STRATE
IKA
EGI PEM
AN HIAS L
DI PU
Y
SEKO INSTITU
MANFAA
LAUT BE
ULAU WE
YUDI HERD
OLAH PASC UT PERTAN
BOGO 2012
ATAN SUM
ERKELA
EH, ACE
DIANA
CASARJAN NIAN BOG OR
MBERDA
ANJUTAN
EH
A GOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias
Laut Berkelanjutan di Pulau Weh, Aceh adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
YUDI HERDIANA. Sustainable utilization strategy on ornamental reef fish resources in Weh Island, Aceh, supervised by BUDY WIRYAWAN and AM AZBAS TAURUSMAN
The ornamental reef fishery of Weh Island began in 1997, yet no assessment of reef fish resources, potential species for trade and their sustainable yields has been made. This study assesses the sustainable catch quota of potential ornamental reef fish species and provides optimum utilization strategies based on sustainable catch quotas, price, and effort capacity. Seventy-seven ornamental reef fish species were identified from underwater visual census at 20 sites in the marine waters of Weh Island. Catch and effort data were recorded for 12 months in 2010. Nineteen species of ornamental fish were landed by local fishers, and 83% of the total catch was comprised of the powder blue tang (Acanthurus leucosternon). The maximum sustainable yield (MSY) of ornamental fish species was assessed using a surplus production model, with an annual catch quota set at 80% of MSY. From catch data, we found that the harvest level of powder blue tang in 2010 exceeded its annual catch quota (103.5%), while the other 18 species were still under harvested. Optimization results using the Linear Programming suggested that increasing catch of three species, Acanthurus tenneti,
Paracanthurus hepatus, and Pomacanthus imperator was required to achieve maximum economic yield. Based on sustainable catch quotas and financial analyses we conclude that the ornamental reef fishery of Weh Island can be managed sustainably and achieve positive ecological and economic outcomes.
YUDI HERDIANA. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut Berkelanjutan di Pulau Weh, Aceh. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan AM AZBAS TAURUSMAN.
Pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh telah berlangsung sejak tahun 1997. Pada tahun 2010 terdapat dua puluh dua (22) orang nelayan ikan hias aktif yang berdomisili di Desa Beurawang, Pulau Weh. Pulau Weh memiliki potensi yang besar untuk pengembangan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan karang untuk pasar ikan hias. Aktivitas pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh masih mengalami beberapa permasalahan, terutama dalam hal pola pemanfaatan yang cenderung hanya menangkap satu spesies ikan karang yaitu jenis botana biru (Acanthurus leucosternon). Saat ini belum diketahui adanya kajian mengenai model pemanfaatan yang optimum untuk perikanan ikan hias di Pulau Weh. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: (i) mengkaji potensi sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh; (ii) mengkaji pola pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh; (iii) mengestimasi suatu pola pemanfaatan ikan hias laut yang optimum dan lestari dengan mempertimbangkan perspektif keberlanjutan sumberdaya ikan dan ekonomi yang didasarkan atas kuota tangkapan lestari, harga ikan, kapasitas upaya penangkapan, dan penanganan; serta (iv) merumuskan suatu strategi prioritas untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh.
maksimum. Selanjutnya dilakukan analisis finansial untuk mengetahui apakah perikanan ikan hias yang dikelola secara lestari juga dapat memberikan keuntungan secara finansial dari perspektif kelayakan usaha dan investasi.
Dari data hasil survei kelimpahan ikan karang di 20 stasiun pengamatan teridentifikasi sebanyak 319 spesies ikan karang, dimana 77 spesies diantaranya merupakan spesies yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut. Selama tahun 2010 teridentikasi sebanyak 19 spesies ikan hias laut dimanfaatkan oleh nelayan di Pulau Weh. Berdasarkan hasil analisis kuota tangkapan tahunan dan data hasil tangkapan diketahui bahwa tiga spesies ikan yang paling banyak ditangkap, yaitu botana biru (Acanthurus leucosternon) mencapai tingkat pemanfaatan yang melebihi kuota tangkapan tahunannya yaitu sebesar 103,5% pada kelas ukuran 10-15 cm, botana lettersix (Paracanthurus hepatus) sebesar 37,8%, dan botana naso (Naso lituratus) sebesar 8,9%. Selanjutnya tingkat pemanfaatan untuk 15 spesies ikan hias lainnya masih berada dibawah 2% dari kuota tangkap tahunannya. Berdasarkan komposisi spesies, ikan botana biru mendominasi sebesar 83% dari seluruh hasil tangkapan, botana lettersix mendominasi sebesar 10%, dan botana naso sebesar 2%. Berdasarkan jenjang rantai makanan (trophic level), jenis ikan yang ditangkap didominasi oleh jenis herbivora sebesar 86% dan planktivora sebesar 11%.
Analisis optimasi untuk pemanfaatan ikan hias laut bertujuan untuk menentukan komposisi jumlah dan jenis ikan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil ekonomi yang optimum. Hasil optimasi dengan menggunakan
Linear Programming didapatkan bahwa pemanfaatan yang optimum akan
didapatkan jika nelayan ikan hias di P. Weh secara keseluruhan meningkatkan tangkapan untuk jenis botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel batman (Pomacanthus imperator), dengan total masing-masing sebanyak 1934, 1329, dan 7848 ekor dalam satu tahun. Karena karakteristik pola pemanfaatan ikan hias laut sangat ditentukan oleh permintaan, maka hasil analisis optimasi tidak secara langsung dapat diimplementasikan. Agar dapat mendukung pola pemanfaatan yang optimum di P. Weh, perlu adanya dukungan dari aspek ketersediaan pasar. Nelayan perlu mencari peluang pembeli baru atau diversifikasi pasar untuk dapat menampung lebih banyak jenis-jenis tersebut.
instrumen yaitu analisis pendapatan usaha, analisis revenue-cost ratio (R/C), analisis rentabilitas (return on investment), dan analisis titik impas (Break Even Point). Analisis kriteria investasi menggunakan instrument net present value
(NPV), internal rate of return (IRR), dan net benefit cost ratio (Net B/C).
Pada skenario pemanfaatan optimum, perikanan ikan hias laut dapat memberikan keuntungan sebesar Rp 353.461.593 per tahun, nilai R/C sebesar 3,8; titik impas dicapai pada tingkat keuntungan Rp 29.118.495, dan nilai ROI 200,8%. Selanjutnya berdasarkan analisis kriteria investasi pada skenario pemanfaatan optimum dengan discount rate 14% dan asumsi umur proyek selama 10 tahun, nilai NPV didapatkan Rp 1.828.866.052, IRR 0,88, dan nilai Net B/C 6,85 (>1).
Berdasarkan 4 instrumen analisis kelayakan usaha, didapatkan bahwa hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha perikanan ikan hias laut cukup menguntungkan dan layak untuk dilakukan. Hal ini ditunjukan oleh parameter
revenue-cost ratio (R/C) > 1 dan rentabilitas (ROI) > 25%. yang menunjukan bahwa usaha layak untuk dilakukan.
Selanjutnya berdasarkan 3 instrumen analisis yang digunakan dalam analisis kriteria investasi menunjukan investasi layak untuk dilakukan pada kedua skenario tingkat pemanfaatan. Hal ini ditunjukan oleh nilai NPV yang tinggi, tingkat pengembalian bunga (IRR) yang lebih tinggi dari suku bunga bank, serta nilai Net B/C yang lebih besar dari 1. Hasil perhitungan menggunakan 7 instrumen analisis finansial menunjukan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut pada tingkat lestarinya tetap memberikan manfaat ekonomi yang menguntungkan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perikanan ikan hias laut di P. Weh berpotensi untuk dikelola secara lestari baik dari aspek keberlanjutan sumberdaya ikan maupun keberlanjutan usaha (ekonomi).
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA
IKAN HIAS LAUT BERKELANJUTAN
DI PULAU WEH, ACEH
YUDI HERDIANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Yudi Herdiana
NIM : C452090061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi. M.Si.
