• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Pulo Pasi Gusung Kabupaten Kepulauan Selayar Terhadap Kelestarian Terumbu Karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Pulo Pasi Gusung Kabupaten Kepulauan Selayar Terhadap Kelestarian Terumbu Karang"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN MANFAAT KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PULO PASI GUSUNG KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG

WAODE SITTI CAHYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Pulo Pasi Gusung Kabupaten Kepulauan Selayar Terhadap Kelestarian Terumbu Karang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang bersaal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Waode Sitti Cahyani

NIM C252130201

(3)

RINGKASAN

WAODE SITTI CAHYANI. Kajian Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Pulo Pasi Gusung Kabupaten Kepulauan Selayar Terhadap Kelestarian Terumbu Karang Dibimbing oleh ISRADJAD SETYOBUDIANDI dan RIDWAN AFFANDI.

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir daerah tropis. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling produktif dan beragam di bumi serta banyak memberikan jasa ekosistem. Terumbu karang memiliki nilai penting bagi masyarakat pesisir, namun keberadaannya sangat rentan terhadap gangguan baik yang berasal dari manusia maupun alam. Penggunaan alat tangkap terlarang merupakan salah satu penyebab utama semakin menurunnya tutupan karang hidup. Oleh karena itu, penetapan suatu perairan menjadi kawasan konservasi sangat penting untuk melindungi terumbu karang dari eksploitasi berlebihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi tutupan karang sebelum dan setelah terbentuknya Kawasan Konservasi Perairan Pulo Pasi Gusung dan untuk menganalisis status keberlanjutan ekosistem terumbu karang di lokasi tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam penentuan kebijakan terkait pengelolaan yang lebih baik untuk meningkatkan pengawasan terhadap ekosistem terumbu karang yang terdapat di Kawasan Konservasi Pulo Pasi Gusung.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Pasi. Secara administratif pulau ini termasuk Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Di Kawasan Konservasi Pulo Pasi Gusung terdapat tiga desa yaitu Desa Bontoborusu, Kahu-Kahu, dan Bontolebang. Lokasi pengambilan data mencakup perairan di tiga desa tersebut. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer meliputi kondisi tutupan karang, kelimpahan ikan karang, kondisi perairan dan wawancara yang dilakukan terhadap responden. Data sekunder diperoleh dari dinas setempat dan informasi dari berbagai literatur. Pengukuran terumbu karang dengan metode Line Intercept Transect (LIT) digunakan untuk mengetahui kondisi tutupan karang hidup. Panjang transek yang digunakan adalah 50 m yang direntangkan sejajar garis pantai dan dilakukan pengulangan di kedalaman 3 m dan 10 m. Status keberlanjutan ekosistem terumbu karang dianalisis dengan Multi Dimension Scaling (MDS) melalui pendekatan Rap Insus Coremag. Analisis ini menggunakan 5 dimensi untuk mengukur status keberlanjutan ekosistem terumbu karang di KKPD Pulo Pasi Gusung. Dimensi tersebut meliputi dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastuktur serta hukum dan kelembagaan. Masing-masing dalam tiap dimensi terdapat beberapa atribut yang digunakan sebagai indikator keterwakilan dalam penentuan skor.

(4)

m dan 10 m. Kondisi tutupan karang hidup pada tahun 2010 di kedalaman 3 m lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2008 dan 2015, sedangkan kondisi tutupan karang hidup pada tahun 2015 di kedalaman 10 m lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2008 dan 2010.

Hasil analisis Rap Insus Coremag pada dimensi ekologi diperoleh indeks keberlanjutan pada tahun 2010 sebesar 77.51 dan pada tahun 2015 sebesar 73.26. Pada dimensi ekonomi indeks keberlanjutan tahun 2010 sebesar 37.53, pada tahun 2015 sebesar 49.01. Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya pada tahun 2010 47.07, tahun 2015 56.56. Indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur pada tahun 2010 40.16, tahun 2015 43.95. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan pada tahun 2010 44.52, pada tahun 2015 51.79.

(5)

SUMMARY

WAODE SITTI CAHYANI. Study Benefit of Marine Conservation Area Pulo Pasi Gusung in District Selayar Island to the Preservation of Coral Reefs. Supervised by ISRADJAD SETYOBUDIANDI and RIDWAN AFFANDI.

Coral reefs are a unique ecosystems found in the tropic coastal area. The coral reef ecosystem is one of the most productive and diverse of the earth and many provides ecosystem services. Coral reefs have significant value for coastal communities, but its presence is very susceptible to interference both from humans and nature. The use of illegal fishing gear is one of the main causes of the decline

in life’s coral cover. Therefore, conservation establishment for an waters area is

necessary to protect coral reef from over exploitation. This study aims to assess the condition of coral cover before and after the establishment of Marine Conservation Area Pulo Gusung Pasi and to analyze the sustainability status of coral reef ecosystems in this area. The results of this study are expected to be input for the regional government in policy decisions related to better management to improve monitoring reef ecosystems in Marine Conservation Area Pulo Pasi Gusung.

This research was conducted in the Pasi Islands. Administratively this island belongs to District Bontoharu, Selayar Island Regency, South Sulawesi. In the conservation area Pulo Pasi Gusung there are three villages namely Bontoborusu, Kahu-Kahu, and Bontolebang. Lo cation data retrieval include waters in the three villages. This study uses primary and secondary data. Primary data includes the condition of coral cover, abundance of reef fish, water conditions and interviews with respondents. Secondary data were obtained from a local agency and information of literature. Measurement of coral reefs to Line Intercept Transect

(δIT) method is used to determine the condition of life’s coral cover. Transect

length used is 50 m stretched parallel to the coast line and be repeated at a depth of 3 m and 10 m. Sustainability status of coral reef ecosystems analyzed with Multi Dimension scaling (MDS) by Rap Insus Coremag. This analysis uses five dimensions to measure the sustainability status of coral reefs in Marine Conservation Area Pulo Pasi Gusung. The dimensions include the dimensions of the ecological, economic, social, cultural, technological and infrastructure as well as the legal and institutional. Each in every dimension of the few attributes that are used as indicators in determine the representativeness of the score.

The results of the benthic life form analysis at a depth of 3 m, dead coral that has the greatest percentage of 31.33%, 24.25% acropora, non acropora 23.49%, abiotic 17.08% and 12.41% other biota. Based on benthic lifeform at a depth of 10 m, non acropora has the largest percentage is 42.21%, 27.75% dead coral, Acropora 15.08%, abiotic 12.20%, other biota 2.53% and amounted to 0,24% algae. From

these results, the average percentage of life’s coral cover at a depth of 3 m in the

(6)

sustainability index in 2010 amounted to 77.51 and in 2015 amounted to 73.26. Sustainability index of dimension economic in 2010 37.53, 2015 49.01. Sustainability index of dimensions social and cultural in 2010 47.07, 2015 56.56. Sustainability index of dimensions technology and infrastructure in 2010 40.16, 2015 43.95. Sustainability index of dimensions institutional and legal in 2010 44.52, 2015 51.79.

(7)

KAJIAN MANFAAT KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PULO PASI GUSUNG KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG

WAODE SITTI CAHYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian Program Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Kajian Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Pulo Pasi Gusung Kabupaten Kepulauan Selayar Terhadap Kelestarian Terumbu Karang

Nama : Waode Sitti Cahyani

NIM : C252130201

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Ketua

Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 12 Juli 2016

(11)

berjudul “Kajian Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Pulo Pasi Gusung Kabupaten Kepulauan Selayar Terhadap Kelestarian Terumbu Karang”. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, terutama kepada :

1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Prof. Dr. Ridwan Affandi, DEA selaku komisi pembimbing yang dengan sabar telah mengarahkan dan memberikan motivasi yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini, serta seluruh keluarga besar Departemen MSP, Dosen Pengajar, dan Tata Usaha. 2. Dr. Handoko Adi Susanto, S.Pi, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi , M.Sc dan

Prof. Dr. Setyo Budi Susilo, M.Sc yang meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.

3. Kanda Zul Janwar, S.Kel, M.Si dan DKP Selayar atas bantuan peralatan selam selama penulis berada di lokasi penelitian.

