Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD FAWWAZ HADI BIN ISMAIL NIM: 108045200022
KONSE NTR ASI SI YASA H SYA RIYY AH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PARLEMEN DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN
MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN
KETATANEGARAAN ISLAM, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi
Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syariyyah).
Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
dtt
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
Nip: 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. (..……...dtt………)
NIP: 19721010 199703 1 008
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag. (..…...dtt………) NIP: 19710215 199703 2 002
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA ,MM. (..……...dtt………)
NIP: 19550505 198203 1 012
4. Penguji I : JM. Muslimin, MA, PhD. (..……...dtt………)
NIP. 150 295 489
5. Penguji II : Asep Saefuddin Jahar, MA, PhD. (..…...…dtt………)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Muhammad Fawwaz Hadi Bin Ismail NIM: 108045200022
Di Bawah Bimbingan
dtt
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 19550505 198203 1012
KONSENTRASI SI YASA H SYA RIYY A H PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 April 2010
i
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Yang Maha
Esa, Yang Maha Kaya, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu
yang ada di langit dan di bumi, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat-Nya, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah
dianugerahkan-Nya kepada penulis.
Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah
Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah
menunjukkan jalan hidayah dan pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi yang
berjudul "Parlemen Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Dan Relevansinya
Dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam" ini, masih banyak kekurangan dan
kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan dari
semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
ii
2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof.
Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, yang juga merangkap dosen
pembimbing penulis atas segala bimbingan dan tunjuk ajar beliau dalam
penulisan skripsi ini, semoga mendapat balasan baik dari Allah SWT.
3. Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah; Dr. Asmawi, M.Ag, dan Sri
Hidayati, M.Ag, yang keduanya telah memberikan kemudahan administratif
dan bimbingan akademik sejak awal perkuliahan, yang dengan sabar telah
memberikan banyak masukan dan saran sehingga skripsi ini dapat selesai
dengan baik.
4. Segenap dosen dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
dosen dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum, para karyawan
Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum, juga para karyawan Perpustakaan
Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ayahanda dan ibunda tercinta, Ismail Salleh dan Siti Jamilah Haji Mustaffa,
atas kasih sayang dan pengorbanan kepada penulis selama menimba ilmu,
juga kepada adik-adik; Faiz, Faris, Fawzan, Ira, Jee, Falahi dan Faduli.
6. Tuan Guru Haji Harun Taib; pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI dan
seluruh Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI, pensyarah dan staf Kolej Universiti
Darul Quran Islamiyyah yang telah memberi ruang dan kesempatan untuk
menuntut ilmu yang bermanfaat, para mahasiswa dan mahasiswi dari KUDQI,
iii
7. Teman-teman seperjuangan selama di Indonesia; Madyu, Pian, Keri, Ayohsu,
Pulloh, Pa, Najib, Sepu, Zaki, Hilman, Zaid, Amir, Razman, Mamat, Biki,
Stopa, Harun, Baha, Kacah, Adi, Muaz, Za, Pudin, Beri, Duan, Mukhsin,
Faris, serta teman-teman di Asrama Putri UIN dan kost. Juga teman dari
APID, KIDU dan IPA yang tidak dapat penulis sebut semuanya di sini karena
keterbatasan ruang, semoga teguran dan tunjuk ajar dari kalian semua
mendapat ganjaran dari-Nya.
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik
dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan
kepada semua pihak pada umumnya. Penulis juga menyampaikan harapan yang besar
agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian,
semoga Allah SWT menjadikan skripsi ini sebagai satu amal yang baik disisi-Nya.
Akhir kata, segala yang baik datang dari-Nya dan yang kurang baik terbit dari
kelemahan dan kekurangan diri penulis sendiri.
Jakarta: ______20 April 2010 M 5 Jamadil Awal 1431 H
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah...6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian...7
D. Tinjauan Pustaka...8
E. Metode Penelitian...11
F. Sistemetika Penulisan...15
BAB II KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN A. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Ilmu Politik Moderen...17
B. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Politik Islam...23
1. Konsep Musyawarah Dalam Islam...31
2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Iktiyar...37
v
A. Parlemen Malaysia...48
B. Komponen Parlemen Malaysia...49
C. Fungsi Parlemen...54
D. Hak Dan Wewenang Parlemen...57
BAB IV TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PARLEMEN MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Agama Dan Negara Dalam Kajian Ketatanegaraan Islam...60
B. Persamaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan Islam...66
C. Perbedaan Parlemen Malaysia Dengan Konsep Pemerintahan Islam...69
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...75
B. Saran-saran...77
Daftar Pustaka...79
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Padanan Aksara Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j je
ح h ha dengan garis di bawah
خ kh ka dan ha
د d de
ذ dz de dan zet
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
ص s es dengan garis di bawah
ض d de dengan garis di bawah
ط t te dengan garis di bawah
ظ z zet dengan garis di bawah
ع „ koma terbalik diatas hadap kanan
غ gh ge dan ha
ؼ f ef
ؽ q ki
ؾ k ka
ؿ l el
ـ m em
ف n en
و w we
ػه h ha
ء ` apostrof
vii
b. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َ
a fathahi kasra
u dammah
Adapun Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي َ
ai a dan iو
au a dan uc. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اػَػ
â a dengan topi di atasيــــــ î i dengan topi di atas
وـــــــ û u dengan topi di atas
d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf
)
ؿا
(
,dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh
ةيسمشلا
= al-syamsiyyah,ةيرمقلا
= al-qamariyyah.e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
huruf-huruf samsiyyah.
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut
diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedaulatan adalah suatu hal yang memiliki makna penting dan mendalam
bagi sesuatu negara. Kedaulatan, menurut Georg Jellinek1, apabila merujuk
kepada suatu negara, maka ia merupakan kekuasaan yang tertinggi. Sedangkan
apabila ke luar, kedaulatan merupakan kekuasaan yang tidak tunduk pada
kekuasaan yang lain.
Teori hukum tatanegara mengenal adanya lima bentuk kedaulatan;
kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan
kedaulatan rakyat. Bentuk yang terakhir yaitu kedaulatan rakyat merupakan
konsep yang sehingga kini paling banyak diusung oleh berbagai negara melaui
konsep negara demokrasi.
