PA
PU
PR
PEMMANFAATTAN SUMBBERDAYA TERUMBBU KARANNG
NTUK PERRIKANAN TANGKAP DAN ARIWISATTA
DI ULAU PASSI, KABUPPATEN KEEPULAUAAN SELAYYAR,
ROVINSI SULAWESI SELATAAN
AKHMAAD MUHAARRAM
SEKOLAH PASCASSARJANA
NSTITUT PERTANIA BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang untuk Perikanan Tangkap dan Pariwisata di Pulau Pasi, Kabupaten
Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
ABSTRACT
AKHMAD MUHARRAM. Coral Reef Resources Utility for Fisheries and Tourism in Pasi Island, District of Selayar Archipelago, Province of South Sulawesi. Under direction of ACHMAD FAHRUDIN and ARIO DAMAR.
Coral reef ecosystem has been crucial for the community near the ecosystem especially in fisheries and tourism sector. Coral reef condition plays an important role not only for ecological but also economic sustainability. The study is tried to apply valuation technic for the aim of knowing the ecological condition and valuing coral reef ecosystem focussing on utility of fisheries and tourism in Pasi Island. Coral condition in Pasi Island is influencing those sectors, whereas the impact of MPA could increase the coral cover and fish abundancy that also influence the fisheries and tourism sectors. The possibility to implement entrance fee is tried to evaluate by asking tourist willingness to pay as a form of community awareness. Based on the effect of production method and travel cost method, we calculate economic value from fisheries about Rp. 2 665 016 072/ha/year and economic value from tourism about Rp. 53 700 760.31/ha/year. Using contingent valuation method, willingness to pay for entrance fee is Rp. 23 653.65,-/ person, therefore the benefit from entrance fee implementation worth over 146 million Rupiah per year. MPA implementation is observed have a positive effect on fisheries economic value.
RINGKASAN
AKHMAD MUHARRAM. Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang untuk Perikanan Tangkap dan Pariwisata di Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan ARIO DAMAR.
Ekosistem terumbu karang ini seperti halnya ekosistem lainnya memiliki jasa (services) yang sangat besar bagi manusia dan lingkungan. Manfaat tersebut
diantaranya adalah manfaat ekologi dan manfaat ekonomi. Manfaat sumberdaya terumbu karang yang besar tersebut tidak luput dari adanya ancaman baik itu akibat dari ulah manusia maupun pengaruh dari alam. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk menanggulangi hal tersebut. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah perlindungan sumberdaya alam yang dapat dilakukan melalui konservasi dengan cara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Pulau Pasi merupakan kawasan terumbu karang dengan kelimpahan ikan dan tutupan karang yang baik. Berbagai jenis ikan karang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat dan kawasan terumbu karang Pulau Pasi juga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daerah wisata. Manfaat terumbu karang yang sangat besar tersebut harus diiringi dengan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan
melestarikan ekosistem tersebut. Penelitian ini melakukan tinjauan terhadap pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Pulau Pasi baik dari sektor usaha penangkapan ikan maupun pariwisata untuk mengetahui nilai ekonominya dan memberikan gambaran mengenai pengaruh penetapan DPL terhadap nilai manfaat langsung sektor usaha penangkapan ikan di Pulau Pasi.
Analisis yang dilakukan meliputi adalah analisis ekologi meliputi tutupan karang hidup, tingkat mortalitas karang, dan kelimpahan ikan karang. Analisis ekonomi dilakukan melalui metode valuasi yang meliputi metode effect on
production (EOP) untuk mengkuantifikasi nilai manfaat perikanan tangkap, metode
travel cost method (TCM) untuk mengkuantifikasi nilai manfaat pariwisata dan
willingness to pay (WTP) untuk mengukur kemampuan membayar wisatawan apabila diterapkan sejumlah biaya masuk sebagai bentuk kepedulian wisatawan terhadap pengelolaan terumbu karang. Gambaran untuk melihat pengaruh DPL terhadap nilai manfaat perikanan tangkap dilakukan dengan menggunakan present value.
Berdasarkan pengamatan secara ekologi terumbu karang di Pulau Pasi mengalami peningkatan dalam tutupan karang hidup dibandingkan dengan tahun 2007. Kondisi terumbu karang rata-rata dalam kondisi baik. Tingkat kematian karang di Pulau Pasi rata-rata mengalami penurunan dibandingkan tahun 2007. Penangkapan ikan secara destruktif yang kadang terjadi di Pulau Pasi turut mengakibatkan tingginya mortalitas karang di pulau ini.
Umumnya jenis ikan yang terdapat di Pulau Pasi merupakan ikan dari famili Pomacentridae dengan kelimpahan sebesar 643 ind/250m2 dan komposisi Ikan
sehingga diharapkan dengan adanya peningkatan kelimpahan maupun peningkatan jumlah jenis dapat berpotensi untuk meningkatkan pendapatan nelayan dari hasil tangkapannya.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode Effect on Production
(EOP) diperoleh surplus konsumen (consumer surplus) sebesar Rp. 976 041 223,
sehingga apabila dihitung manfaat ekonomi terumbu karang dari perikanan tangkap adalah sebesar Rp. 2 665 016 072 /ha/tahun.
Nilai manfaat dari pariwisata dilakukan dengan menggunakan analisis travel cost method, hasilnya diperoleh surplus konsumen (consumer surplus) sebesar Rp. 3 542 116.38, sehingga nilai manfaat terumbu karang dari wisata adalah sekitar Rp. 53 700 760.31/ha/tahun. Nilai manfaat wisata memang tidak terlalu besar hal ini dikarenakan masih sedikit wisatawan yang mengunjungi Pulau Pasi dan sektor wisata Pulau Pasi belum berkembang meskipun potensi wisata pulau pasi cukup besar untuk dikembangkan.
Berdasarkan analisis willingness to pay (WTP) diperoleh rata-rata
kesanggupan tiap responden untuk membayar adalah sekitar Rp. 23 653.65 sehingga secara akumulasi pemasukan yang diperoleh dari penerapan biaya masuk ini adalah sekitar Rp. 146 439 734.06/tahun. Biaya yang bersedia dikeluarkan merupakan wujud kepedulian mereka terhadap keberadaan terumbu karang di Pulau Pasi dan diharapkan pemasukan tersebut dapat dipergunakan untuk pengelolaan sumberdaya terumbu karang di Pulau Pasi.
Kelimpahan ikan target di area DPL apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, mengalami peningkatan sebesar 50.6% per tahun, dengan
menggunakan asumsi bahwa sektor penangkapan ikan meningkat seiring dengan peningkatan kelimpahan ikan target dan dengan discount factor sebesar 6%,
diperoleh gambaran present value nilai manfaat perikanan tangkap akibat penetapan dan pengelolaan DPL mengalami peningkatan seiring dengan waktu.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
PEMANFAATAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG
UNTUK PERIKANAN TANGKAP DAN PARIWISATA
DI PULAU PASI, KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR,
PROVINSI SULAWESI SELATAN
AKHMAD MUHARRAM
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis
Nama NRP
Program Studi
: Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang untuk Perikanan Tangkap dan Pariwisata di Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan
: Akhmad Muharram : C252080454
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 22 September 2010
Anggota
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si
Diketahui
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya hasil penelitian (tesis) ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Pulau Pasi dengan judul pemanfaatan sumberdaya terumbu karang untuk perikanan tangkap dan pariwisata di Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini meninjau nilai manfaat langsung dari terumbu karang baik dari perikanan tangkap maupun pariwisata di Pulau Pasi, yang pada akhirnya dilakukan gambaran untuk melihat dampak dari pengelolaan daerah perilindungan laut (DPL) terhadap nilai manfaat langsung terutama perikanan tangkap.
Dalam penyusunan tesis ini penulis diberikan arahan dan bimbingan oleh komisi pembimbing yaitu: (1) Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si sebagai Ketua Komisi dan (2) Dr. Ir. Ario Damar, M.Si sebagai Anggota Komisi. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk meraih kesadaran baik masyarakat, pihak pengelola maupun pihak lain yang berkepentingan demi terciptanya pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang berkelanjutan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada komisi pembimbing, beasiswa COREMAP II World Bank serta pihak-pihak lain yang telah membantu terselesaikannya tesis ini.
Bogor, September 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 November 1981 dari pasangan Affandi Syamsu dan Sumiati. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2008 penulis memiliki kesempatan beasiswa untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana IPB dengan Program Studi Pengelolaan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………...
DAFTAR GAMBAR ……….
xix
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xxiii
1. PENDAHULUAN ………... 1.1 Latar Belakang ………... 1.2 Perumusan Masalah ………... 1.3 Tujuan dan Manfaat ………... 1.4 Kerangka Pemikiran ………...
