SE
OR
KAJIAN PENGELLOLAAN DAERAH PERLINNDUNGAN LAUT
BERBASIIS MASYAARAKAT DI PULAAU PASI
KABUPPATEN KEPULAUUAN SELAAYAR
SULAWWESI SELLATAN
BUDI MUUHAMAD RUSLAN
EKOLAH PASCASSARJANA
INSSTITUT PERTANIA BOGO
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
ABSTRACT
BUDI MUHAMAD RUSLAN. Community Based Marine Protected Area Management at Pasi Island Kepulauan Selayar Regency South Sulawesi. Under direction of YUSLI WARDIATNO and ARIF SATRIA
Community based marine protected area is an alternative in coral reef management. The aims of this study are to reveal establishment and management process of community based marine protected area and effectiveness of institution management. The study conducted at Bontolebang Village on June 2010. The program is top-down management with initiated by government by involving community as a part of subject in managing the resources, however the success of management is still in progress. Effectiveness management of institution is showed by increasing coral cover by 2007 to 2010 and decreasing of destructive fishing practice. However role of institution failed to deal with the conflict of interest among stakeholders, especially in law enforcement where intruders come to practice by destructive fishing activities. Crisis of legitimacy within
community, high intervention and socioeconomic inequity among actors involved in system are part of critical points of management.
RINGKASAN
BUDI MUHAMAD RUSLAN. Kajian Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan ARIF SATRIA.
Pengelolaan daerah perlindungan laut (DPL) adalah salah satu alat alternatif pengelolaan terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses pembentukan dan penetapan DPL serta untuk menganalisis efektifitas lembaga pengelola. Penelitian dilakukan di Desa Bontolebang pada Juni 2010.
Pengelolaan berbasis masyarakat umumnya digunakan sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya yang bersifat lokal namun lebih diterima oleh
masyarakat. Sebagai bagian dari program pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang (Coremap II), pengelolaan DPL berbasis masyarakat di Pulau Pasi (Desa Bontolebang Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Selayar) telah dilakukan sejak 2005. Mulai dari tahapan inisiasi sampai dengan tahapan akselerasi.
Terbentuknya aturan-aturan pengelolaan yang tercantum dalam rancangan peraturan desa merupakan proses kesadaran kelompok masyarakat terhadap pentingnya mengelola dan menjaga ekosistem terumbu karang sebagai bagian dari lingkungannya. Adapun proses pembentukan DPL Desa Bontolebang mulai dari pendekatan yang dilakukan oleh Senior Executive and Training Officer (SETO) dan Fasilitator Masyarakat kepada pemerintah desa guna mendiskusikan penentuan nominasi lokasi yang akan dijadikan DPL. Diskusi melibatkan pemerintahan desa, tokoh masyarakat/imam desa, kepala dusun, dan nelayan. Pada tahap ini dibentuklah sebuah rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) dengan membentuk sebuah lembaga pengelola yang dinamakan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan memilih satu orang laki- laki dan satu orang perempuan untuk menjadi Motivator Desa (MD). Setelah LPSTK dibentuk, tahap berikutnya adalah penentuan area/kawasan yang akan dijadikan DPL. Proses ini dilakukan oleh tim Coremap yang mengunjungi desa untuk melakukan FGD. Masyarakat secara sukarela diundang untuk berdiskusi dengan tim tersebut. Dalam diskusi tersebut masyarakat diminta untuk
menggambarkan area tempat mencari ikan, area budidaya, dan alur transportasi sekitar desa. Setelah itu masyarakat diminta untuk memilih beberapa area dimana terdapat terumbu karang yang akan dijadikan DPL.
Berdasarkan indikator-indikator keberhasilan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat yang dikemukakan Ostrom (1990), karakteristik kelembagaan pengelola terumbu karang di Desa Bontolebang masih relatif rapuh karena masih adanya resistensi dari beberapa masyarakat/nelayan. Masyarakat yang sejak awal tidak sepenuhnya dilibatkan dalam perencanaan dan proses pembentukan DPL menjadi semakin tidak peduli dengan aturan meskipun mereka tidak menyatakannya dengan terbuka. Aturan yang dibuat tidak sepenuhnya ditegakkan karena lemahnya pengawasan. Hal inilah yang melemahkan legitimasi atau pengakuan dari masyarakat sendiri secara internal akan keberadaan lembaga ini.
desa adalah kelompok pengelola dan nelayan. Kelompok pengelola sebagai pelaksana di desa mempunyai tugas yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, sementara nelayan sendiri adalah subjek sekaligus objek dari pelaksanaan program. Sementara itu komponen CBM Coremap II (Dinas Kelautan dan Perikanan) sebagai representasi pemerintah memegang peranan penting dalam mengontrol serta memberi arahan dalam pelaksanaan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
KAJIAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT
BERBASIS MASYARAKAT DI PULAU PASI
KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
SULAWESI SELATAN
BUDI MUHAMAD RUSLAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis
Nama NRP
Program Studi
: Kajian Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Pulau Pasi
Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan : Budi Muhamad Ruslan
: C252080304
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
Diketahui
Ketua Program Studi
Anggota
Dr. Arif Satria, SP.,M.Si
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan Rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Kajian Pengelolaan Daerah
Perlindungan Laut di Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.
dan Bapak Dr. Arif Satria, SP. M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir.
Mennofatria Boer, DEA., dan Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si., yang telah
memberi banyak masukan dan saran atas perbaikan tesis ini. Penulis ucapkan
terima kasih juga kepada Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc., Dr. Ir. Luky Adrianto
dan staff SPL khususnya Bu Ola, Mas Dindin dan Pa Zaenal atas bantuannya,
serta Leibniz Zentrum für Marine Tropenökologie (ZMT)-Universitas Bremen,
Prof. Ittekkot, Dr. Claudia Schulz dan seluruh pengajar selama penulis belajar di
Jerman.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Syamsul Maarif,
M.Eng, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dr. Sudirman
Saad, SH., M.Hum, Direktur Jenderal KP3K, Ir. Sunaryanto, M.Sc, Direktur
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha, Ir. Yaya Mulyana,
Direktur Coremap II yang telah memberikan kesempatan penulis mendapatkan
beasiswa S2, Coremap II Selayar atas bantuan pengumpulan data, serta teman-
teman Sandwich Program atas kebersamaannya. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada istri dan anak-anak tercinta, mamah, serta seluruh keluarga
atas kesabaran, doa dan kasih sayangnya kepada penulis.
Semoga tesis ini dapat memberi manfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2010
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 30 Nopember 1980 dari pasangan Abdullah (alm) dan E. Nuroniah, sebagai
anak ke tiga dari empat bersaudara.
Pada tahun 1993 penulis lulus dari SDN Jambudipa III,
tahun 1996 lulus dari SMP Negeri Warungkondang I, dan
tahun 1999 lulus dari MAN Cianjur. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 2005 Penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil dan
ditempatkan di Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pada tahun 2008, penulis mendapatkan kesempatan S2 melalui program
beasiswa Sandwich Coremap-World Bank dan diterima di Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada sekolah pasca sarjana Institut
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 1.2 Perumusan Masalah ... 1.3 Tujuan ... 1.4 Manfaat ... 1.5 Kerangka Pemikiran... 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Pesisir dan Lautan ... 2.2 Permasalahan Pengelolaan Terumbu Karang... 2.3 Konsep Kawasan Konservasi Laut... 2.4 Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 2.5 Pengelolaan Berbasis Masyarakat... 2.6 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat ... 2.7 Kelembagaan...
2.7.1 Pengertian Kelembagaan... 2.7.2 Ruang lingkup Kelembagaan ...
3. METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.2 Metode Penelitian ... 3.3 Sampel dan Responden ... 3.4 Pengumpulan Data ... 3.5 Instrumen Penelitian ... 3.6 Analisis Data ... 3.7 Analisis Kelembagaan... 3.8 Analisis Stakeholder ...
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Umum Desa Bontolebang ... 4.1.1 Geografis dan Administrasi ... 4.1.2 Topografi, Iklim dan Musim Penangkapan... 4.1.3 Kondisi Biofisik, Ekologis dan Penutupan Lahan ... 4.1.4 Penduduk... 4.1.5 Sarana dan Prasarana ... 4.1.6 Perekonomian... 4.1.7 Potensi Perikanan ... 4.1.8 Sosial Budaya... 4.2 Gambaran Singkat Program COREMAP II di Desa Bontolebang...
