• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pembinaan mental terhadap gelandangan dan pengemis di panti sosial bina karya pangudi luhur Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model pembinaan mental terhadap gelandangan dan pengemis di panti sosial bina karya pangudi luhur Bekasi"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan salah satu dampak dari belum konsisten dan belum terkordinasinya penangan masalah-malasah sosial ekonomi yang ada. Di samping itu orientasi penanganan belum berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat serta pemanfaatan potensi lokal yang belum maksimal. Penyebab kemiskinan berasal dari intern (keterbatasan pendidikan, pengetahuan, askes kesehatan, kurang memiliki keterampilan memberdayakan potensi) dan ekstern (kebijakan pemerintah, bencana sosial dan alam yang terjadi).1

Masalah kemiskinan mendapatkan prioritas utama dalam agenda Pembangunan setelah terjadi krisis ekonomi dan politik pada pertengahan tahun 1997. Hal ini tercermin dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas 2001-2004) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat.2

Secara subtansial kemiskinan merupakan salah satu akar dari masalah kesejahteraan sosial disamping berbagai masalah sosial lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1998 mencapai 79,4 juta jiwa atau 33,9 %,dan pada tahun 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen) dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, 1998, dan BPS, 2010).3

1

Departemen Sosial R.I, Standard Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. (2007), Hal 1-2.

2

Departemen Sosial RI. Masalah Sosial Di Indonesia. Badan Penelitian dan

Pengembangan Sosial Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial. Jakarta 2005, Hal 1-2.

(2)

Dari data di atas roda pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat sedikit mencapai tujuan, dari data kemiskinan tahun 1998 sampai 2010 jumlah angka kemiskinan sedikit berkurang. Namun hal ini tidak bisa dikatakan maksimal karena masih besar angka kemiskinan tersebut. Upaya pembangunan kesejahteraan rakyat saat ini menunjukan hasil yang cukup baik namun demikian disadari bahwa tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi keseluruhan rakyat Indonesia belum sepenuhnya tercapai mengingat cakupan permasalahan sosial begitu luas dan sangat kompleks seperti masalah kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, masalah kependudukan, kerawanan sosial, dan lain lain. Untuk itulah salah satu agenda dan prioritas utama RPJMN 2004-2009: “Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat melalui Penanggulangan Kemiskinan”.

Berdasarkan data BPS 2008, Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan Juli 2008 sebesar 34,96 juta orang atau 15, 42%. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58%), berarti jumlah penduduk miskin tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 2,21 juta orang. Jumlah pengangguran pada Februari 2008 sebesar 9,43 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2008 ini mengalami penurunan sebesar 1,12 juta orang dibandingkan dengan keadaan Februari 2007 yaitu 10,55 juta orang. Jumlah angka kerja di Indodnesia pada Februari 2008 mencapai 111,48 juta orang.

(3)

3

Istilah gepeng merupakan singkatan dari kata gelandangan dan pengemis. Gelandangan adalah seseorang hidup dalam keadaan tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap serta mengembara di tempat umum sehingga hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat. Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.4 Masalah gelandangan dan pengemis gepeng merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada didaerah perkotaan (kota-kota besar). Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukiman para urban tersebut. Sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta terbatasnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan pengemis.5

Jadi dorongan kemiskinan di desa dan daya tarik pendapatan di kota mengakibatkan gejala urbanisasi berlebih, yang sejumlah orang menyerbu ke kota, namun hanya sedikit dari mereka yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang menyebabkan mereka mencari nafkah dengan menggelandang dan mengemis, hal itu sehingga kota terlalu besar dan tumbuh pesat penduduk.

4

Depertemen Sosial R.I (1992) dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, Gelandangan-Pengemis di Kecamatan Kubu Kabupaten Karang Asem, Hal 1.

5

(4)

Dampak positif dan negatif tampaknya semakin sulit dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan (gepeng) karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan.6

Dampak dari meningkatnya gelandangan dan pengemis munculnya ketidakteraturan sosial (social disorders) yang ditandai dengan kesemrawutan, ketidaknyamanan, ketidaktertiban, serta mengganggu keindahan kota. Padahal disisi lain mereka adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, sehingga mereka perlu diberikan perhatian yang sama untuk mendapatkan penghidupan dan kehidupan yang layak.

Selama ini, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial, baik dengan sistem panti maupun non panti, namun belum menunjukan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan antara lain karena besaran permasalahan yang tidak seimbang dengan jangkauan pelayanan, keterbatasan SDM, dana, sarana, dan prasarana serta kualitas pelayanan yang masih bervariasi. Disamping itu, dampak dari pemberlakuan otonomi daerah yakni menimbulkan keberagaman persepsi dan upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial di berbagai daerah.

6

(5)

5

Untuk memperluas jangkauan pelayanan, Departemen sosial RI juga berupaya melibatkan masyarakat dalam setiap pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis namun hasilnya belum optimal. Sejak tahun 2002, peningkatan gepeng terhitung sangat tajam. Hal ini terlihat dari jumlah gepeng yang dipulangkan. Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, yaitu 300 orang tahun 2002, 300 orang tahun 2003, 400 orang tahun 2004, dan 1.595 tahun 2005.7 Perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum terhadap perlunya standar kehidupan yang lebih baik, telah mendorong terbentuknya berbagai usaha kesejahteraan sosial. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri, pada dasarnya merupakan suatu program ataupun kegiatan yang didesain secara kongkrit untuk menjawab masalah, kebutuhan masyarakat ataupun meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha kesejahteran sosial itu sendiri dapat ditujukan pada individu, keluarga, kelompok-kelompok dalam komunitas, ataupun komunitas secara keseluruhan (baik komunitas lokal, regional, maupun nasional).8

Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diperlukan peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, maupun lembaga kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan.9

Dari hal di atas, dapat dilihat bahwa kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi kehidupan yang diharapkan masyarakat tidak dapat terwujud bila tidak

7Ibid, h. 2 8

Ibid, h. 2 9

(6)

dikembangkan usaha kesejahteraan sosial. Karena itu berjalan atau tidaknya suatu usaha kesejahteraan sosial sangat dipengaruhi oleh organisasi atau lembaga yang menyediakan usaha kesejahteraan sosial yang memperhatikan masalah-masalah sosial dan masalah kesejahteraan sosial dalam arti sempit (seperti masalah yang terkait dengan prostitusi, anak jalanan, dll).10

Dampak dari kemiskinan ternyata tidak hanya berdampak pada keteraturan sosial yang dimana penyebab dari faktor ekstern, agar seseorang dapat memaksimakan potensi dalam dirinya perlu di butuhkan pikiran dan jiwa yang sehat. Disini faktor psikologis sangat berpengaruh dalam berkembangannya seseorang, sehingga ia tidak eksis dalam masalah-masalah sosial dan aktifitas hidup mencari materi dengan segala keindahan dan daya tariknya.

Faktor kemiskinan dapat mempengaruhi penyimpangan-penyimpangan perilaku seseorang dari tuntunan dan bimbingan, merupakan suatu indikasi yang sangat prinsip adanya gangguan psikologis dan tidak sehatnya mental. Akibat mental dan jiwa yang sakit itu akan memiliki dampak yang sangat membahayakan bagi setiap individu, lingkungan masyarakat, bangsa, Negara dan Agama. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau satu riwayat, Rasulullah pernah bersabda:

“Hampir-hampir kemiskinan itu menjadikan seseorang itu kufur”. (HR. Abu Na’aim)

Kartini Kartono mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental yang sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai

(7)

7

kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas, memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan memiliki batin yang tenang. Disamping itu, beliau juga mengatakan bahwa kesehatan mental tidak hanya terhindarnya diri dari gangguan batin saja, tetapi juga posisi pribadinya seimbang dan baik, selaras dengan dunia luar, dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya.11

Oleh karena itu hal tersebut di atas menjadi perhatian dalam penyelanggaraan rehabilitasi terhadap gelandangan dan pengemis Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Bekasi Timur memberikan pelayanan Rehabilitasi sosial terhadap gelandangan dan pengemis beserta keluarganya.

