• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio Molitor L) Sebagai Bahan Pakan Sumber Protein Pengganti Meat Bone Meal Pada Broiler

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio Molitor L) Sebagai Bahan Pakan Sumber Protein Pengganti Meat Bone Meal Pada Broiler"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KONSENTRAT PROTEIN ULAT HONGKONG

(

Tenebrio molitor L

) SEBAGAI BAHAN PAKAN SUMBER

PROTEIN PENGGANTI

MEAT BONE MEAL

PADA BROILER

YULI PURNAMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio molitor L) sebagai Bahan Pakan Sumber Protein Pengganti Meat Bone Meal pada Broiler adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

(4)

RINGKASAN

YULI PURNAMAWATI. Kajian Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio molitor L) sebagai Bahan Pakan Sumber Protein Pengganti Meat Bone Meal pada Broiler. Dibimbing oleh NAHROWI dan SUMIATI.

Bahan pakan untuk unggas masih banyak hasil impor, khususnya bahan pakan sumber protein seperti bungkil kedelai, tepung ikan dan meat bone meal (MBM). Tingginya harga tepung ikan berdampak pada penggunaan MBM yang merupakan produk 100% impor, sehingga diperlukan bahan alternatif lain yang berpotensi dan dapat menggantikan penggunaan MBM. Penggunaan serangga dibeberapa negara Eropa maupun Asia sudah banyak diaplikasikan tidak hanya sebagai pakan ternak, tetapi sudah mulai dikonsumsi manusia, salah satunya adalah ulat hongkong (Tenebrio molitor L). Ulat hongkong adalah larva dari kumbang beras yang memiliki nutrien cukup tinggi, seperti protein kasar 47.2-60.3% dan lemak 31.1-43.1%. Selain nutrien yang tinggi, ulat hongkong memiliki siklus hidup yang pendek dan mudah dalam memproduksinya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan ulat hongkong dalam pakan mampu memperbaiki performa ayam broiler dan tidak menimbulkan dampak negatif.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji ulat hongkong yang telah diekstrak lemaknya menjadi konsentrat protein sehingga dapat menjadi bahan pakan sumber protein pengganti meat bone meal yang mampu menghasilkan performa dan kualitas karkas ayam broiler. Penelitian ini menggunakan 2 perlakuan yaitu R0, pakan mengandung meat bone meal dan R1, pakan mengandung konsentrat protein ulat hongkong. Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu sifat fisik dan kimia konsentrat protein ulat hongkong, net protein utilization (NPU), performa (konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, konversi pakan dan mortalitas), persentase potongan komersil, meat bone ratio and persentase potongan non carcass ayam broiler.

Hasil penelitian menunjukkan konsentrat protein ulat hongkong memiliki ukuran partikel yang tergolong kasar dengan kandungan nutrien yang cukup tinggi seperti protein kasar 54.73%. Selain itu, konsentrat protein ulat hongkong mengandung asam amino lengkap dengan skor kimia sebesar 13.27% dan indeks asam amino esensial sebesar 20.18%. NPU konsentrat protein ulat hongkong sebesar 38.87%, lebih rendah bila dibandingkan NPU meat bone meal yaitu 57.68%.

Performa ayam broiler yang diberi konsentrat protein ulat hongkong cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan meat bone meal. Bobot badan akhir ayam broiler yang diberi ransum mengandung konsentrat protein ulat hongkong sebesar 1644.50 g/ekor dengan persentase dada 3.29% lebih tinggi dibandingkan penggunaan meat bone meal dalam ransum broiler.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan 5% konsentrat protein ulat hongkong dalam pakan broiler mampu menyamai penggunaan 5% meat bone meal dalam menghasilkan performa dan kualitas karkas khususnya persentase dada ayam broiler. Konsentrat protein ulat hongkong dapat direkomendasikan sebagai pengganti meat bone meal dalam pakan broiler

(5)

SUMMARY

YULI PURNAMAWATI. Study of Protein Concentrate of Mealworm (Tenebrio molitor L) as Feed Protein Source Substitution of Meat Bone Meal of Broiler. Supervised by NAHROWI and SUMIATI.

Feedstuff for poultry was mostly imported, especially feed protein sources such as soybean meal, fish meal and meat bone meal (MBM). High prices of the fish meal also responsible for increasing the demand of MBM. Meat bone meal 100% imported. Therefore it was essential to look for alternative MBM. The use of insects in some countries of Europe and Asia has been widely applied not only as animal feed, but also for human consumption, one of that is a mealworm (Tenebrio molitor L). Mealworm is the larva of the rice beetle, has a high nutrient, such as crude protein 47.2-60.3% and 31.1-43.1% fat. In addition to high nutrient, mealworm has a short life cycle and easy to produce. Some studies suggested that the use mealworm in the ration was able to improve the performance of broilers and did not cause negative impacts.

The purpose of this research was to study the extraction of mealworm fat to be a protein concentrate, so it can be used as feed protein source to replace meat bone meal which is capable of increasing the performance and carcass quality of broiler chickens. This study uses two treatments, they were R0 = ration containing 5% MBM and R1 = ration containing 5% protein concentrate of mealworm. The variables observed were the physical and chemical properties of protein concentrates of mealworm, net protein utilization (NPU), performance (feed intake, body weight, final body weight, feed conversion and mortality), the percentage of carcass traits, meat bone ratio and the percentage of noncarcass of broiler.

The results show that a protein concentrate of mealworm have a relatively coarse particle size and nutrient content was quite high as 54.73% crude protein. In addition, the protein concentrate of mealworm containing amino acid with a chemical score of 13.27% and the index of essential amino acids at 20.18%. NPU of protein concentrate of mealworm at 38.87%, lower than the NPU of meat bone meal was 57.68%.

The performance of broiler chickens with feed diet containing 5% protein concentrate of mealworm tend to be higher when compared with meat bone meal. Final body weight of broiler chickens was given feed containing protein concentrate of mealworm was 1644.50 g / bird with breast meat percentage 3.29% higher compared to the use of meat bone meal in broiler rations.

The conclusion of this study was protein concentrates of mealworm has similar quality with MBM to increase performance and carcass quality especially the percentage of broiler breast meat. Protein concentrate of mealworm can be recommended as a substitute for meat bone meal in broiler diet.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KAJIAN KONSENTRAT PROTEIN ULAT HONGKONG

(

Tenebrio molitor L

) SEBAGAI BAHAN PAKAN SUMBER

PROTEIN PENGGANTI

MEAT BONE MEAL

PADA BROILER

YULI PURNAMAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala nikmat dan karunia-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari karya ilmiah ini adalah Kajian Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio molitor L) sebagai Bahan Pakan Pengganti Meat Bone Meal pada Broiler. Tesis ini disusun dalam rangka penyelesaian studi Program Magister Sains (S2) pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan (INP) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Bagian dari tesis ini telah diseminarkan pada seminar interrnasional ke-3 ASEAN Regional Conference on Animal Production di Malang pada tanggal 19-21 Oktober 2016 dengan judul Effect of Subtitution of Meat Bone Meal with Protein Concentrate of Mealworm (Tenebrio molitor L) on Performance of Broiler.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Nahrowi MSc dan Prof Dr Ir Sumiati MSc selaku pembimbing tugas akhir yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, motivasi dan segala bentuk bantuan materi maupun moral sehingga penelitian tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Dra R Iis Arifiantini MS selaku moderator seminar dan Prof Dr Ir Erika Budiarti Laconi MS selaku penguji pada ujian tesis penulis atas saran dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan kesempatan sebagai penerima Beasiswa Tesis Dalam Negeri pada tahun 2016, juga kepada KEMDIKBUD karena telah memberikan kesempatan sebagai penerima Beasiswa Unggulan 2016. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih terdalam kepada Ayahanda Mulyono dan Ibunda Marhani yang selalu memberikan doa, kasih sayang, kesabaran, nasehat, bimbingan moral maupun materi yang tiada henti kepada penulis. Terima kasih kepada mas Dani, mas Wahyu, mbak Veni, Bayu dan semua keluarga besar atas dukungan doa dan semangatnya. Terima kasih kepada ibu Prof Dr Ir Yuli Retnani MSc sebagai ketua program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan beserta staf dan pegawai Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Pakan atas segala bantuan dan bimbingannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat dan teman-teman SINERGI 2014, INP 2014, INP 2015 dan Pondok Annisa atas doa dan dukungannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teknisi dan pegawai Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan atas kerjasama dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk masa depan.