2. TINJAUAN PUSTAKA ………. 2.1 Terumbu Karang ……… 2.2 Ikan Karang ………
2.3 Marine Protected Areas (MPA) ……….
2.4 Supply Side Ecology ………...
2.5 MPA dan Perikanan Tangkap ….………... 2.6 MPA dan Pariwisata ………... 2.7 Marine Protected Areas dan Tutupan Karang Hidup ……… 2.8 Hubungan Tutupan Karang dan Kelimpahan Ikan ………... 2.9 Valuasi Ekonomi ………
2.9.1 Effect on Production (EOP) ….……….
2.9.2 Travel Cost Method (TCM) ………... 2.9.3 Contingent Valuation Method (CVM) ...………... 2.10 Pentingnya Valuasi Ekonomi dalam Kebijakan Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berkelanjutan ………..
3. METODE PENELITIAN ………. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……… 3.2 Metode Pengumpulan Data ……… 3.3 Jenis dan Sumber Data ………... 3.4 Analisis Data ………... 3.4.1 Indeks Mortalitas Karang ……….. 3.4.2 Metode Effect on Production (EOP)……….. 3.4.3 Travel Cost Method (TCM) ………... 3.4.4 Contingent Valuation Method (CVM) ………... 3.4.5 Gambaran Pengaruh DPL terhadap Nilai Manfaat Perikanan
Tangkap ……….
4. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ………
4.1.1 Kondisi Geografis………. 4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi……… 4.2 Kondisi Ekologi……….
4.2.1 Kondisi Terumbu Karang………
xviii
4.2.2 Ikan Karang………. 4.3 Perikanan Tangkap ………..……….. 4.3.1 Armada, Alat dan Komoditas Tangkapan ………... 4.3.1.1 Jenis Armada (Kapal) Penangkapan ………... 4.3.1.2 Jenis Alat Tangkap……….. 4.3.1.3 Komoditas Hasil Tangkapan………... 4.3.2 Nilai Manfaat Perikanan Tangkap……… 4.4 Pariwisata……… 4.4.1 Karakteristik Pengunjung……… 4.4.2 Persepsi Pengunjung……… 4.4.3 Nilai Manfaat Pariwisata………. 4.4.4 Analisis Willingness to Pay (WTP) ...……….
4.5 Gambaran Pengaruh DPL terhadap Nilai Manfaat Perikanan Tangkap..
5. KESIMPULAN DAN SARAN………. 5.1 Kesimpulan……….. 5.2 Saran………
DAFTAR PUSTAKA ……….
LAMPIRAN ………...
49 51 51 51 52 55 57 57 57 59 62 63 64
67 67 68
69
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Manfaat ekosistem terumbu karang ....……….………...………….. 10
2 Skema gangguan alami terumbu karang ……… 11
3
4
5
6
7
8
Langkah-langkah dalam perbaikan pengelolaan terumbu karang ………….
Keuntungan dan kerugian penetapan user fees ……...………….………...
Tipe nilai ekonomi dan metode valuasinya .…...………
Jenis dan sumber data ………..………..
Komposisi penduduk Desa Bontolebang menurut jenis kelamin (orang) ….
Waktu dan kondisi musim penangkapan ikan di Pulau Pasi ..……….…….. 13
21
26
38
45
46
9 Kalender musim komoditas perikanan di Desa Bontolebang .………... 47
10 Gambaran dampak penetapan DPL terhadap nilai manfaat langsung perikanan tangkap (present value dalam nilai Rupiah dengan discount
DAFTAR GAMBAR
Kerangka Pemikiran ………...………...………...…..
Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang ……...………
Tipologi nilai ekonomi ……...………...………..
Fungsi keterkaitan antara valuasi ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan ...……….…..
Peran valuasi ekonomi dalam kebijakan terumbu karang ...……….………
Peta Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Struktur organisasi pemerintahan Desa Bontolebang……….…...…….
Komposisi persentase jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan .…...
Komposisi persentase jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan ….……...
8
10 Komoditas produksi perikanan nelayan Desa Bontolebang ….……….
11 Persentase tutupan karang hidup tahun 2007 dan 2010 di Pulau Pasi ...……
12 Indeks mortalitas karang tahun 2007 dan 2010 di Pulau Pasi ……...
13 Komposisi rata-rata kelimpahan ikan karang berdasarkan famili dalam 250
m2 di Pulau Pasi …...………..
14 Rata-rata kelimpahan ikan karang berdasarkan pengelompokan ikan tahun 2007 dan 2010 …...………..………..
15 Rata-rata kelimpahan jumlah spesies ikan karang tahun 2007 dan 2010 .... 51
16 Jenis armada (kapal) nelayan Desa Bontolebang …...…...
17 Jenis alat tangkap nelayan Desa Bontolebang ....…...………...
52
52
18
19
20
Komposisi jenis alat tangkap responden nelayan Desa Bontolebang ….….
Alat tangkap nelayan Desa Bontolebang, Pulau Pasi ….………...
Komposisi jenis kapal responden nelayan Desa Bontolebang .…………....
53
54
55
21 Jenis Ikan hasil tangkapan responden nelayan Desa Bontolebang ...
22 Beberapa jenis ikan sunu yang tertangkap di perairan Pulau Pasi ...……….
55
23 Komposisi umur responden wisata Pulau Pasi …………..………... 58
24 Tingkat pendidikan responden wisata Pulau Pasi ………..………... 58
25 Jumlah kunjungan responden wisata Pulau Pasi ………..……… 59
26 Komposisi motivasi pengunjung ………..………..………...
27 Komposisi persepsi pemilihan lokasi wisata Pulau Pasi ..………..………..
28 Sumber informasi pengunjung wisata Pulau Pasi …………..……….
59
60
61
29 Persepsi pengunjung terhadap kondisi terumbu karang Pulau Pasi ……... 61
30 Persepsi pengunjung terhadap lokasi selam dibandingkan dengan lokasi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Benthic life form terumbu karang pada masing-masing stasiun penelitian dengan metode LIT ……….………...………... 77
2
3
Kelimpahan ikan karang Pulau Pasi hasil pengamatan visual census …..
Hasil tangkapan, harga dan pendapatan nelayan responden Desa
Bontolebang ……….…………...……..…….………… 79
83
4
5
Hasil perhitungan regresi metode Effect on Production (EOP) …...…….. 85
Hasil perhitungan program MAPPLE untuk metode Effect on
Production (EOP) ……….……….……… 87
6 Tingkat kunjungan, biaya perjalanan dan waktu perjalanan responden
wisata Pulau Pasi ….……….. 89
7
8
9
Hasil perhitungan regresi Travel Cost Method (TCM) ……….. 91
Hasil perhitungan MAPPLE untuk Travel Cost Method (TCM) …….….. 93
Willingness to Pay (WTP) dan pendapatan responden wisata …………... 95
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki manfaat yang sangat besar baik secara ekonomi maupun secara ekologi, dimana ekosistem terumbu karang ini seperti halnya ekosistem lainnya memiliki jasa (services) yang sangat besar bagi manusia dan lingkungan. Menurut Moberg dan Folke (1999) peran dan manfaat ekosistem terumbu karang ini terdiri dari manfaat ekonomi, ekologi maupun manfaat terumbu karang secara sosial budaya. Manfaat secara ekonomi merupakan manfaat pendapatan yang diperoleh masyarakat pesisir misalnya manfaat yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan, sedangkan manfaat ekologi dapat kita lihat dari struktur fisik terumbu karang yang berfungsi sebagai penahan gelombang dan pelindung pantai, manfaat ekologi sebagai pemelihara biodiversitas, dan
fungsinya dalam proses biogeochemical diantaranya mengendapkan kalsium karbonat, maupun fungsinya dalam merekam terjadinya pencemaran maupun perubahan iklim. Selain itu juga ekosistem terumbu karang memiliki peran sosial budaya dimana sumberdaya terumbu karang menentukan keberlanjutan bagi penghidupan masyarakat dan mendukung nilai kultural keagamaan maupun spiritual.
Manfaat sumberdaya terumbu karang yang besar tersebut tidak luput dari adanya ancaman baik itu akibat dari ulah manusia maupun pengaruh dari alam. Faktor ancaman yang berasal dari alam seringkali tidak dapat terhindarkan baik itu akibat pengaruh dari perubahan iklim, bencana badai maupun serangan penyakit, sedangkan ancaman akibat faktor manusia seperti penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, tangkap lebih (over fishing), penambangan
karang, maupun limpahan bahan-bahan pencemar dari daratan. Kerusakan terumbu karang akibat aktivitas manusia tersebut telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Cesar et al. (1996) mengukur kerugian yang ditimbulkan akibat dari ancaman penangkapan ikan secara destruktif yaitu penangkapan ikan dengan racun terhadap kegiatan perikanan sebesar 40 200 US$/km2 dan terhadap
ditimbulkan oleh kegiatan pengeboman ikan terhadap perikanan tangkap adalah sebesar 86 300 U$/km2 dan terhadap kegiatan pariwisata sebesar 8 900-193 000
US$/km2.