Salah satu dari pelayanan rehabilitasi yang dilaksanakan yaitu adalah pembinaan mental. Berdasarkan latar belakang diatas, maka skripsi ini melakukan penelitian di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Pangudi Luhur Bekasi Timur Jawa Barat. Adapun judul penelitian ini adalah :

“Model Pembinaan Mental Terhadap Gelandangan dan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya Pangudi Luhur Bekasi.”

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui model pembinaan mental dan dalam upaya menanggulangi gelandangan dan pengemis dan mengarahkan untuk pulihnya kembali harga diri, kepercayaan diri, disiplin, kemampuan integrasi, kesadaran dan tanggung jawab sosial.

11

(8)

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut agar lebih terarah dan mencapai sasaran yang tepat, maka peneliti membatasi penelitian ini pada Pelaksanaan pembinaan Mental Terhadap Gelandangan dan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Pangudi Luhur Bekasi yang meliputi: tujuan dan fungsi pembinaan mental, model pembinaan mental, mengubah sikap dan tingkah laku, serta pembinaan lebih lanjut agar mampu berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. 2. Perumusan Masalah

Adapun masalah yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini adalah rinciannya sebagai berikut:

a. Bagaimana model pembinaan mental terhadap gelandangan dan pengemis di panti sosial bina karya pangudi luhur Bekasi.

b. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat menentukan keberhasilan pembinaan mental di panti sosial bina karya pangudi luhur Bekasi.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan titik tolak dari setiap penelitian, sesuai dengan pembatasan dan perumusan masalah yang telah dikemukan. Pada pokonya penelitian ilmiah bertujuan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.12 Maka tujuan yang ingin peneliti capai ialah :

12

(9)

9

1. Untuk mengetahui dan menganalisis metode pembinaan mental terhadap gelandangan dan pengemis di panti sosial bina karya Pangudi Luhur Bekasi. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor pendukung dan penghambat yang

menentukan keberhasilan pembinaan mental di panti sosial bina karya pangudi luhur Bekasi.

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan pengetahuan yang meliputi Bimbingan Penyuluhan Sosial, Bimbingan Konseling Islam khususnya yang berkaitan dengan model Pembinaan Mental Terhadap Gelandangan dan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya “Pangudi Luhur”

Bekasi.

2. Diharapkan dapat membantu dan memberi masukan bagi Panti Sosial Bina Karya “pangudi luhur” Bekasi dalam Pembinaan Mental terhadap gelandangan dan pengemis dalam bentuk Program Kerja.

3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi dalam pengembangan keilmuan dan kurikulum.

D. Tinjauan Pustaka

(10)

Namun perlu dipertegas perbedaan antara masing – masing judul dan masalah yang dibahas, antara lain:

1. Warti Sasmiati, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam 2009, UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi “Metode Pembinaan Mental Narapidana

Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita Tanggerang.”

Dalam penelitian skripsi ini menjelaskan bahwa metode yang digunaka pembimbing dalam pembinaan mental spiritual bagi nara pidana anak (anak didik) jua tak berbeda dari metode bimbingan pada umumnya (antara teori dan praktek di lapangan), di antaranya seperti metode Group Guidance (bimbingn berkelompok) dalam metode ceramah dan diskusi, serta metode directive (bersifat mengarahkan) dalam metode iqra (pembelajaran Al-qur’an dan hafalan ayat-ayat Al-qur’an), wawancara, Tanya jawab, pemutaran film dan muhasabah. Dari sekian metode yang digunakan pembimbingan ada dua metode yang lebih sering digunakan yakni metode cerama dan metode iqra ( pengajaran baca tulis Al-qur’an) karena lebih efektif.

2. Daman, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam 2006, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi “Peranan Pembimbing Agama Islam Dalam

Pembinaan Mental Nara Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan”

(11)

11

3. Asrul Muharram, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam 2007, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul Skripsi “Pola Komunikasi Dalam Pembinaan

Keagamaan Di Panti Sodial Bina Laras 04 Cipayung Jakarta Timur”

Dalam penulisan skripsi ini menjelaskan pola komunikasi dalam pembinaan keagamaan di panti rehabitasi social bina laras 04 adalah pola komunikasi kelompok (group communication) yang bersifat sentralistik dimana seorang Pembina menjadi pusat sentral dalam berkomunikasi terutama dalam memberikan materi-materi pembinaan keagamaan terhadap pekerja seks komersial (PSK) yang menjadi murid binaannya.

Dari beberapa factor yang telah penulis kemukakan pada ininya faktor penghambat lebih dominan berasal dari dalam diri seorang PSK itu sendiri, oleh karena itu pola pembinaan hendaknya lebih menanamkan kepada kesadaran, pembinaan mental dan keagamaan sebagai pondasi yang kuat dalam menghadapi berbagai masalah-masalah tersebut yang dapat menjuruskannya kembali kelembah kenistaan.

4. Hj. Holipah, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam 2009 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul Skripsi “Metode Bimbingan Mental Pada Jamaah

Calon Haji di Kelompok Bimbingan Haji (KBIH) Mathala’ul Anwr Karawang. Penelitian ini merupaka penelitian deskriptif, sasaran yang diteliti adalah Metode Bimbingan Mental pada jamah calon haji I kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Mathala’ul Anwar Karawang. Metode bimbingan mental

(12)

bimbingnya (jamaah calon haji) dalam hal ini ada dua metode bimbingan yang terdiri dari bimbingan individual dan bimbingan kelompok.

5. Mulia Rahmawati, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam 2009, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi “Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai

Melalui Pelaksanaan Bina Mental dan Spiritual di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggerang”

Dalam skripsi ini adapun tujuan dari penelitian ini adalah pembinaan mental yang dilaksakan oleh BINTAL (Bina Mental dan Spiritual) jadi pengaruh terhadap peningkatan kinerja pegawai. Karena dengan mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan dapat menumbuhkan semangat untuk terus mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dari hasil pembinaan yang dilakukan oleh BINTAL, manfaat yang dirasakan oleh para pegawai dalam hal bekerja adalah dapat meningkatkan disiplin kerja yang berdampak pada peningkatan kinerja pegawai; bekerja menjadi lebih tambah semangan dan hasil pekerjaan menjadi lebih maksimal, begitu juga dalam hal ibadah menjadi semakin rajin dan istiqmah.

Dari kelima penelitian diatas yang membedakan dengan penelitian ini adalah model dan metode yang ada di setiap lembaga tersebut. Metode yang digunakan harus menyesuaikan dengan objek dan sasaran, agar pembinaan metal atau pembinaan keagaaman dapat tersampaikan dengan baik dan bisa diterima oleh objeknya.