Ketua Anggota
Diketahui
Mayor Sistem dan Pemodelan Dekan Sekolah Pascasarjana Perikanan Tangkap
Koordinator
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini bertema Strategi
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut Berkelanjutan di Pulau Weh, Aceh, dan
dilaksanakan sejak Januari hingga Desember 2010.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1) Dr. Budy Wiryawan dan Dr. Am Azbas Taurusman yang telah memberi
arahan dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan;
2) Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo atas kesediannya menjadi dosen penguji luar
komisi;
3) Rekan dan kolega di Wildlife Conservation Society Indonesia Marine
Program khususnya Sdr. Ahmad Mukminin dan Efin Muttaqin yang telah
banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian;
4) Rekan-rekan nelayan ikan hias di Desa Beurawang, Pulau Weh, yang
selama ini telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini;
5) Sdr. Ferdiansyah yang membantu penulis dalam melaksanakan kegiatan
wawancara;
6) Sdr. Idris dan Yayasan Terumbu Karang Indonesia atas fasilitasi dan
bantuan informasinya; serta nelayan ikan hias di Pulau Panggang,
Kepulauan Seribu, Jakarta;
7) Sdr. Panji Darmawangsa dan Sdri. Tita Nopita atas bantuan data serta
informasi perdagangan ikan hias;
8) Rekan-rekan SPT dan TPT 2009 atas kebersamaan dan bantuannya.
Selain bantuan dari berbagai pihak, penulis juga menyadari bahwa
penelitian ini dapat diselesaikan atas dukungan dan doa dari kedua orang tua saya
serta Sdri. Luluk Windarati. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengelolaan
perikanan dan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Bogor, Januari 2012
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 22 Maret 1978 dari
ayah H. Kunrat Ardiwijaya dan ibu Hj. Nunung Haryani.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Pendidikan sarjana penulis selesaikan di Program Studi
Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan ke
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor Sistem dan Pemodelan
Perikanan Tangkap sejak tahun 2009.
Sejak tahun 2002 hingga sekarang penulis bekerja di Wildlife Conservation
Society – Indonesia Program dan saat ini menjabat sebagai koordinator untuk
xii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
DAFTAR ISTILAH ... xix
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.5 Manfaat Penelitian ... 8
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Gambaran Umum Perikanan Ikan Hias Laut di Indonesia ... 9
2.2 Kegiatan Penangkapan Ikan Hias Laut ... 11
2.3 Dampak Kegiatan Industri Akuarium ... 13
2.4 Pengelolaan Ikan Hias Laut Melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan ... 15
2.5 Pendekatan lain dalam Pengelolaan Perikanan Ikan Hias Laut ... 18
2.6 Analisis Finansial ... 19
2.7 Analisis SWOT ... 20
3. METODE PENELITIAN ... 23
3.1 Lokasi Penelitian ... 23
3.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 23
3.3 Jenis Data, Bahan dan Alat Penelitian ... 26
3.4 Waktu Penelitian ... 26
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 26
3.5.1 Kelimpahan Ikan Karang ... 27
3.5.2 Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ... 28
3.5.3 Pengiriman Ikan ... 29
3.5.4 Biaya Penanganan (Handling) ... 29
3.5.5 Informasi Umum Kegiatan Perikanan Ikan Hias Laut ... 29
xiii
3.6.3 Analisis Optimasi Pemanfaatan Ikan Hias Laut
dengan Pemrograman Linier (Linear Programming) ... 33
3.6.4 Analisis Finansial ... 34
3.6.5 Perumusan Strategi Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh Menggunakan Analisis SWOT ... 37
4. HASIL PENELITIAN ... 41
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
4.2 Profil Perikanan Hias Laut di Pulau Weh ... 41
4.2.1 Nelayan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ... 41
4.2.2 Keragaan Unit Penangkapan ... 42
4.2.3 Upaya Penangkapan ... 46
4.2.4 Lokasi Penangkapan ... 46
4.2.5 Jenis-jenis Ikan Hias Laut yang dimanfaatkan ... 46
4.3 Potensi Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh ... 48
4.4 Pendugaan Kuota Tangkapan Lestari Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh ... 49
4.5 Analisis Upaya Penangkapan ... 53
4.5.1 Tingkat Pemanfaatan ... 53
4.5.2 Nilai Ekonomi Unit Penangkapan Ikan Hias ... 56
4.6 Optimasi Pemanfaatan Ikan Hias Laut ... 57
4.7 Potensi Ekonomi Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ... 58
4.8 Biaya Penanganan (Handling) ... 60
4.9 Analisis Finansial ... 60
4.9.1 Analisis Usaha ... 61
4.9.2 Analisis Kriteria Investasi ... 63
4.10 Analisis Pemasaran ... 64
4.10.1 Pelaku pemasaran dan jalur pemasaran ... 65
4.10.2 Analisis margin pemasaran ... 66
4.11 Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ... 66
4.11.1 Unsur-unsur strategi SWOT ... 67
4.11.2 Analisis SWOT strategi pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh ... 72
xiv
5.3 Tingkat dan Pola Pemanfaatan Ikan Hias Laut ... 84
5.4 Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut ... 96
5.5 Analisis Finansial ... 98
5.6 Analisis Pemasaran ... 101
5.7 Strategi Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ... 102
6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 105
6.1 Kesimpulan ... 105
6.2 Saran ... 105
DAFTAR PUSTAKA ... 106
xii
1 Jenis data, metode, dan alat yang digunakan dalam penelitian ... 26
2 Jenis, metode, dan deskripsi singkat mengenai data yang dikumpulkan dalam penelitian ... 27
3 External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) ... 39
4 Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) ... 40
5 Model matriks TOWS dari hasil analisis SWOT ... 40
6 Daftar jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan di Pulau Weh ... 47
7 Hasil pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut utama di P. Weh (model Schaefer) ... 51
8 Hasil pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut utama di P. Weh (model Fox) ... 52
9 Tingkat pemanfaatan terhadap kuota tangkapan tahunan model Fox ... 54
10 Nilai ekonomi unit penangkapan ikan hias ... 57
11 Hasil analisis optimasi terhadap jenis ikan yang dimanfaatkan ... 58
12 Perbandingan nilai ekonomi perikanan ikan hias laut di P. Weh tahun 2010 dan berdasarkan hasil optimasi ... 59
13 Komponen biaya investasi fasilitas penanganan ... 60
14 Komponen biaya proses penanganan ... 60
15 Perbandingan analisis usaha pengembangan ikan hias laut di P. Weh pada skenario pemanfaatan tahun 2010 dan pemanfaatan optimum ... 64
16 Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) ... 73
17 Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) ... 73
18 Matriks TOWS strategi pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh ... 75
19 Penentuan strategi prioritas pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh .. 78
xii
1 Kerangka pemikiran penelitian ... 7
2 Ilustrasi proses penangkapan ikan hias laut dan alat yang
digunakan (sumber: www.terangi.or.id) ... 12
3 Peta lokasi penelitian di Pulau Weh, Aceh ... 24
4 Diagram alir tahapan penelitian ... 26
5 Ilustrasi metode sensus visual ikan karang (modifikasi dari
Labrosse et al. 2002, atas seizin lembaga penerbit) ... 28
6 Konstruksi dan dimensi jaring penghalang yang digunakan oleh
nelayan ikan hias di P. Weh ... 43
7 Serok sebagai alat bantu penangkapan yang digunakan oleh nelayan
ikan hias di P. Weh ... 44
8 Pengoperasian jaring penghalang dan serok dalam proses
penangkapan ikan hias di P. Weh ... 44
9 Keranjang tampungan: (a) tampak bawah; (b) tampak atas ... 45
10 Dua jenis kapal (kayu dan fiber) yang digunakan nelayan ikan hias
di P. Weh ... 45
11 Tempat penampungan sementara yang digunakan nelayan ... 46
12 Lokasi penangkapan ikan hias di Pulau Weh ... 47
13 Rata-rata (± 1 galat baku) kelimpahan (ind.ha-1) ikan karang di 20 stasiun pengamatan, dikelompokan berdasarkan
daerah pengelolaan ... 48
14 Perbedaan rata-rata (± 1 galat baku) kelimpahan (ind.ha-1)
ikan karang berdasarkan daerah pengelolaan di P. Weh. ... 49
15 Hubungan linier antara jumlah stok dan MSY menggunakan
model Schaefer ... 53
16 Hubungan linier antara jumlah stok dan MSY menggunakan
model Fox ... 53
17 Perbandingan total tangkapan dan kuota tangkapan (model Fox)
pada 3 spesies utama yang dimanfaatkan ... 55
18 Komposisi spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan
(jumlah data = 24609) ... 55
19 Komposisi ikan yang ditangkap berdasarkan jenjang rantai
xiii
21 Diagram arahan strategi berdasarkan hasil analisis SWOT ... 74
22 Komposisi jenjang rantai makanan (trophic level) ikan hias laut
di P. Weh ... 86
23 Komposisi kelompok fungsional (functional group) 77 spesies
ikan hias laut di P. Weh ... 87
24 Hubungan linier antara total tangkapan botana biru dan jumlah
trip per bulan ... 92
25 Diagram boxplot sebaran nilai CPUE ikan botana biru
(Acanthurus leucosternon) (jumlah data = 359) ... 93
26 Variasi jumlah total tangkapan bulanan ikan botana biru sebagai
fungsi dari permintaan pada tahun 2010 ... 93
27 Perbandingan persentase dari jumlah total trip di wilayah KKLD
dan daerah pemanfaatan (jumlah trip = 194) ... 94
28 Jumlah trip yang tercatat selama 12 bulan di masing-masing
xiv
1 Klasifikasi spesies ikan hias laut utama yang dimanfaatkan ... 113
2 Daftar jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut di Pulau Weh... 118
3 Model dan Analisis Optimasi dengan Pemrograman Linier ... 121
4 Data Hasil Wawancara ... 123
5 Analisis Finansial Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ... 128
6 Daftar harga jual ikan hias di berbagai tingkat pemasaran ... 130
xii
Biomassa: Jumlah keseluruhan ikan dalam satuan berat dalam suatu luasan perairan.
