• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlemen dalam perlembagaan persekutuan Malaysia dan relevansinya dengan doktrin ketatanegaraan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlemen dalam perlembagaan persekutuan Malaysia dan relevansinya dengan doktrin ketatanegaraan Islam"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD FAWWAZ HADI BIN ISMAIL NIM: 108045200022

KONSE NTR ASI SI YASA H SYA RIYY AH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN

MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN

KETATANEGARAAN ISLAM, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada

17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi

Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syariyyah).

Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

dtt

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

Nip: 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. (..……...dtt………)

NIP: 19721010 199703 1 008

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag. (..…...dtt………) NIP: 19710215 199703 2 002

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA ,MM. (..……...dtt………)

NIP: 19550505 198203 1 012

4. Penguji I : JM. Muslimin, MA, PhD. (..……...dtt………)

NIP. 150 295 489

5. Penguji II : Asep Saefuddin Jahar, MA, PhD. (..…...…dtt………)

(3)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Muhammad Fawwaz Hadi Bin Ismail NIM: 108045200022

Di Bawah Bimbingan

dtt

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 19550505 198203 1012

KONSENTRASI SI YASA H SYA RIYY A H PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 April 2010

(5)

i

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Yang Maha

Esa, Yang Maha Kaya, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu

yang ada di langit dan di bumi, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya

kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Puji syukur penulis panjatkan

kehadirat-Nya, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah

dianugerahkan-Nya kepada penulis.

Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah

Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah

menunjukkan jalan hidayah dan pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi yang

berjudul "Parlemen Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Dan Relevansinya

Dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam" ini, masih banyak kekurangan dan

kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan dari

semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.

(6)

ii

2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof.

Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, yang juga merangkap dosen

pembimbing penulis atas segala bimbingan dan tunjuk ajar beliau dalam

penulisan skripsi ini, semoga mendapat balasan baik dari Allah SWT.

3. Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah; Dr. Asmawi, M.Ag, dan Sri

Hidayati, M.Ag, yang keduanya telah memberikan kemudahan administratif

dan bimbingan akademik sejak awal perkuliahan, yang dengan sabar telah

memberikan banyak masukan dan saran sehingga skripsi ini dapat selesai

dengan baik.

4. Segenap dosen dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya

dosen dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum, para karyawan

Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum, juga para karyawan Perpustakaan

Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ayahanda dan ibunda tercinta, Ismail Salleh dan Siti Jamilah Haji Mustaffa,

atas kasih sayang dan pengorbanan kepada penulis selama menimba ilmu,

juga kepada adik-adik; Faiz, Faris, Fawzan, Ira, Jee, Falahi dan Faduli.

6. Tuan Guru Haji Harun Taib; pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI dan

seluruh Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI, pensyarah dan staf Kolej Universiti

Darul Quran Islamiyyah yang telah memberi ruang dan kesempatan untuk

menuntut ilmu yang bermanfaat, para mahasiswa dan mahasiswi dari KUDQI,

(7)

iii

7. Teman-teman seperjuangan selama di Indonesia; Madyu, Pian, Keri, Ayohsu,

Pulloh, Pa, Najib, Sepu, Zaki, Hilman, Zaid, Amir, Razman, Mamat, Biki,

Stopa, Harun, Baha, Kacah, Adi, Muaz, Za, Pudin, Beri, Duan, Mukhsin,

Faris, serta teman-teman di Asrama Putri UIN dan kost. Juga teman dari

APID, KIDU dan IPA yang tidak dapat penulis sebut semuanya di sini karena

keterbatasan ruang, semoga teguran dan tunjuk ajar dari kalian semua

mendapat ganjaran dari-Nya.

Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik

dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan

kepada semua pihak pada umumnya. Penulis juga menyampaikan harapan yang besar

agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian,

semoga Allah SWT menjadikan skripsi ini sebagai satu amal yang baik disisi-Nya.

Akhir kata, segala yang baik datang dari-Nya dan yang kurang baik terbit dari

kelemahan dan kekurangan diri penulis sendiri.

Jakarta: ______20 April 2010 M 5 Jamadil Awal 1431 H

(8)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah...6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian...7

D. Tinjauan Pustaka...8

E. Metode Penelitian...11

F. Sistemetika Penulisan...15

BAB II KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN A. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Ilmu Politik Moderen...17

B. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Politik Islam...23

1. Konsep Musyawarah Dalam Islam...31

2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Iktiyar...37

(9)

v

A. Parlemen Malaysia...48

B. Komponen Parlemen Malaysia...49

C. Fungsi Parlemen...54

D. Hak Dan Wewenang Parlemen...57

BAB IV TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Agama Dan Negara Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam...60

B. Persamaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan Islam...66

C. Perbedaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan Islam...69

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...75

B. Saran-saran...77

Daftar Pustaka...79

(10)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

a. Padanan Aksara Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h ha dengan garis di bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ z zet dengan garis di bawah

ع „ koma terbalik diatas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ؼ f ef

ؽ q ki

ؾ k ka

ؿ l el

ـ m em

ف n en

و w we

ػه h ha

ء ` apostrof

(11)

vii

b. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ

a fathah

i kasra

u dammah

Adapun Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي َ

ai a dan i

و

au a dan u

c. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اػَػ

â a dengan topi di atas

يــــــ î i dengan topi di atas

وـــــــ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf

)

ؿا

(

,

dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh

ةيسمشلا

= al-syamsiyyah,

ةيرمقلا

= al-qamariyyah.

e. Tasydîd

Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti

huruf-huruf samsiyyah.

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut

diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

g. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedaulatan adalah suatu hal yang memiliki makna penting dan mendalam

bagi sesuatu negara. Kedaulatan, menurut Georg Jellinek1, apabila merujuk

kepada suatu negara, maka ia merupakan kekuasaan yang tertinggi. Sedangkan

apabila ke luar, kedaulatan merupakan kekuasaan yang tidak tunduk pada

kekuasaan yang lain.

Teori hukum tatanegara mengenal adanya lima bentuk kedaulatan;

kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan

kedaulatan rakyat. Bentuk yang terakhir yaitu kedaulatan rakyat merupakan

konsep yang sehingga kini paling banyak diusung oleh berbagai negara melaui

konsep negara demokrasi.

Mengikut teori demokrasi, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang

berdaulat ini mempunyai suatu kemauan yang oleh Jean-Jacques Rousseau2

1

Dilahirkan tanggal 16 Juni 1851 di Leipzig, Georg Jellinek adalah seorang filosofis Jerman yang terkenal. Antara karyanya termasuk artikel berjudul The Declaration Of The Right Of Man And The Citizen yang ditulisnya pada tahun 1895. Dalam artikel ini beliau sedikit mengkritik Revolusi Prancis. Beliau meninggal dunia pada tanggal 12 Januari 1911 di Heidelberg, Jerman.

