• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Karakter 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendidikan Karakter 2"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KARAKTER

A. Pendahuluan

Pendidikan karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini;

bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional.

Meski sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik

melalui konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak

terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan

Mendiknas, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara kongkrit

melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.

Segera jelas, pendidikan karakter terkait dengan bidang-bidang lain,

khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini

berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam

berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup

nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan—

selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan

proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak

manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai

luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan

kebudayaannya.

Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam

waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan

masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan

(2)

perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi

dan terakhir sekali globalisasi.

Kondisi watak atau “karakter” manusia umumnya dewasa ini, sejak dari level

internasional sampai kepada tingkat personal individual, khususnya bangsa kita,

kelihatan mengalami berbagai disorientasi dan kemerosotan. Karena itu, harapan

dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir

untuk pembangunan kembali watak atau karakter melalui pendidikan karakter

menjadi semakin meningkat dan nyaring. Karena itu, kebijakan Mendiknas

mengutamakan pula pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam

konteks ini di tanah air kita.

Sekarang ini dari hari ke hari kita menyaksikan semakin meningkatnya

penyimpangan moral dan akhlak pada berbagai kalangan masyarakat. Karakter

bangsa yang sebelumnya berpegang pada ajaran-ajaran agama, nilai-nilai luhur

bangsa terus mengalami kemerosotan secara cepat. Dan, celakanya berbagai

bentuk pelanggaran itu dengan segera dan instan menyebar melalui media

komunikasi instan pula seperti internet, HP, dan semacamnya.

Ada kepedihan mendalam di sini. Meski bisa terkesan sedikit simplistis dan

menyederhanakan masalah, semua pelanggaran akhlak mulia dan nilai-nilai luhur itu

banyak bersumber dari terjadinya krisis dalam watak dan karakter bangsa. Dan, jika

dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan

semakin tiadanya harmoni dalam keluarga. Banyak keluarga mengalami disorientasi

bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan

globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai

dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai

contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana

(3)

Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan

rumahtangga.

Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan

rumah tangga hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak

yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran,

penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya,

seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya

tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).

Sekolah seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu

menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal,

sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang

overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan

relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya,

(4)

B. Pembahasan

Berbicara tentang pendidikan karakter, baik kita mulai dengan ungkapan

indah Phillips dalam The Great Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world”.

Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti

dikemukakan di atas, hemat saya, pendidikan karakter merupakan langkah sangat

penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang

pembentukan karakter masyarakat Indonesia. Tetapi penting untuk segara

dikemukakan—sebagaimana terlihat dalam pernyataan Phillips tadi—bahwa

pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga;

sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah

pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan

educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara

ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.

Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan

pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah

diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah

kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.

Tidak perlu diungkapkan panjang lebar, Islam memberikan perhatian yang

(5)

ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath (bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang

dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.

Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik

memiliki empat ciri. Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan

sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam

kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling

menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi

nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan.

Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu

selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya

melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.

Datang dari keluarga mawaddah wa rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti

proses pembelajaran di sekolah. Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering

dikemukakan banyak orang--seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun

sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan

pendidikan nilai.

Praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorentasi pada pendidikan

(6)

yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi lebih menekankan pada

perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Banyak guru yang memiliki

persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki

nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.

Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill

yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus

mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan

soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan

berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan.

Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan

keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).

Sebenarnya dalam kurikulum KTSP berbasis kompetensi jelas dituntut

muatan soft skill. Namun penerapannya tidaklah mudah sebab banyak tenaga pendidik tidak memahami apa itu soft skill dan bagaimana penerapannya. Soft skill

merupakan bagian ketrampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan

atau sensitifitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat

soft skill lebih mengarah kepada ketrampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa

dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama,

(7)

mengarah pada proses eksistensi seseorang dalam kehidupannya. Pengembangan

soft skill yang dimiliki oleh setiap orang tidak sama sehingga mengakibatkan tingkatan soft skill yang dimiliki masing-masing individu juga berbeda.

1. Konsep Pendidikan Karakter

Secara harfiah karakter artinya kualitas mental atau moral, kekuatan moral,

nama atau reputasi (Hornby dan Panwell,1972:49). Menurut Kamus Lengkap Bahasa

Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang

membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya

mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa,1997:281). Dalam Dorland’s

PocketMedical Dictionary (1968:126) dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata

dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu. Di dalam kamus psikologi dinyatkan

bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau morl, misalnya

kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat relative tetap

(Dali Gulo,1982:29). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau

menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam

bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan

perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang

perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya ,

(8)

sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai

individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha

melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan

mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran,

emosi dan motivasinya(perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter

kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau

kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter

dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen

pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,

penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan

aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,

dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan

karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam

menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang

dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu

membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku

guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi,

(9)

Dan dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental

atau moral, akhlah atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus

yang membedakan dengan individu lain (M. Furqon,2009:9). Tujuannya adalah

membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat,

dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga

masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau

bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi

oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan

karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni

pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri,

dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber

dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga

disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli

psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan

ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih

sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang

menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai,

dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia

terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung

jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya

integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada

nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang

lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai

(10)

Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata

tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran.

Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran

yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah

dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola

perkembangannya.

Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan

demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan,

tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai

tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang

pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu

kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia

sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada

hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan

standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat

istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai moral

atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap

keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter.

Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan

(11)

masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas

pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.

Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang

kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama,

tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis

Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.

Pendidikan Nilai

Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan

hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan

teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan

kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak

seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977:

Kirschenbaum & Simon 1974).

Usaha pembentukan watak melalui sekolah, hemat saya, selain dengan

pendidikan karakter di atas, secara berbarengan dapat pula dilakukan melalui

pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui

model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah

(12)

setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan

dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.

Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara

terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa

dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai;

melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai

konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak

atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus

menerus dan konsisten.

Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran

khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan

kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik

terhadap matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik

dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi

verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan

(13)

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas

pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan

tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya

kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai

kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut

telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga

pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat

meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui

peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya

upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun

demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang

pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian

pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang

dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral

kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang

lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman

nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan

fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan

psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan

masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks

totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam:

(14)

development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)

Sementara itu, character counts di Amerika mengidentifikasikan bahwa

karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; dapat dipercaya (trustworthiness), rasa

hormat dan perhatian (respect), tanggung jawab (responsibility), jujur (fairness),

peduli (caring), kewarganegaraan (citizenship), ketulusan (honesty), berani

(courage), tekun (diligence) dan integritas.

Pada intinya bentuk karakter apa pun yang dirumuskan tetap harus

berlandaskan pada nilai-nilai universal. Oleh karena itu, pendidikan yang

mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu

mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih sayang

kepada anak didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang bagus. Hal

itu merupakan usaha intensional dan proaktif dari sekolah, masyarakat dan negara

untuk mengisi pola pikir dasar anak didik, yaitu nilai-nilai etika seperti menghargai diri

sendiri dan orang lain, sikap bertanggung jawab, integritas, dan disiplin diri. Hal itu

memberikan solusi jangka panjang yang mengarah pada isu-isu moral, etika dan

akademis yang merupakan concern dan sekaligus kekhawatiran yang terus

meningkat di dalam masyarakat.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan

karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara

sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia

yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,

lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,

perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,

(15)

2. Nilai-nilai Karakter

Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum,

etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang

dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam

hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan

lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang dimaksud

dan diskripsi ringkasnya.

1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan

a. Religius

Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu

berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.

2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri

a. Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang

yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan,

baik terhadap diri dan pihak lain

b. Bertanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan

kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri

sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan

Tuhan YME.

(16)

Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan

hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat

mengganggu kesehatan.Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku

tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

d. Kerja keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi

berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan)

dengan sebaik-baiknya.

e. Percaya diri

Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan

tercapainya setiap keinginan dan harapannya.

f. Berjiwa wirausaha

Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali

produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk

pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan

operasinya.

g. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif

Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk

menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah

dimiliki.

h. Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas.

i. Ingin tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih

(17)

j. Cinta ilmu

Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,

kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.

3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama

a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak

diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang

lain.

b. Patuh pada aturan-aturan sosial

Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan

masyarakat dan kepentingan umum.

c. Menghargai karya dan prestasi orang lain

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu

yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati

keberhasilan orang lain.

d. Santun

Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata

perilakunya ke semua orang.

e. Demokratis

Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan

kewajiban dirinya dan orang lain.

4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan

a. Peduli sosial dan lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada

(18)

memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi

bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

5. Nilai kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan

bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

a. Nasionalis

Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,

kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan

fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.

b. Menghargai keberagaman

Sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai macam hal baik

yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.

3. Tahapan Pengembangan Karakter

Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk

dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam

penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada

dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh

dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh

dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan

melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga

berperan membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungannya.

(19)

sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk

melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan

kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik

(components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat

memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai

kebajikan (moral).

Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini

berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu

kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan

(20)

dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara

pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk

melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa

dan negara serta dunia internasional.

Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah

terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat

salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang

berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena

keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu

dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Komponen ini dalam pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Pendidikan karakter yang baik dengan

demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. Dengan demikian jelas bahwa karakter

dikembangkan melalui tiga langkah, yakni mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan moral action. Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik

atau unggul/tangguh.