Indonesia merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle) dimana terumbu karang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiversity). Tingginya keanekaragaman hayati tersebut tidak hanya
disebabkan oleh letak geografisnya yang strategis tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang
mempengaruhi massa air dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di wilayah pesisir dengan berbagai aktivitas ekonominya menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya pesisir dan laut termasuk kawasan terumbu karang. Hal tersebut semakin dipicu oleh kegiatan yang tidak mengacu pada kriteria pembangunan berwawasan lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya alam laut yang berlebihan (over-eksploitasi). Oleh karenanya diperlukan upaya untuk menanggulangi hal tersebut. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah perlindungan sumberdaya alam yang dapat dilakukan melalui konservasi dengan cara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL). DPL pada dasarnya merupakan perlindungan secara lestari terhadap sumberdaya dan diharapkan melalui penetapan DPL tersebut dapat terwujud pemanfaatan sumberdaya alam laut secara berkelanjutan.
Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan sebuah kabupaten kepulauan di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki kekayaan sumberdaya perikanan dan laut yang tinggi dengan adanya keragaman ekosistem laut terumbu karang, mangrove dan padang lamunnya, sehingga merupakan sebuah kabupaten maritim. Pulau Pasi merupakan sebuah pulau di Kabupaten Kepulauan Selayar yang secara administratif masuk ke dalam Kecamatan Bontoharu. Pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Selayar ini merupakan sebuah pulau yang memiliki kawasan ekosistem terumbu karang dimana di kawasan ini terdapat area Daerah
Perlindungan Laut (DPL) (PPTK Unhas 2007).
batu, karang lunak, dan biota asosiasi yang terdapat pada ekosistem terumbu karang di Pulau Pasi (PPTK Unhas 2007). Terumbu karang merupakan sumber penting bagi penduduk lokal karena masyarakat memanfaatkan sumberdaya di kawasan ini baik untuk kepentingan subsisten maupun untuk kepentingan komersial. Berbagai jenis ikan karang seperti ikan kerapu seringkali ditangkap oleh nelayan sehingga memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat.
Kawasan terumbu karang Pulau Pasi juga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daerah wisata karena memiliki keindahan alam yang potensial dikembangkan untuk wisata pantai, wisata selam maupun hiking karena pulau ini memiliki areal dengan bukit kapur dan gua. Potensi tersebut apabila dikelola dengan baik dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat maupun sumber pendapatan daerah yang dapat dipergunakan untuk perlindungan kawasan terumbu karang.
Manfaat lain yang jauh lebih penting dari ekosistem terumbu karang di Pulau Pasi adalah manfaat ekologis dimana struktur karang dari terumbu karang memiliki peranan yang sangat besar dalam menahan efek dari gelombang dan badai terhadap daratan, sehingga terumbu karang berfungsi sebagai penahan gelombang alamiah yang mampu menghindari terjadinya dampak negatif dari gelombang seperti abrasi pantai. Selain itu, ekosistem terumbu karang yang unik memiliki nilai penting keanekaragaman hayati yang harus dilestarikan dan mempunyai nilai penelitian dan pendidikan bagi masyarakat.
Sumberdaya terumbu karang, selain dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat pesisirnya, juga mengundang nelayan daerah lain untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan. Fungsi ekonomis ekosistem terumbu karang yang lebih dikedepankan oleh para pengguna telah menjadi ancaman kelestariannya.
Penangkapan ikan dengan menggunakan obat bius masih terjadi di Pulau Pasi. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan terutama kematian koral, sehingga apabila hal ini terus terjadi dapat mengakibatkan penurunan hasil
tersebut harus diiringi dengan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melestarikan ekosistem tersebut.
Dalam upaya mencegah laju kerusakan ekosistem laut, terutama ekosistem terumbu karang, maka dibutuhkan peraturan dan kebijakan Pemerintah Daerah Selayar yang berdasarkan pemberdayaan masyarakat sebagai stakeholder utama. Penentuan dan penetapan sebuah kawasan DPL
merupakan salah satu upaya dimana pemerintah daerah dapat menahan laju kerusakan ekosistem sekaligus menjaga keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya dari ekosistem oleh masyarakat pengguna.
Daerah Perlindungan Laut (DPL) diharapkan dapat meningkatkan perlindungan terhadap sumberdaya terumbu karang sehingga ekosistem terumbu karang dapat terpelihara dengan baik dan efek dari spill-over dapat bermanfaat
dalam keberlanjutan sumberdaya ikan di Pulau Pasi dan kondisi terumbu karang yang semakin membaik tentunya dapat mendorong sektor pariwisata di daerah ini. Oleh karena itu diperlukan suatu tinjauan terhadap pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Pulau Pasi baik dari sektor usaha penangkapan ikan maupun pariwisata untuk mengetahui nilai ekonominya dan memberikan gambaran mengenai pengaruh penetapan DPL terhadap nilai manfaat langsung terutama sektor perikanan tangkap di Pulau Pasi.
1.2 Perumusan Masalah
Disamping manfaat ekonomis tersebut terdapat manfaat lain yang jauh lebih penting yaitu manfaat ekologis dimana struktur karang dari terumbu karang memiliki peranan yang sangat besar dalam menahan efek negatif dari gelombang dan badai terhadap daratan sehingga menjadi breakwater alami.
Adanya tekanan penangkapan yang merusak seperti penangkapan dengan obat bius yang terjadi di perairan Pulau Pasi telah menyebabkan kerusakan
terumbu karang. Ekosistem terumbu karang yang rusak dan menjadi habitat berbagai biota yang bervariasi juga akan mempengaruhi kehidupan berbagai biota yang berlindung pada ekosistem ini. Sedangkan ekosistem terumbu karang menjadi sumber ekonomis penting bagi masyarakat setempat seperti penangkapan ikan, dan memiliki arti penting pula secara ekologis sebagai penahan gempuran ombak dan gelombang.
Besarnya manfaat sumberdaya terumbu karang tersebut bagi masyarakat dan ancaman terhadap kelestariannya melalui prakarsa COREMAP dan kesadaran yang tumbuh dari masyarakat untuk menetapkan sebagian di kawasan tersebut sebagai area DPL. Penetapan DPL dimaksudkan untuk memelihara kelestarian sumberdaya di wilayah tersebut. Pulau Pasi yang merupakan kawasan terumbu karang perlu untuk dilindungi sebagai upaya pencegahan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi terumbu karang.
Bagaimana nilai manfaat dari ekosistem terumbu karang terutama nilai manfaat langsung dari sektor penangkapan ikan maupun pariwisata dan
bagaimana upaya perlindungan, dalam hal ini penetapan DPL berpengaruh terhadap manfaat ekonomi langsung terutama sektor perikanan tangkap dimana masyarakat sangat bergantung kepadanya.
Terkait dengan hal tersebut terdapat rumusan permasalahan sebagai berikut :
a. bagaimana kondisi ekologi terumbu karang meliputi tutupan karang hidup, tingkat mortalitas karang dan keanekaragaman ikan karang di wilayah Pulau Pasi.
willingness to pay pengunjung wisata apabila ditetapkan sejumlah biaya masuk.
c. bagaimana gambaran penetapan DPL berpengaruh terhadap nilai manfaat langsung terutama sektor perikanan tangkap di Pulau Pasi.
1.3 Tujuan Dan Manfaat
Secara umum penelitian ini berusaha untuk menerapkan teknik valuasi sumberdaya pada ekosistem terumbu karang dengan tujuan untuk:
a. mengetahui kondisi ekologi terumbu karang meliputi tutupan karang hidup, tingkat mortalitas dan keanekaragaman ikan karang di wilayah Pulau Pasi. b. mengetahui nilai manfaat ekonomi langsung dari sektor perikanan tangkap dan
pariwisata di Pulau Pasi serta bentuk kesadaran masyarakat serta nilai
willingness to pay pengunjung wisata apabila ditetapkan sejumlah biaya
masuk.
c. memberikan gambaran pengaruh penetapan DPL terhadap nilai manfaat langsung terutama sektor perikanan tangkap di Pulau Pasi.
Adapun manfaat dari penilaian sumberdaya ini adalah sebagai berikut : a. diharapkan dapat menjadi bahan informasi nilai manfaat langsung perikanan
tangkap dan pariwisata di Pulau Pasi dan memberikan gambaran pengaruh DPL terhadap nilai manfaat langsung perikanan tangkap di Pulau Pasi, Kabupaten Kepulauan Selayar.
b. dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam pengambilan keputusan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di Pulau Pasi dengan memperhatikan pengelolaan yang berkelanjutan.
1.4 Kerangka Pemikiran
manfaat ekonomis bagi masyarakat sekitar yaitu penangkapan ikan dan pariwisata.