4. Kedua orang tuaku, Bapak Laode Ntata dan Ibu Waode Rostin, saudara-saudaraku, LM. Fuad Alhawani, Waode ST Rahmayani, LM. Fajar Bahari, serta keluarga besar Laode Pogito yang tak pernah putus asa memberikan dukungan demi keberhasilan anaknya untuk meraih cita-cita.

5. Teman-teman seperjuangan SPL 2013 baik program S2 maupun S3 yang selalu siap membantu dan bertukar pikiran : Yuyun Erwina, Nurul Najmi, Beta Indi S, Nikanor, Wanda Kautsar, Andronicus, Yeldi S Adel, Fitriani A, dan seluruh mahaiswa SPL S2 dan S3 2013.

6. Zainal, Fajar, Adi, Sabili, Ical, Ira sekeluarga, Anto, Dg. Densi, bapak dan ibu dusun, serta BASARNAS Selayar yang membantu dalam pengambilan data di lapangan. Kanda Zulfikar, Hendrawan, Azhari, dan Hamsia yang turut berpartisipasi dalam penyusunan tesis.

7. Terkhusus kepada DIKTI yang telah memberikan bantuan beasiswa sehingga penulis dapat melanjutan studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, serta Coremap CTI yang memberikan beasiswa penulisan tesis.

8. Serta semua pihak, yang turut membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat pada penulisan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan tesis ini. Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, November 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Kerangka Pemikiran 3 Tujuan Penelitian 3 Penelitian Terdahulu 4 METODE PENELITIAN 5 Lokasi Penelitian 5 Metode Pengambilan Data 5 Analisis Data Ekologi 6 Persentase Penutupan Terumbu Karang 6 Kelimpahan Ikan Karang 7 Analisis Pengelolaan 9 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 14 Kondisi Geografis dan Ekologis 14 Kondisi Sosial Demografi 14 Kondisi Lingkungan Perairan 17 Kondisi Terumbu Karang 19 Kelimpahan Ikan Karang 21 Perubahan Kondisi Tutupan Karang Hidup 24 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang 26 Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi 28 Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi 30 Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya 33 Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi dan Infrastruktur 34 Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan 36 Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang 37 Strategi Pengembangan KKPD 39

(13)

DAFTAR TABEL

1 Kategori penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang

6

2 Kelimpahan ikan karang 7

3 Jenis, metode dan analisis data 8

4 Dimensi dan atribut penilaian keberlanjutan terumbu karang 9 5 Kategori status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang

berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus Coremag.

13

6 Data penduduk Pulau Pasi. 14

7 Distribusi rumah tangga terpilih menurut kepemilikan sarana produksi 15

8 Kondisi lingkungan perairan 17

9 Kategori tutupan karang hidup 21

10 Kunjungan wisatawan ke kawasan objek wisata. 31

11 Hasil analisis Rap Insus Coremag pengelolaan ekosistem terumbu karang

38

12 Prioritas pegelolaan KKPD berdasarkan analisis keberlanjutan 40

13 Strategi pengelolaan KKPD Pulo Pasi Gusung 42

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran. 3

2 Lokasi penelitian 5

3 Tahapan analisis Rap-Insus-Coremag 13

4 Lokasi DPL COREMAP II 16

5 Persentase tutupan karang berdasarkan benthic lifeform di kedalaman 3 m

19

6 Persentase tutupan karang berdasarkan benthic lifeform di kedalaman 10 m

20

7 Kelimpahan dan komposisi ikan karang di kedalaman 3 m. 22

8 Komposisi jenis ikan karang di kedalaman 3 m 23

9 Kelimpahan dan komposisi ikan karang di kedalaman 10 m. 23

10 Komposisi jenis ikan karang di kedalaman 10 m 24

11 Kondisi tutupan karang tahun 2009-2015. 25

12 Grafik lingkungan perairan 26

13 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi 28

14 Nilai sensitifitas atribut dalam dimensi ekologi. 29

15 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi 30

16 Nilai sensitifitas atribut dalam dimensi ekonomi 31

17 Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. 33

18 Nilai sensitifitas atribut dalam dimensi sosial budaya 33

19 Indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan infrasturktur 34 20 Nilai sensitifitas atribut dalam dimensi teknologi dan infrastruktur. 35

21 Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan. 36

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pengukuran data terumbu karang kedalaman 3 m 48

2 Hasil pengukuran data terumbu karang kedalaman 10 m 49

3 Jumlah individu dan spesies ikan 50

4 Dimensi dan atribut penilaian keberlanjutan terumbu karang di KKPD Pulo Pasi Gusung

50

5 Dokumentasi penelitian 53

(15)
(16)
(17)
(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beragam defenisi dan kategori Kawasan Konservasi Perairan (KKP) telah dikenal dunia saat ini. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN 2004)) Kawasan Konservasi Perairan adalah wilayah perairan yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai pelestarian alam jangka panjang, lengkap dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2008 KKP adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Kawasan konservasi laut merupakan alat yang penting untuk perlindungan dan manajemen perikanan. Kawasan konservasi laut dapat melindungi habitat, struktur, fungsi dan intergritas ekosistem, keragaman, kekayaan, kepadatan spesies (Letser et al. 2009; Angulo et al. 2010; Salm et al. 2010).

Kategori KKP menurut Permen Kementerian Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2008 terdiri atas Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), dan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). KKP3K terdiri dari Suaka Pesisir, Suaka Pulau Kecil, Taman Pesisir, dan Taman Pulau Kecil. KKM terdiri dari Perlindungan Adat Maritim dan Perlindungan Budaya Maritim. KKP terdiri dari Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.

Terdapat tiga entitas pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah. Sampai dengan Tahun 2016 Indonesia telah memiliki 17.3 Juta ha KKP. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengelola 32 kawasan konservasi perairan yang terdiri 7 (tujuh) Taman Nasional (Laut), 14 Taman Wisata Alam (Laut), 5 (lima) Suaka Margasatwa (laut), 6 (enam) Cagar Alam (Laut). Kementerian Kelautan dan Perikanan mengelola 10 Kawasan Konservasi Perairan Nasional dengan luas total 3.8 juta Ha, dan 110 kawasan dalam bentuk Kawasan Konsevasi Daerah (KKPD) yang dikelola oleh Pemerintah Daerah (Dit KKLH KKP 2016).

(19)

Salah satu ekosistem yang terdapat di Pulau Pasi adalah terumbu karang. Terumbu karang memiliki nilai sumberdaya yang penting bagi masyarakat Pulau Pasi, namun terumbu karang di pulau ini sangat rentan terhadap gangguan. Penambangan karang, penggunaan bahan peledak, racun sianida dan cara tangkap lainnya yang kurang bersahabat dengan ekosistem terumbu karang, merupakan ancaman umum yang dapat menganggu kondisi lingkungan pesisir dan laut di daerah tersebut (Janwar 2010).

Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa kegiatan manusia akhirnya akan mempengaruhi struktur bangunan terumbu karang. Secara ekologis, sosial dan nilai ekonomi terumbu karang mendasari betapa pentingnya konservasi terumbu karang secara internasional. Keberhasilan kawasan konservasi laut dalam mengembalikan populasi ikan juga merupakan dampak secara tidak langsung dari keberadaan terumbu karang.

Dengan terbentuknya kawasan konservasi tidak menjamin keberlangsungan suatu ekosistem tertentu. Demikian pula, berhasilnya suatu daerah menjadi kawasan konservasi tidak secara langsung menjamin kesejahteraan masyarakat setempat yang mata pencahariannya bergantung pada sumberdaya pesisir. Walaupun demikian, pencadangan Pulau Pasi sebagai kawasan konservasi diharapkan tidak hanya memberikan manfaat dari fungsi ekologinya saja dengan mengabaikan sisi ekonomi dan sosial. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis untuk mengetahui dampak pencadangan Pulau Pasi sebagai kawasan konservasi terhadap kondisi terumbu karang.

Perumusan Masalah

Pulau Pasi merupakan salah satu tujuan wisata bahari yang cukup terkenal di Kepulauan Selayar. Hal ini merupakan peluang untuk pengembangan wisata bahari namun hal ini dapat pula berdampak buruk terhadap sumberdaya di dalamnya jika pengelolaannya tidak dilakukan dengan tepat.

