• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study Of Coral Bleaching to the State of Coral Reef and Reef Fish in Weh Island, Sabang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study Of Coral Bleaching to the State of Coral Reef and Reef Fish in Weh Island, Sabang"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PEMU

TERHADAP KO

KARA

SE

INS

UTIHAN KARANG (

CORAL BLEACHI

KONDISI TERUMBU KARANG DAN I

RANG DI PULAU WEH SABANG

MARIA ULFAH

SEKOLAH PASCASARJANA

STITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

HING

)

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis: Kajian Pemutihan Karang

(Coral Bleaching) Terhadap Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karangdi

Pulau Weh Sabang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, November 2011

(4)
(5)

ABSTRACT

MARIA ULFAH. Study Of Coral Bleaching to the State of Coral Reef and Reef Fish in Weh Island, Sabang. Under surpervision of DEDI SOEDHARMA and NEVIATY PUTRI ZAMANI

Sea surface temperature (SST) in Aceh waters had increased 4 oC which reach 33oC. This was the highest temperature recorded compared to the normal averages of 28-30 oC. The rise of SST had led to the death of coral reef. The peak of coral bleaching or bleaching index (BI) occurred on May 2010 which was 45.84 %. Meanwhile, it decreased on July 2010 and February 2011 which were (21,44 and 0,36%), respectively. The genera of Acropora and Pocillopora had a severe impact to the rise of SST which obviously led to the death. Both genera experienced 95% and 80% of bleaching on May 2011 and suffered severe death on July 2011. In addition, these genera were the most vulnerable to the coral bleaching phenomenon. However, there were some coral genera that can tolerate to the environmental changes, among them were Diplostrea and Montipora. The coral bleaching also affected the hard coral cover. In every observation points, the percentages of hard coral cover decreased by 10 to 25 %, The highest decrease percentages of hard coral cover occurred in Tourism regions where in 2009 hard coral cover decreased from 43,54 to 32,39% in 2011. This is because in this region, bleaching index (BI) reached the highest value of 77.07% than in Panglima Laot region and Free Zone which only reached 60.78% and 58.50%, respectively. The high levels of coral mortality resulted to the increasing of algal recruitment or raise percentages of Algal cover. The highest Algal cover found in Sumur Tiga and Ujung Seurawan. Both location showed the raise percentages of Algal cover in 2011 which were 20-35% (48,7% and 51,7%) than in 2009 (13,8% and 32,8%).

(6)
(7)

RINGKASAN

MARIA ULFAH. Kajian Pemutihan Karang (Coral Bleaching) Terhadap Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang Di Pulau Weh Sabang. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan NEVIATY P. ZAMANI.

Saat ini tekanan yang dialami oleh terumbu karang yang paling besar adalah faktor kegiatan manusia, seperti pencemaran dari daratan dan praktek perikanan yang merusak dan telah dianggap sebagai bahaya untuk terumbu karang. Namun sementara masalah ini belum juga terpecahkan selama beberapa tahun belakangan ini telah muncul ancaman lain yang lebih potensial. Fenomena alam yang mengakibatkan tekanan bagi terumbu karang khususnya kenaikan suhu air laut yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat pemutihan karang (Coral Bleaching) yang berujung pada kematian karang tersebut.

Kematian karang yang diakibatkan oleh fenomena kenaikan suhu permukaan laut yang berujung menjadi coral bleaching atau pemutihan karang pada saat ini semakin sering terjadi dan akan diperkirakan terus meningkat dengan perubahan iklim global. Fenomena Pemutihan karang secara besar-besaran telah terjadi di Samudera Hindia hingga Asia Tenggara dan tidak luput juga lepas pantai Sumatera terutama di Pulau Weh Aceh yang disebabkan oleh naiknya suhu permukaan laut. Berdasarkan NOAA 2010, suhu permukaan laut atau Sea Surface Temperature (SST) di daerah tersebut memuncak pada akhir Mei 2010. Suhu air laut saat itu mencapai 33oC, yaitu 4oC lebih tinggi dari suhu rata-rata normalnya yaitu hanya berkisar 28-29 oC.

Penelitian dengan topik kajian pemutihan karang (coral bleaching) terhadap ekosistem terumbu karang di Pulau Weh Sabang ini bertujuan untuk menganalisis struktur karang sebelum dan sesudah terjadinya pemutihan karang massal dan membandingkan kelimpahan ikan pemakan karang (koralivor) dan ikan pemakan alga (herbivor) sebelum dan sesudah terjadinya pemutihan karang massal. Pengambilan suhu rata-rata permukaan laut bulanan diunggah dari satelit NOAA/NESDIS dan pengambilan data pemutihan karang dilakukan pada bulan Mei 2010, Juli 2010 dan Februari 2011. Sedangkan pengambilan data tutupan karang keras dan ikan karang sebelum terjadinya pemutihan karang diperoleh dari data tahunan Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program Marine Aceh serta pengambilan data tutupan karang keras dan data ikan karang dilakukan pada bulan Februari 2011.

Puncaknya terjadi pemutihan karang yaitu pada bulan Mei 2010 sebesar 45,84% dan menurun pada bulan Juli 2010 dan Februari 2011 (21,44 dan 0,36%).

(8)
(9)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

KAJIAN PEMUTIHAN KARANG (

CORAL BLEACHING

)

TERHADAP KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN

KARANG DI PULAU WEH SABANG

MARIA ULFAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

JudulTesis : Kajian Pemutihan Karang (Coral Bleaching) Terhadap Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang di Pulau Weh Sabang

Nama : Maria Ulfah, S.Kel

NRP : C551090101

Program Study : Ilmu Kelautan (IKL)

Disetujui,

KomisiPembimbing

Prof. Dr. Ir. DediSoedharma, DEA Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi DekanSekolahPascasarjana IPB IlmuKelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. DahrulSyah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul: Kajian Pemutihan Karang (Coral

Bleaching) Terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Weh

Sabang dengan baik.

Pada Kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Ir. M. Ali Basyah dan Ibunda Syamsiah yang telah memberikan segala cinta, materi, kasih sayang, pengorbanan dan doa yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sampai jenjang S-2. Serta keluarga Besar Ali Basyah yang telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc, selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Ketua Program Studi Ilmu Kelautan yang dengan penuh perhatian dan kersabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Begen, DEA, selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis.

4. Efin Muttaqin, S.Pi, Yudi Herdiana, M.Si, Fahriza Setiawan, S.Pi, Shinta T. Pardede, M.Sc dan seluruh staff WCS-Program Marine atas fasilitas dan bantuan selama pengambilan data dan pengolahan data. Muliari, S.Kel, Achis M. Seregar S.Pi, M. Aris S.Kel, Indra dan Sari Afriani S.Kel beserta keluarga atas bantuan selama pengambilan data di lapangan.

5. Mitra Bahari-COREMAP II yang memberikan bantuan penulisan tesis.

6. Rekan-rekan mahasiswa IKL ‘09 (Anna, Emmi, Citra, Kahar, Tja, Lumban, Kapten Toni, Roni, Wahyu, Yayan, Yuli, Tyas, Riri dan Reza) terima kasih kalian adalah inspirasi terbesar dalam hidup ini.

7. Iko Imelda Arisa, S.Kel, Suri Purnama Febri, S.Kel, Nurfadillah, M.Si, Putri M. Lestari, M.Si, Drh. Indah Rizki dan teman-teman Wisma AA Cibanteng-Bogor terima kasih atas kebersamaan kita.

8. Yudhi Sukma, S.H. atas dorongan, semangat dan semua keikhlasannya. 9. Rekan-Rekan Ikatan Mahasiswa Pasca Sarjana Aceh (IKAMAPA) atas

motivasi dan dukungannya.

Bogor, Desember 2011

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 7

2.2 Ekosistem Terumbu Karang ... 7

2.2.1 Biologi Karang ... 7

2.2.2 Reproduksi Karanga ... 10

2.2.3 Faktor-Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang ... 12

2.2.4 Bentuk-Bentuk Pertumbuhan Karang ... 13

2.3 Pemutihan Karang (Coral Bleaching) ... 14

2.4 Ikan Pemakan Karang (Koralivor) ... 18

3 METODE PENELITIA ... 23

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

3.2 Alat dan Bahan ... 24

3.3 Metode Pengambilan Data ... 24

3.3.1 Suhu Permukaan Laut (SST) ... 24

3.3.2 Pemutihan Karang (Coral Bleaching) ... 25

3.3.3 Persentase Tutupan Karang ... 26

3.3.4 Kelimpahan Ikan Karang ... 26

3.4 Analisa Data ... 27

3.4.1 Pemutihan Karang (Coral Bleaching) ... 27

3.4.2 Persentase Penutupan Karang ... 27

3.4.3 Indeks Mortalitas Karang (IMK) ... 28

3.5 Ikan Karang ... 28

3.5.1 Kelimpahan Ikan ... 28

3.6 Analisis Data ... 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Suhu Permukaan Laut (Sea Surface Temperature) ... 29