Mengikut teori demokrasi, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang
berdaulat ini mempunyai suatu kemauan yang oleh Jean-Jacques Rousseau2
1
Dilahirkan tanggal 16 Juni 1851 di Leipzig, Georg Jellinek adalah seorang filosofis Jerman yang terkenal. Antara karyanya termasuk artikel berjudul The Declaration Of The Right Of Man And The Citizen yang ditulisnya pada tahun 1895. Dalam artikel ini beliau sedikit mengkritik Revolusi Prancis. Beliau meninggal dunia pada tanggal 12 Januari 1911 di Heidelberg, Jerman.
2
disebut general will.3 Pada awal kemunculannya yaitu sekitar 400 SM, konsep ini
dilaksanakan secara menyeluruh dimana setiap anggota masyarakat mempunyai
hak untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada pemimpin tanpa
terkecuali. Dalam perkembangannya, pelaksanaan konsep tersebut menemui
banyak kendala seiring makin banyaknya jumlah penduduk dan luasnya wilayah
negara, maka rakyat tidak dapat lagi menyampaikan aspirasinya secara langsung
kepada pemimpin karena masalah-masalah tersebut. Selanjutnya, demokrasi tidak
langsung atau yang biasa disebut demokrasi perwakilan menjadi pilihan untuk
mengganti demokrasi langsung yang tidak bisa dilaksanakan dengan tuntas itu.
Disini, rakyat sebagai pemegang kedaulatan mengamanatkan suaranya melalui
para wakil yang dipilih oleh mereka melalui proses pemilu dan duduk dalam
suatu lembaga yang biasa disebut sebagai Parlemen.
Secara umumnya, negara yang mempunyai badan Parlemen disebut
menganut sistem parlementer, dan termasuk juga negara Malaysia. Sistem
parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana Parlemen memiliki peran
penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini Parlemen memiliki wewenang dalam
mengangkat Perdana Menteri dan Parlemen pun dapat menjatuhkan
pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Inilah sebagaimana yang diamalkan di negara Malaysia. Pada zaman moderen ini,
3
3
tugas utama badan Parlemen adalah melakukan fungsi legislatif, yaitu membuat
undang-undang.
Di dalam Islam, lembaga yang hampir sama dengan Parlemen adalah Ahlu
al-Halli Wa al-Aqdi, diartikan sebagai “orang-orang yang mempunyai wewenang
untuk melonggarkan dan mengikat”. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fikih
sebagai sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk
menyuarakan hati nurani mereka kepada pemimpin.4 Imam Al-Mawardi5 dan
beberapa ulama lainnya menyebutnya sebagai Ahlu al-Ikhtiyar yang berarti
“orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”.6 Yang dimaksudkan
dengan memilih disini adalah, memilih pemerintah atau kepala negara. Allah
SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi
pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga agar terselenggaranya
ajaran agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi
syariat agama dan menyatukan umat.7
Ahlu al-Ikhtiyar juga bisa diartikan sebagai sekelompok orang yang
bertugas memilih pemimpin lewat jalan musyawarah kemudiannya
4
J. Suyuthi Pulungan, MA, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) , cet. 5, h. 66.
5
Dilahirkan di Basrah pada tahun 972 M dengan nama Abu Hasan Ali Ibnu Habib Al-Mawardi, beliau antara ilmuan Islam yang unggul. Gurunya termasuk Sheikh Abd al-Hamid dan Sheikh Abdallah al-Baqi. Antara karangannya yang dikenali adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Qanun al-Wazarah dan Nasihat al-Muluk. Beliau meninggal dunia pada tahun 1058.
6
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet. 1, h. 176.
7
mengajukannya kepada rakyat untuk dibaiat oleh mereka. Imam Muhammad Abu
Zahrah8 menyebut di dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, “Apabila
dasar pemerintahan Islam bersifat musyawarah maka pemilihan itu juga harus
bersifat musyawarah”. Tapi apabila tidak mungkin untuk melakukan musyawarah
antara seluruh individu rakyat, maka musyawarah hanya bisa dilakukan antara
kelompok orang yang mewakili rakyat dan apa yang mereka putuskan sama
dengan keputusan seluruh individu rakyat.9 Jadi disini dapat dilihat seolah-olah
ada persamaan antara Ahlu al-Ikhtiyar dan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi.
Pada masa yang sama, Parlemen juga adalah wakil bagi rakyat, cuma
perwakilan mereka adalah melalui partai politik yang menunjukkan mereka
sebagai calon untuk bertanding dalam pemilu. Hal ini dinamakan perwakilan
yang bersifat politik (political representation).10
Sistem pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem parlementer
Westminster, warisan Penguasa Kolonial Britania. Tetapi di dalam prakteknya,
kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan judikatif
diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman mantan
8
Dilahirkan pada tahun 1898 dan meninggala pada tahun 1978, Imam Abu Zahrah adalah intelek dan pemikir di Cairo. Beliau juga adalah profesor di Universtas Al-Azhar dan juga di Universitas Cairo. Karyanya termasuk biografi Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafie.
9
Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005), cet. 5, h. 108-109.
10
5
Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir Mohammad11, menyebabkan kekuasaan
judikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negeri
(negara bagian).
Kekuasaan legislator dibagi antara legislator Persekutuan12 dan legislator
negeri. Parlemen13 Malaysia adalah parlemen berbentuk bikameral, terdiri dari
Yang di-Pertuan Agong14 yang juga sebagai kepala negara; dewan rendah yaitu
Dewan Rakyat (mirip "Dewan Perwakilan Rakyat" di Indonesia); dan Dewan
Negara (mirip "Dewan Perwakilan Daerah" di Indonesia). 222 anggota Dewan
Rakyat dipilih dari daerah pemilihan beranggota-tunggal yang diatur berdasarkan
jumlah penduduk untuk periode jabatan terlama 5 tahun. Bagi Dewan Negara
pula, 70 Senator bertugas untuk periode jabatan 3 tahun; 26 di antaranya ditunjuk
oleh 13 majelis negara bagian (masing-masing mengirimkan dua utusan), dua
mewakili wilayah persekutuan Kuala Lumpur, masing-masing satu mewakili
wilayah persekutuan Labuan dan Putrajaya, dan 40 diangkat oleh Yang di-Pertuan
Agong atas nasehat Perdana Menteri. Di samping Parlemen di tingkat
persekutuan, masing-masing negara bagian memiliki dewan legislatif unikameral
11
Mantan perdana menteri Malaysia yang keempat, memegang tampuk pemerintahan Malaysia selama hampir 22 tahun bermula 1981 hingga 2003.