Pulau pasi memiliki keragaman ekosistem dengan keanekaragaman yang tinggi. Lamun, terumbu karang, dan mangrove memiliki luasan yang cukup besar di pulau ini. Selain itu, ditemukan beberapa biota yang termasuk dalam biota yang dilindungi seperti penyu hijau (Cheloia midas) dan ikan napoleon (Cheilinus undulatus) yang terancam punah. Pencadangan pulau ini sebagai kawasan konservasi diharapkan terjadi perubahan positif terhadap upaya rehabilitasi dan pemanfaatan ekosistem tersebut terutama terumbu karang.

(20)

akhirnya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi dan peluang keberlanjutan terumbu karang setelah daerah ini ditetapkan sebagai KKPD.

Kerangka Pemikiran

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan baik yang berasal dari manusia maupun yang disebabkan oleh bencana alam. Diperkirakan sekitar 20% dari terumbu karang dunia telah hancur, sementara 50% berada dalam resiko hancur baik secara langsung maupun jangka panjang (Wilkinson 2004).

Terumbu karang memiliki nilai ekonomi yang penting, nilai biologi, dan nilai estetika. Terumbu karang menghasilkan 30 miliar dolar Amerika per tahun dari penangkapan ikan, pariwisata, dan perlindungan pantai dari badai (Stone 2007). Gangguan yang berasal dari bencana alam tidak dapat dihindari, namun gangguan yang berasal dari manusia dapat diminimalisir, salah satu caranya dengan dibentuknya kawasan konservasi. Adapun yang mendasari pemikiran dari penelitian ini yaitu terumbu karang merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sehingga perlu dilestarikan.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji status terkini kondisi terumbu karang dan fauna ikan karang di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi Gusung.

Ekosistem Terumbu Karang

Fungsi Ekonomi Fungsi Ekologi Fungsi Sosial-Budaya

Pembentukan KKPD

Manfaat KKPD

Analisis Peluang Keberlangsungan

Pengelolaan Terumbu Karang Berkelanjutan

- Ekologi

- Ekonomi

- Sosial-Budaya

- Teknologi dan Infrastruktur

- Hukum dan

Kelembagaan

- Persentase Tutupan Karang

(21)

2. Menganalisis perubahan kondisi terumbu karang sebelum dan setelah pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi Gusung.

3. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi Gusung.

Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini, sebagian data hasil penelitiannya menjadi pembanding untuk melihat dampak pencadangan KKPD terhadap Pulau Pasi yaitu:

1. Analisis Pemanfaatan Ruang dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau-Pulau Pasi, Kabaten Selayar) oleh Syahruni M. Ilyas, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 2009.

2. Kajian Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan oleh Budi Muhammad Ruslan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2010.

3. Kajian Potensi dan Pengembangan Ekowisata Bahari di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Pasi Kabupaten Kepulauan Selayar oleh Irwan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2010.

(22)

2 METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan bulan April 2015, bertempat di Pulau Pasi, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan. Peta lokasi penelitian dan lokasi survey dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Lokasi penelitian.

Metode Pengambilan Data

(23)

karang dan sosial masyarakat. Data sekunder merupakan data yang bersumber dari pemerintah setempat dan literatur terkait.

Pengambilan data tutupan karang dilakukan pada 10 titik pengamatan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT). Masing-masing titik pengamatan mewakili kedalaman 3 m dan 10 m. Panjang transek yang digunakan adalah 50 m yang direntangkan sejajar garis pantai pada kedalaman 3 m dan 10 m dan dilakukan ulangan sebanyak dua kali.

Jenis dan kelimpahan ikan karang diamati dengan menggunakan metode Underwater Visual Census (UVC) yang dilakukan sepanjang transek 50 m, dengan lebar 2.5 m sebelah kiri dan 2.5 m sebelah kanan garis transek sehingga luasan bidang pengamatan 50 m x 5 m = 250 m2. Pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan transek garis (LIT) untuk pengamatan karang.

Informasi yang berhubungan dengan sosial ekonomi dan pengelolaan di kawasan tersebut diperoleh dengan wawancara mendalam dan kuisioner serta dilengkapi dengan data sekunder dari dinas setempat. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling yaitu teknik pengambilan data yang dilakukan dengan sengaja demi keterwakilan data. Responden merupakan pelaku baik individu ataupun lembaga yang terkait dengan pemanfaatan di pulau ini. Responden berjumlah 100 orang yang terdiri dari: dinas terkait (DKP), kepala desa, pelaku wisata (nelayan pemilik kapal, guide), rumah tangga nelayan, wisatawan, dan tokoh masyarakat.

Analisis Data Ekologi Persentase Penutupan Terumbu Karang

Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase penutupan berdasarkan metode LIT (English et al. 1994) yaitu:

�� = ��� ×

Dimana: Ni = persen penutupan karang

li = panjang total life form I jenis ke –i L = panjang transek (m)

Kriteria penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan kategori persentase tutupan karang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori Penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang.

Penutupan (%) Kriteria

0 – 24.9 Buruk

25 – 49.9 Sedang

50 – 74.9 Baik

75 – 100 Sangat baik

Sumber: Gomez dan Yap 1998.

(24)

Kelimpahan Ikan Karang

Rumus yang digunakan untuk menghitung kelimpahan ikan karang adalah (Odum 1971):

Ni = ��

�x100

Keterangan: Ni = Kelimpahan ikan jenis ke-i (ind/m2) ni = jumlah individu dari jenis ke -i A = luas pengambilan daerah contoh

Komunitas ikan karang yang diamati dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama (English et al. 1994) yaitu:

a. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap konsumsi. Biasanya kelompok ikan-ikan target menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target diwakili oleh famili Seranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipitidae (ikan kurisi), Caesinodae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakatua), dan Acanthuridae (ikan pakol).

b. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas yang mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh Famili Chaetodontidae (kepe-kepe).

c. Kelompok ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5-25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok-kelompok ikan major umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya.

Kriteria penilaian kondisi ikan karang berdasarkan kategori kelimpahan ikan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kelimpahan ikan karang

Kelimpahan (ind/ha) Kriteria

200 – 1000 Sangat Jarang

1000 – 2000 Jarang

2000 – 4000 Kurang melimpah

4000 – 10000 Melimpah

> 10000 Sangat Melimpah

(25)

Tabel 3 Jenis, metode dan analisis data.

Tujuan Variabel Indikator (output) Jenis data Metode sampling Metode analisis

1. Mengkaji status terkini kondisi terumbu karang dan ikan karang di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi Gusung.

Tutupan karang

Persen tutupan karang

(%) Primer/Sekuder

LIT (Line Intercept Transect)

.

�� = ��� ×

Kelimpahan ikan

karang Kelimpahan ikan (%) Primer/Sekuder

UVC (Underwater

Visual Census) Xi = �� � x 100

2.Menganalisis perubahan kondisi terumbu karang sebelum dan setelah pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi Gusung.

Tutupan karang

Persen tutupan karang

(%) Primer/Sekuder

LIT (Line Intercept

Transect) �� = ��

� ×

3.Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi Gusung

Dimensi ekologi Persentase tutupan karang,

kelimpahan ikan karang Primer LIT

Rap-Insus COREMAG dengan Pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS) Dimensi ekonomi Kondisi masyarakat

(ketergantungan masyarakat pada perikanan)

Primer/Sekunder Wawancara

Dimensi sosial budaya Kondisi masyarakat (adat, budaya, pendidikan)

(26)

Analisis Pengelolaan

Analisis keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dilakukan dengan metode pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan teknik Rap-Insus Coremag (Rapid Appraisal-Index Sustainability of Coral Reef Management) yang telah dimodifikasi dari program Rapfish (Kavanagh 2001; Pitcher and Preikshot 2001; Fauzi dan Anna 2005).

Penentuan atribut pada penilaian keberlanjutan pengelolaan terumbu karang meliputi dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan yang mengacu pada indikator dari Rapfish (Kavanagh 2001); Tesfamichael dan Pitcher (2006); Charles (2000); Nikijuluw (2002); Arifin (2008); Adriman et al (2012) yang dimodifikasi. Atribut yang diperoleh pada masing-masing dimensi dikaji melalui beberapa referensi dan pertimbangan dari ahli.