Bogor, Februari 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 METODE 3

Waktu dan Lokasi 3

Alat 3

Bahan 3

Perlakuan Penelitian 4

Prosedur Percobaan 5

Prosedur Pengukuran Parameter 7

Peubah yang Diamati 11

Rancangan Percobaan dan Analisis Data 12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Sifat Fisik, Kimia dan Asam Amino Konsentrat Protein Ulat Hongkong

(Tenebrio molitor L) 12

Evaluasi Kualitas Protein pada Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio

molitor L) 15

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler 16 Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot dan Persentase Bagian Karkas Ayam

Broiler 18

Pengaruh Perlakuan terhadap Meat Bone Ratio Ayam Broiler 19 Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot dan Persentase Non Karkas Ayam Broiler

21

4 SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 26

(12)

DAFTAR TABEL

1. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan NPU. 4

2. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan (starter dan finisher) 5

3. Sifat fisik konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L) dan meat bone

meal 12

4. Kandungan asam amino konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L)

dan meat bone meal 14

5. Pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum ayam selama 17 hari perlakuan

NPU 15

6. Rataan N karkas, konsumsi N serta nilai NPU 16

7. Performa ayam broiler selama perlakuan (umur 1-35 hari) 17

8. Bobot dan persentase bagian karkas ayam broiler umur 35 hari 18

9. Meat Bone Ratio pada bagian dada dan paha ayam broiler 20

10.Bobot dan persentase non karkas ayam broiler umur 35 hari 21

DAFTAR GAMBAR

1. Proses Ekstraksi (Meeker dan Hamilton 2006) 6

2. Ulat Hongkong 6

3. Metode pengukuran sudut tumpukan (Khalil 1999) 8

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil T-test konsumsi ayam broiler umur 35 hari 27 2. Hasil T-test bobot badan akhir ayam broiler umur 35 hari 27

3. Hasil T-test PBB ayam broiler umur 35 hari 27

4. Hasil T-test FCR ayam broiler umur 35 hari 27

(13)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri peternakan saat ini terus mengalami peningkatan, karena masyarakat mulai sadar akan pentingnya sumber protein hewani seperti telur, susu dan daging. Salah satu sumber protein hewani yang cukup digemari oleh masyarakat di Indonesia adalah daging ayam. Daging ayam merupakan produk unggas yang mengandung nilai gizi dan daya cerna tinggi, serta mudah dalam pengolahan. Pada tahun 2012 konsumsi daging ayam di Indonesia mencapai 3.65 kg perkapita pertahun, meningkat menjadi 3.74 kg perkapita pertahun pada tahun 2013 dan pada tahun 2014 kosumsi daging ayam mencapai 4.13 kg perkapita pertahun (BPS 2015). Konsumsi ini akan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Akan tetapi, adanya kendala pakan yang dapat menghabiskan 70-80% dari total biaya produksi mengakibatkan produksi daging ayam kurang maksimal sehingga harganya sering berfluktuatif. Bahan pakan unggas umumnya masih impor, salah satunya bahan pakan sumber protein seperti tepung ikan, bungkil kedelai, dan meat bone meal (MBM). Tingginya harga tepung ikan akan berdampak pada penggunaan MBM yang tinggi dan MBM merupakan produk 100% impor dengan level penggunaan dalam ransum 4-6%. Indonesia dikenal sebagai negara agraris seharusnya mempunyai potensi besar dalam penyediaan bahan pakan lokal baik yang berasal dari tanaman maupun hewan sehingga ketersediaan pakan ternak terjamin dan biaya impor dapat dikurangi. Impor yang terus menerus tentunya akan mengurangi cadangan devisa negara dan menyebabkan industri nasional rentan terhadap gejolak kurs, serta jika tidak diatasi akan menjadikan ketergantungan negara kita terhadap negara lain.

Di Eropa serangga sudah banyak dipergunakan tidak hanya sebagai pakan ternak tetapi juga konsumsi manusia, sedangkan di Asia seperti Thailand produksi serangga sudah mulai banyak digunakan sebagai pakan ayam (Durst dan Hanboonsong 2015). Penelitian Siemianowska et al. (2013) menyebutkan bahwa serangga berpotensi sebagai sumber makanan yang bergizi tinggi bagi manusia dan ternak karena mengandung sumber protein yang cukup tinggi seperti yang terdapat pada ikan dan daging. Makkar et al. (2014) meninjau beberapa penelitian dengan produk serangga sebagai pakan dan menemukan 24 percobaan (17 dari Afrika, 4 dari Asia dan 3 dari Amerika Serikat) menggunakan larva lalat rumah (maggot meal) dan 9 penelitian dari India menggunakan silkworm, hasil menunjukkan bahwa tepung ikan, bungkil kedelai dan bungkil kacang tanah dapat digantikan hingga 100% dengan protein serangga.

(14)

2

mengandung nutrien yang cukup unggul meliputi protein, lemak dan karbohidrat. Kandungan nutrien ulat hongkong diantaranya protein kasar 47.2-60.3%, lemak kasar 31.1-43.1%, karbohidrat 7.4–15% dan abu 1.0–4.5% (Makkar et al. 2014).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kandungan protein kasar ulat hongkong sebesar 45.87 %, lebih tinggi 2.93% dari protein meat bone meal (MBM) (Purnamawati et al. 2016). Akan tetapi, penggunaan ulat hongkong yang terlalu tinggi dalam pakan ayam broiler mengakibatkan performa ayam menurun pada hasil penelitian sebelumnya. Hal ini terlihat dari penggunakan tepung ulat hongkong pada level 5% mengakibatkan performa ayam menurun, tetapi pada penggunaan 2.5% tepung ulat hongkong performa ayam broiler sama dengan penggunaan 5% MBM, begitu juga dengan hasil pengukuran energi metabolisnya. Energi metabolis ayam broiler dengan ransum 2.5% tepung ulat hongkong sebesar 3282 Kkal kg-1, sedangkan pada pakan 5% MBM 2988 Kkal kg-1 (Nahrowi et al. 2015). Hal tersebut diduga adanya kandungan kitin yang mengikat nutrien tepung ulat hongkong yaitu protein dan lemak, sehingga tidak termanfaatkan secara optimal.

Dilakukan sebuah uji coba pengekstraksian terhadap ulat hongkong yang menghasilkan lemak dan hasil samping berupa konsentrat protein karena mengandung protein kasar sebesar 54.73% dan serat kasar 8.85%. Amoo et al. (2006) menyatakan bahan pakan dapat dikatakan sebagai konsentrat protein jika nutrien selain protein telah dikeluarkan dan mengandung protein kasar lebih dari 20% dan rendah akan serat yaitu dibawah 18%.

Oleh sebab itu merujuk pada hasil tersebut diperlukan adanya teknologi pengolahan terlebih dahulu yaitu melalui proses ekstraksi pada ulat hongkong agar menghasilkan bahan pakan sumber protein hewani yang berkualitas dan mampu bersaing dengan pakan sumber protein lainnya, salah satunya yaitu meat bone meal (MBM).

Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan kimia dari konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L).

2. Menentukan nilai net protein utilization (NPU) konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L) pada ayam broiler.

3. Mengkaji konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L) sebagai bahan pakan sumber protein pengganti meat bone meal dalam menghasilkan performa dan daging ayam broiler yang berkualitas.

Manfaat Penelitian

(15)

3

2 METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016 sampai dengan September 2016. Pemeliharaan ayam dilakukan di Laboratorium Lapang (Kandang C), analisis kandungan nutrien dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan dan analisis karkas dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Unggas Fakultas Peternakan IPB.

Alat

Penelitian ini menggunakan kandang sistem litter beralaskan sekam padi. Kandang menggunakan tirai yang tidak tertutup sepenuhnya (saat suhu kandang melebihi batas normal penutup kandang dibuka) sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran udara dengan lancar dan ukuran kandang ini 1 m x 1 m sebanyak 23 petak. Kandang pada masing-masing petak dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan, tirai, sapu, thermohigrometer, brooder (pemanas), dan exhaust fan.

Bahan

Penelitian ini menggunakan DOC (Day Old Chick) broiler jantan dengan merk MB 202 (strain New Lohman) dari PT Japfa Comfeed Indonesia sebanyak 30 ekor untuk uji net protein utilization (NPU) yang terdiri atas 3 perlakuan dengan masing-masing 10 ekor broiler, sedangkan untuk feeding trial menggunakan 200 ekor yang dibagi ke dalam 2 perlakuan dan 10 ulangan, dimana setiap ulangan terdiri atas 10 ekor broiler. Ransum yang digunakan untuk pengukuran NPU adalah ransum yang disusun dari bahan-bahan yang terdiri atas tepung tapioka, tepung gula, DCP, minyak kelapa sawit, premix, meat bone meal dan konsentrat protein ulat hongkong. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk feeding trial adalah jagung, bungkil kedelai, dedak, meat bone meal, konsentrat protein ulat hongkong, CPO, CaCO3, premix, NaCl, L-Lysin dan DL-Methionin.

(16)

4

Perlakuan Penelitian

Perlakuan untuk pengukuran NPU adalah sebagai berikut. P0 : Pakan rendah protein kasar (PK)

P1 : Pakan dengan kandungan 10% protein kasar (PK) yang berasal dari meat bone meal

P2 : Pakan dengan kandungan 10% protein kasar (PK) yang berasal dari konsentrat protein ulat hongkong

Perlakuan untuk feeding trial adalah sebagai berikut. R0 : Pakan dengan 5% meat bone meal

R1 : Pakan dengan 5% konsentrat protein ulat hongkong

Tabel 1 Susunan dan kandungan nutrien pakan perlakuan NPU

Komposisi bahan Pakan rendah protein (P0)

Keterangan : P0 = pakan rendah protein, P1 = pakan dengan kandungan 10% protein dari meat bone meal, P2 = pakan dengan kandungan 10% protein dari konsentrat protein ulat hongkong

(17)

5 Tabel 2 Susunan dan kandungan nutrien pakan perlakuan (starter dan finisher)

Komposisi bahan Starter Finisher

R0 R1 R0 R1

Kandungan nutrien (hasil perhitungan) :

Bahan kering (%) 89.63 89.87 89.69 89.88

Keterangan : R0 = pakan dengan 5 % meat bone meal, R1 = pakan dengan 5 % konsentrat protein ulat hongkong

Prosedur Percobaan

Pembuatan konsentrat protein ulat hongkong

(18)

6

cukup tinggi. Hasil samping tersebut dikeringkan menggunakan oven bersuhu 60◦C atau dengan bantuan sinar matahari. Setelah kering, hasil samping tersebut digiling menjadi tepung.

Gambar 1 Proses Ekstraksi (Meeker dan Hamilton 2006)

Gambar 2 Ulat Hongkong Sumber : dokumentasi pribadi

Tahapan Pembuatan Pakan

Pembuatan pakan NPU tersusun dari bahan-bahan yang terdiri atas tepung tapioka, tepung gula, DCP, minyak kelapa sawit, premix, meat bone meal dan konsentrat protein ulat hongkong. Pemberian pakan tersebut dilakukan ketika ayam berumur 15 hari, sebelumnya ayam diberi pakan komersil (starter). Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk feeding trial adalah jagung, bungkil kedelai, dedak, meat bone meal, konsentrat protein ulat hongkong, CPO, CaCO3, premix, NaCl, L-Lysin dan DL-Methionin. Pakan tersebut diberikan sejak ayam periode starter sampai finisher. Penyusunan kebutuhan ransum ayam broiler berdasarkan Leeson dan Summer (2008).

Tahap Persiapan Pemeliharaan

(19)

7

Tahap Pelaksanaan Pemeliharaan

Pemberian pakan dan air minum dilakukan secara ad libitum sampai umur 35 hari. Jumlah pakan yang diberikan dan sisa pakan ditimbang setiap minggu untuk menentukan konsumsi pakan. Penimbangan bobot badan akan dilakukan setiap minggu untuk mengetahui bobot badan dan menghitung pertambahan bobot badan.

Prosedur Pengukuran Parameter

Pengukuran sifat fisik dan kimia

Hasil samping yang telah menjadi tepung atau dapat disebut konsentrat protein ulat hongkong, selanjutnya dianalisis sifak fisik dan kimia. Adapun uji sifat fisik terdiri atas kerapatan tumpukan (KT), kerapatan pemadatan tumpukan (KPT), berat jenis (BJ), sudut tumpukan (ST) dan ukuran partikel (UP). Perhitungan sifat fisik tersebut berdasarkan persamaan Khalil (1999).

1. Kerapatan Tumpukan

Bahan sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml, kemudian volumenya diukur untuk mengetahui besarnya kerapatan tumpukan. Perhitungan kerapatan tumpukan menggunakan persamaan Khalil (1999) dengan satuan yang dimodifikasi dari kg m-3 menjadi g L-1 :

Kerapatan tumpukan = volume yang ditempati L bobot bahan g

2. Kerapatan Pemadatan Tumpukan

Bahan dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml sebanyak 10 g dengan corong. Dilakukan proses pemadatan dengan cara menggoyang-goyangkan gelas ukur secara manual sampai volume tidak berubah lagi. Volume diukur setelah pemadatan. Kerapatan pemadatan tumpukan dihitung dengan persamaan Khalil (1999) :

Kerapatan tumpukan = volume ruang setelah dipadatkan Lbobot bahan g

3. Berat Jenis

Berat jenis diukur dengan menggunakan prinsip hukum Archimedes, yaitu dengan melihat perubahan volume aquades pada gelasukur 100 ml setelah dimasukkan bahan-bahan yang massanya 10 g ke dalam gelas ukur 100 ml yang berisi aquades 70 ml, kemudian dilakukan pengadukan untuk mempercepat jalannya udara antar partikel bahan selama pengukuran. Perhitungan berat jenis menggunakan persamaan Khalil (1999) dengan satuan yang dimodifikasi dari g ml-1 menjadi kg l-1 :

(20)

8

4. Ukuran Partikel

Ukuran partikel diukur menggunakan teknik Ukuran partikel diukur dengan menggunakan teknik yang digunakan dalam menentukan derajat kehalusan (Modulus of Finenes), derajat keseragaman (Modulus of Uniformity) dan ukuran partikel suatu bahan yaitu menggunakan vibrator ball mill nomor sieve 4, 8, 16, 30, 50, 100, dan 400. Bahan ditimbang sebanyak 500 g lalu diletakkan pada sieve teratas lalu dilakukan penyaringan bahan yang tertinggal pada tiap ayakan dengan cara digetarkan. Derajat kehalusan (Modulus of Finenes/MF) bahan diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara persentase bahan yang tertinggal di sieve dengan nomor perjanjian/nomor sieve, sesuai dengan persamaan menurut Khalil (1999) :

Derajat kehalusan (Modulus of Finenes)

�� = Σ %bahan tertinggal pada tiap mesh x No perjanjian

Ukuran partikel rata-rata

= 0.0041 x 2MF x 2.54 cm x 10 mm Derajat keseragaman (Modulus of Uniformity)

�� = Σ % + + : Σ % + : Σ % + +

5. Sudut Tumpukan

Sudut tumpukan diukur dengan cara menjatuhkan bahan sebanyak 500 g pada ketinggian 15 cm menggunakan corong pada bidang datar. Sudut tumpukan bahan diketahui dengan mengukur diameter dasar (d) dan tinggi (t) tumpukan. Sudut tumpukan dinyatakan dalam satuan derajat (°). Perhitungan sudut tumpukan diperoleh dengan persamaan Khalil (1999) :

Gambar 3 Metode pengukuran sudut tumpukan (Khalil 1999)

tg α = . × Keterangan :

t = tinggi (cm) d = diameter (cm)

(21)

9 Kandungan protein kasar dianalisis dengan metode Kjehdahl yang didasarkan pada prinsip pengukuran jumlah N dalam sampel (AOAC) (2005). Kandungan lemak dianalisis dengan metode Soxhlet dan kandungan serat kasar dianalisa dengan alat Heater Extract (AOAC) (2005). Pengukuran pepsin digestibility dianalisis secara in vitro berdasarkan metode AOAC (2005) yaitu sampel dicampur dengan pepsin 0.2% dan HCL 0.075 N, kemudian dimasukkan ke dalam shaker bath bersuhu 45◦C selama 16 jam. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas whatman 41 dan dianalisis proteinnya dengan metode Kjehdahl (protein tidak tercerna).

% Pepsin Digestible Protein

= % N protein kasar − % N protein tidak tercerna% N protein kasar

% Pepsin digestibility = % protein kasar ×% PDP

Pengukuran asam amino menggunakan High Performance Liquid Chromatograpy (HPLC). Hasil asam amino yang didapat, kemudian dihitung skor kimia dan IAAE berdasarkan McDonald et al. (2002).

Skor kimia = asam amino telur − asam amino ujiasam amino telur × %

IAAE = (A/Ae x B/Be x C/Ce x ... x J/Je)1/n Keterangan :

A, B, C...,J : Konsentrasi (g kg-1) asam amino esensial tepung ulat hongkong Ae,Be, Ce..,Je : Konsentrasi (g kg-1) asam amino esensial yang sama terdapat dalam telur.

n : jumlah asam amino esensial yang dihitung.

Pengukuran net protein utilization (NPU)

Peubah yang diamati adalah NPU (Net Protein Utilization) menurut Leeson dan Summers (2008), dengan menggunakan rumus :

NPU =Bf − Bk if × Keterangan:

Bf = N karkas pada ayam yang diberi makan ransum uji (g) Bk = N karkas pada ayam yang diberi makan ransum bebas N (g) If = Konsumsi N dari ayam yang makan ransum uji (g)

Performa Ayam Broiler

a. Konsumsi ransum (g ekor-1)

(22)

10

Rataan konsumsi ransum (g ekor- )=ransum yang diberikan -ransum sisa

jumlah ayam

b. Bobot badan akhir (g ekor-1)

Bobot badan akhir diukur pada saat akhir pemeliharaan ayam broiler pada umur 35 hari.

c. Pertambahan bobot badan (g ekor-1)

Pertambahan bobot badan (PBB) diperoleh dari hasil perhitungan antara bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal. Bobot badan diukur seminggu sekali.

PBB (g ekor-1)=jumlah bobot badan akhirjumlah ayam yang ditimbang-bobot badan awal

d. Konversi ransum

Konversi Ransum dihitung dari perbandingan antara rataan konsumsi ransum dengan rataan pertambahan bobot badan.

Konversi ransum=pertambaan bobot badan (g)rataan konsumsi ransum (g

e. Mortalitas (%)

Mortalitas % =jumlah ayam yang dipelihara saat awal penelitianjumlah ayam yang mati selama penelitian ×100%

Persentase potongan karkas

Pengukuran potongan karkas dilakukan dengan cara ayam broiler yang telah dipotong (disembelih), dibersihkan dari bulu kemudian dipisahkan bagian-bagian karkasnya dan ditimbang. Peubah yang diamati pada pengukuran potongan karkas adalah bobot hidup, bobot karkas, bobot dada, bobot paha, bobot sayap, dan bobot punggung. Bobot hidup akhir diperoleh dengan penimbangan bobot badan ayam umur 35 hari sebelum dipotong atau disembelih (g ekor-1), sedangkan bobot karkas diperoleh dari ayam yang telah disembelih tanpa bulu, darah, organ dalam, kepala dan kaki (g ekor-1).

Bobot dada diperoleh dengan cara menimbang bagian karkas yang diambil pada daerah scapula sampai bagian tulang dada (g). Persentase bobot dada terhadap berat karkas diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Bobot dada (%) =

k k × %

Selain bobot dada, juga dihitung Meat bone ratio bagian dada,yaitu perbandingan banyaknya daging dada yang dihasilkan pada setiap satuan tulang dada.

Bobot paha diperoleh dengan cara menimbang bagian karkas yang diambil pada daerah tulang paha sampai bagian persendian pinggul (g). Persentase bobot paha terhadap berat karkas diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Bobot paha (%) =

(23)

11

Meat bone ratio bagian paha merupakan perbandingan banyaknya daging paha yang dihasilkan pada setiap satuan tulang paha.

Bobot punggung diperoleh dengan cara menimbang bagian karkas yang diambil pada daerah tulang belakang sampai tulang panggul (g). Persentase bobot punggung terhadap berat karkas diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Bobot punggung (%) =

k k × %

Bobot sayap diperoleh dengan cara menimbang bagian karkas yang diambil pada daerah persendian antara lengan atas dengan scapula (g). Persentase bobot sayap terhadap berat karkas diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Bobot sayap (%) = y

k k × %

Persentase bobot non karkas

Bagian non karkas pada ayam broiler terdiri atas kepala dan leher, kaki, darah dan bulu. Pengukuran dilakukan dengan cara bagian-bagian tersebut dipisahkan kemudian ditimbang dan dihitung persentasenya. Bobot kepala dan leher diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Bobot kepala dan leher (%) = ℎ � �

� � × %

Bobot kaki ayam broiler diperoleh dengan cara menimbang bobot kedua kaki ayam yang sudah terpisah dari karkasnya (g). Persentase bobot kaki diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Bobot kaki (%) = � �

� � × %

Bobot darah diperoleh dengan cara mencari selisih antara bobot ayam hidup dan bobot ayam setelah dipotong (g). Persentase darah diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Bobot darah (%) = � ℎ �

� � × %

Bobot bulu diperoleh dengan cara mencari selisih bobot ayam setelah dipotong masih ada bulu dengan bobot ayam yang sudah dipisahkan bulunya (g). Persentase bulu diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Bobot bulu (%) = �

� � × %

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi : 1. Pengukuran sifat fisik dan kimia

(24)

12

3. Performa ayam broiler : konsumsi pakan, bobot badan (BB), pertambahan bobot badan (PBB), konversi pakan dan mortalitas

4. Bobot dan persentase potongan karkas (dada, paha, sayap dan punggung) ayam broiler umur 35 hari dan meat bone ratio

5. Bobot dan persentase potongan non karkas (darah, bulu, kepala dan kaki) ayam broiler umur 35 hari .

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Hasil analisis tersebut kemudian dibandingkan dan diolah dengan uji independent T-test menggunakan program SPSS untuk mengetahui hasilnya berbeda nyata atau tidak. Hasil T-test dengan 2 perlakuan dan 10 ulangan (Steel dan Torrie 1993).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik, Kimia dan Asam Amino Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio molitor L)

Konsentrat protein ulat hongkong dihasilkan dari ulat hongkong segar yang telah diambil lemaknya melalui proses pemanasan (pengukusan) dan penekanan (pressuring). Sifat fisik konsentrat protein ulat hongkong dapat dilihat pada Tabel 3. Sifat fisik penting untuk diketahui karena merupakan sifat dasar dari suatu bahan yang akan berpengaruh terhadap proses pembuatan pakan. Pengujian sifat fisik terdiri atas kerapatan tumpukan (KT), kerapatan pemadatan tumpukan (KPT), berat jenis (BJ), sudut tumpukan (ST) dan ukuran partikel (UP).

Tabel 3 Sifat fisik dan kimia konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L) dan meat bone meal

Parameter Konsentrat Protein Ulat Hongkong

Keterangan : KT = kerapatan tumpukan, KPT = kerapatan pemadatan tumpukan, BJ = berat jenis, ST = sudut tumpukan, UP = ukuran partikel, PK = protein kasar, SK = serat kasar, LK = lemak kasar.

*Hasil analisis Laboratorium Ilmu Teknologi Pakan (2016)

(25)

13 menunjukkan bahwa protein konsentrat ulat hongkong lebih voluminus dibandingkan meat bone meal (MBM). Kerapatan tumpukan berpengaruh terhadap laju alir dan daya campur, sama halnya dengan berat jenis. Kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan pada dasarnya sama, hanya proses pemadatannya yang berbeda. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan makanan yang berbentuk bubuk umumnya antara 0.3-0.8 g/cm3 atau 300-800 g/L (Wirakartakusumah et al.1992). Selain itu dapat dilihat juga dari besarnya sudut tumpukan dan berat jenis, dimana sudut tumpukan konsentrat protein ulat hongkong 8.2% lebih besar dari meat bone meal dan berat jenis konsentrat protein ulat hongkong yang lebih rendah, menandakan konsentrat protein ulat hongkong lebih bergerak bebas. Hal ini dikarenakan tubuh ulat hongkong diselimuti oleh kulit luar (eksoskeleton) yang ringan dan banyak mengandung serat berupa kitin, yaitu protein berserat tak larut air (Klunder et al. 2012). Hal tersebut juga terlihat dari kandungan nutriennya, dimana konsentrat protein ulat hongkong mengandung serat dan protein kasar yang lebih besar, yaitu 8.85% dan 54.73%, sedangkan meat bone meal sebesar 5.79% dan 52.31%. Hao et al. (2015) menyatakan bahwa kerapatan tumpukan atau bulk density berkorelasi negatif terhadap serat kasar, dimana setiap peningkatan kerapatan tumpukan akan menurunkan kadar serat kasar. Selain protein kasar dan serat kasar, ternyata konsentrat protein ulat hongkong mengandung lemak yang lebih tinggi dari meat bone meal, menandakan bahwa di dalam konsentrat protein ulat hongkong tidak murni protein, tetapi masih ada nutrien lain yang terkandung.

Ukuran partikel konsentrat protein ulat hongkong berdasarkan derajat keseragaman (Modulus of Uniformity) termasuk dalam kategori kasar. Fasina dan Sokhansaj (1993) menyatakan bahwa kategori ukuran partikel suatu bahan terdiri dari halus apabila ukuran partikelnya 0.10–0.78 mm, kategori sedang apabila ukuran partikelnya lebih besar 0.78 –1.79 mm dan kategori kasar apabila ukuran partikelnya lebih besar dari 1.79–13.33 mm. Pakan dengan ukuran partikel kasar akan tersimpan di gizzard sampai ukuran mengecil dan dapat masuk ke saluran duodenum (Safaa et al. 2009). Ukuran partikel tergantung dari proses penggilingan dan berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran bahan pakan yang berkorelasi terhadap daya rekat saat dicampur dan diolah menjadi pakan, sama halnya dengan berat jenis.

Selain uji sifat fisik, kualitas bahan pakan dapat diuji secara kimia. Pengukuran kualitas suatu bahan pakan seharusnya tidak hanya sampai batas makro nutrien saja, tetapi juga secara mikro nutrien, salah satunya adalah kandungan asam amino. Mutu protein suatu bahan dapat dilihat dari jenis dan kandungan asam aminonya. Asam amino merupakan molekul-molekul penyusun protein yang sangat penting dalam pembentukan tubuh. Asam amino yang terkandung dalam konsentrat protein ulat hongkong dapat dilihat pada Tabel 4.