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Keadaan Umum DPL Desa Bontolebang ... 5.1.1 Zonasi Perairan Desa Bontolebang... 5.1.2 Kondisi Terumbu Karang ... 5.1.3 Kondisi Ikan Karang... 5.1.4 Kondisi Lamun ... 5.1.5 Kondisi Mangrove ... 5.2 Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM)...
5.2.1 Proses Pembentukan ... 5.2.2 Peraturan Desa (Perdes)... 5.2.3 Pemasangan Tanda Batas DPL... 5.3 Persepsi Masyarakat tentang DPL ... 5.4 Tipe Partisipasi Pembentukan DPL di Bontolebang ... 5.5 Harapan Masyarakat terhadap DPL ke depan ... 5.6 Faktor Pendukung Keberadaan DPL ...
5.6.1 Fasilitas ... 5.6.2 Informasi dan Teknologi ... 5.6.3 Pendidikan dan Pelatihan ... 5.6.4 Dukungan Pendanaan ... 5.6.5 Mata Pencaharian Alternatif ... 5.7 Karakteristik Lembaga Pengelola DPL ...
5.7.1 Kejelasan Batas Wilayah Perairan... 5.7.2 Kesesuaian Aturan dengan Kondisi Lokal ... 5.7.3 Aturan Disusun oleh Pengguna Sumberdaya ... 5.7.4 Monitoring dan Pengawasan ... 5.7.5 Sanksi ... 5.7.6 Mekanisme Penyelesaian Konflik ... 5.7.7 Pengakuan dari Pemerintah ... 5.7.8 Jaringan dengan Lembaga Luar... 5.8 Analisis Stakeholder ...
5.8.1 Identifikasi Isu Pengelolaan DPL ... 5.8.2 Identifikasi Stakeholder ... 5.9 Strategi Kebijakan Pengelolaan DPL ...
6. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Metode penelitian... 26
2 Perubahan musim dan kondisi cuaca di wilayah Desa Bontolebang ... 34
3 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin ... 36
4 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ... 37
5 Sarana dan prasarana di Desa Bontolebang ... 38
6 Komposisi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan ... 39
7 Lokasi potensi perikanan Desa Bontolebang ... 40
8 Jenis alat tangkap per dusun... 41
9 Jumlah sarana angkutan laut ... 42
10 Penataan wilayah perairan (zonasi) Desa Bontolebang ... 47
11 Koordinat dan luasan DPL Desa Bontolebang ... 49
12 Kelimpahan ikan karang (indv/250 m2) berdasarkan famili hasil pengamatan dengan metode UVC ... 53
13 Realisasi village grant 2007 dan 2008 ... 71
14 Nama LKM dan jumlah pemanfaat di Kecamatan Bontoharu dan Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar... 71
15 Daftar pelanggaran yang tercatat sepanjang 2000-2009 ... 81
16 Responden stakeholder kelompok pengelola dan nelayan... 86
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan DPL-BM ... 7
2 Peta lokasi penelitian ... 23 3 Struktur kelembagaan pengelola Coremap Desa Bontolebang ... 44
4 Peta lokasi DPL Bontolebang ... 48
5 Persentase tutupan karang berdasarkan bentuk pertumbuhan... 50
6 Persentase penutupan karang hidup ... 51
7 Persen tutupan karang hidup berdasarkan bentuk pertumbuhan
tahun 2007, 2009 dan 2010 ... 52
8 Persen tutupan karang hidup tahun 2007, 2009 dan 2010 ... 52
9 Komposisi kelimpahan ikan karang berdasarkan family dalam 250m2 ... 54
10 Komposisi kelimpahan ikan karang berdasarkan ikan indikator,
ikan mayor dan ikan target dalam 250 m2 ... 54
11 Kelimpahan ikan karang berdasarkan ikan indikator, ikan mayor dan
ikan target tahun 2007, 2009 dan 2010 ... 55 12 Jumlah individu dan spesies ikan karang yang ditemukan pada
pengamatan tahun 2007, 2009 dan 2010... 56
13 Frekuensi kehadiran jenis lamun di Desa Bontolebang ... 57
14 Frekuensi kehadiran jenis mangrove di Desa Bontolebang ... 57 15 Sketsa penentuan DPL Desa Bontolebang oleh masyarakat... 59
16 Pelampung tanda batas DPL ... 64
17 Pondok pengawas dan bak penampungan air hujan... 68
18 Gedung Pusat Informasi ... 69
19 Keramba jaring tancap dan pengeringan ikan sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat Desa Bontolebang... 73 20 Prosedur teknis pemantauan dan pengawasan DPL di Desa Bontolebang ... 78
21 Persentase responden pemangku kepentingan (stakeholder) di
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Bentik kategori kondisi terumbu karang ... 103
2 Jenis - jenis ikan karang yang ditemukan di stasiun pengamatan DPL
berdasarkan metode Underwater Visual Census... 104 3 Pedoman pertanyaan wawancara mendalam (in-depth interview) ... 107 4 Matriks identifikasi dan analisis stakeholder pengelolaan DPL Desa
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah yang memiliki sumberdaya yang
potensial dan prospektif bagi suatu daerah jika dikelola dengan optimal. Hal ini
merupakan tantangan tersendiri bagi suatu daerah dalam mengelola sumberdaya
secara berkelanjutan demi mendorong percepatan pembangunan daerah. Sebagai
wilayah yang sangat strategis, wilayah pesisir merupakan suatu zona peruntukan
berbagai aktivitas manusia baik sosial, budaya, ekonomi, industri maupun
pemanfaatan sumberdaya alam secara langsung.
Ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya laut telah menyebabkan
eksploitasi besar-besaran dan mengakibatkan kerusakan. Inilah yang terjadi
dengan sumberdaya terumbu karang yang merupakan ekosistem terpenting di
wilayah pesisir dan laut. Ancaman utama terumbu karang ialah penangkapan
ikan berlebihan, praktek penangkapan ikan yang merusak, sedimentasi serta
pencemaran yang berasal dari daratan. Burke et al. (2002) menyatakan bahwa aktivitas manusia saat ini diperkirakan mengancam 88 persen terumbu karang
Asia Tenggara, mengancam nilai biologi dan ekonomi yang amat penting bagi
masyarakat. Sekitar 50 persen dari terumbu karang yang terancam tersebut,
berada pada tingkat keterancaman yang tinggi atau sangat tinggi. Hanya 12
persen di antaranya berada pada tingkat ancaman yang rendah.
Dalam banyak kasus di wilayah pesisir di negeri ini, ketidakberdayaan
masyarakat pesisir mengatasi tekanan hidup yang semakin tinggi serta menilai
terlalu rendah (under value) terhadap sumberdaya telah memaksa mereka mengeksploitasi sumberdaya secara merusak. Sementara dilain pihak pemerintah
selaku koordinator dari semua kegiatan pembangunan dan penentu kebijakan
sering kali melupakan masyarakat setempat dalam perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir. Penting untuk melibatkan masyarakat dalam seluruh proses
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, mengingat sumberdaya tersebut bersifat
dapat dipastikan eksistensi sumberdaya di wilayah pesisir terancam punah dan degradasi lingkungan fisik tidak dapat terhindarkan lagi.
Konsep desentralisasi sebagaimana diungkapkan oleh Satria et al. 2002, dapat memberikan peluang terciptanya perikanan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, yaitu: pertama, konsep desentralisasi memberikan peluang
partisipasi bagi seluruh pemangku kepentingan perikanan, khususnya
masyarakat nelayan. Partisipasi tersebut merupakan bentuk tanggung jawab
masyarakat terhadap masa depan sumberdaya ikan sebagai lahan mencari nafkah.
Adanya keterlibatan masyarakat nelayan dari perencanaan hingga pengawasan
merupakan langkah efektif dan efisien guna mewujudkan prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Kedua, adanya UU No. 22/1999 merupakan kekuatan hukum yang
mengakui eksistensi institusi lokal yang ada di beberapa daerah dalam mengelola
sumberdaya ikan. Bagi daerah yang memiliki institusi lokal tidak perlu
menyusun model pengelolaan sumberdaya, sebaliknya tinggal melengkapi
yang sudah ada di masyarakat, sehingga model pengelolaan berbasis masyarakat
yang dulunya diterapkan oleh masyarakat lokal dapat disempurnakan menjadi
model ko-manajemen yang lebih kompleks. .
