Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 1 Awal Perbedaan Ulama dalam Menilai Status Hadist
Lecture: Dr. Aunur Rafiq Lc, Ph.D
Didin Chonyta (14750010)
Abstract
Hadith Prophet s.a.w. is one of the sources of Islamic law that describes and details the longer the religion revealed by Allah swt to His servants. Comparable to the height of the Prophet's hadith This, scholars have devoted their energy time and age them in ensuring that this tradition until the people in perfect condition and maintained. As the result, the sciences are founded to ensure the authenticity and integrity of Hadith Rasulullah Saw. at that time, appeared ihtilafat or different interpretation legas Status of Hadits. One of science is called the science of al-Jarh wa al-ta'dil, science talks about the position of reliable narrators of hadith whether they qualified for the narrations of the Prophet or needs to support other narrators or denied their narrations
Keywords: Hadist, Jarh wa ta’’dil, the different interpretation.
A. Pendahuluan
Al Qur’an merupakan sumber utama dari berbagai ketentuan yang berkenaan dengan syari’ah baik itu persoalan aqidah, akhlaq, ibadah, lebih-lebih persoalan di sekitar fiqhiyyah. Ia menjadi rujukan utama bagi setiap
persoalan hukum yang dihadapi oleh manusia. Sekalipun ia bukan kitab
undang-undang dalam pengertian dan sistematika modern, akan tetapi
beberapa ayatnya mengindikasikan teks-teks hukum yang manusia dituntut
untuk memberlakukan ketentuan tersebut dalam setiap persoalan yang terjadi
di antara mereka. Terdapat sebuah hadis yang mendukung pernyataan ini,
yaitu:
ففففا ض فففف ض ففففاض ل ضرففففا ىض فففيك
ضااففففاكضرفففف ض فففف ىض فففف ض ءافففف ضضقاففففقض ضاافففاق ضرففففاق ضضقاففففقض؟ضءا
آو آوضيأرض هاجأضضقاقض؟امهي ض ىض ض ءا ضضقاقض,ض ضقوسرضتنسب ضقاقض؟ض
....
1
1
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 2 Demikian pula al-Qur’an, ia adalah sumber utama yang digunakan
oleh jumhur ushuliyyun di dalam menyusun dan merumuskan metode/
manhaj istinbathiyyah dan ijtihad mereka. Melalui pendekatan, pengkajian dan penelitian (istiqra’) yang seksama terhadap ayat-ayat al qur’an,
muncullah berbagai metode perumusan dalil (Istidlal) yang membantu para mujtahid di dalam menganalisa setiap persoalan yang muncul di
tengah-tengah masyarakat. Metode-metode ijtihad yang pada masa sekarang dikenal
sebagai epistemologi hukum Islam itu, sangat membantu para mujtahid/
ushuliyyun di dalam memahami teks-teks al-Qur’an.
Adapun al-Hadis, ia merupakan sumber kedua sesudah al-Qur’an.
Seluruh ulama menyatakan kesepakatan pendapatnya (ijma) terhadap
kedudukan al-Hadis sebagai sumber hukum kedua. Sekalipun tidak bisa
dipungkiri sejarah Islam masa lalu mencatat adanya sekelompok orang yang
meragukan dan bahkan menolak al-Hadis dijadikan sebagai sumber hukum.
Berbagai dalih dan argumentasi mereka paparkan, akan tetapi ulama
muhadisin berhasil mempertahankan keaslian hadis karena banyak teks-teks
al-Qur’an yang mendukung dan membenarkan bahwa as-Sunah adalah
sumber kedua setelah al-Qur’an.
Munculnya perbedaan ulama atas hukum Hadis bermula pada awal
perkembangan ilmu jarh wa ta’dil, dan pengetahuan tentang rijalu hadis serta penetapan khabar. Permasalahan ini muncul pada era klasik maupun
kontemporer. Dan hasil dari perbedaan ini adalah untuk menjelaskan sunnah.
Dalam peletakan ushulu qawa’id akan membantu para muhadisin untuk
memahami keadaan rawi dan perawi yang statusnya diterima atau ditolak.
Dalam pembahasan ini penulis akan membahas tentang sejarah awal
terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan status Hadis. Serta sedikit
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 3 bermanfaat untuk membuka wawasan tentang perbedaan yang akan menjadi
manefestasi ilmu peradaban Islam.