Kondisi ekologis terumbu karang dalam hal ini tutupan karang hidup mempengaruhi jumlah ikan karang ekonomis penting yang menjadi target penangkapan dan juga kondisi terumbu karang ini mempengaruhi jumlah wisatawan yang berkunjung ke daerah ini untuk menyelam. Kondisi ekologis terumbu karang ini tidak terlepas dari adanya ancaman baik dari faktor alam maupun manusia. Ancaman tersebut dapat mengakibatkan kondisi terumbu karang semakin memburuk, apabila tidak ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan tingkat kematian karang yang semakin tinggi, meskipun ancaman akibat faktor alam sulit untuk dicegah, tetapi ancaman dari manusia sebisa mungkin dapat ditanggulangi. Oleh karena itu, di Pulau Pasi ditetapkan suatu area di kawasan terumbu karang yang merupakan daerah perlindungan laut (DPL), dimana upaya penangkapan ikan dilarang (no take zone). Penetapan DPL di Pulau Pasi ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara ekologis maupun ekonomi, dimana kondisi tutupan karang hidup akan semakin membaik dan secara ekologis kehidupan di ekosistem terumbu karang akan semakin membaik, sehingga dampak yang dirasakan dari penangkapan ikan maupun pemasukan dari sektor pariwisata akan semakin meningkat pula.
Dalam penelitian ini, manfaat langsung dari sektor penangkapan ikan dan pariwisata akan dinilai secara moneter melalui teknik valuasi ekonomi untuk melihat seberapa besar nilai ekonomi dari penangkapan ikan maupun sektor pariwisata. Selanjutnya akan dilihat bagaimana penetapan DPL berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat terutama dari sektor perikanan tangkap. Analisis tersebut diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dalam upaya untuk pemanfaatan
Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pasi, Kabupaten Kep. Selayar
Kondisi Ekologi Kondisi Ekonomi
Tutupan karang hidup
Sumberdaya
Ikan Karang Perikanan Tangkap Wisata
Nilai Manfaat Langsung Ancaman Kerusakan
(Threats)
Gambaran pengaruh terhadap Penetapan DPL nilai manfaat langsung
perikanan tangkap
Bahan Pertimbangan
Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang yang Berkelanjutan
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem yang terbentuk secara biologis yaitu kumpulan masyarakat binatang karang (reef corals) yang mampu membentuk suatu struktur batuan kapur (CaCO3) yang bermanfaat
diantaranya dalam menahan gelombang laut. Berdasarkan kemampuannya dalam membentuk struktur kapur terdapat dua tipe karang yaitu hermatypic coral yang dapat membentuk struktur kapur (CaCO3) dan ahermatypic coral yang tidak dapat
membentuk struktur karang. Ahermatypic coral umumnya ditemukan tersebar di
seluruh dunia sedangkan hermatypic coral umumnya hanya ditemukan di wilayah
tropis. Hal yang membedakan diantara keduanya adalah dalam hermatypic coral
terdapat suatu simbiosis dengan sel tumbuhan yang dinamakan zooxanthellae
yang terdapat di jaringan hewan karang, hal ini tidak ditemukan dalam jaringan
ahermatypic coral. Berdasarkan geomorfologinya terumbu karang dapat dibedakan ke dalam tiga tipe yaitu terumbu karang tepi (fringing reef) yang tumbuh mulai dari tepian pantai, terumbu karang penghalang (barrier reef) yang dipisahkan dari daratan oleh goba (lagoon) dan terumbu karang cincin (atoll) yang
melingkar atau berbentuk oval mengitari goba (lagoon). Area terumbu karang
tidak hanya mencakup koral tetapi juga wilayah berpasir, bermacam gua dan ceruk, area yang ditumbuhi alga, perairan dangkal dan dalam dan variasi zonasi di sepanjang wilayah terumbu karang (Nybakken 1997, Supriharyono 2007).
Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang beragam disamping manfaatnya dalam menunjang produktivitas perikanan. Manfaat ekosistem
terumbu karang ini tidak hanya berbentuk sebagai barang (goods) tetapi juga jasa
(services). Manfaat dalam bentuk barang (goods) diantaranya adalah sebagai
sumber makanan, bahan obat-obatan, ornamental dan akuarium ikan laut, bahan dan bangunan, sedangkan jasa (services) dari ekosistem terumbu karang
Tabel 1 Manfaat ekosistem terumbu karang
Barang Jasa ekologi Sumber-
terpulih- karang chemical budaya
kan
Perhiasan Pembentuk an pasir
Sumber : Moberg dan Folke (1999)
maupun akibat faktor manusia. Gangguan yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan karang dan menjadi ancaman keberlanjutan sumberdaya terumbu karang (Nyström et al. 2000).
Faktor alamiah yang menyebabkan kerusakan karang diantaranya adalah kenaikan suhu dan badai. Pengaruh kenaikan suhu dapat kita lihat pada tahun 1998 dimana El Nino yang berpengaruh terhadap kenaikan suhu di Samudera
Hindia sebesar 3o-5o menyebabkan kematian koral akibat bleaching di berbagai
tempat. Peristiwa alam lain yang cukup berbahaya bagi kehidupan karang adalah badai, dimana peristiwa alam ini dapat menyebabkan kerusakan karang baik di daerah reef flat, reef edge maupun reef slope. Peristiwa ini biasanya sangat rawan
terutama pada ekosistem karang yang letaknya di pantai pulau terpencil, yang langsung menuju atau berhadapan ke lautan (Wilkinson et al. 1999, Supriharyono
2007). Adapun Nyström et al. (2000) merinci pengaruh gangguan alamiah
terhadap terumbu karang yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Skema gangguan alami terumbu karang
No Proses Jangkauan Frekuensi Durasi
Spasial 1.
2. 3.
Predasi dan grazing Bioerosi
Bleaching atau penyakit
1-10 cm 1m 1m
Mingguan s/d bulanan Bulanan s/d tahunan Bulanan s/d tahunan
Menit s/d hari Hari s/d minggu Hari s/d minggu individu koral
Mingguan s/d tahunan Bulanan s/d dekade Tahunan s/d dekade Tahunan s/d dekade
Hari Hari
Minggu s/d bulan Bulan s/d tahun Acanthaster
8. Penyakit epidemic 10-1000 km Bulanan s/d ratusan Tahun tahun
9. Level air laut atau Global 104-105 tahun 103-104 tahun
perubahan suhu
Sumber : Nyström et al. (2000) diadaptasi dari Jackson (1991)
karang diantaranya kegiatan pembangunan di kawasan pesisir, pencemaran di daratan dan erosi, maupun aktivitas pertanian yang menyebabkan tambahan masukan sedimen dan nutrient ke perairan (Ahmed et al. 2001, Bell et al. 2006)
Analisis terhadap data 800 lokasi yang didokumentasikan oleh reef base
menyatakan bahwa 80% degradasi terumbu karang disebabkan oleh faktor manusia. Berbeda dengan terumbu karang yang hidup di perairan pantai dengan aktivitas penduduk yang tinggi, terumbu karang yang hidup di perairan yang letaknya jauh dari pusat aktivitas penduduk kondisi karangnya relatif lebih baik. Secara umum 36% ekosistem terumbu karang terancam akibat tangkap lebih (over exploitation), 30% terancam oleh kegiatan pembangunan di wilayah pesisir. Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dewasa ini seperti pertanian, industri, pengerukan pantai, dapat mengganggu ekosistem terumbu karang. Di Indonesia aktivitas-aktivitas di atas telah menyebabkan semakin meluasnya kerusakan ekosistem terumbu karang. Sebesar 22% terumbu karang terancam oleh pencemaran dari daratan maupun erosi dan 12% terancam oleh pencemaran di lautan. Tumpahan minyak baik akibat kecelakaan kapal di laut, kebocoran pipa penyalur, maupun tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang. Pengrusakan karang juga terjadi karena aktivitas pengeboran minyak lepas pantai (Birkeland 1997 in Ahmed et al. 2001, Supriharyono 2007).
Adapun Ahmed et al. (2001) meringkas ancaman terhadap terumbu karang
tersebut dan membuat diagram secara skematis hasil dari adaptasi dan modifikasi dari Bryan et al. (1998) seperti Gambar 2.