Ketiga, secara ekonomi, penerapan UU No. 22/1999 tersebut menciptakan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan terbentuknya
zonasi penangkapan yang adil antara nelayan kecil dengan nelayan besar atau
industri penangkapan, sehingga konflik sosial (social friction) dapat diminimalisir.
Keempat, perlu dipahami bahwa desentralisasi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan wujud demokratisasi, karena kesempatan
berpartisipasi nelayan lokal dalam mengelola sumberdaya sangat terbuka
lebar, suatu kesempatan yang sangat langka di era sentralistis. Selain itu
dekatnya jarak antara pengambil keputusan (decision maker) dengan nelayan lokal memudahkan dalam proses menyalurkan aspirasi dan kontrol sosial
dalam suatu kebijakan yang ditetapkan.
memberikan manfaat bagi segenap pengguna sumberdaya dan pihak-pihak yang terkait (stakeholders) dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir dalam rangka memanfaatkan sumberdaya pesisir secara lestari. Dalam pengelolaan berbasis
masyarakat ditekankan pada pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat
lokal sebagai dasar pengelolaan. Pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan
masyarakat akan membawa dua keuntungan sekaligus. Pertama, untuk
memelihara fungsi ekologi dengan melindungi habitat tempat hidup, bertelur dan
memijah biota-biota laut. Kedua, untuk memelihara fungsi ekonomi kawasan bagi
masyarakat setempat, sehingga terjadi keberlanjutan bagi peningkatan produksi
perikanan maupun pendapatan dari sektor lain seperti pariwisata dan budidaya.
Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai satu-satunya kabupaten yang terpisah
dari daratan Propinsi Sulawesi Selatan dan sebagian besar wilayahnya adalah
lautan, memiliki potensi sumberdaya laut yang cukup besar. Ekosistem terumbu
karang di kabupaten ini merupakan ekosistem laut tropis yang memiliki
keanekaragaman khas. Luas areal terumbu karang meliputi kurang lebih 2000 Ha,
dengan keragaman 375 jenis ikan-ikan pelagis, demersal dan ikan hias. Selain itu
terdapat 4 jenis penyu dari keseluruhan 6 jenis penyu yang ada di dunia (PPTK
Unhas 2007). Sumberdaya terumbu karang, selain dimanfaatkan oleh sebagian
besar masyarakat lokal juga dimanfaatkan oleh nelayan pendatang (andon) dalam
melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sementara, dilain pihak pemanfaatan
ekosistem ini telah menjadi ancaman bagi keberlangsungan sumberdaya oleh
karena pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem wilayah pesisir di
Kabupaten Kepulauan Selayar adalah dengan membentuk daerah perlindungan
laut (DPL), yang merupakan cikal bakal terbentuknya kawasan konservasi laut
daerah (KKLD). Untuk mendukung upaya tersebut serta untuk mengetahui
efektifitas pengelolaan DPL maka dipandang perlu dilakukan kajian terhadap
pengelolaan daerah perlindungan laut yang ada di Kabupaten Kepulauan Selayar.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, telah teridentifikasi sejumlah isu
permasalahan pokok aspek ekologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat di
karang akibat metode penangkapan ikan secara destruktif masih terus berlangsung, (2) rendahnya pemahaman masyarakat tentang pemanfaatan
sumberdaya laut secara optimal dan berkelanjutan, (3) lemahnya kapasitas unsur-
unsur pelaksana kelembagaan yang ada, (4) belum efektifnya pelaksanaan fungsi-
fungsi kelompok masyarakat dan organisasi masyarakat dalam tatanan
kelembagaan desa, (5) rendahnya taraf hidup masyarakat karena metode
pemanfaatan dan penanganan hasil tangkapan masih relatif sederhana, (6) belum
berkembangnya pengetahuan masyarakat terhadap mata pencaharian alternatif, (7)
peran punggawa sebagai penguasa modal masih sangat dominan, sehingga
melemahkan posisi tawar nelayan, (8) tidak adanya koordinasi dan pola
komunikasi yang baik antar stakeholders, dan (9) lemahnya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang merusak terumbu karang dan inkonsistensi pada pihak
pemerintah dalam upaya menegakkan hukum (COREMAP II Selayar 2007).
Secara umum permasalahan-permasalahan diatas telah terjadi sebelum
ditetapkannya DPL di Pulau Pasi dan berdasarkan pengamatan di lapangan
beberapa hal masih terjadi sampai sekarang. Para ahli pengelolaan perikanan telah
memberikan beberapa solusi dalam mengelola sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan antara lain dengan penerapan kuota, pajak dan pengaturan alat
tangkap. Salah satu solusi dalam menjaga ketersediaan sumberdaya pesisir dalam
hal perlindungan spesies tertentu serta habitatnya, dan menjaga keanekaragaman
hayati suatu wilayah adalah dengan dibentuknya daerah perlindungan laut (DPL).
Melalui bentuk pengelolaan tersebut sebuah kawasan laut dibagi kedalam
beberapa zona antara lain zona inti dimana nelayan tidak dapat melakukan
aktifitas menangkap; Salah satu fungsi zona ini adalah untuk melindungi
ketersediaan sumberdaya perikanan (Kelleher 1999; Carter 2003; Russ and Zeller
2003; Pomeroy et al. 2004; Himes 2007).
Agar pengelolaan berbasis masyarakat berhasil maka semua pemangku
kepentingan, khususnya masyarakat, harus memiliki kesadaran dan pemahaman mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan yang bertumpu
pada kekuatan masyarakat sendiri sebagai subjek. Mengingat keterkaitan yang
dalam mengelola sumberdaya alam merupakan salah satu solusi yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ada.
Berangkat dari uraian di atas maka permasalahan utama yang dibahas dalam
penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana peran masyarakat serta pemangku kepentingan lain
(stakeholder) dalam proses penetapan daerah perlindungan laut di Pulau
Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar?
2. Bagaimana efektivitas peran pengelola daerah perlindungan laut (DPL)
berbasis masyarakat dalam mengelola sumberdaya terumbu karang?
1.3. Tujuan
Untuk menganalisis pengelolaan DPL ini, maka dirumuskan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Menganalisis proses pembentukan atau penetapan DPL berbasis
masyarakat serta menggambarkan proses keputusan yang diambil.
2. Menganalisis efektivitas peran lembaga pengelola DPL berbasis
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang di Pulau
Pasi.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
efektifitas dalam pengelolaan daerah perlindungan laut Pulau Pasi Kabupaten
Kepulauan Selayar dan menggambarkan bagaimana pengelolaan berbasis
masyarakat diterapkan. Semoga upaya ini dapat memberikan kontribusi bagi
pemerintah daerah setempat dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir. Akhirnya semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
kepada segenap komunitas peminat pengelolaan wilayah pesisir berbasis
masyarakat.
1.5. Kerangka Pemikiran
Seorang pengelola terumbu karang harus mampu menyeimbangkan antara
pemanfaatan berkelanjutan dengan konservasi. Oleh karena itu hubungan antara
Kondisi terumbu karang yang sehat sangat di pengaruhi aktifitas manusia, demikian juga mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di
wilayah pesisir tropis sangat tergantung pada sumberdaya laut. Oleh sebab itu,
pemanfaatan, pengelolaan serta ekologi sumberdaya terumbu karang merupakan
aspek yang tidak dapat dipisahkan (Bunce et al. 2000).
Program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coremap II) telah
mengembangkan “bluepint” pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dan impelementasi dari pengelolaan tersebut masih berjalan hingga sekarang.
Pendekatan yang efektif sangat diperlukan agar pengelolaan kawasan tersebut
tidak hanya sebatas “penetapan” saja namun juga sangat dirasakan untuk
kepentingan kelestarian bersama. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui
pengelolaan DPL berbasis masyarakat di Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan
Selayar.