B. Kajian Teori
Makna perbedaan yang dikhususkan dalam pembahasan ini adalah
perbedaan atas status hukum hadis yang bersifat diterima maupun ditolak
(qobulan aw raddan). Perbedaan ini dibatasi dalam ilmu ushul hadis, serta peraturan yang ada didalamnya. Ilmu ini membahas tentang ushul dan furu’, atas dasar pemahaman dan waktu pelatihan serta penghafalanya. Ketiganya
(fahm, hafal dan pelatihan) adalah syarat untuk memahami ushulu al-hadis menurut hakim, tapi disebutkan oleh mahdi2 bahwa pengetahuan hadis itu
adalah ilham, akan tetapi keduanya belum bisa dijadikan hujjah.
Secara etimologi, al-Jarh adalah bentuk isim masdar, bentuk fiil madhi dan mudhari’nya yaitu jaraha-yajrahu yang berarti melukai.3 Apabila terjadi pada tubuh, berarti melukai yang menyebabkan mengalirnya darah.4
Sedangkan jika digunakan hakim pengadilan yang ditujukan kepada saksi,
berarti menolak atau menggugurkan kesaksiannya. Sedangkan menurut
terminology ilmu hadits, al-Jarh ialah upaya mengungkap sifat-sifat tercela dari perowi hadits yang menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang
disampaikan.5
Adapun kata ta’dil, secara etimologi, adalah bentuk masdar, bentuk fiil madhi dan mudhari’nya yaitu ‘addala-yu’addilu yang berarti
2
Imam Naqid al hujjah: namanya abdu rahman ibnu Mahdi : 135-198 hijriah. Dia menerjemahkan dalam pendahuluan kharaj 1/251, di Baghdad: 1./240 serta tahdibu tahdiib :6/279
3
Ibn Manzur, Jamaluddil Muhammad b. Mukarram, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Sadir, j.2 hlm,. 422.
4
Ibn Faris, Ahmad, Faris, Zakaria, Mujmal al-Lughah, Tahqiq: Zuhair Abdul Muhsin Sultan, (1404H), Hlm. 186.
5
Al-‘Abd al-Latif, Abdul Aziz, Muhammad, Ibrahim. Dhawabit Jarh wa
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 4 mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang.6 Sedangkan menurut
terminology ilmu hadits, ta’dil ialah upaya mengungkap sifat-sifat bersih
seorang periwayat hadits sehingga nampak keadilanya yang menyebabkan
diterimanya sebuah riwayat yang disampaikannya.7
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu al-jarh wa at-ta’dil ialah ilmu yang membahas tentang keadaan periwayat-periwayat hadits, baik
mengenai catatannya ataupun kebersihannya dengan menggunakan lafal-lafal
tertentu sehingga diterima atau ditolak riwayatnya.
C. Sejarah Awal perbedaan Muhadisin dan Perkembanganya
Sejarah perkembangan Hadis merupakan masa atau periode yang
telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.8 Di zaman
Nabi SAW ulama mulai meneliti dan membina Hadis, serta segala hal yang
memengaruhi Hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah Hadis
dalam beberapa periode. Adapun para `ulama penulis sejarah Hadis
berbeda-beda dalam membagi periode sejarah Hadis. Ada yan membagi dalam tiga
periode, lima periode, dan tujuh periode. M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi
perkembangan hadis menjadi tujuh periode.9
Dalam buku ini menjelaskan bahwa pada masa khlulafa’ur rasyidin adalah awal mula penetapan hukum Hadis. Dalam masa ini tidak boleh
meriwayatkan hadis dengan satu perawi, hal ini membuktikan bahwa kritik
hadis mulai diperbolehkan.
6
Al-Munawi, Muhammad al-Mad’u Abdul Rauf, Al-Yawaqit wa al-Durar fi
Syarah Nukhbah Ibn Hajar, (al-Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1999), Hlm, 337.
7
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Hlm, 432
8
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung; Mimbar Pustaka. 2005), hlm. 29.
9
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 5
Karesteristik dalam tingkatan Hadis Dijelaskan bahwa dalam
penetapan Hadis dalam masa Nabi Muhammad SAW yakni menjadi pondasi
awal pada masa sebelumnya. Dan dapat diringkas sebagai berikut:
1. Kritik dan penjelasan hadis langsung didapatkan dari Nabi
Muhammad SAW, karena jika ada suatu permasalahan semua sahabat
akan bertanya langsung pada beliau.
2. Tidak ada keraguan sahabat dalam menukil perkataan Nabi
Muhammad SAW, karena sahabat mendengarkan langsung dari Nabi
Muhammad SAW.
3. Masa Nabi SAW menetapkan hukum Hadis.
4. Riwayat nabi tentang seorang sahabat.
Hanya saja semenjak wafatnya Nabi, kaum muslimin menghadapi
suatu persoalan yang besar dan berat. Sejak saat itu dapat dinyatakan bahwa
wahyu telah terhenti untuk berdialog dengan realitas sosial di sekitarnya.