Pengembangan karakter sementara ini direalisasikan dalam pelajaran

agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang program utamanya

cenderung pada pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan mendalam sampai ke

(21)

yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan

yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut Conatio, dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif.

Pendidikan karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai

dari pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai

secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantoro

menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.

4. Peran Gerakan Perempuan

Pembangunan karakter bangsa untuk membentuk peradaban unggul jelas

merupakan tanggung jawab semua pihak; keluarga, sekolah, masyarakat,

pemerintah, dan tentu saja juga berbagai organisasi kemasyarakatan, termasuk

gerakan dan organisasi perempuan. Sekali lagi, meski pendidikan karakter bukan

hanya semata-mata tanggungjawab perempuan, namun karena peran strategis

mereka dalam kehidupan keluarga khususnya, maka perempuan dapat memainkan

peran khusus dalam bidang krusial ini.

Jika perempuan ingin memainkan peran lebih besar lagi dalam pembangunan

karakter bangsa, maka itu pertama-tama harus dimulai dengan dalam kehidupan

keluarga. Karena, seperti dikemukakan terdahulu, pendidikan karakter—yang

merupakan bagian dari pendidikan nilai—mestilah bermula dan terutama berlaku di

dalam keluarga. Penting ditekankan, tanggungjawab pendidikan karakter dalam

keluarga bukan hanya tanggung jawab perempuan (istri), tetapi juga laki-laki (suami).

Suami atau sang ayah sama sekali tidak bisa menyerahkan tanggungjawab

pendidikan karakter khususnya kepada istrinya dengan berbagai alasan, yang

(22)

Dalam konteks itu, perempuan sepatutnya meningkatkan usaha-usahanya

dalam pembinaan keluarga; tidak hanya fokus pada pembinaan keutuhan keluarga

dalam kehidupan ekonomi dan sosial, tetapi juga dalam bidang pendidikan,

khususnya pendidikan karakter. Untuk itu, perempuan dapat melakukan berbagai

kegiatan pembinaan dan bimbingan yang melibatkan keluarga. Dalam kegiatan

semacam ini dapat diberikan substansi pendidikan karakter, langkah-langkah metode

pembelajaran dan penerapan bagi setiap anggota keluarga. Dengan begitu,

suami-istri, ayah-ibu dan anggota-anggota keluarga lainnya menjadi aktor-aktor aktif dalam

pendidikan karakter dalam rumahtangga.

Dalam skala lebih luas, perempuan dapat melakukan konsolidasi dan

meningkatkan kerjsama dengan sekolah dan masyarakat untuk mengakselerasikan

pendidikan karakter pada berbagai segmen, lapisan, dan tingkatan masyarakat.

Karena, bagaimanapun, seperti telah dikemukakan di atas, pendidikan karakter

(23)

DAFTAR RUJUKAN

Fraenkel, Jack R., 1977, How to Teach about Values: An Analytical Approach, Englewood, NJ: Prentice Hall.

Hidayatullah, M. Furqon .2009. Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.

Surakarta:Yuma Pustaka.

International Education Foundation, 2000, “The Need for Character Education”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.

Kemendiknas,2010. Pendidikan karakter di sekolah Menengah Pertama.

Kirschenbaum, Howard & Sydney B. Simon, 1974, “Values and Futures Movement in Education”, dalam Alvin Toffler (ed.), Learning for Tomorrow: The Role of the Future in Education, New York: Random House.

Navis, AA, 1999, “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.

Phillips, C. Thomas, 2000, “Family as the School of Love”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.

Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dalam membangun rezim otoriter baru di Mesir, Al Sisi tidak ingin mengulangi kesalahan sebagaimana yang dilakukan Menteri Pertahanan, Mohamed Hussein Tantawi pada

Dengan demikian penggunaan pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bendungan Hilir 01 Pagi Jakarta Pusat..

- Domain (Daerah asal) dari Relasi R adalah himpunan bagian dari A yang terdiri atas elemen pertama dari semua pasangan terurut anggota R.f. Gambarkan diagram panah

Kompres hangat adalah suatu tindakan pemberian kompres hangat untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman, mengurangi nyeri dan mengurangi atau mencegah terjadinya spasme otot

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Rasio Leverage dan Rasio Profitibilitas memilik pengaruh terhadap Peringkat Obligasi (Studi pada Perusahaan

Bersama ini kami kirimkan Laporan Realisasi Pendapatan PNBP Bulan Agustus 2017 pada Satuan Keija Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura.. Demikian kami sampaikan dan

Proses adalah suatu kegiatan yang dilakukan sejak dimulai hingga berakhir, karena proses menyangkut keberlangsungan dan kesinambungan suatu pekerjaan. Proses