Atribut setiap dimensi dan kriteria baik atau buruk mengikuti konsep Rapfish (Kavanagh 2001) dan judgement knowladge pakar/stakeholder. Setiap atribut diperkirakan skornya, yaitu skor 3 untuk kondisi baik (good), 0 berarti buruk (bad) dan di antara 0-3 untuk keadaan di antara baik dan buruk. Skor definitifnya adalah nilai modus, yang dianalisis untuk menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan relatif terhadap titik baik dan buruk dengan teknik ordinasi statistik MDS. Dimensi dan atribut-atribut yang mempengaruhi status pengelolaan terumbu karang di Pulau Pasi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Dimensi dan atribut penilaian keberlanjutan terumbu karang di KKPD Pulo Pasi Gusung.

No Atribut Atribut dan Dimensi Ekologi Keterangan

Skor Baik Buruk

1 Tutupan karang

hidup

0; 1; 2; 3 3 0 0-24.9% (0); 25-49.9% (1);

50-74.9% (2); 75-100% (3) (Gomez dan Yap 1998)

2 Kelimpahan ikan

karang

0; 1; 2 2 0 200-1000 ind/ha (0);

2000-4000 ind/ha (1); 2000-4000-10000 ind/ha (2); > 10000 ind/ha

(3) (Sumadiharga et al.

modifikasi)

3 Keragaman

ekosistem

0; 1; 2 2 0 Rendah (0); Sedang (1);

Tinggi (2) (Charles, 2000)

4 Spesies yang

Atribut dan Dimensi Ekonomi

Keterangan

Skor Baik Buruk

1 Kunjungan

wisatawan

0; 1; 2 2 0 Rendah (0); Sedang (1);

Tinggi (2) (Arifin, 2008)

2 Jumlah obyek wisata 0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0); Sedikit (1);

(27)

3 Serapan tenaga kerja lokal di sektor pariwisata

0; 1; 2 2 0 Rendah (0); Sedang (1);

Tinggi (2) (Adriman, 2012)

4 Ketergantungan pada

perikanan sebagai sumber nafkah

0; 1; 2 2 0 Tinggi (0); Sedang (1);

Rendah (2) (Rapfish;

Tesfamichael and Pitcher,

2006)

7 Ketersediaan modal

nelayan

0; 1; 2; 3 3 0 Rata-rata tidak memiliki

modal (0); Rata-rata kekurangan modal (1); Rata-rata cukup modal (2); Cukup modal (3)

No Atribut

Atribut dan Dimensi Sosial

Budaya Keterangan

Skor Baik Buruk

1 Tingkat pertumbuhan

jumlah nelayan

0; 1; 2; 3 3 0 Sangat tinggi (0); Tinggi (1);

Sedang (2); Rendah (3) (Rapfish)

2 Potensi konflik

pemanfaatan

0; 1; 2; 3 3 0 Tinggi (0); Sedang (1); Rendah

(2); Hampir tidak ada (3) (Tesfamichael dan Pitcher 2006; Nikijuluw 2002)

3 Tingkat pendidikan 0; 1; 2; 3 3 0 Tidak tamat SD (0); Tamat

SD-SMP (1); Tamat SMA (2); S0-S1 (3) (Tesfamichael dan Pitcher 2006)

4 Pengetahuan

lingkungan

0; 1; 2; 3 3 0 Tidak ada (0); Sedikit (1);

Cukup (2); Banyak (3)

(Tesfamichael dan Pitcher 2006)

5 Memiliki Nilai

estetika

0; 1; 2 2 0 Rendah (0); Sedang (1); Tinggi

(2) (Arifin 2012)

6 Mata pencaharian

alternatif non

Atribut dan dimensi teknologi

dan infrastruktur Keterangan

Skor Baik Buruk

1 Jenis alat tangkap 0; 1; 2 2 0 Mayoritas aktif (0); Seimbang

(28)

2 Selektivitas alat

tangkap 0; 1; 2

2 0 Kurang selektif (0); Agak selekif

(1); Sangat Selektif (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)

3 Transpalntasi karang 0; 1 1 0 Tidak ada (0); Ada (1) (Dahuri

1996; Adriman 2012)

4 Sarana dan prasarana

pengawasan Tesfamichael dan Pitcher 2006)

6 Penggunaan alat

terlarang

0; 1; 2; 3 3 0 Banyak (0); Sedang (1);

Sedikit/jarang (2); Tidak ada (3)

7 Pengolahan limbah

penduduk

0; 1 1 0 Tidak ada (0); Ada (1) (Adriman

2012)

No Atribut

Atribut dan dimensi hukum

dan kelembagaan Keterangan

Skor Baik Buruk

1 Tingkat kepatuhan

masyarakat

0; 1; 2 2 0 Tidak patuh (0); Sedang (1);

Patuh (2) (Nikijuluw 2002)

2 Penyuluhan hukum

lingkungan

0; 1; 2 2 0 Tidak Pernah (0); Jarang (1);

Sering (2) (Nikijuluw 2002)

3 Pemantauan dan

pengawasan

0; 1; 2 2 0 Rendah (0); Sedang (1);

Tinggi (2) (Nikijuluw 2002)

4 Koordinasi antar

stakeholder

0; 1; 2 2 0 Buruk (0); Sedang (1); Baik

(2) (Adriman 2012)

5 Tokoh panutan 0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0); Sedikit (1);

Cukup (2) (Nikijuluw 2002)

6 Pemegang kepentingan

utama

0; 1; 2 2 0 Swasta (0); Pemerintah (1);

Nelayan (2) (Nikijuluw 2002; Arifin 2008)

7 Ketersediaan peraturan

pengeolaan sumberdaya secara formal

0; 1; 2 2 0 Tidak ada (0); Ada, belum

optimal berjalan (1); Optimal (2) (Nikijuluw 2002)

Dalam implementasinya, Rapfish menggunakan teknik yang disebut Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis Multi Dimensional Scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al. 1994). Sickle (1997) menyatakan bahwa MDS dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Objek atau titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain. Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna 2005). Teknik ordinasi atau penentuan jarak di dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distances yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut:

(29)

Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (σij) sebagaimana persamaan berikut:

dij = α + β +

Alogaritma ALSCAL digunakan untuk meregresikan persamaan diatas (Alder et al. 2000). Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance= d ijk) terhadap data kuadrat (titik asal = 0 ijk), yang dalam tiga dimensi (i,j,k) di tulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:

Jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot atau ditulis:

(30)

Gambar 3 Tahapan Analisis Rap-Insus-COREMAG (Arifin 2010, modifikasi). Skor perkiraan setiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk (bad) 0% sampai yang terbaik (good) 100%, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori (Tabel 5).

Tabel 5 Kategori status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus Coremag.

Indeks Kategori

≤ 24.9 Buruk

25 – 49.9 Kurang berkelanjutan

50 – 74.9 Cukup berkelanjutan

> 75 Baik

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap Insus-Coremag di lokasi penelitian. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau pada skala accountability. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut di dalam pembentukan nilai Insus-Coremag pada skala keberlanjutan, atau semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang (Adriman 2012).

Penentuan Atribut

-Ekologi

-Ekonomi

-Sosial Budaya

-Teknologi dan Infrastruktur

-Hukum dan Kelembagaan

Penilaian Atribut

Penyusunan Indeks Keberlanjutan

(31)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Ekologis

Pulau Pasi merupakan salah satu bagian gugusan pulau yang terletak di Kepulauan Selayar. Secara geografis Pulau Pasi terletak pada 605’ - 6013’δS dan

120023’-120027’BT. Pulau Pasi termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Bontoharu,

Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Batas administratif Pulau Pasi yaitu:

- Sebelah utara : berbatasan dengan laut Flores - Sebelah selatan : berbatasan dengan laut Flores - Sebelah barat : berbatasan dengan laut Flores - Sebelah Timur : berbatasan dengan selat Benteng

Pulau Pasi memiliki luas 2388.78 ha dengan panjang garis pantai sebesar 29545.66 m, luas terumbu karang sebesar 408.36 ha, luas kawasan mangrove sebesar 66.62 ha, padang lamun bercampur pasir 799.53 ha, hamparan pasir putih (pantai) 58.95 ha, dan pemukiman 25.99 ha (PPTK 2007).

