• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pattern of Development Area of Beef Cattle at Aceh Besar District in Nanggroe Aceh Darussalam Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pattern of Development Area of Beef Cattle at Aceh Besar District in Nanggroe Aceh Darussalam Province"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PENGEMBANGAN KAWASAN SAPI POTONG

DI KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

DARWIS EFFENDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

ABSTRACT

DARWIS EFFENDI. Pattern of Development Area of Beef Cattle at Aceh Besar District in Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under direction of ASNATH MARIA FUAH, RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI.

Aceh Besar district have not been able to provide a source of livestock breeds and going to meet the needs of beef cattle fattening business people, so that the dependence of the provision of livestock breeds and going from outside the area is very high. One of the potential of livestock sub-sector, especially beef cattle farms suitable for development in Aceh Besar district is breeding beef cattle. This study aims to identify the potential and pattern of development of the area of beef cattle in the district of Aceh Besar Aceh. The research was carried out on beef cattle breeding areas in Aceh Besar district, which was held in May to July 2011 through the collection data by the survey method of 280 Bali cattle and 72 farmers. The data in the form of farmer characteristics, technical and management areas of livestock farming systems were analyzed descriptively. Participation, knowledge and motivation of farmers using the Mann-Whitney test. Bali cattle body weight was measured through estimation by the method of regression analysis. The pattern of development area of beef cattle in the Aceh Besar district formulated using SWOT analysis.

Based on the analysis of increasing population could reach 285.9, 225.3, 54.3, and 2 Animal Unit (AU) for each village at Saree Aceh, Sukamulia, Data Gaseu, and Bareuh. The interviews show that in general maintenance of the system using semi-intensive systems and the need for livestock feed entirely dependent on the forage consumed by livestock itself. Data characteristics of farmers on the location of the study showed that most (> 85% of respondents) breeder age ranged from 15-55 years, while over 55 years less than 15%. Farmer education levels varied, with dominated by primary (57-76%). Principal jobs as farmers and ranchers are the cultivation of cattle as a sideline business. Experience the majority of farmers still less than 5 years. Score value of knowledge, motivation and participation of cattle ranchers in Aceh Besar district showed that the breeder has a score value which is still low (<25.0) on the program area of beef cattle for breeding. The increase in population is still minus the percentage of births is still quite low and the percentage of mortality is still high enough. Bali cattle body weight for nearly every age category and gender is still low, mainly due to the management of livestock farming so productivity Bali cattle is not optimal. Development programe of the area of beef cattle in the future need to consider the quality of human resources and socio-economic conditions of farmers in developing goals. Development of the area of beef cattle in Aceh Besar district for planning and program implementation can be done by UPTD Ruminant Livestock Husbandry Department of the Aceh Besar district includes the active role of livestock farmers in a participatory manner with the priority scale.

(4)

RINGKASAN

DARWIS EFEENDI. Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh ASNATH M. FUAH, RUDY PRIYANTO, dan EDDIE GURNADI.

Kabupaten Aceh Besar belum mampu menyediakan sumber ternak bibit dan bakalan sapi potong untuk memenuhi kebutuhan usaha penggemukan rakyat, sehingga ketergantungan penyediaan ternak bibit dan bakalan dari luar daerah sangat tinggi. Salah satu potensi subsektor peternakan khususnya peternakan sapi potong yang cocok untuk dikembangkan di Kabupaten Aceh Besar adalah pembibitan sapi potong. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi potensi dan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini dilakukan pada kawasan pembibitan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar, yang dilaksanakan selama bulan Mei sampai Juli 2011 melalui pengumpulan data dengan metode survey terhadap 280 ekor sapi Bali dan 72 petani ternak. Data karakteristik peternak, teknis manajemen kawasan dan sistim budidaya ternak dianalisis secara deskriptif. Partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak menggunakan metode uji Mann-Whitney. Bobot tubuh sapi Bali diukur melalui pendugaan dengan metode analisis regresi. Pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar dirumuskan menggunakan analisis SWOT.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan Atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

POLA PENGEMBANGAN KAWASAN SAPI POTONG

DI KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

DARWIS EFFENDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Nama : Darwis Effendi

NIM : D051060171

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S Ketua

Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota

Prof (Em). Dr. Drh. R. Eddie Gurnadi Anggota

Diketahui Ketua Program Studi/Mayor

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi magister ini dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 ini ialah kajian pengembangan kawasan sapi potong

dengan judul: “Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nangrroe Aceh Darussalam”.

Terima kasih dengan segala hormat penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S, Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Prof (Em) Dr. Drh. R. Eddie Gurnadi serta Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA atas segala bimbingan, saran dan motivasi yang selalu diberikan dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis limpahkan untuk ibunda yang tak henti-hentinya memberi dukungan moril dan materil, terkhusus untuk

Qwantinova “istriku”, Najla dan Assyifa “buah hatiku” atas do’anya dengan segenap kesabaran dan kebesaran hati telah menjadi sumber kekuatan. Kepada rekan-rekan pascasarjana peternakan khususnya PTK 06 dan 07 serta Supriadi, terima kasih atas semangat kebersamaan selama studi dan segala bantuan administrasi yang diberikan selama menjalani studi. Tak lupa pula terima kasih kepada pemerintah Kabupaten Aceh Besar atas biaya dan kesempatan yang diberikan selama menempuh studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

(11)

DAFTAR ISI

Produksi Sapi Potong di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam....

Faktor Produksi Pengembangan Usaha Sapi Potong….….……….…

Potensi Pengembangan Sapi Bali……… Pola Pengembangan Usaha Sapi Potong di Indonesia…….…………

Kawasan Agribisnis Sapi Potong…..………..……….…

Pendekatan Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi potong….... 9 Tingkat Perkembangan Kawasan Sapi Potong... Perkembangan Komponen Kawasan Sapi Potong... Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong... Identifikasi Faktor Internal – Eksternal... Analisis Faktor Internal – Eksternal ... Alternatif Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong... Penetapan Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong... Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong... Kebijakan dan Program Pengembangan Kawasan Sapi Potong...

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas penggunaan lahan kawasan pembibitan sapi potong

Kabupaten Aceh Besar... 3

2. Perhitungan kapasitas tampung menurut Reksohadiprodjo (1985)….… 27

3. Koefisien Satuan Ternak (ST) Ruminansia (Reksohadiprodjo 1985)... 27

4. Rumus pendugaan bobot badan sapi menurut ukuran tubuh………. 29

5. Luas Kecamatan Seulimum, Lembah Seulawah, dan Jantho... 37

6. Kondisi agrofisik lokasi penelitian... 39

7. Potensi desa di lokasi penelitian... 40

8. Kondisi populasi sapi Bali di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar... 46

9. Performans reproduksi sapi Bali di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar... 47

10. Rataan bobot sapi Bali di kawasan sapi potong Aceh Besar... 49

11. Potensi lahan di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar... 52

12. Karakteristik peternak di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar... 54

13. Nilai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar... 55

14. Aspek teknis pemeliharaan dan layanan peternakan di lokasi penelitian... 57

15. Kondisi sarana dan fasilitas peternakan di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar... 58

16. Skoring penilaian kawasan sapi potong untuk kriteria pembibitan... 60

17. Hasil Evaluasi Faktor Internal (IFE)... 73

18. Hasil Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)... 75

19. Program Jangka Panjang Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar... 92

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penentuan pola pengembangan kawasan sapi

potong rakyat di Kabupaten Aceh Besar………... 8

2. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Penggemukan Sapi... 18

3. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Pakan... 18

4. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Sapi Bakalan melalui IB... 19

5. Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong... 20

6. Metode pengukuran ukuran tubuh sapi (Otsuka et al. 1981)…...…... 30

7. Hamparana kawasan pertanian lahan kering dan penggembalaan ternak... 36

8. Lahan penggembalaan perorangan yang dipagari desa Cucum kecamatan Kota Jantho... 42

9. Kondisi overgrazing padang penggembalaan di desa Bareuh kecamatan Kota Jantho... 43

10. Kondisi undergrazing padang penggembalaan di desa Sukamulia kecamatan Lembah Seulawah... 43

11. Pemberian hijauan pakan pada sistim pemeliharaan semi-intensif... 44

12. Kandang tertutup yang digunakan untuk penggemukan sapi jantan... 45

13. Kematian Ternak sapi Bali di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar... 47

14. Proses pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali di lokasi penelitian.... 50

15. Jalan usaha tani menuju lokasi kawasan Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe dengan kondisi rusak... 59