Begitu pula pula as-Sunnah sebagai juru bicara al-Qur’an tidak lagi bisa
menjelaskan secara rinci, detil dan pasti segala bentuk pertanyaan, keraguan
dan kesamaran yang terdapat pada teks-teks al-Qur’an. Pada saat nabi hidup
hampir dapat disimpulkan perbedaan pendapat di antara sahabat relatif
sedikit, bahkan jarang terjadi. Karena ada figur Nabi SAW sebagai figur
ideal, yang cerdas dan yang paling otoritatif di dalam menengahi segala
bentuk pertikaian pendapat yang terjadi di kalangan shahabat. Pada masa
khulafaur rasyidin, jika ada pertentangan dalam penerimaan riwayat maka
akan ada yang dimintai sebagai saksi.10
Adapun semenjak wafatnya Nabi, seketika itu juga kaum muslimin
mulai bersitegang dan mulai muncul bibit friksi atau perbedaan pendapat.
Contoh atau bukti yang paling nyata untuk mendukung pernyataan itu adalah
kasus proses pergantian kepemimpinan dari Nabi SAW ke pengganti Beliau.
10 Raji’ musnad ahmad, ½, dan hamidi ½
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 6 Para ulama yang menekuni persoalan fiqh siyasah menyebutnya sebagai persoalan Istikhlaf.
Semenjak munculnya perbedaan pendapat tentang pergantian
kekuasaan tersebut, maka kuantitas dan kualitas ikhtilaf itu sendiri makin
hari semakin berkembang. Sejarah mencatat perbedaan pendapat itu tidak
melulu persoalan politik (perebutan kekuasaan), akan tetapi merambah pada
wilayah yang lebih besar lagi seperti persoalan hukum dan teologi (kalam).
Keduanya diyakini sebagai penyumbang terbesar bagi terkotak-kotaknya
kaum muslimin dalam berbagai aliran pemikiran. mazhab, sekte yang satu
dengan yang lainnya secara diametral saling berhadap-hadapan. .
Al-Hadis sebagai salah satu teks hukum, tidak memiliki derajat
validitas tunggal di kalangan muhadisin, sebagaimana al qur’an yang punya
validitas tunggal di kalangan mufassirin. Hal ini diperparah dengan karakter
internal dari matan hadis itu sendiri, yang tidak semua orang punya
kemampuan untuk memahmai bahasa ucapan Nabi. Hadis Nabi dalam
bentuk jawami’ al kalim adalah salah satu contoh kualitas internal yang
membuat penafsiran Hadis menjadi amat subyektif dan multi tafsir. Sehingga
sangat sulit ditemukan adanya kesepakatan ulama di dalam memahami arti
suatu lafaz matan dari teks hukum yang sedari awalnya memang
mengandung potensi-potensi ikhtilaf tersebut. Belum lagi koleksi hadis yang
dimiliki oleh para mujtahid dan mazhab itu sendiri juga berbeda-beda.
Ada beberapa alasan bahwa al-Hadis berperan besar bagi wujudnya
suatu iklim yang penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di
kalangan imam mazhab. Pertama, adanya persepsi dan pengamalan yang berbeda tentang pemberlakuan hadis sebagai dasar atau sumber ajaran islam.
Mereka itu oleh imam syafi’I dibagi dalam tiga golongan: (1) golongan yang
menolak seluruh as-Sunnah, (2) golongan yang menolak as-Sunnah kecuali
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 7 yang menolak as-Sunnah yang berstatus Hadis ahad, golongan ini hanya
menerima as-Sunnah yang berstatus hadis mutawatir.
Kedua, Alasan berikutnya adalah fakta bahwa Hadis yang tersebar dalam berbagai karya para ulama muhadisin memiliki derajat kualitas yang
berbeda-beda. Sebagai contoh dalam kitab shahihnya, al-Bukhari
menggunakan dua kriteria utama untuk mengukur sebuah hadis dapat
dinyatakan sebagai hadis shahih ataukah tidak. Kedua tolok ukur tersebut
adalah unsur kesezamanan (Mu’ashir) dan unsur perjumpaan (Liqa’). Artinya suatu hadis baru dapat dinyatakan sebagai hadis shahih, jika ia dapat
dibuktikan secara meyakinkan rawi-rawi yang terdapat pada sanad hadisnya
benar-benar pernah saling bertemu, ada hubungan guru-murid walaupun
hanya sekali. Tidak cukup unsur kesezaman digunakan sebagai indikator
bersambungnya sebuah sanad hadis. Hal ini berbeda dengan kriteria hadis
shahih yang dipegangi oleh imam muslim, menurut beliau kemuttashilan
hadis shahih cukup dengan dugaan kuat, bahwa kesezamanan antar dua
perawi , menjadi indikator bahwa hadis tersebut tidak gugur sanadnya.