4.2 Pemutihan Karang (Coral Bleaching) ... 31

4.2.1 Perbandingan Katagori Pemutihan Karang ... 31

4.2.2 Indeks Pemutihan (Bleaching Index) Pada Setiap Lokasi .... 33

(20)

4.2 Penutupan Substrat Dasar ... 39

4.3.1 Persentase Tutupan Karang Keras (Hard Coral) ... 39

4.3.2 Indeks Mortalitas Karang ... 43

4.3.3 Pengelompokan Lokasi Pengamatan dan Analisis Komponen Utama sebelum pemutihan karang massal ... 44

4.3.4 Pengelompokan Lokasi Pengamatan dan Analisis Komponen Utama sesudah pemutihan karang massal ... 45

4.4 Kelimpahan Ikan Karang ... 46

4.4.1 Kelimpahan Ikan Pemakan Karang (Koralivor) dan Pola Hubungan dengan Persentase Tutupan Karang ... 48

4.4.2 Kelimpahan Ikan Pemakan Alga (Herbivora) dan Pola Hubungan dengan Persentase Tutupan Alga ... 51

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Perumusan masalah dan kerangka pikiran ... 4 2. Anatomi hewan karang ... 9 3. Siklus reproduksi seksual karang ... 11 4. Peristiwa coral bleaching seluruh dunia ... 17 5. Peta lokasi penelitian ... 24 6. Contoh kategori pemutihan karang pada genera Porites ... 25 7. Ilustrasi teknik pengumpulan data substrat dasar dengan

menggunakan transek garis menyinggung ... 26 8. Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan karang dengan

menggunakan sensus transek sabuk (Belt Transect Census) ... 26 9. Rata-rata suhu permukaan l aut pada wilaya perairan Pulau Weh

Sabang dari Januari 2009 sampai Maret 2011 ... 29 10. Suhu permukaan laut bulan Mei 2010, Juli 2010 dan Februari 2011 30 11. Persentase Pemutihan Karang (Coral Bleaching) Setiap Kategori

Pada bulan Mei 2010, Juli 2010 dan Februari 2011 ... 31 12. Index pemutihan karang (coral bleaching) bulan Mei 2010, Juli

2010 dan Februari 2011 disetiap stasiun pengamatan ... 35 13. Persentase kategori pemutihan karang berdasarkan tingkat genus

karang pada. A.) bulan Mei 2010 dan B.) Juli 2010 ... 37 14. Persentase kategori pemutihan karang berdasarkan tingkat genus

karang pada bulan Februari 2011 ... 38 15. Persentase penutupan karang keras (hard coral) dan tutupan Alga

(24)

21. Sebaran kelimpahan ikan pemakan karang (koralivor) dengan

persentase penutupan karang keras (hard coral) ... 49 22. Analisis komponen utama (PCA) ikan koralivor dan ikan karang

pada masing-masing lokasi pengamatan ... 50 23. Sebaran kelimpahan ikan pemakan alga (herbivor) dengan

tutupan alga ... 52 24. Analisis komponen utama (PCA) ikan herbivor dan alga pada

masing-masing lokasi pengamatan ... 53

(25)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Terumbu karang dapat ditemukan sepanjang pantai pulau dan benua di perairan tropis. Penyusun utama substrat karang adalah kalsium karbonat yang berasal dari karang Scleractinia yang sudah mati ataupun hidup. Terumbu karang juga merupakan salah satu ekosistem utama di muka bumi dengan penghuni utama adalah karang keras (karang batu). Struktur karang sangatlah unik dan mengagumkan yang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip dan sangat spesifik karena pada umumnya hanya terdapat di perairan laut tropis.

Saat ini tekanan yang dialami oleh terumbu karang yang paling besar adalah faktor kegiatan manusia, seperti pencemaran dari daratan dan praktek perikanan yang merusak dan telah dianggap sebagai bahaya untuk terumbu karang. Namun sementara masalah ini belum juga terpecahkan selama beberapa tahun belakangan ini telah muncul ancaman lain yang lebih potensial. Fenomena alam yang mengakibatkan tekanan bagi terumbu karang khusunya kenaikan suhu air laut yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat pemutihan karang (Coral Bleaching) yang berujung pada kematian karang tersebut.

Suhu air laut di suatu daerah sangat ditentukan oleh banyaknya transfer bahang yang terjadi antara atmosfer dan lautan. Jumlah bahang dari sinar matahari paling banyak diterima oleh daerah di lintasan matahari yaitu daerah tropis. Hal ini menyebabkan variabilitas suhu harian di permukaan laut daerah tripis relative besar karena pengaruh siang dan malam, namun variabilitas musimnya kecil, karena pengaruh musim tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan daerah di lintang sedang dan tinggi (Wyrtki 1961).

Prediksi para peneliti mengenai salah satu ancaman nyata dari perubahan iklim global mulai semakin terasa. Pemutihan karang atau yang umum disebut

(26)

2

Pada tahun 1998 telah terjadi pemanasan global di kawasan Indo-Pasifik yang telah mempengaruhi sebahagian besar terumbu karang Indonesia, sehingga terjadinya peristiwa pemutihan karang yang di ikuti kematian massal mencapai 90-95%. Pada saat pertengahan tahun 2010 yaitu pada bulan Mei telah terjadinya kenaikan suhu perairan laut di Laut Andaman yaitu mencapai 34oC (93oF) – 4oC lebih tinggi dari nilai rata-rata suhu perairan laut, yang akibatnya banyak terumbu karang pada daerah Laut Andaman dan sekitarnya mengalami pemutihan hingga 75% dan pada bulan Juli akumulasi tekanan panasnya bahkan lebih besar dibandingkan tahun 1998 (WCS 2010).

Peneliti-peneliti di ARC Centre for Coral Reef Biodiversity School of Marine Biology and Aquaculture James Cook University Australia mengatakan bahwa kondisi karang dunia saat ini mengalami kondisi yang sangat buruk. Mereka juga melaporkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir ini banyak terumbu karang yang menderita dan mati akibat pemutihan karang di Samudera Hindia hingga Asia Tenggara yang merupakan kelanjutan bleaching yang terjadi sepanjang Seychelles hingga Sulawesi dan Filipina, termasuk Sri Langka, Burma, Thailand, Malaysia, Singapura, dan berbagai lokasi di barat dan timur Indonesia.

Sejumlah besar air laut memanas pada kawasan Samudera Hindia bagian timur pada beberapa bulan lalu yang mengakibatkan peristiwa pemutihan karang massal. Pada bulan Mei para ahli peneliti ekologi laut dari Wildlife Conservation Society, dan Universitas Syiah Kuala terdeteksinya pemutihan untuk pertama kalinya di Aceh. Pemutihan ini terjadi sebagai efek dari peningkatan suhu permukaan laut di Laut Andaman. Sekitar 80% dari beberapa spesies dilaporkan mati dan ini salah satu kematian karang terburuk yang pernah tercatat di Aceh.

Fenomena ini bukan hanya tentang suhu permukaan yang memanas, akan tetapi dapat mempengaruhi kehidupan puluhan juta orang, dan berpotensi mengancam stabilitas daerah Aceh. Kerusakan ekosistem terumbu karang akibat pemutihan akan memberikan dampak yang sangat merugikan, baik dari segi ekologis maupun ekonomis (Zamani et al. 1999).

1.2Perumusan Masalah

(27)

sering terjadi dan akan diperkirakan terus meningkat dengan perubahan iklim global. Fenomena pemutihan karang secara besar-besaran telah terjadi di Samudera Hindia hingga Asia Tenggara dan tidak luput juga lepas pantai Sumatera terutama di Pulau Weh Aceh yang disebabkan oleh naiknya suhu permukaan laut. Berdasarkan NOAA 2010, suhu permukaan laut atau Sea Surface Temperature (SST) di daerah tersebut memuncak pada akhir Mei 2010. Suhu air laut saat itu mencapai 34oC, yaitu 4oC lebih tinggi dari suhu rata-rata normalnya. Hasil penelitian tim lembaga peneliti Wildlife Conservation Society

(WCS) Indonesia Program Marine Aceh mengatakan bahwa, telah terjadi pemutihan karang massal di perairan laut Aceh yang memuncak pada bulan Mei 2010.