Salah satu konsep yang dapat dikembangkan untuk menjaga kelestarian
sumberdaya adalah pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat
(DPL-BM). DPL ini memiliki fungsi untuk mempertahankan fungsi-fungsi
ekologi, sosial, ekonomis dan budaya dari ekosistem terumbu karang. Berhasil
atau tidaknya pengelolaan DPL sangat ditentukan oleh kondisi internal dan
eksternal masyarakat yang memanfaatkannya.
Dalam banyak contoh pengembangan DPL-BM mencapai keberhasilan
karena beberapa alasan, yaitu (1) ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya laut cukup tinggi, (2) masyarakat lebih memahami permasalahan
sekitarnya, (3) pengelolaan berbasis masyarakat dapat meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut, dan (4) pengawasan dan
kontrol oleh masyarakat akan lebih efektif. Demikian juga halnya dukungan
pemerintah akan sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu DPL-BM, karena
hal ini akan memberikan pengakuan bagi keberadaan DPL-BM. Pengembangan
DPL-BM yang sukses tentunya akan menjamin pemanfaatan sumberdaya laut
secara optimal dan berkelanjutan. Untuk dapat merumuskan efektifitas
pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis masyarakat, indikator-indikator
Sementara itu dalam menilai peran serta masyarakat dilakukan analisis pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu suatu proses sistematis dalam
mengumpulkan dan menganalisis informasi kualitatif untuk menentukan
kepentingan siapa yang harus dipertimbangkan ketika mengembangkan dan/atau
melaksanakan kebijakan atau program (Schmeer 2000). Proses penentuan
stakeholder dilakukan dengan cara : (1) mengindentifikasi sendiri berdasarkan
pengalaman (berkaitan dengan perencanaan kebijakan) dan berdasarkan catatan
statistik serta laporan penelitian. Hasilnya berupa daftar panjang individu dan
kelompok yang terkait pengelolaan kawasan DPL, (2) Indentifikasi stakeholder
menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik snow ball dimana setiap stakeholder mengindentifikasi stakeholder lainnya. Berdiskusi dengan stakeholder
yang terindentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan pandangan mereka
tentang keberadaan stakeholder penting lain yang berkaitan dengannya.
Berdasarkan perumusan dan konsep diatas, secara sederhana kerangka
pemikiran penelitian kajian pengelolaan daerah perlindungan laut di Pulau Pasi
dapat digambarkan pada gambar 1.
Ekosistem Terumbu karang
Identifikasi Pengelolaan - Kebijakan - Kelembagaan
Pengelolaan DPL Berbasis Masyarakat (Program Coremap II)
Identifikasi dan Analisis
Kelembagaan Lembaga Pengelola DPL
Strategi Pengembangan DPL-BM
Masyarakat
Peranserta Masyarakat
Analisis Stakeholder
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai
sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Wilayah ini sangat unik, karena
dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya
daratan dan lautan (Kay and Alder 1999). Transisi antara daratan dan lautan di
wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif
serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia.
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang sangat dinamis dan memiliki
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta berinteraksi antara
habitat tersebut. Berbagai aktivitas manusia pada wilayah pesisir secara langsung
maupun tidak langsung telah membawa dampak yang merugikan keseimbangan
kondisi lingkungan alami wilayah pesisir. Disamping itu dalam pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan lautan sering muncul konflik antar berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholder). Terlalu banyak pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan wilayah pesisir, diantaranya adalah masyarakat lokal yang secara
turun temurun mendiami wilayah tersebut, pemerintah dengan berbagai
instansinya (kelautan dan perikanan, perhubungan, pariwisata, kehutanan, dll),
LSM, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi, TNI dan POLRl, Swasta dan
sebagainya.
Menurut Cicin-sain (1998), konflik ini terjadi akibat kurang jelas dan
transparannya konsep kepemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir dan lautan.
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan
sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan
terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik
pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir.
2.2. Permasalahan Pengelolaan Terumbu Karang
Fenomena alam dan kegiatan manusia mempengaruhi kondisi terumbu
karang, baik pada skala global maupun lokal. Perubahan lingkungan skala besar,
seperti variasi temperatur, sedimentasi akibat kerusakan hutan dan polusi perairan
merupakan faktor perusak yang sangat serius, perusakan karang, secara lokal, diasosiasikan dengan metode-metode penangkapan ikan destruktif, ekploitasi
karang yang berlebihan, polusi perairan pantai, sebagai akibat penambatan perahu,
jangkar dan injakan (White et al. 1994).
Kerusakan terumbu karang mempunyai dampak sangat luas terhadap
kerusakan ekosistem laut dan pantai lainnya, merosotnya jumlah populasi dan
jenis biota, erosi pantai, dan menurunnya kesejahteraan sosial, ekonomi, budaya,
makna seni dan spiritual penduduk pantai atau pulau sebagai pengguna sumber
daya karang. Kompleksnya permasalahan pada ekosistem terumbu karang,
menyebabkan pengelolaannya harus didasarkan pada pemahaman mendalam dan
evaluasi pemanfaatannya bagi manusia harus dipertimbangkan dengan arif
terhadap faktor-faktor ekologi yang menentukan hidup dan matinya terumbu
karang (White et al. 1994).
2.3. Konsep Kawasan Konservasi Laut
Menurut Kelleher and Kenchington (1992), IUCN mendefinisikan kawasan
konservasi laut sebagai suatu areal di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan kebudayaan yang ditetapkan dengan aturan hukum atau cara-cara lain yang efektif untuk dilindungi sebagian maupun keseluruhan tutupan alamnya. Strategi konservasi dunia mengamanatkan konservasi sebagai manajemen biosfir
secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang. Sedangkan dalam The encyclopedia Americana, konservasi diartikan sebagai manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian
rupa sehingga menjamin pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi
yang akan datang. IUCN mengelompokkan kawasan lindung menjadi 6 kategori:
1. Strict Nature Reserve/Wilderness Area 2. National Park
3. Nature Monument,
Upaya konservasi ini telah dirumuskan oleh IUCN dengan mengeluarkan “world conservation strategy” tahun 1980 dalam bentuk 3 strategi utama yakni: (1) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; (2) melindungi
keanekaragaman/diversitas genetic; dan (3) pemanfaatan spesies dan ekosistem
yang berkelanjutan.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem mendapat dukungan
secara hukum dengan disahkannya UU No. 5 tahun 1990, yang mengatur seluruh
aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan lestari sumber daya hayati dan
ekosistem. Menurut peraturan ini, konservasi dilakukan dengan perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya. Lebih lanjut didalam UU No. 5 1990 disebutkan ada dua
kategori kawasan lindung yaitu: (1) kawasan suaka alam yang terdiri atas cagar
alam dan suaka margasatwa, serta (2) kawasan pelestarian alam yang terdiri atas
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
2.4. Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Daerah perlindungan laut didefinisikan sebagai no take zone area yang dikelola oleh masyarakat lokal (Crawford et al. 2000), juga dapat difungsikan sebagai marine sanctuary atau fish sanctuary. Pembentukan DPL dimaksudkan untuk (i) mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan
pesisir, khususnya terumbu karang dan mangrove, (ii) melindungi spesies langka
dan habitatnya, (iii) dapat merehabilitasi sumberdaya laut akibat aktifitas yang
merusak, dan (iv) mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan
perekonomian bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000).
Daerah perlindungan laut (DPL) secara khusus dapat ditetapkan di suatu
kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu
karangnya mungkin mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap
kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia
lainnya akan memberikan kesempatan bagi terumbu karang dan organisme dasar
laut lain yang sudah rusak atau punah untuk kembali hidup dan berkembang biak.
Mengingat fungsi penting terumbu karang adalah sebagai tempat berkembang-
terumbu karang terjaga baik, maka sumber perikanan juga akan terus memberikan pasokan makanan bagi manusia, termasuk sumber protein (Welly 2007).
Indikator keberhasilan pengelolaan DPL dapat dilihat dari (i) peningkatan
sumberdaya dan diversitas dari ikan dan luasan tutupan karang, (ii) peningkatan
persepsi/kesadaran masyarakat tentang pentingnya DPL yang akan merubah
kebiasaan masyarakat yang bersifat merusak sumberdaya yang ada, (iii)
pembentukan dan pengelolaan secara fisik dari fungsi DPL seperti pemasangan
marker buoys sepanjang batasan, tanda batas, management plan, kelembagaan, dll. (iv) tingkat kesadaran untuk berperan, dan (v) kesepakatan untuk
memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumberdaya laut mereka (Pollnac
et al. 2001).