Ancaman
Alami Faktor manusia
- Perubahan iklim - Badai tropis - Penyakit
Kegiatan di lautan : - Perikanan destruktif - Tangkap lebih - Pencemaran laut - Aktivitas perkapalan - Penambangan karang
Kegiatan di daratan : - Pembangunan pesisir - Pencemaran dari
daratan and erosi - Pembebasan lahan - Aktivitas pertanian
Sumber : Ahmed et al. (2001) hasil adaptasi dan modifikasi dari Bryan et al. (1998)
Terdapat langkah-langkah yang dapat kita ambil apabila kita ingin mengelola ekosistem terumbu karang lebih efektif (Tabel 3). Yang pertama adalah untuk membuat keputusan yang ingin kita lakukan untuk masa depan terumbu karang, karena hanya jika masyarakat benar-benar memahami nilai penting terumbu karang maka mereka akan berupaya untuk mengelolanya dengan tepat. Untuk mengambil langkah tersebut kita harus mendidik orang untuk memahami nilai sebenarnya terumbu karang yang sehat, dan fokus pada nilai ekonomi karena keanekaragaman hayati yang sangat besar dan nilai estetika tidak mudah untuk dihitung, dan tidak mudah untuk menyampaikannya kepada orang-orang yang pada awalnya sulit untuk dibujuk. Juga tidaklah cukup untuk mengatakan kepada orang bahwa terumbu mereka berharga tanpa adanya upaya pendidikan yang dibutuhkan untuk membangun apresiasi terhadap terumbu karang. Mungkin berguna untuk melakukan penilaian komparatif dan mempublikasikan perbedaan nilai antara terumbu karang yang dikelola secara lestari dan yang mengalami degradasi, namun demikian mungkin cara tercepat agar masyarakat menghargai nilai terumbu karang mereka adalah dengan mendorong kepemilikan lokal pariwisata dan usaha perikanan. Saat ini, di negara berkembang, kebanyakan perusahaan tersebut dimiliki lepas pantai (Sale 2008).
Tabel 3 Langkah-langkah dalam perbaikan pengelolaan terumbu karang
Deskripsi langkah
Putuskan terumbu yang diinginkan; mengenali nilai mereka
Mengadopsi prinsip kehati-hatian saat membuat keputusan manajemen
Mengurangi over-eksploitasi sumberdaya terumbu karang
Gunakan ilmu yang sudah ada untuk mengelola lebih efektif
Apakah ilmu baru dibutuhkan untuk kemajuan pengelolaan
Mengenali dan mengambil keuntungan dari sinergi di antara dampak dan di antara tindakan manajemen
Pengelola* Masyarakat lokal, LSM, ekonom
Manajer, pemerintah, masyarakat lokal
Manajer, masyarakat lokal, LSM, pemerintah
Manajer, lokal dan komunitas sains internasional, LSM
Manajer, ilmuwan, LSM, masyarakat lokal
Manajer, masyarakat lokal, ilmuwan, LSM, pemerintah
2.2 Ikan Karang
Ikan karang merupakan ikan yang tergolong kedalam taksa yang
ditemukan dan menjadi karakteristik pada ekosistem terumbu karang. Ikan karang merupakan ikan di wilayah pesisir tropis, beberapa dibatasi oleh kompleksitas topografi, habitat biogenik terumbu karang, tetapi sebagian besar ditemukan pula di wilayah padang lamun, wiayah mangrove dan estuaria. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesies ikan karang yang beranekaragam. Bagian pusat wilayah Indo-Pasifik dari negara Filipina dan Kepulauan Indonesia
mempunyai jumlah spesies yang besar dan jumlahnya semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari pusat, spesies di wilayah Atlantik mempunyai
keanekaragaman yang lebih rendah. Salah satu alasan dari tingginya biodiversitas dari spesies terumbu karang adalah beranekaragamnya habitat yang ada di
wilayah karang. Berdasarkan hasil analisis, meskipun wilayah karibia berada pada lintang rendah di wilayah tropis dengan perkembangan terumbu karang yang cukup pesat namun memiliki fauna ikan karang yang sama dengan wilayah pada lintang tinggi atau wilayah iklim sedang Indo Pacific dibandingkan dengan wilayah tropis Indo Pacific (Nybakken 1997, Sale 2002).
Sebagian besar ikan yang hidup di daerah terumbu karang merupakan ikan yang bersifat diurnal atau beraktivitas di siang hari. Sebagian dari ikan-ikan ini berwarna sangat menarik dan umumnya sangat erat berkaitan dengan terumbu karang, contohnya Kepe-Kepe (Chaetodontidae), Ikan Badut (Pomacentridae), Ikan Kerapu (Serranidae). Kurang lebih 30% merupakan ikan yang bersifat tidak mudah dilihat oleh penyelam (kriptik), jenis ini berukuran kecil dan pandai dalam menyamarkan diri, serta menghabiskan waktunya bersembunyi pada struktur terumbu karang yang kompleks. Sekitar 10% dari ikan karang hidup aktif pada malam hari (nocturnal), jenis ini bersembunyi pada celah-celah atau gua karang
dan muncul ke permukaan pada malam hari untuk mencari makan (Nybakken 1997). Bentuk morfologi kepala dan badan ikan karang mempengaruhi jenis mangsa yang menjadi sumber makanan (Sale 2002).
- Spesies target, merupakan jenis ikan konsumsi atau ikan ekonomis penting yang merupakan target penangkapan ikan. Ikan yang termasuk kedalam kelompok ini misalnya Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae,
Acanthuridae, Mulidae, Siganidae Labridae (Chelinus, Himigymnus, Choerodon) dan Haemulidae;
-
-
Spesies indikator, merupakan jenis-jenis ikan karang yang berasosiasi paling kuat dengan koral/ karang sehingga jenis ikan ini dapat menjadi indikator terhadap kondisi terumbu karang. Yang termasuk kedalam spesies indikator adalah ikan dari famili Chaetodontidae (Kepe-Kepe);
Ikan lainnya (Major Famili), merupakan jenis ikan lainnya yang tidak termasuk kedalam kedua kelompok diatas, sebagian besar ikan-ikan yang termasuk kelompok ini hidup dalam kelompok besar (schooling fish) dan seringkali dijadikan sebagai ikan hias air laut. Jenis ikan yang yang termasuk kedalam kelompok ini diantaranya adalah Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae Labridae, Apogonidae.
Penangkapan ikan karang menyumbang sekitar 10% tangkapan komersial perikanan di dunia. Penangkapan ikan karang menjadi hal yang penting secara sosial maupun ekonomi bagi masyarakat negara berkembang (Medley et al. 1993 in Sale 2002). Bagaimanapun, adanya tekanan kemiskinan seiring dengan
meningkatkan populasi masyarakat telah mengakibatkan deplesi sumberdaya ikan karang (Munro 1996 in Sale 2002). Kompleksitas ekonomi, sosial dan politik membuat pengelolaan sumberdaya ikan karang menjadi sangat sulit terlebih lagi dengan keterbatasan data mengenai stok yang tereksploitasi (Polunin et al. 1996
in Sale 2002).
Salah satu ikan karang ekonomis penting adalah ikan kerapu atau yang sering dikenal dengan istilah groupers. Ikan ini memiliki permintaan pasar dan
Indonesia seperti di Sulawesi Selatan terdapat perbedaan penamaan antara ikan kerapu dan ikan sunu. Ikan kerapu adalah semua jenis grouper yang bernilai harga jual tidak mahal, sedangkan ikan sunu merupakan jenis grouper yang memiliki harga jual yang tinggi. Jenis ikan ini diperdagangkan dalam keadaan segar ataupun kering. Penangkapan ikan kerapu di Sulawesi Selatan banyak dilakukan di sekitar perairan Makassar, Jeneponto, Bulukumba, Selayar, dan Sinjai. Musim penangkapan dapat dilakukan sepanjang tahun mulai pada kedalaman antara 5 sampai 10 meter dengan jarak 2 sampai 20 mil dari pantai (Sudirman & Karim 2008).
2.3 Marine Protected Areas (MPA)
Pada dasarnya kawasan konservasi laut memiliki dua tujuan yaitu konservasi dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Tujuan konservasi diantaranya konservasi biodiversitas, konservasi spesies langka, menjaga
keanekaragaman genetik, menjaga dan atau restorasi fungsi ekosistem alami pada skala lokal dan regional, dan konservasi area penting untuk tahapan hidup yang labil. Tujuan untuk pemanfaatan diantaranya pengelolaan perikanan tangkap, rekreasi, pendidikan, penelitian, dan nilai aesthetik (Robert et al. 2003)
Marine Protected Areas (MPA) merupakan area wilayah laut yang
terutama diperuntukkan bagi perlindungan laut dan perlindungan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan kultural dan dikelola dengan baik demi
keberlanjutan sumberdaya. MPA memiliki peranan yang sangat besar yaitu (Kenchington et al. 2003):
a. Perannya dalam melindungi habitat laut dan keanekaragaman hayati, pengelolaan MPA dengan baik memainkan peran penting dalam: -
-
-
-
melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistem yang terkait melindungi wilayah yang berperan penting sebagai wilayah untuk reproduksi dan pertumbuhan spesies
melindungi wilayah yang terkena dampak ancaman sehingga wilayah tersebut dapat pulih dan lebih resisten terhadap ancaman
-
- -
sebagai obyek untuk pendidikan tentang ekosistem laut dan interaksi antara manusia dengan wilayah laut
sebagai obyek wisata
sebagai obyek referensi yang berfungsi sebagai dasar untuk penelitian ilmiah dan perencanaan serta evaluasi pengelolaan daerah lain
'No take zone' merupakan area MPA dimana kegiatan memancing dan penangkapan ikan dilarang, sejauh yang dapat dilaksanakan, dilindungi dari dampak manusia lainnya merupakan komponen penting ekosistem berbasis pengelolaan lautan.
b. Konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem
Beberapa perubahan pada ekosistem pesisir dan laut terjadi pada suatu skala waktu sehingga membuat sulit untuk menyadari sifatnya, sejauh mana
maupun besarnya. Oleh karena itu, seringkali pentingnya keanekaragaman hayati dan proses-proses ekosistem hanya dihargai setelah mereka telah hilang atau
rusak.