Dengan demikian penelitian lanjutan terhadap pemutihan karang yang terjadi di Pulau Weh perlu untuk dikembangkan salah satunya adalah menganalisis struktur karang sebelum dan sesudah terjadinya pemutihan karang massal. Ikan karang yang dikaji dalam penelitian ini meliputi ikan pemakan karang (koralivor) dan ikan pemakan alga (herbivora). Ikan-ikan ini merupakan sebagai ikan indikator kondisi karang dan merupakan penghuni terumbu karang sejati, sehingga apabila terjadi degradasi terhadap ekosistem terumbu karang, kehadiran ikan-ikan ini dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menilai kondisi terumbu karang dan juga berperan sebagai bioindikator terhadap kondisi terumbu karang (Reese 1981).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai pemutihan karang massal (mass coral bleaching) pada daerah perairan Pulau Weh Aceh bertujuan untuk:

1. Menganalisis struktur karang sebelum dan sesudah terjadinya pemutihan karang.

(28)

4

Keterangan: = langsung = tidak langsung

= ruang lingkup penelitian

Gambar 1 Perumusan masalah dan kerangka pikiran

Tekanan dari alam Antropogenik

Global climate change-

Peningkatan suhu permukaan laut

Terumbu Karang

Pemutihan Karang Massal

(Coral Bleaching)

Penurunan kelimpahan karang keras

Penurunan kelimpahan Ikan karang

Kajian kondisi terumbu karang dan ikan karang

1. Struktur karang

(29)

1.4Manfaat Penelitian

(30)
(31)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Pulau Weh dengan Ibukota Sabang merupakan pulau yang terletak di ujung Pulau Sumatra yang termasuk ke dalam Pemerintahan Aceh. Sebelah Utara Pulau Weh berbatasan langsung dengan wilayah negara India (Kepulauan Nicobar) sedangkan bagian Barat Daya berbatasan dengan Samudera Hindia dan Kepulauan Aceh. Kotamadya Sabang memiliki empat pulau kecil lainnya yang mengelilingi Pulau Weh antara lain yaitu Pulau Klah, Pulau Seulako, Pulau Rubiah dan Pulau Rondo. Pulau Rondo ini merupakan pulau yang terluar dibagian Barat Indonesia yang berbatasan langsung dengan Kepulauan Nicobar (India).

Topografi Pulau Weh didominasi oleh daratan berbukit sampai pergunungan (52%), perbukitan (35%), daratan bergelomnang (10%) dan daratan rendah/rata (3%). Pulau weh juga merupakan tipe pulau vulkanik dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah dan pada umumnya hanya cocok untuk ditanami tanaman keras (tahunan) seperti kelapa, cengkeh, dan kakao. Berdasarkan tipe geologis batuan penyusunnya Pulau Weh terdiri dari 70% batuan vulkanis, 17% batuan sedimen dan 13 % sisanya merupakan daerah alluvial (Yulianto 2007).

Kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Weh, merupakan salah satu kawasan terumbu karang yang masih terjaga kondisinya dengan baik di kawasan Indonesis bagian barat. Hanya sedikit dari luasan terumbu karang tersebut yang telah dikelola dengan baik (WCS 2005 ; 2006), yaitu di kawasan wisata di ujung Pulau Weh dan di beberapa daerah yang memiliki peraturan data setempat (bagian perairan timur Pulau Weh), dimana pada daerah- daerah ini terdapat aturan yang tidak memperbolehkan penggunaan jaring untuk menangkap ikan di wilayah laut tersebut berdasarkan kesepakatan lokal. Luas wilayah laut yang di jadikan daerah perlindungan laut (kawasan wisata), hanya sekitar 15% dari total keseluruhan luas terumbu karang di Pulau Weh (Ardiwijaya 2007).

2.2Ekosistem Terumbu Karang 2.2.1 Biologi Karang

(32)

8

merupakan penamaan umum untuk spesies dari kelompok Cnidaria. Spesies yang memiliki kerangka kersa dikenal dengan nama karang batu (hard coral) yang merupakan anggota dari kelas Anthozoa. Kelas Anthozoa ini terbagi menjadi dua sub kelas yaitu Zoantharia yang merupakan kelompok karang keras dapat dicirikan dengan enam buah tentakel, sedangkan Alcynaria yang merupakan kelompok karang lunak yang dicirikan dengan delapan buah tentakel (Veron 1993).

Terumbu karang juga merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi sehingga kadang-kadang ekosistem terumbu karang diandaikan seperti “oase” ditengah gurun pasir yang gersang (Nontji 1993). Veron (1995) mengatakan bahwa hewan karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan perairan, terutama suhu, salinitas, sedimentasi, dan eutrofikasi serta memerlukan kualitas perairan yang alami.

Karang terdiri dari satu jenis polip atau lebih yang menutupi permukaan kerangka luar dari kapur yang dihasilkan oleh epidermis. Kerangka itu akan terus menerus bertambah karena tumbuh menurut tinggi dan diameternya. Kerangka karang (skeleton) tersusun atas karbonat (CaCO3) yang disekresikan oleh epidermis pada bagian tengah di bawah polip. Proses sekresi menghasilkan rangka kapur berbentuk cawan tempat polip karang menetap. Cawan tersebut dikenal dengan calyx, dinding yang mengelilingi disebut epitheca, sedangkan dasar cawan disebut lempeng basal. Lempeng ini juga sebagai pondasi dari septa, keseluruhan skeleton yang terbentuk oleh keseluruhan corralite, sedangkan keseluruhan skeleton yang dibentuk oleh keseluruhan corralite disebut corralum. Septa yang tumbuh sampai dinding terluar disebut costae, pada bagian dalam septa tertentu sering dilanjutkan suatu struktur yang dinamakan pali. Sedangkan columella

merupakan struktur yang berada di dasar dan tengah koralit yang sering merupakan kelanjutan dari septa (Mapstone 1990; Suharsono 1996).

(33)

jaringan karang yang dikenal dengan Zooxanthella yang merupakan kelompok mikroalga (Veron 1993).

Karang terdiri atas polip-polip yang dapat hidup berkoloni, muapun soliter. Ukuran diameter polip karang yang berbentuk koloni umumnya adalah 1-3 mm, sedangkan diameter polip karang yang menyendiri atau soliter jauh lebih panjang dan bias mencapai 25 cm (Goreau et al. 1982 ; Barnes 1980). Goreau et al. (1982) mengatakan bahwa ukuran polip karang soliter sangatlah bervariasi mulai dari ukuran 0,1 sampai lebih dari 20 cm.

Gambar 2 Anatomi hewan karang.1) Air laut di rongga gastrovaskular; (2) Gastrodermis; (3) Zooxanthellae pada gastrodermis; (4) Mesoglea; (5) Epidemis; (6) Matriks dengan endapan kalsium karbonat; (7) Skeleton (Birkeland 1997).

[image:33.612.127.487.237.547.2]
(34)

10

memangsanya maka polip ini akan mengecil dan berada dalam cangkang (Barnes 1980).

Menurut sumich dsn Burke et al. (2002) karang dapat menghasilkan komponen senyawa inorganic yang berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida yang diperlukan untuk keperluan hidup zooxanthella, sedangkan zooxanthella dalam simbiosis dengan hewan karang menghasilkan oksigen dan senyawa organic melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh hewan karang. Bentuk simbiosis yang terjadi antara hewan karang dengan zooxanthella adalah simbiosis multualisme dimana zooxanthella membantu dalam pembentukan kerangka.

Asosiasi simbiotik antara zooxanthella dengan hewan karang sangat erat, zoxanthella merupakan penentu utama untuk proses metabolisme, dan juga untuk membentuk kerangka dan sebaran vertical hewan karang tersebut. Selain itu zooxanthella juga terdapat dalam berbagi jenis invertebrate di daerah terumbu karang sehingga memberi petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam ekosistem terumbu karang (Nyabakken 1992 dan Nontji 1987).

2.2.2 Reproduksi Karang

Reproduksi hewan karang dapat terjadi secara seksual maupun non seksual. Reproduksi Aseksual karang dilakukan dengan cara membentuk tunas. Tunas ini biasanya akan tumbuh di permukaan bagian bawah atau pada bagian pinggir koloni karang. Tunas baru akan tetap melekat hingga ukuran tertentu sampai dapat melepaskan diri dan menjadi individu baru. Pembentukan tunas ini dapat terjadi dilakukan dengan cara pertunasan intretentakular, yaitu pembentukan individu baru dalam individu lama, sedangkan pertunasan ekstrakurikuler merupakan pembentukan individu lama (Suharsono 1996).

(35)

spesies-spesies dari genus Montastraea, dan juga pada genera lain seperti

Montipora, Platygra, Favia dan Favites (Harrison dan Wallace 1990). Dalam beberapa spesies Montipora dan Acropora, telur dan sperma di lepaskan dalam suatu kantung, kemudian mereka mengapung di permukaan air dimana mereka terpisah dan fertilisasi akan berlangsung. Beberapa saat kemudian, zigot akan berkembang menjadi larva yang disebut planula.

Hasil kajian Rani (2004) melaporkan bahwa karang Acropora nobilis dan

Pocillopora verrucosa memiliki tingkah laku pemijahan yang hermafrodit simultan (broadcast spawning simultaneous hermaphrodite), namun kedua karang ini memiliki tipe tingkah laku berpijah yang berbeda. Karang A. nobilis

melepaskan gametnya dalam satu paket buntelan telur-sperma (egg-sperm bundles) dengan warna putih dan pada umumnya berwarna putih kekuning-kuningan, sedangkan karang P. verrucosa melepaskan gametnya secara bebas dan terpisah antara telur dan sperma dengan dengan 3 tipe tingkah laku polip dalam pelepasan gamet (telur saja, sperma saja dan telur dan sperma).