Ketika suatu area ditetapkan sebagai no take zone, akan melindungi terumbu karang dari destructive extraction dan berfungsi baik sebagai spawning ground, breeding dan nursery ground untuk ikan dan secara berkelanjutan dapat
meningkatkan ketersediaan juvenile dalam populasi. Pembelajaran dari
Balicasag’s sanctuary di Philiphina, tutupan karang meningkat 119% dalam 5
tahun setelah ditetapkan sebagai no take zone (Christie et al. 2002).
Keberhasilan pengelolaan DPL dipengaruhi beberapa faktor. Pollnac et al. (2001) dalam kajiannya melihat keberhasilan pengelolaan DPL dari dua faktor,
yaitu faktor kontekstual dan faktor proyek. Faktor kontekstual dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu (i) lingkungan dan demografi, (ii) sosial ekonomi dan (iii)
perekonomian secara umum dan kualitas hidup penduduk. Sedangkan faktor
project dibagi menjadi dua kategori, yaitu (i) aspek fisik dari no take zone dan aktifitas proyek dan (ii) aspek partisipasi masyarakat dalam pengembangan no take zone.
DPL berbasis masyarakat (DPL-BM) merupakan salah satu bentuk
pengelolaan pesisir dan lautan. Untuk mengetahui dampak adanya DPL-BM
diperlukan adanya penilaian kinerja dalam pengelolaannya. Indikator umum yang
biasa digunakan untuk menilai kinerja suatu model pengelolaan pesisir dan lautan
terangkum dalam tiga kriteria, yaitu (i) kriteria efisiensi (produktivitas), (ii)
kriteria keberlanjutan (sosial dan biologi) dan (iii) kriteria pemerataan (Nikijuluw
Lebih lanjut Nikijuluw (2002) menjelaskan bahwa kriteria efisiensi disebut juga produktifitas, yaitu kriteria penilaian kinerja suatu model pengelolaan
dilakukan dengan melihat output yang dihasilkan model pengelolaan tersebut
dibandingkan dengan output model pengelolaan lain atau biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh output tersebut. Semakin tinggi efisiensi atau produktifitasnya,
semakin baik suatu model pengelolaan. Indikator yang digunakan untuk
menggambarkan kriteria efisiensi antara lain peningkatan produksi perikanan
tangkap, penggunaan input dalam produksi dan indikator biaya transaksi pada saat
implementasi, kepatuhan masyarakat terhadap peraturan dan tingkat pengawasan
terhadap akses ke sumberdaya. Kriteria keberlanjutan dibagi menjadi
keberlanjutan sosial dan biologi. Indikator keberlanjutan sosial yang digunakan
adalah kesejahteraan masyarakat, pendapatan nelayan dan keharmonisan
masyarakat, sedangkan indikator keberlanjutan biologi adalah kondisi sumberdaya
alam. Kriteria pemerataan diukur dengan menggunakan indikator peranan
masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya, akses nelayan terhadap
sumberdaya, pemerataan pendapatan, kepuasan terhadap kinerja badan pengelola,
kepuasan terhadap pengelolaan DPL-BM dan manfaat yang diperoleh dari
penerapan DPL-BM.
Terkait dengan pengelolaan DPL-BM terdapat pembelajaran dari
pengelolaan DPL di Philiphina. Beberapa faktor keberhasilan pengelolaan DPL
antara lain implementasi dari model yang tepat, keputusan kegiatan yang baik,
partisipasi masyarakat yang cukup dan dukungan yang cukup, pengembangan
kemampuan masyarakat yang memadai, pemilihan lokasi yang benar, petunjuk
yang jelas dan sah, adanya dukungan dari pemimpin setempat, hubungan yang
berlanjut antara masyarakat, dukungan sistem-sistem dan lembaga di tingkat lokal
dan regional (Crawford et al. 2000).
Pengelolaan DPL-BM diharapkan dapat berjalan secara berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan
pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan
2.5. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan sumberdaya alam dapat didekati melalui dua pendekatan yaitu
pendekatan berbasis masyarakat dan pendekatan berbasis pemerintah. Kedua
pendekatan ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga
pemilihan pendekatan yang kurang tepat dalam pengelolaan suatu wilayah pesisir
dan lautan dapat berakibat fatal bagi kelestarian sumberdaya alam yang
bersangkutan maupun terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat lokal.
Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan elemen penting dalam ko-
manajemen. Perdebatan mengenai persamaan dan perbedaan antara PBM dan ko-
manajemen adalah hal yang biasa. Sajise (1995) in Pomeroy and Rivera-Guieb (2006) telah mendefinisikan PBM sebagai sebuah proses dimana masyarakat dengan
sendirinya diberikan kesempatan dan atau tanggung jawab untuk mengelola
sumberdaya mereka sendiri; mendefinisikan kebutuhan, tujuan-tujuan, dan aspirasi
mereka; serta membuat keputusan yang dapat mempengaruhi kesejahteraannya.
Lebih lanjut Sajise mengemukakan:
PBM merupakan sebuah pendekatan yang menekankan pada kemampuan masyarakat, tanggungjawab dan akuntabilitas yang ditujukan untuk
mengelola sumberdaya. Hal ini secara evolusi tidak dapat dipisahkan dengan partisipasi dan spesifik lokal serta mempertimbangkan teknis, sosial budaya, ekonomi, politik dan faktor lingkungan yang menyangkut masyarakat. PBM pada dasarnya merupakan pemberdayaan masyarakat dalam produktifitas, keberlanjutan dan kesetaraan sumberdaya.
Pomeroy and Rivera-Guieb (2006), mengemukakan bahwa dari definisi PBM diatas meskipun terdapat kesamaan dan perbedaan antara ko-manajemen dan PBM,
juga terdapat perbedaan fokus dalam strategi keduanya. Perbedaan-perbedaan
tersebut terdapat pada tingkat dan waktu keterlibatan pemerintah dalam proses
pengelolaan. Fokus PBM adalah berbasis pada orang/masyarakat, sementara ko-
manajemen berfokus pada masyarakat ditambah penyusunan kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat lokal sebagai pengguna sumberdaya. Proses
pengelolaan sumberdaya juga diatur secara berbeda. Ko-manajemen memiliki
rentang dan skala yang lebih luas dibandingkan PBM dimana fokus pada faktor
internal dan eksternal masyarakat. Pemerintah mungkin memiliki peran sangat
sedikit dalam PBM, sementara dalam ko-manajemen justru memiliki peran yang
masyarakat, regional dan nasional, serta multi stakeholder, dan terdapat isu-isu, yang dapat mempengaruhi masyarakat, serta lebih membawa efektif di masyarakat.
Praktisi PBM terkadang memandang pemerintah sebagai pemain luar dan lawan,
yang hanya dilibatkan pada tahap akhir proses. Hal ini dapat mengakibatkan
kesalahpahaman dan melemahnya dukungan pemerintah. Strategi ko-manajemen,
dilain pihak, melibatkan berbagai lembaga pemerintah, manajer sumberdaya dan
pengelola yang dipilih, seiring dengan masyarakat dan stakeholder, serta menjaga
kepercayaan antar pihak yang terkait.
Lebih lanjut Pomeroy and Rivera-Guieb (2006) mengemukakan bahwa ketika
PBM dipertimbangkan sebagai bagian terintegrasi dari ko-manajemen, maka
dinamakan pengelolaan berbasis masyarakat dan kolaborasi (Community-base co- management/CBCM). CBCM termasuk karakteristik PBM dan ko-manajemen; dimana, berbasis serta berorientasi masyarakat, berbasis sumberdaya dan
kerjasama. Praktek CBCM lebih banyak ditemukan di negara-negara berkembang
sesuai dengan kebutuhan, pembangunan ekonomi dan pemberdayaan sosial, dalam
pengelolaan sumberdaya.
Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat
merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaannya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan
terkait dengan kepercayaannya (religion). Model pengelolaan berbasis masyarakat
yang telah berlangsung secara tradisional dapat dijumpai dalam praktek sasi di
masyarakat Maluku dan sistem subak maupun banjar pada masyarakat Bali. Pengelolaan perikanan secara tradisional sasi dikenal sebagai hukum adat dan kepemilikan sumberdaya secara komunal (hak ulayat) terbukti telah efektif
dalam pengelolaan marine protected area dan suaka laut. Contoh lain adalah pengelolaan perikanan Suku Bajau di Pulau Togian; tradisi peladangan berpindah
Suku Dayak, dengan rotasi panjang (±30 tahun). Latar belakang sejarah dan
komunitas mereka cukup kecil. Tradisi masyarakat ini akan memudar dan hilang seiring dengan meningkatnya populasi masyarakat, meningkatnya konsumsi
masyarakat, melemah hubungan kekerabatan, adanya pembauran dengan tradisi
yang dibawa kaum pendatang (Dermawan 2007).
Dermawan (2007) juga menjelaskan bahwa membuka akses sumberdaya
alam bagi masyarakat lokal selain akan meringankan beban pemerintah juga akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara langsung, karena masyarakat
akan memakmurkan dirinya dan wilayahnya. Masyarakat lokal tidak lagi
dianggap sebagai sumber eksternalitas dan masyarakat akan menjadi sumberdaya
manusia produktif. Konservasi tradisional yang ada pada masyarakat lokal
semakin dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Pada
prinsip 22 yang menjadi salah satu pilar dalam Deklarasi Rio de Jeneiro
menyebutkan bahwa penduduk asli dan masyarakatnya serta masyarakat lokal
lainnya memiliki peranan penting dalam pengelolaan lingkungan dan
pembangunan, karena memiliki pengetahuan dan praktek-praktek tradisional.
Peran masyarakat adat yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil juga diakui oleh UU No. 27 tahun 2007. Pada pasal 61
dinyatakan bahwa: “Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak
Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun”.
Sementara itu lebih lanjut pada pasal 62 dinyatakan bahwa: “Masyarakat
mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil”.
Diberlakukannya Undang-Undang (UU) nomor 22 tahun 1999 yang
kemudian disempurnakan oleh UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan otonomi
pengelolaan sumberdaya kepada pemerintah daerah adalah angin segar bagi upaya
demokratisasi dan pemerataan kemakmuran nasional. Momentum otonomi ini
merupakan peluang bagi daerah Kabupaten Kepulauan Selayar untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat lokal secara langsung melalui pemanfataan
sumberdaya pesisir dan lautan secara proporsional dan terkendali tanpa
kepentingan antar wilayah. Keberadaan sumberdaya manusia, lingkungan
(sumberdaya alam dan ekosistem), dan pola formulasi kebijakan pembangunan di
Kabupaten Kepulauan Selayar menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak
untuk mewujudkan mekanisme pemanfaatan dan konservasi sumberdaya yang
mensejahterakan masyarakat tanpa melupakan pemihakan pada kelestarian
lingkungan.
2.6. Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat
Berbagai teori telah menyebutkan pentingnya strategi pemberdayaan dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Salah satunya yang
dikemukakan oleh Kusnadi (2006), bahwa strategi pemberdayaan masyarakat
pesisir dapat ditempuh dengan mengembangkan dua model. Pertama, model
pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis gender. Kedua, model pemberdayaan
masyarakat pesisir berbasis pranata budaya atau kelembagaan sosial. Pilihan
terhadap salah satu model tersebut akan banyak dipengaruhi oleh tujuan
pemberdayaan, unsur-unsur yang terlibat, dan kondisi-kondisi lingkungan sekitar.
Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan
untuk memfasilitasi atau mendorong agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau
kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan
mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara teoritik
pemberdayaan (empowerment) dapat diartikan sebagai upaya untuk menguatkan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat
agar menggali potensi dirinya dan berani bertindak untuk memperbaiki kualitas
hidupnya. Salah satu cara untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat
diantaranya adalah melibatkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam
pengelolaan pesisir.
Dalam pengertian ini, pemberdayaan masyarakat akan berkenaan dengan
peran aktif mereka, baik dalam perumusan hukum atau kebijakan maupun dalam
pelaksanaannya. Perencanaan yang tidak melibatkan peran serta masyarakat
tentunya akan menimbulkan kendala dalam pelaksanaannya mengingat
keberlakuan suatu aturan atau kebijakan tidaklah mungkin dapat diterapkan tanpa
adanya peran serta masyarakat yang memang berkeinginan untuk melaksanakan
berbagai implementasi pengelolaan kawasan konservasi laut (KKL) di seluruh dunia menunjukan bahwa partisipasi atau pelibatan masyarakat lokal menjadi
faktor penting untuk mencapai tujuan dari KKL tersebut (Kelleher 1999; Himes
2007; Rodríguez-Martínez 2008).
Sementara itu Hakim et al. (1995) in Purnomowati (2001) menyatakan bahwa pendekatan pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat lokal pada
dasarnya adalah upaya langsung pada akar permasalahan, yaitu meningkatkan
potensi kemampuan masyarakat lokal itu sendiri. Konsep pemberdayaan
masyarakat lokal dapat dikembangkan melalui kegiatan ekonomi produktif
berbasis lokal yang berkembang secara dinamis. Sistem kepemilikan sumberdaya
perlu di kelola sedemikian rupa sehingga dapat dialokasikan secara optimal
kedalam berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Disisi lain penyediaan
sarana produksi dan peningkatan keterampilan perlu diimbangi dengan
tersedianya pasar, diutamakan untuk masyarakat lokal agar dapat melaksanakan
kegiatan ekonomi sesuai dengan kondisi setempat.
Pengelolaan sumberdaya perikanan bukanlah isu baru dalam pengelolaan
sumberdaya di Indonesia. Pengelolaan berbasis masyarakat lokal seperti hukum
adat atau hak ulayat laut merupakan bentuk pengelolaan yang sudah dikenal di
masyarakat. Sebagai contoh adalah aturan sasi di Maluku dimana penangkapan
sumberdaya perikanan di atur sedemikian rupa berdasarkan musim; dan Panglima
laot di propinsi Nangroe Aceh Darussalam dengan aturan dan pengawasan
sumberdaya laut (Bailey and Zerner 1992; Satria and Matsuda 2004; Campbell et al. 2006).
Didalam panduan IUCN tentang MPAs atau KKL, ada beberapa kunci
pembelajaran, yaitu: (i) Masyarakat lokal harus dilibatkan sejak awal dalam
proses pembentukan KKL; (ii) Ketidaksesuaian ekologis dalam pencapaian KKL
tidak merupakan kegagalan selama tujuan utama dari pembentukan KKL tersebut
dapat tercapai; dan (iii) Proses pembentukan KKL dilakukan melalui dua cara top- down and bottom up (Kelleher 1999).
a) Community control: kekuasaan didelegasikan kepada masyarakat untuk membuat keputusan dan menginformasikan keputusan tersebut kepada
pemerintah.
b) Partnership: pemerintah dan masyarakat bersama-sama dalam pembuatan keputusan.
c) Advisory: masyarakat memberikan masukan nasihat kepada pemerintah dalam membuat keputusan, tetapi keputusan sepenuhnya ada pada
pemerintah.
d) Communicative: pertukaran informasi dua arah; perhatian lokal direpresentasikan dalam perencanaan pengelolaan.
e) Cooperative: masyarakat termasuk dalam pengelolaan (tenaga).
f) Consultative: mekanisme dimana pemerintah berkonsultasi dengan para nelayan, tetapi seluruh keputusan dibuat oleh pemerintah.
g) Informative: masyarakat mendapatkan informasi bahwa keputusan pemerintah telah siap dibuat.
2.7. Kelembagaan
2.7.1 Pengertian Kelembagaan
Efektifitas pengelolaan sumberdaya tergantung dari kelembagaan yang ada
di lingkungan sumberdaya tersebut. Pada prinsipnya keberadaan lembaga sangat
penting sebagai pembentuk aturan dalam suatu pengelolaan, penentu dalam
sebuah proses dimana keputusan dibuat dalam sebuah pengelolaan (Ruddle 1998).
Ada beberapa pengertian kelembagaan seperti yang diungkapkan Ostrom
(1990), kelembagaan adalah seperangkat aturan yang digunakan untuk
menentukan siapa yang berhak untuk mengambil keputusan, kegiatan apa yang
diperbolehkan dan dibatasi, aturan-aturan apa yang digunakan, prosedur apa yang
harus ditempuh, informasi apa yang harus dan tidak harus tersedia, dan hukuman
apa yang harus diberikan pada setiap individu yang melakukan kegiatan disebuah
area tertentu.