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta lokasi penelitian ……….………..…………... 105 2. Rataan skor kondisi tubuh dan karakterisrik sifat kuantitatif sapi Bali

umur ≤ 1 tahun (gigi I0) di Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar... 107 3. Rataan skor kondisi tubuh dan karakteristik sifat kuantitatif sapi Bali

umur 1 – 2 tahun (gigi I1) di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar... 108 4. Rataan skor kondisi tubuh dan karakterisrik sifat kuantitatif sapi Bali

umur ≥ 2 tahun (gigi I2) di kawasan sapi potong VBC Aceh Besar... 109 5. Produksi Hijauan Pakan Ternak dan KPPTR di Kawasan Sapi Potong

VBC Aceh Besar... 110 6. Penilaian Tingkat Perkembangan Kawasan untuk Kriteria Pembibitan

pada Kawasan Sapi Potong VBC Aceh Besar ... 111 7. Matriks SWOT Strategi Pengembangan Kawasan Sapi Potong VBC Aceh

Besar... 112 8. Hasil Penilaian Prioritas Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah otonomi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai hinterland (daerah penyangga) bagi wilayah andalan ibukota provinsi yaitu Kota Banda Aceh. Sebagai pintu masuk utama menuju Kota Banda Aceh meningkatkan fungsinya menjadi daerah penyangga di sektor pangan, pemukiman, dan transportasi. Peran yang cukup menonjol sektor pertanian dalam struktur ekonomi daerah ditunjukkan dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) sebesar 30.7% dan menyerap tenaga kerja sebesar 41.7% (79 325 orang) dari total angkatan kerja (186 911 orang) pada tahun 2009 (Bappeda Aceh Besar 2010).

Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang menjadi salah satu prioritas pembangunan ekonomi di Kabupaten Aceh Besar, terkait dengan perannya terhadap pemantapan ketahanan pangan hewani dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan serta memacu pengembangan wilayah. Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2009) sektor peternakan mengalami pertumbuhan sebesar 4.97%, terutama dipengaruhi laju peningkatan produksi daging sebesar 6,97% per tahun. Pada tahun 2009 produksi daging di Kabupaten Aceh Besar telah mencapai 2 131.1 ton, dimana sebesar 63% (1 342.6 ton) berupa daging sapi. Sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah sekaligus sentra produksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan sebaran sebesar 16.1% dari total populasi sebesar 688 118 ekor (Dinkeswannak NAD 2010).

(16)

peternak lokal menyediakan bibit dan bakalan hanya dapat memenuhi 15 – 20% saja dari keseluruhan kebutuhan. Kekurangan sapi bibit dan bakalan sebesar 80% masih dipasok dari luar daerah, tetapi tidak terjamin kesinambungan karena di daerah tersebut juga terbatas sehingga harga bibit menjadi mahal.

Titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah faktor pembibitan dan dalam usaha pembibitan sapi potong rakyat kendala yang ditemui berkaitan dengan rendahnya produktivitas ternak dan petani ternak serta keterbatasan modal usaha. Upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Aceh Besar berupa penguatan modal kelompok melalui program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). Program yang telah berjalan tersebut masih belum cukup efektif, pola budidaya sapi potong yang tidak terkosentrasi pada suatu lokasi menyebabkan kurang optimalnya fungsi pengawasan dan pelayanan peternakan yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat adopsi teknologi dan redistribusi (perguliran) ternak gaduhan serta kurang berkembangnya kelembagaan petani ternak.

Pengembangan peternakan berjalan lambat dan kontribusinya akan kecil terhadap perekonomian suatu daerah apabila masih menggunakan sistim produksi tradisional. Program aplikasi pemerintah ke masyarakat petani ternak belum memberikan dampak yang meyakinkan pada penyelamatan sapi potong khususnya di wilayah produksi. Perlu adanya perubahan strategi peningkatan populasi ternak. Sebaiknya program pembudidayaan dikonsentrasikan pada suatu wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dalam produksi ternak dengan pengawasan secara insentif di dalamnya (Daryanto 2007).

(17)

pengembangan yaitu Blang Ubo-Ubo kecamatan Lembah Seulawah dan Cot Seuribe kecamatan Kota Jantho. Arahan pengembangan adalah sistem pemeliharaan induk dan anak (cow-calf operation) melalui pola penyedian hijauan pakan ternak campuran padang pengembalaan dan pemberian hijauan potongan (cut and carry). Total alokasi sapi bali untuk kedua kawasan tersebut berjumlah 980 ekor yang didistribusikan kepada 13 kelompok ternak dengan total anggota 260 orang yang disertai penyedian sarana penunjang. Areal kawasan pembibitan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar diplotkan seluas 3 560 ha (Tabel 1). Luasan lahan potensial pengembangan kawasan sebesar 8.25% (293.72 ha) di Blang Ubo-Ubo dan 39.37% (1 401.57 ha) di Cot Seuribe berupa padang rumput, alang-alang dan semak belukar (Disnak Aceh Besar 2009).

Tabel 1. Luas penggunaan lahan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar Penggunaan

Luas Kawasan

Blang Ubo-Ubo Cot Seuribe

ha % ha %

Sumber: Dinas Peternakan Aceh Besar 2009

Kawasan peternakan dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan dan berperan membina unit usaha yang ada menjadi kawasan peternakan berwawasan agribisnis. Optimalisasi peranan kelembagaan dan kemampuan usaha agribisnis petani ternak dilakukan melalui peningkatan populasi dan kapasitas produksi ternak di setiap kawasan sehingga berdampak perbaikan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pengembangan kawasan dilakukan dengan memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan, ternak, dan faktor produksi lainnya berupa tenaga kerja dan modal kerja (Ditjen Peternakan 2001).

(18)

pendekatan wilayah dan proses partisipasi yang disinergikan dengan arahan pembangunan daerah (Deptan RI 2001). Oleh karenanya, dalam mengevaluasi kawasan agribisnis sapi potong diperlukan adanya suatu pedoman evaluasi yang dikembangkan berdasarkan komponen kawasan yang meliputi; lahan, pakan, ternak, teknologi, peternak, tenaga pendamping, fasilitas dan kelembagaan. Indikator komponen kawasan kemudian disusun dan ditetapkan sebagai faktor penentu tingkat perkembangan kawasan (Deptan RI 2002a).

Sebagai program rintisan, perkembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar perlu dikaji untuk mengetahui faktor kendala teknis maupun non teknis sehingga dapat dirumuskan solusi perbaikan dimasa yang akan datang. Untuk itu diperlukan penelitian yang komprehensif untuk menganalisa berbagai komponen yang terlibat dalam kawasan sapi potong rakyat di Kabupaten Aceh Besar beserta pengaruh faktor eksternal terhadap produktivitas kawasan. Penentuan faktor kendala dan prioritas tingkat pengaruhnya terhadap perkembangan kawasan menjadi pertimbangan yang menentukan pola pengembangan kawasan sapi potong berbasis sumberdaya lokal yang tersedia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Mengidentifikasi dan menganalisa potensi, pola manajemen, dan karakteristik produksi kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar. 2. Menentukan strategi peningkatan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas

kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar .

3. Menentukan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar.

Manfaat Penelitian

(19)

KERANGKA PEMIKIRAN

Pembangunan kawasan peternakan merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan peternak dan daya saing produk pertanian serta berperan dalam pelestarian sumberdaya pertanian (Saragih 2000). Kawasan produksi ternak merupakan areal terbatas dengan batas fisik dan administratif yang jelas untuk kegiatan budidaya ternak (pembibitan, pembesaran dan penggemukan), ditunjang oleh sarana produksi memadai seperti pakan, kandang, gudang, dan tempat penjaga kandang yang seluruhnya dikelola oleh manajemen yang tergabung dalam kelompok atau koperasi peternakan (Abdullah 2009).