(13)

13

diri sendiri, dan orang lain dengan belajar tentang keagamaan, cara berfikir positif dan keinginan untuk berprestasi serta mengubah sikap normatif mereka agar lebih baik. Kegiatan bimbingan mental merupakan kegiatan yang wajib mereka ikuti bagi semua siswa(sebutan untuk gepeng) yang ada di PSBK ini. Untuk memperlancar kegiatan ini telah disediakan seorang ustadz yang sekaligus merupakan seorang pegawai dibagian rehabilitasi sosial yang berkompeten dalam bidangnya, yaitu Bapak Endin Khoiruddin yang selalu memberikan bimbingan mental tentang keagamaan. Dari hasil pembinaan mental diharapkan siswa bisa membuka wawasan dan memahami diri sendiri, sehingga menjadi manusia yang berkeinginan untuk berprestasi, mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas, memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan memiliki batin yang tenang.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini secara sistematika penulis membagi ke dalam enam bab. Adapun sistematika selengkapnya adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang mencangkup latar belakang, pembatasan dan rumusan masalah,tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

(14)

penanganan gelandangan dan pengemis,kebijakan dan strategi penanggulangan gelandangan dan pengemis, definisi panti sosial,.

BAB III : Metodologi Penelitian yang terdiri dari, pendekatan penelitian, jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pemilihan informan, sumber data, teknik pencatatan data, keabsahan data, focus amatan penelitian.

BAB IV : Gambaran Umum PSBK Panti Sosial Bina Karya “Pangudi Luhur” Bekasi, gambaran umum ini meliputi tentang sejarah berdirinya, visi dan misi, Tugas Pokok, Tujuan dan Fungsi Panti, landasan hukum, Struktur Organisasi, mekanisme kerja, komposisi pegawai, sasaran dan garapan lembaga, Persyaratan Calon Keluarga Binaan Sosial, Waktu dan Kapasitas Pelayanan, Proses Rehabilitasi Sosial, pembiayaan operasional, Kerja Sama Lintas Sektoral, sarana dan prasarana, Pembimbing Pondok Tahun 2011, jumlah Warga Binaan Sosial tahun 2011.

BAB V : Temuan dan Analisis Data, bab ini akan menguraikan analisa hasil penelitian mengenai tahapan Rehabilatas Pembinaan Mental terhadap Gelandangan dan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya “Pangudi Luhur” Bekasi

Jawa Barat.

(15)

15 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Model Pembinaan Mental 1. Pengertian Model

Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (Departemen P dan K, 1984:75). Definisi lain dari model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya (Simamarta, 1983: ix – xii).1

Selanjunya memuat jenis-jenis model dapat dibagi dalam lima kelas yang berbeda :

1. Kelas I, pembagian menurut fungsi :

a. Model deskriptif : hanya menggambarkan situasi sebuah sistem tanpa rekomendasi dan peramalan. Contoh : peta organisasi

b. Model prediktif : model ini menunjukkan apa yang akan terjadi, bila sesuatu terjadi.

c. Model normatif : model yang menyediakan jawaban terbaik terhadap satu persoalan. Model ini memberi rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu diambil. Contoh : model budget advertensi, model economics, model marketing.

2. Kelas II, pembagian menurut struktur.

1

(16)

a. Model Ikonik : adalah model yang menirukan sistem aslinya, tetapi dalam suatu skala tertentu. Contoh : model pesawat.

b. Model Analog : adalah suatu model yang menirukan sistem aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik utama dan menggambarkannya dengan benda atau sistem lain secara analog. Contoh : aliran lalu lintas di jalan dianalogkan dengan aliran air dalam sistem pipa.

c. Model Simbolis : adalah suatu model yang menggambarkan sistem yang ditinjau dengan simbol-simbol biasanya dengan simbol-simbol matematik. Dalam hal ini sistem diwakili oleh variabel-variabel dari karakteristik sistem yang ditinjau.

3. Kelas III, pembagian menurut referansi waktu.

a. Statis : model statis tidak memasukkan faktor waktu dalam perumusannya. b. Dinamis : mempunyai unsur waktu dalam perumusannya.

4. Kelas IV, pembagian menurut referansi kepastian.

a. Deterministik : dalam model ini pada setiap kumpulan nilai input, hanya ada satu output yang unik, yang merupakan solusi dari model dalam keadaan pasti. b. Probabilistik : model probabilistik menyangkut distribusi probabilistik dari input atau proses dan menghasilkan suatu deretan harga bagi paling tidak satu variabel output yang disertai dengan kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga tersebut.

c. Game : teori permainan yang mengembangkan solusi-solusi optimum dalam menghadapi situasi yang tidak pasti.

(17)

17

b. Khusus

Model Pelayanan:

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka penerima pelayanan menghendaki:

1. Pelayanan yang tepat, cepat, dan profesional. 2. Pelayanan yang berorentasi pada kompetensi.

3. Pelayanan yang mengedepankan Hak Asasi Manusia. 4. Pelayanan yang berdimensi keadilan dan pemberdayaan. 5. Pelayanan yang berorentasi kepada kebutuhan klien.

Dari pengertian model yang bersifat abtrak tidak dapat ditampilkan dan tidak berupa data. Namun hanya gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh.

Model-model diatas menggambarkan penelitian ini memiliki variabel-variabel dari karakteristik sistem yang ditintau, penelitian bertujuan menampilkan gambaran model pembinaan mental yang dilakukan oleh panti sosial yang sudah mempunyai variasi dan karakteristik. Dari penelitian tersebut akan menghasilkan salah satu kelas model yang tertera diatas.

2. Pengertian Pembinaan

Kata pembinaan berasal dari bahasa arab “bina” artinya bangunan. Setelah dibakukan kedalam bahasa Indonesia, jika diberi awalan “pe-” dan akhiran “an” menjadi pembinaan yang mempunyai arti pembaruan, penyempurnaan usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.2

2

(18)

1. Pembinaan adalah suatu upaya, usaha kegiatan yang terus menerus mempelajari, meningkatkan, menyempurnakan, mengarahkan, mengembangkan kemampuan untuk mencapai tujuan agar sasaran pembinaan mampu menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai pola kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan sosial masyarakat.3

2. Pembinaan adalah segala upaya pengelolahan berupa merintis, meletakan dasar, melatih, membiasakan, memelihara, mencegah, mengawasi, menyantuni, mengarahkan, serta mengembangkan kemampuan seorang untuk mencapai tujuan, mewujudkan manusia sejahtera dengan mengadakan dan menggunakan segala daya dana yang dimiliki.4

Jadi, pembinaan dapat dipahami sebagai suatu kegiatan membangun yang dilakukan secara berdaya guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik terhadap warga binaan pemasyarakatan yang bertujuan agar mereka (warga binaan) menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dianggap berguna serta berperan aktif bagi pembangunan bangsa dan Negara.

Pembinaan hampir sama juga dengan bimbingan dan penyuluhan. Bimbingan secara harfiah dapat diartikan sebagai memajukan, memberi jalan atau menuntun orang lain kearah tujuan yang bermanfaat bagi hidupnya dimasa kini dan masa mendatang.5 Dan juga dapat disebut sebagai suatu proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan mengembangkan kemampuannya

3

Proyek Penerangan Bimbingan Khutbah Agama, Pembinaan Rohani Pada Dharma Wanita, Penerbit DEPAG, 1984, h. 8.

4

Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian BP-4, Membina Keluarga Bahagia dan Sejahtera, (Jakarta: BP-4, 1994), h.3.

5

(19)

19

agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.6 Sedangkan penyuluhan mengandung arti menerangi, menasehati atau member kejelasan kepada orang lain, memahami atau mengerti tentang hal yang dialaminya.7 Jadi menurut penulis bahwa pengertian pembinaan hampir sama dengan pengertian bimbingan dan penyuluhan yang sama-sama berusaha membentuk manusia untuk menjadi yang lebih baik dan dapat beradaptasi dengan baik-baik terhadap lingkungannya, sehingga dapat melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya dengan tepat, benar dan berjalan dengan lancar.