12
Yang diartikan sebagai Persekutuan adalah Persekutuan Tanah Melayu atau Malaysia, terbentuk pada tanggal 16 September 1963, terdiri dari 11 buah negeri di Tanah Melayu dan 2 buah negeri Borneo yaitu Sabah dan Sarawak. Kemudian setelah kemerdekaan Malaysia pada tanggal 31 Augustus 1957, Kuala Lumpur di jadikan wilayah khusus, sebagai ibukota Persekutuan sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan pentadbiran. Ini menjadikan negeri anggota Persekutuan Malaysia sebanyak 14 buah negeri.
13Ejaan dan sebutan bagi parlemen Malaysia adalah dengan huruf “i”, yaitu sebagai Parlimen.
14
(Dewan Undangan Negeri) yang para anggotanya dipilih dari daerah-daerah
pemilihan beranggota-tunggal. Pemilihan umum untuk memilih anggota Parlemen
Malaysia dijalankan biasanya empat tahun sekali, dengan pemilihan umum
terakhir pada Maret 2008.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih dalam dalam permasalahan Parlemen sebagai badan
perundang-undangan tertinggi di negara Malaysia dan sejauh mana ia relevan dengan kaidah
dan konsep ketatanegaraan dalam Islam sehingga penulis angkat menjadi judul
skripsi “Parlemen Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Dan
Relevansinya Dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian berbentuk skripsi sudah seharusnya di dalamnya memuat
perbatasan masalah agar penelitian lebih terarah dan fokus. Untuk itu penulis
membatasi permasalahan dalam penelitian skripsi ini mengenai Parlemen dalam
Perlembagaan Persekutuan Malaysia, apakah ia relevan dengan Ketatanegaraan
7
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana kedudukan dan kewenangan Parlemen di Malaysia
menurut konstitusi ?
2) Bagaimanakah peran negara Malaysia dalam menerap konsep Islam di
dalam Parlemen ?
3) Apakah sistem pemerintahan Malaysia sejalan dan konsisten dengan
konsep Ketatanegaraan Islam ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, antaranya:
1. Memberikan gambaran dan informasi mengenai Parlemen sebagai badan
perundang-undangan tertinggi di Malaysia serta kedudukan dan fungsinya
sebagaimana diatur dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia.
2. Untuk mengetahui apakah negara Malaysia telah mempraktekkan konsep
Ketatanegaraan Islam dalam Parlemen.
3. Untuk menggali relevansi antara Ketatanegaraan Malaysia dengan
Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang perspektif
hukum ketatanegaraan Islam terhadap Parlemen Malaysia.
2. Sebagai satu sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah
keilmuan di bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di
Malaysia.
3. Dapat dijadikan rujukan bagi para akademis dan para pencinta ilmu
Ketatanegaraan Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan studi terdahulu yang penulis maksudkan adalah dengan melihat
kajian yang membahas dalam tema yang hampir sama, namun pada substansi
yang berbeda. Adapun yang penulis akan masukkan dalam perbandingan ini
adalah berbagai literatur mulai dari skripsi, buku, jurnal, artikel dan lainnya.
Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya
penelitian tersebut.
Penelitian Mohammad Adnin bin Yahya, “Konsep Negara Islam di
9
penerapan nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia mulai dari sudut pandang pihak
pemerintah (UMNO) maupun dari pihak pembangkang (PAS).
Penelitian yang ditulis oleh Ahmad Baihakki Bin Arifin yang berjudul
“Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”,
tahun 2008. Penelitian ini membahas tentang hak-hak politik warga negara
Malaysia sebagaimana yang diatur di dalam konstitusi Malaysia
Adapun referensi yang berbentuk buku, seperti buku karya Tun Mohd
Salleh Abas yang berjudul “Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di
Malaysia”, tahun 2006. Di dalam buku ini ada menerangkan dan membahas
berkenaan Parlemen Malaysia yang mencakup keanggotaannya, wewenangnya,
dan hak-hak badan tersebut.
Buku kedua, karya Abdul Aziz Bari yang berjudul “Perlembagaan
Malaysia, Asas-Asas Dan Masalah”, tahun 2001. Buku ini membahas berkenaan
Perlembagaan Malaysia dan segala permasalahan yang berkaitan dengannya.
Buku ketiga, karya Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, tentang
prinsip-prinsip negara Islam, ditulis dalam salah satu bab pada bukunya yang berjudul
“Sistem Pemerintahan Negara Islam”. Pokok masalah yang dibicarakan adalah
prinsip keadilan dalam prinsip-prinsip dasar pada negara Islam.
Buku keempat, karya Imam Al-Mawardi berjudul “Al-Ahkam
As-Sultaniyyah”. Buku ini memang terkenal sebagai buku yang membahaskan
dalam Islam seperti Imamah, Khalifah, Musyawarah, dan lain-lain dibahaskan
secara rinci dan lengkap.
Buku kelima, “Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia” karya
Muhamad Arifin. Buku ini membahaskan perkembangan undang-undang Islam di
Malaysia, federalism dan pembahagian kuasa membentuk undang-undang Islam
antara Kerajaan Pusat dan Kerajaan Negeri.
Dari beberapa kajian (review) terdahulu di atas, khususnya mengenai
Parlemen sebagai badan legislatif Malaysia, penulis belum menemukan tulisan
yang membahas atau mengkaji berkenaan badan tersebut dari sudut pandang
Ketatanegaraan Islam. Penelitian Mohammad Adnin bin Yahya hanya membahas
nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia dari sudut pandang partai politik di
Malaysia. Demikian juga dengan penelitian kedua, walaupun fokus kajiannya
adalah Perlembagaan Persekutuan Malaysia, tetapi hanya menjelaskan seputar
hak-hak politik warganegara sahaja. Maka karena masih belum ada penelitian
yang membahaskan berkenaan Parlemen Malaysia secara khusus, penulis merasa
tertarik untuk membahaskan berkenaan badan tersebut yang kemudiannya dilihat
11
E. Metode Penelitian
Metode bermaksud cara; yaitu cara bagaimana penelitian ini dilakukan.
Ahli-ahli hukum mendefinisikan “metode penelitian” sebagai:
1. Soerjono Soekanto: Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan
jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam gejala yang bersangkutan.15
2. Soetandyo Wignyosoebroto: Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk
mencari dan menemukan jawaban yang benar mengenai suatu
permasalahan. Untuk menjawab segala macam permasalahan, diperlukan
hasil penelitian yang cermat dan sahih untuk menjelaskan permasalahan
tersebut.16
3. Teuku Mohammad Radhie: Keseluruhan aktivitas berdasarkan disiplin
ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan
menginterpretasi fakta serta hubungan di lapangan hukum dan lapangan
lain-lain yang relevan bagi kehidupan hukum, dan berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan prinsip-prinsipilmu
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 43.
