Sejarah Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
Menurut Buiten Zorg (2012)9, Stasiun Bogor didirikan pada tahun 1881 oleh pemerintah kolonial Belanda. Stasiun tersebut dibangun sebagai tempat pemberhentian terakhir yang menghubungkan kota Batavia dan Buitenzorg atau pada saat ini dikenal dengan kota Jakarta dan Bogor. Sebelum stasiun ini didirikan, kedua kota tersebut hanya dihubungkan dengan transportasi seperti kereta kuda. Bangunan Stasiun Bogor sampai saat ini belum berubah, termasuk empat bilah pintu dari kayu dan interior yang menghiasi bangunan ini.
Sama seperti tempat umum lainnya, Stasiun Bogor mempunyai daya tarik bagi sebagian orang, terutama para pedagang kaki lima, sebagai tempat matapencaharian utama mereka. Bertambahnya jumlah penduduk dan faktor migrasi, memungkinkan bertambahnya jumlah pedagang kaki lima yang menjadikan Stasiun Bogor sebagai tempat strategis untuk usaha perdagangan mereka.
Sebelum bangunan Kaki Lima Modern Stasiun Bogor didirikan, kondisi bangunan stasiun tertutupi oleh tenda-tenda dan hamparan lapak pedagang kaki lima, serta angkutan umum yang menurunkan dan menaikan penumpang. Hal tersebut membuat ketidaknyamanan bagi para penumpang kereta api. Namun, sejak didirikan bangunan pedagang kaki lima modern, kondisi pedagang yang semula berantakan, kini lebih terkesan rapi dan nyaman untuk dilalui oleh para penumpang atau pengunjung stasiun. Selain itu, pedagang kaki lima ini memiliki tempat dan bangunan sendiri yang tertata rapi dan bersih serta berada pada lokasi resmi milik PT KAI. Kondisi tersebut bertentangan dengan konsep pedagang kaki lima menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002. Konsep pedagang kaki lima yang dikemukakan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002 sebagai perorangan atau pedagang yang didalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu, yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.
Para pedagang kaki lima modern di Stasiun Bogor bernaung pada paguyuban yang mereka dirikan sendiri. Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor merupakan wadah perkumpulan pedagang kaki lima yang lokasi perdagangannya berada di Stasiun Bogor. Paguyuban ini juga dikenal dengan nama lain yaitu Kalmo yang diambil dari kepanjangannnya kaki lima modern. Kalmo Stasiun Bogor mulai terbentuk pada tahun 2012. Bangunan fisik yang dijadikan sebagai tempat berjualan selesai didirikan setelah bulan Ramadhan, tepatnya bulan September 2012. Namun, paguyuban yang diikuti para pedagang ini sudah ada jauh sebelum bangunan didirikan.
Kalmo Stasiun Bogor terdiri dari dua paguyuban, yaitu paguyuban Awning Selatan dan paguyuban Padasuka. Kedua paguyuban tersebut sudah lama
9
BuitenZorg. 2013. Stasiun Bogor [internet]. [diunduh 2013 Jun 15]. Tersedia pada: http://Stasiun Bogor 1904 _ Buiten Zorg.com
24
terbentuk sebelum didirikannya bangunan Kaki Lima Modern Stasiun Bogor. Namun, baik paguyuban Awning Selatan maupun Padasuka tidak dapat diketahui secara pasti tahun terbentuknya. Menurut ketua paguyuban Padasuka (WN, 50 tahun), paguyubannya secara resmi terbentuk pada tahun 2005. Sementara paguyuban Awning Selatan memiliki umur tiga generasi. Sejak berdiri, kedua paguyuban tersebut sudah terorganisasi dengan baik, yaitu dengan adanya struktur kepengurusan yang bersedia menampung aspirasi kebutuhan anggotanya.
Keberadaan para padagang Kalmo tersebut berada dibawah pengawasan PT KAI Indonesia. Pedagang menyewa tanah milik PT KAI untuk membangun tempat berjualan mereka selama satu tahun. Setelah satu tahun berlalu nantinya pedagang harus membayar sewa kembali untuk memperpanjang kontrak mereka. Berada dibawah naungan PT KAI tentunya terdapat sejumlah peraturan yang harus disepakati dan dipatuhi oleh para PKL. Diantaranya adalah selalu menjaga kebersihan, ketertiban, dan kenyamanan bersama tempat mereka berjualan.