3. Pengertian Mental

Mental dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai “suatu hal yang berhubungan dengan batin dan watak manusia yang bukan bersifat badan dan tenaga”.8

J.P Chapin mendefinisikan mental dalam bukunya “Kamus Lengkap

Psikologi” yang di terjemahkan Kartni Kartono sebagai berikut:

1. Menyimpang masalah pikiran, akal ingatan atau proses-proses yang berasosiasi dengan pikiran, akal, ingetan

2. (Strukuralisme) menyinggung isi kesadaran

3. (Fungsionalisme) menyinggung perbuatan atau proses

4. (Psikoanalisis) menyinggung ketidak sadaran, pra-kesadaran, dan kesadaran 5. Menyinggung proses-proses khusus misalnya kesiagan, sikap, implus, dan proses intelektual

6

Abu Ahmad, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Semarang: Toha Putra, 1997), h. 8.

7

HM. Arifin, pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), Cet. Ke-4, h. 18.

8

(20)

6. Menyinggung proses tersembunyi, yang dipertentangkan dengan proses terbuka 7. Menyinggun segala sesuatu yang bersumber pada sebahagian hasil dari sebab musabab mental seperti gangguan mental”.9

Dalam istilah lain H.M. Arifin menyatakan bahwa “arti mental adalah sesuatu kekuatan yang abstrak (tidak tampak) serta tidak dapat dilihat oleh pancaindra tentang wujud dan zatnya, melaikan yang tampak adalah hanya gejalanya saja dan gejala inilah yang mmungkin dapat dijadikan sasaran penyelidikan ilmu jiwa atau lainnya.10

Zakiah Daradjat, mengumukan bahwa mental sering digunakan sebagai ganti dari kata Personality (kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termaksud pikiran, emosi, sikap (attitude) dan perasaan dala keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak tingkah laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan mengecewakan, mengembiraan, dan sebagainya.11

Jadi kata mental adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat, diraba secara lahiriah dan tidak mudah untuk di ukur karena ia sesuatu yang abstrak. Namun pada prinsipnya mental itu satu kekuatan yang utuh dan terbentuk dalam suatu wujud kegiatan yang merupakan gambaran yang jelah antara suasana yang sedang meraka lakukan, sehingga hal ini dapat terlihat dalam wujud tingkah laku seseorang dalam bentuk wajar atau tidak.

9

JP. Chapin, (penerjemah: Kartini Kartono), Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafino, 2004), Cet. Ke-9, h. 297.

10

HM. Arifin Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Ruhaniah Manusia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), Cet. Ke-2, h.17.

11

(21)

21

Dengan demikian, pembinaan mental adalah usaha untuk memperbaiki dan memperbaharui suatu tindakan atau tingkah laku seseorang melalui bimbingan mental/ jiwanya sehingga memiliki kepribadian yang sehat, akhlak yang terpuji dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya.

B. Gelandangan dan Pengemis (gepeng) 1. Pengertian Gepeng

Istilah “gepeng” merupakan singkatan dari kata gelandangan dan pengemis. Menurut Depertemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.12 “Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. 13

Gelandangan pengemis adalah seseorang yang hidup menggelandang dan sekaligus mengemis.14

Ali, dkk. (1990) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau

12

Depertemen Sosial R.I (1992) dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, gelandangan-Pengemis di Kecamatan kubu Kabupaten Karang Asem

13

Ibid, h. 2

14

(22)

rumah dan pkerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat. 15

Menurut Mutholib dan Sudjarwo dalam Ali,dkk.,(1990) diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu :

a. Sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyarakat, b. Orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai,

c. Orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.

Dengan mengutip definisi operasional sensus penduduk maka gelandangan terbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunian rumah tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerah-daerah bukan tempat tinggal, tetapi merupakan konsentrasi hunian orang-orang seperti dibawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emperan toko, sepanjang rel kereta api, taman, pasar dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.

Pengertian gelandangan tersebut memberikan pengertian bahwa mereka termaksud golangan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat daripada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah). Sebaliknya pengemis

15

Ali, dkk. (1990) Gelandangan di kartasura, dalam Studi Kasus Saptono Iqbali,

(23)

23

hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak menutup kemungkinan golongan ini memiliki tempat tinggal yang tetap.16

Beberapa ahli menggolongkan gelandangan dan pengemis termaksud kedalam golongan sektor informal. Keith Harth (1973) dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, Jan Bremen (1980) dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu:

1. kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki keterampilan 2. kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tampa modal

3. kelompok miskin yang kegiatanya mirip gelandangan dan pengemis. Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di kota dunia. Ketiga kelompok ini masuk kedalam golongan kerja sektor informal.17

2. Karakteristik Gelandangan dan Pengemis

a. Perilaku menggepeng erat kaiatnya dengan urbanisasi, dan urbanisasi erat kaitannya dengan adanya kesenjangan pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan. Semasih adanya kesenjangan ini maka urbanisasi akan sulit di bendung dan, akan member peluang munculnya kegiatan sector informal seperti kegiatan menggepeng.

b. Pada hakikatnya tidak ada norma sosial yang mangatur perilaku menggepeng. Perilaku gepeng berkembang secara alamiah dan melalui pemikiran yang

(24)

rasional. Perkembangan perilaku gepeng dibagi menjadi tiga tahap, yaitu sebelum gunung Agung meletus (1963), sesudah gunung Agung meletus (1963-1970-an), dan setelah tahun 1980-an.

c. Kegiatan menggepeng umumnya dilakukan ibu-ibu yang disertai dengan anak-anaknya. Mereka umumnya relatif muda dan termaksud dalam tenaga kerja yang produktif.

a. Pendidikan keluarga gepeng pada umunya rendah. Hal ini agak berbeda dengan masyarakat lainya.

b. Keadaan ekonomi keluarga gepeng umumnya relatif lebih baik dari rata-rata masyarakat lainnya.

c. Masih terdapat sikap idealis dari masyarakat disekitarnya untuk menolak perilaku gepeng.

3. Permasalahan Sosial Gelandangan dan Pengemis

Masalah sosial yang tidak bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkoaan adalah masalah gelandangan dan pengemis. Permasalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahan seperti halnya kemiskinan, pendidikan rendah, minimnya keterampilan kerja yang dimiliki, lingkungan, sosial budaya, kesehatan dan lain sebagainya. Adapun gambaran permasalah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :18

18

(25)

25

a. Masalah kemiskinan

Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan jangkauan pelayanan umum sehingga tidak dapat mngemabngkan kehidupan pribadi mauupun keluarga seacra layak.

b. Masalah Pendidikan

Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

c. Masalah keterampilan kerja

Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.

d. Masalah sosial budaya

Ada beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi seseorang menjadi gelandangan dan pengemis.

e. Rendahnya harga diri

Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak adanya rasa malu untuk meminta-minta.

f. Sikap pasrah pada nasib

(26)

g. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang

Ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan pengemis yang hidup menggelandang,karena mereka merasa tidak terikat oleh peraturan dan norma-norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis adalah salah satu mata pencahaian.

h. Masalah Kesehatan

Dari segi kesehatan, gelandangan dan pengemis termasuk kategori warga Negara dengan tingkat kesehatan fisik yang rendah akibatnya rendahnya gizi makanan dan terbatasnya akses pelayanan kesehatan.