16
pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk menanggapi berbagai fakta dan
hubungan tersebut.17
Seterusnya untuk lebih mempermudah pemahaman berkenaan kerangka
penelitian ini, penulis membagikannya kepada 6 poin utama:
1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan
menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang
hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif disini dimaksudkan dengan
membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data
secara kualitatif. Kemudian penulis menggunakan pendekatan komparatif, dengan
membuat perbandingan antara Ketatanegaraan Malaysia dengan Ketatanegaraan
Islam.
2. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah Parlemen sebagaimana yang diatur
dalam Perlembagaan Pesekutuan Malaysia.
17
13
3. Sumber Data
Data yang terhimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer didapat dari dari sumber-sumber pokok yaitu konstitusi
Malaysia (Perlembagaan Persekutuan Malaysia) dan buku-buku serta
literatur-literatur yang yang berkaitan dengannya, sedangkan data sekunder pula didapat
dari karya-karya dan tulisan-tulisan yang dibuat oleh para ahli ketatanegaraan
baik dalam ketatanegaraan Islam maupun ketatanegaraan Malaysia serta bahan
yang di fikir relevan. Yang termasuk dalam data primer seperti buku berjudul
“Perlembagaan Malaysia”18; buku ini berisi teks asli konstitusi Malaysia
(Perlembagaan Persekutuan), buku “Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di
Malaysia”19; yang di dalam buku ini ada menerangkan dan membahas berkenaan
Parlemen Malaysia yang mencakup keanggotaannya, wewenangnya, dan hak-hak
badan tersebut, buku “Al-Ahkam As-Sultaniyyah”20 yang menjelaskan berkenaan
badan pemerintahan dalam Islam, sistem khilafah, musyawarah dan imamah.
Seterusnya, data sekunder pula termasuk kamus, jurnal dan artikel. Data sekunder
yang penulis gunakan termasuk “Kamus Besar Bahasa Indonesia” dan “Kamus
Ilmiah Kontemporer”, juga koran dan artikel digital.
18
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (Selangor: International Law Book Sevices, 2007).
19
Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006).
20
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan dan faktual, teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan data-data
kualitatif, dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi
dengan penelitian. Adapun teknik penulisan yang penulis gunakan adalah
dokumentasi; riset pustaka dilakukan dengan cara menghimpun data-data
kepustakaan yang terkait dan mempunyai relevansi dengan tema penelitian.
5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis dengan pendekatan
komparatif, yaitu menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi
informasi, pendapat dan konsep Parlemen dalam konstitusi negara Malaysia dan
membuat perbandingan dengan Doktrin Ketatanegaraan Islam.
6. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini adalah berdasar dan berpedomankan pada buku
“Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
15
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta
menyeluruh, penulis membahagikan penulisan skipsi ini pada lima (5) bab,
tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Bab ini membahas konsep kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam,
serta jabatan, badan atau lembaga pemerintahan dalam Islam yang
mencakup konsep Musyawarah, Ahlu Halli Wa Aqdi, Ahlu
al-Ikhtiyar dan kementerian.
Bab III Pembahasan dalam bab III ini tentang sejarah Parlemen sebagai badan
perundang-undangan tertinggi di negara Malaysia, serta kedudukan
dan fungsi Parlemen menurut Pelembagaan Persekutuan Malaysia.
Bab IV Bab IV ini berisi analisis Ketatanegaraan Islam terhadap Parlemen
menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, persamaan Konsep
Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia, dan perbedaan
Bab V Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan bagi skripsi serta
17
BAB II
KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN
A. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Ilmu Politik Moderen
Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses
politik, namun diantara ilmuwan politik tidak ada kesepakatan mengenai makna
kekuasaan. Beberapa diantaranya bahkan menganjurkan agar agar konsep
kekuasaan ditinggalkan karena bersifat kabur, dan berkonotasi emosional.
Namun, tampaknya politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.1
Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat
peribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut berarti acting or
judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus
dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata
tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian
diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan
tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu
negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga
dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.2
Politik merupakan kata kolektif yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang
1
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 57.
2
bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.3
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau
menangani suatu masalah).4
Dalam sejarah, istilah politik pertama kali dikenal melalui buku karya
Plato5 yang berjudul Politeia atau dikenal juga dengan Republic. Kemudian
setelah itu ada juga karya dari Aristotles6 dengan judul serupa. Di dalam isi kedua
buku tersebut, terdapat kecenderungan menghubungkan politik dengan negara
(pemerintahan).7
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan
politik pada akhirnya adalah membicarakan negara, karena teori politik
menyelidiki negara sebagai sebuah lembaga politik yang mempengaruhi hidup
masyarakat, selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah
3
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, h. 608.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet 3, h. 886.
5
Lahir sekitar tahun 427 SM, Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno. Karena beliau merupakan salah seorang murid Socrates, maka pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya itu. Bukunya yang terkenal adalah Republik (dalam bahasa Yunani disebut Politeia yang bermaksud „negeri’). Beliau meninggal sekitar tahun 347 SM.
6
Aristotles adalah murid dari Plato, lahir sekitar tahun 322 SM dan meninggal sekitar 384 SM. Bersama Plato dan Socrates (guru Plato), mereka bertiga dianggap sebagai filsuf paling berpengaruh pada zaman tersebut.
7
19
pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara dan hakekat negara.8 Politik
ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat
undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang
merugikan bagi kepentingan manusia.9
Miriam Budiarjo mengatakan bahwa untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan politik, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority),
yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses pelaksaan kebijakan-kebijakan itu.
Cara-cara yang digunakan dapat bersifat persuasi (meyakinkan), dan jika perlu
bersifat paksaan (coercion).10
Dalam perbendaharaan ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang
berkaitan erat dengan konsep kekuasaan seperti pengaruh (influence), persuasi
(persuation), manipulasi (manipulation), coercion, force, dan kewenangan
(authority). Keenam konsep ini merupakan bentuk-bentuk kekuasaan yang
perbedaannya akan lebih jelas dalam uraian berikut ini.
Influence adalah kemampuan untuk untuk memepengaruhi orang lain agar
mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela. Yang dimaksud dengan
persuation ialah kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk
melakukan sesuatu. Penggunaan pengaruh, dalam hal ini orang yang dipengaruhi
8
Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. 1, h. 26-28.