Gambar 3 Siklus reproduksi seksual karang (Timotius 2003)

Ket: Telur & sperma dilepaskan ke kolom air (a) fertilisasi menjadi zigot terjadi di permukaan air (b) zygot berkembang menjadi larva planula yang kemudian mengikuti pergerakan air . Bila menemukan dasaran yang sesuai, maka planula akan menempel di dasar (c) planula akan tumbuh menjadi polip (d) terjadi kalsifikasi (e) membentuk koloni karang (f) namun karang soliter tidak akan membentuk koloni

(36)

12

dibekalizooxanthellae oleh induknya sehingga memiliki energi yang cukup untuk melakukan penyebaran lebih jauh (Birkeland 1997).

Reproduksi karang umumnya terjadi ketika bulan purnama atau di saat suhu air laut hangat. Pada saat bereproduksi, sebagian besar karang melepaskan sel-sel telur dan sperma secara bersamaan ke kolom perairan, sehingga perairan terlihat keruh, dan pembuahan terjadi di kolom perairan. Setelah di buahi oleh sperma sel-sel telur akan menjadi larva polip karang yang berkembang di kolom perairan, yang disebut planula. Planula akan mencari substrat keras dengan air laut bersih dan jernih untuk untuk kemudian menempelkan dirinya dan tumbuh menjadi polip. Seiring pertumbuhan polip, zooxanthellae pun tumbuh dalam jaringan polip. Lalu, polip kembali membelah atau bertunas dan menghasilkan polip-polip baru secara bertahap, hingga akhirnya membentuk koloni karang yang utuh (Razak 2005).

2.2.3 Faktor-Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang

Terumbu karang memiliki factor-faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Faktor-faktor itu antara lain adalah kecerahan, cahaya, suhu, salinitas, pergerakan air dan substrat. Menurut Nybakken (1992) faktor lingkungan mempunyai pengaruh cukup besar terhadap pertumbuhan karang.

Diantara faktor-faktor lingkungan itu, menurut Nybakken (1992) suhu merupakan faktor lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan organisme laut termasuk karang itu sendiri. Pernyataan ini juga di perkuat oleh Levinton (1977) yang mengatakan bahwa beberapa pengaruhnya dapat dilihat pada kecepatan metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi, dan perombakkan bentuk luar dari karang.

Secara rinci kondisi lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan karang adalah suhu air lebih dari 18oC, pada kedalaman 50 m dengan kandungan kadar garam 30-36 ‰, pengendapan yang rendah, air yang bebas dari polusi, harus ada lebih dahulu substrat yang keras untuk menempel (Suharsono 1996 dan Nyabakken 1992).

(37)

permukaan karang, (2) menghambat pertumbuhan karang secara langsung, (3) menghambat planula karang untuk meletakkan diri dan berkembang di substrat, serta (4) meningkatkan kemampuan karang terhadap sedimen.

Menurut Paonganan (2008) mengatakan bahwa konsentrasi nutrient terutama posfat sangat mempengaruhi tinggi rendahnya invasi makroalga. Sedangkan parameter lainya yang juga berpengaruh adalah suhu dan salinitas. Intensitas cahaya, pH, dan laju sedimentasi dapat mempengaruhi invasi makroalga ke koloni karang hidup pada level rendah dan sedang. Kondisiini menunjukkan bahwa laju sedimen tasi, pH dan intensitas cahaya tidak lagi menjadi faktor pembatas pada laju invasi makroalga pada level yang tinggi.

2.2.4 Bentuk-Bentuk Pertumbuhan Karang

Suatu jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang berbeda pada lokasi pertumbuhan. Menurut Maduppa (2006) habitat memiliki efek yang besar terhadap sifat dan laju pertumbuhan. Sifat habitat memiliki pengaruh besar terhadap tipe pertumbuhan dan jenis karang.

Menurut English et al. (1994) bentuk pertumbuhan karang keras terbagi atas karang Acropora dan karang non-Acropora. Karang non-Acropora terdiri atas: 1) Coral Branching (CB), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter

yang dimiliki.

2) Coral massive (CM), berbentuk seperti bola dengan ukuran yang bervariasi, permukaan karang halus dan padat. Dapat mencapai ukuran tinggi dan lebar sampai beberapa meter.

3) Coral encrusting (CE), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil.

4) Coral submassive (CS), cenderung untuk membentuk kolom kecil, wedge-like. 5) Coral foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol

yang pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar.

(38)

14

8) Coral heliopora (CHL), yaitu karang biru.

Untuk karang jenis Acropora English et al. (1994) menggolongkan karang sebagai berikut:

1) Acropora branching (ACB), berbentuk bercabang seperti ranting pohon. 2) Acropora encrusting (ACE), bentuk mengerak, biasanya terjadi pada Acropora

yang belum sempurna.

3) Acropora tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja.

4) Acropora submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh. 5) Acropora digitate, (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti

jari-jari tangan.

2.3 Pemutihan Karang (Coral Bleaching)

Suharsono (1996) mengatakan terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat (CaCO3) yang disekresikan selama jutaan tahun oleh hewan karang (polip coral). Hewan karang bersimbiosis dengan alga zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan karang. Simbiosis yang berlangsung antara hewan karang dengan alga zooxanthella merupakan simbiosis multualisme, dimana zoxanthella mensuplai nutrisi dan hasil fotosintesisinya kepada hewan karang. Sedangkan karang memberi tempat tinggal yang aman dan mensuplai karbondioksida bagi alga zooxanthella.

Suhu air laut di daerah tropis mengalami peningkatan hampir 1oC selama 100 tahun terakhir dan tingakat pertambahannya diperkirakan mendekati 1oC-2oC setiap abad. Bagian utama dari karang pembentuk terumbu yang sehat (reef building corals) sekarang ini hidupnya sudah hampir melampaui batas suhu maksimum. Pertambahan suhu air yang sangat sedikit saja akan membuat terumbu karang mengalami stress/tekanan dan mengalami pemutihan.

(39)

mati dengan cepat dalam jumlah besar setelah terjadi peristiwa Bleaching, yang dapat meluas di laut ribuan kilometer persegi.

Karang sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan, seperti suhu permukaan laut, salinitas, Ph, dan radiasi UV. Coral bleaching dapat di sebabkan salah satunya oleh naiknya suhu permukaan laut sebesar 1-2oC diatas suhu rata-rata. Bleaching merupakan hilangnya pigmen fotosintetik akibat hilangnya zooxanthella dari jaringan karang, sehingga menyebabkan karang berwarna putih pucat (Van Open et al. 2005). Hewan karang bisa pulih kembali dengan menrekrut kembali zooxanthella dari lingkungan perairan ketika kondisi membaik, atau karang bisa mati jika tetap terekspos kondisi ekstrim dalam jangka waktu yang cukup lama. Bleaching tidak hanya terjadi pada karang saja, akan tetapi dapat terjadi pada semua hewan yang bersimbiosis dengan zooxanthella.

Perubahan suhu air laut saat ini telah mengalami perubahan yang cukup mencolok di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang paling parah tercatat pada tahun 1998. Hal ini diduga erat kaitannya dengan terjadinya gejala El Nino yang parah, dimana kolam air hangat yang pada keadaan normal hanya berada di bagian barat Samudera Pasifik, bergeser dan meluas ke timur sampai ke pantai Barat Amerika. Hal ini menyebabkan trend suhu permukaan laut di perairan tersebut termasuk di Indonesia berubah menjadi lebih rendah, karena suhu massa air Airlindo yang melalui perairan Indonesia juga lebih rendah (Wyrtki 1961).

Perubahan suhu yang cukup drastis dalam waktu yang relatif singkat ini mengakibatkan banyak terjadi perubahan factor ekologi di perairan diseluruh dunia. Salah satu akibat yang paling mencolok adalah terjadinya fenomena

bleaching pada ekosistem terumbu karang di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Pada tahun 1998 telah tercatat oleh para peniliti bahwa pada tahun ini merupakan tahun yang sangat berat bagi terumbu karang diseluruh dunia, terutama pada perairan tropis (Marshall and Baird 2000; McClanahan 2000; Loya

(40)

16

mengalami bleaching dengan skala besar. Daerah dengan kondisi bleaching

terparah adalah Samudera Pasifik, Samudera Hindia, Laut Merah, Teluk Persian, Mediterania, dan Karibia.

Warwick dan Suharsono (1990) mengatakan El-nino awalnya adalah istilah untuk arus laut hangat yang muncul setiap tahun pada bulan Desember disepanjang pantai Ekuador dan Peru, dan biasanya bertahan selama beberapa minggu sampai sebulan atau lebih. Namun setiap tiga atau tujuh tahun, gejala El-nino dapat bertahan selama beberapa bulan. El-El-nino dapat terjadi karena pemanasan di ekuator Samudera Pasifik atau karena pemanasan global (global warming).

Banyak ahli yang menyatakan penyebab karang bleaching karena berbagai macam factor seperti tinggi dan rendahnya suhu, tingginya radiasi ultra violet, lamanya area karang yang terkena cahaya matahari secara langsung, tinggi rendahnya kadar salinitas, pemasukan air tawar, tingginya sedimen, polusi dan pengurangan nutrient (Coffort 1990; Glynn 1990; McClanahan 2002 dan Van Open et al. 2005).