(26)

14

terendah yaitu histidin. Ayam membutuhkan asam amino esensial dan sejumlah asam amino nonesensial untuk mensintesis protein. Ayam yang diberi pakan rendah protein perkembangannya akan kurang maksimal dan tidak akan terjadi deposisi lemak (Pesti 2009).

Tabel 4 Kandungan asam amino konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L) dan meat bone meal

Asam amino Konsentrat Protein

Hasil analisis Laboratorium Ilmu Teknologi Pakan (2016),2) Leeson dan Summers (2008) 3) Hasil perhitungan berdasarkan kandungan asam amino,4) Hasil perhitungan

Salah satu cara mengukur kualitas protein adalah dengan menghitung skor kimia dan Indeks Asam Amino Esensial (IAAE). Skor kimia diperoleh dengan cara membandingkan kandungan asam amino esensial dalam protein suatu bahan pakan uji dengan asam amino esensial standar yang terdapat pada protein telur. Telur mengandung asam amino esensial yang paling seimbang dan memiliki skor kima 100, sehingga dijadikan sebagai standar. Pada metode skor kimia, kualitas protein ditentukan oleh asam amino yang paling rendah (defisiensi asam amino paling besar) dalam bahan pakan uji yang dibandingkan dengan asam amino standar (telur). Asam amino paling defisien merupakan asam amino pembatas. Asam amino paling defisien pada konsentrat protein ulat hongkong adalah phenilalanin, yaitu sebesar 86.73%, sehingga skor kimia yang diperoleh sebesar 13.27%. Skor kimia konsentrat protein ulat hongkong lebih rendah bila dibandingkan dengan meat bone meal yaitu sebesar 16.55% dan defisien pada asam amino treonin. Phenilalanin dan treonin termasuk ke dalam lima asam amino esensial pada unggas, selain metionin, lisin, thryptopan. Metionin dan lisin sering ditambahkan di dalam ransum unggas karena pakan unggas banyak menggunakan bahan pakan nabati seperti jagung, dedak padi dan bungkil kedelai. Bahan pakan yang berasal dari nabati defisien akan asam amino lisin dan metionin.

(27)

15 asam amino esensial konsentrat protein ulat hongkong adalah sebesar 20.18%, lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai IAAE meat bone meal yaitu sebesar 25.39%. Nilai IAAE yang tinggi menunjukkan kualitas protein yang baik. Besarnya skor kimia dan nilai IAAE pada meat bone meal dikarenakan bahan dasar meat bone meal yang berasal dari daging yang merupakan sumber protein hewani yang mengandung asam amino lengkap dan seimbang.

Evaluasi Kualitas Protein pada Konsentrat Protein Ulat Hongkong (Tenebrio molitor L)

Pengukuran nilai biologi protein pada ayam cukup sulit dilakukan karena urin dan feses yang menjadi satu, atau disebut ekskreta. Net Protein Utilization (NPU) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas protein suatu bahan pakan dengan menghitung selisih antara kandungan nitrogen pada karkas ayam broiler yang diberi pakan uji dengan nitrogen karkas ayam yang diberi pakan bebas atau rendah protein, kemudian dibandingkan dengan konsumsi nitrogen ayam yang diberi pakan uji (Leeson dan Summer 2001). Pakan bebas protein diujikan untuk melihat pertumbuhan ayam broiler tanpa adanya kandungan protein di dalam pakan, namun sulit dilakukan karena bahan yang digunakan masih mengandung protein sehingga diganti dengan pakan sangatrendah protein. Kemudian dibandingkan dengan pertumbuhan ayam broiler yang diberi pakan mengandung 10% protein yang berasal dari bahan pakan uji. Protein yang yang digunakan hanya 10% karena sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, tetapi tidak akan cukup bila untuk produksi.Pertambahan bobot badan (PBB) dan konsumsi ayam perlakuan NPU dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum ayam selama 17 hari

Keterangan : P0 = pakan rendah protein, P1 = pakan dengan kandungan 10% protein dari meat bone meal, P2 = pakan dengan kandungan 10% protein dari konsentrat protein ulat hongkong

(28)

16

perlakuan P1 rata-rata sebesar 41.99 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi ayam perlakuan P2 sebesar 20.78 g/ekor/hari. Rendahnya konsumsi ayam perlakuan P2 dibandingkan P1 dikarenakan palatabilitas ayam pada perlakuan P2 yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari perilaku ayam yang pada awalnya tidak mau makan, kemudian perlahan mulai makan tetapi tidak banyak, berbeda dengan perlakuan P1 dimana ayam tetap makan sejak pakan perlakuan diberikan. Palatabilitas pada ternak umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu perbedaan visual (warna), tekstur, aroma dan rasa (Amerah dan Ravindran 2008).

Tabel 6 Rataan N karkas, konsumsi N serta nilai NPU

N-Karkas

Keterangan : P0 = pakan rendah protein, P1 = pakan dengan kandungan 10% protein dari meat bone meal, P2 = pakan dengan kandungan 10% protein dari konsentrat protein ulat hongkong

Ayam broiler dapat tumbuh dengan cepat dan maksimal karena adanya kandungan protein atau asam amino yang tinggi dalam ransum (Farkhoy et al. 2012). Menurut Muchtadi (1993) penambahan atau peningkatan massa otot terjadi apabila protein tersedia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan hidup pokok.

Rata-rata nilai NPU meat bone meal (P1) dan NPU konsentrat protein ulat hongkong (P2) dapat dilihat pada Tabel 6. Besarnya konsumsi pakan berpengaruh terhadap banyaknya nutrien yang terserap tubuh. Konsumsi ayam perlakuan P1 lebih besar dibandingkan P0 dan P2, sehingga peluang nitrogen yang terserap dan teretensi di dalam tubuh juga besar. Dorigam et al. (2016) menyatakan bahwa besarnya nitrogen yang teretensi dalam tubuh (NR) tergantung dari besarnya intake nitrogen. Hal ini terbukti dari hasil penelitian dimana nitrogen yang terkandung dalam karkas ayam broiler perlakuan P1 lebih banyak dibandingkan P0 dan P2, mengakibatkan nilai NPU perlakuan P1 lebih besar dibandingkan perlakuan P2, yaitu sebesar 57.7%, sedangkan nilai NPU P2 sebesar 38.9%. Rendahnya nilai NPU P2 disebabkan juga oleh skor kimia dan IAAE konsentrat protein ulat hongkong yang lebih rendah dibandingkan dengan meat bone meal, karena asam amino merupakan indikator penentu kualitas protein dimana protein dibentuk dari beberapa asam amino. Tetapi, nilai NPU konsentrat protein ulat hongkong dalam penelitian ini lebih tinggi dari NPU meat bone meal hasil penelitian Hegedüs et al. (1983), dimana nilai NPU untuk meat and bone meal yang diujikan pada tikus yaitu sebesar 29.10% dan blood meal sebesar 8.50%.

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler

(29)

17 Tabel 7 Performa ayam broiler selama perlakuan (umur 1-35 hari)

Peubah

Perlakuan

R0

R1 Konsumsi pakan (g ekor-1) 2804.94±126.37 2846.84±131.60 Bobot badan awal

(hari ke-1)(g ekor-1) 46.73±1.46 46.70±1.24

Bobot badan akhir

(hari ke-35)(g ekor-1) 1596.40±97.80 1644.50±76.95 Pertambahan bobot badan

(g ekor-1) 1549.68±98.02 1597.78±76.93

Konversi pakan 1.81±0.06 1.78±0.06

Mortalitas (%) 0.67 0.67

Keterangan : R0 = pakan dengan 5 % meat bone meal, R1 = pakan dengan 5 % konsentrat protein ulat hongkong

Angka konsumsi ransum broiler pada perlakuan konsentrat protein ulat hongkong (R1) lebih tinggi bila dibandingkan R0. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan konsentrat protein ulat hongkong yang telah dicampur dengan bahan pakan unggas lainnya menjadi pakan broiler tidak memengaruhi palatabilitas ayam broiler. Berbeda dengan perlakuan NPU, di mana pakan hanya mengandung protein yang berasal dari satu sumber yaitu konsentrat protein ulat hongkong. Rata-rata konsumsi ransum pada penelitian ini berkisar 2804.94–2847.84 g ekor-1. Konsumsi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi ransum ayam broiler strain Lohman umur 35 hari yang diproduksi oleh PT Japfa Comfeed Indonesia, yaitu 2934 g ekor-1 dengan bobot badan akhir 1839 g ekor-1.