2

(13)

disebut general will.3 Pada awal kemunculannya yaitu sekitar 400 SM, konsep ini

dilaksanakan secara menyeluruh dimana setiap anggota masyarakat mempunyai

hak untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada pemimpin tanpa

terkecuali. Dalam perkembangannya, pelaksanaan konsep tersebut menemui

banyak kendala seiring makin banyaknya jumlah penduduk dan luasnya wilayah

negara, maka rakyat tidak dapat lagi menyampaikan aspirasinya secara langsung

kepada pemimpin karena masalah-masalah tersebut. Selanjutnya, demokrasi tidak

langsung atau yang biasa disebut demokrasi perwakilan menjadi pilihan untuk

mengganti demokrasi langsung yang tidak bisa dilaksanakan dengan tuntas itu.

Disini, rakyat sebagai pemegang kedaulatan mengamanatkan suaranya melalui

para wakil yang dipilih oleh mereka melalui proses pemilu dan duduk dalam

suatu lembaga yang biasa disebut sebagai Parlemen.

Secara umumnya, negara yang mempunyai badan Parlemen disebut

menganut sistem parlementer, dan termasuk juga negara Malaysia. Sistem

parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana Parlemen memiliki peran

penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini Parlemen memiliki wewenang dalam

mengangkat Perdana Menteri dan Parlemen pun dapat menjatuhkan

pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.

Inilah sebagaimana yang diamalkan di negara Malaysia. Pada zaman moderen ini,

3

(14)

3

tugas utama badan Parlemen adalah melakukan fungsi legislatif, yaitu membuat

undang-undang.

Di dalam Islam, lembaga yang hampir sama dengan Parlemen adalah Ahlu

al-Halli Wa al-Aqdi, diartikan sebagai “orang-orang yang mempunyai wewenang

untuk melonggarkan dan mengikat”. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fikih

sebagai sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk

menyuarakan hati nurani mereka kepada pemimpin.4 Imam Al-Mawardi5 dan

beberapa ulama lainnya menyebutnya sebagai Ahlu al-Ikhtiyar yang berarti

“orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”.6 Yang dimaksudkan

dengan memilih disini adalah, memilih pemerintah atau kepala negara. Allah

SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi

pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga agar terselenggaranya

ajaran agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi

syariat agama dan menyatukan umat.7

Ahlu al-Ikhtiyar juga bisa diartikan sebagai sekelompok orang yang

bertugas memilih pemimpin lewat jalan musyawarah kemudiannya

4

J. Suyuthi Pulungan, MA, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) , cet. 5, h. 66.

5

Dilahirkan di Basrah pada tahun 972 M dengan nama Abu Hasan Ali Ibnu Habib Al-Mawardi, beliau antara ilmuan Islam yang unggul. Gurunya termasuk Sheikh Abd al-Hamid dan Sheikh Abdallah al-Baqi. Antara karangannya yang dikenali adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Qanun al-Wazarah dan Nasihat al-Muluk. Beliau meninggal dunia pada tahun 1058.

6

M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet. 1, h. 176.

7

(15)

mengajukannya kepada rakyat untuk dibaiat oleh mereka. Imam Muhammad Abu

Zahrah8 menyebut di dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, “Apabila

dasar pemerintahan Islam bersifat musyawarah maka pemilihan itu juga harus

bersifat musyawarah”. Tapi apabila tidak mungkin untuk melakukan musyawarah

antara seluruh individu rakyat, maka musyawarah hanya bisa dilakukan antara

kelompok orang yang mewakili rakyat dan apa yang mereka putuskan sama

dengan keputusan seluruh individu rakyat.9 Jadi disini dapat dilihat seolah-olah

ada persamaan antara Ahlu al-Ikhtiyar dan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi.

Pada masa yang sama, Parlemen juga adalah wakil bagi rakyat, cuma

perwakilan mereka adalah melalui partai politik yang menunjukkan mereka

sebagai calon untuk bertanding dalam pemilu. Hal ini dinamakan perwakilan

yang bersifat politik (political representation).10

Sistem pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem parlementer

Westminster, warisan Penguasa Kolonial Britania. Tetapi di dalam prakteknya,

kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan judikatif

diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman mantan

8

Dilahirkan pada tahun 1898 dan meninggala pada tahun 1978, Imam Abu Zahrah adalah intelek dan pemikir di Cairo. Beliau juga adalah profesor di Universtas Al-Azhar dan juga di Universitas Cairo. Karyanya termasuk biografi Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafie.

9

Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005), cet. 5, h. 108-109.

10

(16)

5

Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir Mohammad11, menyebabkan kekuasaan

judikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negeri

(negara bagian).

Kekuasaan legislator dibagi antara legislator Persekutuan12 dan legislator

negeri. Parlemen13 Malaysia adalah parlemen berbentuk bikameral, terdiri dari

Yang di-Pertuan Agong14 yang juga sebagai kepala negara; dewan rendah yaitu

Dewan Rakyat (mirip "Dewan Perwakilan Rakyat" di Indonesia); dan Dewan

Negara (mirip "Dewan Perwakilan Daerah" di Indonesia). 222 anggota Dewan

Rakyat dipilih dari daerah pemilihan beranggota-tunggal yang diatur berdasarkan

jumlah penduduk untuk periode jabatan terlama 5 tahun. Bagi Dewan Negara

pula, 70 Senator bertugas untuk periode jabatan 3 tahun; 26 di antaranya ditunjuk

oleh 13 majelis negara bagian (masing-masing mengirimkan dua utusan), dua

mewakili wilayah persekutuan Kuala Lumpur, masing-masing satu mewakili

wilayah persekutuan Labuan dan Putrajaya, dan 40 diangkat oleh Yang di-Pertuan

Agong atas nasehat Perdana Menteri. Di samping Parlemen di tingkat

persekutuan, masing-masing negara bagian memiliki dewan legislatif unikameral

11

Mantan perdana menteri Malaysia yang keempat, memegang tampuk pemerintahan Malaysia selama hampir 22 tahun bermula 1981 hingga 2003.

12

Yang diartikan sebagai Persekutuan adalah Persekutuan Tanah Melayu atau Malaysia, terbentuk pada tanggal 16 September 1963, terdiri dari 11 buah negeri di Tanah Melayu dan 2 buah negeri Borneo yaitu Sabah dan Sarawak. Kemudian setelah kemerdekaan Malaysia pada tanggal 31 Augustus 1957, Kuala Lumpur di jadikan wilayah khusus, sebagai ibukota Persekutuan sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan pentadbiran. Ini menjadikan negeri anggota Persekutuan Malaysia sebanyak 14 buah negeri.