Sementara itu Soekanto (1997) mendefinisikan kelembagaan dalam dua
Sedangkan pelembangaan dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilewati oleh sesuatu norma atau aturan itu untuk dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian
ditaati oleh masyarakat.
Lembaga tumbuh dari kebiasaan yang menjadi adat istiadat yang kemudian
berkembang menjadi tata kelakuan dan bertambah matang apabila telah diadakan
penjabaran terhadap aturan dan perbuatan. Untuk menjalankan aturan dan
perbuatan tersebut terbentuklah struktur yakni sarana atau struktur peranan.
Dengan demikian maka, lembaga merupakan konstelasi dari perangkat kaidah-
kaidah yang mengacu pada organisasi baik abstrak maupun kongkrit. Lembaga
yang mengacu pada organisasi abstrak adalah lembaga yang diakui dan diterima
oleh masyarakat, namun tidak mempunyai juridiksi hukum, contohnya lembaga-
lembaga adat. Sedangkan lembaga yang mengacu pada organisasi yang kongkrit
adalah lembaga yang diakui secara formal dan mempunyai juridiksi hukum,
contohnya lembaga-lembaga pemerintah(Soekanto 1997).
2.7.2 Ruang Lingkup Kelembagaan
Beberapa indikator kinerja lembaga pengelola sumberdaya telah
dikemukakan oleh Ostrom (1990). Indikator tersebut adalah:
a. Kejelasan batasan wilayah.
Batas wilayah dirumuskan secara jelas sehingga setiap orang mudah
mengidentifikasi dan mengenalnya.
b. Kesesuaian antara aturan-aturan dengan kondisi lokal.
Memiliki aturan-aturan yang tepat untuk kepentingan kelestarian
sumberdaya, perlindungan ekonomi lokal, serta penguatan sistem sosial dan
aturan-aturan tersebut mudah ditegakkan dan diawasi.
c. Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya.
Masyarakat mampu membuat aturan yang didasarkan atas pertimbangan
saintifik, pengetahuan lokal, maupun kearifan lokal melalui mekanisme
lembaga lokal. Adanya kelembagaan lokal yang berfungsi mengatur
mekanisme pengelolaan, membuat aturan, merevisi aturan, serta mekanisme
pengambilan keputusan.
Masyarakat memiliki instrumen dan mekanisme sendiri dengan para pelaku pengawasan yang mendapat legitimasi masyarakat.
e. Berlakunya sanksi.
Ukuran keberhasilan suatu aturan adalah tegaknya sanksi bagi para
pelanggarnya, baik sanksi sosial, sanksi administratif, maupun sanksi
ekonomi.
f. Mekanisme penyelesaian konflik.
Masyarakat memiliki mekanisme alternatif dalam penyelesaian konflik di
luar mekanisme formal.
g. Kuatnya pengakuan dari pemerintah.
Pengakuan dari pemerintah dapat berbantuk undang-undang, peraturan
pemerintah, atau peraturan daerah.
h. Adanya ikatan atau jaringan dengan lembaga luar.
Jaringan dengan dunia luar yang dimaksud adalah baik jaringan antar
6°
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Pulau Pasi, tepatnya di Desa Bontolebang,
Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan dengan
fokus pada proses pembentukan DPL serta menganalisis lembaga pengelola yang
ada. Untuk mendapatkan data pendukung, penelitian juga dilakukan melalui
koordinasi dengan Coremap II Selayar, dinas kelautan dan perikanan serta
Pemerintah daerah dan dinas-dinas terkait yang ada di Kabupaten Kepulauan
Selayar.
Peta Lokasi Penelitian Pulau Pasi Kab. Selayar
N
Keterangan:
Garis Pantai
Kedalaman (m): 0- 5
Penutupan Lahan/Tipe Substrat: Karang Campur Pasir
W E Sungai 5 - 10 Kebun
Lamun Campur Pasir Mangrove Pasir Pemukiman
1 0 2 Km > 100 Tegal/Ladang Terumbu Karang
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan, Desa Bontolebang merupakan salah satu lokasi kegiatan Coremap
II Kabupaten Kepulauan Selayar; serta adanya DPL yang dibentuk oleh program
Coremap II dan masyarakat. Penelitian lapangan dilaksanakan pada Juni 2010.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, yakni berusaha untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat mengenai fakta-fakta serta
hubungan atau fenomena yang diteliti (Nazir 1983). Melalui pendekatan ini
diharapkan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif dan mendalam
tentang obyek yang diteliti.
Adapun pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survey,
yaitu pengamatan yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah
variable pada suatu kelompok melalui wawancara langsung dan berpedoman pada
daftar pertanyaan yang disediakan (Singarimbun 1989).
Untuk mendapatkan informasi atau data, pada penelitian kualitatif
memerlukan serangkaian pertanyaan terbuka (open-ended question) untuk memperoleh sumber proses dari setiap kemungkinan jawaban yang tidak terbatas
dan mengantisipasi jawaban-jawaban yang bersifat tertutup (Bunce et al. 2000). Pada pertanyaan terbuka atau disebut juga wawancara semi-terstruktur,
pertanyaan tidak dibatasi; setiap responden dapat memberikan jawaban berbeda
atau juga sama, meski dengan urutan berbeda (Fontana and Frey 2005).
Wawancara dilakukan dengan perorangan/individu atau kelompok.
Wawancara secara individu dilakukan untuk memperoleh informasi mendalam
dari informan kunci atau orang yang terlibat dalam topik kajian penelitian.
Wawancara dengan informan kunci ditetapkan untuk mengetahui isu atau topik
secara komprehensif; dinamakan wawancara mendalam (in-depth interview). Sementara pada wawancara kelompok, kelompok yang sejenis ditanya seputar
keterangan atau fakta-fakta sebuah topik. Pentingnya mendapatkan kelompok
yang sejenis (kelompok wanita atau kelompok laki-laki) daripada kelompok yang
tidak sejenis (wanita dan laki-laki dalam satu kelompok); adalah untuk
mendapatkan gambaran keterangan tentang persepsi kelompok tentang topik
kelompok sejenis tersebut jika wawancara dilakukan secara informal/alami (Bunce et al. 2000; Fontana and Frey 2005).
Proses dalam mendapatkan informasi dari wawancara mendalam dan
observasi dinamakan pola snowball, dimana responden didapatkan dari responden sebelumnya. Meskipun proses juga dilakukan dengan cara acak melalui informan
kunci. Pola seperti ini cocok dalam penelitian ditempat dimana tidak ada data dan
referensi sebelumnya (Fontana and Frey 2005). Informasi atau data yang didapat
dikategorikan kedalam masing-masing topik yang lebih spesifik (Ezzy 2002;
Neuman 2003).
3.3 Sampel dan Responden
Pemilihan responden sebagai unit penelitian dilakukan dengan sengaja
(purposive sampling) (Singarimbun 1989). Responden yang diwawancarai adalah penduduk dewasa yang berdomisili di sekitar lokasi penelitian yang terkait
dengan pengelolaan DPL. Penduduk dalam hal ini adalah yang bersangkutan telah
matang dalam mengambil keputusan dan berpikir secara positif dalam mengambil
tindakan, dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang
diajukan. Responden nelayan yang diambil berjumlah 40 responden yang
mewakili tiga dusun yang ada di Desa Bontolebang. Selain itu juga responden
yang mewakili lembaga pengelola terumbu karang (LPSTK), pemerintah desa,
tokoh masyarakat, pihak swasta, dan lembaga pemerintah kabupaten yang terkait
dengan pengelolaan.
3.4 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode triangulasi.
Metode triangulasi memadukan sedikitnya tiga metode, seperti pengamatan,
wawancara dan analisis dokumen (Sitorus 1998). Pada metode triangulasi dapat
diperoleh dengan berbagai cara, yaitu :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi terbuka dan
tertutup.
c. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
d. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang dikumpulkan, yaitu data primer
dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam
dengan responden yang tinggal disekitar lokasi penelitian dengan berpedoman
pada daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun sesuai tujuan penelitian.
