Imbas Putusan Praperadilan Budi Gunawan
Sidang putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan pada hari Senin, 16
Februari 2015, bukanlah suatu akhir, melainkan tanda awal dimulainya
pengajuan praperadilan‐praperadilan lainnya oleh tersangka Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini pun terbukti dari pengacara tersangka
KPK Suryadharma Ali, Humphrey Djemat yang datang ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada Senin 23 Februari 2015, untuk pengajuan praperadilan
dengan menggugat KPK atas penetapan Suryadharma Ali sebagai tersangka
dalam kasus dugaan pidana korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian
Agama tahun 2012‐2013. Apabila penulis menelisik kembali manuver bekas
Menteri Agama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu, penulis
menemukan pola yang sama: lagi‐lagi praperadilan diajukan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, menggugat lembaga yang sama dan memiliki materi
gugatan yang sama.
Pola inilah yang terlintas di benak penulis 2 minggu lalu sebelum Hakim Sarpin
Rizaldi selaku hakim tunggal di sidang praperadilan Budi Gunawan, mengetok
palu memberi putusan sidang tersebut. Penulis sempat khawatir apabila Hakim
Sarpin mengabulkan gugatan Komjen Budi, maka hal itu sama saja membuka
pintu gerbang bagi para tersangka KPK lainnya untuk mengajukan gugatan
praperadilan, sebagai salah satu cara untuk melepaskan diri dari jeratan
tersangka.
Kenyataan saat ini sudah tidak bisa diubah lagi. Satu persatu tersangka KPK
mulai unjuk gigi mengikuti jejak Komjen Budi Gunawan. Menurut pengacara
Komjen Budi di sidang praperadilan, Maqdir Ismail dalam tulisan opininya di
salah satu surat kabar nasional, putusan praperadilan harus dianggap bahwa
semua orang tidak dapat dijadikan tersangka, direbut kebebasannya, kecuali
dengan proses hukum yang dilakukan secara adil melalui proses penyidikan.
Advokat yang juga dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini juga
menyebut putusan praperadilan harus dibaca membatasi kekuasaan penyidik
dalam satu proses hukum, karena penyidik tidak dapat disamakan dengan
hukum. Penulis pun setuju bahwa penyidik bukanlah Tuhan. Penyidik juga bisa
pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sesuai dengan prosedur yang
berlaku. Secara historis, tidak semua putusan pengadilan Tipikor, persis dengan
tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum KPK. Penulis melihat fakta ini bisa
menjadi referensi obyektivitas dari prosedur yang dilakukan KPK. Bahkan KPK
beberapa kali kerap tidak puas terhadap hasil vonis hakim pengadilan Tipikor.
Lantas, penyelewengan kekuasaan seperti apa yang disangkakan Maqdir
terhadap penyidik KPK? Fenomena penyelewengan bisa dikatakan terjadi
apabila KPK bisa menyetir hakim Pengadilan Tipikor dengan memberi vonis yang
sama sesuai tuntutan yang diajukan.
Kedua, Maqdir pun menyebut bahwa negara dan pemerintah gagal dalam
melaksanakan tanggung jawab mereka untuk melindungi warga negaranya,
kemudian tanggung jawab itu dialihkan kepada hakim untuk memberi
perlindungan. Oleh karena itu, praperadilan dipandang untuk mengalihkan
tanggung jawab negara kepada hakim sebagai penafsir undang‐undang.
Pertanyaannya saat ini, apa publik percaya bahwa hakim benar‐benar bersih?
Survei yang dilakukan Populi Center pada bulan Januari 2015 di 34 Provinsi,
menunjukkan bahwa sebanyak 2.4% responden menganggap pengadilan sebagai
lembaga terkorup, sesudah DPR/DPRD, Polri, Partai Politik, Birokrasi
Pemerintahan, dan Kejaksaan. Penilaian ini sekaligus sebagai salah satu
indikator ketidakpuasan masarakat atas kinerja pengadilan. Lantas bagaimana
dengan KPK? Di selang waktu survei yang sama, 60% responden menyatakan
puas terhadap kinerja KPK untuk tahun 2014. Hasil jajak pendapat ini
melibatkan 1200 responden dengan tingkat margin of error + 2.98% dan tingkat
kepercayaan 95%.
Ketiga, di satu sisi penulis memahami interpretasi Maqdir yang menyebut bahwa
penetapan tersangka adalah induk dari upaya paksa, sebab dengan ditetapkan
sebagai tersangka, seorang dapat ditangkap, ditahan, dan dituntut. Praperadilan
memang menjadi upaya untuk melakukan pembelaan hukum. Namun
pertanyaan yang terlontar dari pemikiran penulis, apakah hakim sebagai pihak
pengambil keputusan dalam suatu persidangan praperadilan, benar‐benar
bersih dan bebas dari intervensi manapun?
Mengutip Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, agenda
dikedepankan. Selain bidang penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
reformasi birokrasi juga harus dilakukan di bidang peradilan. Reformasi
birokrasi menurut penulis bukan saja pembenahan dari penegak hukum,
melainkan dari produk hukum yang ada. Merujuk pada praperadilan, yang diatur
dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, bab
10 Pasal 77‐83 menyebut bahwa praperadilan memiliki batasan, yaitu hanya
pada sah atau tidaknya penangkapan dan ganti rugi. Sebelumnya Maqdir Ismail
menyebut penetapan sebagai tersangka adalah induk dari sah atau tidaknya
penangkapan. Multi‐interpretasi yang sudah terjadi tentunya harus menjadi
bahan masukan bagi yang sang pemangku wewenang, untuk memperbarui
produk hukum, khususnya yang berkaitan agenda Nawa Cita, dimana salah
satunya memuat agenda pemberantasan korupsi.
Sementara itu, arti dari korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Menurut Undang Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK, Pasal 6 dan 11, pihak yang bisa disidik adalah pejabat
negara dan penegak hukum. Ini berarti kedua pihak tersebut berpotensi
melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara karena mereka
memiliki akses. Apabila kita menelisik kembali praperadilan Komjen Budi, dalam
amar putusannya, Hakim Sarpin menyatakan bahwa Komjen Budi saat menjabat
Kepala Biro Pembinaan Karier Polri tahun 2003‐2006 bukan pejabat negara dan
penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 11 UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK. Menurut penulis, hal ini pun tentu tidak benar, karena
jabatan eselon IIA juga harus menyerahkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara). Penyerahan LHKPN menunjukkan bahwa seorang
tersebut adalah sebagai pejabat negara yang harus diawasi segala gerak
geriknya. Tentunya, segala pilihan ada risikonya. Seorang pejabat negara,
sebagai warga negara Indonesia memang berhak untuk mendapatkan
kebebasannya, namun kita sebagai rakyat juga berhak untuk mengawal jalannya
pemerintahan dengan mengawasi setiap langkah para pejabat agar tidak
mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan oleh rakyat.