Penyebab terjadinya bleaching menurut Zamani (1995) adalah akibat interaksi yang sinergis antara gangguan alam dan aktivitas manusia. Gangguan-gangguan tersebut antara lain adalah tereksposnya hewan karang di udara, herbisida, perubahan salinitas, penambahan konsentrasi logam-logam, penyakit, penjenuhan atau penipisan suplai nutrient, peningkatan suhu, pengerukan, terpapar dengan lumpur hasil pemboran minyak, terlindung dari matahari dan sebagainya. Sebagi tambahan, Brown dan Suharsono (1990) menyatakan beberapa kegiatan manusia seperti pelepasan panas kelaut, pengerukan, pembukaan areal untuk menggali lumpur, alkalin dan minyak yang dapat menyebabkan hilangnya

zooxanthellae.

(41)

panas lebih panjang dibanding tahun 2005 dan menyebar ke area yang lebih luas (WWF 2010).

Pada periode 2005, daerah yang terpengaruh adalah Lesser Antilles di bagian timur Karibia hingga jauh ke selatan di Guadeloupe. Tahun ini 2010,

[image:41.612.144.491.241.530.2]

bleaching dan suhu panas telah merusakkan terumbu karang di Dutch Antilles, termasuk terumbu karang di Panama dan pulau Curacao dekat Venezuela. Tercatat, suhu permukaan air laut pada bulan September 2010 naik menjadi 30,2°C, dari suhu rata-rata perbulannya.

Gambar 4 Peristiwa coral bleaching didunia. (a) Lokasi dan tahun terjadinya bleaching

(dari beberapa sumber: Brown 1987sources; Brown 1987; Glynn 1993, 1996; Coles and Brown 2003;Wilkinson and Souter 2008) dalam Baker et al 2008. (b) Laporan lokasi terjadinya

bleaching: 1, Arabian Gulf (United Arab Emirates, Qatar, Iran); 2, Red Sea; 3, east Africa; 4, Africa Selatan (Mozambique, Africa Selatan); 5, Madagascar; 6, Mauritius, Reunion; 7, Seychelles; 8, Chagos; 9, Maldives; 10, Sri Lanka/India Selatan; 11, Laut Andaman (Andaman, Thailand, Malaysia); 12, Laut China Selatan (Vietnam, Paracel Islands); 13, Philippines; 14, Indonesia; 15, Barat Australia; 16, Great Barrier Reef; 17, Ryukyu Islands; 18, Mariana Islands; 19, Palau; 20, Papua New Guinea, Vanuatu; 21, Fiji; 22, Samoa; 23, French Polynesia (Mencakup Moorea); 24, Pulau Hawai; 25, Timur Island; 26, Pulau Gala ´pagos; 27, equatorial Pacific Timur (Costa Rica, Pulau Cocos, Panama, Colombia, Ecuador); 28, subtropis Pacific Timur (Me ´xico); 29, Sistem Terumbu Mesoamerican (Me ´xico, Belize, Honduras, Nicaragua); 30, Greater Antilles (Cuba, Haiti, Republik Dominican, Puerto Rico, Pulau Virgin); 31, Bahamas, Florida; 32, Bermuda; 33, Lesser Antilles; 34, Curaçao, Aruba, Bonaire, Los Roques; 35, Brazil (Baker et al.

(42)

18

Menurut NASA (2010) merupakan tahun terpanas dalam 131 tahun terakhir. Suhu laut naik diatas rata-rata suhu perairan normal akibat perubahan iklim, peristwa ini terjadi karena adanya peristiwa El Nino (yang ditandai dengan adanya air hangat di pasifik khatulistiwa). Peristiwa ini sangat berbahaya bagi terumbu karang yang dapat menyebabkan pemutihan yang luas. Sebahagian besar pemutihan yang terjadi selama pertengahan tahun ini terkonsentrasi di wilayah Asia Tenggara dan Samudera Hindia bagian timur. Wilayah yang terkena paling keras adalah Thailand (hingga 100% karang menggalami bleaching di semenanjung Thailand), Malaysia, Filipina (diseluruh kepulauan Visayan dan palwan terutama bagian utara), Indonesia (terutama provinsi Aceh dimana 80% dari beberapa spesies mengalamai pemutihan sejak Mei) dan Maladewa (50-70% mengalami pemutihan karang).

2.4 Ikan Pemakan Karang (Koralivor)

Spesies ikan koralivor merupakan sekelompok ikan yang sangat tergantung pada jaringan hidup karang sebagai sumber makanan dan sangat tergantung pada jenis karang yang dimakan. Keberadaan ikan koralivor sangat erat kaitannya dengan kesehatan karang dan menjadi sebagai salah satu indikator perubahan kondisi terumbu karang (Allen 2009).

Maddupa (2008) mengatakan bahwa Ikan Chetodontidae memiliki desain gigi yang mirip sisir. Umumnya memiliki mulut yang lancip dan rahang yang dilengkapi dengan gigi-gigi yang kecil dan tajam untuk mencari makan dicelah-celah batu. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritorial tertentu yang sesuai dengan pewarnaanya yang berguna untuk menyamar dari pemangsaan. Pewarnaan juga sangat penting untuk melindungi diri dari predator dan merupakan jenis ikan diurnal atau aktif pada siang hari serta mencari mengunakan habitat terumbu karang untuk perlindingan pada malam hari.

(43)

punggungnya, sedangkan jenis lain memiliki garis hitam vertikal (Masuda et al. 1984).

Ikan koralivor menghabiskan masa hidupnya dekat dengan substrat. Terdapat lima kategori pemangsaan ikan koralivor yaitu pemangsa karang batu (hard coral), invertebrata sesil termasuk polip karang (invertebrata sesile feeder), invertebrata bentik, omnivor, dan plantonktivor (umumnya zooplankton). Ikan koralivor sangat mungkin digunakan untuk menjadi indikator suatu lingkungan terumbu karang karena hubungannya yang sangat erat dengan substrat karang hidup (Hourigan et al. 1981).

Choat dan Bellwood (1991) membahas interaksi antara ikan koralivor dengan terumbu karang dan menyimpulkan ada tiga bentuk umum interaksi yang diperlihatkan, yaitu :

a. Interaksi langsung, sebagai tempat berlindung dari predator terutama bagi ikan-ikan muda.

b. Interkasi dalam mencari makan, meliputi antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.

c. Interaksi tidak langsung akibat struktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen.

Banyaknya spesies dari kelompok ikan koralivor yang memiliki hubungan yang sangat erat dan kuat dengan karang serta spesies ini banyak bersifat obligate corralivore (pemangsa karang)(Reese 1981; Harmelin-Vivien & Bouchon-Navora 1983 dalam Maddupa 2008). Selain itu, dalam penelitian Maddupa (2008) tingkat pemangsaan ikan ini ditentukan oleh ketersediaan karang sebagai makanannya berdasarkan dari analisa makanan dan kebiasaan makan pada spesies Chaetodon octofasciatus dimana yang menjadi makanan utama dari ikan ini adalah karang yang diidentifikasikan kandungan nematokis sebesar 99,41% dan sebagai makaanan tambahan (insidentil) adalah alga perifitik sebesar 0,59%.

(44)

20

menjadi memutih dan akhirnya mati akibat suhu yang tinggi (30-31oC) (Glynn 1985).

2.5 Ikan Pemakan Alga (Herbivora)

Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling komplek dan memiliki taksonomi struktural yang beragam. Ikan herbivora merupakan suatu komunitas terpenting dalam ketahanan terumbu karang. Cinner et al. (2009) mengatakan perubahan yang mendasar pada struktur habitat terumbu karang akan mempengaruhi berbagai populasi spesies dalam waktu jangka panjang. Hal ini dikarenakan penurunan ketersediaan makanan. Kematian karang akan memberi peluang besar untuk tumbuhnya alga-alga pada substrat dan kelimpahan ikan pemakan alga (herbivora) meningkat.

Ikan herbivora sangat beragam didalam perairan dan bukan merupakan kelompok ekologis yang seragam. Ikan herbivora terdiri dari beberapa kelompok fungsional yang berbeda pada cara makan, apa yang dimakan dan substrat yang mereka sukai. Green dan Bellwood (2009) membagi empat kelompok fungsional ikan herbivora yang berbeda-beda dan masing-masing memiliki peran dalam ketahanan terumbu karang antara lain; Pencakar/ penggali kecil (Scrapers/small excavators): pada katagori ini terdiri dari jenis Parrotfishes (Scaridae) yang menunjukkan dua kelompok yang memilki dua perbedaan yaitu morfologi rahang dan perilaku makan. Mayoritas Parrotfishes (spesies Hipposcarus dan Scarus) ini adalah pencakar dan mengali denagn gigitan untuk mengahilangkan alga, sedimen dan bahan lain yang tertanam dipermukaan karang sehingga meninggalkan bekas gigitan kecil pada substrat karang.