Pada pantai selatan, barat dan utara Pulau Pasi terdiri dari hamparan pasir putih yang diselingi batu cadas. Butiran pasir putih yang agak halus merupakan hasil dari proses tereduksinya energi gelombang oleh hamparan reef flat (rataan terumbu) dan padang lamun yang berada di depan pantai. Hamparan rataan terumbu di sisi barat dan selatan cukup luas dan lebar berkisar 300-100 m dari garis pantainya. Gambaran berbeda ditemukan di sisi timur pulau yang didominasi batu cadas dan sedikit pantai (Ilyas 2009).

Kondisi Sosial Demografi

Pada umumnya penduduk Pulau Pasi bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Musim sangat berpengaruh terhadap pencaharian masyarakat. Pada musim timur, masyarakat sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Pada musim barat sebagian besar nelayan akan beralih profesi menjadi petani (jambu mente, kelapa, dan jagung). Peralihan profesi ini disebabkan karena angin yang kencang dan ombak yang besar sehingga nelayan tidak bisa melaut. Data penduduk Pulau Pasi secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Data penduduk Pulau Pasi.

No Desa Luas Wilayah

KK Laki-Laki Perempuan

1 Bontolebang 3.31 949 259 495 454

2 Bontoborusu 10.00 1470 359 729 745

3 Kahu – Kahu 10.04 1967 517 873 922

Sumber: BPS (2012); Data Potensi Desa Bontolebang dan Desa Kahu-Kahu (2014).

(32)

a. Desa Bontolebang

Desa Bontolebang terdiri dari tiga dusun yaitu dusun Gusung Timur, Gusung Barat, dan dusun Lengu. Selain berprofesi sebagai nelayan, masyarakat desa Bontolebang memiliki usaha budidaya ikan (kerapu, sunu, lobster) baik yang dikelola perseorangan maupun kelompok. Upaya pemberdayaan pemerintah di desa ini yaitu berupa bantuan keramba untuk budidaya, selain itu pemerintah setempat mengadakan pelatihan menjahit untuk ibu-ibu.

b. Desa Kahu-Kahu

Desa Kahu-Kahu merupakan pemekaran dari Desa Bontoborusu yang terdiri dari empat dusun, yaitu dusun Kahu-Kahu Utara, Kahu-Kahu Tengah, Kahu-Kahu Selatan dan dusun Dopa. Desa ini merupakan desa terpadat dari ke-tiga desa yang berada di pulau Pasi. Pada musim timur sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Pada musim barat masyarakatnya berkebun (jagung, jambu mente), dan bertambak garam. Usaha tambak garam ini merupakan salah upaya pemberdayaan pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat, karena ketika musim barat nelayan tidak bisa melaut. Pemerintah juga mengadakan pelatihan pembuatan terasi untuk ibu-ibu di desa setempat. Hasil produksi terasi telah dipasarkan sampai ke ibukota Selayar.

c. Desa Bontoborusu

Desa Bontoborusu terdiri dari empat dusun yaitu dusun Dongkalang, dusun Buloiya, dusun Paoiya, dan dusun Manarai. Di desa ini terdapat gedung KKPD. Jika dibandingkan berdasarkan kepemilikan dan penguasaan aset produksi Desa Bontoborusu merupakan desa nelayan paling tertinggal dibandingkan dengan ke-2 desa lainnya (Tabel 7).

Tabel 7 Distribusi rumah tangga terpilih menurut kepemilikan alat/sarana produksi Pulau Pasi.

Alat/Sarana

Kahu-Kahu Bontoborusu Bontolebang Total

Jml

Sumber: Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia Coremap CTI (2015).

Jika dibandingkan kepemilikan aset produksi kapal atau perahu yang menjadi ukuran nilai asset rumah tangga, Desa Bontolebang terlihat lebih maju dibandingkan dengan Desa Kahu-kahu. Aset kapal motor memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perahu motor tempel dan perahu tanpa motor tempel. Kapal motor memiliki jangkauan ke wilayah tangkapan yang lebih jauh dan mampu memuat hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan dengan perahu.

(33)

Konservasi Laut Daerah (KKLD) salah satunya oleh Pusat Penelitian Terumbu Karang (PPTK) Universitas Hasanuddin pada tahun 2007. Pada tahun 2009 dengan bergulirnya program COREMAP II, di pulau ini (Desa Bontolebang) dibentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL). Pada tahun 2011 dengan mempertimbangkan hasil penelitian dari beberapa mahasiswa S2 IPB dan data pendukung kajian-kajian sebelumnya, zonasi pengelolaan dibentuk dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar mengeluarkan SK Bupati Nomor 466/IX/Tahun 2011 tentang pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi-Gusung.

Gambar 4 Lokasi DPL (COREMAP II).

KKPD Pulo Pasi Gusung dikelola oleh DKP Selayar di bawah naungan Bidang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. KKPD ini terbagi menjadi beberapa zonasi berdasarkan peruntukkannya yaitu (Profil KKPD Pulo Pasi Gusung Selayar): 1. Zona Inti

Zona inti merupakan sebagai zona perlindungan, zona ini diperlukan untuk kepentingan perlindungan kawasan (melindungi habitat dan populasi biota laut dan pesisir). Pada kawasan ini tidak diperkenankan adanya pengembangan fisik kecuali dalam rangka pengamanan kawasan. Zona ini terletak pada dua lokasi yaitu perairan Liang Kareta (Desa Bontoborusu) dan Taka Ujung Lola (Desa Bontolebang).

2. Zona Pemanfaatan

(34)

lain: Ampangan-Liang Kareta, Je'neiya, Timbula dan Gusung. Potensi wisata kawasan ini adalah pantai pasir putih, snorkling dan diving. Beberapa biota yang menjadi objek di lokasi ini selain terumbu karang adalah penyu dan beberapa spesies nudi.

3. Zona Lainnya

Zona ini merupakan kawasan untuk rehabilitasi, terletak di wilayah Tarrusang (Desa Bontolebang) yang merupakan wilayah pemisah antara Pulau Gusung dan Pulau Pasi ketika air laut surut. Lokasi ini merupakan lokasi hutan mangrove seluas 66.62 ha (PPTK UNHAS 2007).

4. Zona Perikanan Berkelanjutan

Zona ini merupakan kawasan di luar zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Dalam kawasan ini terdapat dua kegiatan perikanan masyarakat yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan budidaya yang sedang berkembang di masyarakat adalah keramba jaring apung dan keramba tancap yang saat ini telah menjadi salah satu tujuan wisata keluarga (memancing).

Kondisi Lingkungan Perairan

Pertumbuhan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairannya. Suhu, salinitas, kecerahan, dan kecepatan arus merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kondisi lingkungan perairan yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Kondisi lingkungan perairan.

(35)

Kecepatan arus

Kondisi arus permukaan Laut Flores di sekitar perairan Kepulauan Selayar pada bulan November – Maret (musim barat) mengalir ke arah timur dengan kecepatan 33–50 cm/dtk, pada awal usim timur (April), arus menuju ke barat dengan kecepatan lemah yakni 12–38 cm/dtk, pada musim timur arus permukaan semakin meningkat dan kecepatan maksimum terjadi pada bulan Juni mengalir ke arah Timur sekitar 75 cm/dtk. Akhir musim Timur (Oktober) kecepatan arus mulai menurun yang mengalir ke arah Barat dengan kecepatan 25–38 cm/dtk (LIPI 2011). Kecepatan arus di lokasi penelitian berkisar 0.03–0.20 cm/dtk. Kecepatan arus cenderung lemah, hal ini disebabkan pengambilan data mulai dilakukan pada pagi hari, karena ketika siang hari cuaca tidak memungkinkan untuk pengambilan data.

Kecerahan

Syarat utama bagi karang untuk tumbuh dan berkembang secara aktif adalah keberadaan cahaya (Nybakken 1998). Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang (reef corals) umumnya tersebar di daeah tropis (Kanwisher et al. 1997).

Kecerahan suatu perairan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup biota yang ada di dalamnya. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan nilai kecerahan sebesar 100%. Kondisi ini sangat menunjang untuk pertumbuhan terumbu karang karena intensitas cahaya matahari yang masuk mampu menembus hingga ke dasar perairan.

