PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pendahuluan
Pendidikan karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini;
bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional.
Meski sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik
melalui konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak
terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan
Mendiknas, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara kongkrit
melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.
Segera jelas, pendidikan karakter terkait dengan bidang-bidang lain,
khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini
berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam
berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup
nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan—
selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan
proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak
manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai
luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan
kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam
waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan
masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan
perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi
dan terakhir sekali globalisasi.
Kondisi watak atau “karakter” manusia umumnya dewasa ini, sejak dari level
internasional sampai kepada tingkat personal individual, khususnya bangsa kita,
kelihatan mengalami berbagai disorientasi dan kemerosotan. Karena itu, harapan
dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir
untuk pembangunan kembali watak atau karakter melalui pendidikan karakter
menjadi semakin meningkat dan nyaring. Karena itu, kebijakan Mendiknas
mengutamakan pula pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam
konteks ini di tanah air kita.
Sekarang ini dari hari ke hari kita menyaksikan semakin meningkatnya
penyimpangan moral dan akhlak pada berbagai kalangan masyarakat. Karakter
bangsa yang sebelumnya berpegang pada ajaran-ajaran agama, nilai-nilai luhur
bangsa terus mengalami kemerosotan secara cepat. Dan, celakanya berbagai
bentuk pelanggaran itu dengan segera dan instan menyebar melalui media
komunikasi instan pula seperti internet, HP, dan semacamnya.
Ada kepedihan mendalam di sini. Meski bisa terkesan sedikit simplistis dan
menyederhanakan masalah, semua pelanggaran akhlak mulia dan nilai-nilai luhur itu
banyak bersumber dari terjadinya krisis dalam watak dan karakter bangsa. Dan, jika
dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan
semakin tiadanya harmoni dalam keluarga. Banyak keluarga mengalami disorientasi
bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan
globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai
dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai
contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana
Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan
rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan
rumah tangga hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak
yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran,
penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya,
seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya
tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Sekolah seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu
menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal,
sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang
overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan
relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya,
B. Pembahasan
Berbicara tentang pendidikan karakter, baik kita mulai dengan ungkapan
indah Phillips dalam The Great Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti
dikemukakan di atas, hemat saya, pendidikan karakter merupakan langkah sangat
penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang
pembentukan karakter masyarakat Indonesia. Tetapi penting untuk segara
dikemukakan—sebagaimana terlihat dalam pernyataan Phillips tadi—bahwa
pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga;
sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan
educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara
ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan
pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah
diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah
kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Tidak perlu diungkapkan panjang lebar, Islam memberikan perhatian yang
ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath (bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang
dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik
memiliki empat ciri. Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan
sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling
menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi
nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan.
Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu
selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya
melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.
Datang dari keluarga mawaddah wa rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti
proses pembelajaran di sekolah. Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering
dikemukakan banyak orang--seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun
sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan
pendidikan nilai.
Praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorentasi pada pendidikan
yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi lebih menekankan pada
perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Banyak guru yang memiliki
persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki
nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.
Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill
yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus
mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan
soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan
berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan.
Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Sebenarnya dalam kurikulum KTSP berbasis kompetensi jelas dituntut
muatan soft skill. Namun penerapannya tidaklah mudah sebab banyak tenaga pendidik tidak memahami apa itu soft skill dan bagaimana penerapannya. Soft skill
merupakan bagian ketrampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan
atau sensitifitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat
soft skill lebih mengarah kepada ketrampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa
dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama,
mengarah pada proses eksistensi seseorang dalam kehidupannya. Pengembangan
soft skill yang dimiliki oleh setiap orang tidak sama sehingga mengakibatkan tingkatan soft skill yang dimiliki masing-masing individu juga berbeda.
1. Konsep Pendidikan Karakter
Secara harfiah karakter artinya kualitas mental atau moral, kekuatan moral,
nama atau reputasi (Hornby dan Panwell,1972:49). Menurut Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya
mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa,1997:281). Dalam Dorland’s
PocketMedical Dictionary (1968:126) dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata
dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu. Di dalam kamus psikologi dinyatkan
bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau morl, misalnya
kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat relative tetap
(Dali Gulo,1982:29). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan
perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang
perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya ,
sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai
individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan
mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran,
emosi dan motivasinya(perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter
dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,
dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan
karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam
menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku
guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi,
Dan dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental
atau moral, akhlah atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus
yang membedakan dengan individu lain (M. Furqon,2009:9). Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat,
dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau
bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri,
dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber
dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga
disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli
psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih
sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai,
dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia
terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung
jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya
integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada
nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang
lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata
tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran.
Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran
yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah
dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola
perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan
demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan,
tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai
tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang
pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu
kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia
sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada
hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan
standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat
istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai moral
atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap
keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter.
Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan
masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas
pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang
kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama,
tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis
Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.
Pendidikan Nilai
Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan
hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan
kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak
seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977:
Kirschenbaum & Simon 1974).
Usaha pembentukan watak melalui sekolah, hemat saya, selain dengan
pendidikan karakter di atas, secara berbarengan dapat pula dilakukan melalui
pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui
model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah
setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan
dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara
terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa
dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai;
melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai
konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak
atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus
menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran
khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan
kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik
terhadap matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik
dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi
verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai
kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut
telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui
peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya
upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun
demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang
pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian
pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang
dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral
kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang
lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman
nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan
fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan
psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam:
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)
Sementara itu, character counts di Amerika mengidentifikasikan bahwa
karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; dapat dipercaya (trustworthiness), rasa
hormat dan perhatian (respect), tanggung jawab (responsibility), jujur (fairness),
peduli (caring), kewarganegaraan (citizenship), ketulusan (honesty), berani
(courage), tekun (diligence) dan integritas.
Pada intinya bentuk karakter apa pun yang dirumuskan tetap harus
berlandaskan pada nilai-nilai universal. Oleh karena itu, pendidikan yang
mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu
mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih sayang
kepada anak didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang bagus. Hal
itu merupakan usaha intensional dan proaktif dari sekolah, masyarakat dan negara
untuk mengisi pola pikir dasar anak didik, yaitu nilai-nilai etika seperti menghargai diri
sendiri dan orang lain, sikap bertanggung jawab, integritas, dan disiplin diri. Hal itu
memberikan solusi jangka panjang yang mengarah pada isu-isu moral, etika dan
akademis yang merupakan concern dan sekaligus kekhawatiran yang terus
meningkat di dalam masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
2. Nilai-nilai Karakter
Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum,
etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang
dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan
lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang dimaksud
dan diskripsi ringkasnya.
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a. Religius
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu
berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan,
baik terhadap diri dan pihak lain
b. Bertanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan
Tuhan YME.
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan
hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat
mengganggu kesehatan.Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
d. Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan)
dengan sebaik-baiknya.
e. Percaya diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan
tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
f. Berjiwa wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali
produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk
pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan
operasinya.
g. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah
dimiliki.
h. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
i. Ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
j. Cinta ilmu
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak
diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang
lain.
b. Patuh pada aturan-aturan sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan
masyarakat dan kepentingan umum.
c. Menghargai karya dan prestasi orang lain
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati
keberhasilan orang lain.
d. Santun
Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata
perilakunya ke semua orang.
e. Demokratis
Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a. Peduli sosial dan lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi
bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5. Nilai kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
a. Nasionalis
Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
b. Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai macam hal baik
yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
3. Tahapan Pengembangan Karakter
Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk
dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam
penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada
dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh
dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh
dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan
melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga
berperan membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungannya.
sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk
melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan
kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik
(components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat
memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai
kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini
berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu
kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan
dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara
pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk
melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa
dan negara serta dunia internasional.
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah
terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat
salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang
berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena
keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu
dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Komponen ini dalam pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Pendidikan karakter yang baik dengan
demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. Dengan demikian jelas bahwa karakter
dikembangkan melalui tiga langkah, yakni mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan moral action. Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik
atau unggul/tangguh.
Pengembangan karakter sementara ini direalisasikan dalam pelajaran
agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang program utamanya
cenderung pada pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan mendalam sampai ke
yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan
yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut Conatio, dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif.
Pendidikan karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai
dari pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai
secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantoro
menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.
4. Peran Gerakan Perempuan
Pembangunan karakter bangsa untuk membentuk peradaban unggul jelas
merupakan tanggung jawab semua pihak; keluarga, sekolah, masyarakat,
pemerintah, dan tentu saja juga berbagai organisasi kemasyarakatan, termasuk
gerakan dan organisasi perempuan. Sekali lagi, meski pendidikan karakter bukan
hanya semata-mata tanggungjawab perempuan, namun karena peran strategis
mereka dalam kehidupan keluarga khususnya, maka perempuan dapat memainkan
peran khusus dalam bidang krusial ini.
Jika perempuan ingin memainkan peran lebih besar lagi dalam pembangunan
karakter bangsa, maka itu pertama-tama harus dimulai dengan dalam kehidupan
keluarga. Karena, seperti dikemukakan terdahulu, pendidikan karakter—yang
merupakan bagian dari pendidikan nilai—mestilah bermula dan terutama berlaku di
dalam keluarga. Penting ditekankan, tanggungjawab pendidikan karakter dalam
keluarga bukan hanya tanggung jawab perempuan (istri), tetapi juga laki-laki (suami).
Suami atau sang ayah sama sekali tidak bisa menyerahkan tanggungjawab
pendidikan karakter khususnya kepada istrinya dengan berbagai alasan, yang
Dalam konteks itu, perempuan sepatutnya meningkatkan usaha-usahanya
dalam pembinaan keluarga; tidak hanya fokus pada pembinaan keutuhan keluarga
dalam kehidupan ekonomi dan sosial, tetapi juga dalam bidang pendidikan,
khususnya pendidikan karakter. Untuk itu, perempuan dapat melakukan berbagai
kegiatan pembinaan dan bimbingan yang melibatkan keluarga. Dalam kegiatan
semacam ini dapat diberikan substansi pendidikan karakter, langkah-langkah metode
pembelajaran dan penerapan bagi setiap anggota keluarga. Dengan begitu,
suami-istri, ayah-ibu dan anggota-anggota keluarga lainnya menjadi aktor-aktor aktif dalam
pendidikan karakter dalam rumahtangga.
Dalam skala lebih luas, perempuan dapat melakukan konsolidasi dan
meningkatkan kerjsama dengan sekolah dan masyarakat untuk mengakselerasikan
pendidikan karakter pada berbagai segmen, lapisan, dan tingkatan masyarakat.
Karena, bagaimanapun, seperti telah dikemukakan di atas, pendidikan karakter
DAFTAR RUJUKAN
Fraenkel, Jack R., 1977, How to Teach about Values: An Analytical Approach, Englewood, NJ: Prentice Hall.
Hidayatullah, M. Furqon .2009. Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.
Surakarta:Yuma Pustaka.
International Education Foundation, 2000, “The Need for Character Education”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.
Kemendiknas,2010. Pendidikan karakter di sekolah Menengah Pertama.
Kirschenbaum, Howard & Sydney B. Simon, 1974, “Values and Futures Movement in Education”, dalam Alvin Toffler (ed.), Learning for Tomorrow: The Role of the Future in Education, New York: Random House.
Navis, AA, 1999, “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
Phillips, C. Thomas, 2000, “Family as the School of Love”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.