Metode wawancara dengan mengajukan daftar pertanyaan yang memadukan tiga
cara yaitu pertanyaan terbuka, pertanyaan dengan pilihan jawaban dan pertanyaan
dengan jawaban setuju atau tidak setuju. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
data yang lebih lengkap tentang objek yang diamati. Informasi atau data
dikumpulkan melalui susunan berdasarkan tema/topik dengan menggunakan
teknik-teknik yang merepresentasikan sampel dari stakeholder baik ditingkat
masyarakat ataupun stakeholder lain seperti yang terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Metode penelitian
Stakeholder Tingkatan Teknik Topik
Nelayan;
Lembaga Pengelola
Masyarakat Wawancara
FGD
perorangan, Persepsi mereka tentang
DPL (proses Sumberdaya
Terumbu Karang (LPSTK)
pembentukan, partisipasi serta hubungan dengan stakeholder lain);
Masyarakat Wawancara Perorangan
(semi- terstruktur)
Pengelolaan DPL (Proses pembentukan, partisipasi, serta hubungan dengan stakeholder lain) Kepala Desa dan staf
desa; Tokoh masyarakat
Masyarakat Wawancara perorangan Perkembangan sosial
ekonomi Desa Bontolebang; isu-isu pengelolaan sumberdaya perikanan; Sejarah Desa, aturan-aturan lokal
Pelaku wisata Masyarakat Wawancara perorangan Persepsi mereka tentang
DPL; interaksi dengan stakeholder lain; Isu-isu pengelolaan sumberdaya Dinas Kelautan dan
Perikanan; Bappeda, Dinas Pariwisata
Pemerintah Wawancara Perorangan
(semi- terstruktur)
Isu-isu pengelolaan sumberdaya di tingkat lokal kabupaten; Program COREMAP
pengumpulan data sekunder dilakukan melalui wawancara dengan pemerintah setempat, tokoh masyarakat, lembaga non-pemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
Wawancara lebih banyak dilakukan secara informal dengan pendekatan
wawancara individu/perorangan ataupun FGD (focus group discussion) (Gibbs 1997). Wawancara dimulai dengan instansi atau lembaga pemerintah daerah
seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda dan Dinas lain yang terkait
khususnya yang terlibat dalam pengelolaan program Coremap II Kabupaten
Kepulauan Selayar. Kemudian dengan responden yang terlibat dalam proses
pembentukan DPL; responden ini merupakan informan kunci. Wawancara dengan
kepala desa, tokoh masyarakat atau imam desa dan kepala dusun, dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang komprehensif terkait perkembangan sosial ekonomi
desa, sejarah desa, aturan-aturan lokal, isu-isu pengelolaan serta persepsi mereka
tentang pembentukan DPL. Setelah mendapatkan gambaran umum tentang DPL,
wawancara dilakukan dengan nelayan atau masyarakat lokal mengenai pesepsi
mereka tentang DPL termasuk proses pembentukan, implementasi serta dukungan
terhadap pengelolaan. Pemilihan responden dilakukan dengan cara mengelilingi
desa dengan mendatangi setiap dusun, berkunjung ke kumpulan orang; dari satu
orang ke yang lainnya; baik yang ada di rumah, bale-bale, ataupun di jalanan.
Untuk responden yang terlibat dalam proses pembentukan DPL, wawancara
dilakukan dengan menanyakan gambaran proses pembentukan DPL berdasarkan
pengalaman mereka. Sementara untuk yang tidak terlibat dalam proses tersebut
pertanyaan dimulai dengan persepsi mereka tentang keberadaan DPL di desa.
Beberapa pelaksanaan wawancara ditemani oleh seorang motivator desa (MD).
Wawancara juga dilakukan pada pengelola wisata (resort) yang secara tidak
langsung memanfaatkan perairan Desa Bontolebang sebagai site wisata diving serta organisasi masyarakat untuk mengetahui persepsi mereka tentang
pengelolaan sumberdaya serta keberadaan DPL. Pada bagian akhir wawancara
dilakukan dengan komponen CBM Coremap II Selayar dalam pengelolaan
sumberdaya di Desa Bontolebang.
Setiap wawancara dilakukan secara informal agar responden merasa
sedang diwawancarai. Mengorganisir wawancara/diskusi formal kedalam sebuah ruangan dengan mengundang masyarakat untuk berdiskusi justru akan
mengakibatkan FGD yang tidak efektif; dimana masyarakat yang datang hanya
sedikit, sementara mereka lebih memilih beraktifitas seperti biasa, atau hanya
beberapa orang yang dapat mengungkapkan pendapatnya dalam forum karena
merasa malu (Bunce et al. 2000; Fontana and Frey 2005).
3.5 Instrumen Penelitian
Jenis instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang
berisi serangkaian pertanyaan yang akan dijawab oleh responden. Kuesioner
disusun sebagai berikut:
a. Bagian pertama mengungkapkan keadaan sosial masyarakat yang meliputi
nama, umur jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, dan
pendapatan.
b. Bagian kedua memuat tentang kegiatan program pembangunan yang
meliputi jenis kegiatan, manfaat kegiatan, frekuensi pelaksanaan kegiatan,
kelembagaan aturan, sarana dan prasarana.
c. Bagian ketiga mengungkapkan keadaan alam sekitar yang meliputi kondisi
ekosistem kawasan konservasi dan pengaruhnya terhadap masyarakat,
manfaat, tindakan masyarakat, serta pemahaman masyarakat tentang
kawasan konservasi.
d. Bagian terakhir memuat pertanyaan-pertanyaan tambahan antara lain
mengenai saran dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan rehabilitasi
(terumbu karang) serta beberapa pertanyaan yang tidak tercakup pada
bagian-bagian sebelumnya.
3.6 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis sosial yang dalam
metode studi kasus sangat diperlukan dalam menggambarkan proses
terbentuknya aturan bersama pengelolaan perikanan secara tertulis, hingga pada
tataran pengawasan dan evaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan. Adapun
tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan dalam penelitian ini tidak bersifat
langkah metodologis sebagaimana lazimnya dalam penelitian kuantitatif (Salim 2000).
Kartono (1996) menjelaskan beberapa tahapan-tahapan yang harus
dilakukan dalam menganalisis sosial, yaitu: (1) menimbang data; (2) klasifikasi
data; dan (3) formulasi konsep-konsep. Selanjutnya, Kartono (1996) menjelaskan
tentang prosedur-prosedur ilmiah yang harus diperhatikan dalam setiap
penelitian, diantaranya adalah: (1) menimbang data secara cermat dan hati-
hati; (2) pengaturan data dengan mengadakan klasifikasi; (3) menciptakan
konsep-konsep atau sistem formal tertentu, yaitu memformulasikan ide-ide dan
definisi mengenai tingkah laku sosial dan fenomena-fenomena sosial; dan (4)
memikirkan sistem-sistem deduktif atau logis untuk membuktikan dan
memverifikasi proporsi-proporsi (stelling, pendirian) tertentu dan pembuktian faktual.
3.7 Analisis Kelembagaan
Data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi
di lapangan kemudian diverifikasi dan ditinjau ulang serta mendiskusikan dengan
pihak lain yang memiliki kemampuan dalam bidang kelembagaan. Selanjutnya
untuk memastikan efektifitas unsur-unsur kelembagaan perlu diperiksa kembali
tingkat kebutuhannya, keberadaannya dan keberfungsian dari masing-masing
unsur kelembagaan. Dalam menganalisis struktur pengelolaan perikanan
tradisional berbasis masyarakat, sebuah lembaga setidaknya memiliki aspek-
aspek: wewenang, hak, aturan, monitoring/pengawasan, akuntabilitas, resolusi
konflik, dan sanksi (Ruddle 1998). Sementara itu dalam menganalisis
kelembagaan pengelola terumbu karang di Desa Bontolebang, peneliti
menggunakan indikator-indikator yang dikemukakan oleh Ostrom (1990) in Satria (2009), sebagai berikut: (1) kejelasan batas wilayah, (2) kesesuaian aturan dengan
kondisi lokal, (3) aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya, (4)
pelaksana pengawasan dihormati masyarakat, (5) berlakunya sanksi, (6)
mekanisme penyelesaian konflik, (7) kuatnya pengakuan dari pemerintah, (8)