Karang hermatipik membutuhkan cahaya yang cukup untuk kegiatan fotosintesis dari alga yang berada dalam jaringannya. Dalamnya penetrasi cahaya yang menentukan jangkauan kedalaman yang dapat dihuni oleh karang hermatipik (Lalamentik 1991). Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, namum secara umum karang tumbuh lebih baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman 2004).

Suhu

Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perombakan bentuk luar dari karang (Sorokin 1993). Secara global, sebaran terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20oC (Claudet 2006) dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18oC. Perkembangan terumbu karang yang optimal berada pada suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23-25oC, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir 36-40oC (Bengen 2000). Suhu sangat mempengaruhi perumbuhan karang, suhu yang mematikan terumbu karang bukan suhu yang ekstrim, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara alami. Perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6oC dibawah atau diatas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya (Neudecker 2001).

(36)

bulan Desember. Pada waktu puncak musim barat (Januari), turun lagi sampai bulan Februari, kemudian naik lagi pada bulan Maret–Mei (FIKP UNHAS 2003; Ilyas 2009).

Dari hasil pengamatan diperoleh suhu berkisar 28oC 29.3oC. Kisaran suhu yang diperoleh merupakan kisaran suhu normal untuk perairan tropis sekalipun kawasan perairan Pulau Pasi dapat saja dipengaruhi oleh arus lalu lintas Indonesia (Arlindo), dimana secara geografis Perairan Selayar merupakan bagian dari Laut Flores dan Laut Banda (Janwar 2010).

Salinitas

Salinitas merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan hewan karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36‰ (Kinsman 2004). Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai 17.5-52.5% (Vaughan 1999; Wells 1994).

Kandungan salinitas dilokasi penelitian berkisar 30-31‰. Hasil tersebut menunjukkan bahwa salinitas pada lokasi penelitian masih dalam kategori optimal bagi pertumbuhan karang. Menurut Scandol (1999), kisaran normal salinitas air laut untuk perkembangan dan pertumbuhan terumbu karang secara optimal adalah

30-33‰.

Kondisi Terumbu Karang

Persentase penutupan karang batu yang terdiri dari acropora dan non acropora (hard coral) merupakan acuan dalam menentukan kondisi terumbu karang (Arifin 2008). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 10 stasiun pengamatan, persentase kondisi tutupan karang hidup (benthic) lifeform pada kedalaman 3 m disajikan pada Gambar 5.

(37)

Persentase tutupan karang hidup pada masing-masing stasiun pada umumnya bervariasi. Persentase tutupan karang hidup terendah di kedalaman 3 m terdapat di stasiun 1 yaitu sebesar 11.22 %, sedangkan persentase tutupan karang hidup tertinggi terdapat di stasiun 5 dengan nilai sebesar 89.14%.

Hasil analisis benthic lifeform seperti yang terlihat pada Gambar 5 menunjukkan nilai yang bervariasi. Pada kedalaman 3 m, karang mati memiliki persentase paling besar yaitu 31.33%, acropora 24.25%, non acropora 23.49%, abiotik 17.08% dan biota lainnya 0.41% (Lampiran 1).

Persentase tutupan karang berdasarkan benthic lifeform pada kedalaman 10 m disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Persentase tutupan karang berdasarkan benthic lifeform di kedalaman 10 m

Persentase tutupan karang hidup terendah di kedalaman 10 m terdapat di stasiun 3 yaitu sebesar 33.08%, sedangkan persentase tertinggi terdapat di stasiun 8 yaitu sebesar 82.26%. Berdasakan benthic lifeform di kedalaman 10 m, non acropora memiliki persentase terbesar yaitu 42.21%, karang mati 27.75%, acropora 15.08%, abiotik 12.20%, biota lainnya 2.53%, dan alga sebesar 0.24% (Lampiran 2).

Dari hasil pengamatan di 10 stasiun penelitian, rata-rata persentase luas tutupan karang pada kedalaman 3 m yaitu sebesar 47.70% dan pada kedalaman 10 m sebesar 57.23%. Berdasarkan hasil rata-rata pada dua kedalaman yang berbeda, persentase tutupan karang mati memiliki nilai cukup tinggi yaitu sebesar 29.54%, acropora 19.67%, non acropora 32.85%, alga 1.83%, abiotik 17.08%, dan biota lainnya 14.64%

Alat tangkap tidak ramah lingkungan menjadi salah satu penyebab rusaknya terumbu karang di Pulau Pasi. Dari hasil wawancara terhadap warga setempat diperoleh informasi ada beberapa nelayan yang masih melakukan penangkapan dengan menggunakan bom dan bius. Pernyataan ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan COREMAP CTI bekerjasama dengan LIPI (2015).

(38)

Tabel 9 Kategori tutupan karang hidup. Kategori

Sangat Baik Baik Sedang Buruk

Stasiun Kedalaman Stasiun Kedalaman Stasiun Kedalaman Stasiun Kedalaman

5 3 3 3 1 10 1 3

Kategori tutupan karang di semua stasiun di kedalaman 3 m dan 10 m berada pada rentang kategori sedang, baik dan sangat baik, sedangkan kategori buruk hanya terdapat di stasiun pada kedalaman 3 m. Kategori sedang, baik dan sangat baik, didominasi stasiun yang berada di kedalaman 10 m, sedangkan di kedalaman 3 m hanya terdapat empat stasiun yang termasuk kategori baik dan satu stasiun termasuk kategori sangat baik.

Tipe terumbu yang terdapat di Pulau Pasi adalah terumbu tepi (fringing reef). Hal ini menyebabkan terumbu karang cepat mengalami degradasi karena mudahnya diakses terutama oleh para pelaku wisata dan nelayan. Di Pulau Pasi terdapat masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan gurita. Tidak semua nelayan ini memiliki modal untuk membeli perahu. Nelayan yang tidak memiliki perahu sangat bergantung pada terumbu karang sebagai tempat menangkap gurita. Untuk berburu gurita nelayan secara langsung menginjak terumbu karang. Oleh karena itu pada umumnya kategori tutupan karang di kedalaman 3 m berada dalam kategori yang buruk jika dibandingkan di kedalaman 10 m, hal ini disebabkan pada kedalaman 3 m lebih mudah dijangkau secara langsung oleh nelayan dan lokasinya yang berada jauh dari Kota Benteng yang merupakan Ibukota Kabupaten Selayar sehingga pemantauan dan pengawasan dari pemerintah setempat kurang maksimal. Pada beberapa stasiun di kedalaman 3 m berada dalam kategori baik hal ini disebabkan karena stasiun pengamatan yang berhadapan langsung dengan Kota Benteng (stasiun 9 dan 10) sehingga mudah diawasi, sedangkan semua stasiun yang berada di kedalaman 10 m dan beberapa stasiun di kedalaman 3 m yang termasuk dalam kategori baik disebabkan karena lokasi yang jauh dari pesisir sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat. Selain itu, pada musim barat kondisi arus dan gelombang yang cukup besar menyebabkan masyarakat hanya melakukan penangkapan di pesisir sekitar pulau.

Kelimpahan Ikan Karang

Ikan karang merupakan jenis ikan yang habitat umumnya pada karang hidup. Keberadaan ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan dengan persentase karang hidup (McClanaham et al. 2005). Terumbu karang yang sehat merupakan indikator kelimpahan ikan karang.

(39)

pada malam hari (nokturnal). Menurut Lowe dan McConel (1987) sebagian besar ikan karang bersifat diurnal serta ikan yang bersifat nokturnal biasanya merupakan ikan karnivora. Menurut Randall et al. (1990), ikan-ikan diurnal umumnya ikan herbivora yang berwarna cerah yang pada malam hari bersembunyi di celah-celah batu atau gua-gua kecil dekat permukaan karang serta ada yang membenamkan diri dalam pasir.

Berdasarkan peranannya di ekosistem terumbu karang, ikan karang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ikan target, ikan indikator, dan ikan mayor. Ikan target atau yang sering dikenal dengan istilah ikan ekonomis penting merupakan ikan yang menjadi target penangkapan, ikan indikator merupakan ikan yang sangat erat kaitannya dengan kesuburan terumbu karang, dan ikan mayor yang biasanya menjadi ikan hias air laut.