Selain permasalahan diatas ada berbagai dampak yang ditimbulkan oleh permasalahan gelandangan dan pengemis antara lain :

a. Masalah Lingkungan

Gelandangan dan Pengemis pada ummumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tnggal diwilayah yang sebenarnya dilarang dijadikan tempat tinggal, seperti : taman-taman, bawah jembatan dan pinggiran kali. Oleh karena itu kehadiran mereka dikota-kota besar sangat mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat dan kebersihan serta keindahan kota.

b. Masalah Kependudukan

(27)

27

c. Masalah keamanan dan ketertiban

Maraknya gelandangan dan pengemis disuatu wilayah dapat menimbulkan kerawaan sosial, serta mengurangi keamanan dan ketertiban didaerah tersebut. Penanggulangan gepeng akan mampu mewujudkan stabilitas nasional, khususnya stabilitas dalam bidang kenyamanan dan keamanan sehingga diperlukan suatu studi yang mampu menggambarkan secara utuh. Gambaran gejala gepeng ini dipakai untuk menentukan kebijakan, strategi dan langkah-langkah penanggulangan gepeng. Model perumusan masalah gepeng dapat dilihat pada Gambar 1.19

Gambar 1. Model Perumusan Masalah Gepeng

19

Depertemen Sosial R.I (1992) dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, gelandangan-Pengemis di Kecamatan kubu Kabupaten Karang Asem, Hal 2.

(28)

4. Prinsip-prinsip Penanganan Gelandangan dan Pengemis A.Prinsip-prinsip Umum

1. Pengharapan terhadap harkat dan martabat manusia, dimana gelandangan dan pengemis diterima dan dihargai sebagai pribad yang utuh dalam kehidupan masyarakat (bersosialisasi kembali kemasyarakat).

2. Pengakuan terhadap hak gelandangan dan pengemis dalam menentukan nasipnya sendiri melalui pemberian kesempatan turut dalam merencanakan kehidupan/pekerjaan yang dipilih sesuai dengan kemampuannya.

3. Pemberian kesempatan yang sama bagi gelandangan dan pengemis dalam mengembangkan diri dan berperan serta dalam berbagai aktifitas kehidupan, tanpa membedakan suku, agama, ras atau golongan.

4. Penumbuhan tanggung jawab sosialyang melekat pada setiap gelandangan dan pengemis yang dilayani.20

B.Prinsip-prinsip Khusus

1. Prinsip penerimaan gelandangan dan pengemis secara apa adanya.

2. Prinsip tidak menghakimi (non judgemental) gelandangan dan pengemis.

3. Prinsip Individualisasi, dimana setiap gelandangan dan pengemis tidak disamaratakan begitu saja, tetapi harus dipahami secara khusus sesuai dengan keunikan pribadi dan masalah mereka masing-masing.

20

(29)

29

4. Prinsip kerahasiaan, dimana setiap informasi yang diperoleh dari gelandangan dan pengemis dapat dijaga kerahasiaannya sebaik mungkin, terkecuali digunakan untuk kepentingan pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis itu sendiri.

5. Prinsip partisipasi, dimana gelandangan beserta orang-orang terdekat dengan dirinya di ikut sertakan dan dapat berperan optimal dalam upaya pelayanan dan rehabiltasinya kembali kemasyarakat.

6. Prinsip komunikasi, dimana kualitas dan intensitas komunikasi antara gelandangan dan pengemis dengan keluarga dan lingkungan sosialnya dapat ditingkatkan seoptimal mungkin sehingga berdampak positif terhadap upaya rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

7. Prinsip kesadaran diri, dimana para pelaksana pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis secara sadar wajib menjaga kualitas hubungan profesionalnya dengan gelandangan dan pengemis, sehingga tidak jatuh dalam hubungan emosional yang menyulitkan dan menghambat keberhasilan pelayanan.21

5. Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Kebijakan penanggulangan gepeng yang dikembangakan adalah dengan lebih memacu pembangun pedesaan agar serasi dengan pembangunan di daerah perkotaan. Pendekatan yang di perlukan adalah yang bersifat pendekatan holistik, yang tidak hanya terpaku pada pelaku gepeng itu sendiri tetapi berusaha menjakau seluruh sub sistem yang mempengaruhi munculnya urbanisasi dan perilaku

(30)

menggepeng. Serta termaksud seluruh sumberdaya manusia yang ada. Sumberdaya manusia yang ada di pedesaan diusahakan untuk dikembangkan sebagai subjek pembangunan yang mampu memanfaatkan peluang yang ada serta mengembangkan potensi yang dimiliki dengan memperhatikan kendala yang dihadapi.22

Strategi penanggulangan gepeng yang dikembangkan adalah dengan memanfaatkan peluang yang ada, serta mengembangkan potensi yang dimiliki dan sedapat mungkin mengurangi kendala-kendala yang ada, yang semuanya diharapkan menyentuh kebutuhan material maupun spiritual. Peluang penanggulangan telah tampak secara nyata, baik di daerah asal (pedesaan) maupun di daerah penerima (perkotaan). Dominasi pendapatan dari perternakan merupakan peluang nyata di daerah asal gepeng.23

Potensi utama penanggulangan gepeng antara lain dengan adanya sikap menolak dari masyarakat umumnya didaerah asal gepeng terhadap periku menggepeng. Serta adanya pola pikir yang rasional masyarakat untuk menghadapi lingkungan fisik yang sangat kritis, tampaknya masyarakat memiliki etos kerja yang tinggi sehingga potensi inilah yang perlu dikembangan menjadi kekuatan nyata.24

C.Definisi Panti Sosial

Secara etimologi panti sosial berarti rumah, tempat (kediaman) yang diberlakukan untuk kemasyarakatan. Secara konseptual dapat dikemukakan

22

Depertemen Sosial R.I (1992) dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, gelandangan-Pengemis di Kecamatan kubu Kabupaten Karang Asem, Hal 12.

(31)

31

bahwa panti sosial adalah suatu lembaga kesejahteraan sosial yang bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan sosial.

Panti sosial adalah unit pelaksanaan teknis di lingkungan Departemen Sosial yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sehari-hari secara fungsional dibina oleh para Direktur terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Panti Sosial dipimpin oleh seorang Kepala Panti. Panti sosial mempunyai tugas melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial agar mampu berperan aktif, berkehidupan dalam masyarakat, rujukan regional, pengkajian dan penyiapan standar pelayanan, pemberian informasi serta koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.25

Dalam melaksanakan tugasnya, panti sosial menyelenggarakan fungsinya antara lain sebagai berikut :

1. Penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan

2. Pelaksanaan registrasi, observasi, identifikasi, diagnose sosial dan perawatan 3. Pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi yang meliputi bimbingan mental,

sosial, fisik dan keterampilan

4. Pelaksanaan resosialisasi, penyaluran dan bimbingan lanjut 5. Pelaksanaan pemberian informasi dan advokasi

6. Pelaksanaan pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rehabilitasi sosial

7. Pelaksanaan urusan tata usaha.

25

(32)

Panti Sosial Bina Karya mempunyai tugas memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi para gelandangan dan pengemis agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standard pelayanan dan rujukan.26

Teori-teori diatas dapat dijadikan perangkat analisa yang digunakan selain pengamatan dan penelitian, juga untuk memperkuat dan melegitimasi secara akademis-ilmiah hasil tinjauan.

Mencangkup variabel-variabel secara menyeluruh, teori-teori dapat membandingkan prespektif seseorang atau hasil wawancara dan temuan lapangan/observasi yang berkaitan dengan masalah yang diajukan. Hal ini yang akan mempermudah peneliti menganalisis berbagai masalah dan persoalan yang di hadapi panti sosial bina karya pangudi luhur Bekasi.