Bobot badan akhir ayam broiler selama perlakuan berkisar 1596.40-1644.50 g ekor-1. Penggunaan konsentrat protein ulat hongkong pada ransum juga cenderung menghasilkan bobot badan akhir 3% lebih tinggi dibandingkan perlakuan meat bone meal. Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum perlakuan R1 lebih tinggi, sehingga nutrien yang terserap sedikit lebih banyak. Konsumsi protein pada broiler R1 sebesar 551.80 g ekor-1, sedangkan konsumsi protein R0 sebesar 543.93 g ekor -1. Berbeda dengan hasil perlakuan NPU, di mana perlakuan konsentrat protein ulat hongkong lebih rendah bila dibandingkan dengan meat bone meal, hal ini dikarenakan pada perlakuan feeding trial sumber protein tidak hanya berasal dari konsentrat protein ulat hongkong, tetapi juga dari bahan pakan lain seperti bungkil kedelai, dan protein dalam pakan lebih tinggi yaitu 22% pada fase starter dan 18% pada fase finisher, sehingga nilai negatifnya tidak terlihat. Selain itu, untuk pembentukan performa pada ayam broiler tidak hanya protein saja yang dibutuhkan, tetapi sumber energi, serat, mineral dan vitamin juga diperlukan untuk menyongkong pertumbuhan.

(30)

18

perbandingan antara pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan. Konversi pakan broiler pada penelitian ini berkisar 1.78 – 1.81. Konversi pakan broiler perlakuan R1 cenderung lebih baik dibandingkan R0. Hal ini menunjukkan penggunaan konsentrat protein ulat hongkong lebih efisien. Konversi pakan dipengaruhi oleh komposisi pakan, efisiensi retensi energi, energi metabolis tubuh dan pemakaian energi untuk kebutuhan pokok (Romero et al. 2011).

Mortalitas pada penelitian ini disebabkan karena suhu lingkungan yang kurang sesuai. Broiler ditemukan mati pada siang hari dengan kondisi terlentang, menandakan ternak mengalami heat shock. Hal ini juga terlihat dari suhu kandang yang terlalu tinggi yaitu berkisar 26 - 31◦C pada fase finisher. Borges et al. (2004) melaporkan bahwa suhu kandang broiler yang baik adalah 29-35◦C pada fase starter dan 20-25◦C pada fase finisher.

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot dan Persentase Bagian Karkas Ayam Broiler

Bobot dan persentase bagian karkas ayam broiler yang diberi perlakuan konsentrat protein ulat hongkong disajikan pada Tabel 8. Bagian karkas yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari dada, paha, punggung dan sayap. Penggunaan konsentrat protein ulat hongkong pada ransum broiler memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap bobot dan persentase paha, punggung dan sayap, tetapi berbeda nyata (P<0.05) meningkatkan persentase dada ayam broiler.

Tabel 8 Bobot dan persentase bagian karkas ayam broiler umur 35 hari

Peubah Perlakuan

R0 R1

Bobot potong (g) 1706.70±70.19 1780.75±85.68

Bobot karkas (g) 1154.20±63.15 1190.60±72.15

(%) 67.62±2.20 66.89±3.27

Dada (g) 403.30±35.82 429.60±36.64

(%) 34.91±1.85b 36.06±1.65a

Paha (g) 354.70±23.11 365.80±18.95

(%) 30.77±1.99 30.77±1.35

Punggung (g) 270.20±28.74 270.28±30.03

(%) 23.38±1.82 22.67±2.13

Sayap (g) 124.89±5.95 124.60±4.47

(%) 10.94±0.77 10.50±0.72

Keterangan : R0 = pakan dengan 5 % meat bone meal, R1 = pakan dengan 5 % konsentrat protein ulat hongkong; Angka pada baris yang sama dan diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

(31)

19 pemberian pakan komersil terhadap ayam broiler selama 35 hari yaitu diperoleh persentase karkas sebesar 64.47–70.50%, sedangkan penelitian Sibarani et al. (2014) persentase karkas ayam broiler Lohman jantan sebesar 64.6%.

Konsentrat protein ulat hongkong (R1) pada ransum broiler memberikan pengaruh yang lebih baik bila dibandingkan dengan meat bone meal. Hal ini terlihat dari persentase dada yang 3.29% lebih tinggi (P<0.05). Potongan komersil dada merupakan bagian yang banyak mengandung jaringan otot sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi oleh protein, khususnya asam amino dan dalam kondisi lingkungan yang baik persentase dada ayam broiler berkisar 35% (Tatli et al. 2007). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana konsumsi protein pada R1 sedikit lebih tinggi yaitu 551.80 g ekor-1 dengan konsumsi lisin sebesar 33.22 g ekor-1, sedangkan konsumsi protein R0 yaitu 543.93 g ekor-1 dengan konsumsi lisin sebesar 30.79 g ekor-1.

Konsentrasi protein dan asam amino dalam pakan ayam broiler memberikan pengaruh yang besar terhadap daging. Asam amino penting untuk perkembangan otot dan salah satu asam amino yang banyak terkandung dalam daging ayam broiler adalah lisin. Kidd et al. (1998) menyatakan bahwa kebutuhan lisin untuk daging bagian dada ayam broiler lebih tinggi dibandingkan untuk pertumbuhan. Persentase dada ayam broiler dapat tercapai maksimum dengan lisin sebesar 1.25% pada fase starter dan 1.06% pada fase finisher (49 hari). Lisin dianggap sebagai asam amino inert dengan kecepatan degradasi yang rendah (Leeson dan Summers 2001). Konsentrat protein ulat hongkong mengandung lisin sebesar 1.88% dengan kecernaan pepsin sebesar 80.12%, sedangkan meat bone meal mengandung lisin sebesar 1.82% dengan kecernaan pepsin sebesar 77.96%.

Penggunaan konsentrat protein ulat hongkong pada ransum broiler menghasilkan persentase paha relatif sama dengan penggunaan meat bone meal yaitu 30.77%. Persentase punggung dan sayap perlakuan meat bone meal (R0) sedikit lebih besar dibandingkan R1. Punggung dan sayap ayam merupakan bagian yang didominasi oleh adanya tulang sebagai kerangka tubuh. Tulang merupakan jaringan penyokong utama tubuh yang strukturnya disusun oleh unsur organik dan anorganik. Unsur organik terdiri dari protein, sedangkan unsur anorganik yaitu sumber mineral, seperti kalsium dan fosfor. Meat bone meal selain mengandung protein, juga mengandung Ca dan P dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan Ca dan P pada meat bone meal berkisar 7.1 – 11.8 % dan 3.7- 6.0 % (Anwar et al. 2015), sedangkan pada ulat hongkong lebih rendah yaitu 2.7% dan 7.3% (Finke 2002). Persentase punggung dan sayap dalam penelitian ini berkisar 22.67 – 23.38% dan 10.50 – 10.94%.

Pengaruh Perlakuan terhadap Meat Bone Ratio Ayam Broiler

Meat bone ratio adalah perbandingan antara tulang dan daging yang terdapat pada bagian dada dan paha ayam broiler. Bagian dada dan paha dipilih karena merupakan bagian karkas yang bernilai ekonomi tinggi. Hasil rataan meat bone ratio dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9.

(32)

20

meal (R0). Bobot daging pada bagian dada dan paha ayam broiler yang diberi perlakuan konsentrat protein ulat hongkong (R1) lebih tinggi 6% dibandingkan bobot dada ayam dengan perlakuan meat bone meal (R0), sehingga persentase daging pada bagian dada dan paha ayam perlakuan R1 juga lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa protein yang terdapat pada pakan perlakuan konsentrat protein ulat hongkong dapat diretensi oleh ayam broiler untuk pembentukan jaringan otot tubuh.

Tabel 9 Meat Bone Ratio pada bagian dada dan paha ayam broiler umur 35 hari

Peubah Perlakuan

R0 R1

Dada (g) 403.30±35.82 429.60±36.64

Daging (g) 358.43±41.78 383.39±40.16

(%) 89.51±2.24 89.67±1.73

Tulang (g) 43.29±5.05 42.56±3.99

(%) 10.49±2.24 10.33±1.73

Rasio daging : tulang 8.28 : 1 9.01 : 1

Paha (g) 354.70±23.11 365.80±18.95

Daging (g) 280.56±24.45 298.33±19.48

(%) 80.49±2.58 81.14±1.97

Tulang (g) 67.74±8.43 69.18±6.61

(%) 19.51±2.58 18.86±1.97

Rasio daging : tulang 4.14 : 1 4.31 : 1

Keterangan : R0 = pakan dengan 5 % meat bone meal, R1 = pakan dengan 5 % konsentrat protein ulat hongkong

Dada ayam merupakan bagian terpenting dari karkas, adanya sedikit perbedaan pada besaran dada ayam akan berdampak pada nilai ekonomi yang signifikan (Scheuermann et al. 2003). Karaoğlu1 et al. (2014) melaporkan bahwa daging pada bagian dada ayam broiler penting bagi nutrisi manusia karena terdapat daging dengan kualitas tinggi, seperti tinggi protein dan rendah kolagen serta lemak. Pertumbuhan tubuh berawal dari pembentukan jaringan tulang (kerangka), kemudian otot (daging) dan yang terakhir adalah lemak. Pada perlakuan R0 nutrien yang diserap tubuh banyak digunakan untuk pembentukan jaringan tulang (kerangka) karena adanya kandungan Ca dan P yang lebih tinggi pada meat bone meal. Hal ini terlihat dari besarnya persentase tulang pada bagian dada dan paha ayam perlakuan R0 dibandingkan perlakuan R1. Menurut Samsudin et al. (2012) persentase tulang ayam secara keseluruhan bervariasi, berkisar 17-25%.