(45)
(46)
(47)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Weh Kota Madya Sabang, Aceh. Pengambilan data ekosistem terumbu karang dilakukan pada Februari 2009 dan Februari 2011-Maret 2011, sedangkan data kondisi karang saat pemutihan (coral bleaching) pengambilannya dilakukan pada bulan Mei 2010, Agustus 2010 dan Febuari 2011.

Pada penelitian ini lokasi pengamatan terdiri dari 13 stasiun pengamatan. Stasiun penelitian pengamatan tersebut adalah: Ujung seurawan, Rubiah Channel, Rubiah Sea Garden, Batee Meuronron, Lhok Weng, Gapang, Sumur Tiga, Ujung Kareng, Reteuk, Benteng, Anoi Itam, Jaboi, Beurawang. Letak posisi pengamatan dan posisi geografis setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 5.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Untuk mendukung pelaksanaan penelitian ini digunakan beberapa alat dan bahan, disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Daftar alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Nama Kegunaan

1. Kapal Sebagai Alat Transportasi Laut

2. GPS (Global Positioning System) Untuk Mengetahui Posisi 3. Alat Selam SCUBA Untuk Melakukan Penyelaman 4. Sabak dan Pensil Alat Tulis Bawah Air

5. Underwater Camera Dokumentasi

6. Buku Identifikasi Karang, dan Ikan Laut Identifikasi

3.3 Metode Pengambilan Data 3.3.1Suhu Permukaan Laut (SST)

(48)

2

[image:48.792.91.683.104.489.2]

4

(49)

sejak bulan Januari 2009 sampai Maret 2011. Data yang di peroleh akan diubah kedalam bentuk grafik dan gambar.

3.3.2 Pemutihan Karang (Coral Bleaching)

Penelitian ini dilakukan di sepanjang tepi terumbu. Pengambilan data pemutihan karang berupa koloni genus karang pada kedalaman 3-6 m. Respon warna berdasarkan pengamatan pada koloni karang dilakukan pada bulan Mei 2010, Agustus 2010 dan Febuari 2010. Karang di catat dengan cara berenang sebanyak 10 kayuhan secara acak, kemudian mencatat semua koloni genus karang dengan radius 2 m dan proses ini diulang sebanyak 30 pengulangan (McClanahan 2002).

Setiap koloni diidentifikasi genusnya dan dikelompokkan ke dalam tujuh kategori: (1) tidak putih (normal), (2) pucat, (3) 0-20% putih, (4) 20-50% putih,

(5) 50-80% putih, (6) 80-100%putih dan (7) mati. Metode pengelompokkan atau perubahan tingkat warna awalnya dideskripsikan oleh Gleason (1993), baru-baru ini di gunakan oleh Marshall dan Baird (2000), dan disahkan oleh Edmunds et al.

[image:49.612.146.473.419.654.2]

(2003).

Gambar 6 Contoh kategori pemutihan karangpada genera Porites .

(50)

26

3.3.3Persentase Penutupan K

[image:50.612.100.486.18.755.2]

Pengambilan data persen (point intercept transect) (En sepanjang 50 meter x 3 ulang menyinggung transek dan bent menggunakan buku identifikas

Gambar 7 Ilustrasi teknik peng transek garis menyi

3.3.4 Kelimpahan Ikan Karan

Pengambilan data ika diidentifikasikan dengan meng Indonesia oleh Kuiter (1992) menggunakan metode sensus English et al. 1997). Data diam dan kiri garis.

Gambar 8 Ilustrasi teknik pe sensus transek sa

an Karang

sen penutupan karang dilakukan dengan metode English et al. 1997). Dengan membentang rollm angan. Data yang diambil berupa genus karang

entuk pertumbuhan karang. Identifikasi genus ka kasi Veron (2002).

pengumpulan data substrat dasar dengan mengguna nyinggung.

arang

kan karang yaitu berupa jenis (spesies) enggunakan buku identifikasi ikan karang pera 1992) dan Allen (2003) dan jumlah (kelimpahan) de

us transek sabuk (Belt Transect Census) (Brock 1982; diambil di sepanjang transek dengan lebar 2,5 m ka

k pengumpulan data ikan karang dengan mengguna k sabuk (Belt Transect Census).

ode PIT llmeter g yang karang

gunakan

yang perairan dengan k 1982; kanan

(51)

3.4 Analisa Data

3.4.1 Pemutihan Karang (Coral Bleaching)

Indeks pemutihan karang (coral bleaching)/ BI yang dihitung dari persentase pengamatan pada masing-masing enam kategori pemutihan karang (McClanahan 2004):

Bleaching Index (BI) = (0c1 + 1c2 + 2c3 + 3c4 + 4c5 + 5c6 )/5

Dimana : BI = Indeks pemutihan karang C1 = Tidak putih (normal) C2 = Pucat

C3 = 0-20% Putih C4 = 20-50% Putih C5 = 50-80% Putih C6 = 80-100% Putih

3.4.3Persentase Penutupan Karang

Persentase penutupan substrat dasar menggunakan rumus dibawah ini (English et al. 1997):

x100%

L li

Ci =

Dimana : Ci = Persentase penutupan karang hidup

li = Panjang total kategori substrat dasar (cm)

L = Panjang transek (cm)

Data persentase penutupan karang hidup yang diperoleh dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988), yaitu:

(52)

28

3.4.4Indeks Mortalitas Karang (IMK)

Nilai indeks mortalitas karang didapat kan dari persentase penutupan karang mati dan patahan karang yang dibagi dengan persentase karang hidup (modifikasi dari Gomez and Yap, 1988):

B A

A

+ = IM

Dimana : MI = Indeks kematian

A = Persentase karang mati dan patahan karang

B = Persentase karang hidup

3.5 Ikan Karang 3.5.1 Kelimpahan Ikan

Banyaknya individu ikan persatuan luas daerah pengamatan ditunjukkan oleh nilai kelimpahan ikan. Menurut Odum, 1971 kelimpahan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Dimana : N = Kelimpahan individu

n = Jumlah individu ikan spesies i A = Luas area sensus ikan

3.6 Analisis Data

(53)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Suhu Permukaan Laut (Sea Surface Temperature)

Suhu permukaan laut (Sea Surface Temprature) pada daerah perairan Pulau Weh Sabang dipertengahan tahun 2010 yaitu bulan Mei 2010, telah terjadi peningkatan suhu perairan sebesar 4°C dari suhu normal. Data hasil rekaman satelit NOAA (Gambar 9) menyatakan bahwa pada bulan Mei 2010 suhu permukaan laut pada lokasi pengamatan (bulatan merah) mencapai 33°C dimana nilai suhu ini lebih tinggi dari nilai rata-rata suhu perairan laut untuk ekositem terumbu karang pada umumnya. Menurut Birkeland (1997) suhu optimum untuk terumbu karang adalah 26 – 28°C.

Pada pengamatan bulan Juli 2010 dan Februari 2011 suhu permukaan laut mengalami penurunan (Gambar 10). Penurunan suhu terjadi mulai 30°C pada bulan Juli 2010 dan 28°C pada bulan Februari 2011. Penurunan suhu permukaan laut di karenakan pada saat bulan Juli 2010 dan Februari 2011sudah kembali dalam kondisi normal.

Gambar 9 Rata-rata suhu Bulanan permukaan laut pada wilayah perairan Pulau Weh Sabang dari Januari 2009 sampai Maret 2011.

26 28 30 32 34

S

S

T

(

C

)

Jan-09 Feb-09Mar-09 Apr-09 May-09 Jun-09 Jul-09 Aug-09 Sep-09 Oct-09 Nov-09 Dec-09 Jan-10 Feb-10Mar-10 Apr-10 May-10 Jun-10 Jul-10 Aug-10 Sep-10 Oct-10 Nov-10 Dec-10 Jan-11 Feb-11

Tahun

S

S

T

(

C

(54)
[image:54.612.94.487.52.682.2]

30

(55)

4.2 Pemutihan Karang (Coral Bleaching)

4.2.1 Perbandingan Katagori Pemutihan Karang

Pemutihan karang atau yang dikenal juga dengan sebutan coral bleaching

[image:55.612.117.496.323.621.2]

ini merupakan suatu respon visual yang sangat mencolok dan sering dikaitkan dengan naiknya suhu permukaan laut serta gangguan dari lingkungan terhadap terumbu karang (Obura 2005). Beberapa peneliti melihat kejadian pemutihan karang sebagai suatu gejala stress lingkungan dan merupakan indikator penyakit serta berisiko kematian. Sedangkan para peneliti lain melihatnya sebagai adaptasi hewan karang untuk perubahan kondisi lingkungan (Sebastian 2009). Dari hasil survey pengamatan yang dilakukan pada bulan Mei 2010, Juli 2010 dan Februari 2011 menunjukkan bahwa katagori pemutihan karang pada setiap pengamatan mengalami perubahan yang kontras (Gambar 11).

Gambar 11 Persentase katagori pemutihan karang (coral bleaching) pada bulan Mei 2010, Juli 2010 dan Februari 2011.