(33)

33 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi Penelitian

Metodelogi penelitian merupakan strategi umum yang dipakai dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab permasalahan yang diselidiki. Penggunaan metodelogi ini dimaksudkan untuk menentukan data akurat, dan signifikan dengan permasalahan sehingga dapat digunakan untuk mengungkapkan permasalahan yang diteliti.

1. Pendekatan Penelitian

Sebuah pendekatan diakui selain mengandung sejumlah keunggulan, juga memiliki beberapa kelemahan tertentu. Hal ini adalah sesuatu yang wajar dan universal. Meskipun demikian, tidak berarti sebuah pendekatan menjadi tidak sah atau tidak penting untuk digunakan. Sebab, persoalannya tidak terletak pada bagaimana menggunakan dan menempatkan sebuah pendekatan (dengan keunggulan dan kelemahan yang melekat apadanya) dalam suatu studi dengan masalah yang relevan ditelaah menurut logika pendekatan tersebut.1

Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor seperti yang dikutip oleh Lexy Moleong dalam bukunya Metodelogi Penelitian Kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.”2 Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic. Jadi

1

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), Hal 3.

2

(34)

dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu/oragnisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sedangkan menurut Anselm Strauss dalam teknik dan teori Grounded, H. M. Djunady Ghony adalah

penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistic atau dengan cara lain dari pengukuran.3

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan melakukan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang diamati.4 Penelitian kualitatif menghasilkan dan mengelolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya.5 Pendekatan ini digunakan karena peneliti bermaksud untuk mengetahui proses yang dilakukan para pekerja sosial melakukan rehabilitas dalam pelayanan dan penanganan permasalahan gelandangan pengemis dan mendeskripsikan tentang pembinaan mental untuk gelandangan dan pengemis di Panti Sosial Bina Karya (PSBK).

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu metode untuk memecahkan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan

3

H. M. Djunady Ghony, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: prosedur, Teknik dan teori Grounded (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997) cet ke 1, h. 11.

4

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998) ,h. 4.

5

(35)

35

subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.6

3. Tempat dan waktu Penelitian

Peneliti melakukan penelitian ini berlokasi di PSBK yang berlokasi di Jl.. H. M. Djojomartono No. 19 Departemen Sosial, Bekasi Timur, Jawa Barat. Adapun alasan pemilihan lokasi itu didasari oleh pertimbangan sebagai berikut :

1. Lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti.

2. Bertujuan untuk mengetahui bagaimana rehabilitasi sosial dipanti tersebut, sehingga mempermudah peneliti menganalisis data.

3. Adapun waktu penelitian ini dilakukan mulai bulan januari 2011 sampai dengan mei 2011.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Dan pada penelitian ini Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.7

Tehnik pengumpulan data diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan untuk dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan penelitian ini. Tehnik pengumpulan data ini dilakukan dengan :

a. Observasi atau pengamatan. Dalam hal ini peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap sarana dan prasarana dan kegiatan rehabilitasi panti tersebut, kegiatan Warga Binaan Sosial (WBS) dari proses Pendekataan awal hingga pada proses penyaluran. Dalam observasi peneliti melakukan pencatatan apa yang bisa

6

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998)

7

(36)

dilihat oleh mata, di dengar oleh telinga, diraba oleh tangan, kemudian peneliti tuangkan dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan data yang dibutuhkan. Observasi dan pengambilan data penelitian di PSBK ini dari bulan Januari sampai dengan mei 2011.

b. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh pewawancara (yang mengajukan pertanyaan) dengan yang terwawancarai (yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan). Jadi wawancara ialah untuk mendapatkan data dengan cara tanya jawab dan tatap muka antara peneliti dengan pihak siswa, pegawai panti, pekerja sosial dan penyuluh sosial yang menangani klien tersebut. Wawancara ini terdiri dari satu orang Sie PAS (Program dan Advokasi Sosial), satu orang Sie Rehsos (Rehabilitasi Sosial), satu orang pekerja sosial, satu orang penyuluh sosial dan lima orang klien. Pertanyaan pokok ialah tentang tahapan rehabilitasi dan pembinaan mental yang diberikan oleh Panti Sosial Bina Karya ini dari awal hingga terminasi bahkan sampai dengan bimbingan lanjut. Wawancara dilakukan pada waktu istirahat dan menanyakan terlebih dahulu untuk dimohon kesediaannya diwawancarai. Kegiatan wawancara banyak dilakukan di dalam kantor ruangan kerja dan ruangan konsultasi.

(37)

37

5. Teknik Pemilihan Informan

Berkenaan dengan tujuan penelitian, maka pemilihan informan menentukan informasi kunci (key informan) tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian.

Untuk memilih sempel (dalam hal ini informan kunci) lebih tepat dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) yaitu peneliti memilih dan menentukan subjek atau orang-orang yang menjadi informan untuk diwawancarai. Selanjutnya, bilamana dalam proses pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi baru, proses pengumpulan informasi sudah selesai.

Pemilihan sampel yang peneliti gunakan yaitu:

Pengambilan sampel dengan variasi maksimum: pengambilan sampel ini

dilakukan bila subjek atau target penelitian menampilkan banyak variasi, dan penelitian bertujuan menangkap dan menjelaskan tema-tema sentral yang tertampilkan sebagai akibat keluasan cakupan (variasi) partisipan penelitian. Keterwakilan semua variasi penting, dan pendekatan maximum variation sampling justru mencoba memanfaatkan adanya perbedaan-perbedaan yang ada untuk menampilkan kekayaan data.

Patton (1990) menjelaskan demikian.

The maximum variation sampling strategy truns that apparent weakness into a strength by applying the following logic: any common petterns that emerge from great variation are of varticu-lar interest and value in capturing the core experiences and central, shared aspects or impacts of a program (Patton, 1990, hal. 172).

(38)

sulit dilaksanakan dengan jumlah sampel terlalu besar, variasi harus dapat dimaksimalkan dengan jumlah sampel relative tetap terbatas. Konstruksi dimulai dengan mengidentifikasi karekteristik atau kinerja yang berdeda dari individu-individu yang terlibat dalam fenomena. Bila penentuan sampel dilakukan dengan baik, temuan diharapkan menampilkan:

1. deskripsi yang berkualitas dan mendetail dari tiap kasus, dengan mendokumentasikan keunikan dari tiap kasus,

2. pola-pola yang tampil dari kasus yang berbeda-beda.8

Adapun dari penelitian variasi maksimum ini adalah bagaimana peneliti dapat mendeskripsikan keanekaragaman atau keunikan dari objek yang di teliti, dari bergai macam latar belakang mereka sampai berada di Panti Sosial Bina Karya Bekasi ini. banyak yang telah berumah tangga ada juga yang bujang sampai pada anak-anak dengan latar belakang pendidikan mereka yang hanya tingkat SD bahkan tidak tamat.

Dengan demikian jumlah informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang. Adapun objek penelitian ini yaitu pada kegiatan atau proses metode pembinaan mental yang dilaksanakan oleh Panti Sosial Bina Karya Pangudi Luhur Bekasi, dengan mewawancarai beberapa orang secara acak yang benar-benar menguasai permasalahan dalam penelitian ini, kemudian penulis meminta rujukan untuk mendapatkan informasi dan informan lainya. Begitu seterusnya sampai sekiranya sudah tidak muncul lagi informasi-informasi baru yang bervariasi.