Bentik Invertivora: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang memakan hewan invertebrata yang menempel di dasar perairan.
Browser: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang secara konsisten memakan makro alga.
Bycatch: Hasil tangkapan sampingan atau hasil tangkapan yang bukan merupakan target penangkapan.
Detritivora: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang memakan detritus dari sedimen.
Fishing mortality: Kematian ikan yang disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Functional Group: suatu kelompok yang terdiri dari berbagai spesies yang memiliki fungsi yang sama di alam, tanpa memperhatikan faktor kedekatan taksonomi.
Grazers: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang alga epifit.
Herbivora: adalah jenis hewan yang memakan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Ikan Hias: ikan yg dipelihara untuk hiasan, biasanya dl akuarium
Ikan Karang: adalah jenis ikan yang hidup di ekosistem terumbu karang atau yang berasosiasi dengan terumbu karang.
Life History: adalah hal-hal yang berkenaan dengan pertumbuhan, fekunditas, strategi reproduksi, dan usia saat suatu organisme mencapai matang gonad.
Maximum Sustainable Yield (MSY): Jumlah maksimal ikan yang dapat dimanfaatkan dalam kondisi lestari.
Overfishing: suatu keadaan dimana kegiatan penangkapan ikan telah mengakibatkan penurunan stok ikan hingga dibawah tingkat lestarinya.
xiii
Precautionary: merupakan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pertimbangan bagi keputusan pengelolaan perikanan yang disebabkan oleh kurangnya atau keterbatasan pengetahuan.
Scrapers/small excavators: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang memakan alga, sedimen, dan material lain dari substrat terumbu. Berperan dalam membatasi pertumbuhan makro alga dan menyediakan daerah yang cocok bagi penempelan larva karang.
SCUBA: Akronim dari Self Contained Underwater Breathing Device, yaitu alat pernapasan bebas untuk berada di bawah air dalam waktu lama untuk penyelaman rekreasi dan penyelaman profesional.
Sessile Invertebrate feeder: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang memakan hewan invertebrate sesil yang tinggal di dasar perairan.
Spillover: Efek penyebaran larva, juvenil, maupun ikan dewasa dari suatu wilayah yang dilindungi ke daerah lain, khususnya ke daerah penangkapan ikan.
Total Allowable Catch: Sebuah pendekatan untuk pengelolaan perikanan untuk menetapkan kuota tahunan, dimana jika telah terlampaui maka penangkapan ikan untuk tahun tersebut akan dihentikan. Total tangkapan yang diperbolehkan ditetapkan pada tingkat untuk mencegah terjadinya tangkapan berlebih pada stok ikan.
Trophic Level: Setiap tahapan dalam rantai makanan, diduduki oleh produsen di bagian bawah, dan selanjutnya oleh konsumen primer, sekunder, dan tersier.
Sumber:
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan karang merupakan sumber makanan sekaligus pendapatan yang penting
bagi masyarakat pesisir. Di dunia, pemanfaatan sumberdaya hayati ini dan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan di dalamnya telah menurunkan kemampuan
produksi alami dan keberlanjutannya (Sale 2002). Salah satu bentuk pemanfaatan
sumberdaya ikan karang adalah untuk memenuhi kebutuhan akan ikan hias untuk
akuarium air laut.
Akuarium ikan hias air laut merupakan salah satu diantara hobi yang paling
populer, dengan jutaan penghobi di seluruh dunia. Uni Eropa secara keseluruhan
merupakan pasar terbesar bagi produk ikan hias; namun Amerika Serikat dan
Jepang merupakan negara pengimpor terbesar ikan hias di dunia. Meskipun tidak
ada nilai pasti dari perdagangan dan industri ikan hias, total ikan hias dan
avertebrata yang diimpor oleh berbagai negara di seluruh dunia diperkirakan
bernilai 350 juta US Dollar (Hardy 2003). Setiap tahunnya, lebih dari satu miliar
ikan hias diperdagangkan di seluruh dunia, terdiri lebih dari 4000 jenis ikan air
tawar dan 1400 jenis ikan air laut, yang melibatkan lebih dari 100 negara
(Whittington & Chong 2007). Industri perikanan ikan hias berproduksi dengan
tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 14% sejak tahun 1985, dengan seluruh nilai
dari rangkaian industri yang meliputi penjualan ritel, material-material yang
berasosiasi dengan ikan hias, upah dan produk-produk non-ekspor diperkirakan
mencapai 15 miliar US Dollar (Bartley 2000). Menurut Abdullah (2005), Dirjen
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP, Sumpeno Putro
mengatakan volume ekspor ikan hias pada 2001 sebesar US$14,6 juta dan pada
2004 sudah meningkat menjadi US$15,7 juta. Secara keseluruhan nilai transaksi
perdagangan ikan hias di pasar dunia sekitar US$500 juta.
Perdagangan ikan karang hidup di Indonesia telah berlangsung selama 20
hingga 25 tahun, dimana pekembangannya sejalan dengan perkembangan
kebutuhan pasar. Akan tetapi di sisi lain kondisi lingkungan perikanan karang saat
mengemukakan bahwa perlu dilakukan sebuah pengelolaan dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan hias laut, karena pemanfaatannya yang semakin berkembang
dapat mengancam keberadaan dan keanekaragaman spesies sumberdaya ikan
karang. Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dari sudut pandang ekologi
adalah (a) kegiatan pemanfaatan yang memperhatikan keberlanjutan stok ikan, (b)
menjaga sumberdaya perikanan secara lebih luas dan spesies-spesies lain
didalamnya, dan (c) menjaga serta meningkatkan kesehatan ekosistem (Charles
2001).
Pengambilan ikan hias laut yang tidak terkelola dengan baik dapat
menyebabkan kepunahan lokal yang diakibatkan oleh pengambilan yang berlebih
(overfishing) dan tidak terkontrol. Pengambilan yang berlebih mencakup
pengambilan organisme itu sendiri pada berbagai ukuran yang suboptimal
tangkapan potensialnya (McManus 1997). Menurunnya stok suatu sumberdaya
tidak hanya disebabkan oleh terjadinya overfishing, tetapi juga dapat disebabkan
oleh rusaknya habitat ikan tersebut. Oleh karena itu pengelolaan perikanan akan
beralih dari penerapan TAC (Total Allowable Catch) yang merupakan tujuan
utama, menuju pengelolaan berbasis ekosistem dengan pendekatan daerah
perlindungan laut (termasuk penetapan zona larang tangkap di dalamnya) (Pauly
2002).
Pengelolaan jangka panjang terhadap populasi ikan karang khususnya ikan
hias sangat baik apabila dilakukan dengan menggabungkan penelitian biologi dan
perikanan, pengelolaan sumberdaya, pengembangan budidaya, keterlibatan
pihak-pihak terkait dan dukungan peraturan (Sadovy & Vincent 2002). Pengelolaan
perikanan karang hidup yang berkelanjutan akan mengacu dua hal pengelolaan
yaitu: (a) pengelolaan sumberdaya perikanan untuk memastikan kesehatan
terumbu karang dan tersedianya stok perikanan; dimana masyarakat dan
pemerintah setempat memiliki rencana pengelolaan perikanan dengan
memperhatikan stok perikanan, kemampuan sumberdaya alam dan pemanfaat
perikanan; serta (b) pengelolaan penanganan perikanan untuk perdagangan.
Membangun kesepakatan penanganan antara nelayan, pengepul dan pembeli
tentang cara penanganan yang baik dan bermanfaat untuk peningkatan mutu,
Beberapa strategi yang telah dikembangkan dalam pengelolaan ikan hias
antara lain melalui penetapan daerah perlindungan laut atau daerah larang ambil
serta evaluasi total tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catches)
(Ochavillo dan Hodgson 2006). Model perikanan dapat digunakan untuk
menduga tangkapan lestari terhadap banyaknya stok yang dimanfaatkan. Model
tersebut harus mempunyai data tangkapan dan upaya serta parameter demografik
terhadap organisme target (Hilborn dan Walters 1992). Pendugaan laju
eksploitasi dan pembatasan melalui pendugaan stok ikan adalah salah satu model
yang dapat digunakan untuk pemanfaatan lestari ikan hias, karena mencakup
komponen keseimbangan reproduksi, pertumbuhan, mortalitas penangkapan, dan
mortalitas alami (Pet-Soede et al. 2000; Ochavillo dan Hodgson 2006).