Selain bekerjasama dengan PT KAI, padagang juga terlibat dengan Bank Syari‟ah Mandiri KCP Sudirman dalam hal permodalan dan keuangan. Bank tersebut membina para pedagang dengan memberikan modal bagi usaha mereka, dan seperti sistem simpan pinjam pada umumnya, pedagang kaki lima membayar pinjaman mereka setiap bulannya. Namun, para pedagang merasa senang dengan adanya bantuan lembaga keuangan tersebut, dan berharap usaha mereka bisa tetap bertahan, bahkan dapat berkembang.
Walaupun terikat dengan berbagai peraturan yang diberikan oleh PT KAI dan Bank Syari‟ah Mandiri, para pedagang tetap mempertahankan usahanya di Stasiun Bogor. Hal ini dikarenakan Stasiun Bogor merupakan strategis yang banyak dilalui orang setiap harinya. Terlebih, bangunan Kalmo berada pada pintu keluar yang memungkinkan para penumpang kereta api untuk melewati jalur lokasi perdagangan Kalmo, dan tertarik untuk membeli barang dagangan mereka. Selain itu, rasa nyaman sudah pedagang dapatkan baik dari sisi kebersihan keamanan maupun situasi penjualan.
Karakteristik Pedagang Kaki Lima Etnis
Padagang Kaki Lima (PKL) modern di Stasiun Bogor umumnya menjadikan usaha perdagangannya sebagai pekerjaan utama. Hal ini dapat diartikan bahwa sumber nafkah utama mereka berasal dari usaha berdagang. Semua pedagang Kalmo tergabung dalam paguyuban, baik paguyuban Awning Selatan maupun Padasuka. Kedua paguyuban tersebut tidak membatasi darimana pedagang tersebut berasal. Oleh karenanya, pada kedua paguyuban terdapat beberapa etnis dan asal daerah baik kota maupun desa. Menurut Undang-Undang No.40 pasal 1 tahun 2008, yang dimaksud dengan etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatan.
Migran desa yang bekerja sebagai PKL di Stasiun Bogor ini tidak hanya berasal Bogor atau tanah Sunda lainnya, akan tetapi juga dari daerah Jawa dan Sumatera. Kondisi paguyuban yang tidak hanya terdiri dari satu etnis ini membuat
25 keragaman pada karakteristik etnis. Daerah Bogor umumnya memiliki etnis sunda dalam menjalankan kebudayannya. Sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa. Wilayah asal etnis ini sebagian besar dari Jawa Barat. Menurut Sulaeman (2007), orang Sunda memiliki karakter Kasundan dalam menjalani hidup. Karakter yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/cerdas). Penduduk yang berasal dari etnis Sunda umumnya mempunyai sifat yang peramah. Budaya mereka terkenal dengan menyukai lalapan sebagai makanan mereka. Pedagang yang berasal dari etnis Sunda sebagian besar datang dari daerah Bogor, khususnya daerah pedesaan, seperti daerah Leuwiliang, Cibereum, dan Dramaga. Tanah Sunda lainnya yang menjadi asal para migran adalah Subang, dan Banten. Para pedagang umumnya merupakan pemilik dan karyawan yang lebih tertarik untuk mencari pekerjaan di kota dibandingkan bekerja di desa mereka sendiri.
Daerah lain yang menjadi asal pedagang kaki lima modern di Stasiun Bogor adalah Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Daerah Jawa Tengah memiliki kebudayaan Jawa dalam menjalani kehidupannya. Penduduk Jawa merupakan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Keberadaannya tidak hanya di pulau Jawa saja, tetapi juga di luar Jawa, bahkan di luar negeri. Karakteristik orang Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan santun, segan, ulet atau rajin, dan suka bekerja keras. Selanjutnya, orang Jawa juga menjaga etika berbicara mereka, baik isi dan bahasa pembicaraan maupun orang yang diajak berbicara. Disamping itu, orang Jawa juga mempunyai sifat menyembunyikan perasaan atau tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung. Menampik keinginan untuk menjaga etika dan sopan santun. Hal tersebut juga dimaksudkan agar tidak menyakiti perasaan orang lain.