Pada pengamatan pertama yakni pada bulan Mei 2010 ditemukannya banyak karang mengalami pemutihan mulai dari katagori pucat sampai putih 100%. Katagori putih 100% persentasenya mencapai 40%. Selain itu persentase katagori pucat (C2) saat pengamatan bulan Mei 2010 merupakan katagori dengan nilai

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Normal Pucat 0-20% putih 20-50% putih

50-80% putih

80-100% putih

Mati

K

a

ta

g

o

ri

P

e

m

u

ti

h

a

n

(

%

)

(56)

32

tertinggi dibandingkan dengan waktu pengamatan lainnya (Gambar 11)yaitu 20% karang pada saat tersebut menggalami katagori pucat. Tingginya pemucatan yang terjadi pada karang merupakan respon pertama karang terhadap tekanan (misalnya peningkatan suhu) dan bersifat sementara. Karang yang mengalami pemucatan akan mengalami dua kemungkinan yaitu sembuh kembali atau menjadi putih yang kemudian mati (McClanahan 2004).

Pada saat bulan Juli 2010 suhu permukaan laut sudah berangsur menurun hingga menjadi 30oC (Gambar 2), hal ini berpengaruh juga terhadap turunnya persentase katagori putih. Pada bulan Juli 2010 untuk katagori Normal hingga 50-80% putih masih dijumpai dengan nilai yang sangat rendah jika dibandingkan dengan bulan Mei 2010. Namun banyak juga karang yang ditemukan dalam kondisi katagori 80-100% putih (C6) dengan nilai 35%. Intensitas upwelling juga sangat berkontribusi selama bulan-bulan terpanas yang dapat mengurangi stres pada karang (Sebastian et al. 2009). Namun pada pengamatan bulan Juli 2010 hampir 30% karang pada perairan Pulau Weh mengalami tingkat kematian yang merupakan tingkat kematian tertinggi selama pengamatan. Hal ini kemugkinan disebabkan oleh banyaknya karang yang mengalami pemutihan pada bulan Mei 2010 yang berujung pada kematian.

Pada Februari 2011 tidak terjadinya fenomena pemutihan karang. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa hampir70% karang kembali pada kondisi normal atau katagori C1. Tingginya karang yang telah normal kembali atau rendahnya karang yang berkategori putih dikarenakan bahwa pada Februari 2011 suhu permukaan air laut telah mengalami penormalan kembali atau adanya perubahan suhu yang lebih cepat yang dapat ditoleransi oleh karang (Gambar 9 dan Gambar 10). Sehingga persentasi karang berkatagori pucat relative sangat kecil dan yang berkatagori putih hampir tidak ditimukan lagi. Selain itu peningkatan persentase karang normal sangat dipengaruhi oleh kondisi bio-ekologis antara lain tipe reproduksi karang induk, konsentrasi alga simbion, kompetisi dan predasi (Suharsono 1984 dan Nybaken 1992).

(57)

faali biota karang (Fitt et al. 2001). Pada bulan Februari 2011 tingkat kematian karang menurun hingga 15 % dari pengamatan bulan Juli 2010 (Gambar 3). Penurunan ini terjadi karena kebanyakan karang yang sudah lama mati sudah menyatu dengan batu (rock) terutama untuk karang kerak (encrusting) dan sudah dipenuhi alga sehingga sulit untuk membedakannya. Dalam tekanan yang bersifat terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama maka akan dapat menyebabkan kematian bagi hewan karang (Fitt et al. 2001).

4.2.2 Indeks Pemutihan (Bleaching Index) Pada Setiap Lokasi

Indeks pemutihan pada setiap lokasi di Pulau Weh Sabang mempunyai nilai yang bervariasi (Gambar 12). Hal ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor lokal yang mempengaruhi respon terumbu karang terhadap kenaikan suhu permukaan laut secara tiba-tiba. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap respon terumbu karang adalah fisika kimia perairan, kualitas perairan, topografi perairan, pola arus, cahaya matahari, polusi dan sedimentasi (Veron dan Minchin 1992).

Secara umum indeks pemutihan karang pada bulan Mei 2010 bervariasi, berkisar antara 83,07% hingga 48,07%. Indeks pemutihan karang paling tinggi dibulan Mei 2010 terjadi di Gapang yaitu 83,07%. Tingginya tingkat pemutihan karang pada daerah Gapang dapat dikarenakan akibat daerah ini yang membentuk teluk, sehingga kemungkinan massa air yang panas terperangkap lebih lama. Reuteuk merupakan daerah yang paling kecil indeks pemutihan karang pada bulan Mei 2010 dibandingkan dengan lokasi-lokasi lainnya yaitu 48,25%. Indeks pemutihan karang memberikan infomasi mengenai pemutihan karang pada suatu lokasi. Semakin tinggi indeks pemutihan karang maka semakin tinggi pula pemutihan karang yang terjadi pada suatu lokasi. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah nilai indeks pemutihan karang pada suatu lokasi maka semakin rendah juga pemutihan yang terjadi dilokasi tersebut.

(58)

34

27,10%. Turunnya indeks pemutihan karang pada setiap lokasi pengamatan dikarenakan pada bulan Juli 2010 suhu permukaan laut sudah mengalami penurunan dari 330C pada Mei 2010 menjadi 300C pada bulan Juli 2010 (Gambar 9).

Bulan Februari 2011 merupakan bulan yang indeks pemutihan karang paling rendah dibandingkan dengan bulan Mei dan Juli 2010. Indeks pemutihan paling tinggi pada bulan ini adalah 5,45% yang terjadi di Lhok Weng dan Gapang 5,37%. Indeks pemutihan karang paling rendah dibulan Februari 2011 adalah 0,20% yang terjadi di lokasi Jaboi. Penurunan indeks pemutihan pada Februari 2011 disebabkan adanya pertumbuhan koloni baru pada setiap lokasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Obura (2005) di Perairan Taman Laut Hikadua Srilanka, bahwa penempelan larva karang (recruitment) sudah mulai terlihat 3 bulan setelah kejadian pemutihan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jinendradasa dan Ekatatne (2000) di Perairan Taman Laut Hikkadua Srilanka, bahwa penempelan larva karang (recruitment) sudah mulai terlihat 3 bulan setelah kejadian pemutihan. Fenomena pemutihan karang juga telah dikaji oleh Purnomo (2011) dalam skala Laboratorium yang mengemukakan bahwa setelah mengalami titik kritis pada temperatur optimum 36oC selama 6 jam biota karang akan mengalami potensi pulih diri. Potensi pulih diri dari karang didasari dengan kajian uji degradasi dan ketahanan biota karang pasca penerapan temperatur. Kejadian dimana karang-karang dapat bertahan hidup meskipun temperatur lingkungan luarnya masih cukup tinggi dicirikan dengan: (a) pemutihan yang tidak komplit, dimana zooxanthella masih normal dalam jaringan polip hidup baik dalam posisi maupun jumlahnya; (b) repopulasi zooxanthella terjadi secara cepat. Sebaliknya jika pemutihan terjadi secara total dan signifikan dapat menyebabkan kematian pada biota karang (Purnomo 2011).

(59)

Gambar 12

Indeks pemutihan karang (bleaching index) bulan Mei 2010, Juli 2010 dan Februari 2011 disetiap

lokasi pengamatan.

Ujung Seurawan

Rubiah Channel

Rubiah Sea Garden

Batee

Merunron Lhok Weng Gapang Sumur Tiga

Ujung

Kareung Reuteuk Benteng Anoi Itam Jaboi Beurawang

Kawasan Wisata Panglima Laut Kawasan Bebas

Mei 2010 64.62 54.87 76.14 75.78 76.13 83.07 58.65 76.43 48.25 58.00 62.55 57.92 59.09

Juli 2010 45.07 38.56 50.27 43.92 38.89 62.29 27.10 43.19 39.87 54.51 44.66 29.42 47.45

Februari 2011 1.96 0.86 2.99 2.24 5.45 5.37 0.26 3.40 1.14 0.92 1.44 0.20 2.43

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

B

le

a

ch

in

g

I

n

d

e

k

s

(%

)

3

(60)

36

4.2.3 Persentase Kategori pemutihan Tingkat Genus

Dari ke13 lokasi pengamatan telah tercatat 5.000-10.000 koloni karang. Pada pengamatan bulan Mei 2010 jumlah koloni karang yang tercatat mencapai 10.940 koloni, dan pada pengamatan bulan Juli 2010 jumlah koloni karang yang tercatat mencapai 4.974 koloni. Sedangkan pada pengamatan Februari 2011 jumlah koloni yang karang tercatat menaik dari pada Juli 2010 yaitu sebesar 6.545 koloni.

Persentase katagori genus karang yang terpengaruh oleh pemutihan sangat bervariasi setiap pengamatan. Pada saat terjadi pemutihan karang bulan Mei 2010, sebagian besar hewan karang berada pada kondisi sedang memutih. Pada saat pengamatan dibulan Juli 2010 sebagian karang masih berada dalam kondisi memutih dan sebagian sudah mati. Namun ketika pengamatan pada bulan Februari 2011 komposisi karang didominasi dengan katagori normal dan mati.