Posisi ternak sesuai fungsi pemanfaatan dan pengembangannya dalam budidaya ada tiga, yaitu ternak sebagai sumberdaya, ternak sebagai komoditas dan ternak sebagai penghasil produk. Ternak sebagai sumberdaya harus dijaga keberadaannya karena dari kelompok ini akan dihasilkan ternak sebagai komoditas yang selanjutnya dari ternak komoditas akan menghasilkan ternak bakalan unggul atau ternak sebagai penghasil produk (Yusdja dan Ilham 2006). Ketiga fungsi ternak tersebut akan lebih efisien dan efektif bila dilaksanakan melalui keterpaduan dalam suatu kawasan peternakan. Kawasan peternakan dalam perkembangannya akan berinteraksi dengan wilayah disekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam melakukan pengembangan kawasan sapi potong rakyat tidak dapat dilakukan secara parsial, juga harus dipertimbangkan interaksi dengan wilayah produksi disekitarnya. Hal tersebut terkait dengan penyebaran penyakit, konflik penggunaan lahan, keamanan, aliran sarana produksi, distribusi dan pemasaran ternak.

(20)

Pengembangan kawasan sapi potong dalam penelitian ini mengandung lima dimensi utama yang terdiri dari wilayah, ternak, sumberdaya manusia, teknis peternakan dan faktor eksternal. Setiap dimensi tersebut memiliki indikator dan kriteria yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi bersangkutan. Indikator wilayah dicerminkan oleh kesesuaian lahan bagi pengembangan produksi sapi potong berupa daya dukung hijauan pakan dan agrofisik wilayah. Indikator ternak dicerminkan oleh tingkat produktivitas ternak dan kontribusi usaha sapi potong. Indikator sumberdaya manusia dicerminkan oleh ketersedian keluarga petani ternak, motivasi dan partisipasi peternak terhadap usaha sapi potong. Indikator teknis peternakan dicerminkan oleh manajemen produksi, ketersedian f asilitas layanan peternakan dan kelembagaan. Indikator faktor eksternal dicerminkan oleh dukungan kebijakan pemerintah daerah, kelengkapan sarana prasarana penunjang, peluang pasar, kondisi sosial ekonomi dan interaksi dengan wilayah disekitarnya.

(21)

Keterangan : AHP = Analytical Hierarchy Process (Saaty 1993) SWOT = Analisis SWOT (David 2001)

QSPM = Quantitative Strategic Planning Matrix (David 2001)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penentuan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat di Kabupaten Aceh Besar

Komponen Kawasan

Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Aceh Besar

Tingkat Perkembangan Kawasan

QSPM

Faktor Eksternal

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi Sapi Potong di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam

Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama oleh pemerintah, peternak rakyat dan swasta. Pemerintah menetapkan kebijakan, memfasilitasi dan mengawasi aliran dan ketersediaan produk baik jumlah maupun mutunya, agar terpenuhi halal, aman, bergizi dan sehat. Swasta dan petani ternak berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui produksi, importasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008). Sebagai negara agraris perkembangan sektor peternakan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai sektor lainnya terutama pada usaha peternakan sapi potong yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan pertanian sawah dan ladang serta penyebaran penduduk.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai saat ini memiliki tingkat kemampuan pasokan produksi daging sapi relatif rendah dibandingkan pertumbuhan permintaan yang terus meningkat. Kapasitas produksi daging sapi pada tahun 2007 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 5 277.9 ton sedangkan kebutuhannya sebesar 6 877.8 ton, sehingga 1 599.9 ton (23.26%) daging sapi belum terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi salah satu pasar daging sapi yang sangat terbuka bagi wilayah lain dan menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi pembangunan sektor peternakan daerah khususnya untuk komoditas sapi potong.

Potensi wilayah dan daya dukung lahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat mendukung untuk pengembangan peternakan sapi potong. Pada tahun 2007 potensinya diperkirakan masih dapat menampung ternak sapi sebanyak 2.45 juta ST (Satuan Ternak) dan baru dimanfaatkan sebesar 6.14 ribu ST. Selain itu jumlah penduduk sebesar 4.22 juta jiwa merupakan konsumen yang besar dan masih tetap tumbuh sekitar 1.1% per tahun, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan serta meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi.

(23)

peternak terhadap pemasaran, (b) menurunnya kualitas genetik sapi potong, (c) peternak masih memposisikan diri sebagai pemelihara dengan tenaga kerja yang berasal dari keluarga, (d) kecilnya skala kepemilikan ternak (2 – 4 ekor per keluarga) dengan lokasi yang terpencar, (e) belum intensifnya pola pengembangbiakan sapi potong sehingga penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB) serta teknologi transfer embrio masih kurang optimal, dan (f) masih terjadinya pemotongan sapi betina produktif dalam mencukupi kebutuhan daging sapi. Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya tingkat keberhasilan kebuntingan dan kualitas bibit yang dihasilkan sehingga secara keseluruhan akan menurunkan tingkat produktifitas sapi potong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Saputra 2008).

Kondisi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara keseluruhan tidak terlepas dari melemahnya potensi produksi daerah sentra produksi sapi potong, dimana salah satunya adalah Kabupaten Aceh Besar. Sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Aceh Besar pertumbuhan populasi sapi potong berfluktuatif selama kurun waktu 2000 – 2009, yakni dari 4.2% (sebelum tahun 2004) menjadi 2.5% (setelah tahun 2004). Melemahnya potensi produksi sapi potong terjadi pada kurun waktu tahun 2004 – 2005, dimana terjadi penurunan populasi sebesar 22% dari sebelumnya sebesar 125 219 ekor (2004) menjadi 97 224 ekor (2005). Kondisi tersebut disebabkan hilangnya ternak sapi masyarakat yang cukup besar dampak bencana tsunami yang terjadi di Kabupaten Aceh Besar pada akhir tahun 2004 (Dinkeswannak NAD 2010).

Faktor Produksi Pengembangan Usaha Sapi Potong

(24)

eksternal di antaranya; infrastruktur, keterpaduan dan terkoordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan perkembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah (Santosa 2001).

Untuk memperhitungkan potensi wilayah untuk produksi ternak herbivora (pemakan hijauan) maka perhitungan kepadatan teknis ternak yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak (ST) ternak herbivora saja. Semakin rendah angka kepadatan teknisnya, maka berarti kemungkinan wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak. Dari angka kepadatan teknis maka akan didapatkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak. Potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah bersangkutan. Kemampuan produksi hijauan makanan ternak akan bergantung kepada: (1) derajat kesuburan tanah, (2) iklim, (3) tataguna tanah, dan (4) topografi. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak saja yang diperhitungkan, misalnya tanah pertanian, perkebunan, padang penggembalaan dan sebahagian dari kehutanan (Natasasmita dan Mudikdjo 1980). Selanjutnya disebutkan bahwa, ketersediaan air juga harus diperhitungkan dalam usaha peternakan sapi potong. Sapi yang kekurangan air menyebabkan aktivitas sel-sel tubuhnya akan terganggu sehingga tubuh sakit dan pertumbuhannya akan terganggu. Kebutuhan air bagi tiap ekor sapi dewasa diperhitungkan berkisar 40 liter sehari dan di padang penggembalaan diusahakan jarak mencapai sumber air tidak lebih dari 1.6 km agar sapi tidak terlalu letih.

Subagio dan Kusmartono (1988) menyatakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penentuan kapasitas tampung ternak terutama berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembalaan yaitu:

(25)

2. Penentuan Proper Use Factor. Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah. Untuk penggunaan padangan ringan, sedang, dan berat nilai PUF masing-masing adalah 25 – 30 %, 40 – 45 %, dan 60–70 %. Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan karena: (a) Erodibilitas lahan. Jika lahan mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlalu banyak hijauan dipanen, (b) Pola pertumbuhan kembali hijauan. Bila hijauannya mempunyai pola pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua hijauan yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara, dan (c) Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang akan dipelihara. Semakin banyak jenis temak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100% hijauan yang ada dapat dikonsumsi ternak.

3. Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan.

4. Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun. Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari.

Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong adalah dengan menggunakan bibit sapi potong yang berkualitas, karena hal ini merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong secara berkelanjutan (Deptan 2006). Bibit sapi potong yang baik menurut Wiyono dan Aryogi (2007) harus memenuhi kriteria umum sebagai berikut :

(26)

b.Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak dengan tingkat pertambahan berat badan ternak yang tinggi pada umur tertentu. c.Ukuran tinggi punuk minimal pada calon bibit sapi potong (indukan dan

pejantan) mengacu pada standar bibit populasi lokal, regional atau nasional. d.Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat diwariskan, baik yang dominan

(terjadi pada sapi yang bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi pada sapi yang bersangkutan, tetapi pada sapi tetua atau pada sapi keturunannya). e.Untuk pejantan, testis sapi umur diatas 18 bulan harus simetris (bentuk dan

ukuran yang sama antara skrotum kanan dan kiri), menggantung dan mempunyai ukuran lingkaran terpanjangnya melebihi 32 cm (32 – 37 cm). f. Kondisi sapi sehat yang diperlihatka dengan mata yang bersinar, gerakannya

lincah tetapi tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta bebas dari penyakit menular terutama yang dapat ditularkan melalui aktivitas reproduksi.

Usahatani sebagai suatu sistem dalam pendekatannya ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, adalah struktur dari sistem tersebut dan kedua, fungsi dari komponen-komponen pembentuk sistem itu sendiri. Dalam fungsinya sebagai sistem usahatani, ternak akan berintegrasi dengan lahan, komoditi lain yang diusahakan dan dengan petani sebagai pengelola usaha tani. Interaksi ternak dengan petani, mencakup empat aspek penting yaitu: (a) keserasian ternak dengan tujuan petani, (b) kesenangan petani dan ketrampilannya memelihara ternak, (c) kemampuan petani dari segi waktu dan tenaga kerja pemelihara, dan (d) keadaan sosial budaya lingkungan setempat (Siregar1997).

(27)

Persoalan biaya memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan dari suatu usaha. Secara umum biaya produksi dimaksudkan sebagai jumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi suatu usaha. Penerimaan usahatani atau disebut juga sebagai pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu perhitungan yang biasa digunakan adalah setahun Ukuran ini juga merupakan indikator hasil perolehan seluruh sumberdaya yang digunakan dalam usaha tani (Soekartawi et al. 1986).

Pendapatan bersih usaha tani (net farm income) dibedakan menjadi dua katagori. Katagori pertama adalah pendapatan tunai usaha tani yang merupakan selisih antara penerimaan total (total cash income) dengan biaya tunai total (total cash expense), pendapatan tunai ini masih disesuaikan dengan beberapa pengeluaran non tunai seperti penyusutan dan per ubahan investasi. Sebagai katagori kedua adalah pendapatan bersih usahatani (net farm income) yang merupakan hasil penyesuaian (pengurangan) antara pendapatan tunai dengan biaya non tunai (Kay 1981).

Potensi Pengembangan Sapi Bali

(28)

Peranginangin (1990) yang melakukan penelitian di Bali memperoleh kematian pedet sebesar 11.18% umumnya akibat terserang penyakit Jembrana, sedang Tanari (1999) pada lokasi yang sama memperoleh angka kematian pedet yang lebih rendah sebesar 7.26% terhadap kelahiran atau sebesar 1,84% dari populasi. Kemampuan lain yang dapat diandalkan untuk pengembangan populasi sapi Bali adalah jarak beranak (calving interval) yang cukup baik yakni bisa menghasilkan satu anak satu tahun. Djagra dan Arka (1994) memperoleh calving interval sebesar 14 – 15 bulan, sedangkan Tanari (1999) memperoleh calving interval sebesar 12.19±0.06 bulan dikarenakan manajemen reproduksi yang dilaksanakan di Bali cukup baik yakni umumnya perkawinan dilaksanakan dengan teknik inseminasi buatan ditunjang oleh biologi reproduksi sapi Bali yang cukup baik dimana fertilitasnya tinggi sekitar 83%.

Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya sekitar 30%. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60% (Maryono dan Romjali 2007). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai (Andini et al. 2007). Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70% dan pakan yang baik adalah murah, mudah didapat, tidak beracun, disukai ternak, mudah diberikan dan tidak berdampak negatif terhadap produksi dan kesehatan ternak serta lingkungan (Maryono dan Romjali 2007).

(29)

keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi (Toelihere 1983).

Melaksanakan pengembangan populasi sapi Bali, penentuan pengeluaran ternak termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif perlu diperhatikan dan menghitung dengan tepat jumlah sapi Bali yang dapat dikeluarkan agar tidak mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu wilayah (Putu et al. 1997). Out put sapi potong dari suatu wilayah tertentu agar keseimbangan populasi ternak potong tersebut tetap konstan dipengaruhi oleh natural increase, tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan populasi ternak di daerah tersebut (Hardjosubroto 1994).

Pola Pengembangan Usaha Sapi Potong Di Indonesia

Budidaya sapi potong merupakan suatu kegiatan pemeliharaan sapi potong secara terkontrol untuk tujuan produksi yang terdiri dari usaha pembibitan dan usaha penggemukan sapi. Pada suatu kawasan agribisnis sapi potong terdapat juga kombinasi usaha pembibitan dan penggemukan sapi. Pembibitan sapi merupakan kegiatan pemeliharaan sapi bibit baik secara intensif melalui manajemen yang terkontrol maupun ekstensif dilepas di padang penggembalaan dengan tujuan untuk menghasilkan sapi bibit pengganti (replacement stock) dan sapi bakalan. Induk sapi dan anak dalam sistem ini dipelihara bersama hingga mencapai masa penyapihan. Output yang dihasilkan dalam kegiatan ini adalah anak sapi sapihan jantan dan betina. Sedangkan penggemukan sapi bertujuan untuk menghasilkan sapi potongan yang sesuai dengan spesifikasi pasar (Deptan RI 2002a).

(30)

dominasi oleh usaha skala kecil yang berorientasi pada usahatani keluarga, maka program pengembangan ternak rakyat harus didasarkan pada pendekatan sistem pertanian secara menyeluruh dengan pendekatan keilmuan, terpadu dan spesifik lokasi, dimana petani hidup dan bekerja (Sabrani et al. 1981).

Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu ; (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi,

manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang mencakup dalam “Sapta Usaha Peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama

dengan instansi-instansi terkait, dan (3) pendekatan agribisnis dengan tujuan: mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran (Gunardi 1998).

Pengembangan dibidang peternakan dilakukan melalui strategi pengembangan pilar peternakan utama yaitu: 1) pengembangan potensi ternak dan bibit temak, 2) pengembangan pakan ternak, 3) pengembangan teknologi budidaya. Ketiga pilar utama peternakan terkait dengan sanitasi dan kesehatan ternak serta peningkatan industri dan pemasaran hasil peternakan, pengembangan kelembagaan usaha dan keterampilan peternak serta kawasan pengembangan peternakan (Sudardjat 2000). Kebijakan pembangunan peternakan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak melalui pengembangan kawasan dilakukan dengan pengelolaan sumberdaya secara optimal. Oleh karena itu, sentra peternakan yang sudah ada dan kawasan di setiap kabupaten, kotamadya, atau kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan peternakan rakyat, sudah saatnya diupayakan untuk ditingkatkan melalui sistem agribisnis (BAPPENAS 2004).

(31)

pengembangan pola koperasi; (g) pengembangan pola imbal beli; (h) pengembangan sistem bina renteng; (i) pengembangan pola Sumba Kontrak; (j) pengembangan dengan sistem bagi hasil; (k) pengembangan melalui pembinaan pasar (Tawaf 1993).

Usaha penggemukan sapi potong sangat tergantung pada ketersediaan sapi bakalan, pakan dan teknologi tepat guna. Model usaha sapi potong yang telah diperkenalkan dan masih relevan diterapkan adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) sapi potong (Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004) dan Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong (Gurnadi 2004), dijelaskan sebagai berikut : 1). PIR Penggemukan

Budidaya (penggemukan) sapi potong diselenggarakan dalam bentuk kerjasama diantara perusahaan Inti yang menyediakan sarana produksi, penggolahan dan pemasaran, dengan peternak plasma sebagai pelaksana budidaya seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.

