lima yang biasa menggunakan lapak tidak resmi menjadi pedagang kaki lima modern membuat beberapa perubahan tugas antar anggota. Pembagian tugas tersebut sebagai indikator adanya ketergantungan anggota.
Pada Tabel 7 ditunjukkan bahwa migran desa pedagang kaki lima Stasiun Bogor memiliki derajat ketergantungan anggota yang dominan tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam paguyuban pedagang Kalmo Stasiun Bogor terdapat pembagian kerja yang tinggi. Pembagian kerja tersebut jelas terlihat, baik dalam struktur organisasi maupun dalam tugas kewajiban, seperti bidang kebersihan dan keamanan.
Sebelum adanya bangunan Kaki Lima Modern, pembagian kerja pada bidang kebersihan dan keamanan dilakukan secara bersama-sama. Namun, setelah didirikan bangunan, pembagian kerja pada bidang kebersihan dan kemanan diserahkan pada orang lain, yang khusus bekerja untuk membersihkan dan menjaga keamanan area bangunan Kaki Lima Modern. Petugas kebersihan yang dibayar oleh paguyuban tersebut, bukanlah orang yang bekerja sebagai pedagang. Paguyuban membayar petugas kebersihan dan keamanan setiap bulan melalui iuran bersama. Apabila hanya satu pedagang yang membayar iuran tersebut, sedangkan pedagang yang lain tidak membayar, ataupun ada salah satu pedagang
39 yang tidak membayar iuran, akan terjadi kekacauan dalam paguyuban. Pembayaran untuk keamanan dan kebersihan akan terus menunggak dan akan tercipta rasa ketidakadilan yang dapat mengurangi rasa kepercayaan antar anggota. Akhirnya, tidak menutup kemungkinan akan terjadi pembubaran paguyuban, karena tidak dapat mematuhi peraturan keamanan dan kebersihan yang diterapkan oleh PT KAI. Oleh sebab itu, seluruh pedagang ikut berpartisipasi dan tidak merasa keberatan untuk iuran. Disamping hal tersebut, dengan memberi pekerjaan kepada orang lain juga dapat mengurangi pengangguran, dan kerapihan, keamanan serta kebersihan akan selalu terjaga. Begitu pula dengan pola ketergantungan sistem sewa lahan pada paguyuban Kaki Lima Modern. Apabila hanya satu pedagang yang menyewa lahan, tidak akan memperoleh ijin dari PT KAI. Akan tetapi, jika pedagang yang lain juga bersedia untuk menyewa lahan dan mendirikan bangunan, akan memperoleh kontrak dengan mudah.
Derajat ketergantungan anggota pada penelitian ini menggunakan lima pertanyaan. Kemudian lima pertanyaan tersebut dijumlah. Berdasarkan hasil dari penjumlahan tersebut ditentukan beberapa kategori derajat ketergantungan anggota. Kategori tersebut adalah rendah (skor 1-3), sedang (skor 4-6), dan tinggi (skor 7-10).
Tabel 7 Jumlah dan presentase derajat ketergantungan anggota migran desa PKL modern Stasiun Bogor
Derajat Ketergantungan Anggota Jumlah Responden %
Rendah 0 0.0
Sedang 17 42.5
Tinggi 23 57.5
Total 40 100
ᵃ
Sumber : Dihitung kembali dari Lampiran 5.Berdasarkan Tabel 7, data yang berbeda ditunjukkan pada kategori rendah. Kategori ini tidak memiliki skor satu pun atau 0 persen. Jumlah tersebut membuktikan bahwa pada paguyuban PKL modern di Stasiun Bogor sudah benar- benar mempunyai pembagian tugas. Tabel di atas juga menunjukkan kategori sedang memiliki skor yang tidak terlalu rendah. Selisih dengan kategori tinggi sebesar 15 persen. Namun, jumlah tersebut masih dibawah kategori tinggi. Kedua kondisi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ada atau tidaknya kesulitan dalam menjalankan tugas, memerlukan bantuan pedagang lain, keterlibatan membantu pedagang lain, dan ada atau tidaknya kesulitan jika pedagang lain tidak berjualan.