13Ejaan dan sebutan bagi parlemen Malaysia adalah dengan huruf “i”, yaitu sebagai Parlimen.

14

(17)

(Dewan Undangan Negeri) yang para anggotanya dipilih dari daerah-daerah

pemilihan beranggota-tunggal. Pemilihan umum untuk memilih anggota Parlemen

Malaysia dijalankan biasanya empat tahun sekali, dengan pemilihan umum

terakhir pada Maret 2008.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan

mengkaji lebih dalam dalam permasalahan Parlemen sebagai badan

perundang-undangan tertinggi di negara Malaysia dan sejauh mana ia relevan dengan kaidah

dan konsep ketatanegaraan dalam Islam sehingga penulis angkat menjadi judul

skripsi “Parlemen Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Dan

Relevansinya Dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian berbentuk skripsi sudah seharusnya di dalamnya memuat

perbatasan masalah agar penelitian lebih terarah dan fokus. Untuk itu penulis

membatasi permasalahan dalam penelitian skripsi ini mengenai Parlemen dalam

Perlembagaan Persekutuan Malaysia, apakah ia relevan dengan Ketatanegaraan

(18)

7

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana kedudukan dan kewenangan Parlemen di Malaysia

menurut konstitusi ?

2) Bagaimanakah peran negara Malaysia dalam menerap konsep Islam di

dalam Parlemen ?

3) Apakah sistem pemerintahan Malaysia sejalan dan konsisten dengan

konsep Ketatanegaraan Islam ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, antaranya:

1. Memberikan gambaran dan informasi mengenai Parlemen sebagai badan

perundang-undangan tertinggi di Malaysia serta kedudukan dan fungsinya

sebagaimana diatur dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia.

2. Untuk mengetahui apakah negara Malaysia telah mempraktekkan konsep

Ketatanegaraan Islam dalam Parlemen.

3. Untuk menggali relevansi antara Ketatanegaraan Malaysia dengan

(19)

Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang perspektif

hukum ketatanegaraan Islam terhadap Parlemen Malaysia.

2. Sebagai satu sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah

keilmuan di bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di

Malaysia.

3. Dapat dijadikan rujukan bagi para akademis dan para pencinta ilmu

Ketatanegaraan Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan studi terdahulu yang penulis maksudkan adalah dengan melihat

kajian yang membahas dalam tema yang hampir sama, namun pada substansi

yang berbeda. Adapun yang penulis akan masukkan dalam perbandingan ini

adalah berbagai literatur mulai dari skripsi, buku, jurnal, artikel dan lainnya.

Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya

penelitian tersebut.

Penelitian Mohammad Adnin bin Yahya, “Konsep Negara Islam di

(20)

9

penerapan nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia mulai dari sudut pandang pihak

pemerintah (UMNO) maupun dari pihak pembangkang (PAS).

Penelitian yang ditulis oleh Ahmad Baihakki Bin Arifin yang berjudul

Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”,

tahun 2008. Penelitian ini membahas tentang hak-hak politik warga negara

Malaysia sebagaimana yang diatur di dalam konstitusi Malaysia

Adapun referensi yang berbentuk buku, seperti buku karya Tun Mohd

Salleh Abas yang berjudul “Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di

Malaysia”, tahun 2006. Di dalam buku ini ada menerangkan dan membahas

berkenaan Parlemen Malaysia yang mencakup keanggotaannya, wewenangnya,

dan hak-hak badan tersebut.

Buku kedua, karya Abdul Aziz Bari yang berjudul “Perlembagaan

Malaysia, Asas-Asas Dan Masalah”, tahun 2001. Buku ini membahas berkenaan

Perlembagaan Malaysia dan segala permasalahan yang berkaitan dengannya.

Buku ketiga, karya Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, tentang

prinsip-prinsip negara Islam, ditulis dalam salah satu bab pada bukunya yang berjudul

“Sistem Pemerintahan Negara Islam”. Pokok masalah yang dibicarakan adalah

prinsip keadilan dalam prinsip-prinsip dasar pada negara Islam.

Buku keempat, karya Imam Al-Mawardi berjudul “Al-Ahkam

As-Sultaniyyah”. Buku ini memang terkenal sebagai buku yang membahaskan

(21)

dalam Islam seperti Imamah, Khalifah, Musyawarah, dan lain-lain dibahaskan

secara rinci dan lengkap.

Buku kelima, “Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia” karya

Muhamad Arifin. Buku ini membahaskan perkembangan undang-undang Islam di

Malaysia, federalism dan pembahagian kuasa membentuk undang-undang Islam

antara Kerajaan Pusat dan Kerajaan Negeri.

Dari beberapa kajian (review) terdahulu di atas, khususnya mengenai

Parlemen sebagai badan legislatif Malaysia, penulis belum menemukan tulisan

yang membahas atau mengkaji berkenaan badan tersebut dari sudut pandang

Ketatanegaraan Islam. Penelitian Mohammad Adnin bin Yahya hanya membahas

nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia dari sudut pandang partai politik di

Malaysia. Demikian juga dengan penelitian kedua, walaupun fokus kajiannya

adalah Perlembagaan Persekutuan Malaysia, tetapi hanya menjelaskan seputar

hak-hak politik warganegara sahaja. Maka karena masih belum ada penelitian

yang membahaskan berkenaan Parlemen Malaysia secara khusus, penulis merasa

tertarik untuk membahaskan berkenaan badan tersebut yang kemudiannya dilihat

(22)

11

E. Metode Penelitian

Metode bermaksud cara; yaitu cara bagaimana penelitian ini dilakukan.

Ahli-ahli hukum mendefinisikan “metode penelitian” sebagai:

1. Soerjono Soekanto: Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,

yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan

jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

timbul dalam gejala yang bersangkutan.15

2. Soetandyo Wignyosoebroto: Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk

mencari dan menemukan jawaban yang benar mengenai suatu

permasalahan. Untuk menjawab segala macam permasalahan, diperlukan

hasil penelitian yang cermat dan sahih untuk menjelaskan permasalahan

tersebut.16

3. Teuku Mohammad Radhie: Keseluruhan aktivitas berdasarkan disiplin

ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan

menginterpretasi fakta serta hubungan di lapangan hukum dan lapangan

lain-lain yang relevan bagi kehidupan hukum, dan berdasarkan

pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan prinsip-prinsipilmu

15

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 43.

16

(23)

pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk menanggapi berbagai fakta dan

hubungan tersebut.17

Seterusnya untuk lebih mempermudah pemahaman berkenaan kerangka

penelitian ini, penulis membagikannya kepada 6 poin utama:

1. Jenis Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library

Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan

menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang

hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini

merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif disini dimaksudkan dengan

membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data

secara kualitatif. Kemudian penulis menggunakan pendekatan komparatif, dengan

membuat perbandingan antara Ketatanegaraan Malaysia dengan Ketatanegaraan

Islam.

2. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah Parlemen sebagaimana yang diatur

dalam Perlembagaan Pesekutuan Malaysia.

17

(24)

13

3. Sumber Data

Data yang terhimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer didapat dari dari sumber-sumber pokok yaitu konstitusi

Malaysia (Perlembagaan Persekutuan Malaysia) dan buku-buku serta

literatur-literatur yang yang berkaitan dengannya, sedangkan data sekunder pula didapat

dari karya-karya dan tulisan-tulisan yang dibuat oleh para ahli ketatanegaraan

baik dalam ketatanegaraan Islam maupun ketatanegaraan Malaysia serta bahan

yang di fikir relevan. Yang termasuk dalam data primer seperti buku berjudul

Perlembagaan Malaysia”18; buku ini berisi teks asli konstitusi Malaysia

(Perlembagaan Persekutuan), buku “Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di

Malaysia”19; yang di dalam buku ini ada menerangkan dan membahas berkenaan

Parlemen Malaysia yang mencakup keanggotaannya, wewenangnya, dan hak-hak

badan tersebut, buku “Al-Ahkam As-Sultaniyyah”20 yang menjelaskan berkenaan

badan pemerintahan dalam Islam, sistem khilafah, musyawarah dan imamah.

Seterusnya, data sekunder pula termasuk kamus, jurnal dan artikel. Data sekunder

yang penulis gunakan termasuk “Kamus Besar Bahasa Indonesia” dan “Kamus

Ilmiah Kontemporer”, juga koran dan artikel digital.

18

Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (Selangor: International Law Book Sevices, 2007).

19

Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006).

20

(25)

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan dan faktual, teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan data-data

kualitatif, dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi

dengan penelitian. Adapun teknik penulisan yang penulis gunakan adalah

dokumentasi; riset pustaka dilakukan dengan cara menghimpun data-data

kepustakaan yang terkait dan mempunyai relevansi dengan tema penelitian.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis dengan pendekatan

komparatif, yaitu menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi

informasi, pendapat dan konsep Parlemen dalam konstitusi negara Malaysia dan

membuat perbandingan dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam.

6. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah berdasar dan berpedomankan pada buku

Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

(26)

15

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta

menyeluruh, penulis membahagikan penulisan skipsi ini pada lima (5) bab,

tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan dan manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Bab ini membahas konsep kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam,

serta jabatan, badan atau lembaga pemerintahan dalam Islam yang

mencakup konsep Musyawarah, Ahlu Halli Wa Aqdi, Ahlu

al-Ikhtiyar dan kementerian.

Bab III Pembahasan dalam bab III ini tentang sejarah Parlemen sebagai badan

perundang-undangan tertinggi di negara Malaysia, serta kedudukan

dan fungsi Parlemen menurut Pelembagaan Persekutuan Malaysia.

Bab IV Bab IV ini berisi analisis Ketatanegaraan Islam terhadap Parlemen

menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, persamaan Konsep

Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia, dan perbedaan

(27)

Bab V Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan bagi skripsi serta

(28)

17

BAB II

KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN

A. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Ilmu Politik Moderen

Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses

politik, namun diantara ilmuwan politik tidak ada kesepakatan mengenai makna

kekuasaan. Beberapa diantaranya bahkan menganjurkan agar agar konsep

kekuasaan ditinggalkan karena bersifat kabur, dan berkonotasi emosional.

Namun, tampaknya politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.1

Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat

peribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut berarti acting or

judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus

dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata

tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian

diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan

tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu

negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga

dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.2

Politik merupakan kata kolektif yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang

1

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 57.

2

(29)

bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.3

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu

pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan

tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau

terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau

menangani suatu masalah).4

Dalam sejarah, istilah politik pertama kali dikenal melalui buku karya

Plato5 yang berjudul Politeia atau dikenal juga dengan Republic. Kemudian

setelah itu ada juga karya dari Aristotles6 dengan judul serupa. Di dalam isi kedua

buku tersebut, terdapat kecenderungan menghubungkan politik dengan negara

(pemerintahan).7

Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan

politik pada akhirnya adalah membicarakan negara, karena teori politik

menyelidiki negara sebagai sebuah lembaga politik yang mempengaruhi hidup

masyarakat, selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah

3

Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, h. 608.

4

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet 3, h. 886.

5

Lahir sekitar tahun 427 SM, Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno. Karena beliau merupakan salah seorang murid Socrates, maka pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya itu. Bukunya yang terkenal adalah Republik (dalam bahasa Yunani disebut Politeia yang bermaksud „negeri’). Beliau meninggal sekitar tahun 347 SM.

6

Aristotles adalah murid dari Plato, lahir sekitar tahun 322 SM dan meninggal sekitar 384 SM. Bersama Plato dan Socrates (guru Plato), mereka bertiga dianggap sebagai filsuf paling berpengaruh pada zaman tersebut.

7

(30)

19

pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara dan hakekat negara.8 Politik

ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat

undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang

merugikan bagi kepentingan manusia.9

Miriam Budiarjo mengatakan bahwa untuk melaksanakan

kebijakan-kebijakan politik, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority),

yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan

konflik yang mungkin timbul dalam proses pelaksaan kebijakan-kebijakan itu.

Cara-cara yang digunakan dapat bersifat persuasi (meyakinkan), dan jika perlu

bersifat paksaan (coercion).10

Dalam perbendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang

berkaitan erat dengan konsep kekuasaan seperti pengaruh (influence), persuasi

(persuation), manipulasi (manipulation), coercion, force, dan kewenangan

(authority). Keenam konsep ini merupakan bentuk-bentuk kekuasaan yang

perbedaannya akan lebih jelas dalam uraian berikut ini.

Influence adalah kemampuan untuk untuk memepengaruhi orang lain agar

mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela. Yang dimaksud dengan

persuation ialah kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk

melakukan sesuatu. Penggunaan pengaruh, dalam hal ini orang yang dipengaruhi

8

Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. 1, h. 26-28.

9

Mohd. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. 1, h. 9.

10

(31)

tidak menyadari bahwa tingkahlakunya sebenarnya mematuhi keinginan

pemegang kekuasaan, dan ini juga disebut sebagai manipulasi.

Pengertian coercion ialah peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang

dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan

berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan

perilakunya yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi. Yand

dimaksud dengan force pula ialah penggunaan tekanan fisik seperti membatasi

kebebasan, menimbulkan rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan

biologis terhadap pihak lain agar melakukan sesuatu.11

Seterusnya, kekuasaan merupakan konsep yang berkaitan dengan perilaku.