Pada saat terjadi fenomena pemutihan karang pada pertengahan tahun 2010, sebagian besar genus karang mengalami pemutihan lebih 50%. Genus-genus

Gardinoseris, Favites, Astreopora, Pocillopora, Acropora, Galaxea, Platygyra

(61)

3 7 m b a r 1 3 P er se n ta se k at eg o ri p em u tih an k o lo n i k ar an g b er d as ar k an t in g k at g en u s k ar an g . A .) p ad a b u la n M ei 2 0 1 0 d an B .) b u la n J u li 2 0 1 0 .

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

1 0 0 Gardinoseris Favites Astreopora Pocillopora Acropora Galaxea astreata Platygyra Hydnophora Fungia Acanthastrea Millepora Symphyllia Goniastrea Goniopora Favia Pavona Porites massive Cyphastrea Montastrea Porites branching Lobopyllia Montipora Diploastrea N o rm a l P u ca t 0 -2 0 % P u tih 2 0 -5 0 % P u tih 5 0 -8 0 % P u tih 8 0 -1 0 0 % P u tih

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

(62)
[image:62.612.111.496.75.408.2]

38

Gambar 14 Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genus karang pada bulan Februari 2011.

Tingkat kematian karang yang disebabkan oleh pemutihan karang pada pertengahan tahun 2010 paling parah dialami oleh genus Pocillopora dan

Acropora. Dimana pada bulan Juli 2010 kedua genus ini mengalami tingkat kematian yang cukup parah yaitu lebih dari 80% dalam katagori mati dan hampir tidak ditemukannya koloni pada katagori normal. Sedangkan pada saat pengamatan bulan Februari 2011 tingkat kematian masih mendominasi pada kedua genus ini, akan tetapi ada harapan kehidupan dari kedua genus ini yaitu pada katagori normal hampir 10%. Naiknya tingkat katagori karang normal pada kedua genus ini dapat dikarenakan kembalinya zooxanthella pada karang-karang lama atau masuknya zooxanthella baru pada induk karang.

Pada penelitian ini ditemukan bahwa genus Pocillopora dan Acropora

merupakan koloni genus yang sangat rentan terhadap pemutihan diantara koloni genus karang yang lainnya, dimana kedua genus ini sangat berpengaruh besar dan tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan suhu permukaan laut pada perairan Pulau Weh Sabang. Genus Pocillopora, Stylophora dan Acropora di Great

(63)

Barrier Reff sangat perpengaruh terhadap peristiwa pemutihan massal 1998, sehingga ketiga genus ini berada pada katagori pemutihan 100% (Marshalll dan Baird 2000), hal yang sama juga diamati di terumbu karang Kenya (McClanahan

et al. 2004).

Karang yang mengalami pemutihan terendah adalah karang dengan genus

Diplostrea. Dimana pada saat bulan Mei 2010 yakni puncak terjadinya pemutihan karang, genus ini hanya tercatat 5% saja yang mengalami pemutihan 100%. Akan tetapi pada katagori pucat genus ini mencapai 60%. Selain genus Diplostrea,

genus yang mengalami pemutihan karang terendah adalah genus Montipora. Kedua genus ini respon terhadap kenaikan suhu permukaan laut sangat kecil atau genus ini dapat mentolerir terhadap peningkatan suhu perairan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada saat pengamatan bulan Mei 2010 Diplostrea dan

Montipora mengalami pemulihan yang sangat pesat yaitu hampir 90% dalam kondisi Normal kembali. Smith et al. (2008) mengatakan ada beberapa spesies karang yang mampu bertoleransi terhadap perubahan lingkungan, namun tidak sedikit pula jenis-jenis karang pada daerah perairan Pulau Weh Sabang yang tergolong dalam jenis karang yang rentan terhadap stres lingkungan yang dapat melebihi ambang batas optimum. Sebastian et al. (2009) menemukan di Afrika Selatan spesies dari genus Montipora merupakan spesies yang paling rentan terhadap pemutihan.

4.3 Penutupan Substrat Dasar

4.3.1 Persentase Tutupan Karang Keras (Hard Coral)

(64)
[image:64.612.92.504.83.612.2]

40

Gambar 15 Persentase penutupan karang keras (hard coral) dan tutupan alga setiap lokasi pengamatan di perairan Pulau Weh Sabang. A.) Tahun 2009 dan B.) Tahun 2011.

Penutupan karang keras tertinggi terdapat pada stasiun Ujung Kareng (74 ± 5,15%) yaitu pada kawasan wilayah Panglima Laut, sedangkan nilai penutupan karang terendah terdapat pada stasiun Ujung Seurawan (31,75 ± 8,60%) lihat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 U ju n g S e u ra wa n R u b ia h C h a n n e l R u b ia h S e a G a rd e n B a te e M e u ru n ro n Lh o k We n g G a p a n g S u m u r T ig a U ju n g K a re u n g R e u te u k B e n te n g A n o i It a m Ja b o i B e u ra wa n g

Kawasan Wisata Panglima Laut Kawasan Bebas

P e n u tu p a n ( % ) HC Alga 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 U ju n g S e u ra wa n R u b ia h C h a n n e l R u b ia h S e a G a rd e n B a te e M e u ru n ro n Lh o k W e n g G a p a n g S u m u r T ig a U ju n g K a re u n g R e u te u k B e n te n g A n o i I ta m Ja b o i B e u ra wa n g

Kawasan Wisata Panglima Laut Kawasan Bebas

(65)

Gambar 5. Pada survey 2011 penutupan karang keras sedikit berbeda dengan 2009 dimana penutupan karang keras yang tertinggi terdapat pada stasiun Benteng (55,33 ± 3,33%) dan nilai terendah adalah stasiun Ujung Seurawan (24,33 ± 3,76%) yang merupakan Kawasan Wisata.

Penutupan karang keras di wilayah Pulau Weh mengalami penurunan sangat drastis setelah terjadinya fenomena pemutihan karang yaitu mencapai 38,8% dari data sebelumnya (2009) dan turun dari kategori baik menjadi sedang (Gomez dan Yap 1988). Rata-rata penutupan karang keras menurun hingga 15-20% dimana Kawasan yang paling besar mengalami penurunan tutupan karang adalah Kawasan Bebas yaitu dari 58,65% menjadi 39,83 diikuti oleh kawasan Panglima Laut sebesar 17% (63,55 menjadi 46,47%). Kawasan yang paling rendah tingkat penurunan tutupan karang kerasnya dari ketiga kawasan adalah Kawasan Wisata dimana pada tahun 2009 penutupan karang kersa berkisar 43,54 menjadi 32,39%. Akan tetapi tingkat penutupan karang keras setiap tahun berbeda signifikan (berbeda nyata) yaitu P<0,005 dimana P<0,05 (Lampiran 5).

Perubahan struktur komunitas karang pasca pemutihan pada daerah Pulau Weh juga pernah dialami pada daerah Pulau Seribu dan Pulau Panjang. Suharsono (1988) melaporkan perubahan struktur komunitas karang pasca pemutihan di kawasan Pulau Seribu dapat memberikan informasi bahwa terdapat potensi pemulihan terumbu karang meskipun lambat. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Suharyadi (2003) bahwa pada saat musim penghujan terumbu karang di papar

Gambar

Gambar 2 Anatomi hewan karang.1) Air laut di rongga gastrovaskular; (2) Gastrodermis; (3) Zooxanthellae pada gastrodermis; (4) Mesoglea; (5) Epidemis; (6) Matriks dengan endapan kalsium karbonat; (7) Skeleton (Birkeland 1997)
Gambar 4  Africa Selatan (Mozambique, Africa Selatan); 5, Madagascar; 6, Mauritius, Reunion; 7, Seychelles; 8, Chagos; 9, Maldives; 10, Sri Lanka/India Selatan; 11, Laut Andaman (Andaman, Thailand, Malaysia); 12, Laut China Selatan (Vietnam, Paracel Island
Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
Gambar 6 Contoh kategori pemutihan karangpada genera Porites .
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu: mengkaji dan mengidentifikasi jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias, mengkaji

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengetahui persentase karang keras di Pulau Weh dan Pulau Aceh, (2).. Mengetahui persentase rekrutmen karang di Pulau Weh dan Pulau

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu: mengkaji dan mengidentifikasi jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias, mengkaji

dapat diestimasi dengan nilai output yang dihasilkan oleh ekosistem ini yaitu ikan karang. Terumbu karang dan ikan karang merupakan suatu rangkaian mata rantai dimana..

Komunitas ikan karang dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ikan yang kadang-kadang terdapat pada terumbu karang dan ikan yang tergantung pada terumbu

korelasi antara tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan indicator terumbu adalah positif dan memiliki hubungan yang cukup pada kedua variabel (r = 0,58) dengan

- Ekosistem terumbu karang di TNB saat ini, dilihat dari nilai persentase tutupan karang dan kelimpahan ikan, menunjukkan bahwa saat ini Pulau Bunaken paling

Aktivitas penangkapan ikan adalah aktivitas dengan tingkat risiko tinggi terhadap kerusakan terumbu karang dibandingkan dengan aktivitas wisata