8

(39)

39

6. Sumber Data

Bila dilihat dari sumbernya, tehnik pengumpulan data terbagi dua bagian, yaitu :

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari para informan yang ada di panti pada waktu penelitian. Data primer ini diperoleh melalui pengamatan dan wawancara.

b. Data Sekunder

Data sekunder ialah data yang dikumpulkan melalui sumber-sumber informasi tidak langsung, seperti dokumen-dokumen yang ada di perpustakaan, pusat pengelolahan data, pusat penelitian, departemen dan sebagainya. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya data yang diperoleh dari studi kepustakaan.

7. Teknik Pencatatan Data

(40)

8. Analisa Data

Ada berbagai cara untuk menganalisa data, tetapi secara garis besarnya dengan langkah-langkah sebagai berikut9:

a. Reduksi data, yaitu dimana peneliti mencoba memilih data yang relevan dengan proses layanan sosial bagi gelandangan dan pengemis serta hambatan-hambatannya.

b. Penyajian data, setelah data mengenai proses layanan sosial bagi gelandangan dan pengemis serta hambatan-hambatannya diperoleh, maka data tersebut disusun dan disajikan dalam bentuk narasi, visual gambar, matrik, bagan, tabel dan lain sebagainya.

c. Penyimpulan atas apa yang disajikan, pengambilan kesimpulan dengan menghubungkan dari tema tersebut sehingga memudahkan untuk menarik kesimpulan.

9. Keabsahan Data

a. Kredibilitas (derajat kepercayaan) dengan menggunakan teknik tringulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, hal itu dapat dicapai dengan jalan; (a) membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, misalnya untuk mengetahui bimbingan merntal bagi gelandangan dan pengemis yang diberikan oleh PSBK tersebut. (b) membandingkan keadaan dan prespektif sesorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain, misalnya dalam hal ini peneliti membandingkan jawaban yang diberikan oleh klien yang menerima pelayanan dengan jawaban yang diberikan oleh pegawai atau peksos. (c)

9

(41)

41

membandingkan hasil wawancara dengan hasil dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diajukan. Peneliti memanfaat dokumen dan data sebagai bahan perbandingan.10

b. Ketekunan atau keajegan pengamatan, ketekungan pengamatan bermaksud menentukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi-situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari. Kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci, maksudnya peneliti hanya memusatkan dan mencari jawaban sesuai dengan rumusan masalah saja.11

c. Kepastian dengan teknik pemeriksaan audit, kepastian auditor dalam hal ini ialah objektif atau tidak tergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat dan penemuan seseorang. Dapatlah dikatakan bahwa pengalaman sesorang itu subjektif, sedangkan jika disepakati oleh beberapa orang barulah dapat dikatakan objektif.12

10. Fokus Amatan Penelitian

Untuk mempermudah penulisan agar lebih fokus dalam melakukan penelitian, maka peneliti memfokuskan masalah yang akan dibahas pada persoalan pembinaan mental terhadap gelandangan dan pengemis,

Banyak pelayanan yang ditawarkan oleh panti sosial pangudi luhur Bekasi dalam membina Warga Binaannya, tapi disini peneliti hanya memfokuskan penelitiaan mulai dari pedekatan awal, proses pembinaan mental sampai tahap terminasi (pengakhiran) yang dilaksakan disana.

10

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), Hal 330-331.

(42)

Fokus amatan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Awal

Adalah serangkaian kegiatan untuk mendapatkan pengakuan, dukungan, bantuan, dan peran serta dalam pelaksanaan program, termaksud upaya memperoleh gambaran potensialitas sumber-sumber pelayanan, pasar usaha dan kerja serta untuk mendapatkan calon klien.

Pendekatan dimaksud, meliputi kegiatan-kegiatan orientasi dan konsultasi, identifikasi, motivasi dan seleksi dengan jabaran rincian sebagai berikut :

a. Orientasi dan konsultasi

Ialah kegiatan pengenalan program pelayanan kepada Pemerintah Daerah, instansi-instansi teknis, dan pilar-pilar partisipan usaha kesejahteraan sosial yang terkait untuk mendapatkan pengesahan/pengakuan, dukungan/bantuan dan peran sertanya dalam pelaksanaan program.

Pendekatan awal pertama kali di lakukan oleh PSBK dalam bentuk orientasi dan konsultasi.

b. Identifikasi

Ialah kegiatan upaya untuk memperoleh data yang lebih rinci tentang diri gelandangan dan pengemis serta potensi lingkungan, termasuk sumber-sumber pelayanan dan pasaran kerja dan usaha, fasilitas/garis kemudahan.

c. Motivasi

(43)

43

d. Seleksi

Ialah kegiatan pengelompokan/klasifikasi penyandang masalah kesejahteraan sosial terutama yang sudah dimotivasi, untuk menentukan siapa yang memenuhi persyaratan dan siapa yang tidak dapat diterima menjadi calon penerima pelayanan.

2. Penerimaan

Adalah serangkaian kegiatan administratif maupun teknis meliputi registrasi, dan penempatan dalam program pelayanan yang dilaksanakan pada saat calon penerima pelayanan hasil seleksi secara syah diterima sebagai klien definitif di panti. Kegiatan penerimaan tersebut secara operasional adalah sebagai berikut : a. Registrasi

Ialah kegiatan registrasi administrasi pencatatan dalam buku induk penerima pelayanan (setiap penerima pelayanan 1 klien agar diberi NIP/NIK) dan mengkompilasikan berbagai formulir isian untuk mendapatkan penerima pelayanan definitif lengkap dengan segala informasi/biodatanya.

b. Penempatan dalam program rehabilitasi sosial

Adalah kegiatan pengelompokan bakat dan minat para penerima pelayanan (klien) dipadukan dengan program bimbingan, khususnya program keterampilan kerja praktis yang sudah diprogramkan (sesuai dengan inventarisasi pasaran usaha/kerja) untuk menambahkan semangat dan kecintaan untuk mengikuti bimbingan kerja tersebut.

3. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (Assesment)

(44)

dalam upaya membantu dirinya sendiri. Hal ini dapat dikaji, dianalisa dan diolah untuk membantu upaya rehabilitasi sosial, dan resosialisasi bagi penerima pelayanan (klien).

4. Pembinaan Mental

Adalah serangkaian kegiatan teknis operasional yang diarahkan untuk pulihnya kembali harga diri, kepercayaan diri, disiplin, kemampuan integrasi, kesadaran dan tanggung jawab sosial kemampuan penyesuaian diri dan penguasaan satu atau lebih jenis keterampilan kerja sebagai bekal untuk dapat bermata pencaharian layak dalam tatanan hidup masyarakat. Bimbingan Mental. Proses kegiatan ini yang peneliti fokuskan, untuk mengetahui bagaimana model pembinaan mental, dan faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan penghambat menentukan keberhasilan pembinaan mental.

5. Resosialisasi

Adalah serangkaian kegiatan bimbingan yang bersifat dua arah yaitu di satu pihak untuk mempersiapkan klien agar dapat berintegrasi penuh ke dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat secara normatif, dan di satu pihak lagi untuk mempersiapkan masyarakat khususnya masyarakat daerah asal atau lingkungan masyarakat di lokasi penempatan kerja/usaha klien agar mereka dapat menerima, memperlakukan dan mengajak serta untuk berintegrasi dengan kegiatan kemasyarakatan. Adapun kegiatan resosialisasi meliputi beberapa hal sebagai berikut :

a. Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat

(45)

45

b. Bimbingan sosial hidup bermasyarakat

Ialah serangkaian kegiatan bimbingan yang diarahkan agar klien tersebut dapat melaksanakan seluruh kegiatanya sesuai dengan norma yang berlaku dan menghindari kegiatan yang menjadi larangan-larangan masyarakat.

c. Pemberian bantuan stimulans usaha produktif

Ialah serangkaian kegiatan pengadaan bantuan peralatan dan bahan untuk mempersiapkan klien dapat melaksanakan praktek bermata pencaharian dan bantuan tersebut bersifat merangsang usaha-usahanya agar dapat lebih berkembang.

d. Bimbingan usaha/kerja

Ialah kegiatan tuntutan praktek berusaha/bekerja untuk dapat menciptakan lapangan kerja yang layak, serta praktek mengelola usaha, menuju terciptanya kondisi usaha yang efektif dan efisien.