Menurut Robert Dahl, A dikatakan memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat

mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu.12 Maksudnya apabila A

mempengaruhi B untuk melakukan sesuatau yang sesuai dengan kehendak B

maka maka hubungan ini tidak dapat diartikan sebagai kekuasaan. Walaupun

demikian, rumusan ko0nsep kekuasaan tersebut masih masih harus dilengkapi

karena tidak setiap orang, kelompok atau negara dapat mempengaruhi walaupun

memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, kekuasaan secara umum diartikan sebagai

“kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk

mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak tersebut berperilaku sesuai

11

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 57.

12

(32)

21

dengan kehendak pihak yang mempengaruhi”. Secara lebih sempit, kekuasaan

politik dapat dirumuskan sebagai “kemampuan menggunakan sumber-sumber

pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan

politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya atau

masyarakat pada umumnya”.13

Apabila mendefinisikan kekuasaan, ada ilmuwan yang menyebutnya

sebagai kewenangan, tapi pada hakikatnya kekuasaan tidak semestinya

kewenangan. Kewenangan adalah kekuasaaan, namun kekuasaan tidak selalu

berupa kewenangan. Kedua bentuk pengaruh ini dibedakan dalam keabsahannya.

Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power),

sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Apabila kekuasaan politik

dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk

mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik maka

kewenangan merupakan “hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan

politik”. Dalam hal ini, hak moral yang sesuai dengan nilai dan norma

masyarakat, termasuk peraturan perundang-undangan.14

Seterusnya, apabila membincangkan berkenaan konsep kekuasaan pasti

tidak dapat mengelak daripada menyebut perihal legitimasi. Seperti konsep

kekuasaan dan kewenangan, legitimasi juga merupakan hubungan antara

pemimpin dan yang dipimpin. Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap

13

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 58.

14

(33)

masyarakat terhadap kewenangan. Artinya, apabila masyarakat menerima dan

mengakui hak moral peminpin utuk membuat dan melaksanakan keputusan yang

mengikat masyarakat maka kewenagan itu dikatakan sebagai berlegitimasi.

Maksudnya, legitimasi merupakan “penerimaan dan pengakuan masyarakat

terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan

keputusan politik”.

Hanya anggota masyarakat yang dapat memberikan legitimasi pada

kewenangan pemimpin yang memerintah. Pihak yang memerintah tidak dapat

legitimasi atas kewenangannya sendiri. Peminpin dapat mengklaim kewenangan

dan berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa kewenangannya sah, namun

hanya masyarakat yang dapat menentukan apakah kewenangan itu berlegitimasi

atau tidak.

Berdasarkan pengertian legitimasi, dapat dibedakan pengertian kekuasaan,

kewenangan, dan legitimasi. Apabila kekuasaan diartikan sebagai kemampuan

untuk menggunakan sumber-sumber untu mempengaruhi proses politik,

sedangkan kewenangan merupakan hak moral untuk menggunakan

sumber-sumber yang membuat dan melaksanakan keputusan politik (hak pemerintah),

maka legitimasi adalah “penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak

moral kewenangan”.

Walaupun ketiga-tiga komponen ini seakan-akan sama, masih ada

(34)

23

dipimpin pada kewenangan dan pada legitimasi. Pada legitimasi, hubungan itu

lebih ditentukan (dominan) pada pihak yang dipimpin karena penerimaan dan

pengakuan atas kewenangan hanya dapat berasal daripada pihak yang diperintah.

Pada kewenangan pula, hubungan itu lebih ditentukan oleh pemimpin karena

pihak yang berwenang untuk memerintah dapat memaksakan keputusannya

terhadap masyarakat (pihak yang diperintah) dan masyarakat wajib mentaati

kewenangan tersebut.15

B. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Politik Islam

Apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah dari hukum-hukum

konstitusional dan etika-etika politik tinggi dianggap sesuatu yang wajib diikuti

[image:34.612.117.530.190.534.2]

dalam pemerintahan Islam. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam membentuk

gambaran Islam untuk sebuah negara, tugas-tugasnya dan ciri khas sistem hukum

di dalamnya, juga spesialisasi kewenangan yang berada di dalamnya.

Prinsip-prinsip konstitusional ini dianggap seperti hak-hak Allah dalam

bidang politik karena sejauh mana hal itu dianggap sebagai hak umat Islam untuk

menuntut para penguasa agar menghormati prinsip-prinsip konstitusional atau

etika-etika politik ini dan agar bersedia turun dari jabatan politik mereka dalam

pemerintahan, sejauh itu pula hal tersebut menjadi kewajiban atas umat Islam

dengan kapasitasnya sebagai satu kelompok, dan juga kewajiban tiap-tiap orang

15

(35)

yang mampu dalam kapasitasnya sebagai individu masyarakat untuk memegang

erat prinsip-prinsip ini dan mengajak orang lain untuk memegangnya serta

mencari penyelesaian padanya.16

Secara bahasa kata politik Islam terdiri dari dua kata yaitu politik dan

Islam. Istilah politik di dalam literatur ketatanegaraan Islam dikenal dengan

istilah siyâsah yang berarti “cerdik atau bijaksana”.17 Siyâsah berasal dari kata

sâsa-yasûsu-siyâsatan, yang berarti “mengurus kepentingan seseorang”. Dalam

kamus al-Muhîth dikatakan: sustu al-ra’iyyata siyâsatan: amartuhâ wa nahaituhâ

(saya mengatur rakyat dengan mengunakan politik: Saya memerintah dan

melarangnya).18 Mengenai penjelasan kata siyâsah ini dapat ditemukan dalam

buku Fiqh Siyasah karangan Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, disebutkan

bahwa dikalangan para ahli fiqih siyasah terdapat tiga pendapat mengenai asal

kata siyâsah, yaitu:

1. Sebagaimana dianut Al-Maqrizi19, kata siyâsah berasal dari bahasa

Mongol yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris

kasrah diawalnya sehingga dibaca siyâsah. Pendapat tersebut didasarkan

kepada sebuah kitab undang-undang milik Genghis Khan yang berjudul

16

Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 1.

17Rifyal Ka’bah,

Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), cet. 1, h. 111.

18Muhammad bin Ya’qub

Al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995), h. 496.

19

(36)

25

Ilyasa yang berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk

hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu. Sepeninggal Genghis

Khan, kitab undang-undang tersebut diwariskan secara turun temurun

kepada anak-anaknya yang secara bergantian memimpin kerajaan Mughal

di India Persia, seperti umat Muslim generasi pertama mewarisi Al-Quran

dari Nabi Muhammad SAW. Setelah raja-raja India memeluk Islam, isi

kitab ilyasa itu kemudian dimodifikasi dengan memuat hal-hal yang

bersumber dari ajaran Islam, semisal penyerahan otoritas ibadah dan

kasus-kasus hukum yang bertalian dengan syariat Islam kepada qadhi

al-qudhat (hakim agung).

2. Sebagaimana dianut Ibnu Taghi Birdi20, siyâsah berasal dari campuran

tiga bahasa, yakni Bahasa Persia, Turki dan Mongol. Partikel si dalam

Bahasa Persia berarti 30. sedangkan yasa merupakan kosakata Bahasa

Turki dan Mongol yang berarti “larangan”, dan karena itu, ia dapat juga

dimaknai sebagai hukum dan aturan.

3. Semisal dianut Ibnu Manzhur21, siyâsah berasal dari Bahasa Arab, yakni

bentuk mashdar dari tashrifan kata sâsa-yasûsu-siyâsatan,22 yang semula

berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda.

20

Yusuf Abu Al-Mahasin Ibnu Taghi Birdi, seorang ahli sejarah pada zaman kerajaan Mamluk. Lahir pada tahun 1409 dan meninggal pada 1470.

21

Muhammad Ibnu Mukarram Ibnu Ali Ibnu Ahmad Ibnu Manzhur Ansari Ifriqi Al-Misri Al-Khazradschi Jamaladin Al-Fadl, lahir sekitar bulan Juni 1233. Beliau adalah penulis kitab Lisân al-‘Arab yang terkenal. Meninggal sekitar bulan Januari 1312.

22

(37)

Sejalan dengan makna yang disebut terakhir ini, seseorang yang

profesinya sebagai pemelihara kuda, dalam Bahasa Arab disebut sa’is.

Kata sa’is yang berarti memelihara kuda ini sekarang telah masuk

kedalam kosa kata Bahasa Inggeris yang ditulis menjadi syce. Dalam

literatur Yahudi juga ada penggunaan istilah yang agak mirip dengan

makna awal dari kata sasa itu yakni istilah sus, yang berarti kuda.23

Secara kasar, politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur urusan

umat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh

negara (pemerintah) maupun umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur

urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi

(muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya.24

Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para

ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami,

karena masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan

kepada para ulama untuk mengkaji setiap masa.25 Dalam hal ini Al-Quran dan

As-Sunnah tidak memberikan ketentuan yang pasti mengenai politik. Dalam

Al-Quran tidak ditemukan konsep tentang politik umat Islam untuk diaplikasikan

pada setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini ada, berarti Al-Quran

23

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), cet. 1, h. 2-4.

24

Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, (Bangil: Al-Izzah, 2004), cet. 2, h. 11.

25

(38)

27

menghambat dinamika perkembangan umat. Adalah suatu kebijaksanaan

Al-Quran untuk membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia sebagai suatu

kemampuan dan perkembangan zaman. Kendati demikian Al-Quran memberikan

prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat.26

Seterusnya, pelaksanaan negara menurut tuntutan Islam juga hampir

serupa dengan pelaksanaan shalat jamaah di mana ada pemimpin negara sebagai

imam, rakyat sebagai makmum, warga masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi

dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan

negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan

mungkar, dan lain-lain.27 Shalat jamaah juga mengenal koreksi terhadap imam

dan penggantian imam yang mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan

negara dalam sistem moderen. Sebagai agama yang menyeluruh, Islam tidak

hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dan khaliknya, tetapi juga

antara sesama manusia. Selama 23 tahun dakwah kenabian Muhammad SAW,

kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun

pertama, Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat

Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah.

26

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran ,(Jakarta: UI Press, 1993), h. 41.

27Rifyal Ka’bah,

(39)

Mengenai kepemimpinan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya

pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh Khulafaur Rasyidun, hal ini

dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak diangkat melalui suksesi melainkan

melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam Al-Quran, itupun sebagai

realisasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi, kepemimpinan Nabi

Muhammad SAW sebagai kepala negara di Madinah adalah menyatu dengan

tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab

sepenuhnya kepada Allah SWT.28 Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi

Muhammad SAW wafat (632 M / 10 H) adalah perihal penggantinya. Semasa

hidupnya, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menunjuk siapa yang

akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk

tentang cara pengangkatan penggantinya (khalifah). Ketiadaan petunjuk ini

menimbulkan permasalahan dikalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad

SAW wafat sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum Muhajirin dan

kaum Anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri „terlantar’ oleh seputar pembicaraan

khalifah.29

Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang

muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah,

28

Ibid, h. 44.

29

(40)

29

yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala negara.30 Ibnu

Jamaah31 dalam menerangkan hak-hak pemimpin telah berkata bahwa seseorang

itu hendaklah mengetahui bahwa hak pemimpin adalah besar. Oleh sebab itu,

berinteraksilah dengannnya dengan menghormati dan memuliakannya. Firman

Allah SWT Q.S An-Nisa’ (4): 59

{

ََِإ ُاودُرَ ف ٍءْيَش ِِ ْمُ ْعَزاَنَ ا ْ ِ َف ْمُكْنِ ِرْ َأا ِِْوُأَو َلوُسَرلا اوُعيِطَأَو َ َللا اوُعيِطَأ اوُنَ آ َنيِ َلا اَه يَأ اَي

ًايِوْأَا ُنَسْ َأَو ٌرْ يَخ َكِلَذ ِرِخآا ِمْوَ يْلاَو ِ َللاِب َ وُنِ ْؤُ ا ْمُ نُك ْ ِإ ِلوُسَرلاَو ِ َللا

}

(

ءاسنلا

/

59

.)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S: An-Nisa’/ 4:59)

Dalam ayat ini, Allah SWT menyuruh manusia untuk taat kepada Allah,

rasul-Nya dan juga kepada para pemimpin dan penguasa. Akan tetapi jika para

penguasa bersikap zalim dan menyuruh kepada maksiat, maka ketika itu rakyat

harus merujuk kembali kepada Allah dan rasul-Nya. Seterusnya lagi, “Kemudian

jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada

Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)”, maka „kamu’ di dalam ayat ini adalah

30

Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), cet. I, h. 243.

31Badruddin Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Sa’dillah Ibnu Jamaah Ibnu Hazim Ibnu Shakr

(41)

umum, ditujukan juga kepada para penguasa dan pemimpin. Jika ada perselisihan

antara mereka, haruslah merujuk kepada Allah dan rasul-Nya. Yang dimaksudkan

dengan “Allah dan rasul-Nya” adalah Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pegangan

utama umat Islam.

Para ulama daripada kalangan pemimpin Islam menjunjung tinggi

kehormatan mereka dan mendengar suruhan mereka walaupun mereka bersifat

zuhud dan warak dan tidak mengimpikan kedudukan dan pangkat di dunia ini.

Sesungguhnya Allah menjadikan pemimpin itu sebagai benteng kepada yang

lemah daripada yang kuat dan kepada yang dizalimi daripada yang menzalimi.