9
Mohd. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. 1, h. 9.
10
tidak menyadari bahwa tingkahlakunya sebenarnya mematuhi keinginan
pemegang kekuasaan, dan ini juga disebut sebagai manipulasi.
Pengertian coercion ialah peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan
berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan
perilakunya yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi. Yand
dimaksud dengan force pula ialah penggunaan tekanan fisik seperti membatasi
kebebasan, menimbulkan rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan
biologis terhadap pihak lain agar melakukan sesuatu.11
Seterusnya, kekuasaan merupakan konsep yang berkaitan dengan perilaku.
Menurut Robert Dahl, A dikatakan memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat
mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu.12 Maksudnya apabila A
mempengaruhi B untuk melakukan sesuatau yang sesuai dengan kehendak B
maka maka hubungan ini tidak dapat diartikan sebagai kekuasaan. Walaupun
demikian, rumusan ko0nsep kekuasaan tersebut masih masih harus dilengkapi
karena tidak setiap orang, kelompok atau negara dapat mempengaruhi walaupun
memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, kekuasaan secara umum diartikan sebagai
“kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk
mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak tersebut berperilaku sesuai
11
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 57.
12
21
dengan kehendak pihak yang mempengaruhi”. Secara lebih sempit, kekuasaan
politik dapat dirumuskan sebagai “kemampuan menggunakan sumber-sumber
pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya atau
masyarakat pada umumnya”.13
Apabila mendefinisikan kekuasaan, ada ilmuwan yang menyebutnya
sebagai kewenangan, tapi pada hakikatnya kekuasaan tidak semestinya
kewenangan. Kewenangan adalah kekuasaaan, namun kekuasaan tidak selalu
berupa kewenangan. Kedua bentuk pengaruh ini dibedakan dalam keabsahannya.
Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power),
sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Apabila kekuasaan politik
dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik maka
kewenangan merupakan “hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan
politik”. Dalam hal ini, hak moral yang sesuai dengan nilai dan norma
masyarakat, termasuk peraturan perundang-undangan.14
Seterusnya, apabila membincangkan berkenaan konsep kekuasaan pasti
tidak dapat mengelak daripada menyebut perihal legitimasi. Seperti konsep
kekuasaan dan kewenangan, legitimasi juga merupakan hubungan antara
pemimpin dan yang dipimpin. Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap
13
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), cet. 6, h. 58.
14
masyarakat terhadap kewenangan. Artinya, apabila masyarakat menerima dan
mengakui hak moral peminpin utuk membuat dan melaksanakan keputusan yang
mengikat masyarakat maka kewenagan itu dikatakan sebagai berlegitimasi.
Maksudnya, legitimasi merupakan “penerimaan dan pengakuan masyarakat
terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan
keputusan politik”.
Hanya anggota masyarakat yang dapat memberikan legitimasi pada
kewenangan pemimpin yang memerintah. Pihak yang memerintah tidak dapat
legitimasi atas kewenangannya sendiri. Peminpin dapat mengklaim kewenangan
dan berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa kewenangannya sah, namun
hanya masyarakat yang dapat menentukan apakah kewenangan itu berlegitimasi
atau tidak.
Berdasarkan pengertian legitimasi, dapat dibedakan pengertian kekuasaan,
kewenangan, dan legitimasi. Apabila kekuasaan diartikan sebagai kemampuan
untuk menggunakan sumber-sumber untu mempengaruhi proses politik,
sedangkan kewenangan merupakan hak moral untuk menggunakan
sumber-sumber yang membuat dan melaksanakan keputusan politik (hak pemerintah),
maka legitimasi adalah “penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak
moral kewenangan”.
Walaupun ketiga-tiga komponen ini seakan-akan sama, masih ada
23
dipimpin pada kewenangan dan pada legitimasi. Pada legitimasi, hubungan itu
lebih ditentukan (dominan) pada pihak yang dipimpin karena penerimaan dan
pengakuan atas kewenangan hanya dapat berasal daripada pihak yang diperintah.
Pada kewenangan pula, hubungan itu lebih ditentukan oleh pemimpin karena
pihak yang berwenang untuk memerintah dapat memaksakan keputusannya
terhadap masyarakat (pihak yang diperintah) dan masyarakat wajib mentaati
kewenangan tersebut.15
B. Kepemimpinan Dan Kekuasaan Dalam Politik Islam
Apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah dari hukum-hukum
konstitusional dan etika-etika politik tinggi dianggap sesuatu yang wajib diikuti
[image:34.612.117.530.190.534.2]dalam pemerintahan Islam. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam membentuk
gambaran Islam untuk sebuah negara, tugas-tugasnya dan ciri khas sistem hukum
di dalamnya, juga spesialisasi kewenangan yang berada di dalamnya.
Prinsip-prinsip konstitusional ini dianggap seperti hak-hak Allah dalam
bidang politik karena sejauh mana hal itu dianggap sebagai hak umat Islam untuk
menuntut para penguasa agar menghormati prinsip-prinsip konstitusional atau
etika-etika politik ini dan agar bersedia turun dari jabatan politik mereka dalam
pemerintahan, sejauh itu pula hal tersebut menjadi kewajiban atas umat Islam
dengan kapasitasnya sebagai satu kelompok, dan juga kewajiban tiap-tiap orang
15
yang mampu dalam kapasitasnya sebagai individu masyarakat untuk memegang
erat prinsip-prinsip ini dan mengajak orang lain untuk memegangnya serta
mencari penyelesaian padanya.16
Secara bahasa kata politik Islam terdiri dari dua kata yaitu politik dan
Islam. Istilah politik di dalam literatur ketatanegaraan Islam dikenal dengan
istilah siyâsah yang berarti “cerdik atau bijaksana”.17 Siyâsah berasal dari kata
sâsa-yasûsu-siyâsatan, yang berarti “mengurus kepentingan seseorang”. Dalam
kamus al-Muhîth dikatakan: sustu al-ra’iyyata siyâsatan: amartuhâ wa nahaituhâ
(saya mengatur rakyat dengan mengunakan politik: Saya memerintah dan
melarangnya).18 Mengenai penjelasan kata siyâsah ini dapat ditemukan dalam
buku Fiqh Siyasah karangan Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, disebutkan
bahwa dikalangan para ahli fiqih siyasah terdapat tiga pendapat mengenai asal
kata siyâsah, yaitu:
1. Sebagaimana dianut Al-Maqrizi19, kata siyâsah berasal dari bahasa
Mongol yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris
kasrah diawalnya sehingga dibaca siyâsah. Pendapat tersebut didasarkan
kepada sebuah kitab undang-undang milik Genghis Khan yang berjudul
16
Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 1.