Tanpa adanya MPA atau cadangan sumberdaya yang tidak dapat diambil (no take reserves), keanekaragaman hayati laut kemungkinan besar akan hilang sebelum kita mengetahui keberadaannya atau arti pentingnya bagi kemanusiaan, sehingga bagaimana sumberdaya dapat dikelola untuk keberlanjutan jangka panjang.
Manfaat langsung dari MPA adalah menyediakan wilayah alami dengan ancaman dampak manusia yang lebih rendah. Umumnya spesies dan komunitas biologis telah berevolusi dengan kemampuan untuk bertahan atau pulih setelah mengalami tekanan secara periodik seperti salinitas ataupun suhu yang terlalu tinggi atau rendah , maupun ancaman badai. Penelitian menunjukkan bahwa wilayah dengan tekanan kegiatan manusia yang rendah apabila menghadapi ancaman temperatur tinggi yang dapat mengakibatkan pemutihan terumbu karang memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk pulih dan kecil kemungkinannya mengalami kematian.
c. Pusat penyebaran
tangkap lebih ataupun gangguan alamiah lainnya. Diharapkan dengan adanya MPA reservoir materi genetik dapat terjaga dan dapat menyebar ke wilayah lain di sekitar MPA tersebut.
d. Memperbaiki kerusakan
Kawasan konservasi dengan ekosistem laut dan keanekaragaman hayati yang tidak terganggu sangatlah penting untuk mengurangi kerusakan dan
memulihkan ekosistem yang mengalami ancaman kerusakan. Oleh karena itu, hal ini menjadi isu manajemen yang sangat penting, terutama untuk wilayah yang dekat dengan kota-kota besar dan padat penduduk. MPA sangat bermanfaat dalam proses pemulihan maupun rehabilitasi terhadap ancaman dan mempercepat proses pemulihan alam.
2.4 Suppy Side Ecology
Supply side ecology merupakan istilah yang diperkenalkan untuk menggambarkan pengamatan terhadap proses masuknya individu baru ke dalam populasi. Supply side ecology dibuat dengan hipotesis bahwa dalam sistem
ekologi terdiri dari kumpulan yang terkait dengan penyebaran, struktur komunitas dapat dipengaruhi oleh masuknya individu baru kedalam wilayah tersebut. Kepentingannya adalah menekankan pada konsekuensi perubahan dari masukan larva terhadap populasi dewasa dengan memfokuskan pada dinamika reproduksi, kondisi oseanografi yang mempengaruhi proses dispersal, perilaku larva, proses
settlement, dan gambaran mengenai penerimaan lingkungan yang menyebabkan
variasi jumlah rekruit antar lokasi dari waktu ke waktu (Sousa et al. 2007,
Underwood & Fairweather 1989 in Hayden et al. 2009). Memperkirakan
kepentingan relatif dari lokal versus proses eksternal merupakan hal yang vital
dalam menilai pentingnya konsep supply side terhadap ekologi populasi spesies tertentu (Greene et al. 2004).
2.5 MPA dan Perikanan Tangkap
terdapat kekhawatiran bahwa konservasi laut akan mengurangi hasil tangkapan nelayan, ternyata wilayah konservasi dapat meningkatkan produksi hasil
tangkapan . (Cote et al. 2001, NRC 2001, Gell and Roberts 2002, Halpern 2003, Sobel and Dahlgren 2004 in Abesamis & Russ 2005, Gaylord et al. 2005 ).
Wilayah konservasi diharapkan dapat mempengaruhi area sekitarnya dengan pemindahan wilayah tangkapan dan distribusi sumberdaya ikan baik penyebaran ikan dewasa (spillover effect) maupun ekspor larva ke area tangkapan (recruitment effect) (Halpern 2004, Russ et al. 2004). Spillover yaitu distribusi ikan merupakan mekanisme yang membuat kawasan konservasi memiliki efek yang positif terhadap perikanan tangkap. Mekanisme yang terjadi yaitu density- dependent menjelaskan distribusi ikan dari wilayah konservasi ke area sekitarnya.
MPA yang memiliki efek positif terhadap satu species juga secara tidak langsung memiliki efek positif terhadap spesies lain yang terkait dengan spesies tersebut (Bennett & Pearse 2001, Abesamis & Russ 2005). Secara umum manfaat dari
Marine Protected Areas (MPA) terhadap perikanan tangkap adalah sebagai
dukungan untuk manajemen stok, dukungan untuk stabilitas perikanan, serta keseimbangan ekologi, sehingga kawasan no take zone dapat dianggap semacam 'offset' yang dapat mengimbangi daerah-daerah sekitarnya yang merupakan area kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lain yang memiliki dampak yang berkelanjutan pada lingkungan laut, sehingga dapat menjadi solusi yang
bermanfaat dan efektif untuk kebutuhan konservasi di suatu daerah (Kenchington
et al 2003).
2.6 MPA dan Pariwisata
negara berkembang dan seringkali melebihi nilai perikanan negara tersebut. Di Australia misalnya, Great Barrier Reef menarik sekitar 1.8 juta turis dilihat dengan industri bernilai lebih dari US$ 1 miliar per tahun, dibandingkan dengan perkiraan US$ 359 juta untuk nilai tahunan Great Barrier Reef untuk perikanan (Kenchington et al 2003).
Meningkatnya tutupan karang hidup dan struktur komunitas dari adanya MPA membuat wilayah tersebut menarik untuk para penyelam dan para operator selam komersial. Terlepas dari keefektifan MPA dalam mencapai dan menjaga kondisi ekologis sering terdapat asumsi bahwa MPA mampu menyediakan pengalaman menyelam kualitas tinggi yang merupakan peluang bagi para pelaku usaha pariwisata (Green & Donnely 2003).
Kawasan perlindungan laut yang dikelola dengan baik dengan zona inti
no take zone seringkali merupakan daya tarik wisata yang utama. Pembentukan
kawasan perlindungan laut adalah cara terbaik untuk meningkatkan profil suatu wilayah untuk wisata bahari dan untuk memperluas mata pencaharian alternatif lokal. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa kawasan lindung seringkali bermanfaat dalam memperoleh pendapatan yang signifikan dan berperan penting dalam kontribusi ekonomi lokal (Kenchington et al 2003).
Dalam penegakan MPA, diperlukan suatu mekanisme pendanaan, umumnya protected areas di wilayah negara berkembang mengalami defisit dalam pendanaan, kurangnya sokongan finansial memiliki peran penting dalam hilangnya dan degradasi dari sumberdaya alami penting, serta membatasi manajemen efektif dari penegakan perlindungan laut dan cakupan sistem perlindungan laut. Pendanaan yang kurang telah menyebabkan adanya
permasalahan dalam pengelolaan diantaranya adalah kurangnya sarana prasarana, transportasi dan fasilitas. Kurangnya pendanaan telah menjadi permasalahan yang sistemik bagi banyak negara di dunia. Namun, dalam banyak kasus umumnya area yang dilindungi umumnya didanai oleh satu atau dua sumber utama misalnya cina yang memperoleh pendanaannya dari sektor pariwisata (Ervin 2003, Bruner et al.
2004).
memperoleh pendapatan dari sektor pariwisata diantaranya adalah (Hawkins 1997) :
a. User fees, dikenakan kepada orang yang menggunakan suatu area atau fasilitas a. Concession fees, dikenakan kepada individu atau grup lisensi untuk
menyediakan jasa kepada pengunjung di lokasi tertentu
b. Sales and royalties, merupakan persentase pendapatan dari aktivitas atau
produk dari lokasi yang dikunjungi oleh wisatawan
c. Taxation, dikenakan pada barang atau jasa yang dipakai wisatawan d. Donations, dapat dikumpulkan dari wisatawan untuk projek tertentu atau
pengelolaan rutin.
MPA tidak dapat dikelola secara efektif tanpa dukungan dari mekanisme pembiayaan yang tepat dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Hal ini dapat dilakukan melalui penetapan pungutan yang dikenal dengan user fee terhadap para
pengguna yang memperoleh manfaat dari MPA. Oleh karena itu ekuitas
merupakan daya tarik utama dari biaya pengguna (user fees) dan tantangan utama adalah untuk merancang suatu sistem yang menetapkan nilai wajar pada
penggunaan dan layanan, dan menghasilkan keuntungan bersih yang dapat diterima. Adapun keuntungan dan kerugian dari penetapan user fees dapat dilihat
pada Tabel 4 (Green & Donnely 2003).