(33)

21

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot dan Persentase Non Karkas Ayam Broiler

Bagian non karkas yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari darah, bulu, kepala dan kaki. Bobot dan persentase bagian non karkas dapat dilihat pada Tabel 10. Penggunaan konsentrat protein ulat hongkong dalam ransum broiler yang dipelihara selama 35 hari tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0.05) terhadap bobot dan persentase darah, bulu, kepala dan kaki ayam broiler.

Bagian non karkas atau non edible secara substansial akan menurun seiring bertambahnya umur ternak (Murawska et al. 2011). Darah merupakan zat perantara yang membawa sari-sari makanan atau nutrien untuk diserap tubuh serta membuang sisa-sisa hasil metabolisme. Persentase darah dalam penelitian ini berkisar 3.69 – 3.67%. Persentase bulu ayam broiler pada perlakuan meat bone meal (R0) sedikit lebih tinggi dibandingkan perlakuan konsentrat protein ulat hongkong (R1) yaitu 5.35%. Bulu tersusun dari 90% protein kasar, dengan asam amino sebesar 60% di mana sistin sebesar 7% dari protein. Bulu dibentuk oleh protein yang terdiri dari keratin, elastin, gelatin, dan kolagen yang bersifat non esensial. Struktur keratin banyak mengandung sistin, sehingga menjadikan metionin penting di dalam ransum, yaitu salah satunya untuk pembentukan bulu (Leeson dan Summer 2001). Hal ini terbukti dari hasil penelitian, dimana konsumsi metionin perlakuan R0 lebih besar dibandingkan perlakuan R1, yaitu sebesar 17.09 g ekor-1, sedangkan perlakuan R1 sebesar 14.29 g ekor-1. Kecepatan ayam berbulu tergantung dari nutrisi pakan dan genetik (Leeson dan Walsh 2004). Menurut Grabowski dan Kijowski (1993) bulu ayam berkisar 4.5% dari bobot badannya.

Tabel 10 Bobot dan persentase non karkas ayam broiler umur 35 hari

Peubah Perlakuan

R0 R1

Darah (g) 64.84±10.25 65.22±13.91

(%) 3.69±0.68 3.67±0.82

Bulu (g) 91.05±29.72 79.95±29.17

(%) 5.35±1.75 4.49±1.58

Kepala (g) 101.13±11.34 99.03±14.21

(%) 4.87±2.64 5.08±1.91

Kaki (g) 64.12±3.93 64.92±5.17

(%) 3.39±1.18 3.11±1.36

Keterangan : R0 = pakan dengan 5 % meat bone meal, R1 = pakan dengan 5 % konsentrat protein ulat hongkong

(34)

22

3.11 – 3.39%. Kaki digunakan sebagai penopang tubuh ternak. Proporsi kaki ayam akan menurun dengan lambat, dari 6% saat umur 2 hari menjadi 4% saat umur 12 minggu (Kaminska 1986). Persentase bobot non karkas dipengaruhi oleh nutrien dalam pakan, jika nutrien di dalam pakan melebihi kebutuhan metabolis tubuh seperti hidup pokok dan produksi, maka pembentukan komponen non karkas akan besar (Scott et al. 1982).

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penggunaan 5% konsentrat protein ulat hongkong dalam ransum ayam broiler mampu menyamai penggunaan 5% meat bone meal dalam menghasilkan performa dan kualitas karkas khususnya persentase dada ayam broiler.

Saran

(35)

23

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis. Wahshington DC (US): Association of Officia Analytical Chemist. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Rata-rata konsumsi per kapita seminggu beberapa macam bahan makanan penting 2007-2014 [Internet]. [diunduh

2015 November].Tersedia pada:

http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/950 .

Amerah AM, Ravindran V. 2008. Influence of method of whole-wheat feeding on the performance, digestive tract development and carcass traits of broiler chickens. Anim feed Sci Technol. 147:326-339.

Andarwulan N, Palupi NS, Susanti. 2006. Pengembangan metode ekstraksi dan karakteristik minyak buah merah (Pandanus conoideus L.). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Pangan Indonesia (PATPI). Yogyakarta, Indonesia. 2-3 Agustus 2006.

Amoo IA, Adebayo OT, Oyeleye AO. 2006. Chemical evaluation of winged beans (Psophocarous tetra gonolabus), pitanga cherries (Eugenia uniflora) and orchid fruit (Orchid fruit myristica). African. J. Food. Agr. Nutrr. Dvlpmnt. 2:1-12.

Anwar MN, Ravindran V, Morel PCH, Ravindran G, Cowieson AJ. 2015. Measurement of true ileal calcium digestibility in meat and bone meal for broiler chicken using the direct method. Poult. Sci. 00:1-7.

De Foliart G, Dunkel FV, Gracer D. 2009. The food insect newsletter-chronicle of changing culture. Salt Lake City: Aardvark Global Publishing, p.ix+414. Djunaidi IH, Yuwanta T, Nurcahyanto M. 2009. Performa dan bobot organ

pencernaan ayam broiler yang diberi pakan limbah udang hasil fermentasi Bacillus sp. Med Petern. 32(3):212-219.

Durst PB, Hanboonsong Y. 2015. Small-scale production of edible insects for enhanced food security and rural livelihoods: experience from Thailand and Lao People Democratic Republic. JIFF. 1:25–31.

Farkhoy M, Modirsanej M, Ghavidel O, Sadegh M, Jafarnejad S. 2012. Evaluation of protein concentration and limiting amino acids including lysine and met-cys in prestarter diet on performance of broiler. Veterinary Medicine Intern. Hindawi Publishing Corporation. 2012 : pp. 1-7. doi:10.1155/2012/394189. Fasina OO, Sokhansaj. 1993. Effect of moisture content on bulk handling properties

of alfalfa pellets. J. Canad. Agric. Engine 35(4): 269-273.

Finke MD. 2002. Complete nutrient composition of commercially raised invertebrates used as food for insectivores. J. Zoo Biol. 21 (3):269-285. Gornowicz E, Lewko L, Pietrzak M, Gornowicz J. 2009. The effect of broiler

chicken origin on carcase and muscle yield and quality. JCEA. 10 (3) : 193-200.

Grabowski T, Kijowski J. 2004. Poultry meat and processed products. Chapter 13, pp. 540. Warszawa.

(36)

24

Kamińska, B. 1986. Comparative studies on the dynamics of growth in chicks. Biul. Inf. IZ, (postdoctoral thesis).

Karaoğlu M, Aksu M İ, Esenbuğa N, Kaya A, Macit M. 2014. Carcass and

commercial cuts yield in broilers of different ages fed diets supplemented with probiotics. Afric J Food Sci Technol. 5(2):46-52.

Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal: kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis. Med Petern .22(1): 1-11.

Kidd MT, Kerr BJ, Halpin KM, McWard GW, Quarles CL. 1998. Lysine level in starter and grower-finisher diets affect broiler performance and carcass traits. J. Appl Poultry Res. 7:351-358.

Klunder HC, Wolkers RJ, Korpela JM, Nout MJR. 2012. Microbiological aspect of processing and storage of edible insects. Food Control. 26:628-631.

Leeson S, Summers JD. 2001. Nutrition of The Chicken. 4th Ed. Canada : University Books. Guelph. Ontario.

Leeson S, Summers JD. 2008. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Ed. Canada : University Books. Guelph. Ontario.

Leeson S, Walsh T. 2004. Feathering in commercial poultry II. Factors influencing feather growth and feather loss. World’s Poult Sci J. 60:52-63.

Makkar HPS, Tran G, Heuze V, Ankers P. 2014. State of the art on use of insects as animal feed. Anim Feed Sci Technol. 197:1-33.

Marcu A, Stef L, Dumitrescu G, Ciochina LP, Dronca D, Pet I, Baul S, Marcu A. 2014. Influence of nutrition, sex and slaughter age on the carcass characteristics at broiler chicken ross-308. Animal Science and Biotechnologies. 47 (2) : 271-278.

Meeker DL, Hamilton CR. 2006. An overview of the rendering industry. In : DL Meeker editor, Essential rendering. Nasional Renderers Association, Alexandria. VA. p. 1-16.

Muchtadi D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bogor (ID) : IPB Press. Murawska D, Kleczek K, Wawro K, Michalik D. 2011. Age-related Changes in the

Percentage Content of Edible and Non-edible Components in Broiler Chickens. Asian-Aust J Anim Sci. 24(4) : 532 – 539.

Nahrowi, Sari IP, Sumiati. 2015. Metabolizable energy of ration containing mealworm (Tenebrio molitor L) as a substitute for meat bone meal in broiler. Proceeding of The International Seminar of Animal Nutrition and Feed Science; 2015 Sept 8-9; Manado, Indonesia.

Pesti GM. 2009. Impact of dietary amino acid and crude protein levels in broiler feeds on biological performance. J. Appl. Poult. Ress. 18 : 477-486.

Purnamawati Y, Sumiati, Nahrowi. 2016. Effect of substitution of meat bone meal with protein concentrate of mealworm (Tenebrio molitor l) on performance of broilers. Proceeding of The 3rd Animal Production International Seminar and The 3rd ASEAN Regional Conference on Animal Production; 2016 Okt 19-21; Malang, Indonesia. Malang (ID): UB Press. Hlm 611-613.

PT. Japfa Comfeed Indonesia. 2008. Broiler Management Program. Jakarta. Ramos EJ, Avila GE, Rocha HA, Pino JM.. 2002. Use of Tenebrio molitor

(37)

25 Romero LF, Zuidhof MJ, Renema RA, Naeima A, Robinson FE. 2011. Effects of maternal energy efficiency on broiler chicken growth, feed conversion, residual feed intake, and residual maintenance metabolizable energy requirements. Poult. Sci. 90:2904–2912.

Safaa HM, Moreno EJ, Valencia DG, Frikha M, Serrano MP, Mateos GG. 2009. Effect of main cereal of the diet and particle size of the cereal on productive performance and egg quality of brown egg-laying hens in early phase ofproduction. Poult. Sci. 88:608-614.

Samsudin M, Sarengat W, Maulana HN. 2012. Pengaruh perbedaan lama periode (starter - finisher) pemberian pakan dan level protein terhadap nisbah daging tulang dan massa protein daging dada dan paha ayam pelung umur 1 minggu sampai 11 minggu. Animal Agricultural Journal. 1(1) : 43-51.

Scheuermann GN, Bilgili SF, Hess JB, Mulvaney DR. 2003. Breast muscle development in commercial broiler chickens. Poult Sci. 82 : 1648–1658. Scott ML. Nesheim MC. Young RJ. 1982. Nutrition of the Chicken. Ed ke-3. Ithaca

(US): ML Scott & Ass.

Sediaoetama AJ. 1985. Ilmu Gizi 1. Ed ke 1. Jakarta (ID) : Dian Rakyat.

Siemianowska E, Agnieszka K, Marek A, Krystyna A, Skibniewska, Lucyna PJ, Adrian J, Marta J. 2013. Larvae of mealworm (Tenebrio molitor L.) as European novel food. J. Agri.Sci. 4(6):287-291.

Sibarani J, Yunianto VD, Mahfudz LD. 2014. Percentage of carcass and non-carcass and abdominal fat of broiler chickens were given acidifier citric acid in feed double step down. Anim Agri J. 3(2):273-280.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik). Ed ke 2. Terjemahan: B. Sumantri. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

Tatli P, Seven I, Yilmaz M, Simsek UG. 2007. The effect of Turkish propolis on growth and carcass characteristics in broiler under heat stress. Anim Feed Sci Technol. 146:137-148.

(38)

26

(39)

27 Lampiran 1 Hasil T-test konsumsi ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 10 2804.94 126.37 0.477

R1 10 2846.84 131.57

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 2 Hasil T-test bobot badan akhir ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 10 1596.40 97.80 0.238

R1 10 1644.50 76.95

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 3 Hasil T-test PBB ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 10 1549.68 98.02 0.238

R1 10 1597.78 76.93

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 4 Hasil T-test FCR ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 10 1.81 0.06 0.285

R1 10 1.78 0.06

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 5 Hasil T-test persentase karkas ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 67.62 2.20 0.414

R1 20 66.89 3.27

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 6 Hasil T-test persentase dada ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 34.91 1.85 0.044*

R1 20 36.06 1.65

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, *Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 7 Hasil T-test persentase paha ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 30.77 1.99 0.990

R1 20 30.77 1.35

(40)

28

Lampiran 8 Hasil T-test persentase punggung ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 23.38 1.82 0.265

R1 20 22.67 2.13

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 9 Hasil T-test persentase sayap ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 10.94 0.77 0.72

R1 20 10.50 0.72

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 10 Hasil T-test persentase daging dada ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 89.51 2.24 0.853

R1 20 89.67 1.73

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 11 Hasil T-test persentase tulang dada ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 10.49 2.24 0.853

R1 20 10.33 1.73

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 12 Hasil T-test persentase daging paha ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 80.49 2.58 0.511

R1 20 81.14 1.97

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 13 Hasil T-test persentase tulang paha ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 19.51 2.58 0.511

R1 20 18.86 1.97

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 14 Hasil T-test persentase darah ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 3.69 0.68 0.941

(41)

29 R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 15 Hasil T-test persentase bulu ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 5.35 1.75 0.117

R1 20 4.49 1.58

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 16 Hasil T-test persentase kepala ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 4.87 2.64 0.773

R1 20 5.08 1.91

R0 = ransum mengandung 5 % MBM, R1 = ransum mengandung 5 % konsentrat protein ulat hongkong, N = jumlah sampel, SD = standar deviasi, Sig = signifikansi (P<0.05)

Lampiran 17 Hasil T-test persentase kaki ayam broiler umur 35 hari

N Rataan SD Sig.

R0 20 3.39 1.18 0.491

R1 20 3.11 1.36

(42)

30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 15 Juli 1992. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mulyono dan Ibu Marhani. Penulis menempuh pendidikan dasar di TK Dharma Wanita Jember pada tahun 1997-1999, kemudian melanjutkan pendidikan di SDN 1 Kebon Agung Jember pada tahun 1999-2003 dan di SDN 1 Boyolangu Banyuwangi pada tahun 2003-2005. Pendidikan dilanjutkan di SMPN 1 Giri Banyuwangi pada tahun 2005-2007 dan di SMPN 1 Simpang Empat Tanah Bumbu pada tahun 2007-2008, kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Simpang Empat pada tahun 2008-2011.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan menyelesaikan pendidikan Strata-1 pada tanggal 08 Juli 2015. Penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Nutrisi dan Ternak (INP) pada tahun 2015 melalui program SINERGI 2014. Penulis merupakan penerima Beasiswa Tesis LPDP 2016 dan Beasiswa Unggulan Kemdikbud Batch II 2016.

Gambar

Tabel 1 Susunan dan kandungan nutrien pakan perlakuan NPU
Tabel 2 Susunan dan kandungan nutrien pakan perlakuan (starter dan finisher)
Gambar 1 Proses Ekstraksi (Meeker dan Hamilton 2006)
Tabel 3 Sifat fisik dan kimia konsentrat protein ulat hongkong (Tenebrio molitor L)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah didalam kebijakan Bali Deso Mbangun Deso nya yang salah satu implementasinya melalui pemberian bantuan keuangan kepada pemerintah desa

Oleh karena itu, puisi-puisi Afrizal Malna menjadi sebuah karya sastra yang menarik untuk dapat diolah dalam penyajiannya sebagai teks (tertulis, dilihat – puisi hadir

Selain untuk menjaga dan melindungi, pengelola mangrove di Desa Teluk Pambang melakukan pengembangan dengan melestarikan beberapa jenis tanaman mangrove dan

Terakhir, pembentukan kepribadian muslim membutuhkan konsep teladan dari pendidik, sehingga konsep pendidik tidak hanya semata-mata yang mampu mendidik saja,

Sampai dengan selesainya RapatPenlelasan (Aanwryzing) PengadaanJasa Konstruksi tersebut diatas, Tidak adla pertanyaan dafi calon penyediaJasa, sehinggakami panitia

Gambar 5 adalah grafik Sum Square Error (SSE) proses learning Jaringan saraf tiruan (JST) yang digunakan pada sistem ini menggunakan jenis multi layer perceptron.. Lapisan

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, serta pentunjuk- Nya sehingga tugas akhir dengan judul “ Analisis Kepuasan Mahasiswa Pada

Artinya, dua kecenderungan itu akan selalu ada dan menyertai manusia dalam hidupnya pula, bukan merupakan suatu hal yang bersifat kontroversi dari sifat Tuhan