17Rifyal Ka’bah,
Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), cet. 1, h. 111.
18Muhammad bin Ya’qub
Al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995), h. 496.
19
25
Ilyasa yang berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk
hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu. Sepeninggal Genghis
Khan, kitab undang-undang tersebut diwariskan secara turun temurun
kepada anak-anaknya yang secara bergantian memimpin kerajaan Mughal
di India Persia, seperti umat Muslim generasi pertama mewarisi Al-Quran
dari Nabi Muhammad SAW. Setelah raja-raja India memeluk Islam, isi
kitab ilyasa itu kemudian dimodifikasi dengan memuat hal-hal yang
bersumber dari ajaran Islam, semisal penyerahan otoritas ibadah dan
kasus-kasus hukum yang bertalian dengan syariat Islam kepada qadhi
al-qudhat (hakim agung).
2. Sebagaimana dianut Ibnu Taghi Birdi20, siyâsah berasal dari campuran
tiga bahasa, yakni Bahasa Persia, Turki dan Mongol. Partikel si dalam
Bahasa Persia berarti 30. sedangkan yasa merupakan kosakata Bahasa
Turki dan Mongol yang berarti “larangan”, dan karena itu, ia dapat juga
dimaknai sebagai hukum dan aturan.
3. Semisal dianut Ibnu Manzhur21, siyâsah berasal dari Bahasa Arab, yakni
bentuk mashdar dari tashrifan kata sâsa-yasûsu-siyâsatan,22 yang semula
berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda.
20
Yusuf Abu Al-Mahasin Ibnu Taghi Birdi, seorang ahli sejarah pada zaman kerajaan Mamluk. Lahir pada tahun 1409 dan meninggal pada 1470.
21
Muhammad Ibnu Mukarram Ibnu Ali Ibnu Ahmad Ibnu Manzhur Ansari Ifriqi Al-Misri Al-Khazradschi Jamaladin Al-Fadl, lahir sekitar bulan Juni 1233. Beliau adalah penulis kitab Lisân al-‘Arab yang terkenal. Meninggal sekitar bulan Januari 1312.
22
Sejalan dengan makna yang disebut terakhir ini, seseorang yang
profesinya sebagai pemelihara kuda, dalam Bahasa Arab disebut sa’is.
Kata sa’is yang berarti memelihara kuda ini sekarang telah masuk
kedalam kosa kata Bahasa Inggeris yang ditulis menjadi syce. Dalam
literatur Yahudi juga ada penggunaan istilah yang agak mirip dengan
makna awal dari kata sasa itu yakni istilah sus, yang berarti kuda.23
Secara kasar, politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur urusan
umat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh
negara (pemerintah) maupun umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur
urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi
(muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya.24
Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para
ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami,
karena masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan
kepada para ulama untuk mengkaji setiap masa.25 Dalam hal ini Al-Quran dan
As-Sunnah tidak memberikan ketentuan yang pasti mengenai politik. Dalam
Al-Quran tidak ditemukan konsep tentang politik umat Islam untuk diaplikasikan
pada setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini ada, berarti Al-Quran
23
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), cet. 1, h. 2-4.
24
Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, (Bangil: Al-Izzah, 2004), cet. 2, h. 11.
25
27
menghambat dinamika perkembangan umat. Adalah suatu kebijaksanaan
Al-Quran untuk membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia sebagai suatu
kemampuan dan perkembangan zaman. Kendati demikian Al-Quran memberikan
prinsip-prinsip dasar bagi kehidupan bermasyarakat.26
Seterusnya, pelaksanaan negara menurut tuntutan Islam juga hampir
serupa dengan pelaksanaan shalat jamaah di mana ada pemimpin negara sebagai
imam, rakyat sebagai makmum, warga masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi
dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan
negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan
mungkar, dan lain-lain.27 Shalat jamaah juga mengenal koreksi terhadap imam
dan penggantian imam yang mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan
negara dalam sistem moderen. Sebagai agama yang menyeluruh, Islam tidak
hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dan khaliknya, tetapi juga
antara sesama manusia. Selama 23 tahun dakwah kenabian Muhammad SAW,
kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun
pertama, Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat
Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah.
26
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran ,(Jakarta: UI Press, 1993), h. 41.
27Rifyal Ka’bah,
Mengenai kepemimpinan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya
pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh Khulafaur Rasyidun, hal ini
dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak diangkat melalui suksesi melainkan
melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam Al-Quran, itupun sebagai
realisasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi, kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW sebagai kepala negara di Madinah adalah menyatu dengan
tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Allah SWT.28 Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi
Muhammad SAW wafat (632 M / 10 H) adalah perihal penggantinya. Semasa
hidupnya, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menunjuk siapa yang
akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk
tentang cara pengangkatan penggantinya (khalifah). Ketiadaan petunjuk ini
menimbulkan permasalahan dikalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad
SAW wafat sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri „terlantar’ oleh seputar pembicaraan
khalifah.29
Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang
muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah,
28
Ibid, h. 44.
29
29
yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala negara.30 Ibnu
Jamaah31 dalam menerangkan hak-hak pemimpin telah berkata bahwa seseorang
itu hendaklah mengetahui bahwa hak pemimpin adalah besar. Oleh sebab itu,
berinteraksilah dengannnya dengan menghormati dan memuliakannya. Firman
Allah SWT Q.S An-Nisa’ (4): 59
{
ََِإ ُاودُرَ ف ٍءْيَش ِِ ْمُ ْعَزاَنَ ا ْ ِ َف ْمُكْنِ ِرْ َأا ِِْوُأَو َلوُسَرلا اوُعيِطَأَو َ َللا اوُعيِطَأ اوُنَ آ َنيِ َلا اَه يَأ اَي
ًايِوْأَا ُنَسْ َأَو ٌرْ يَخ َكِلَذ ِرِخآا ِمْوَ يْلاَو ِ َللاِب َ وُنِ ْؤُ ا ْمُ نُك ْ ِإ ِلوُسَرلاَو ِ َللا
}
(
ءاسنلا
/
59
.)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S: An-Nisa’/ 4:59)
Dalam ayat ini, Allah SWT menyuruh manusia untuk taat kepada Allah,
rasul-Nya dan juga kepada para pemimpin dan penguasa. Akan tetapi jika para
penguasa bersikap zalim dan menyuruh kepada maksiat, maka ketika itu rakyat
harus merujuk kembali kepada Allah dan rasul-Nya. Seterusnya lagi, “Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)”, maka „kamu’ di dalam ayat ini adalah
30
Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), cet. I, h. 243.