D. Sebab Sebab Terjadi Perbedaan Ulama Muhadisin.
Hakikatnya, perbedaan merupakan anugerah Allah ‘Azza wa Jalla yang diberikan kepada manusia. Dialah yang mengetahui rahasia di balik
perbedaan yang dikehendaki-Nya. Tak terkecuali ‘perbedaan pendapat’ yang
menjadi pembahasan bab ini. Dalam al-Qur`ân al-Karîm, Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:
“Dan sekiranya Rabbmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia ummat yang satu, namun mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Dan kalimat (keputusan) Rabbmu telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”11
11
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 8 Demikian pula rasûlullâh saw. pernah memaparkan kepada para
shahabatnya, dimana beliau mengisyaratkan akan banyaknya terjadi
perbedaan pendapat. Beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian, agar kalian bertakwa pada Allah, patuh dan taat sekalipun yang memerintah
seorang budak sahaya. Sesungguhnya siapa saja yang hidup (di kala aku
sudah tiada), maka kalian akan menyaksikan perbedaan pendapat yang sangat banyak….”12
Dalam memahami ajaran agama, sudah tentu tidak akan lepas dari
persoalan bagaimana seseorang memahaminya dengan sudut pandang yang
berbeda-beda. Demikian halnya fiqih yang memiliki karakter ‘peluang memiliki perbedaan’ dimana seorang ulama akan memiliki pemahaman sesuai dengan apa yang difahaminya dan dia akan menyimpulkan dengan
kesimpulan yang sesuai dengan standar ketetapan yang diakuinya pula. Ini
semua terjadi pada para imam madzhab, dimana mereka menyimpulkan
hukum sesuai dengan kriterianya masing-masing. Inilah yang membuat
kesimpulan hukum mereka yang berbeda-beda.13
Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan, sebenarnya
para ulama telah memberikan pendapat yang sangat luas, seperti yang telah
dilukiskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Raf’ul Malâm
‘Anil A`immatil A’lâm 14
. bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan pendapat itu diantaranya:
1. Perbedaan qirâ`at, yaitu perbedaan yang terjadi dikarenakan beragamnya
cara melafalkan ayat al-Qur`ân oleh para imam ahli Qirâ`at.
12
al Imâm an-Nawâwi, Syarhul Arba’în an Nawâwiyyah, bab Wujûbu Luzûmis
Sunnah, hal. 187
13
Lihat Syah Waliyullâh ad Dahlawi, Al-Inshaf fî Bayâni Asbâbil Ikhtilâf dan Ali Abdul Wahid Wafi dalam Perkembangan Madzhab Islam(terj.) Rifyal Ka’bah M.A.
14
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 9 2. Perbedaan dalam pengetahuan hadîts, yaitu perbedaan yang terjadi karena
tidak meratanya penyampaian hadits antara yang sudah menerima, belum
menerima, bahkan tidak menerima.
3. Perbedaan dalam menilai keshahîhan hadîts, yaitu perbedaan yang
disebabkan karena tidak sama dalam menilai cacat (jarh) dan adil (ta’dil) seseorang yang meriwayatkan hadîts.
4. Perbedaan dalam menafsirkan teks (nash), yaitu perbedaan yang terjadi dikarenakan pengambilan substansi tasyrî’ yang berbeda.
5. Adanya lafazh isytirâk, yaitu perbedaan yang disebabkan karena lafazh yang mengandung makna lebih dari satu.
6. Adanya dalil kontradiktif, yaitu perbedaan dalam menilai dalil yang
kontradiktif antara yang mengukuhkan dan yang menganggap perlu
adanya tarjih dari dalil lain yang menguatkan.
7. Perbedaan qawâ’id ushûliyyah, yaitu perbedaan qaidah-qaidah ushul
masing-masing ulama yang tidak sama antara yang satu dengan yang
lainnya.