Gambar 2. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Penggemukan Sapi KERJASAMA

PERUSAHAAN & PETERNAK

AGRIBISNIS

SAPRODI BUDIDAYA PENGOLAHAN PEMASARA

N

Kerjasama

Sumber:Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004

2). PIR Pakan

Pola kerjasama dimana plasma menyediakan pakan ternak bagi usaha penggemukan sapi yang dilakukan oleh perusahaan inti, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

PERUSAHAAN INTI

PETERNAK PLASMA

- Bakalan - Pakan -Teknologi

Penggemukan

Pengolahan

RPH

DOMESTIK (Substitusi

Impor)

(32)

Gambar 3. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Pakan KERJASAMA

PERUSAHAAN & PETERNAK

AGRIBISNIS

SAPRODI BUDIDAYA PENGOLAHAN PEMASARAN

Kerjasama

Sumber:Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004

3). PIR Sapi Bakalan

PIR Sapi Bakalan adalah pola kerjasama perusahaan Inti dengan peternak sebagai plasma dimana plasma mendapat pelayanan dan bimbingan dari Inti untuk memproduksi sapi bakalan, sedangkan Inti memberikan pelayanan melalui Inseminasi Buatan (IB) atau Embryo Transfer (ET) seperti ditunjukkan Gambar 4.

Gambar 4. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Sapi Bakalan melalui IB KERJASAMA

PERUSAHAAN & PETERNAK

AGRIBISNIS

SAPRODI BUDIDAYA PENGOLAHAN PEMASARAN

Kerjasama

(33)

4). Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong

Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong

Keterangan :

Subsistem I = Pusat R & D dan penyalur Input Modern

Subsistem II = Produser PRIMER (Peternak Mitra, Peternak Rakyat) Subsistem III = Produsen Primer Plus (“Feed-Lotter”)

Subsistem IV = Produsen Sekunder (RPH)

Subsistem V = Produsen Sekunder Plus (pabrik pengolah dan konsumen antara) Subsistem VI = Subsistem Tersier (konsumen akhir)

Sumber :Gurnadi 2004

Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong dibagi menjadi enam subsistem usaha, yang dapat dijelaskan sebagai berikut ;

Subsistem I Subsistem II Subsistem III Subsistem IV Subsistem V

(34)

a. Subsistem I (MB-SS I) merupakan usaha pelayanan pendukung yang menyediakan bibit sapi, bibit tanaman makanan ternak, vaksin, obat-obatan, dan sarana lainnya. Selain itu juga merupakan pusat penelitian dan pengembangan sarana dan prasarana produksi yang dibutuhkan subsistem lainnya.

b. Subsistem II (MB-SS II) merupakan kelompok peternak mitra atau peternak rakyat, sebagai produsen primer yang menghasilkan sapi potongan hasil penggemukan atau sapi bakalan yang dapat dijual ke peternakan inti pada Subsistem III.

c. Subsistem III merupakan perusahaan inti yang mempunyai modal cukup. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan adalah menghasilkan sapi bakalan, sapi hasil penggemukan, RPH dan pabrik pengolahan.

d. Subsistem IV dan III merupakan satu unit usaha atau unit usaha yang terpisah.

e. Subsistem V dan Subsistem VI merupakan pasar.

Kawasan Agribisnis Sapi Potong

Pengembangan model kawasan secara ekonomi merupakan upaya efisiensi kegiatan usaha dalam suatu ruang ekonomi tertentu melalui konsentrasi kegiatan atau aglomerasi. Aglomerasi dimaksudkan untuk memperoleh manfaat antara lain; (1) memaksimumkan keuntungan usaha karena berbagai kegiatan berada pada satu lokasi yang terjangkau; (2) memaksimumkan pelayanan fasilitas sehingga dapat menekan biaya transportasi; (3) lebih menjamin keterkaitan agribinsis hulu-hilir; dan (4) memudahkan koordinasi dan pembinaan pelaku/pengelola. Manfaat aglomerasi dapat diwujudkan apabila; (1) proses produksi dilakukan secara efisien; (2) pelayanan fasilitas dilakukan seefisien dan seefektif mungkin; (3) terjaminnya pasokan bahan baku, distribusi, dan kualitas produk; dan (4) adanya sistem pembinaan yang kondusif (Deptan RI 2002a).

(35)

suaka alam), sedangkan kawasan agribisnis peternakan adalah kawasan peternakan yang berorientasi ekonomi dan memiliki sistem agribisnis berkelanjutan yang berakses ke industri hulu maupun hilir (Deptan RI 2002b). Komponen-komponen pembentuk kawasan peternakan sapi potong yang menjadi indikator penentuan suatu bentuk kawasan meliputi lahan, pakan, ternak sapi potong, teknologi, peternak dan petugas pendamping, kelembagaan, aspek manajemen usaha, dan fasilitas (Deptan RI 2002a).

Menurut Bappenas (2004), dipandang dari segi potensi agroekosistem dan tingkat kemandirian kelompok, kawasan peternakan bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiga macam kawasan itu adalah merupakan tahapan pengusahaan pengembangan kawasan peternakan rakyat. Tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kawasan Peternakan Baru

Kawasan ini dikembangkan dari daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak, tapi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan peternakan. Petani telah memiliki usaha tani lain terlebih dahulu, atau belum memiliki usaha apapun di sektor agribisnis. Demikian pula kelompok petaninya juga belum terbentuk, kalaupun sudah ada tapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Lahan cukup luas dan bahan pakan cukup potensial untuk digunakan sebagai salah satu sumber makanan ternak. Peran pemerintah diperlukan dalam bentuk pelayanan, pengaturan dan pengawasan.

2. Kawasan Peternakan Binaan

(36)

unit-unit pengembangan sarana dan unit-unit pemasaran sudah mulai dibangun. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan sudah mulai berkurang.

3. Kawasan Peternakan Mandiri

Kawasan ini merupakan pengembangan tahap lanjut dari kawasan binaan, yang telah lebih maju dan berkembang menjadi wilayah yang lebih luas. Kelompok tani telah meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerja sama dengan beberapa kelompok lain dalam wadah KUBA. Bahkan telah dikembangkan beberapa KUBA yang satu sama lainnya saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis pada setiap kepala keluarga, setiap kelompok, setiap KUBA, dengan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Unit-unit pelayanan, Unit-unit-Unit-unit pengembangan sarana produksi, dan Unit-unit-Unit-unit pemasaran telah berkembang sangat efisien, sedemikian hingga ada kemandirian para petani, kelompok petani, KUBA, dan kawasan. Pada tahap ini, peran pemerntah tinggal hanya pengaturan dan pengawasan.

Pendekatan Strategi Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong

Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat (Glueck and Jauch 1994). Manajemen strategi didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi suatu keputusan sehingga mampu mencapai tujuan obyektifnya. Proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi (David 2001).

(37)

berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan suatu usaha. Dengan demikian perencanaan strategi (strategic planner) harus menganalisis faktor internal dan eksternal dari suatu usaha dalam kondisi saat itu yang disebut dengan Analisis Situasi (Rangkuti 2006).

Problem sistem tidak semuanya dapat dipecahkan hanya melalui komponen yang terukur. Komponen yang tidak terukur sering mempunyai peranan yang cukup besar. Untuk mengevaluasi nilai sosial dalam masyarakat yang kompleks diperlukan suatu metode yang cocok yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan adanya interaksi antara judgment dengan fenomena sosial itu. Proses hirarki analitik (PHA) dapat digunakan untuk memecahkan problema yang terukur maupun yang memerlukan judgement (Saaty 1993). Selanjutnya disebutkan bahwa prinsip dasar PHA ke dalam langkah penyusunan matriks pendapat meliputi analisis persoalan, penyusunan hirarki, komparasi berpasangan, sintesa prioritas dan pemeriksaan konsistensi.

Teknik perumusan strategi yang dikembangkan oleh David (2001), memiliki tiga tahap pelaksanaan dan menggunakan matriks sebagai model analisisnya yang meliputi :

1. Tahap Input

Tahap pemasukkan informasi yang diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menggunakan matriks evaluasi faktor eksternal dan matriks evaluasi faktor internal.

2. Tahap Pencocokan

Tujuan tahap pencocokan adalah menghasilkan strategi alternatif yang layak, bukan untuk menetapkan strategi mana yang terbaik. Tahap pencocokan dari kerangka kerja perumusan strategi digunakan matriks SWOT. Penggunaan matriks SWOT sangat ditentukan oleh informasi yang diperoleh dalam tahap input untuk mencocokkan peluang dan ancaman eksternal dengan kekuatan dan kelemahan internal.

3. Tahap Keputusan

(38)

Secara konseptual tujuan QSPM adalah untuk menetapkan daya tarik relatif (relative attractiveness) dari variasi strategi yang telah dipilih, untuk menentukan strategi yang dianggap paling baik guna diimplementasikan dengan menggunakan penilaian intuitif dalam menyeleksi strategi alternatif tersebut menggunakan informasi dari tahap input dan tahap pencocokan.

Tawaf (1993) menyebutkan ada empat strategi dasar pengembangan sapi potong, yaitu:

1. Strategi Agresif. Pada kondisi peluang dan kekuatan yang tinggi seluruh potensi diarahkan untuk mengembangkan peternakan. Pada keadaan ini, pengambil keputusan secara aktif dapat menetapkan keputusannya untuk mengembangkan peternakan sapi potong karena iklim usaha sangat mendukung.

2. Strategi Diversifikasi. Kondisi kekuatan dan ancaman yang tinggi dihadapkan pada dua hal yang kontradiktif. Perlu dilakukan beberapa alternatif pengembangan bila altematif pertama gagal, maka alternatif berikutnya dapat menutupi kegagalan tersebut. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan daging perlu dikembangkan berbagai bentuk usaha ternak sapi potong. 3. Strategi Berbalik. Pada kondisi peluang dan kelemahan yang tinggi

memerlukan paling sedikit dua kebijakan yang bertolak belakang. Bila pemenuhan kebutuhan daging dilakukan dengan pengembangan perusahaan peternakan menghadapi kegagalan, maka alternatifnya adalah mengembangkan peternakan rakyat dengan skala kecil atau semula dengan sistem feedlot oleh perusahaan, berbalik menggunakan sistem kreman yang dilakukan oleh rakyat. Pada kondisi ini diperlukan perlindungan kebijakan pemerintah, introduksi modal dan teknologi yang memadai.

(39)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Kawasan Sapi Potong Pola VBC (Village Breeding Centre) di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meliputi; (1) Kawasan Blang Ubo-Ubo, yaitu desa Saree Aceh dan Suka Mulia Kecamatan Lembah Seulawah, dan (2) Kawasaan Cot Seuribe, yaitu desa Bareuh di Kecamatan Kota Jantho dan desa Data Gaseu di Kecamatan Seulimum (lampiran 1). Penelitian dilakukan selama tujuh bulan dengan tahapan: persiapan selama dua bulan (Januari – Maret 2011); pengumpulan data selama tiga bulan (April – Juni); analisis data dan penulisan (Juni – Juli 2011).

Metode Pengumpulan Data dan Responden

Penelitian ini menggunakan metode survei, yakni; wawancara dengan peternak responden, dan observasi langsung di lokasi penelitian. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling), yakni; peternak yang terlibat dalam program kawasan sapi potong di Aceh Besar, memiliki pengalaman beternak, dan merupakan anggota kelompok aktif. Pengamatan dilakukan untuk melihat sistim pengelolaan kawasan dan budidaya ternak di lokasi penelitian. Untuk pengukuran sampel yang dilakukan yaitu; ukuran-ukuran tubuh sapi potong, dan produksi hijauan pakan ternak di kebun rumput, padang pengembalaan dan alang-alang. Wawancara menggunakan daftar pertanyaaan (kuisioner) terhadap responden yang terkait kegiatan kawasan sapi potong VBC di Kabupaten Aceh Besar yaitu; anggota kelompok berjumlah 71 orang, dan unsur pelaku (stakeholders) yang terlibat pada program kawasan.

(40)

(2) produksi hijauan pakan ternak di padang pengembalaan, kebun rumput, dan alang-alang, (3) karakteristik peternak, dan (4) manajemen kawasan dan budidaya ternak.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati berupa karakteristik kawasan dan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar, yaitu:

1. Karakteristik wilayah meliputi; iklim, jenis tanah, topografi, sistem penggunaan lahan, luas lahan pangan, nisbah lahan pangan terhadap penduduk, kapasitas tampung ternak, dan potensi pengembangan ternak efektif..

2. Karakteristik produktivitas ternak yaitu; struktur populasi, kondisi ternak, dan bobot badan menurut umur dan jenis kelamin.

3. Karakteristik peternak meliputi; umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok, jumlah anggota keluarga dan rumah tangga petani ternak serta pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak. Pengetahuan adalah pengetahuan peternak tentang pengembangan. Motivasi adalah keinginan dan kemauan peternak melakukan kegiatan pengembangan. Partisipasi adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan pengembangan sapi potong baik secara individu maupun kelompok.

4. Teknis peternakan meliputi; pola manajemen kawasan, perkembangan kelompok, pola budidaya, penerapan teknologi reproduksi dan pakan, penanganan penyakit dan kesehatan ternak, dan sarana prasarana peternakan. 5. Faktor eksternal meliputi: kebijakan pemerintah daerah, akses permodalan,

sarana prasarana penunjang, peluang pasar, dan sosial budaya.

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :

(41)

(ubinan 1x1 m) secara acak sebanyak dua ulangan, berdasarkan pertimbangan homogenitas lahan (komposisi botani, penyebaran produksi, dan topografi). Sampel dipotong lebih kurang 5 – 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya (Subagio dan Kusmartono 1988). Perhitungan kapasitas tampung lahan (Tabel 2) mengacu pada pedoman Reksohadiprodjo (1985) dengan standar Satuan Ternak (Tabel 3) dan kebutuhan pakan satu satuan ternak (1 ST) ruminansia sebesar 10 % dari Bobot Badan berdasarkan bahan segar.

Tabel 2. Perhitungan kapasitas tampung menurut Reksohadiprodjo (1985)

Rumus Perhitungan Jenis Lahan Proper Use Factor (PUF) (3) Tingkat penggunaan Hijauan tersedia (kg/ha) (4) (2) x (3)

Tabel 3. Koefisien Satuan Ternak (ST) Ruminansia

Jenis Ternak Satuan Ternak (ST)

(42)

2). Potensi pengembangan ternak ruminansia di suatu wilayah dihitung melalui metode Potensi Pengembangan Ternak Efektif (PPE), mengacu pada pedoman Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak (1995) sebagai berikut:

a. PMS L = a LG + b PR + c LH Dimana:

PMSL = Potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan (ST).

a = Daya tampung ternak ruminansia di lahan garapan (a = 0.082 ST/ha lahan perkebunan; a = 1.52 ST/ha lahan sawah/tegalan). LG = Luas lahan garapan (ha).

b = Daya tampung ternak ruminansia di padang rumput, alang-alang dan kebun rumput (b = berdasarkan hasil analisis kapasitas tampung).

PR = Luas kebun rumput, padang rumput dan alang-alang (ha).

c = Daya tampung ternak ruminansia pada lahan hutan dan rawa (c = 2.68 ST/ha lahan hutan/rawa).

LH = Luas lahan hutan dan rawa (ha). b. PMKK = a x KK

Dimana:

PMKK = Potensi maksimum berdasarkan kepala keluarga (ST). KK = Jumlah kepala keluarga petani ternak (KK)

a = Kemampuan rumah tangga petani ternak untuk budidaya sapi potong di padang penggembalaan tanpa tenaga kerja dari luar, a = 15 ST/KK.

c. Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) dihitung berdasarkan selisih potensi maksimum dengan populasi riil, dengan asumsi penambahan kapasitas hanya untuk ternak sapi potong, sebagai berikut:

KPPTR(SL) = PMSL – Pt KPPTR(KK) = PMKK – Pt Dimana:

(43)

KPPTR(KK) = KPPTR berdasarkan kepala keluarga Pt = Populasi riil pada saat penelitian

d. Potensi Pengembangan Ternak Efektif (PPE) ditentukan berdasarkan nilai minimun diantara KPPTR(SL) dan KPPTR(KK):

KPPTR Efektif = KPPTR(SL), Jika KPPTR(SL) < KPPTR(KK) KPPTR Efektif = KPPTR(KK), Jika KPPTR(KK) < KPPTR(SL)

3). Produktivitas ternak yang dianalisis meliputi karakteristik produksi yaitu kondisi ternak dan bobot badan ternak. Kondisi ternak diperoleh melalui hasil pengamatan. Bobot ternak dewasa dilakukan melalui pendugaan bobot badan dengan menggunakan persamaan (Tabel 4) yang berpedoman pada Rajab (2009).

Tabel 4. Rumus pendugaan bobot badan sapi menurut ukuran tubuh (Rajab 2009)

Jenis Kelamin Gigi Persamaan Regresi

Jantan I0 - 307 + 2.86LD + 0.14PB + 3.7Lcan + 0.69LbPG I1 - 527.5 + 2.5PB + 0.8LD + 2.57TP + 3.9Lcan I2 - 511.3 + 2.76LD + 2.48LbPG + 1.48PB + 4.2LCan Betina I0 - 275 + 2.17LD + 0.47PB + 300.73Lcan + 0.85LbD

I1 - 332.2 + 2.23LD + 1.53PB + 3.1Lcan I2 - 385.4 + 2.51LD + 1.16TPG + 0.09PB

Keterangan: LD = Lingkar dada TP = Tinggi pundak LbPG = Lebar pinggul

TPG = Tinggi pinggul PB = Panjang badan LbD = Lebar dada Lcan = Lingkar pergelangan kaki (canon)

Metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi Bali (Gambar 6) menurut Otsuka et al. (1981) meliputi:

1. Lingkar dada diukur pada bidang yang terbentuk mulai dari pundak sampai dasar dada di belakang siku dan tulang belikat, menggunakan pita ukur (cm) 2. Tinggi pundak diukur dari titik tertinggi pundak tegak lurus sampai tanah

(44)

3. Tinggi pinggul diukur dari bagian tertinggi pinggul tegak lurus sampai ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur (cm).

4. Panjang badan diukur dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) sampai penonjolan tulang duduk (tuber ischii) dengan memakai tongkat ukur (cm).

5. Lebar pinggul diukur jarak dari penonjolan pinggul (tuber coxae) pada bagian kiri dengan bagian kanan tubuh menggunakan kaliper (cm).

6. Lebar dada diukur jarak dari penonjolan bahu (tubersitas humeri) pada bagian kiri dengan bagian kanan tubuh menggunakan kaliper (cm).

7. Lingkar pergelangan kaki (canon) diukur pada bagian yang ramping dari tulang metacarpus (metatarsus) menggunakan pita ukur (cm).

Keterangan : 1. Lingkar dada (cm) 2.Tinggi pundak (cm) 3. Tinggi pinggul (cm) 4. Panjang badan (cm)

5. Lebar pinggul (cm) 6. Lebar dada (cm)

7. Lingkar pergelangan kaki (cm)

Gambar 6. Metode pengukuran ukuran-ukuran tubuh sapi (Otsuka et al. 1981)

4). Analisis motivasi peternak bertujuan membandingkan tingkat pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak terhadap kegiatan kawasan sapi potong (aspek teknis peternakan), yang ditentukan dari jawaban responden terhadap 10 pertanyaan dengan kuisioner. Kisaran nilai 1 sampai 5 dan total skor berkisar dari 10 sampai 50 dengan kategori : (1) rendah; untuk responden yang memiliki nilai skor kurang dari 25, (2) cukup; nilai skor 26 – 33, (3) tinggi; nilai skor 34 – 31 dan (4) sangat tinggi; nilai skor 42 – 50. Skor nilai

1

2

3

4

5

6

(45)

partisipasi, pengetahuan dan motivasi peternak dibandingkan melalui analisis statistik non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney, dengan bantuan software Minitab versi 14.0 (Musa dan Nasoetion 2007).

5). Metode yang digunakan dalam perumusan pola pengembangan kawasan sapi potong di Kabupaten Aceh Besar adalah analisis SWOT dengan mengacu pada tahapan teknik perumusan strategi menurut David (2001), meliputi :

1. Tahap Input (The Input Stage)

Menggunakan matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) dan matriks evaluasi faktor internal (IFE) dengan langkah sebagai berikut:

(a). Identifikasi Faktor eksternal dan internal

Identifkasi faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan internal (kekuatan dan kelemahan) berdasarkan hasil analisis sebelumnya. (b).Penentuan Bobot dan Peringkat

Faktor internal dan eksternal diberikan bobot dan peringkat (rating) dengan bantuan kuisioner. Metode pembobotan terhadap faktor eksternal dan internal adalah proses hirarki analitik sesuai dengan penilaian (judgement) menggunakan skala banding berpasangan (Saaty 1993), dan penyelesainnya dengan bantuan software Expert Choice 2000. Penentuan peringkat faktor eksternal/internal digunakan skala nilai peringkat, yaitu: 1 = rendah/sangat lemah, 2 = sedang/lemah, 3 = tinggi/kuat, dan 4 = sangat tinggi/sangat kuat. Nilai peringkat untuk peluang/kekuatan sangat tinggi diberi nilai 4, sebaliknya ancaman/kelemahan sangat besar diberi nilai 1. (c). Nilai bobot x peringkat

Nilai bobot dikalikan dengan peringkat akan diperoleh skor setiap faktor yang selanjutnya dijumlahkan sehingga didapatkan skor total. Total skor dikategorikan; kuat (3 – 4), rata-rata (2 – 2.99), dan lemah (1 – 1.99).

2. Tahap Pencocokan (The Matching Stage)

(46)

(a). Memasukkan hasil matriks EFE dan matriks EFE kedalam matriks SWOT

(b) Pencocokan antara faktor eksternal dan internal untuk menghasilkan beberapa alternatif pola pengembangan kawasan sapi potong yaitu:

pencocokan kekuatan internal dengan peluang eksternal (strategi SO)

pencocokan kelemahan internal dengan peluang eksternal (strategi WO)

pencocokan kekuatan internal dengan ancaman eksternal (strategi ST)

pencocokan kelemahan internal dengan ancaman eksternal (strategi WT)

3. Tahap Keputusan (The Deci sion Sta ge)

Analisis Q S P M yang digunakan, dengan langkah sebagai berikut: (a). Memasukkan hasil dari matriks EFE dan IFE ke dalam QSPM dan

memberikan bobot untuk setiap factor.

(b). Mengidentifikasi dan memasukkan hasil matriks SWOT kedalam QSPM.

(c). Menetapkan nilai daya tarik relatif (AS) dengan memeriksa setiap faktor eksternal dan internal dalam mempengaruhi alternatif strategi pilihan, penentuannya dengan bantuan kuisioner. Nilai daya tarik yaitu; 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = cukup menarik, dan 4 = sangat menarik.

(d). Menghitung Total Nilai Daya Tarik (TAS) melalui hasil perkalian bobotdengan nilai daya tarik dalam setiap baris.

(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Umum Wilayah Penelitian

Kondisi Geografis dan Agrofisik Wilayah

Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu wilayah administrasi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada pada posisi geografis 5.2o – 5.8o Lintang Utara dan 95o - 95.8o Bujur Timur dengan batas aministrasi ; (a) sebelah Utara dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh, (b) sebelah Selatan dengan kabupaten Aceh Jaya, (c) sebelah Timur dengan kabupaten Pidie, dan (d) sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah 2 974.12 km2 (5.18% dari luas Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam) dengan ibukotanya Kota Jantho meliputi 23 kecamatan, 68 kemukiman dan 601 desa.