31Badruddin Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Sa’dillah Ibnu Jamaah Ibnu Hazim Ibnu Shakr
umum, ditujukan juga kepada para penguasa dan pemimpin. Jika ada perselisihan
antara mereka, haruslah merujuk kepada Allah dan rasul-Nya. Yang dimaksudkan
dengan “Allah dan rasul-Nya” adalah Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pegangan
utama umat Islam.
Para ulama daripada kalangan pemimpin Islam menjunjung tinggi
kehormatan mereka dan mendengar suruhan mereka walaupun mereka bersifat
zuhud dan warak dan tidak mengimpikan kedudukan dan pangkat di dunia ini.
Sesungguhnya Allah menjadikan pemimpin itu sebagai benteng kepada yang
lemah daripada yang kuat dan kepada yang dizalimi daripada yang menzalimi.
Sekiranya tiada pemerhatian daripada Allah yang diwakilkan kepada pemimpin
ini nescaya tidak berlaku keamanan dan hilanglah hak asasi manusia, firman
Allah SWT Q.S Al-Baqarah (2): 251
{
ِ َللا ُعْفَد َاْوَلَو ُءاَشَي اَِِ ُ َمَلَعَو َ َمْكِْْاَو َكْلُمْلا ُ َللا ُااَاآَو َتوُلاَج ُدوُواَد َلَ َ قَو ِ َللا ِ ْذِ ِب ْمُ وُ َنَهَ ف
َ ِمَلاَعْلا َلَع ٍلْ َف وُذ َ َللا َنِكَلَو ُ ْرَأا ْتَدَسَ َل ٍ ْعَ ِب ْمُهَ ْعَ ب َساَنلا
}
(
ةر لا
/
251
.)
Artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia
31
1. Konsep Musyawarah Dalam Islam
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada
mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti
mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara
yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan
timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis.
Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan
kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang
dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung
kelemahan.32
32
Para ulama memberikan definisi kata musyawarah sesuai dengan disiplin
ilmu yang dimilikinya, antara lain:
a. Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq mendefinisikan musyawarah sebagai
“Eksplorasi pendapat orang-orang yang berpengalaman untuk mencapai
sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran”.33
b. Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari mengatakan musyawarah adalah
“Ekplorasi pendapat umat atau orang-orang yang mewakili mereka,
tentang persoalan-persoalan yang umum yang berkaitan dengan
kemaslahatan umum pula”. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa umat
mempunyai hak untuk diminta pendapatnya dalam memilih pemerintah
yang diinginkan mereka, dan hak untuk diminta pendapat dalam
memecahkan atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
penting. Dengan demikian, umat mempunyai hak untuk mengawasi,
mengkritik, meluruskan, dan mengemukakan mosi kepada pemerintah.34
c. Ibnu Al-Arabi mengatakan bahwa musyawarah adalah “Pertemuan guna
membahas permasalahan; masing-masing mereka saling bermusyawarah
dan mengemukakan pendapat yang dimiliki”.35
33
Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq, Al-Syuura Fi Zhilli Nidzham al-Hukm al-Islam, (Kuwait: Al-Dar Al-Salafiyyah, 1975), h. 14.
34
Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari, Al-Syuura Wa Atsaruha Fi Al-Dimuqrathiyyah, (Cairo: Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1981), h. 4.
35
33
d. Mahmud Muhammad Babbali mengemukakan bahwa musyawarah
merupakan “ Saling tukar menukar pendapat guna memperoleh yang
mendekati kebenaran; maka karena itu, musyawarah sekaligus merupakan
bentuk dari tolong menolong, saling menasihati, kemauan yang kuat untuk
menegakkan kebenaran dan tawakkal kepada Allah SWT”.36
e. Beliau juga mengatakan lagi, musyawarah adalah “Saling bertukar
pandangan atau pendapat dengan orang lain dalam satu tema tertentu
untuk sampai pada pendapat yang paling benar”.37
f. Ismail Al-Badawy mengatakan bahwa musyawarah adalah “usaha
menghasilkan kebenaran setelah eksplorasi terhadap pendapat-pendapat
orang lain”.38
Musyawarah termasuk perkara yang sistem dan batasannya tidak dibuat,
sebagai rahmat untuk manusia dan bukan karena lupa. Memberikan keleluasan
dan memberikan hak penuh kepada mereka untuk memilih apa yang bisa diterima
oleh akal dan dipahami oleh manusia, dan selama tujuannya adalah dasar
Musyawarah serta untuk menciptakan undang-undang yang adil yang
menyatukan rakyat bukan menceraikan dan mengadakan perpecahan dikalangan
mereka.
36
Mahmud Muhammad Babbali, Al-Syuura Suluk Wa Al-Iltizam, (Makkah: Maktabah Al-Tsaqafah, 1986), h. 19.
37
Ibid, h. 5.
38
Alasan Islam untuk tidak membuat satu sistem bagi Musyawarah sama
alasannya dengan alasan Islam tidak membuat satu sistem politik yang
merincikan hukum khilafah, untuk memberi kebebasan kepada umat untuk
membuat keputusan berdasarkan akal selagimana keputusan itu sesuai dengan
ketentuan syariat.
Abu Bakar RA selalu menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah
dengan para sahabat beliau. Apabila beliau dihadapkan dengan suatu
permasalahan dan permasalahan tersebut tidak dapat beliau temukan di dalam
Al-Quran dan As-Sunnah, maka beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.
Jika semua mereka semuanya sepakat atas satu keputusan berdasarkan
Musyawarah itu, beliau akan memutuskan permasalahan tersebut dengan
keputusan itu.39
Mayoritas ulama Islam dan pakar undang-undang konstitusional
meletakkan Musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional
yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah
ditetapkan oleh nash-nash Al-Quran dan hadis-hadis Nabawi. Oleh karena itu,
Musyawarah ini lazim dan tidak ada alasan bagi seorangpun untuk
meninggalkannya.40 Firman Allah SWT Q.S Ali Imran (3): 159
39
Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), cet. I, h. 78.