Sekiranya tiada pemerhatian daripada Allah yang diwakilkan kepada pemimpin

ini nescaya tidak berlaku keamanan dan hilanglah hak asasi manusia, firman

Allah SWT Q.S Al-Baqarah (2): 251

{

ِ َللا ُعْفَد َاْوَلَو ُءاَشَي اَِِ ُ َمَلَعَو َ َمْكِْْاَو َكْلُمْلا ُ َللا ُااَاآَو َتوُلاَج ُدوُواَد َلَ َ قَو ِ َللا ِ ْذِ ِب ْمُ وُ َنَهَ ف

َ ِمَلاَعْلا َلَع ٍلْ َف وُذ َ َللا َنِكَلَو ُ ْرَأا ْتَدَسَ َل ٍ ْعَ ِب ْمُهَ ْعَ ب َساَنلا

}

(

ةر لا

/

251

.)

Artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia

(42)

31

1. Konsep Musyawarah Dalam Islam

Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada

mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian

berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau

dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti

mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya

digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.

Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara

yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan

timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis.

Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan

kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang

dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung

kelemahan.32

32

(43)

Para ulama memberikan definisi kata musyawarah sesuai dengan disiplin

ilmu yang dimilikinya, antara lain:

a. Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq mendefinisikan musyawarah sebagai

“Eksplorasi pendapat orang-orang yang berpengalaman untuk mencapai

sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran”.33

b. Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari mengatakan musyawarah adalah

“Ekplorasi pendapat umat atau orang-orang yang mewakili mereka,

tentang persoalan-persoalan yang umum yang berkaitan dengan

kemaslahatan umum pula”. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa umat

mempunyai hak untuk diminta pendapatnya dalam memilih pemerintah

yang diinginkan mereka, dan hak untuk diminta pendapat dalam

memecahkan atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang

penting. Dengan demikian, umat mempunyai hak untuk mengawasi,

mengkritik, meluruskan, dan mengemukakan mosi kepada pemerintah.34

c. Ibnu Al-Arabi mengatakan bahwa musyawarah adalah “Pertemuan guna

membahas permasalahan; masing-masing mereka saling bermusyawarah

dan mengemukakan pendapat yang dimiliki”.35

33

Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq, Al-Syuura Fi Zhilli Nidzham al-Hukm al-Islam, (Kuwait: Al-Dar Al-Salafiyyah, 1975), h. 14.

34

Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari, Al-Syuura Wa Atsaruha Fi Al-Dimuqrathiyyah, (Cairo: Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1981), h. 4.

35

(44)

33

d. Mahmud Muhammad Babbali mengemukakan bahwa musyawarah

merupakan “ Saling tukar menukar pendapat guna memperoleh yang

mendekati kebenaran; maka karena itu, musyawarah sekaligus merupakan

bentuk dari tolong menolong, saling menasihati, kemauan yang kuat untuk

menegakkan kebenaran dan tawakkal kepada Allah SWT”.36

e. Beliau juga mengatakan lagi, musyawarah adalah “Saling bertukar

pandangan atau pendapat dengan orang lain dalam satu tema tertentu

untuk sampai pada pendapat yang paling benar”.37

f. Ismail Al-Badawy mengatakan bahwa musyawarah adalah “usaha

menghasilkan kebenaran setelah eksplorasi terhadap pendapat-pendapat

orang lain”.38

Musyawarah termasuk perkara yang sistem dan batasannya tidak dibuat,

sebagai rahmat untuk manusia dan bukan karena lupa. Memberikan keleluasan

dan memberikan hak penuh kepada mereka untuk memilih apa yang bisa diterima

oleh akal dan dipahami oleh manusia, dan selama tujuannya adalah dasar

Musyawarah serta untuk menciptakan undang-undang yang adil yang

menyatukan rakyat bukan menceraikan dan mengadakan perpecahan dikalangan

mereka.

36

Mahmud Muhammad Babbali, Al-Syuura Suluk Wa Al-Iltizam, (Makkah: Maktabah Al-Tsaqafah, 1986), h. 19.

37

Ibid, h. 5.

38

(45)

Alasan Islam untuk tidak membuat satu sistem bagi Musyawarah sama

alasannya dengan alasan Islam tidak membuat satu sistem politik yang

merincikan hukum khilafah, untuk memberi kebebasan kepada umat untuk

membuat keputusan berdasarkan akal selagimana keputusan itu sesuai dengan

ketentuan syariat.

Abu Bakar RA selalu menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah

dengan para sahabat beliau. Apabila beliau dihadapkan dengan suatu

permasalahan dan permasalahan tersebut tidak dapat beliau temukan di dalam

Al-Quran dan As-Sunnah, maka beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.

Jika semua mereka semuanya sepakat atas satu keputusan berdasarkan

Musyawarah itu, beliau akan memutuskan permasalahan tersebut dengan

keputusan itu.39

Mayoritas ulama Islam dan pakar undang-undang konstitusional

meletakkan Musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional

yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah

ditetapkan oleh nash-nash Al-Quran dan hadis-hadis Nabawi. Oleh karena itu,

Musyawarah ini lazim dan tidak ada alasan bagi seorangpun untuk

meninggalkannya.40 Firman Allah SWT Q.S Ali Imran (3): 159

39

Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), cet. I, h. 78.

40

(46)

35

{

َ ِلِكَوَ ُمْلا بُُِ َ َللا َ ِإ ِ َللا َلَع ْلَكَوَ َ ف َتْ َنَع اَذِ َف ِرْ َأا ِِ ْمُ ْرِواَشَو ْمََُ ْرِ ْغَ ْساَو ْمُهْ نَع ُ ْعاَف

}

(

ارمع لآ

/

159

.)

