ii
KEDUDUKAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN
DEPOSITO BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK
NI KADEK AYU PURNAMA DEWI
NIM. 1203005024
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
NI KADEK AYU PURNAMA DEWI
NIM. 1203005024
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
vi
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas
rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul “Kedudukan Notaris Dalam
Pengikatan Deposito Berkaitan Dengan Rahasia Bank” dapat terselesaikan dengan
baik dan tepat pada waktunya.
Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir
mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana
sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) serta memperoleh
gelar Sarjana Hukum.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung baik dalam hal
memberikan bimbingan, dorongan, motivasi, bantuan, dan fasilitas. Oleh karena
itu,penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H.,M.Hum., Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas
vii
4. Bapak I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.Hum., Dosen Pembimbing I yang
telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
7. Bapak A.A. Ketut Sukranatha, S.H., M.H., Dosen Pembimbing II yang
telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
8. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H., Pembimbing Akademik
yang telah mendukung dan memberikan bimbingan semenjak awal penulis
kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan menyelesaikan tugas
akhir di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
9. Bapak/Ibu Dosen serta seluruh Staf Pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat
selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
10.Bapak/Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana
viii
memperoleh literatur yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.
12.Kedua orang tua saya Bapak (I Wayan Tendi S.Pd), Ibu (Ni Wayan Sirki
Artini), Kakak saya I Putu Adi Mahendra Putra, S.H.,M.Kn., Ipar saya Ni
Nyoman Sri Ayu Mentari, S.H., Keponakan saya Kayika Tenaya,dan
saudara-saudara saya Ni Kadek Sri Windari dan Novita Rahayu Lestari
yang selalu memberikan dorongan, semangat, masukan dan finansial dalam
penyusunan skripsi ini.
13.Untuk sahabat-sahabat tercinta: Maria M.C.N. Blegur Laumuri, Komang
Alit Adnya Sari Dewi, Ni Made Ayu Pasek Dwilaksmi, Anak Agung Ayu
Intan Puspadewi, Nyoman Putri Purnama Santhi, Kevin Saputra, Gusti
Triantaka, Adi Wagestu, Yeyen Karista, Sri Inten Damayanti, Dewi
Lestari, Denik Suantari, Yuyun PD, Elistiawati, Bayu Pinarta, AMP yang
selalu memberikan semangat, motivasi dan selalu setia mendengarkan
keluh kesah penulis selama menyusun skripsi ini.
14. Untuk rekan-rekan 2012 Kelas A dan rekan-rekan KKN 2012 kabupaten
Negara Desa Yeh Embang yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu
yang telah mendukung penulis agar segera dapat menyelesaikan skripsi ini
kakak-ix
15.Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak memberikan bantuan dan dukungan selama penulis kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Karena terbatasnya kemampuan penulis, maka penyusunan ini jauh dari kata
sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan akademik dan setiap orang
yang membacanya.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Denpasar, 28 Januari 2016
xi
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v
HALAMAN KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x
DAFTAR ISI ... xi
ABSTRAK ... xv
ABSTRACT ... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 10
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 10
1.5 Tujuan Penelitian ... 13
1.5.1 Tujuan umum ... 14
xii
1.6.2 Manfaat praktis ... 15
1.7 Landasan Teoritis ... 15
1.7.1 Teori perlindungan hukum ... 15
1.7.2 Teori kewenangan ... 18
1.7.3 Teori pertanggungjawaban hukum ... 19
1.8 Metode Penelitian... 21
1.8.1 Jenis penelitian ... 21
1.8.2 Jenis pendekatan ... 21
1.8.3 Sumber bahan hukum ... 22
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 23
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum ... 23
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS, DEPOSITO DAN RAHASIA BANK 2.1 Tinjauan Umum Tentang Notaris ... 25
2.1.1 Pengertian notaris dan dasar pengaturan notaris di Indonesia ... 25
2.1.2 Kewenangan, kewajiban dan larangan notaris ... 28
2.1.3 Rahasia jabatan notaris ... 32
2.1.4 Tanggung jawab notaris ... 35
xiii
2.2.2 Macam-macam deposito dalam perbankan... 41
2.2.3 Deposito sebagai jaminan dalam pemberian kredit ... 45
2.3 Tinjauan Umum Tentang Rahasia Bank ... 47
2.3.1 Pengertian rahasia bank dan dasar hukum rahasia bank ... 47
2.3.2 Perubahan ketentuan rahasia bank di Indonesia ... 49
2.3.3 Pihak-pihak yang berkewajiban merahasiakan rahasia bank ... 52
2.3.4 Teori-teori mengenai rahasia bank dan perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan ... 54
BAB III KEDUDUKAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN JAMINAN DEPOSITO PADA BANK 3.1 Jaminan Kredit Bank………...………57
3.2 Pengikatan Deposito Sebagai Jaminan Kredit Dalam Perbankan ... 62
3.2 Kedudukan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pengikatan Deposito Pada Bank ... 67
BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PENGIKATAN DEPOSITO PADA BANK 4.1 Tanggung jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 73
4.2 Tanggung jawab Notaris Berkaitan Dengan Rahasia Bank ... 81
xiv
5.2 Saran-saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 98
xv
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merumuskan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga untuk pihak terafiliasi. Dalam pemberian kredit, deposito dapat dijadikan sebagai jaminan. Pengikatan jaminan kredit dengan deposito yang dilakukan oleh bank dan nasabah debitur harus dilakukan dengan pembuatan akta pengikatan jaminan deposito yang memerlukan jasa Notaris untuk memberikan kekuatan hukum yang sempurna yang melekat dalam akta tersebut dan menjamin perjanjian pokok berupa perjanjian. Maka dari itu, pentingnya melakukan penelitian mengenai kedudukan dan tanggung jawab Notaris berkaitan dengan pengikatan deposito dalam rahasia bank.
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini ialah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk menganalisis bahan hukum digunnakan teknik deskripsi, teknik evaluasi dan teknik argumentasi. Dalam hal peraturan perundang-undangan terdapat norma kabur dalam penelitian ini maka dari itu digunakan metode penafsiran ekstentif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembuatan akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito Notaris berkedudukan dalam menjaga kerahasian akta yang dibuatnya dalam hal ini akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito sebagai pihak yang terafiliasi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan. Apabila dalam pembuatan akta jaminan deposito Notaris melakukan pelanggaran terhadap kerahasian akta yang dibuatnya, maka Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya baik itu secara perdata, kode etik profesinya sebagai Notaris, maupun pidana.
xvi
public life grade. Based on the article 40 paragraph (1) the law number 10 in 1998 the change on the law number 7 in 1992 on banking that formulate that bank has obligation to conceal information on customer andn its saving. The stipulation as intended in paragraph (1) apply also for affiliated party. In giving credit, deposit can be guarantee object. Bonding of credit guarantee with deposit that conducted by the bank and the debtor customer should be conducted by give perfect law power that stick in the deed and to guarantee the main agreement in the form of agreement. Hence the importance to conduct a study on position and the notary public’s responsibility concern with deposit bonding in bank secret.
This study type has been applied in this study was normative law. This study by using statue approach and concept approach. Law material has been used for this study as follows primary, secondary and tertier. To analyze law material has been used description technique, evaluation technique and argumentation tehnique. In relation of the rule and regulation there was blur norm in this study hence from it applied extensive interpretation.
The result shows that in making of the deed of credit guarantee bonding with deposit the notary public have position to keep screet of the deed made by him/her in this case is the deed of credit guarantee bonding with deposit as afiliated party as intended in the regulation article 40 paragraph (2) the banking law. If in making of the deed of deposit guarantee the notary public has conduct break the law on screet of the deed which made by him/her, hence the notary public can to asked responsibility either in civil, ethic code of its profession as the notary public or criminal.
1.1Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang tercantum pada ketentuan
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Sebagai negara yang menganut prinsip negara
hukum, maka negara itu harus menjamin keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.
Hal ini kemudian mewajibkan bahwa dalam lalu lintas hukum diperlukan adanya alat
bukti dalam menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam
kehidupan masyarakat. Maka dari itu keberadaan lembaga Notaris muncul hadir di
negara kita, karena untuk mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi
anggota masyarakat. Negara menempatkan Notaris sebagai pejabat umum yang
berwenangan dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan pembuktian atau
alat bukti.
Keberadaan Akta otentik sebagai alat bukti tertulis, mempunyai peranan penting
dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam berbagai kegiatan
salah satunya ialah kegiatan di bidang perbankan. Notaris sebagai pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang. Sehubungan dengan kewenangan Notaris, maka
kepadanya. Adapun tanggung jawab Notaris yaitu : Tanggung jawab atas keotentikan
formil akta, tanggung jawab atas keotentikan materiil akta, tanggung jawab atas
kerahasian akta yang dibuatnya. Notaris sebagai pejabat umum merupakan jabatan
kepercayaan yang bersumber dari negara dan masyarakat. Kepercayaan yang
diberikan oleh negara melalui ketentuan undang-undang yaitu dengan menjalankan
sebagian kekuasaan negara dibidang hukum perdata, antara lain mengatur
hubungan-hubungan hukum yang di lakukan oleh masyarakat untuk dituangkan dalam suatu
akta otentik, oleh karena itu ketika menjalankan tugasnya Notaris diwajibkan
menjaga kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Sedangkan kepercayaan
masyarakat adalah dengan mempercayai atau menghendaki atau meminta agar
perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat dituangkan dalam suatu akta
otentik yang memiliki kekuatan bukti yang sempurna. Bukti yang sempurna ialah
kebenaran yang dinyatakan didalam akta Notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan
alat bukti lainnya. Kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepada Notaris,
mengkehendaki agar Notaris merahasiakan setiap perbuatan yang dituangkan dalam
isi akta yang diberikan Notaris dalam pembuatan akta.
Keberadaan Notaris diharapkan dapat melindungi kepentingan hukum masyarakat
serta dapat memberikan pelayanan hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat
perlindungan hukum dan kepastian hukum.1 Kebutuhan hukum dalam masyarakat
dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian dan pendirian badan usaha
seperti koperasi dan bank, mulai dari pendiriannya sampai dalam operasionalnya
sangat membutuhkan jasa Notaris.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bank memiliki peran penting di dalam suatu negara
baik dalam sistem keuangan atau sistem pembayaran dalam suatu negara. Mengingat
bank merupakan suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada
kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana dan jasa-jasa lain yang
dilakukan mereka melalui bank pada khususnya dan dari masyarakat luas pada
umumnya.2 Adapaun kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling
pokok dari eksistensi suatu bank, sehingga terpeliharanya kepercayaan masyarakat
kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak. Sehubungan dengan
hal itu, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1998 perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan 1998 perubahan atas UU
Perbankan 1992), menyatakan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat
1
Santia Dewi dan Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 8.
2
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak”.
Berdasarkan hal tersebut, jadi fungsi utama bank ialah menghimpun dan
menyalurkan dana dari bank kepada masyarakat. Dana yang berasal dari masyarakat
adalah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti giro, deposito, dan tabungan.3 Sedangkan
yang dimaksud dengan simpanan dalam Pasal 1 angka 5 UU Perbankan 1998 yaitu
dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan
yang dipersamakan dengan itu. Adapun pengertian dalam bentuk simpanan sebagai
berikut :
1. Simpanan Giro, secara umum giro adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan mempergunakan cek, surat perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindahbukuan.4
Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Perbankan yang dimaksud Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan
2. Deposito, secara umum deposito diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara ihak ketiga dan bank yang bersangkutan.5
3
Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hermansyah I), h.45.
4
Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hermansyah II), h.46.
5
Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 amgka 7 UU Perbankan yang dimaksud dengan deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.
3. Sertifikat Deposito.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Perbankan yang dimaksud dengan Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. Dari pengertian yang ditentukan oleh UU Perbankan mengandung dua unsur, yaitu:
a. Bentuk Deposito Bersertifikat, artinya bahwa bentuknya berbeda dengan deposito berjangka. Dalam hal ini deposito berjangka dikeluarkan atas nama, sedangkan sertifikat deposito dikeluarkan atas tunjuk.
b. Dapat dipindahtangankan, artinya dengan dikeluarkannya sertifikat deposito dalam bentuk atas tunjuk, maka bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.6
4. Tabungan merupakan salah satu dari berbagai macam produk perbankan yang banyak diminati oleh masyarakat, mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun kalangan pengusaha, namun masih banyak masyarakat yang belum mengerti benar tentang produk tabungan.7
Sedangkan berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan tabungan yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakat, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Aktivitas bank yang berkaitan dengan menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat secara efektif dan efisien agar mencapai sasaran yang optimal, maka
perlu diiringi dengan pembinaan dan pengawasan. Aktivitas bank sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 UU Perbankan 1998 ditetapkan salah satu asas dari perbankan di
Indonesia adalah asas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian. Demokrasi ekonomi disini adalah demokrasi ekonomi yang berdasarkan
6
Ibid, h.48. 7
Pancasila dan UUD NRI 1945.8 Untuk itu prinsip kehati-hatian dalam mengelola
dana haruslah berpijak pada prinsip responsibilitas. Dengan diterapkannya prinsip ini
diharapkan timbulnya kepatuhan pada aturan hukum yang berlaku dan melakukan
kegiatan secara bertanggungjawab kepada nasabah penyimpan dengan tidak
melakukan tindakan-tindakan yang merugikan para pihak yang berkepentingan
terhadap bank.
Bank merupakan lembaga keuangan yang mengandalkan kepercayaan
masyarakat guna mempertahankan kepercayaan masyarakat dan eksistensi dari bank,
maka bank wajib melindungi dana nasabah penyimpan dan simpanannya serta
berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya. Bank diwajibkan
menjamin kerahasian atas informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya,
maka dari itu timbullah kepercayaan masyarakat kepada bank. Kepercayaan dari
masyarakat dikatakan sebagai kunci utama dalam berkembang atau tidaknya lembaga
perbankan. Berawal dari kepercayaan masyarakat itulah keadaan nasabah wajib
dirahasiakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus
memegang teguh rahasia bank. Mengenai ketentuan rahasia bank berlaku pula bagi
pihak terafilisasi dalam operasional bank.
Rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah
penyimpan dan, apabila nasabah penyimpan tidak mempercayai bank dimana ia
menyimpan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. Hal ini
8
penting mengingat kerahasiaan bank sangat diperlukan demi menjaga kepercayaan
masyarakat yang menyimpan uangnya kepada bank yang bersangkutan atau dengan
kata lain bahwa masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya kepada bank
apabila ada jaminan dari bank bahwa bank tidak akan menyalahgunakan
pengetahuannya tentang keadaan nasabahnya.9
Ketentuan rahasia bank diatur dalam dalam Pasal 1 angka 28 UU Perbankan
1998 menyatakan bahwa “rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya meliputi segala keterangan tentang orang dan badan yang memperoleh
pemberian layanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri
meliputi : jumlah kredit, jumlah dan jenis rekening nasabah (simpanan giro, deposito,
sertifikat, dan surat berharga lainnya), pemindahan uang, pemberian garansi bank.
Rahasia bank diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan 1998 yang
menyatakan bahwa “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi. Berdasarkan ketentuan
diatas, jelas bahwa yang wajib dirahasiakan oleh pihak bank/pihak terafiliasi hanya
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpananya.
9
Dalam penjelasan Pasal 40 ayat (1) UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan.
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa ruang lingkup dari rahasia bank
dibatasai atau dipersempit yaitu :
1. Menyangkut keterangan mengenai “nasabah penyimpan” dan
“simpanannya”
2. Pada dasarnya bank dan pihak terafiliasi berkewajiban memegang teguh kerahasiaan keterangan tersebut, kecuali hal itu tidak dilarang oleh undang-undang.
3. Situasi tertentu dalam mana informasi mengenai “nasabah penyimpan”
beserta dengan “simpanannya” dibolehkan, dimungkinkan atau dibenarkan
saja dibeberkan oleh pihak yang terkena larangan jika informasi tersebut tergolong ada informasi yang dikecualikan atau informasi nasabah penyimpan dan simpanannya tidak termasuk dalam kualifikasi kerahasiaan bank.10
Ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan menyatakan bahwa „ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi‟. Golongan
pihak terafiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbankan antara lain akuntan
public, penilai, konsultan hukum, konsultan lainnya. Pihak terafiliasi ialah pihak yang
mempunyai hubungan dengan kegiatan serta pengelolaan usaha jasa pelayanan yang
diberikan oleh bank. Hubungan tersebut melalui cara menggabungkan dirinya pada
bank tetapi dengan tidak kehilangan identitasnya.
10
Bank dikatakan sebagai urat nadi perekonomian suatu negara. Salah satu
fungsi bank yaitu sebagai lembaga kredit. Pemberian kredit kepada masyarakat
merupakan usaha yang terpenting bank dalam menjalankan fungsinya sebagai
lembaga keuangan. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung suatu resiko usaha
bagi bank. Guna mencegah dan mengurangi timbulnya resiko maka perbankan harus
memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam memperhatikan objek jaminan kredit.
Dengan demikian, maka dibutuhkan jasa Notaris dalam pembuatan akta perjanjian
kredit, jaminan deposito serta perjanjian-perjanjian lainnya.
Salah satu bentuk objek jaminan kredit yang dapat dijaminkan oleh nasabah
debitur adalah jaminan gadai dalam bentuk deposito. Pengikatan jaminan kredit
dengan deposito yang dilakukan oleh bank dan nasabah debitur dilakukan dengan
pembuatan akta pengikatan jaminan dengan deposito yang memerlukan jasa Notaris
untuk memberikan kekuatan hukum yang sempurna yang melekat dalam akta tersebut
dan menjamin perjanjian pokok berupa perjanjian kredit. Dalam hal ini nasabah
penyimpan sebagai subjek perjanjian dan deposito merupakan simpanan dari nasabah
penyimpan sebagi objek dari suatu perjanjian yang wajib dirahasiakan oleh Notaris
dan pihak bank dalam kaitannya dengan rahasia bank.
Sehingga dalam pembuatan akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito,
Notaris berkedudukan dalam menjaga kerahasian akta yang dibuatnya dalam hal ini
berupa akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito sebagai pihak terafiliasi
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan pasal 1 butir 22 huruf c
Perbankan 1998 tidak mencantumkan secara jelas kedudukan Notaris sehingga adana
kekaburan norma pada ketentuan tersebut. Kekaburan norma dalam pasal tersebut
berdampak pada kerahasiaan bank.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk menulis
Skripsi dengan judul “Kedudukan Notaris Dalam Pengikatan Deposito Berkaitan
Dengan Rahasia Bank”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan dengan
deposito?
2. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris dalam pengikatan jaminan dengan
deposito?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak menyimpang dari pokok pembahasan yang dibahas, maka akan
dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan
tersebut. Permasalahan pertama membahas tentang kedudukan Notaris dalam
pengikatan jaminan dengan deposito. Permasalahan kedua membahas tanggungjawab
Notaris dalam pengikatan jaminan dengan deposito.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran pada kepustakaan, khususnya di lingkungan
hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian yang menyangkut masalah
ini. adapun penulisan penelitian yang berkaitan dengan penulisan penelitian ini antara
ketentuan rahasia
bank?
Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan sebelumnya menyangkut
permasalahan mengenai “Kedudukan Notaris Dalam Pengikatan Deposito Berkaitan
Dengan Rahasia Bank”, belum pernah diajukan dan bukan merupakan karya ilmiah
yang pernah diajukan sebelumnya, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dapat
dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak dijadikan objek penelitian dalam
skripsi ini.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat diklasifiasikan kedalam dua bentuk yaitu tujuan
secara umum dan tujuan secara khusus, untuk lebih jelasnya akan dipaparkan sebagai
1.5.1 Tujuan umum
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito.
2. Untuk mengetahui tanggungjawab Notaris dalam pengikatan deposito.
1.5.2 Tujuan khusus
Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendalami kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito.
2. Untuk memahami tanggungjawab Notaris dalam pengikatan deposito.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat teoritis
1. Diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pengembangan disiplin bidang ilmu hukum khususnya hukum perbankan
tentang rahasia bank serta hubungan antara hukum perbankan dan hukum
kenotariatan mengenai kedudukan Notaris dalam pengikatan deposito
berkaitan dengan rahasia bank.
2. Memberi masukan ilmu pengetahuan dalam ilmu hukum pada umumnya
dan hukum perdata pada khususnya yang berkaitan dengan pengikatan
deposito.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penambahan referensi sebagai
bahan acuan bagi penelitian yang akan datang.
1.6.2 Manfaat praktis
2. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan khususnya kepada nasabah
penyimpan mengenai rahasia bank.
3. Dapat memberikan informasi bagi Notaris pentingnya menjaga kerahasiaan
bank.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan Teoritis adalah upaya mengidentifikasi teori umum atau teori
khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang akan dipakai sebagai landasan
untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian harus disertai
dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang
erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data serta analisa.
Oleh karena itu sebelum mengemukakan asumsi terhadap permasalahan, maka
terlebih dahulu dikemukakan beberapa teori menurut para ahli.
Dalam penelitian ini teori yang digunakan ialah :
1.7.1 Teori perlindungan hukum
Teori ini dipergunakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis
masalah kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dan simpanannya berkaitan
dengan rahasia bank, sehubungan dengan bank menjalankan fungsinya dalam
menyalurkan dananya, yang berupa pemberian kredit dan guna melindungi dananya
bank mengikat jaminan kredit tersebut dengan jaminan deposito, dan Notaris sebagai
pihak yang memberikan jasanya kepada bank. Berkaitan dengan itu, lembaga
perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung kepada kepercayaan dari
menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila
dunia perbankan harus sedemikian menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan
memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama
kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan.
Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas suatu
perjanjian. Untuk itu tentu adalah suatu yang wajar apabila kepentingan dari nasabah
yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum sebagai mana perlindungan
yang diberikan oleh hukum kepada bank. Berkaitan dengan perlindungan hukum
terhadap nasabah ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem
perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana,
dilakukan melalui dua cara :
1) Perlindungan secara implisit.
Perlindungan ini diperoleh melalui : (1) peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan
pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya
menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada
khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya,
(4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan infomasi
2) Perlindungan secara eksplisit, yaitu perlindungan melalui pembentukan
suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila
bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana
masyarakat yng disimpan pada bank yang gagal tersebut.11
Perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dapat ditemukan dalam
kewajiban bank menjaga kerahasiaan bank. Ada 2 teori tentang rahasia bank menurut
Hermansyah yaitu :
1. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak (Absolutely Theory).
Menurut teori ini, bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia
atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui oleh
bank karena kegiatannya dalam keadaan apa pun juga, baik dalam keadaan
biasa maupun keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan
kepentingan individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat sering
terabaikan. Penetapan sanksinya sangat berat dapat dikenakan kepada
pelanggar rahasia bank.12
2. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Relatif.
Menurut teori ini, bank diperbolehkan membuka rahasia bank dan
memberikan keterangan kepada nasabahnya jika untuk kepentingan yang
11
Hermansyah II, op.cit, h. 144. 12
mendesak. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank di banyak negara di
dunia, termasuk Indonesia.13
Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang menjalankan profesi dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan,
demi tercapainya kepastian hukum. Notaris sebagai pejabat umum dalam
menjalankan jabatannya seharusnya memang diberikan perlindungan. Perlindungan
sebagaimana dimaksud :
1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk
ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan
persidangan.
2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta.
3. Menjaga minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta
atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.
1.7.2 Teori kewenangan
Kewenangan merupakan ketentuan dalam kekuasaan yang bisa digunakan
oleh seorang pemegang kuasa untuk menjalankan roda kepemimpinannya. Menurut
Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan
dengan istilah wewenang. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.
Istilah wewenang digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum
privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya
13
digunakan dalam konsep hukum publik. Teori kewenangan ini dikemukakan dengan
tujuan untuk membahas dan menganalisa masalah tentang kewenangan Notaris dalam
memberikan jasanya kepada bank dalam pembuatan akta pengikatan jaminan
deposito.
Notaris adalah pejabat umum yang memperoleh wewenang secara atribusi
karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN. Dalam kaitannya
kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah apabila Notaris yang diberi
kewenangan dalam memegang teguh kerahasian keterangan nasabah penyimpan dan
simpanannya yang mengakibatkan para pihak mengalami kerugian, maka Notaris
dapat dikatakan telah bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya.
1.7.3 Teori pertanggungjawaban hukum
Teori tanggung jawab hukum menurut Hans Kelsen yaitu “seseorang
bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul
tanggung jawab hukum, subjek berarti dia bertanggungjawab atas sesuatu sanksi
dalam hal perbuatan yang bertentangan”. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan
bahwa :
Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kehilafan; dan kehilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan, walaupun tidak sekelas kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.
a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggungjawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti seorang individu bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian.
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
Berkaitan dengan tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang
berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi 4 hal yaitu :
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata akan kebenaran materiil akta yang dibuatnya;
2. Tanggung jawab Notaris seara pidana akan kebenaran materiil akta yang dibuatnya;
3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris akan kebenaran materiil akta yang dibuatnya;
4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris.
Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang
penulis angkat adalah walaupun Notaris di dalam menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak
dipungkiri di dalam seorang Notaris bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan
didalamnya yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila
Notaris melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka
Notaris tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya
tersebut. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mengetahui
apabila dia tidak memegang teguh kerahasian keterangan nasabah penyimpan dan
simpanannya.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis penelitian
Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis
penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan-bahan pustaka atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif
adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.
Penelitian ini merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, yang beranjak dari kekaburan norma
di dalam UU Perbankan.
1.8.2 Jenis pendekatan.
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah
Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) dan Pendekatan Konsep
(Conceptual Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
menelaah Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani.14 Sedangkan Pendekatan konsep adalah pendekatan yang beranjak
14
dari pandangan-pandangan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Dua pendekatan ini digunakan agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat.
1.8.3 Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah
sumber hukum primer, sekunder dan tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat umum, terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi
atau putusan pengadilan, peraturan dasar. Adapun sejumlah bahan hukum
primer yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini antara lain :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok
Perbankan.
4) Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
6) Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang dapat memberikan
buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat
dalam media massa dan berita di internet. Terkait dengan penulisan karya
tulis ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti buku-buku, karya
tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa
maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus hukum, dan ensiklopedia.
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini diperoleh melalui
pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi
sumber hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
permasalahan yang hendak di bahas. Sumber hukum sekunder yaitu buku-buku
literatur ilmu hukum serta tulisan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas. Serta sumber hukum tersier yaitu kamus hukum dan ensiklopedia.
1.8.5 Teknik analisis
Dalam penelitian ini bahan hukum dianalisis dengan :
1) Teknik Deskripsi yaitu teknik dasar analisis yang menguraikan apa
adanya terhadap suatu posisi dari proposisi-proposisi hukum ataupun
non hukum. Dalam teknik deskripsi dilakukan pada beberapa
kekaburan norma mengenai kedudukan Notaris dalam pengikatan
deposito pada bank dilihat dari UU Perbankan dan UUJN
2) Teknik evaluasi berkaitan dengan penilaian berupa tepat atau tidak
tepat, setuju atau tidak setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti
terhadap suatu pandangan yang tertera dalam bahan hukum primer
maupun dalam bahan hukum sekunder.
Teknik Argumentasi adalah teknik yang tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi
karena penilaian harus berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum. Teknik ini digunakan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan terhadap
BANK
2.1 Tinjauan Umum Tentang Notaris.
2.1.1 Pengertian dan dasar hukum Notaris
Profesi Notaris sudah sejak lama dikenal di Indonesia sejak masuknya hukum
Belanda ke Indonesia. Dalam perkembangannya profesi Notaris semakin dibutuhkan
dimasyarakat Indonsia khususnya dalam rangka membuat suatu alat bukti tertulis dari
perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Munculnya lembaga Notaris yang
dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi.
Adanya alat bukti lain yang mengikat, mengingat alat bukti saksi kurang memadai
lagi, sebab sesuai dengan perkembangan masyarakat, perjanjian-perjanjian yang
dilaksanakan anggota masyarakat semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu,
Notaris dan produk aktanya dapat diartikan sebagai upaya negara untuk menciptakan
kepastian hukum dan perlindungan bagi anggota masyarakat.
Pentingnya fungsi, tugas dan profesi Notaris di Indonesia maka sejak zaman
kolonial Belanda sampai awal kemerdekaan telah ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai Jabatan Notaris yaitu :
1. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/janji Jabatan
3. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie sebagaimana telah diubah
terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101; dan
4. Undang-Undang Nomor 33 tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan wakil
Notaris Sementara (selanjutnya disebut UU. No. 33 Tahun 1954)
15
Berbagai ketentuan mengenai Jabatan Notaris dalam peraturan perundang
undangan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, maka dari itu
Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2004 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris (selanjutnya disebut UUJN).
Istilah Notaris berasal dari bahasa latin yaitu notarius yang berarti nama yang
diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya menjalankan pekerjaan
menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu.16 Selain itu, ada
pendapat lain yang menyatakan bahwa kata notarius berasal dari perkataan nota dan
literaria yang memiliki arti tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk
menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber.
Tanda atau karakter yang dimaksud yaitu tanda yang dipakai dalam penulisan cepat.
Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 UUJN merumuskan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
15
R. Soegando Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, CV Rajawali, Jakarta, h. 35.
16
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pengertian dalam pasal tersebut mengalami perubahan, dalam Pasal 1 angka 1 perubahan UUJN yang
menyatakan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Dalam hal ini Notaris sebagai pejabat umum berfungsi menjamin otentisitas pada tulisan-tulisannya (akta),
bahwa akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris merupakan akta otentik yang
menjadi dokumen/arsip negara, dan perjanjian yang dinyatakan di dalamnya menjadi
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, demikian sesuai dengan Pasal 1337
jo Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata).
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki keterampilan
profesional di bidang hukum, juga harus dilandasi dengan tanggungjawab dan moral
yang tinggi maupun nilai-nilai dan etika, sehingga dapat menjalankan tugas
jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan kepentingan masyarakat17. Dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh pada
Kode Etik Jabatan Notaris sebab tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan
hilang.18
17
Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 34. 18
2.1.2 Kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris.
Istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah
“bevoegdheid” dalam istilah hukum Belanda. Istilah “bevoegdheid” digunakan baik
dalam konsep hukum publik maupun konsep hukum privat. Dalam hukum kita, istilah
kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.
Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan) merupakan suatu
tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.19
Tanpa adanya kewenangan sah seorang pejabat tidak dapat melaksanakan suatu
perbuatan sesuai dengan jabatannya. Dengan demikian setiap wewenang ada
batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya, termasuk wewenang Notaris yang dibatasi oleh undang-undang yang
mengatur jabatan yang bersangkutan. Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga
sumber yaitu atribusi, delegasi dan mandat.20
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. Van Wijk/Willemn
konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :
a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah.
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
19
Habib Adjie, 2014, Hukum Notaris Indonesia, PT Rafika Aditama, Bandung, h.77. 20
c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan organ lain atas namanya.21
Sejalan dengan pengertian wewenang yang dikemukakan oleh Sadjijino, bahwa
secara teoritis pemerintah memperoleh wewenang melalui tiga cara dan sekaligus
melekat sebagai wewenangnya,yaitu :
a. Wewenang artibusi (atributie bevoegdheid), adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan;
b. Wewenang delegasi (delegatie bevogdheid), adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain.
c. Wewenang mandat (mandaaat bevogdheid), adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan
Berdasarkan UUJN, Notaris sebagai pejabat umum memperoleh wewenang
secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN
sendiri.22 Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lainnya,
misalnya Departemen Hukum dan HAM. Sehingga Notaris memiliki legalitas untuk
melakukan perbuatan hukum yaitu membuat akta otentik. Kewenangan Notaris lebih
lanjut diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana dalam UUJN
perubahan atas UUJN sebelumnya, yang dapat dibagi menjadi :
a) Kewenangan Umum Notaris;
b) Kewenangan Khusus Notaris; dan
c) Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian.
21
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 102. 22
Kewenangan utama atau umum yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1)
UUJN. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan / atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang”.
Selain wewenang utama, Notaris juga memilik wewenang khusus untuk
melakukan tindakan hukum sebagaimana diataur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN
perubahan atas UUJN sebelumnya. Dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN menyatakan
bahwa “selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Notaris
berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membubuhkan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
Kewenangan lain-lain ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN yang
menyatakan bahwa “selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan”.
Salah satu wewenang Notaris yaitu, memberi penyuluhan hukum. Penyuluhan
hukum yang diberikan seperti memberikan nasehat hukum dan memberi informasi
dalam rangka pembuatan akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2)
huruf e UUJN perubahan atas UUJN sebelumnya. Seorang Notaris dalam membuat
sebuah akta otentik tidak hanya menerima begitu saja apa yang diminta oleh pihak
atau penghadap untuk dituangkan ke dalam akta, tetapi juga harus berperan aktif
dengan membuat penilaian terhadap isi dari akta yang dimintakan kepadanya dan
tidak perlu ragu untuk menyatakan keberatan atau menolak, jika kepentingan pihak
yang memintanya tidak sesuai dengan kelayakan maupun undang-undang.
Notaris selaku pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta
otentik, dalam menjalankan tugasnya melekat juga kewajiban yang harus dipatuhi,
karena kewajiban tersebut merupakan suatu yang harus dilaksanakan. Kewajiban atau
disebut juga dengan duty atau obligation atau responsibility (bahasa Inggris) atau
verplichting (bahasa Belanda) dikonsepkan sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan
oleh orang atau badan hukum atau Notaris dalam melaksanakan kewenangannya. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UUJN menyatakan bahwa
“Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari
Mengenai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 16 UUJN di atas, maka
Notaris dalam menjalankan tugasnya selain memiliki kewajiban yang harus dijalani
juga yaitu Notaris harus tunduk pada larangan-larangan yang harus ditaati dalam
menjalankan tugas dan jabatannya. Larangan bagi Notaris merupakan aturan yang
memerintahkan kepada Notaris untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun larangan tersebut
tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN ditentukan secara jelas bahwa Notaris
dilarang :
a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II diluar tempat Kedudukan Notaris;
h. Menjadi Notaris pengganti;atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
2.1.3 Rahasia jabatan Notaris
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara,
menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas
yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta
bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. Dalam proses
perlindungan demi tercapainya kepastian hukum. Salah satu bentuk perlindungan
tersebut antara lain Notaris wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang
dibuatnya dan keterangan/pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan
akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan
memberikan keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya.
Telah menjadi asas hukum publik bahwa seorang pejabat umum, sebelum
menjalankan jabatannya dengan sah harus terlebih dahulu mengangkat sumpah (di
ambil sumpahnya). Selama hal tersebut belum dilakukan, maka jabatan itu tidak
boleh atau tidak dapat dijalankan dengan sah. Sesuai dengan isi dari Pasal 4 ayat (1)
UUJN yang merumuskan “bahwa Notaris sebelum menjalankan jabatannya, wajib mengucapkan sumpah/ janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk”.
Kewajiban merahasiakan ini lebih luas karena meliputi keterangan yang
diperoleh Notaris dalam pelaksanaan jabatannya, karena jabatan yang dipangku oleh
Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia
mempercayakan sesuatu kepercayaan kepadanya. Kewajiban menyimpan atau
memegang rahasia ini dapat pula diketahui dari Pasal 4 ayat (2) poin ke-4 Sumpah
Jabatan Notaris menyatakan bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan
yang diperoleh dalam pelaskanaan jabatan, selaras dengan ketentuan-ketentuan
peraturan ini, etika profesi juga memberikan kewajiban bagi kaum profesional hukum
sebagai aparat atau pejabat untuk memegang teguh rahasia profesi, menghormati
Dalam sumpah Jabatan Notaris menyatakan, Notaris berjanji di bawah
sumpah untuk merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperolehnya. Pasal 16 ayat
(1) huruf e juga menyatakan “bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban merahasiakan akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali
Undang-Undang menentukan lain”. Di dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa
kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan
surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait
dengan akta tersebut. Sudah menjadi kewajiban Notaris untuk mempertahankan
rahasia jabatan tersebut karena jika melakukan pelanggaran terhadap Pasal tersebut
dapat dikenai sanksi dalam Pasal 85 UUJN.
Pelanggaran terhadap kewajiban menjaga kerahasiaan jabatan dapat
mengakibatkan Notaris dikenakan sanksi oleh Majelis Pengawas Notaris, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UUJN antara lain :
a. teguran lisan; b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara; d. pemberhentian dengan hormat;
e. pemberhentian dengan tidak hormat oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat.
Menurut Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya ditulis KUHP) juga menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau
selama-lamanya 9 (sembilan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 600,- (enam
ratus rupiah).
Apabila akibat dibukanya rahasia seseorang oleh Notaris atau karyawan
Notaris, sehingga menjadi diketahui oleh masyarakat dan mengakibatkan kerugian
bagi orang yang bersangkutan, maka Notaris tersebut dapat digugat secara perdata
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kewajiban Notaris
berdasarkan Pasal 4 dan 16 huruf f UUJN, Pasal 332 ayat (1) KUHP serta Pasal 1365
KUHPerdata yang telah dijabarkan di atas, maka sudah jelas bahwa Notaris harus
merahasiakan yang berhubungan dengan jabatannya. Notaris berkewajiban untuk
merahasiakan isi aktanya, bahkan Notaris wajib merahasiakan semua keterangan
mulai dari persiapan pembuatan akta hingga selesainya pembuatan suatu akta.