Pemanfaatan sumberdaya ikan hias di Pulau Weh telah berlangsung sejak
tahun 1997. Adanya dinamika politik dan keamanan di Aceh mengakibatkan
kegiatan pemanfaatan ikan hias sempat terhenti. Pasca terjadinya bencana
tsunami pada tahun 2004 dan seiring dengan upaya rekonstruksi dan rehabilitasi
di Aceh, kegiatan pemanfaatan ikan hias air laut di Pulau Weh mulai kembali
berkembang sejak 5 tahun yang lalu. Pada tahun 2010 terdapat dua puluh dua
(22) orang nelayan ikan hias di P. Weh yang berdomisili di Desa Beurawang.
Pulau Weh memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan kegiatan
pemanfaatan sumberdaya ikan karang untuk pasar ikan hias. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan oleh Ardiwijaya et al. (2007) di beberapa kawasan
pengelolaan di Pulau Weh, kelimpahan rata-rata ikan karang di daerah
pemanfaatan adalah 22.135 ind.ha-1, daerah pengelolaan kawasan wisata 51.735
ind.ha-1, dan daerah di bawah pengelolaan Panglima Laut 70.517 ind.ha-1.
Sedangkan biomassa ikan karang di daerah pemanfaatan adalah 460 kg.ha-1,
kawasan wisata 924 ind.ha-1, dan panglima laut 1.346 ind.ha-1.
Menurut Yulianto (2010) teridentifikasi sebanyak 84 spesies ikan karang
yang dimanfaatkan secara ekonomi oleh nelayan di P. Weh, yang didominasi oleh
famili Scaridae, Caesionidae dan Acanthuridae. Dari aspek kelestarian ekologi
dan sumberdaya terdapat 9 spesies ikan karang yang perlu dilindungi di P. Weh,
yaitu Pseudobalistes fuscus, Carangoides plagiotaenia, Elagatis bipinnulatus,
caeruleopunctatus, Epinephelus spilotoceps, dan Variola louti. Hal tersebut
didasarkan atas indikasi tingkat kerentanan yang cukup tinggi dimana
perbandingan hasil tangkapan dan biomassa ikan yang rendah.
Kajian pemanfaatan lestari ikan karang di P. Weh yang dilakukan oleh
Yulianto (2010) hanya mencakup jenis-jenis ikan konsumsi dan belum mencakup
jenis-jenis ikan karang yang dimanfaatkan sebagai ikan hias akuarium. Terdapat
perbedaan mendasar antara kajian ikan konsumsi dan kajian ikan hias laut.
Pendugaan stok ikan konsumsi pada umumnya dilakukan melalui pendekatan
satuan biomassa, sedangkan ikan hias laut menggunakan pendekatan satuan
kelimpahan karena produksinya yang selalu dihitung dalam satuan jumlah
individu ikan.
Aktivitas pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh masih mengalami beberapa
permasalahan, salah satunya dalam hal proses-proses penanganan sejak ikan
ditangkap hingga proses pengiriman ikan kepada pembeli. Keterbatasan kapasitas
penampungan dan pengetahuan mengenai cara penanganan ikan hias
menimbulkan masalah dalam hal kualitas ikan. Selain itu, saat ini pola
pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh sangat ditentukan oleh permintaan.
Nelayan di Desa Beurawang cenderung hanya menangkap satu spesies ikan
karang yaitu jenis botana biru (Acanthurus leucosternon). Model pemanfaatan
yang hanya bergantung pada satu spesies seperti ini akan menimbulkan tekanan
kepada suatu populasi ikan yang akhirnya mengancam keberadaan stok.
Meskipun pertimbangan ekologi harus diterapkan untuk memastikan
sumberdaya alam terlindungi, tetapi kriteria ekonomi tetap merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pemanfaatan ikan hias laut. Diperlukan
sebuah pengaturan yang tidak mengabaikan keuntungan ekonomi dari kegiatan
ini, atau kegiatan pemanfaatan akan berjalan secara illegal maupun tidak
menguntungkan secara ekonomi (Dufour 1997). Oleh karena itu untuk menjawab
tantangan potensi pengembangan pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau
Weh, perlu dibangun sebuah model pemanfaatan yang didasarkan atas konsep
1.2 Perumusan Masalah
Menurut COREMAP (2009), beberapa permasalahan yang mendasar dalam
pemanfaatan dan pengelolaan ikan hias laut untuk perdagangan adalah:
(a) pada umumnya ikan karang memiliki laju pertumbuhan yang lambat, masa
produksi lama dengan jangka pemijahan yang lama,
(b) kebanyakan nelayan serta pedagang tidak memahami pengetahuan tentang
sumberdaya perikanan karang serta cara hidupnya,
(c) permintaan pasar yang terus meningkat mengakibatkan adanya upaya
penangkapan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan,
(d) penangkapan berlebih mengakibatkan populasi ikan karang terganggu,
(e) walaupun ada upaya pengelolaan sifatnya masih sangat sedikit dan tidak
terpadu, akibatnya tidak berdampak banyak untuk kelestarian dan
pertumbuhan ekonomi perikanan karang.
Pola pemanfaatan ikan hias di Pulau Weh cenderung merupakan
pemanfaatan satu jenis saja (single species). Spesies ikan yang paling banyak
ditangkap untuk ikan hias adalah jenis botana biru (Acanthurus leucosternon).
Pola pemanfaatan seperti ini jika dilakukan secara terus menerus akan
mengancam kelestarian populasi spesies tersebut. Berdasarkan hal ini, maka perlu
alternatif pemanfaatan spesies ikan lainnya untuk mengurangi tekanan terhadap
populasi ikan botana biru di kawasan ini. Dalam menentukan spesies-spesies lain
yang berpotensi untuk dimanfaatkan, informasi mengenai jumlah tangkapan
lestari jenis-jenis tersebut sangat diperlukan.
Untuk mendukung pemanfaatan ikan hias laut secara bertanggungjawab dan
lestari di Pulau Weh diperlukan sebuah pendekatan tertentu yang mampu
mengubah pola kebiasaan nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan hias
laut yang ada dan memberikan keuntungan yang secara langsung dapat dirasakan
oleh nelayan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan
optimasi pemanfaatan ikan hias laut, dimana manfaat langsung yang diharapkan
adalah adanya peningkatan pendapatan, dengan tetap menerapkan prinsip
pemanfaatan lestari.
Berdasarkan hal tersebut maka beberapa pokok permasalahan dalam
1) pola pemanfaatan ikan hias di P. Weh cenderung hanya memanfaatkan satu
jenis ikan saja, yaitu ikan botana biru (Acanthurus lecucosternon);
2) belum diketahui adanya kajian mengenai spesies-spesies ikan hias laut lain
yang potensial untuk dimanfaatkan dimana penentuannya didasarkan atas
potensi tangkapan lestarinya;
3) belum diketahui adanya model dan strategi pemanfaatan ikan hias laut yang
optimum dan lestari yang dapat diterapkan oleh nelayan ikan hias laut di
Pulau Weh.
Dari perumusan masalah yang ada, maka beberapa pertanyaan yang muncul
berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) seberapa besar potensi lestari ikan hias laut yang dapat dimanfaatkan di Pulau
Weh?
2) strategi apa yang perlu dilakukan untuk mencapai pemanfaatan ikan hias laut
yang optimum?;
3) apakah pola pemanfaatan ikan hias yang lestari dan optimum juga
memberikan keuntungan secara ekonomi?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) mengkaji potensi sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh;
2) mengkaji pola pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh saat ini;
3) mengestimasi suatu pola pemanfaatan ikan hias laut yang optimum dan lestari
dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan dan
ekonomi yang didasarkan atas kuota tangkapan lestari, harga ikan, kapasitas
upaya penangkapan dan penanganan;
4) merumuskan suatu strategi prioritas untuk pengembangan pemanfaatan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Pertanyaan yang ingin dijawab melalui
penelitian
1. Seberapa besar potensi lestari ikan hias laut yang dapat
dimanfaatkan di Pulau Weh?
2. Strategi apa yang perlu dilakukan untuk mencapai pemanfaatan ikan hias laut yang optimum?
3. Apakah pola
pemanfaatan ikan hias yang lestari dan optimum juga memberikan keuntungan secara ekonomi?