Artinya: “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal

kepada-Nya.” (Q.S: Ali Imran/ 3:159)

Dengan nash yang tegas ini, „dan bermusyawarahlah dengan mereka

dalam urusan itu’, Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan

hingga Rasulullah SAW sendiri melakukannya. Ini adalah ketetapan yang pasti

dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa Musyawarah

merupakan prinsip dasar dan bahwa sistem pemerintahan berdasarkan Islam

ditegakkan atas prinsip ini.41

Dapat dipastikan bahwa pandangan yang terkuat dikalangan ulama tentang

hukum Musyawarah adalah wajib, diwajibkan atas para penguasa untuk meminta

pendapat rakyat dalam segala perkara umum. Musyawarah adalah kewajiban

yang diwajibkan atas para penguasa dan juga rakyat. Penguasa harus

bermusyawarah dalam setiap perkara pemerintahan, administrasi, politik, dan

pembuatan perundang-undangan. Juga dalam setiap hal yang menyangkut

kemaslahatan individual dan kemaslahatan umum. Rakyat juga harus memberikan

41

(47)

pendapatnya kepada penguasa dengan pendapat yang mereka anggap baik dalam

perkara-perkara di atas, baik penguasa meminta pendapat mereka ataupun tidak.42

Keengganan penguasa atau pemimpin untuk bermusyawarah dengan

orang lain dari orang-orang yang pantas untuk diminta pendapatnya dan hanya

berpegang dengan pendapatnya sendiri, dianggap suatu sikap diktator. Sikap

diktator membawa kepada kezaliman dan kezaliman membawa kepada kebencian

Allah SWT dan kegelapan pada hari kiamat. Allah SWT mengharamkan

rahmat-Nya atas diri penguasa atau pemimpin tersebut dan menjadikannya tersingkirkan

dikalangan rakyat. Sikap diktator ini sememangnya dilarang dalam Islam dan

pada hakikatnya adalah suatu pemaksaan dan ketakburan.43 Firman Allah SWT

Q.S Al-Ghaasyiyah (88): 22

{

ٍرِطْيَسُِِ ْمِهْيَلَع َتْسَل

}

(

يشاغلا

/

22

.)

Artinya: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Q.S:

Al-Ghaasyiyah/ 88:22)

Maksudnya adalah para penguasa dan pemimpin tidak berkuasa total

terhadap rakyatnya, jika mereka menyuruh kepada maksiat dan dosa maka rakyat

diberi hak untuk mengingkari mereka dan merujuk kepada Al-Quran dan

As-Sunnah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Al-Quran, surah An-Nisa’

ayat 59 seperti yang telah disebut.

42

Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 58.

43

(48)

37

Apabila seorang penguasa bermusyawarah dengan orang bawahannya

atau rakyatnya, sementara sebagian mereka menegurnya bahwa apa yang harus

diikuti adalah Al-Quran dan As-Sunnah maka ketika ini sang pemerintah harus

tunduk pada keduanya. Di sini seseorang tidak boleh taat kepada siapa pun untuk

melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah,

meskipun dia berkedudukan tinggi dan mempunyai status sosial yang mapan di

dunia.

Apabila ada permasalahan yang diperselisihkan oleh umat, maka setiap

orang dari mereka mengeluarkan pendapatnya yang terarah dan tepat, mengacu

pada Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karenanya, setiap pendapat yang

mempunyai kesamaan dengan apa yang tertera dalam keduanya maka haruslah

diperhitungkan untuk dipakai.44

Konsep Musyawarah ini dapat dilihat pelaksanaanya dalam Ahlu al-Halli

Wa al-Aqdi atau Ahlu al-Ikhtiyar, yang banyak disebut oleh ulama-ulama fikih

dan tafsir di dalam kitab-kitab mereka.

2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Ikhtiyar

Penulis tidak menemukan baik di dalam Al-Quran atau As-Sunnah

sebutan atau spesifikasi apa yang dimaksudkan dengan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi

44

(49)

dan Ahlu al-Ikhtiyar ini. Tujuan Islam tidak membuat satu sistem khusus dan

tidak merinci-rincikannya agar rakyat ikut adil dalam perkara Musyawarah, dan

rincian partisipasi atau adilnya itu diserahkan kepada mereka. Perkara perincian

itu juga berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sosial kemasyarakatan di satu

masa dan satu tempat.

Istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli

tafsir dan ahli fikih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berbeda pendapat

seputar definisisi Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dan juga Ahlu al-Ikhtiyar. Imam

Al-Mawardi dan beberapa ulama lainnya menyebutnya dengan Ahlu al-Ikhtiyar,

yaitu “orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”.45 Dalam

hubungan ini, Dr. Abdul Karim Zaidan menyebut “Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi ialah

orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan

kepercayaan kepada mereka. Para rakyat menyetujui pendapat wakil-wakil itu

karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan

mereka dalam memeperjuangkan kepentingan rakyatnya”.

Paradigma pemikiran ulama fikih merumuskan istilah Ahlu al-Halli Wa

al-Aqdi didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang

dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan; Anshar dan

Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fikih diklaim sebagai Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi

yang bertindak sebagai wakil umat. Walaupun sesungguhnya pemilihan itu,

45

(50)

39

khususnya pemilihan Abu Bakar dan Ali lebih bersifat spontan atas dasar

tanggungjawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama, namun

keduanya mendapat pengakuan dari umat. Hanya Umar yang membentuk satu

kumpulan sahabat yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah

sesudah ia wafat.46

Adapun secara bahasa, istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi terdiri dari tiga

kalimat: 1- Ahlu, yang berarti orang yang berhak atau memiliki, 2- Halli, yang

berarti melepaskan, menyesuaikan, memecahkan, 3- Aqdi, yang berarti mengikat,

mengadakan, membentuk. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian

Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mengikut bahasa adalah "Orang-orang yang memiliki

pengetahuan (ahlinya), yang mampu melepaskan, menyesuaikan, memecahkan

permasalahan umat, menetapkan urusan-urusan umat dan mengadakan serta

membentuk sistem/peraturan”.47

Tentang bilangan keanggotaan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi sehingga

pengangkatan imam (khalifah) atau pembuatan ssesuatu keputusan oleh mereka

dianggap sah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Sekelompok ulama berpendapat, bahwa pemilihan i

Gambar

gambaran  Islam untuk sebuah negara, tugas-tugasnya dan ciri khas sistem hukum

Referensi

Dokumen terkait

Menyusun teks lisan dan tulis untuk menyatakan, menanyakan, dan merespon ungkapan untuk menyarankan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan penjelasan, dengan

Dari hasil koefisien determinasi diperoleh nilai Adjusted R Square (R2) sebesar 0442 hal ini berarti 44,2% variabel Minat Berwirausaha dapat dijelaskan oleh variabel Pengetahuan

Melalui penelitian ini diharapkan dapat membangun sebuah aplikasi metode pengenalan bahasa sunda yang dapat membuat siswa tertarik untuk mempelajarinya dan bahkan

kembali gambar berbasis konten menjadi dua kategori utama yaitu sistem generik dan sistem domain spesifik. Sistem domain spesifik berisi gambar hanya berhubungan erat

[r]

Hasil ini sejalan dengan penelitian Hamid dan Pramukantoro (2013 : 251) yang menyatakan bahwa rata-rata respon siswa terhadap proses pembelajaran Guided Discovery

Sedangkan pengendalian mutu yang dilakukan pada tahap pengangkutan adalah dengan penggunaan terpal pada truk agar tehindar dari hujan dan sinar matahari langsung dan alasnya

Informasi dan opini yang tercantum dalam Press Release ini tidak diverifikasi secara independen dan tidak ada satupun yang mewakili atau menjamin, baik dinyatakan