Lain halnya dengan Sunda, pedagang dari Jawa di paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor hanya mempunyai jumlah yang sedikit (Gambar 3). Migran desa yang mempunyai kebudayaan Jawa berasal dari daerah Solo dan Brebes. Migran desa tersebut umumnya bekerja di Stasiun Bogor karena tidak mendapatkan pekerjaan di desa mereka. Sektor pertanian yang biasanya menjadi andalan untuk mencari nafkah juga tidak membuat mereka tinggal di desa. Hal ini dikarenakan tidak mempunyai lahan untuk bercocok tanam dan juga terdapat kurangnya minat terhadap sektor pertanian.
Berbeda dengan kedua etnis sebelumnya, dapat dipastikan seluruh pedagang dari Sumatera berasal dari daerah Padang, dengan membawa kebudayaan Minang yang masih dipegang teguh. Minang merupakan penduduk yang juga mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Sifat lain yang identik dengan orang Minang adalah perasaan yang halus dan sangat peka, setia/loyal yang teguh hati merasa senasib sepenanggungan dan menyatu dalam kekerabatan, bersifat hemat, dan senantiasa berwaspada atau mengambil tindakan berjaga-jaga terhadap kemungkinan bahaya yang akan datang. Orang Minang terkenal dengan jiwa perantauannya ke daerah lain. Umumnya mereka merantau untuk menimba ilmu dan mencari matapencaharian untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka. Bagi yang bertujuan untuk mencari nafkah, sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pedagang, seperti PKL modern yang berada di Stasiun Bogor. Selain itu, mereka juga mampu melihat peluang berusaha di daerah lain yang menjadi tujuan perantauannya. Hal ini disebabkan orang Minang dituntut untuk menggunakan akalnya dalam menjalani kehidupan.
26
Baik pedagang yang berasal dari Sunda, Jawa, maupun Minang, mereka mempunyai pola-pola kebudayaan dibawa dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan pedagang lainnya. Meskipun tidak mereka lakukan dengan sengaja atau tanpa mereka sadari. Berdasarkan etnis, migran desa pada paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor dapat dilihat melalui gambar berikut ini, yaitu:
Gambar 3 Jumlah dan presentase responden berdasarkan etnis
Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah dan presentase etnis Sunda lebih dominan dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu 57.5 persen atau sebanyak 23 pedagang. Jumlah tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti halnya bagi para migran yang bertempat tinggal di Bogor, dengan jarak lokasi perdagangan yang dekat, akan mempermudah dalam melancarkan usaha perdagangan mereka. Selain itu, terdapat beberapa pedagang yang bukan berasal dari Sunda mempekerjakan karyawan yang berasal dari daerah terdekat, seperti Jawa dan Sunda. Alasan pedagang dari etnis lain, terutama etnis Minang lebih mempekerjakan karyawan dari etnis Sunda maupun Jawa adalah orang-orang Jawa lebih terkenal rajin dan ulet dalam bekerja, sedangkan pada etnis Sunda terkenal dengan keramahannya, sehingga diharapkan dapat memperoleh banyak pembeli. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan dari salah satu pedagang yang berasal dari etnis Minang dan mempekerjakan karyawan yang berasal dari Sunda, berikut pernyataannya:
“...ya saya merasa nyaman saja kerja sama karyawan saya, karena dia kan dekat juga rumahnya ya, dan orang Sunda biasanya memang bisa ramah-ramah ya...” (ET, 48 tahun).
Disamping itu, mempekerjakan karyawan yang berasal dari Sunda, terutama yang bertempat tinggal di Bogor, dapat dijadikan alasan bagi pemilik untuk membayar dengan upah yang lebih murah. Meskipun demikian, banyak juga diantara para pedagang yang mempekerjakan karyawannya yang berasal dari keluarga sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk membantu sesama keluarga dan biaya pengeluaran untuk upah tenaga kerja tidak terlalu banyak.
Berdasarkan Gambar 3, jumlah terbanyak kedua adalah migran desa yang berasal dari Minang. Pedagang kaki lima yang berasal dari Minang seringkali
0 10 20 30 40 50 60 70
Minang Sunda Jawa
P e r se n tase R e sp on d e n Etnis %
27 mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada untuk berdagang di mana pun dia berada, termasuk di Stasiun Bogor yang banyak dilalui orang. Oleh sebab itu, jumlah pedagang Minang akan relatif banyak, terlebih bila dijumlahkan dengan pedagang migran yang bukan berasal dari desa. Namun, jumlah tersebut berbeda dengan pedagang yang berasal dari Jawa, dengan presentase lebih sedikit yaitu 5 persen atau jumlahnya sebanyak 2 orang. Jumlah tersebut mempunyai selisih yang jauh berbeda dengan pedagang yang berasal dari Sunda maupun Minang. Hal tersebut dapat disebabkan pada saat sekarang kesempatan untuk menjadi anggota paguyuban Kaki Lima Modern terbatas.
Keberagaman etnis juga dapat diketahui berdasarkan jenis barang yang dijual oleh para PKL modern di Stasiun Bogor. Berikut tabel yang menjelaskan kaitan antara etnis dan jenis barang yang diperdagangkan.
Tabel 3 Jumlah respoden berdasarkan etnis dan jenis barang dagangan
Jenis Barang Dagangan Etnis Total
Minang Sunda Jawa
Aksesoris 0 1 0 1 Makanan/Minuman 3 7 1 11 DVD, Mainan 0 1 0 1 Buah 0 5 0 5 Buku/Koran/Majalah 0 4 0 4 Jam 1 1 0 2 Counter Hp/Pulsa 0 1 0 1 Tas 0 1 0 1 Boneka 0 1 0 1 Kerudung 3 1 0 4 Pakaian 6 0 0 6 Dompet, Topi 1 0 0 1 Kaos Kaki 1 0 0 1 Sepatu 0 0 1 1 Jumlah 15 23 2 40
ᵃ
Sumber : Dihitung kembali dari Lampiran 2.Pedagang yang berasal dari Sunda bergelut pada jenis barang dagangan berupa makanan dan minuman, buah, buku/majalah/koran, aksesoris, DVD, mainan, counter Hp, tas, boneka, jam tangan dan sepatu. Namun, dari semua jenis barang dagangan tersebut, makanan dan minuman, buah, dan buku menjadi paling banyak digeluti pedagang dari tanah Sunda. Hal yang menarik dari pedagang etnis Sunda adalah hubungan kekeluargaan pada pedagang buah dan buku. Pedagang tersebut memiliki ikatan keluarga yang dekat.
Selanjutnya, pedagang yang berasal dari etnis Jawa memiliki usaha penjualan gorengan dan sepatu. Pada penjual gorengan, kios yang di tempatinya adalah kios miliknya sendiri. Namun, pada pedagang sepatu yang berasal dari etnis Jawa ini merupakan karyawan. Kedua pedagang tersebut merupakan migran desa dari tanah Jawa yang dapat ditemui di tanah Sunda.
28
Etnis yang lainnya adalah Minang, yang berasal dari daerah Padang. Apabila melihat secara sekilas di lokasi perdagangan, akan tampak banyak pedagang kaki lima yang berasal dari Minang. Namun, tidak semuanya merupakan migran desa. Banyak dari mereka yang berasal dari perkotaan. Berdasarkan data yang ada, pedagang Kalmo dari etnis Minang sebesar 15 pedagang atau 37.5 persen. Sebagian besar dari mereka berjualan pada usaha pakaian, baik berupa baju, kerudung, maupun aksesoris-aksesorisnya.
Barang dagangan yang dimiliki oleh setiap pedagang umumnya mereka dapatkan dari pedagang lain yang lebih besar, atau penjual grosiran. Kecuali, untuk beberapa pedagang buah, sebagian buah yang mereka jual berasal dari hasil panen mereka sendiri. Pada pedagang pakaian yang hampir seluruhnya berasal dari Minang, akan membeli stok barang dagangnya dari pedagang lain yang juga berasal dari Minang.
Tingkat Umur
Pedagang pada paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor mempunyai umur yang berbeda-beda. Umur tersebut kemudian dikategorikan dalam beberapa tingkatan umur, untuk mempermudah mengetahui karakteristik pedagang berdasarkan umur yang ada. Tingkat umur yang digunakan merujuk pada BPS (2010), yang menggolongkan tingkat umur menjadi umur produktif awal (15-31 tahun), umur produktif pertegahan (32-48 tahun), dan umur produktif akhir (49-64 tahun).
Setelah mengetahui umur dari pedagang, selanjutnya pedagang tersebut digolongkan kedalam umur produktif awal, umur produktif pertengahan, atau umur produktif akhir. Pada paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor, umur migran desa yang termuda adalah 17 tahun, sedangkan umur yang tua adalah 55 tahun. Berikut gambaran mengenai jumlah migran desa ada di Kaki Lima Modern Stasiun Bogor berdasarkan tingkat umur, yaitu:
Gambar 4 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat umur
Jumlah terbanyak migran desa PKL modern di Stasiun Bogor berada pada tingkat umur 15-31 tahun, yaitu sebesar 47.5 persen atau 19 pedagang. Berdasarkan jumlah tersebut, migran yang bekerja sebagai PKL modern di Stasiun Bogor memiliki umur produktif awal yang lebih banyak. Namun, jumlah tersebut
0 10 20 30 40 50 15-31 32-48 49-64 P e r se n tase R e sp on d e n Tingkat Umur %
29 memiliki selisih yang tidak berbeda jauh dengan jumlah tingkat umur produktif pertengahan, yaitu sebesar 7.5 persen atau 3 pedagang. Banyaknya jumlah PKL modern yang berada pada umur produktif awal dan pertengahan mengindikasikan bahwa masih banyak tenaga kerja produktif yang diharapkan lebih memaksimalkan peningkatan usaha perdagangan mereka. Kondisi tersebut sejalan dengan Darmabrata (2004) yang menyatakan bahwa umur produktif masih memungkinkan seseorang melakukan aktivitas dan mobilitas yang tinggi serta dapat menganalisis lingkungan dan melakukan perhitungan numerik dengan teliti. Umur produktif akhir memiliki jumlah responden yang terkecil, yaitu sebanyak 5 pedagang atau 12.5 persen. Kemungkinan jumlah tersebut ada karena beberapa pedagang mendapatkan usaha mereka dari generasi mereka sebelumnya, dan sekarang diteruskan oleh pedagang yang umurnya lebih muda, dan mereka berada di umur produktivitas awal dan pertangahan. Namun, pedagang yang berada pada umur produktivitas akhir tidak berarti bahwa mereka tidak memiki penerus, akan tetapi lebih memilih untuk memanfaatkan waktu mereka dengan berdagang.
Jenis Kelamin
Pedagang yang tergabung pada Kaki Lima Modern Stasiun Bogor termasuk pedagang yang beruntung, karena dapat memperoleh izin dari PT KAI untuk mendirikan bangunan, meskipun dengan sistem kontrak sewa lahan. Sementara di stasiun-stasiun lain terjadi penggusuran pedagang kaki lima. Untuk mengetahui paguyuban Kaki Lima Modern, dapat ditelusuri melalui karakteristik individu, salah satunya berdasarkan jenis kelamin. Pedagang kaki lima yang terlibat dalam penelitian ini terdiri atas laki-laki dan perempuan. Berikut grafik mengenai jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis kelamin.
Gambar 5 Jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan Gambar 5, jumlah jenis kelamin laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan, dengan jumlah selisih sebanyak 45 persen. Responden perempuan yang berjumlah 11 pedagang, seluruhnya ada pada paguyuban Awning Selatan dan 63.63 persen berasal dari etnis Minang. Hal ini bukan berarti bahwa
0 10 20 30 40 50 60 70 80 Laki-Laki Perempuan P e r se n tase R e sp on d e n Jenis Kelamin %
30
pada paguyuban Padasuka dan etnis selain Minang tidak terdapat perempuan, akan tetapi responden memenuhi kriteria penelitian hanya ada pada paguyuban Awning Selatan, dan sebagian besar berasal dari Minang. Berkaitan dengan jenis barang yang diperdagangkan, berikut jumlah migran desa PKL modern berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 4 Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan jenis barang dagangan
Jenis Barang Dagangan Jenis Kelamin Total
Laki-laki (1) Perempuan (2) Aksesoris 1 0 1 Makanan/Minuman 9 2 11 DVD, Mainan 1 0 1 Buah 5 0 5 Buku/Koran/Majalah 4 0 4 Jam 2 0 2 Counter Hp/Pulsa 1 0 1 Tas 1 0 1 Boneka 0 1 1 Kerudung 0 4 4 Pakaian 3 3 6 Dompet, Topi 1 0 1 Kaos Kaki 1 0 1 Sepatu 0 1 1 Jumlah 29 11 40
ᵃ
Sumber : Dihitung kembali dari Lampiran 3.Angka 1 (satu) dan 2 (dua) pada tabel di atas merupakan bentuk pengkodean yang memudahkan untuk menganalisis data. Angka 1 (satu) merupakan kode bagi jenis kelamin laki-laki, dan dua (2) untuk perempuan. Jumlah 63.63 persen dari jumlah keseluruhan responden perempuan mempunyai jenis barang dagangan berupa pakaian, baik berbentuk baju, kerudung, maupun kaos kaki. Pada pedagang pakaian, diantara mereka tidak hanya terjalin hubungan sosial saja, tetapi juga hubungan keluarga atau satu keturunan. Tabel 4 menunjukkan bahwa pedagang perempuan tidak menjual jenis barang berupa aksesoris, DVD/mainan, buah, buku/ koran/majalah, jam, counter Hp/pulsa, tas, dompet, topi, dan kaos kaki. Sebaliknya, pedagang laki-laki tidak menjual jenis barang dagangan berupa boneka, kerudung, dan sepatu.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan tentang barang yang dijual antara laki-laki dan perempuan, tidak mengindikasikan bahwa jenis barang tersebut hanya dijual oleh pedagang perempuan atau laki-laki saja. Sebagai contoh, ada juga pedagang laki-laki yang menjual boneka, tetapi pedagang tersebut bukan migran yang berasal dari desa. Begitupun dengan jenis barang yang dijual oleh pedagang perempuan.
Pedagang laki-laki hampir seimbang antara paguyuban Awning Selatan (14 pedagang) dan Padasuka (15 pedagang). Pada paguyuban Padasuka, hanya terdapat beberapa pedagang perempuan dan mereka semua yang sehari-harinya berdagang bukan merupakan migran desa.
31 Status Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dalam Statistics Indonesia (2013), yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian berbeda disampaikan oleh BPS (2000) dalam Statistics Indonesia (2013) bahwa seseorang berstatus kawin apabila mereka terikat dalam perkawinan saat pencacahan, baik yang tinggal bersama maupun terpisah, yang menikah secara sah maupun yang hidup bersama yang oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sah sebagai suami istri.
Berdasarkan pengertian tersebut, status perkawinan dalam penelitian ini adalah status pernikahan yang sedang melekat pada PKL modern Stasiun Bogor saat dilakukannya penelitian. Status perkawinan terbagi dalam dua kategori, yaitu menikah dan belum menikah. Gambar 6 menyajikan jumlah responden (PKL modern di Stasiun Bogor yang merupakan migran desa) berdasarkan status perkawinan.
Gambar 6 Jumlah dan presentase responden berdasarkan status pernikahan
Berdasarkan gambar di atas, status perkawinan yang dominan pada PKL modern di Stasiun Bogor adalah menikah, yaitu sebanyak 72.5 persen. Selisih jumlah tersebut sangat bereda dengan status perkawinan yang belum menikah, yaitu sebesar 45 persen. Banyaknya responden yang telah menikah mngindikasikan bahwa semakin banyak orang yang nafkahnya bergantung dari penghasilan berdagang di Stasiun Bogor. Hal ini dikarenakan tidak hanya pedagang saja yang memenuhi kebutuhan hidunya dengan usaha berdagang, tetapi juga keluarga mereka, karyawan, bahkan keluarga karyawan.
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah pedagang perempuan yang menikah sebanyak 6 pedagang, dan belum menikah sebanyak 5 pedagang. Sebaliknya, pada pedagang laki-laki, jumlah pedagang yang belum menikah hanya 6 pedagang dan semuanya berada di paguyuban Awning Selatan.
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Menikah Belum Menikah
P e r se n tase R e sp on d e n Status Perkawinan %