Tabel 4 Keuntungan dan kerugian penetapan user fees
Keuntungan Kerugian
-
-
-
Memperoleh pendapatan yang teratur dan dapat diprediksi yang dapat berkontribusi dalam proporsi terbesar dalam membiayai biaya operasional
Pendapatan mandiri memfasilitasi peningkatan dana tambahan atau biaya modal proyek lain
Meningkatkan rasa hormat dari pengunjung dan profesionalisme di
-
-
-
Biaya untuk memungut dapat melebihi pendapatan yang
diperoleh, terutama di lokasi yang sedikit digunakan
Upaya untuk melakukan pungutan dapat mengurangi kapasitas untuk melindungi sumber daya
Pendapatan yang dihasilkan menjadi kriteria kinerja utama bagi manajer
antara staf
- Pungutan dapat terkait langsung dengan biaya pengelolaan dan mudah disesuaikan
2.7 Marine Protected Areas dan Tutupan Karang Hidup
Aktivitas manusia secara global telah banyak menyebabkan degradasi terumbu karang. Kerusakan terumbu karang mempunyai kecenderungan semakin meningkat dengan berkembangnya dinamika populasi yang bermukim di wilayah yang memiliki ekosistem terumbu karang (Selig & Bruno 2010). Marine
Protected Areas (MPA) dapat memainkan peran penting dalam perlindungan
ekosistem terumbu karang terutama perikanan. Biodiversitas ikan yang terpelihara membantu keseimbangan ekologi dimana ikan pemakan alga dapat membantu terpeliharanya tutupan karang hidup yang terkadang menerima dampak negatif dari coral-algae competition. Hasil penelitian Selig dan Bruno (2010) terhadap coral cover di wilayah dimana ditetapkan MPA dan wilayah yang tidak dilindungi
(unprotected areas) menunjukkan bahwa MPA umumnya efektif dalam mencegah kerusakan karang , dimana untuk wilayah yang dilindungi maka tutupan karang relatif tidak mengalami penurunan, hal ini berbeda dengan wilayah yang tidak dilindungi yang mengalami penurunan tutupan karang.
Berdasarkan hasil penelitian Epstein et al. (1999) yang membandingkan
karang di kawasan konservasi non use zone Eilat’s di sebelah utara Laut Merah
dengan kawasan non konservasi, setelah enam tahun penetapannya diketahui bahwa pada wilayah non konservasi tutupan karang hidupnya tiga kali lebih rendah dibandingkan pada kawasan tertutup (non use zone), jumlah koloni berukuran medium dan besar lebih sedikit, dan rata-rata koloni rusak tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan tertutup (non use zone).
2.8 Hubungan Tutupan Karang dan Kelimpahan Ikan
Hubungan antara kompleksitas topografi terumbu karang dan keanekaragaman komunitas ikan menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan karang dapat dipengaruhi oleh kompleksitas fisik substrat. Terlihat bahwa peningkatan luas permukaan yang lebih besar menyediakan keragaman penampungan dan/atau lokasi yang lebih luas untuk mencari makan, sehingga meningkatkan kekayaan spesies dikarenakan beberapa jenis ikan tergantung kepada terumbu sebagai lokasi mencari makan. Oleh karena itu terdapat perbedaan signifikan kekayaan spesies ikan dan kepadatan individual seiring dengan perubahan tutupan karang hidup pada topografi karang yang sama sehingga dapat disimpulkan bahwa kehadiran dan jumlah tutupan karang hidup bermanfaat dalam struktur komunitas ikan (Bell & Galzin, 1984) .
Jones et al. (2004) yang melakukan pengamatan selama 8 tahun di wilayah Papua Nugini menyatakan bahwa dampak penurunan tutupan karang hidup terhadap sumberdaya ikan lebih besar dari yang diperkirakan yaitu sekitar 75% dari species ikan yang diamati mengalami penurunan dalam hal kelimpahan dari awal hingga akhir waktu pengamatan dan sekitar setengah dari spesies ikan mengalami penurunan lebih dari 50%.
2.9 Valuasi Ekonomi
Fungsi ekosistem didefinisikan sebagai kapasitas dari proses dan komponen alamiah dalam menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (De Groot 1992
in De Groot et al. 2002). Pentingnya atau nilai dari suatu ekosistem dapat dibagi
menjadi tiga jenis yaitu nilai ekologi, nilai sosial budaya dan ekonomi (De Groot
Valuasi ekonomi sumberdaya alam dilakukan dengan alasan diantaranya adalah studi ini mencoba memperlihatkan bahwa sumberdaya alam berhubungan dengan kesejahteraan manusia, valuasi ekonomi dapat dilakukan untuk
menggambarkan kepentingan relatif dari berbagai tipe ekosistem, serta valuasi ekonomi dapat menjustifikasi atau memberikan kritik dalam pengambilan keputusan dimana terdapat sejumlah alternatif pengambilan keputusan (Pritchard
et al. 2000)
Nilai ekonomi total (Total economic value) dari suatu sumberdaya meliputi nilai pemanfaatan (use value) dan nilai non-pemanfaatan (non use value). Nilai pemanfaatan (use value) mengacu nilai total pengguna dari pemanfaatan aktual atau manfaat potensial dari sumberdaya, baik pemanfaatan saat ini maupun yang akan datang, dapat bersifat ekstraktif seperti penangkapan ikan maupun non ekstraktif seperti snorkeling. Nilai non-pemanfaatan (non-use value) adalah nilai
eksistensi yang muncul dari kesadaran akan eksistensi sumberdaya, meskipun pelaku tidak secara langsung memanfaatkan sumberdaya tersebut. Nilai
pemanfaatan (use value) dikategorikan kedalam nilai pemanfaatan langsung (direct use value), nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use value), dan nilai pilihan (option value). Nilai pemanfaatan langsung (direct use values) merupakan barang dan jasa dari ekosistem yang langsung dimanfaatkan oleh masyarakat, dapat bersifat konsumtif ataupun tidak. Nilai ini dideterminasi oleh kontribusi aset lingkungan terhadap produksi ataupun konsumsi. Nilai pemanfaatan tidak
langsung (indirect use value) mengacu pada manfaat tidak langsung yang
diperoleh dari fungsi ekosistem, sedangkan nilai pilihan terkait dengan pemanfaat sumberdaya untuk saat ini atau masa mendatang (Pendleton et al. 2007,
Munasinghe 1993 in Chukwuone 2009).
Nilai non-pemanfaatan (non use value) berhubungan dengan manfaat
pewarisan (bequest value) merupakan nilai yang diperoleh dari adanya kesadaran pemanfaatan sumberdaya oleh generasi yang akan datang (Nunes et al. 2001). Total nilai ekonomi secara umum merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/ penggunaan (use value) dan nilai ekonomi berbasis bukan pemanfaatan/ penggunaan (non-use value) (Gambar 3).
Nilai Ekonomi Total
Nilai Pemanfaatan Nilai Non Pemanfaatan
Nilai Pemanfaatan
Nilai Pemanfaatan
Nilai
Pilihan Pewarisan Nilai
Nilai Keberadaaan Langsung Tidak Langsung
Sumber : Kusumastanto et al. (2006)
Gambar 3 Tipologi nilai ekonomi.