Permasalahan
1. Pola pemanfaatan ikan hias di P. Weh cenderung hanya memanfaatkan satu jenis ikan saja, yaitu ikan botana biru (Acanthurus lecucosternon)
2. Belum diketahui
adanya kajian potensi sumberdaya ikan hias laut di P. Weh
3. Belum diketahui
adanya model dan strategi pemanfaatan yang optimum dan lestari
Sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh
Jumlah stok populasi ikan
hias laut
Pemanfaatan ikan hias laut untuk akuarium
Survei (sensus visual)
Pendugaan stok populasi ikan
hias laut
Strategi Pemanfaatan Ikan hias laut di Pulau Weh
Kegiatan pemanfaatan
ikan hias
Pola pemanfaatan ikan hias laut
Proses penanganan
(handling)
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat, diantaranya:
1) memberikan informasi mengenai potensi sumberdaya dan kuota tangkap
lestari ikan hias laut yang dapat dimanfaatkan di Pulau Weh;
2) memberikan usulan arahan strategi pemanfaatan ikan hias laut yang optimum
dan berkelanjutan dari perspektif ekologi dan ekonomi bagi nelayan di Pulau
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Perikanan Ikan Hias Laut di Indonesia
Indonesia merupakan pusat keragaman hayati laut dunia yang kaya akan spesies ikan karang. Menurut Allen dan Adrim (2003), di Indonesia terdapat 2057 spesies ikan karang yang terbagi kedalam 113 famili. Sembilan famili utama ikan karang di Indonesia adalah Gobiidae (272 spesies), Labridae (178), Apogonidae (114), Bleniidae (107), Serranidae (102), Muraenidae (61), Syngnathidae (61), Chaetodontidae (59), dan Lutjanidae (43).
Perdagangan ikan hias laut di Indonesia dimulai sejak awal era 70an atau mungkin lebih awal. Saat ini Indonesia merupakan negara pengekspor utama ikan hias laut. Nilai ekspor pada tahun 1993 sebesar US$ 5,5 juta dengan negara tujuan utama Amerika dan Eropa (Wood 2001a).
Indonesia merupakan eksportir terbesar di dunia untuk sumberdaya laut dalam memenuhi kebutuhan industri akuarium dan telah sangat bergantung pada kegiatan pengambilan langsung di alam. Karena posisinya di khatulistiwa, Indonesia berada pada posisi yang strategis dalam mensuplai spesies-spesies laut bagi Eropa, Amerika Utara dan Asia dalam 25 tahun terakhir (Reksodihardjo dan Lilley 2007).
Perdagangan biota laut untuk akuarium telah memanfaatkan kondisi Indonesia yang strategis di dunia. Akan tetapi patut disayangkan bahwa terlalu banyak pihak yang terlibat di dalam industri ini yang berasumsi bahwa suplai dari alam tidak terbatas. Industri ini telah menarik ribuan nelayan pesisir untuk memiliki penghasilan tambahan dengan menjadi nelayan kolektor sumberdaya laut untuk kebutuhan industri akuarium. Sebagian besar dari nelayan tersebut tidak mengenyam pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan, para nelayan dipaksa bertahan dengan harga jual yang rendah, kondisi kerja yang buruk, kelumpuhan dan kematian akibat kegiatan penangkapan, untuk memenuhi kepuasan pasar yang terus berkembang (Reksodihardjo dan Lilley 2007).
sedikit catatan perdagangan yang ada sebelum kurun waktu tahun 2000, selain itu Kementrian Kelautan dan Perikanan tidak pernah mensyaratkan para pengusaha/pedagang untuk memasukkan data perdagangan ikan hias laut mereka (Lilley 2008). Ekspor ikan hias laut dari Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahun (Dufour 1997). Terdapat sebanyak 280 jenis ikan karang yang dimanfaatkan sebagai ikan hias (Anonim 2001). Berdasarkan basis data yang dipublikasikan oleh Global Marine Aquarium Database (http://www.unep-wcmc.org/marine/GMAD/data.html), sejak tahun 1993-2003 tercatat sebanyak 464 spesies ikan hias laut yang di ekspor dari Indonesia, dengan jumlah total lebih dari 900 ribu ekor.
Salah satu jenis ikan hias laut di Indonesia yang merupakan primadona di pasar akuarium dunia adalah Ikan Banggai Cardinalfish. Ikan Banggai Cardinalfish atau di kalangan nelayan dan eksportir ikan hias dikenal dengan nama Ikan Capungan Ambon atau Capungan Banggai termasuk ke dalam jenis ikan laut dari suku Apogonidae (Wijaya 2010). Banggai Cardinalfish menjadi pepuler di kalangan penggemar akuarium karena tampilannya yang menarik, daya tahan yang baik di dalam akuarium, dan siap dibesarkan di penangkaran (Helfman 2007).
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Roberts dan Hawkins (1999), seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap jenis ikan ini sejak awal 1990 tetapi dengan rentang geografis yang terbatas, fekunditas rendah, dan penangkapan yang intensif menghasilkan dugaan yang mengkhawatirkan terhadap keberadaan ikan ini di alam. Mereka menyatakan kemungkinan ikan jenis ini akan punah dari alam, dan Allen (2000) mengusulkan untuk memasukan ikan ini ke dalam IUCN Red List.
meskipun dalam skala yang relatif kecil. Sedangkan tata niaga ikan Banggai Cardinal dari nelayan hingga eksportir rantainya masih terlalu panjang sehingga peluang kematian relatif tinggi dan harga di tingkat nelayan menjadi rendah.
Banggai Cardinalfish adalah salah satu ikan laut tropis yang mudah untuk dikembangbiakan dalam penangkaran dan ikan hasil pengembangbiakan tersedia secara luas. Banggai Cardinalfish hasil penangkaran dijual dengan harga US$ 12,50-15,00, sedangkan ikan yang ditangkap langsung dari alam dijual pada kisaran harga US$ 6-8 (Helfman 2007).
2.2 Kegiatan Penangkapan Ikan Hias Laut
Ikan hias laut dapat ditangkap dengan menyelam bebas (snorkelling), tetapi lebih umum menggunakan alat SCUBA dan kompresor hookah. Jika nelayan secara kebetulan menangkap ikan hias di alat perangkap mereka, mereka akan menjualnya kepada pengumpul ikan hias karena harganya yang lebih tinggi dibandingkan sebagai ikan konsumsi. Nelayan kolektor ikan hias dapat merupakan nelayan paruh waktu maupun sebagai nelayan ikan hias penuh, bekerja sendiri atau bekerja untuk pengumpul atau eksportir (Wood 2001b).
Tekanan pasar telah mengarahkan kegiatan penangkapan ikan hias laut. Importir sering meminta jenis-jenis tertentu seperti ikan anemon dan cleaner wrasse (Labroides sp.) yang permintaan pasarnya selalu ada. Ikan-ikan tersebut menjadi target yang selalu ditangkap karena adanya garansi semu dari eksportir bahwa ikan pasti terjual. Di sisi lain jika terdapat jenis ikan dengan daya jual rendah, eksportir selalu meminta nelayan untuk tidak mengirimkan suplai (Wood 2001b).
Rata menangka sebanyak 50 ekor (W dari 50 ne perikanan Gambar 2 Peng beberapa penggunaa tetapi pen mengguna ditangkap seekor ika liver akib syndrome mengalam Men masalah d kedalam ti atau tidak
a-rata nelay ap sekitar 20
24-36 ekor, Wood 2001 egara produ ini menjad Illustrasi (sumber: ggunaan sia tempat m an bahan k nggunaanny akan jaring dengan m an dapat ma bat racun si
(SDS), yai mi stress (He nurut Sadov dengan mor iga jenis ya
sengaja (in
yan yang me 0-25 ekor ik , Australia s 1b). Akan
usen ikan h i sulit (Helf
proses pen www.teran anida untuk meskipun kimia lain ya relatif (Wood 200 menggunakan ati secara tib
ianida. M itu kematian elfman 2007 vy (2002), rtalitas ikan aitu: kemati
ncidental), d
elakukan pe kan per hari sebanyak 20
tetapi tidak hias laut, m fman 2007) angkapan ik gi.or.id). k menangk merupakan yang ditaw lebih maha 01b). Rata n sianida m ba-tiba saat
asalah lain n ikan seca 7).
kegiatan p n hasil tan an tiba-tiba dan kematia
enangkapan i, berdasark 0-45 ekor, d k adanya da membuat ke
.