Letak kabupaten Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan ibukota propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu kota Banda Aceh menjadikannya sebagai pintu gerbang utama dan berpeluang tumbuh serta berinteraksi dengan wilayah kabupaten lain. Ketersedian prasarana transportasi darat, udara dan laut yang cukup memadai seperti Jalan Nasional Arteri Primer Banda Aceh – Medan dan Banda Aceh – Meulaboh, Bandara Udara Internasional Iskandar Muda dan Pelabuhan Nasional Malahayati di Kabupaten Aceh Besar menjadikan mobilitas barang dan jasa termasuk hasil produksi pertanian cukup tinggi.

Secara umum topografi Kabupaten Aceh Besar bervariasi, meliputi daerah pesisir, dataran rendah, perbukitan sampai pegunungan dengan ketinggian antara 100 – 500 m dpl (meter diatas permukaan laut) lebih mendominasi luas wilayah (42,64%). Berbagai jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Aceh Besar yaitu ; Latosol, Podsolid merah kuning, Hidromorf kelabu, Regosol, Aluvial, dan Komplek podsolid merah kuning. Sebagian besar (31,55 %) jenis tanah adalah podzolit merah kuning, dengan kedalaman (53,46 %) berkisar 30-60 cm. Tingkat erosi tanah termasuk rendah (3,59 %) dengan luas lahan kritis sebesar 32.888 Ha.

(48)

sampai dengan Februari. Curah hujan berkisar antara 89.8 – 185.4 mm/bulan dengan jumlah rata-rata hari hujan 5 – 24 hari.

Wilayah kabupaten Aceh Besar yang didominasi oleh topografi berbukit dan pegunungan umumnya terdapat di kecamatam Lembah Seulawah, Seulimun, Kota Jantho, Kota Cot Glie, Indrapuri, dan Krueng Raya. Kondisi tanah yang kurang subur, curah hujan rendah dan tidak merata, dengan bentang lahan didominasi padang rumput di wilayah tersebut menjadikan kegiatan usaha tani yang dilakukan masyarakat setempat dititikberatkan pada usaha pertanian lahan kering dan budidaya ternak ruminansia dengan sistim penggembalaan.

Gambar 7 Hamparan kawasan pertanian lahan kering dan penggembalaan ternak

(49)

peternakan ditetapkan sebagai salah satu sentra pengembangan produksi sapi potong dengan sistim Kawin Alam (KA) dan Kawin Buatan (KB). Kebijakan tersebut lebih menguatkan posisi sapi potong sebagai komoditas unggulan daerah dan pengembangan sentra sapi potong sebagai salah satu prioritas sasaran dalam kebijakan pembangunan perekonomian di Kabupaten Aceh Besar.

Berkaitan dengan potensi lahan menunjukkan sebagian besar dari luasan lahan yang tersedia di Kabupten Aceh Besar, belum semua termanfaatkan secara optimal. Luas lahan budidaya tegalan dan ladang yang belum digunakan seluas 464 Ha sedangkan lahan budidaya lainnya mencapai 120.685 Ha. Luas lahan non budidaya berupa alang-alang, tanah tandus, dan rawa yang belum digunakan mencapai 108.420 Ha. Secara administrasi, dari luas 22 kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Besar, kecamatan yang paling luas adalah Seulimum, Lembah Seulawah dan Jantho. Ketiga kecamatan ini memiliki luas sekitar 36% dari luasan kabupaten Aceh Besar yang menunjukkan bahwa wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan usaha peternakan pola kawasan. Luas kecamatan Seulimum, Lembah Seulawah dan Kota Jantho disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas Kecamatan Seulimum, Lembah Seulawah dan Jantho

No Kecamatan

Luas Urutan Terluas dari Seluruh Kecamatan (km2) (%)

1 Seulimum 487,26 16,38 1

2 Lembah Seulawah 307,85 10,35 2

3 Jantho 274,04 9,21 3

Total 3 Kecamatan 1069,15 35,94

Total Kabupaten 2.974,12 - - Sumber : Bappeda Aceh Besar (2010)

(50)

Besar, kecamatan Kota Jantho, Seulimum dan Lembah Seulawah ditetapkan sebagai wilayah pertanian tanaman pangan, palawija, perkebunan dan pengembangan ternak ruminansia dengan pola penggembalaan sehingga menjadikan wilayah tersebut sebagai sentra produksi sapi potong di Kabupaten Aceh Besar (Bappeda Aceh Besar 2006).

Upaya pengembangan sapi potong yang dilakukan pemerintah Kabupaten Aceh Besar melalui pembentukan kawasan sapi potong rakyat yang berlokasi di enam desa. Pengembangan kawasan sapi potong rakyat yang dilaksanakan mulai tahun 2008 dibangun pada dua area (kawasan), yaitu : Blang Ubo-ubo (desa Saree Aceh dan Sukamulia kecamatan Lembah Seulawah) dan Cot Seuribe (desa Rabo dan Data Gaseu kecamatan Seulimum serta desa Cucum dan Bareuh kecamatan Kota Jantho). Pemilihan bangsa sapi Bali pada kawasan sapi potong merupakan langkah yang dilakukan pemerintah Aceh Besar dalam pengembangan ternak lokal. Menurut Handiwirawan dan Subandriyo (2006), sapi Bali merupakan sapi lokal (asli) Indonesia yang mempunyai kemampuan beradaptasi dalam lingkungan iklim tropis dan dengan kondisi ketersediaan pakan berkualitas rendah.

(51)

Tabel 6 Kondisi agrofisik lokasi penelitian

No Uraian

(Peubah Diamati)

Lokasi Penelitian

Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 1 Iklim1 :

: (Hasil Survey Potensi Desa 2011)

Pada umumnya di Kabupaten Aceh Besar ternak sapi potong di digembalakan pada lahan dengan kondisi tanah yang kurang baik untuk pertanian tanaman pangan dan palawija. Sehingga mutu hijauan pakan ternak pada padang penggembalaan relatif rendah tergantung pada jenis, kesuburan, dan kandungan unsur hara tanah. Tanah yang kaya unsur hara akan berdampak pada semakin tinggi produksi dan mutu hijauana pakan ternak. Tingkat kesuburan tanah di Cot Seuribe sangat rendah sebaliknya di Blang Ubo-ubo dengan kondisi relatif baik.

Potensi Wilayah

(52)

wilayah yang relatif luas dengan tingkat kepadatan penduduk relatif rendah sampai sedang (15.3 – 56.7 jiwa/km2) berpotensi bagi pengembangan kawasan sapi potong. Potensi Desa di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Potensi desa di lokasi penelitian

No Uraian

(Peubah Diamati)

Lokasi Penelitian

Blang Ubo-ubo Cot Seuribe Saree Aceh Sukamulia Data Gaseu Bareuh 1

Luas Tataguna Lahan (Ha) : a.Sawah Sumber : Hasil survey potensi desa (2011)

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penentuan pola pengembangan kawasan sapi
Gambar 2. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Penggemukan Sapi
Gambar 4. Model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Sapi Bakalan melalui IB
Gambar 5. Model Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berilah tanda pada kotak yang tersedia pada salah satu kolom yang menurut anda paling sesuai dengan kenyataan yang anda alami saat ini STP : Sangat Tidak Puas.. TP :

Maka menurut Amina Wadud betapa pentingnya analisis konsep wanita dalam al-Qur'an, bila mana diukur dengan perspektif ayat-ayat al- Qur'an sendiri, baik itu dalam kekuatan

According to the ORCHESTRA Reference Model as introduced in section 5.3, the Engineering View- point specifies the mapping of the ORCHESTRA service specifications and

Untuk mengetahui besarnya pengaruh leverage terhadap prediksi financial distress pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011-2015...

Pengaruh Profesionalisme Kerja Agen Asuransi Beasiswa Terhadap Kualitas Layanan Di Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 Kantor Cabang Cimahi.. Universitas Pendidikan Indonesia

toksikan (Erkmen and Kolankaya, 2000; Suicmez et al. Salah satu biota yang diketahui memiliki sensitifitas yang cukup tinggi dalam mencerminkan gangguan dari

dan perkembangan ini, Cina telah menyiapkan pendirian „Free Trade Areas” (FTA) dengan negara-negara di kawasan Afrika. Nigeria dan Angola adalah dua negara produsen