Sebagian besar migran desa yang bekerja sebagai PKL modern di Stasiun Bogor ini tidak merasa kesulitan dalam menjalankan tugas mereka. Begitupun jika ada pedagang tutup atau tidak berjualan, mereka tidak mengalami kesulitan dalam berjualan. Pedagang berlasan, setiap pedagang akan sibuk dengan dagangannya masing-masing. Selain itu, apabila pedagang lain tidak berjualan, maka dapat mengurangi saingannya untuk berdagang.
Walaupun terdapat persaingan yang tidak tampak, para PKL modern di Stasiun Bogor tetap melakukan tolong menolong. Baik berupa memberi bantuan kepada pedagang lain, maupun meminta atau memerlukan bantuan. Bantuan
40
tersebut biasanya berupa jasa untuk saling menjagakan kios, ketika pedagang sedang memiliki urusan lain dan harus meninggalkan dagangannya. Kegiatan saling membantu di atas juga menjadi salah satu penyebab saling ketergantungan antar anggota menjadi tinggi.
Derajat Kerjasama
Salah satu upaya menjaga solidaritas dalam suatu kelompok adalah dengan adanya kerjasama. Derajat kerjasama pada migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor diukur berdasarkan keterlibatan kerjasama, bentuk kerjasama, dan frekuensi kerjasama.
Hasil dari penjumlahan ketiga pengukuran tersebut dikategorikan menjadi rendah (skor 3-5), sedang (skor 6-8), dan tinggi (skor 9-10). Berdasarkan Tabel 8, dapat diperoleh bahwa derajat kerjasama pada migran desa pedagang kaki lima Stasiun Bogor masih rendah, yaitu 72.5 persen. Jumlah tersebut mempunyai selisih yang besar dibandingkan dengan kategori lainnya. Kerjasama tinggi hanya mencapai 5 persen dengan selisih 17.5 persen dari kategori sedang. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Interaksi menjadi sangat penting dalam menciptakan kerjasama. Seperti yang disampaikan oleh Durkheim dalam Johnson (1986), bahwa interaksi yang semakin bertambah akan meningkatkan kerjsama yang tinggi.
Tebel 8 Jumlah dan presentase derajat kerjasama migran desa PKL modern Stasiun Bogor
Derajat Kerjasama Jumlah Responden %
Rendah 29 72.5
Sedang 9 22.5
Tinggi 2 5.0
Total 40 100
ᵃ
Sumber : Dihitung kembali dari Lampiran 6.Dilihat dari derajat ketergantungan, pembagian kerja diantara pedagang sudah tinggi, sehingga pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilakukan bersama tidak ada, dan dikerjakan oleh orang tertentu saja. Seperti halnya petugas kebersihan dan keamanan. Selain itu, tidak adanya kegiatan bersama yang khusus diadakan untuk menjalin kerjasama antar pedagang. Disamping itu, para pedagang lebih memilih waktu mereka digunakan untuk berdagang, dibandingkan untuk menjalani kegiatan.
Indikator bentuk kerjasama yang digunakan untuk melihat derajat kerjasama, yaitu gotong royong, tolong menolong, musyawarah, arisan, dan imbalan. Bentuk gotong royong tidak dilakukan oleh para migran desa karena tidak ada kegiatan tersebut. Namun, menurut pengurus paguyuban, gotong royong pernah dilakukan sekali pada saat membuat bangunan kaki lima modern yang mereka tempati sekarang ini. Sedangkan untuk tolong menolong dilakukan oleh para migran desa dalam bentuk saling membantu untuk menjaga toko apabila pemiliknya sedang
41 mempunyai urusan lain, membantu mengangkat barang, dan membuka rolling door.
Musyawarah dalam paguyuban Padasuka maupun paguyuban Awning selatan diikuti oleh seluruh anggota paguyuban. Namun, terdapat beberapa anggota yang memilih untuk tidak mengikuti musyawarah, dengan alasan dapat menerima informasi dari pedagang lainnya yang sebagaian besar masih saudara.