40
35
{
َ ِلِكَوَ ُمْلا بُُِ َ َللا َ ِإ ِ َللا َلَع ْلَكَوَ َ ف َتْ َنَع اَذِ َف ِرْ َأا ِِ ْمُ ْرِواَشَو ْمََُ ْرِ ْغَ ْساَو ْمُهْ نَع ُ ْعاَف
}
(
ارمع لآ
/
159
.)
Artinya: “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.” (Q.S: Ali Imran/ 3:159)
Dengan nash yang tegas ini, „dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu’, Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan
hingga Rasulullah SAW sendiri melakukannya. Ini adalah ketetapan yang pasti
dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa Musyawarah
merupakan prinsip dasar dan bahwa sistem pemerintahan berdasarkan Islam
ditegakkan atas prinsip ini.41
Dapat dipastikan bahwa pandangan yang terkuat dikalangan ulama tentang
hukum Musyawarah adalah wajib, diwajibkan atas para penguasa untuk meminta
pendapat rakyat dalam segala perkara umum. Musyawarah adalah kewajiban
yang diwajibkan atas para penguasa dan juga rakyat. Penguasa harus
bermusyawarah dalam setiap perkara pemerintahan, administrasi, politik, dan
pembuatan perundang-undangan. Juga dalam setiap hal yang menyangkut
kemaslahatan individual dan kemaslahatan umum. Rakyat juga harus memberikan
41
pendapatnya kepada penguasa dengan pendapat yang mereka anggap baik dalam
perkara-perkara di atas, baik penguasa meminta pendapat mereka ataupun tidak.42
Keengganan penguasa atau pemimpin untuk bermusyawarah dengan
orang lain dari orang-orang yang pantas untuk diminta pendapatnya dan hanya
berpegang dengan pendapatnya sendiri, dianggap suatu sikap diktator. Sikap
diktator membawa kepada kezaliman dan kezaliman membawa kepada kebencian
Allah SWT dan kegelapan pada hari kiamat. Allah SWT mengharamkan
rahmat-Nya atas diri penguasa atau pemimpin tersebut dan menjadikannya tersingkirkan
dikalangan rakyat. Sikap diktator ini sememangnya dilarang dalam Islam dan
pada hakikatnya adalah suatu pemaksaan dan ketakburan.43 Firman Allah SWT
Q.S Al-Ghaasyiyah (88): 22
{
ٍرِطْيَسُِِ ْمِهْيَلَع َتْسَل
}
(
يشاغلا
/
22
.)
Artinya: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Q.S:
Al-Ghaasyiyah/ 88:22)
Maksudnya adalah para penguasa dan pemimpin tidak berkuasa total
terhadap rakyatnya, jika mereka menyuruh kepada maksiat dan dosa maka rakyat
diberi hak untuk mengingkari mereka dan merujuk kepada Al-Quran dan
As-Sunnah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Al-Quran, surah An-Nisa’
ayat 59 seperti yang telah disebut.
42
Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, (Jakarta: AMZAH, 2005), cet. 1, h. 58.
43
37
Apabila seorang penguasa bermusyawarah dengan orang bawahannya
atau rakyatnya, sementara sebagian mereka menegurnya bahwa apa yang harus
diikuti adalah Al-Quran dan As-Sunnah maka ketika ini sang pemerintah harus
tunduk pada keduanya. Di sini seseorang tidak boleh taat kepada siapa pun untuk
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah,
meskipun dia berkedudukan tinggi dan mempunyai status sosial yang mapan di
dunia.
Apabila ada permasalahan yang diperselisihkan oleh umat, maka setiap
orang dari mereka mengeluarkan pendapatnya yang terarah dan tepat, mengacu
pada Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karenanya, setiap pendapat yang
mempunyai kesamaan dengan apa yang tertera dalam keduanya maka haruslah
diperhitungkan untuk dipakai.44
Konsep Musyawarah ini dapat dilihat pelaksanaanya dalam Ahlu al-Halli
Wa al-Aqdi atau Ahlu al-Ikhtiyar, yang banyak disebut oleh ulama-ulama fikih
dan tafsir di dalam kitab-kitab mereka.
2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Ikhtiyar
Penulis tidak menemukan baik di dalam Al-Quran atau As-Sunnah
sebutan atau spesifikasi apa yang dimaksudkan dengan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi
44
dan Ahlu al-Ikhtiyar ini. Tujuan Islam tidak membuat satu sistem khusus dan
tidak merinci-rincikannya agar rakyat ikut adil dalam perkara Musyawarah, dan
rincian partisipasi atau adilnya itu diserahkan kepada mereka. Perkara perincian
itu juga berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sosial kemasyarakatan di satu
masa dan satu tempat.
Istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli
tafsir dan ahli fikih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berbeda pendapat
seputar definisisi Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dan juga Ahlu al-Ikhtiyar. Imam
Al-Mawardi dan beberapa ulama lainnya menyebutnya dengan Ahlu al-Ikhtiyar,
yaitu “orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”.45 Dalam
hubungan ini, Dr. Abdul Karim Zaidan menyebut “Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi ialah
orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan
kepercayaan kepada mereka. Para rakyat menyetujui pendapat wakil-wakil itu
karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan
mereka dalam memeperjuangkan kepentingan rakyatnya”.
Paradigma pemikiran ulama fikih merumuskan istilah Ahlu al-Halli Wa
al-Aqdi didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang
dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan; Anshar dan
Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fikih diklaim sebagai Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi
yang bertindak sebagai wakil umat. Walaupun sesungguhnya pemilihan itu,
45
39
khususnya pemilihan Abu Bakar dan Ali lebih bersifat spontan atas dasar
tanggungjawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama, namun
keduanya mendapat pengakuan dari umat. Hanya Umar yang membentuk satu
kumpulan sahabat yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah
sesudah ia wafat.46
Adapun secara bahasa, istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi terdiri dari tiga
kalimat: 1- Ahlu, yang berarti orang yang berhak atau memiliki, 2- Halli, yang
berarti melepaskan, menyesuaikan, memecahkan, 3- Aqdi, yang berarti mengikat,
mengadakan, membentuk. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian
Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mengikut bahasa adalah "Orang-orang yang memiliki
pengetahuan (ahlinya), yang mampu melepaskan, menyesuaikan, memecahkan
permasalahan umat, menetapkan urusan-urusan umat dan mengadakan serta
membentuk sistem/peraturan”.47
Tentang bilangan keanggotaan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi sehingga
pengangkatan imam (khalifah) atau pembuatan ssesuatu keputusan oleh mereka
dianggap sah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Sekelompok ulama berpendapat, bahwa pemilihan i