kan hias lau
ap ikan hia n kegiatan warkan adal
al dibandin a-rata tingka mencapai 8
diberi maka n yaitu adan ara tiba-tiba
erdagangan ngkapan yan a (instaneou
an tertunda (
n mengguna kan observas
dan Sri Lank ata CPUE d ebijakan pen
ut dan alat
as laut mas yang ile lah minyak ngkan deng at kematian 80%. Di d an karena a nya masala a di dalam a
n ikan hias ng biasany
us), kematia (delayed).
akan jaring si di Cook I ka sebanyak dari sekitar
ngelolaan s
yang digun
sih dilakuk egal. Alte k cengkeh,
gan menan n ikan hias dalam akua
danya kerus ah sudden
akuarium k
laut meng ya dikelomp an akibat by
dapat Island k 30
Ikan target yang mati selama proses penangkapan diakibatkan oleh penanganan yang buruk maupun praktek penangkapan yang merusak, sehingga menyebabkan hilangnya potensi keuntungan bagi nelayan. Keadaan ini merupakan bentuk ‘pemborosan’ dimana ikan yang mati akan digantikan oleh dengan ikan yang baru pada kegiatan penangkapan berikutnya, sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya. Kematian akibat bycatch atau
incidental terjadi pada ikan non target dan terjadi pada semua kegiatan perikanan tangkap pada tingkatan tertentu. Karena kegiatan perikanan ikan hias laut cenderung menangkap ikan secara individual (satu per satu), bycatch relatif sangat kecil, terutama jika tidak menggunakan praktek penangkapan yang merusak. Kematian tertunda terjadi pada tahap penanganan setelah ikan ditangkap, biasanya pada tahapan penyimpanan dan transportasi. Kematian ini diakibatkan karena ikan mengalami stress sejak proses ikan ditangkap hingga tahap pengiriman, kelaparan, dan kualitas air yang buruk (Helfman 2007).
Menurut Rubec et al.(2001), perdagangan ikan karang hias yang ditangkap menggunakan jaring dimungkinkan secara ekonomi. Hal ini dapat dicapai jika mortalitas ikan dapat ditekan secara signifikan pada setiap tahapan pengiriman, sejak dari nelayan hingga penjual akhir (retailer) serta sekaligus menerapkan pola yang hemat biaya. Penangkapan ikan menggunakan jaring akan dapat meminimalisasi stress pada ikan yang berhubungan dengan proses penanganan dan pengiriman.
2.3 Dampak Kegiatan Industri Akuarium
yang juga merupakan target koleksi untuk akuarium. Lambatnya proses reproduksi pada kedua ikan ini semakin menekan keberadaannya di alam (Helfman 2007).
Masalah lain yang dihadapi adalah intensitas penangkapan yang terjadi di semua kelompok usia ikan. Juvenil adalah kelompok usia ikan yang sering menjadi target industri akuarium. Chan dan Sadovy (1998) mengestimasi bahwa sekitar 56% dari hewan hias yang dijual di Hong Kong adalah juvenil, dimana hal ini akan mempercepat laju penurunan populasi dan ketidakseimbangan ekosistem.
Edwards dan Shepherd (1992) menggunakan metode sensus visual untuk mengestimasi kepadatan populasi dan potensi lestari untuk spesies akuarium di Maldives. Mereka menyimpulkan bahwa 12 spesies dieksploitasi melebihi tingkat lestarinya, dan 12 lainnya akan mengalami overeksploitasi jika ekspor ditingkatkan menjadi tiga kali lipat dibanding tahun 1989 yaitu sebesar 54.000 ekor ikan setiap tahunnya.
Tissot dan Hallacher (2003) menemukan bahwa tujuh dari sepuluh ikan target mengalami penurunan kelimpahan yang signifikan di lokasi penangkapan yang berkisar antara 38% hingga 75%, sedangkan 2 dari 9 spesies yang memiliki kesamaan ekologi tetapi bukan merupakan ikan target menunjukan adanya penurunan jumlah di lokasi penangkapan di pesisir Kona, Hawaii. Lebih jauh, meskipun terjadi penurunan sebesar 32% dari ikan herbivora, tidak ditemukan perbedaan kepadatan makro alga antara daerah penangkapan dan daerah kontrol.
Melalui wawancara dengan nelayan lokal, Kolm dan Berglund (2003) menemukan dampak negatif yang signifikan akibat tekanan penangkapan ikan terhadap kepadatan Ikan Banggai Cardinalfish. Keadaan ini mengkhawatirkan karena sifat ikan Banggai Cardinalfish yang memiliki pola sebaran yang terbatas. Hal ini membuktikan bahwa meskipun metode penangkapan yang digunakan merupakan metode yang tidak merusak, kegiatan perdagangan ikan untuk akuarium telah mengakibatkan dampak parah terhadap populasi di alam. Terminologi ‘metode penangkapan yang tidak merusak’ mungkin mengakibatkan persepsi yang keliru dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya ikan karang.
keuntungan bagi negara-negara di daerah tropis khususnya bagi desa-desa kecil dan terpencil. Kegiatan ini dapat memberikan lapangan pekerjaan, mempromosikan kegiatan konservasi, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan dan sumberdaya laut lainnya (Helfman 2007).
Dari sudut pandang sosial-ekonomi, Dufour (1997) mengkalkulasi bahwa setiap 100.000 ikan yang diekspor dalam perdagangan akuarium telah menciptakan 10-20 lapangan kerja, menghasilkan pendapatan tahunan sebesar US$ 200.000. Dengan mengekstrapolasi nilai tersebut terhadap 15-40 juta ekor ikan yang diekspor setiap tahunnya, perdagangan dapat mencapai nilai US$30 - 60 juta bagi ekonomi lokal, menyerap tenaga kerja sebanyak 1.500 - 3.000 orang.
2.4 Pengelolaan Ikan Hias Laut Melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Gasparini et al. (2005), ada 8 pendekatan yang dapat dilakukan bagi pengelolaan kegiatan perikanan hias, yaitu: (1) pembatasan jenis yang diperdagangkan; (2) memprioritaskan kajian terhadap spesies-spesies yang utama dimanfaatkan; (3) membangun sistem kuota berbasis spesies; (4) pembatasan ukuran; (5) mempromosikan metode panangkapan dan perlakuan penanganan yang baik; (6) melindungi jenis-jenis langka maupun spesies kunci; (7) sistem pencatatan dan pelaporan yang baik oleh penjual; dan (8) membuat panduan lapangan yang berupa foto atau gambar dari spesies-spesies yang dimanfaatkan, untuk membantu pihak-pihak yang melakukan monitoring aktivitas pemanfaatan dan perdagangan.
Di Republik Maladewa, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Edwards (1988) dalam Wood (2001b) kuota total sebanyak 100.000 ekor ikan ditetapkan pada tahun 1988 dan 1989. Kuota berbasis spesies pun ditetapkan pada beberapa spesies yang rentan terhadap eksploitasi berlebih atau tingkat pemanfaatannya mendekati MSY.
dari 66 spesies yang memiliki kuota tangkap. Kategori C terdiri dari 71 spesies yang dapat diekspor secara bebas hingga mencapai jumlah total 300.000 ekor.
Studi pendugaan stok alami ikan hias laut, harus menjadi pertimbangan utama jika pengambilan terhadap ikan ini terus meningkat secara signifikan. Disamping itu, untuk mencegah kemungkinan terjadinya penangkapan berlebih juga diperlukan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (kuota) terhadap ikan dengan nilai jual tinggi tetapi kelimpahannya rendah (Dufour, 1997).
Kuota harus ditetapakan berdasarkan spesies (seperti penetapan 100, 1.000, atau 10.000 ekor ikan). Kuota tersebut harus ditetapkan setelah verfikasi stok alami yang ada terhadap suatu spesies dan juga mempertimbangkan ancaman atau dampak yang ada jika spesies ikan tersebut diambil (Dufour, 1997).
Pengelolaan stok ikan dapat diduga dari populasi yang telah diambil, yaitu jumlah total ikan yang ditangkap. Namun demikian, terkadang kelimpahan ikan sangat kontradiktif terhadap pendugaan stok melalui jumlah ikan yang telah diambil. Salah satu prinsip utama dalam pendugaan fluktuasi stok ikan hias laut adalah jumlah larva yang berada di karang, karena hal tersebut sangat mewakili jumlah produksi ikan yang sebenarnya. Dalam perdagangan ikan hias laut pendugaan stok dilakukan berdasarkan jumlah spesimen dan bukan biomassa, sehingga tingkat kolonisasi merupakan teori yang digunakan untuk penentuan batas pengambilan maksimum (Dufour, 1997). Namun demikian, untuk beberapa spesies jumlah kolonisasi larva yang terdapat di suatu pulau dalam satu tahun tergantung kepada bagaimana larva tersebut dapat bertahan dengan baik di lautan, sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi figur pulau lain berdasarkan suatu pulau. Untuk skala waktu dan ruang yang kecil, tingkat kolonisasi lebih mudah diprediksi berdasarkan spesies (Dufour, 1997).
Model perikanan tradisional belum berhasil mengatasi beberapa faktor kesalahan dalam pengelolaan. Para peneliti perikanan kembali menduga bahwa metode konvensional terutama dalam aplikasi untuk spesies dengan pertumbuhan cepat di daerah tropis tidak dapat dirancang dengan dana terbatas untuk melakukan pendugaan secara reguler terhadap populasi ikan target (Hodgson dan Ochavillo 2006).
Batasan-batasan dari asumsi yang ada pada teori model perikanan dan kurangnya data perdagangan hewan hias, kelimpahan ikan taget yang rendah dan variasi kelas ukuran menjadi suatu peluang untuk mengembangkan model perikanan. Edwards dan Shepherd (1998) mengusulkan pendekatan untuk pemanfataan ikan secara lestari dalam perdagangan akuarium. Mereka melakukan penghitungan kuota berdasarkan densitas (kelimpahan) ikan yang dihasilkan berdasarkan survei potensi dan populasi ikan karang serta estimasi skala total area kawasan terumbu karang. Berdasarkan fakta bahwa terumbu karang bukan merupakan habitat karang saja, maka kawasan terumbu karang diberikan nilai 0,5 untuk variabilitasnya. Selanjutnya berdasarkan formulasi dari Gulland (1971) yang menyatakan bahwa MSY adalah bagian dari biomassa yang tidak tereksploitasi, MSY diasumsikan tercapai dalam batas 66%. Faktor mortalitas alami dengan menggunakan panjang ikan infinity (L∞) dan suhu perairan juga menjadi parameter untuk perhitungan kuota. Sehingga diperoleh persamaan Q = M (0,5 x D) (0,5) (0,66) dimana Q adalah kuota, M adalah mortalitas alami dan D adalah densitas ikan.
Menurut Satriya (2009), pada eksploitasi dengan prinsip kehati-hatian
(precautionary principle), maka studi tentang jumlah tangkapan yang
KP No Kep. 18/Men/2002 tentang rencana strategis pembangunan kelautan den perikanan 2001-2004.
2.5 Pendekatan Lain Dalam Pengelolaan Perikanan Ikan Hias Laut
Rencana pengelolaan dan regulasi jarang ditemui pada perdagangan untuk akuarium dibandingkan untuk perikanan karang secara umum (Wood 2001a). Saat terdapat regulasi yang komprehensif, kepatuhan dan pengawasan cenderung mengalami masalah, Di Hawaii, hanya 13% dari kolektor yang memiliki ijin yang memenuhi kewajiban untuk memberikan laporan, meskipun tidak ada langkah untuk mengkaji keakuratan data yang dilaporkan (Moffie 2002).
Wood (2001b) mengeneralisasi bahwa perikanan ikan hias perlu dikelola untuk: (1) memastikan keberlanjutannya dan terintegrasi dengan pemanfaatan sumberdaya lainnya (jenis perikanan lain dan ekowisata); (2) meminimalkan kematian saat penangkapan dan pasca penangkapan, termasuk tidak menangkap jenis ikan yang sulit dipelihara di akuarium; dan (3) menyentuh isu sosial-ekonomi untuk perdagangan yang adil dan seimbang.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan metapkan daerah perlindungan atau zona larang ambil (no take zone). Menurut Friedlander (2001), daerah perlindungan menawarkan alternatif suatu pendekatan pengelolaan perikanan yang umumnya bergantung pada pembatasan ukuran tangkap, pembatasan jumlah tangkapan, pengaturan alat tangkap dan upaya. Dengan daya jelajah yang terbatas dan tingginya asosiasi antara ikan hias laut dengan habitatnya menyebabkan daerah perlindungan merupakan strategi yang sangat efektif dalam mengelola sumberdaya. Hasil kajian dari Hawaii menunjukan bahwa daerah perlindungan dengan habitat yang beragam dan kompleks dapat memberikan dampak positif terhadap stok ikan.
Hawaii, menempatkan 30% dari wilayah pesisir tertutup bagi pemanfaatan untuk ikan hias laut.
Pendekatan lain yang saat ini juga sedang gencar dilakukan adalah melalui sertifikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi perdagangan dan LSM telah bekerjasama untuk memastikan bahwa biota hias yang ditangkap, ditransportasikan, dan dijual telah melalui suatu proses yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. American Wildlife Dealer Association (AWDA) telah menetapkan suatu kode etik dan standar praktis bagi konsumen produk-produk ikan hias yang dinamakan the Responsible Marine Aquarist yang bertujuan untuk mendorong para konsumen dapat memilih jenis ikan yang paling sesuai dengan kondisi akuarium yang mereka miliki (Helfman 2007).
Lecchini et al. (2006) menawarkan sebuah model pemanfaatan ikan hias melalui perspektif yang berbeda, yaitu dengan menangkap ikan pada fase larva yang kemudian diasuh dan dibesarkan hingga mencapai ukuran jual. Pendeketan ini memiliki beberapa keuntungan yaitu: (i) larva ditangkap dengan menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif (crest net) sehingga tidak merusak lingkungan dan mengurangi stres pada larva; (ii) ikan yang dibesarkan sejak fase larva nantinya akan terbiasa hidup dalam akuarium sehingga memiliki tingkat ketahanan hidup (survival rate) yang tinggi saat ikan dipelihara oleh konsumen.
2.6 Analisis Finansial
Analisis finansial adalah suatu analisis yang memiliki tujuan diantaranya untuk: (i) mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi suatu proyek atau usaha, dan (ii) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif yang paling menguntungkan (Gray et al. 2005).
umum digunakan adalah analisis net present value (NPV), internal rate of return
(IRR), dan net benefit-cost ratio (Net B/C) (Gray et al. 2005).
2.7 Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan berbagai strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (Rangkuti 2004). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal (internal factor evaluation/IFE) yaitu strengths dan weaknesses serta faktor eksternal (external factor evaluation/EFE) yaitu opportunities dan threats yang dihadapi dunia usaha, sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi pengembangan (Marimin 2004).
Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi usaha melalui IFE dan EFE, selanjutnya tahapan analisis matriks SWOT. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat melalui berbagai tahapan sebagai berikut:
1) Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor internal dan eksternal
2) Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT 3) Tahap pengambilan keputusan.
Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti 2004), yaitu:
1) Strategi S-O, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang.
2) Strategi W-O, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Weh (Provinsi Aceh) dengan fokus utama pelaksanaan penelitian dilakukan di Desa Beurawang yang merupakan pusat kegiatan perikanan ikan hias laut (Gambar 3).
3.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Secara umum penelitian ini terbagi kedalam 10 tahap, dengan tahapan-tahapan pelaksanaan sebagai berikut (Gambar 4):
1) Pengambilan data ikan karang di perairan Pulau Weh yang diambil dengan menggunakan metode sensus visual.
2) Pengambilan data hasil tangkapan dan upaya tangkap untuk analisis nilai CPUE (Catch per Unit Effort).
3) Analisis kelimpahan dan pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut.
4) Pengumpulan data kondisi ikan selama proses penanganan pasca
penangkapan yang meliputi data mengenai jumlah dan spesies ikan yang: a. didaratkan
b. sakit atau terluka c. mati
d. dikemas dan dikirim ke pihak pembeli
5) Pengumpulan data ikan yang dikirim ke pembeli meliputi jumlah, spesies, dan harga jual.
6) Mengumpulkan data sosial-ekonomi melalui wawancara dengan nelayan. 7) Pengambilan data dan informasi biaya (cost) proses-proses penanganan. 8) Analisis finansial kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh.
9) Analisis dan pembangunan model optimasi pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh.
Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian. Mulai
Pengambilan data ikan karang dengan survei
sensus visual
Pengumpulan data produksi dan upaya
penangkapan
Analisis kelimpahan ikan karang
Pendugaan kuota tangkap lestari
Perhitungan CPUE
Analisis optimasi pemanfaatan sumberdaya
ikan hias laut
Selesai Pembahasan dan
Kesimpulan Pengumpulan data biaya
penanganan (dengan sistem yang berjalan saat ini)
Pengumpulan data biaya penanganan (mengacu model
standarisasi MAC)
Analisis Finansial Pengumpulan data kondisi ikan (jumlah ikan sakit atau
terluka, mati, dan yang dikirim)
Pengumpulan data ikan yang dikirim ke pembeli meliputi jumlah, spesies,
dan harga jual
3.3 Jenis Data, Bahan dan Alat Penelitian
[image:47.595.108.523.247.431.2]Dalam penelitian ini terdapat 5 data primer yang dikumpulkan, yaitu kelimpahan ikan karang, produksi dan upaya penangkapan, jumlah ikan yang dikirim, biaya-biaya penanganan (handling), serta informasi umum kegiatan perikanan ikan hias laut. Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengambilan data dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis data, metode, dan alat yang digunakan dalam penelitian
No Jenis Data Metode Alat/Bahan
1. Perahu 2. Alat selam 3. Roll meter
4. Form data ikan dan alat tulis
1. Alat tulis 2. Peta 3. GPS 4. Kamera
3 Pengiriman ikan Wawancara / observasi Log book dan alat tulis 4 Biaya-biaya pemrosesan Wawancara / observasi Alat tulis
5 Informasi umum kegiatan perikanan ikan hias laut
Wawancara sampel
terpilih Alat tulis 1 Kelimpahan ikan karang Sensus visual bawah air
2 Hasil tangkapan dan upaya penangkapan
Wawancara / observasi
3.4 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Desember 2010. Tahapan yang dilakukan adalah: persiapan pengambilan data pada bulan Januari 2010, pengambilan data hasil tangkapan (Januari-Desember 2010), pengumpulan data dan informasi proses penanganan (Oktober-November 2010). Kajian metode
penanganan yang mengacu standar Marine Aquarium Council (MAC)
dilaksanakan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta pada bulan Desember 2010.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Tabel 2 Jenis, metode, dan deskripsi singkat mengenai data yang dikumpulkan dalam penelitian
No Jenis data Metode pengambilan data Deskripsi
1 Kelimpahan ikan karang Survei sensus visual di
bawah air, menggunakan transek sabuk (belt transect), pada 2 kedalaman
Data yang dicatat: spesies, jumlah, ukuran
2 Produksi hasil tangkapan
a Spesies Observasi langsung
b Ukuran (S,M,L) Observasi langsung Pengelompokan ukuran ikan tidak sama, bervarisasi berdasarkan spesies c Jumlah individu ikan Observasi langsung Jumlah ikan yang dicatat
dikelompokan berdasarkan spesies dan ukuran
3 Upaya penangkapan
a Waktu trip Wawancara/observasi langsung
Satuan jam b Biaya operasional Wawancara Satuan rupiah
c Jumlah ABK Wawancara Jumlah seluruh ABK dalam d Lokasi penangkapan Wawancara/observasi
langsung
Menggunakan alat bantu peta saat wawancara, GPS saat observasi langsung
4 Pengiriman Ikan
a Biaya packing Wawancara b Biaya pengiriman Wawancara
c Harga jual Wawancara/log book Harga jual dicatat untuk masing-masing spesies dan ukuran
5 Biaya penanganan (Handling)
a Biaya penanganan berdasarkan model penanganan yang ada saat ini
Wawancara/observasi langsung b Biaya penanganan berdasarkan
model standar MAC
Wawancara/observasi langsung
6 Informasi umum kegiatan perikanan ikan hias laut
Wawancara/observasi langsung
Nelayan ikan hias sebagai target responden
Parameter biaya yang dicatat adalah biaya tetap dan biaya variabel
3.5.1 Kelimpahan ikan karang
Langkah-langkah pelaksanaan metode sensus visual menurut WCS (2008) yang dimodifikasi dari Labrosse et al. (2002), adalah:
1) Penentuan lokasi survei dengan menggunakan GPS (Global Positioning System).
2) Meletakan roll meter pada kedalaman yang sama di masing-masing titik survei (pada dua kedalaman yaitu antara 2-3 meter dan 7-8 meter.
3) Pencatatan data dilakukan pada:
- Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 2 x (5 x 50 m) untuk ukuran ikan > 10 cm
- Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 2 x (2 x 50 m) untuk ukuran ikan < 10 cm
4) Ikan yang ditemukan di dalam transek sabuk selama sensus dilakukan adalah jenis, jumlah, dan kelompok ukuran panjang ikan dengan interval 5 cm dari 0-5 cm hingga >40 cm.
Ilustrasi mengenai metode sensus visual disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Ilustrasi metode sensus visual ikan karang (modifikasi dari Labrosse et al. 2002, atas seizin lembaga penerbit).
3.5.2. Hasil tangkapan dan upaya penangkapan
saat nelayan mendaratkan hasil tangkapan mereka. Data-data lainnya yang dicatat meliputi waktu trip, jumlah anak buah kapal (ABK), dan lokasi penangkapan. Parameter-parameter produksi dan upaya penangkapan yang dicatat selama penelitian disajikan pada Tabel 2.
3.5.3 Pengiriman ikan
Data pengiriman ikan yang dicatat meliputi jumlah, spesies, biaya pengemasan (packing), biaya pengiriman, dan harga jual. Parameter-parameter pengiriman ikan yang dicatat selama penelitian disajikan pada Tabel 2.
3.5.4 Biaya penanganan (handling)
Pengumpulan data biaya penanganan (handling) dilakukan untuk mengetahui besaran biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) yang dikeluarkan dalam suatu siklus produksi. Pengumpulan data biaya handling dilakukan pada dua model penanganan yang berbeda, yaitu (a) model penanganan yang dilakukan oleh nelayan di Desa Beurawang saat ini, dan (b) model ideal berdasarkan standarisasi lembaga Marine Aquarium Council (MAC). Untuk mendapatkan model penanganan yang ideal berdasarkan standarisasi MAC, sebagai acuan maka dilakukan kajian pada salah satu kelompok nelayan ikan hias di Pulau Panggang Kepulauan Seribu yang merupakan nelayan binaan Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI).
3.5.5 Informasi umum kegiatan perikanan ikan hias laut
1) jenis-jenis ikan yang menjadi target penangkapan 2) lokasi penangkapan
3) kedalaman perairan saat melakukan penangkapan 4) rata-rata hasil tangkapan
5) lama waktu melaut 6) musim penangkapan 7) biaya dan keuntungan
8) latar belakang menjadi nelayan ikan hias 9) mata pencaharian alternatif
10) informasi unit penangkapan (ukuran kapal, jenis kapal, dan ukuran mesin)
3.6. Analisis Data
3.6.1 Penentuan kuota tangkapan lestari
Penentuan nilai kuota tangkapan lestari dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu menduga kelimpahan rata-rata ikan di alam, menduga nilai maximum sustainable yield (MSY), dan menentukan kuota tangkapan lestari ikan hias laut. Kuota tangkap lestari yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yang mengacu kepada Kepmentan No.995/Kpts/IK.210/9/99 dan Kepmen KP No Kep. 18/Men/2002, yaitu sebesar 80% dari nilai MSY.
Tahap pertama adalah pendugaan stok ikan melalui metode sensus visual di bawah air dengan menggunakan perhitungan kelimpahan dan total area transek yang digunakan. Data kelimpahan ikan didapatkan dari survei sensus visual yang dilaksanakan bersama Wildlife Conservation Society pada tahun 2009. Jumlah individu ikan dihitung untuk menduga kelimpahan dengan mengunakan persamaan sebagai berikut (Labrosse et al. 2002):
) 1 (
1
Ld
ni
D
p
i
Keterangan :
Ld = adalah luas transek (m2)
Adapun pendugaan kelimpahan pada penelitian ini menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
- Perhitungan jumlah individu ikan tidak mencakup ikan yang berada di permukaan, dan individu dihitung hanya satu kali,
- Metode ini digunakan untuk ikan yang cenderung menetap, - Metode ini digunakan untuk menduga kelimpahan dan biomassa, - Lebar transek merupakan faktor untuk perhitungan,
- Semakin lebar transek, semakin rendah kelimpahan ikan.
Setelah didapatkan nilai dugaan kelimpahan ikan karang, maka pendugaan jumlah stok ikan yang ada dihitung melalui persamaan sebagai berikut (Wijaya et al. 2010):
) 2 (
1
pi
Ld
D
S
Keterangan:
S = Jumlah stok (individu) D = Kelimpahan Ikan (ind/ha) Ld = Luas habitat (ha)
Selanjutnya, potensi tangkapan lestari (MSY) diduga dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Garcia et al. (1989). Persamaan ini merupakan pengembangan dari persamaan yang diusulkan oleh Cadima untuk sumberdaya yang telah terekspoitasi, dan kemudian diturunkan kedalam model Schaefer dan Fox (Garcia et al. 1989; Sparre dan Venema 1999). Persamaan ini diusulkan untuk aplikasi pada kondisi dimana data hasil tangkapan dan upaya tangkap terbatas.
Model Schaefer: ) 3 (
2
)
(
2