8. Adanya keterbatasan teks, yaitu perbedaan yang disebabkan karena tidak
adanya nash dalam masalah tertentu sehingga memunculkan pandangan
lain seperti qiyâs dan lain-lainnya.15
9. Sumber lain menyebutkan, terjadinya perbedaan ini dikarenakan seorang
ulama lupa dalam membawakan hadîts, memahami hadîts tidak
sebagaimana mestinya, tidak mampu membedakan mana yang nâsikh dan
mana yang mansûkh serta berdalil dengan hadîts yang lemah.16
15
Lihat Muhammad Abdul Ghafar Asy-Syarîf, Al-Furqah Bainal Muslimîn
Asbâbuhâ wa ‘Ilajuhâ dan Ahmad Ala’ Da`bas dan Husain Abdul Majid Abul A’la dalam
Hidâyatul Anâm Lima’rifati Asbâbi Ikhtilâfis Shahâbât wal Fuqahâ` fil Ahkâm. 16
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 10 Untuk mendapatkan fakta yang akurat, bagaimana Rasûlullâh saw.
sangat menghargai ikhtilâf, nampak jelas sikapnya ketika menyikapi
perselisihan shahabat dalam kasus larangan shalat sebelum sampai di
perbatasan Bani Quraizhah pada waktu perang Ahzâb. Rasûlullâh saw. berkata: “Janganlah kalian menunaikan shalat ‘ashar sebelum sampai di perbatasan Bani Quraizhah.” Ternyata hingga matahari terbenam, kaum muslimin belum juga sampai di Bani Quraizhah. Akhirnya, sebagian mereka
shalat di jalan dan sebagian yang lain tidak. Namun rasûlullâhh saw. tidak
menyalahkan keduanya. Golongan pertama berpegang kepada ‘ibaratun
nash’ dan golongan yang kedua beristinbath dari nash yang khusus.17
Adapun pelajaran yang dapat diambil dari sikap rasûlullâh saw.
adalah: selama perbedaan pendapat (ikhtilâf) itu dalam rangka ijtihad yang sehat, maka orang boleh mengikuti salah satu pendapat itu. Yang jelas, kedua
pendapat itu didorong oleh rasa keimanan, ketakwaan dan keridhaan-Nya.18
E. Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Para ahli hadits telah maksimal dalam berusaha menjaga dan
membersihkan hadits-hadits Nabi saw dari tangan-tangan kotor yang hendak
merusak dan memalsukan hadits-hadits beliau. Mereka telah sepakat bahwa
untuk menilai kualitas sebuah hadits, terlebih dahulu harus dilihat dari segi
matan dan sanadnya. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, yang
harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan pribadi
periwayat (rawi) hadits yang meliputi tentang keadilan dan kedhabithannya.
Sehingga dapat diketahui kualitas perowi hadits yang nantinya dapat menjadi
perimbangan apakah hadits yang diriwayatkannya itu di terima atau ditolak.
Menurut Imam Nahrawi, jarh dan ta’dil sebagai upaya pemeliharaan syari’at Islam bukanlah ghibah ataupun umpatan. Akan tetapi, hal itu
17
http://blog.umy.ac.id/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/
18
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 11 merupakan nasehat karena Allah, Rasul, dan kaum muslimin. Dengan demikian, jarh dan ta’dil hukumnya boleh, bahkan secara sepakat dihukumi sebagai kewajiban.
Lebih dari itu dasar al-jarh wa ta’dil sendiri juga telah digariskan oleh
Allah dalam Quran dan maupun sunnah Nabi, di antaranya surat
al-Hujurat ayat 6 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”19
Kegiatan kritik hadits sebagai upaya untuk membedakan yang benar
dan yang salah, yang maqbul dan yang mardud, benih-benihnya telah
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad saw, tetapi pada waktu itu hanya
terbatas pada kritik matan (an-naqd ad-dakhili) dengan cara
mengkorfirmasikan apa yang telah diterima sahabat yang lain kepada Nabi
untuk membuktikan bahwa apa yang diterimanya itu benar dari beliau. Atau
dengan cara membandingkannya dengan hadits lain atau dengan ayat
al-Quran.
Kemudian pada masa shahabat, kegiatan kritik hadits tidak terbatas
pada matan saja, tetapi sudah mulai pada kritik sanad hadits (an-naqd al-khariji). Di antara para shahabat yang merintis sanad hadits adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Umar,
juga Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit. Kritik terhadap sanad ini terutama
19
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 12 setelah terjadinya al-fitnah al-kubra (bencana besar) dengan terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan (61 H) dan peperangan antara Ali bin Abi Thalib
dengan Muawiyah yang menimbulkan perpecahan di kalangan kaum
muslimin. Pada masa inilah baru diletakkan asas-asas dan kaedah-kaedah
ilmu jarh wa ta’dil sebagai ilmu yang membahas tentang kritik hadits dari
sanadnya.