6. Penyaluran

Adalah serangkaian kegiatan yang diarahkan untuk mengembalikan penerima pelayanan kedalam kehidupan dan penghidupan di masyarakat secara normatif baik dilingkungan keluarga, masyarakat, daerah asal maupun kejalur-jalur lapangan kerja/usaha mandiri (wirausaha) dengan bertransmigrasi.

7. Bimbingan Lanjut

Adalah serangkaian kegiatan bimbingan yang diarahkan kepada klien dan masyarakat guna lebih memantapkan, meningkatkan dan mengembangkan kemandirian klien dalam kehidupan serta penghidupan yang layak.

(46)

Ialah kegiatan bimbingan usaha bimbingan/tuntunan untuk lebih memantapkan kemampuan penyesuain diri dalam tata hidup bermasyarakat dan keikutsertan mereka dalam proses pembangunan sesuai dengan kemampuanya. b. Bantuan pengembangan usaha/bimbingan peningkatan keterampilan.

Ialah serangkaian kegiatan yang diarahkan kepada penerima pelayanan dalam bentuk pemberian bantuan ulang balik berupa peralatan dan bahan permodalan maupun pemantapan keterampilan, sehingga jenis usaha/kerjanya lebih berkembang.

c. Bimbingan pemantapan kemandirian/peningkatan usaha/kerja.

Ialah serangkaian kegiatan bimbingan yang diarahkan kepada penerima pelayanan guna dapat meningkatkan usaha ekonomis, produktif, sehingga dapat mengembangkan jenis dan jumlah penghasilannya.

8. Evaluasi

Untuk memastikan apakah proses pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan pengemis berlangsung sesuai rencana yang telah ditetapkan wajib dilakukan evaluasi terhadap setiap tahapan proses yang dilalui dan kemudian diambil kesimpulan apakah secara keseluruhan proses telah berjalan baik dan dapat dilakukan pengakhiran pelayanan.

9. Terminasi (Pengakhiran Pelayanan)

(47)

47

(48)

48

(Panti Sosial Bina Karya) “Pangudi Luhur” Bekasi

A. Profil Lembaga dan Sejarah Berdirinya

Panti sosial bina karya “Pangudi Luhur” adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI (Kepmensos No.59/Huk/2003). Yang mempunyai tugas Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Gelandangan dan Pengemis yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitative, promotif dalam bentuk resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi para gelandangan, pengemis, dan orang telantar agar mampu mandiri berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.1

B. Sejarah Berdirinya

1. Tanggal 04 Oktober 1961 dengan nama “Komando Penampungan Pendidikan dan Penyaluran Tuna Karya” seluruh Jawa di Bekasi (KOP.3.T.K)

2. Tahun 1974 berubah menjadi PRTK (Panti Rehabilitasi Tuna Karya) 3. Tahun 1987 tercetus ide Mensos (Ibu Nani Sudarsono) yang dinamakan

LIPOSOS. Muncul 2 Program LIPOSOS (uji coba) dan PRTK. Kedua Program tersebut tetap berjalan. Diresmikan PRPGOT dengan SK Mensos RI. No 41/HUK/KEP/XI/89 tanggal 01 November 1989 perubahan nama menjadi Panti Rehabilitasi Gelandangan Pengemis dan Orang Terlantar

1

(49)

49

(PRPGOT) H. Moeljadi Djojomartono Bekasi dibawah naungan Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Jawa Barat.

SK Mensos RI No. 14/HUK/KEP/1994 tentang Penamaan UPT pusat/Panti/Sasana berubah nama menjadi Panti Sosial Bina Karya “Pangudi Luhur” Bekasi Sampai saat ini.

C. Visi dan Misi Visi

“Mengembalikan fungsi sosial gelandangan, pengemis dan orang terlantar secara professional agar mampu berperan aktif, bermartabat yang memiliki kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat”

Misi

1. Memberikan Pelayanan Rehabilitasi Sosial Terhadap Gelandangan dan Pengemis beserta Keluarganya.

2. Memberikan pencegahan agar orang tidak menggelandang dan pengemis. 3. Menyelenggarakan pengkajian model pelayanan Rehabilitasi Sosial dan sebagai

fungsi Laboratorium penanganan Gelandangan dan Pengemis beserta keluarganya.

4. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan Pelayanan Rehabilitasi Sosial.

(50)

D. Tugas Pokok, Tujuan dan Fungsi Panti 1. Tugas Pokok

Tugas pokok Panti Sosial Bina Karya, memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi para gelandangan dan pengemis agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.2

2. Tujuan

Terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan penghidupan sosial bagi gelandangan dan pengemis yang meliputi pulihnya kembali rasa harga diri, kepercayaan diri, tanggung jawab sosial, serta mau dan mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.

3. Fungsi

1. Penyusunan perencanaan program, evaluasi dan pelaporan.

2. Pelaksanaan Observasi, Identifikasi, Motivasi, Konsulatasi, Seleksi, Registrasi, Assesment, dan Rujukan.

3. Rehabilitasi Sosial yang meliputi Bimbingan Fisik, Mental, Sosial dan keterampilan terhadap Gelandangan dan Pengemis beserta keluarganya. 4. Resosialisasi, penyaluran dan bimbingan lanjut.

5. Layanan data, informasi dan Advokasi Sosial.

6. Pelaksanaan pengkajian dan penyiapan standar pelayanan. 7. Pelaksanaan urusan Tata Usaha.

Gambar

gambaran model pembinaan mental yang dilakukan oleh panti sosial yang sudah
gambaran umum gelandangan, yaitu :
Gambar 1.19
tabel dan lain sebagainya.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tanaman kopi berumur 4 tahun dan sampel kopi yang digunakan adalah berdasarkan tingkat kematangan yang dapat dilihat dari warna kulit buah kopi serta umur buah

p. kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:.. 1) pengaturan persaingan usaha, penetapan

Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Argentina mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal beserta Protokol, yang

Dari ayat-ayat di atas, kita dapat belajar bahwa seorang anak dalam keluarga Kristen harus mengasihi orangtua mereka dan memerhatikan setiap ajaran yang diberikan oleh orangtua..

Oleh sebab itu, sejarah lahirnya bangsa Israel dan bagaimana Allah menyertai, menghukum dan memberkati bangsa ini (yang kita pelajari melalui kitab-kitab PL) seharusnya

Pada masa Yakub, kelaparan hebat melanda tanah Kanaan, sehingga Yakub dan keluarganya yang berjumlah 70 orang (Kejadian 46:27) pergi ke Mesir. Di Mesir, bani Israel mendiami

Perubahan anggran rumah tangga hanya dapat dilakukan oleh badan pendiri yang disepakati oleh ½ plus satu anggota yang hadir dalam kongres organisasi..

However a number of industries require more than the Earth observation data that is being pushed to them … they require information tailored to their needs, at a resolution,