Pada lokasi penelitian ditemukan 22 famili ikan yaitu: Acanthuridae (bjanata), Chaetodontidae (kepe-kepe), Pomacanthidae (angelfish), Scaridae (kakatua), Zanclidae (moorish idols), Balistidae (triggerfish), Caesionidae (ekor kuning), Haemulidae (bibir tebal), Holocentridae (swanggi), Labridae (wrasses), Lethrinidae (lencam), Mullidae (goatfish), Nemipteridae (whiptail breams), Serranidae (kerapu), Siganidae (beronang), Apogonidae (beseng), Blennidae (blennies), Cirrhitidae (hawkfishes), Ephippidae (batfishes), Penguippedidae (sandperces), Pomacentridae (damselfishes), dan Tetraodontidae (buntal) (Lampiran 3).

Kelimpahan dan komposisi ikan karang di kedalaman 3 m disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kelimpahan dan komposisi ikan karang di kedalaman 3 m.

(40)

Gambar 8 Komposisi jenis ikan karang di kedalaman 3 m.

Berdasarkan hasil pengamatan komposisi jenis ikan karang ditemukan jenis ikan karang tertinggi di kedalaman 3 m terdapat pada famili Pomacentridae (angelfish) dengan persentase sebesar 69.68% dan kelimpahan terendah terdapat pada famili Penguippedidae (sandperces) dan Cirrhitidae (hawkfishes) yaitu sebesar 0.05% (Gambar 8).

Famili Pomacentridae (angelfish) umumnya banyak ditemukan pada suatu komunitas ikan karang. Kelimpahan ikan jenis famili Pomacentridae cenderung tinggi karena sebagian besar ikan dalam famili ini dikenal sebagai ikan yang bersifat teritorial, spasial dan relatif stabil (Montgomery et al. 1980). Selain itu distribusinya sangat dipengaruhi oleh karakteristik morfologi dari substrat, bahkan beberapa spesies diantaranya cenderung menggunakan karang sebagai sumber makanan.

Kelimpahan dan komposisi ikan karang di kedalaman 10 m disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kelimpahan dan komposisi ikan karang di kedalaman 10 m. Rata-rata kelimpahan ikan karang di kedalaman 10 m sebesar 24092 ind/ha. Kelimpahan ikan karang tertinggi terdapat di stasiun 2 yaitu sebesar 45960 (ind/ha), dengan kompisisi ikan indikator sebesar 24 ekor, ikan target 296 ekor, dan ikan

(41)

major 829 ekor. Kelimpahan ikan terendah terdapat di stasiun 5 yaitu sebesar 8360 (ind/ha), dengan komposisi ikan indikator 35 ekor, ikan target 17 ekor, dan ikan major 157 ekor.

Gambar 10 Komposisi jenis ikan karang pada kedalaman 3 m.

Kelimpahan ikan tertinggi pada kedalaman 10 m terdapat pada famili Pomacentridae (angelfish) dengan persentase 76.51% dan kelimpahan terendah terdapat pada ikan famili Penguippedidae (sandperces) dan Ephippidae (batfishes) dengan persentase sebesar 0.02% (Gambar 10).

Ikan jenis Pomacentridae merupakan ikan yang banyak ditemukan pada lokasi pengamatan karena ikan ini merupakan ikan penetap (resident species) yang memiliki tingkah laku teritorial dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindung. Berdasarkan pembagian peranannya, famili Pomacentridae termasuk ikan mayor utama yang jumlahnya banyak ditemukan dalam ekosistem terumbu karang (Romimohtarto dan Juwana 2005). Selain itu, pemanfaatan ikan karang famili Pomacentridae belum banyak dilakukan oleh masyarakat di sekitar pulau karena kurangnya pengetahuan mengenai pengembangan dan pengelolaan ikan karang hias.

Komposisi jenis ikan major di kedalaman 3 m maupun 10 m lebih besar jika dibandingkan dengan komposisi ikan target dan ikan indikator. Hal tersebut terjadi karena jenis ikan major memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis ikan target dan ikan indikator. Ikan major pada umumnya hidup bergerombol dan berukuran kecil. Jika dibandingkan dengan stasiun pengamatan pada kedalaman 3 m, kelimpahan ikan pada stasiun pengamatan 10 m lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena kondisi karang pada rata-rata kedalaman 10 m lebih baik dibandingkan kondisi rata-rata karang pada kedalaman 3 m.

Perubahan Kondisi Tutupan Karang Hidup

Tujuan utama dibentuknya kawasan perlindungan laut yaitu untuk melindungi ekosistem dari eksploitasi berlebihan. Terumbu karang sangat berperan penting dalam kawasan pesisir. Selain sebagai pelindung pantai yang disebabkan dari abrasi air laut, terumbu karang yang berada dalam kondisi baik juga menjadi sumber nafkah bagi masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.

Acanthuridae

(42)

Eksploitasi berlebihan dapat mengancam keberadaan ekosistem. Kondisi tutupan karang hidup pada tahun 2009 (sebelum pencadangan KKPD), 2010 (proses pencadangan KKPD) dan (2015) pasca pencadangan KKPD bersumber dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilyas (2009) dan Janwar (2010), dimana metode pengamatan karang yang digunakan adalah LIT, namun yang menjadi koordinat refensi penulis adalah rujukan dari koordinat hasil penelitian Janwar (2010). Adapun perubahan kondisi tutupan karang hidup disajikan pada Gambar 11.

Sumber: Ilyas (2008); Janwar (2010); Data primer (2015).

Gambar 11 Kondisi perubahan tutupan karang.

Tutupan karang hidup selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Kondisi tutupan karang pada tahun 2010 dan 2015 lebih baik jika dibandingkan kondisi tutupan karang pada tahun 2009 (sebelum pencadangan KKPD). Tutupan karang hidup di tahun 2010 pada kedalaman 3 m yang merupakan tahun pemrosesan pembentukan kawasan konservasi lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2015 (empat tahun setelah pencadangan KKPD). Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi alam maupun manusia.

Pemanasan global menyebabkan perubahan suhu secara ekstrim, sehingga terumbu karang sulit beradpatasi merupakan salah satu pemicu banyaknya karang menjadi mati dalam skala global. Dalam skala lokal, penyebab rusaknya terumbu karang terlebih disebabkan oleh pola penangkapan yang bersifat merusak. Penggunaan bom dan bius merupakan contoh kasus yang terjadi di lokasi penelitian. Dalam kasus alat tangkap, penggunaan alat tangkap tradisional seperti bubu juga ternyata menambah peluang semakin terancamnya karang, hal ini terjadi karena ketika bubu diturunkan, harus ada pemberat untuk menahan bubu agar tidak terbawa arus sehingga karang yang menjadi sasaran nelayan, dikarenakan untuk membawa batu dari atas sangat menyulitkan penyelam bubu.

Perubahan kondisi lingkungan perairan (suhu, salinitas, kecerahan, dan kecepatan arus) sangat mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang Perbandingan kondisi perairan dari tahun 2009, 2010, dan 2015 disajikan pada Gambar 12.

(43)

Sumber: Ilyas (2009); Janwar (2010); Data primer (2015)

Gambar 12 Grafik lingkungan perairan.

Dari Gambar 12 rata-rata suhu pada tahun 2009; 2010; dan 2015 yaitu 29.6oC; 30.8oC, dan 29oC. Salinitas pada tahun 2009; 2010; 2015 sebesar 32.5 ppt; 31.6 ppt; dan 30.2 ppt. Kecerahan pada tahun 2009; 2010; dan 2015 yaitu sebesar 100%; 95.5%; dan 100%. Kecepatan arus pada tahun 2009; 2010; dan 2015 sebesar 0,125 cm/dtk; 6.929 cm/dtk; dan 0.094 cm/dtk. Kondisi lingkungan perairan pada tahun 2009, 2010, dan 2015 tidak mengalami perubahan yang signifikan, sehingga faktor kondisi perairan bukan penyebab utama perubahan kondisi tutupan karang.