Sikap kritis para shahabat dalam meriwayatkan hadits dilanjutkan oleh kalangan tabi’in. di antara mereka yang ahli dalam bidang karakteristik hadits dapat disebutkan seperti Said bin Musayyab (w. 93 H), Amr as-Sya’bi
(w. 103 H), Muhammad bin Sirin (w. 110 H), juga ulama berikutnya seperti Syu’bah bin Hajjaj (82-160 H), al-Awza’I (88-158), Malik bin Anas (93-179 H), Yahya bin Said al-Qattan (w. 198 H), dan Abdurrahman bin al-Mahdi
(135-198 H). orang pertama yang menghimpun pembicaraan mengenai jarh wa ta’dil adalah Yahya bin Said al-Qattan. Pada abad kedua hijriyah ini, ilmu jarh wa ta’dil belum dibukukan, tetapi baru merupakan penyempurnaan dari dasar-dasar yang telah diletakkan pada masa sebelumnya.
Sifat-sifat yang Menyebabkan Seorang Perawi Dinilai Jarh. Seorang
perawi hadits dapat tidak diterima periwayatannya manakala terdapat satu
sifat atau beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, sifat-sifat
terebut di antaranya : Dusta, Tertuduh berbuat dusta, Fasik (melanggar ketentuan syara’), Jahalah (perawi hadits itu tidak diketahui kepribadiannya, apakah ia sebagai orang yang tsiqah atau tercacat), Ahli bid’ah (perawi yang tergolong melakukan bid’ah, dalam hal i’tikad yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak).20
Adanya perbedaan ulama ahli kritik hadits dalam menetapkan
pembagian peringkat, pengkelompokkan dan penggunaan lafadz-lafadz jarh dan ta’dil serta penetapan kualitas tertentu dikarenakan perbedaan tersebut
20
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 13 merupakan konsekuensi dari perbedaan sikap dan tingkat pengenalan mereka
terhadap kepribadian seorang periwayat. Mereka ada yang bersikap ketat
(tasyaddud), ada yang longgar (tasahul), dan ada yang bersikap longgar dan
ketat (tawassuth). Akan tetapi mereka sangat berhati-hati dalam menentukan
penilaian kualitas terhadap periwayat.
Tingkatan ta’dil, Untuk mempermudah penjelasan kita akan bahas mulai dari ulama yang mengelompokkan menjadi 4 tingkatan, lebih jelasnya
lihat table berikut :21
Tingkatan Ar-Razi Ibnu as-Shalah Imam Nawai
1. Tsiqah, muttaqin. Tsiqah, muttaqin, Dhabith, hafidz, hujjah, tsabata.
Tsiqah, muttaqin, Hafidz, ‘adl, dhabith, hujjah, tsabata.
2. La ba’tsa bihi, mahalluhu as-shidqu, shaduq. La ba’tsa bihi, mahalluhu as-shidqu, shaduq. La ba’tsa bihi, mahalluhu as-shidqu, shaduq.
3. Syaikh. Syaikh. Muqarrib al-hadits, rawa anhu an-nasu, wasatha. 4. Shalih al-hadits. Shalih al-hadits. Shalih al-hadits.
Tabel untuk ulama yang membagi tingkatan ta’dil menjadi 5 tingkatan:
Tingkatan adz-Dzahabi al-Iraqi al-Harawi
1. Tsabat hujjah, tsabat hafidz, tsabat muttaqin, tsiqah tsiqah. Tsabat
tsabat, tsiqah hujjah, tsiqah tsabat, tsiqah ma’mun, tsiqah tsiqah Atsbatu an-nas, awtsatu an-nas.
2. Muttaqin, tsabat. Tsiqah. Muttaqin, tsabat. Tsiqah, Hujjah, hafidz. Tsiqah tsiqah, tsiqah tsabat, tsabat hujjah, tsiqah muttaqin, tsabat hafidz, adl, dhabith.
3. Laysa bihi ba’sun, shaduq. Muqaribu al-hadits, hasan al-hadits, shalih al-hadits Khayr, mahaluhu as-shidqu, ma’mun.
21
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 14 4. Wasath syaikh, syaikh wasath, hasan al-hadits, jayyid al-hadits,
mahalluhu as-shidqu, shalih al-hadits. Wasath, syaikhu, syaikh wasath, mahalluhu as-shidqu. Muqarib al-hadits, rawa anhu an-nasu, syaikh, hasan al-hadits, jayyid, jayyid al-hadits.
5. Arju an la ba’sa bihi, shuwailih, shaduq insya Allah. Laisa bihi
ba’sun, la ba’sa bihi, khiyar, shaduq, ma’mun. Shuwailih wasath, arju an la ba’sa bihi, shalih al-hadits.