2.1.4 Tanggung jawab Notaris
Notaris adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Negara berdasarkan
ketentuan undang-undang untuk membuat akta otentik, guna memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis. Pemberian kewenangan
kepada Notaris untuk membuat akta sebagaiamana diatur dalam UUJN, menimbulkan
pertanggujawaban atas penggunaan wewenang itu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) tanggung
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).23 Dalam kamus hukum,
tanggung jawab merupakan suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa
yang telah diwajibkan kepadanya.
Dalam hal ini Notaris melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai pejabat
umum yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas
perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta otentik.
Tanggung jawab Notaris sebagai profesi lahir dari adanya kewajiban dan kewenangan
yang diberikan kepadanya, kewajiban dan kewenangan tersebut secara sah dan terikat
mulai berlaku sejak Notaris mengucapkan sumpah jabatannya sebagai Notaris.
Sumpah yang telah diucapkan tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala
tindakan Notaris dalam menjalankan jabatannya. Tanggung jawab etis Notaris
berkaitan dengan norma moral yang merupakan ukuran bagi Notaris untuk
menentukan benar-salahnya atau baik buruknya tindakan yang dilakukan dalam
menjalankan profesinya. Tanggung jawab ini meliputi tiga hal yaitu Pertama,
bilamana tindakan tersebut dilakukan dalam keadaan kemampuan akal budinya
berfungsi secara normal. Kedua, dalam hal Notaris melakukan pelanggaran dengan
kemauan bebas. Ketiga, adanya kesengajaan dengan maksud jahat yang dilakukan
Notaris dan akibatnya menimbulkan kerugian.
23
Fajar, 2015, “Menelisik Arti Kata Bertangung Jawab Mendikbud”, URL :
Ruang lingkup dari tanggung jawab Notaris meliputi kebenaran materiil atas
akta yang dibuatnya. Notaris tidak bertanggungjawab atas kelalaian dan kesalahan isi
akta yang dibuat di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggungjawab bentuk
formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang. Mengenai
tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran
materil dibedakan menjadi empat poin, yaitu :
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materil terhadap
akta yang dibuatnya.
2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materil dalam akta
yang dibuatnya.
3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Paraturan Jabatan Notaris terhadap
kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya.
4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik Notaris.24
Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, Notaris dalam menjalankan
tugas dan jabatannya harus bertanggungjawab, artinya :
1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya
akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak
berkepentingan karena jabatannya.
24
2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang
dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak para pihak yang
berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris
menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur
akta yang dibuatnya itu.
3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu
mempunyai kekuatan bukti sempurna.25
2.2 Tinjauan Umum Tentang Deposito
2.2.1 Pengertian dan dasar hukum deposito dalam perbankan
Salah satu produk penghimpun dana yang ditawarkan oleh pihak bank kepada
nasabah yaitu deposito. Kegunaan deposito ialah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat (nasabah) yang mengalami kelebihan likuiditas, bisa berfungsi untuk
menyimpanan dana sekaligus sebagai wahana investasi, karena biasanya produk ini
menawarkan financial return.
Secara umum deposito dapat diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada
bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut
perjanjian antara pihak ketiga dengan bank yang bersangkutan.26 Saat ini simpanan
deposito sangat digemari oleh para pengusaha karena mempunyai kekuatan untuk
dijadikan jaminan kredit. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Perbankan
25
Ibid, h.49 26
menyatakan bahwa “deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan
bank”. Jadi, penarikan simpanan yang berbentuk deposito ini waktunya sudah
ditentukan (waktunya tetap) disesuaikan dengan perjanjian antara nasabah penyimpan
dana dengan bank pada saat pembukaan deposito yang bersangkutan. Peruntukan
deposito ini lebih sebagai instrumen investasi daripada sebagai wadah menyimpan
kelebihan likuiditas.
Dari pemaparan pengertian diatas ada dua unsur yang terkandung dalam
deposito yaitu :
1. Penarikan hanya dapat dilakukan dalam waktu tertentu, yang berarti
bahwa penarikan simpanan dalam bentuk deposito hanya dapat dilakukan
oleh si penyimpan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara
nasabah penyimban dengan bank;
2. Cara penarikan, dalam hal ini apabila batas waktu yang tertuang dalam
perjanjian deposito tersebut telah jatuh tempo, maka si penyimpan dapat
menarik deposito tersebut atau memperpanjang dengan suatu waktu yang
diinginkannya.27
27
Secara khusus pengaturan perbankan syariah juga merumuskan pengertian
deposito sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah),
yaitu:
“Deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya
dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah
penyimpan dan bank syariah san/atau UUS”.
Sedangkan menurut ketentuan dalam Pasal 1 huruf f Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1967 tentang Pokok Perbankan (selanjutnya disingkat UU
Pokok-Pokok Perbankan) merumuskan bahwa “deposito adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu
menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang bersangkutan”.
Karakter pokok dari deposito ialah waktu penarikannya yang tepat karena
disebut fixed deposit dan umumnya memiliki waktu jatuh tempo yaitu 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan. Deposito merupakan simpanan atau
penyerahan dana oleh nasabah untuk disimpan pada bank, dimana mengandung
pengertian bahwa bank yang menerima simpanan berhak untuk memakai dana
tersebut untuk keperluan pemenuhan keuangan operasinal bank, sedangkan hak bagi
nasabah penyimpan dana (deposan) adalah menerima bunga yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan giro atau jenis simpanan lainnya. Dalam praktek perbankan