Menurut Kisman (1964) dalam Supriharyono (2007), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25oC–29oC, batas minimum 16oC–17oC dan batas maksimum sekitar 36 oC. Salinitas yang baik untuk pertumbuhan karang yaitu berkisar 32-35 ppt (Bengen 2000). Intesitas cahaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan karang. Semakin cerah suatu perairan, semakin baik pula pertumbuhan terumbu karang, hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh zooxhantellae, dimana hasil fotosintesis tersebut digunakan sebagai salah satu sumber makanan karang. Arus merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan karang. Kecepatan arus yang baik untuk pertumbuhan karang yaitu berkisar 0-0,17 m/det (Nybakken 1998). Arus berfungsi untuk membawa makanan dan membersihkan karang dari sedimentasi. Oleh sebab itu, Pertumbuhan karang pada daerah yang berarus cenderung lebih baik daripada perairan yang tenang. Menurut Supriharyono (2007), arus dapat memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Terdapat kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis seperti arus dan gelombang, bentuk karang lebih mengarah ke bentuk pertumbuhan encrusting.

Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

(44)

terpadu adalah dengan menerapkan dan mengembangkan kawasan konservasi terumbu karang. Kawasan konservasi yang dimaksud adalah suatu kawasan ekosistem terumbu karang, dengan beragam flora dan fauna yang berasosiasi di dalamnya dan memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya (Nikijuluw 2013). Pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang secara terpadu yang dapat mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan kelautan hendaknya berperan penting untuk (Agardy 1997; Barr et al 1997):

a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi, dan integritas ekosistem terumbu karang. Kawasan konservasi dapat berkontribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem.

b. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan serta kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

c. Menyediakan tempat reksreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat berjangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir dan laut.

d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem terumbu karang. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat yang berkaitan dengan petingnya konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati. e. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Strategi umum yang dapat diterapkan untuk mengelola terumbu karang, khususnya untuk mencegah kerusakan yaitu: (1) Memanfaatkan terumbu karang secara bertanggung jawab, (2) Mengendalikan kegiatan manusia, (3) mengalokasikan daerah perlindungan laut (no take zone, marine sactuary). Memanfaatkan terumbu karang secara bertanggung jawab memberikan implikasi bahwa pengguna yang dikendalikan oleh pengelola memiliki unit-unit usaha. Mengendalikan kegiatan manusia untuk (Nikijuluw et al. 2013):

1. Mencegah kegiatan ekstraktif dan penambang karang pembangun ekosistem. 2. Mengelola pengunjung atau wisatawan yang menikmati estetika lingkungan

terumbu karang.

3. Mengelola nelayan yang menangkap ikan.

4. Menerapkan dua jenis penegakan hukum, yaitu penegakan hukum dengan pendekatan interpretif dan dengan pendekatan konvensional.

(45)

(MDS) dengan teknik Rap-Insus COREMAG (Rapid Appraisal-Index Sustainability of Coral Reef Management) dengan membandingkan pengelolaan sebelum terbentuknya KKPD (Tahun 2010) dan setelah terbentuknya KKPD (2015). Analisis ini akan menghasilkan nilai indeks pengelolaan terumbu karang pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, serta hukum dan kelembagaan. Atribut yang diperoleh merupakan hasil kajian dari berbagai literatur dan hasil pertimbangan ahli.

Nilai indeks pengelolaan terumbu karang berkelanjutan ini didasarkan pada skor dari masing-masing atribut pada setiap dimensi yang nilainya diperoleh dari kondisi pengelolaan yang terjadi pada Tahun 2010 dan Tahun 2015 (Lampiran 3).

Penentuan atribut yang sensitif dilakukan berdasarkan urutan prioritasnya pada hasil analisis leverage dengan melihat bentuk perubahan Root Mean Square (RMS). Semakin besar nilai perubahan RMS, maka semakin besar peranan atribut tersebut dalam mempengaruhi status keberlanjutan ekosistem terumbu karang di Pulau Pasi.

Hasil ordinasi status keberlanjutan, pada dasarnya memberikan ilustrasi tentang status keberlanjutan setiap dimensi sesuai dengan skor dari atribut-atributnya. Posisi nilai indeks diilustrasikan pada sumbu absis (x) yang mencerminkan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang, sedangkan sumbu ordinat (y) mengindikasikan variasi skor dari atribut-atribut pengelolaan yang telah di telaah (Rembet et al. 2011).

Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Hasil analisis Rap Insus Coremag pada dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi.

Berdasarkan hasil analisis ordinasi terhadap atribut-atribut yang mempengaruhi dimensi ekologi, diperoleh nilai keberlanjutan Pulau Pasi pada tahun 2010 sebesar 77.51 dan pada tahun 2015 sebesar 73.26. Indeks keberlanjutan

(46)

pada tahun 2010 lebih baik dibandingkan tahun 2015. Hal ini disebabkan karena tingginya sedimentasi pada pulau ini. Namun nilai keduanya berada pada indeks >75 yang menunjukkan bahwa dimensi ekologi di Pulau Pasi termasuk dalam kategori baik.

Output dalam bentuk leveraging merupakan output yang memberikan gambaran output apa yang dianggap sensitif untuk mengubah skor keberlanjutan. Leverage diukur dengan standard error melalui root mean square. Jika RMS menunjukkan skor 3 artinya bahwa atribut tersebut jika dihilangkan akan mengubah skor keberlanjutan sekitar 3%. Semakin besar nilai RMS semakin besar persentase mengubah skor keberlanjutan (Fauzi, 2016).

Analisis leverage (Gambar 14) bertujuan untuk mengidentifikasi atribut-atribut yang sensitif, yang dapat mempengaruhi nilai keseluruhan dari keberlanjutan dimensi ekologi. Dari hasil analisis leverage diperoleh 3 (tiga) atribut yang sensitif yaitu: sedimentasi, keragaman ekosistem, dan spesies yang dilindungi. Sedimentasi memiliki nilai RMS yang sangat tinggi yakni sebesar 12.74. Hal ini dapat diartikan bahwa atribut salinitas memiliki pengaruh yang paling besar terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang dari aspek ekologinya.

Gambar 14 Nilai sensitifitas atribut dalam dimensi ekologi.

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang berperan penting pada wilayah pesisir namun rentan terhadap perubahan baik yang terjadi secara internal maupun ekternal. Sedimentasi merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan binatang karang.

Luas tutupan karang mempengaruhi struktur komunitas lain yang berasosiasi dengan terumbu karang salah satunya yaitu ikan karang. Keragaman ekosistem merupakan salah satu indikator penting dalam kelestarian suatu wilayah. Wilayah yang memiliki keragaman lebih memiliki ketahanan (reseilience) dalam perannya melindungi kawasan pesisir. Keberadaan spesies yang dilindungi pada suatu kawasan merupakan salah satu urgensi dalam pengelolaan kawasan konservasi, sehingga eksistensinya dapat dipertahankan dan terhindar dari kepunahan (Adriman 2012).

Laju sedimentasi yang cukup tinggi terjadi di perairan pantai Desa Bontoborusu. Kerusakan dasar perairan berdampak pada perubahan arus laut

3.15

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran.
Gambar 2.
Tabel 1 Kategori Penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan persentase
Tabel 2 Kelimpahan ikan karang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rekomendasi pengelolaan yang perlu dilakukan yaitu rehabilitasi terumbu karang diwilayah-wilayah yang memiliki penutupan yang rendah atau terdapat kerusakan terumbu karang

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis struktur komunitas makroalga di ekosistem terumbu karang pada Perairan Turun Aban, mengetahui hubungan makroalga dengan terumbu karang dan

Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi teknologi ... Analisis Monte

Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Akar permasalahan kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu pada umumnya adalah inkonsistensi dalam implementasi kebijakan

Hasil monitoring kesehatan karang Tahun 2018 menunjukkan bahwa secara umum di KKPD Teluk Mayalibit terumbu karang dalam kondisi sehat dengan indikasi tidak ditemukan coral

Data PDC pada tahun 2016 kondisi terumbu karang di Pulo Gosong Kabupaten Aceh Barat Daya memiliki nilai tutupan karang hidup sebesar 48,83% yang dikatagorikan sedang,

Kelimpahan dan biomassa rata-rata ikan besar dari metode long swims (a) perbandingan kawasan di dalam dan di luar pengelolaan KKPD, (b) perbandingan zona larang ambil

Upaya yang dilakukan dalam perlindungan terumbu karang di kawasan konservasi Pangandaran yaitu sebagai berikut: a melibatkan masyarakat dalam upaya pelestarian terumbu karang; b