Tabel untuk ulama yang membagi tingkatan ta’dil menjadi 6 tingkatan:
Tingkatan Ibnu Hajar al-Asqalani dan as-Suyuthi
1. Atsbatu an-nas, awtsaqu an-nas, fulan yusalu anhu, min mitsli fulanin, la atsbata minhu faqwa as-tsiqah, ilaihi al-muntahi fi at-tasbit.
2. Tsabat hujjah, tsiqah ma’mun, hafidz hujjah, tsabat tsiqah, hujjah hujjah, tsabat tsabat, tsiqah tsiqah.
3. Dahbith, hafidz, hujjah, tsabat, tsiqah. 4. Khiyar, laba’sa bihi, ma’mun, shaduq.
5. Wasath syaikh, muqarib, hasan al-hadits, jayyid al-hadits, rawaw
‘anhu, mahalluhu as-sidqu, sahdiq al-hadits, shaduq taghayyara
bi-akhirihi, sayyi’u al-hifdzi, shaduq su’a al-hifdzi, shaduq yukhti’u, shaduq lahu awhamu, shaduq insya Allah.
6. Maqbul, arju an la ba’sa bihi, shuwailih.
Setelah memperhatikan tabel yang menunjukkan perbedaan di atas, lebih mudahnya kita kelompokkan tingkatan ta’dil sebagai berikut :22
1) Tingkatan Pertama.
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan”
22
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 15
atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2) Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya,
ke‘adilannya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh
maupun dengan makna; seperti: tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt,
atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh. 3) Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas
hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh. 4) Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke‘adilan dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti: Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa
ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli
hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia
ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
5) Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti:
Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits
(diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6) Tingkatan Keenam
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 16 Tingkatan jarh, Para ulama ahli kritik hadits juga berbeda pendapat
dalam penggunaan lafal pada setiap tingkatan jarh, seperti halnya perbedaan ulama’ dalam pengunakan lafal pada tingkatan ta’dil. Lebih jelasnya lihat table berikut: Tabel untuk pembagian jarh dalam empat tingkatan. Tingkatan
Ar-Razi, Ibnu as-Shalah dan Imam Nawawi
1. Kadzdzab, matruk, dzahib al-hadits. 2. Dhaif al-hadits.
3. Laisa bi quwwah. 4. Layyin al-hadits.
Tabel untuk pembagian jarh dalam lima tingkatan. Tingkatan adz-Dzahabi
al-Iraqi al-Harawi
1. Wadha’a, wadhdha’, dajjal, kadzdzab, yadha’u al-hadits. Yakdzabu,
yadha’u, wadha’a, wadhdha’, dajjal, kadzdzab. Akdzabu an-nas, afsaqu an-nas, kadzdzab, yakdzabu, wadhdha’, dajjal, yadha’u al -hadits.
2. Muttafaq ala tarkihi, muttahim bi al-kadzdzab. Saqith la yu’tabaru, fihi nadzrun, sakatu ‘anhu, halik, laisa bi tsiqah, dzahib, matruk, muttahim bi kadzdzab. Halik fihi nadzrun, muttahim bi
al-wadhdha’, dzahib, dzahib al-hadits, matruk, matruk al-hadits, muttahim bi al-kadzdzab, gairu tsiqah, laisa bio tsiqah, tarkuhu, sakatu ‘anhu, saqith, saqith al-hadits.
3. Saqith, halik, matruk, dzahib al-hadits, laisa bi tsiqah, sakatu ‘anhu,
fihi nadzrun. Muthrah bihi, dha’if jiddan, la yusawiy syaiin, wahmun,
radd hadits. La syaia, irmi bihi, tharahu haditsahu, mardud al-hadits, radd al-al-hadits, laisa bi syaiin, la yusawiy syaian.
4. Laisa bil qawiy, fihi maqal, fihi dhaif, layyin, la yuhtaj, laisa
bidzalika, khtalifu fihi, qad dhaifa, yadh’afu fihi, sayyi’u al-hifdzi,
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 17
qawiy, takallamu fihi, sayyi’ul hifdzi, tha’auhu, fihi khilafun, laisa bi
al-mardha, laisa bi umdatin, laisa bi al-matn, laisa bi hujjatin, laisa
bi dzalika, laisa bil qawiy, fihi haditsuhu dha’fun.
5. takallama fihi, tu’rafu wa tunkaru, shaduq lakinahu mubtadi’un.
Layyin. layyin, layyin al-hadits.