Terdapat dua kategori metode untuk mengestimasi nilai ekonomi dari barang dan jasa lingkungan yaitu revealed preference dan state prefence methods. Metode revealed preference mengidentifikasi preferensi fundamental terhadap perkembangan kondisi lingkungan yang dapat diperoleh melalui perilaku dalam pasar terhadap barang dan jasa terkait dengan ketersediaan sumberdaya. Metode
stated preference tergantung pada kerelaan membayar untuk amenitas lingkungan,
pada metode ini survey dilakukan untuk memperoleh nilai kerelaan membayar terhadap barang dan jasa lingkungan atau kerelaan menerima degradasi
Tabel 5 Tipe nilai ekonomi dan metode valuasinya Tipe Nilai Ekonomi
Nilai pemanfaatan langsung Wisata (surplus konsumen) Wisata (surplus produsen) Perikanan tangkap
Nilai pemanfaatan tidak langsung Perlindungan pantai
Nilai non-pemanfaatan Nilai pilihan
Nilai quasi-option Nilai pewarisan Nilai eksistensi
Metode Valuasi
Travel Cost (TC)
Effect on Production (EoP) Effect on Production (EoP)
Replacement Costs (RC); Damage Costs (DC)
Contingent Valuation Method (CVM) Contingent Valuation Method (CVM) Contingent Valuation Method (CVM) Contingent Valuation Method (CVM)
Sumber : Cesar dan Chong (2001)
2.9.1 Effect on Production (EOP)
Pendekatan EOP merupakan pendekatan yang memerlukan pendekatan yang integrative antara ekologi dan ekonomi disebabkan karena pendekatan ini berfokus pada perubahan aliran fungsi ekologis yang akan berdampak pada nilai ekonomi sumberdaya. Adapun langkah-langkah dalam metode EOP ini adalah (Hufschmidt et al. 1983 in Adrianto et al. 2004) :
1. Identifikasi input sumberdaya, output dari produksi sumberdaya dan residual sumberdaya dari sebuah proyek
2. Kuantifikasi aliran fisik dari sumberdaya 3. Kuantifikasi keterkaitan antar sumberdaya alam
4. Kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi
2.9.2 Travel Cost Method (TCM)
Travel cost method merupakan metode revealed preference yang digunakan untuk mengestimasi nilai pemanfaatan ekonomi dari lokasi wisata. Asumsi yang digunakan adalah lokasi wisata memiliki biaya perjalanan yang berbeda dan pengunjung bepergian dari jarak yang berbeda dari ke lokasi wisata harus mempertimbangkan faktor biaya apabila mengunjungi lokasi tersebut. Biaya perjalanan dan biaya masuk yang mungkin muncul menggambarkan harga dari lokasi wisata. Informasi mengenai jumlah kunjungan pada biaya perjalanan yang berbeda dikumpulkan untuk membuat kurva permintaan, fungsi permintaan dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya manfaat atau surplus konsumen dari tiap pengunjung dan melalui perkalian dengan jumlah pengunjung tiap tahun
mengindikasikan total manfaat rekreasi dari suatu lokasi wisata (Font 2000 in
Pendleton et al. 2007).
TCM telah digunakan untuk memperkirakan surplus konsumen yang terkait dengan berbagai jenis lokasi wisata, seperti laut atau taman pertanian. Surplus konsumen adalah manfaat marjinal yang berasal dari pengalaman rekreasi. Surplus konsumen merupakan perbedaan antara nilai utilitas mengunjungi situs rekreasi atau jumlah maksimum yang pengunjung bersedia untuk membayar untuk menikmati tempat itu dan apa yang benar-benar mereka bayar (Ahmed et al. 2007).
Travel Cost Method (TCM) merupakan metodologi yang dikenal dan dikembangkan untuk mengukur nilai ekonomi untuk manfaat dari rekreasi di ruangan terbuka (outdoor). Terdapat sebuah fakta bahwa orang rela bersedia bepergian dalam suatu jarak untuk melihat sebuah lokasi yang mengungkapkan nilai penting lokasi tersebut. Melalui pengukuran tingkat kunjungan bervariasi seiring jarak, seseorang dapat mengestimasi fungsi permintaan untuk suatu lokasi tujuan wisata. Tingkat kunjungan, V dari berbagai titik plot diregresikan dengan biaya perjalanan, TC dan variabel sosial ekonomi yang berpengaruh lainnya yaitu X. Nilai dari suatu lokasi merupakan penjumlahan dari surplus konsumen yang diestimasi dari tiap titik plot yang merupakan area dibawah kurva permintaan dari harga perjalanan yang diamati, TC0 sampai tak hingga. Secara matematis hal
tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Carr & Mendelsohn 2003) :
,
Premis dasar dari travel cost method adalah bahwa meskipun sebagian
besar tempat rekreasi tidak menerapkan biaya masuk para pengunjung membayar secara implisit untuk mengunjungi lokasi wisata melalui biaya dan waktu yang dikeluarkan, sehingga waktu dan pengeluaran biaya perjalanan dimana orang- orang mengunjungi lokasi wisata mencerminkan harga untuk memasuki lokasi wisata. Kesediaan membayar dari orang-orang tersebut untuk mengunjungi lokasi wisata dapat diestimasi berdasarkan jumlah perjalanan yang mereka lakukan pada berbagai biaya perjalanan yang berbeda. Informasi ini dapat digunakan untuk mengestimasi kurva permintaan untuk lokasi wisata tersebut (Smith et al. 1986).
Adapun asumsi-asumsi yang digunakan dalam Travel Cost Method
adalah sebagai berikut (Grigalunas & Congar 1995 in Adrianto et al. 2004): a. Pengunjung menempuh sebuah perjalanan dengan satu tujuan yaitu sebuah
tempat dalam hal ini lokasi wisata;
b. Pengunjung tidak memperoleh manfaat selama perjalanan tetapi manfaat baru diperoleh setibanya di lokasi yang dituju. Apabila pengunjung memperoleh manfaat selama perjalanan maka manfaat perjalanan dan lokasi tujuan dianggap sebagai manfaat bersama.
Terdapat dua varian dari Travel Cost Visitation Model. Varian yang pertama dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi permintaan rekreasi individu. Tingkat kunjungan dari orang yang melakukan perjalanan ke tempat rekreasi diamati sebagai fungsi dari biaya perjalanan. Individual Travel Cost Method (ITCM) ini mensyaratkan bahwa terdapat variasi dalam jumlah perjalanan
yang dilakukan individu ke situs rekreasi, untuk memperkirakan fungsi
permintaan mereka. Varian kedua, yang dikenal sebagai Zonal Travel Cost Model
kunjungan ke situs rekreasi per kapita penduduk untuk setiap zona. Data dikumpulkan melalui survei terhadap pengunjung ke lokasi wisata tersebut (Turner et al. 2008).
Untuk kedua varian, kurva permintaan diestimasi dengan regresi dari tingkat kunjungan terhadap faktor sosio-ekonomi (seperti pendapatan), biaya perjalanan mengunjungi lokasi tersebut dan beberapa indikator kualitas lokasi wisata. Untuk model individu, data yang diperlukan adalah data pada setiap karakteristik sosio-ekonomi individu sedangkan dalam kasus model zona, diperlukan pengumpulan data untuk populasi masing-masing zona. Diperlukan pula data sifat dari setiap perjalanan ke situs, jarak perjalanan, waktu yang dibutuhkan dan biaya perjalanan. Data biasanya diperoleh dari data yang ada atau melalui survei. Metode ini juga mensyaratkan ukuran kualitas lokasi, yang dapat menjadi variabel tak berwujud. Sebuah ukuran kualitas lokasi dapat berkisar dari harga untuk memancing menangkap sampai biokimia indikator seperti konsentrasi oksigen terlarut. Mengukur kualitas lokasi harus sesuai dengan langkah-langkah yang dipandang oleh setiap individu sebagai hal yang relevan. Kecuali jika lokasi yang sedang dinilai unik, individu memiliki akses untuk mengganti lokasi yang mereka dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi yang sama atau mirip. Kelalaian dari lokasi pengganti dari analisis menciptakan sumber bias dalam analisis, oleh karena itu multi-situs model dapat digunakan. Metode ini berbeda dalam kompleksitas dan kemampuannya untuk menjelaskan perilaku pengganti (Turner
et al. 2008).
Travel cost method menggunakan data pasar(real market data), dengan
keterbatasan hanya mengestimasi use value, memerlukan data substansial,
2.9.3 Contingent Valuation Method (CVM)
Contingent valuation pertama kali digunakan pada tahun 1963 untuk mengevaluasi amenitas lingkungan dan metode ini berupaya untuk menyatakan preferensi responden tentang pembayaran hipotetis terkait dengan peningkatan atau penurunan kualitas lingkungan (Davis 1963 in Farrow et al. 2000).
Contingent valuation method (CVM) merupakan metode stated preference. CVM mampu mengukur use value maupun non use value dan CVM dapat diaplikasikan pada berbagai level kompleksitas menurut waktu dan kondisi finansial yang ada. Umumnya penelitian contingent valuation menggambarkan kemampuan membayar responden terhadap barang dan jasa lingkungan melalui survey. CVM telah banyak digunakan untuk menilai rehabilitasi pantai, kualitas air, dan dampaknya terhadap rekreasi serta proteksi terhadap spesies yang dilindungi. Dalam bentuk yang sederhana nilai CVM diperoleh melalui kemampuan membayar responden terhadap keberadaan sumberdaya atau
kesediaan menerima dari degradasi sumberdaya. Kesediaan membayar maksimum individu untuk perubahan lingkungan diasumsikan merupakan nilai dari
keterkaitan individu terhadap perubahan tersebut (Seenprachawong 2001, Pendleton et al. 2007).
Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode yang memerlukan individu untuk mengungkapkan preferensi mereka untuk beberapa sumberdaya lingkungan atau perubahan status sumber daya, dengan menjawab pertanyaan mengenai hipotetis pilihan. Responden pada kuesioner CVM akan diberikan berbagai pertanyaan tentang berapa banyak mereka akan bersedia membayar (willingness to pay) untuk menjamin penambahan manfaat dari perubahan dalam penyediaan lingkungan non-pasar komoditi; atau berapa banyak mereka bersedia menerima (WTA) dalam kompensasi untuk menanggung
kerugian dari menurunnya tingkat penyediaan lingkungan (Bateman & Turner 1992) .