Tabel untuk pembagian jarh dalam enam tingkatan. Tingkatan Ibnu Hajar
al-Asqalani dan as-Suyuthi
1. Akdzabu an-nas, awdha’u an-nas, munbi’ul kadzib, ilaihi al-muntahi al-wadh’i.
2. Wadhdha’, dajjal, kadzdzab.
3. Muntahim bil kadzdzab, tarakuhu, matruk, sakatu ‘anhu, la yu’tabar
haditsuhu, la yu’tabar bihi, saqith, dzahib, halik, matruk al-hadits, mttahim bi al-wadh’I, ghairu ma’mun, ghairu tsiqah.
4. Layusawi syaian, dhaif jiddan, laisa bi syaiin, mardud al-ahdits, raddan haditsuhu, wahin, irmi bihi, mathruh al-hadits.
5. Majhul, haditsuhu mudhtharib, mudhtharib al-hadits, munkir
al-hadits, dha’afuhu, dha’ifun.
6. Layyin, laisa bi al-qawiy, dhaif al-hadits, dha’fun, fi haditsihi
dha’fun, saiyi’u al-hifdzi, maqal fihi, fihi haditsuhu maqal, yunkar wa
yu’raf, fihi khilafun, akhtalifu fihi, lisa bi a-matni, laisa bi hujjatin, laisa bi al-‘abdi, laisa bi dzalika, las bi al-mardha, lasa bi dzalika al-qawiy, tha’anu fihi, takallamu fihi, ma a’lamu bihi ba’san, arju anal
ba’sa bihi.23
Imu Jarh wa ta’dil merupakan sebagian ilmu kritik sanad yang
membahas keaadaan periwayat hadits, baik kualitas pribadi maupun
kapasitas intelektualnya. Oleh karena itu ilmu ini sangat penting untuk
menetukan kualitas suatu hadits. Maka untuk memperoleh hasil penelitian
23
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 18
yang lebih obyektif dan mendekati kebenaran haruslah dikembangkan
penelitin dan kritik tidak hanya kepada periwayat hadits saja, tetapi perlu
memperhatikan ulama ahli kritik hadits itu sendiri dari segi kualitas
pribadinya dan kapasitas intelektualnya.
F. Kesimpulan
1. Sejarah Perbedaan Pendapat dalam menghukumi status Hadis sudah ada
semenjak dahulu pada masa Nabi saw. Setelah beliau wafat munculah
perbedaan penafsiran Al-Qur’an maupun Al-Hadis dalam penggunaanya.
2. Ilmu jarh wa ta’dil digunakan untuk mengukur validitas kashahihan
hadis. Ilmu ini mulai berkembang dengan pesat setelah adanya Inkaru sunnah (pengingkaran terhadap sunah Nabi Muhammad Saw) dalam periwayatan Hadis Nabi saw
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Al-Karim
Abu Lubabah Husain, al-Jarh wa at-Ta’dil, (Riyadh: Dar al-Liwa’, 1979).
Al-‘Abd al-Latif, Abdul Aziz, Muhammad, Ibrahim. Dhawabit Jarh wa
al-Ta’dil, (Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyyah, 1412H).
Al-Munawi, Muhammad al-Mad’u Abdul Rauf, Al-Yawaqit wa al-Durar fi Syarah Nukhbah Ibn Hajar, (al-Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1999).
al Imâm an-Nawâwi, Syarhul Arba’în an Nawâwiyyah, bab Wujûbu Luzûmis Sunnah, (Ttp, Tth).
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung; Mimbar Pustaka. 2005).
Ibn Manzur, Jamaluddil Muhammad, Mukarram, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, T.t).
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 19 M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Bulan
Bintang. 1987).
Muhammad Shâlih al Utsaimîn dalam Al-Khilâf Bainal ‘Ulamâ`, (Tt, Th)
Muhammad Abdul Ghafar Asy-Syarîf, Al-Furqah Bainal Muslimîn Asbâbuhâ
wa ‘Ilajuhâ dan DR. Ahmad Ala’ Da`bas dan Husain Abdul Majid Abul A’la dalam Hidâyatul Anâm Lima’rifati Asbâbi Ikhtilâfis
Shahâbât wal Fuqahâ` fil Ahkâm.
Muhammad Abu Rayyah, Adwa’ Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, Juz I (Cet. III, Mesir: Dar al-Ma’arif, tt)
Muhammad Mustofa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature, diterjemahkan oleh A. Yamin dengan judul, Metodologi Kritik Hadits, (Cet. II, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996).
Nur ad-din, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, (Cet III, Damaskus: Dar al-Fikr, 1992).
Syah Waliyullâh ad Dahlawi dalam Al-Inshaf fî Bayâni Asbâbil Ikhtilâf dan Ali Abdul Wahid Wafi dalam Perkembangan Madzhab Islam (terj.) Rifyal Ka’bah M.A.
http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab