commit to user
KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
Dalam ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh :
TIARA RIZCKY AMMELLIA
E 1107078
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Tiara Rizcky Ammellia NIM : E1107078
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:
KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE
BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum ini diberi tanda cita si dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Maret 2011
Tiara Rizcky Ammellia
NIM. E1107078
commit to user MOTTO
“ Jenius ada la h 1% inspira si da n 99% keringat. Tida k ada ya ng menggantikan
kerja kera s. Keberuntunga n ada la h sesuatu yang terja di ketika kesempata n
bertemu denga n kesia pa n” .
(Thoma s Alfa Edison)
“ Suatu kehidupan ya ng penuh dengan kesa la han ta k ha nya lebih berha rga na mun
juga lebih berguna diba ndingkan hidup ta npa mela kukan sesuatu a pa pun” .
(George Bernard Sha w)
“ Ya ng terpenting di da la m kehidupan buka nla h suatu kemenanga n melainkan
ba gaimana bertanding dengan ba ik” .
(Ba rron Pierre De Coubertin)
“ Sesungguhnya sesudah kesulita n itu a da kemuda ha n, ma ka a pa bila ka mu tela h
selesa i (dari suatu urusa n), kerja ka nla h denga n sungguh-sungguh (urusa n) yang
la in, da n ha nya kepada Tuha nmula h henda knya ka mu berha ra p”
(Q.S Ala m Na syrah: 6-8)
” Keba hagiaa n terbesar da la m hidup ini ada la h bila kita berha sil mela kuka n a pa
ya ng menurut ora ng la in tida k dapat kita la kukan”
(Wa lter Bega nhot)
commit to user PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
❧
Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tak terhinggasehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
❧
Nabi Muhammad SAW, sebagai ”Suri tauladan bagiku”.❧
Bapak dan Bundaku tercinta, tersayang yang senantiasamendukung kuliah, memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta
dan kasih sayang serta kerja keras, keikhlasan yang tak ternilai
harganya demi mewujudkan cita-citaku menjadi seorang Sarjana
Hukum dan membuatku lebih menghargai setiap waktu dan
kesempatan di dalam hidupku.
❧
Kakakku tersayang ”Tiri Prabowo”, serta si kembar ”FirdausNovandy Kurniawan” dan ”Anisa Novidia Kurniasari” yang selalu
menghiburku serta keceriannya yang selalu memberi semangat
kepadaku.
❧
Sahabat-sahabatku di rumah dan di Solo yang memberikanpercikan dan bumbu dalam kehidupanku selama kuliah.
❧
Dia yang ada di hati.commit to user ABSTRAK
TIARA RIZCKY AMMELLIA. E1107078. 2011. KAJIAN TEORITIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER YANG
TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia.
Penulisan hukum ini merupakan penulisan hukum normatif yang bersifat preskriptif, menggunakan pendekatan undang- undang dan pendekatan konseptual. Penulisan ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode dalam pengumpulan bahan hukum tersebut adalah studi kepustakaan. Bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan pendekatan Undang-Undang (statue approa ch).
Berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan dalam pembahasan ditarik kesimpulan, bahwa perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu berupa pengurangan tuntutan yang berimplikasi pada pengurangan pidana yang dijatuhkan oleh hakim atas kesaksian yang diberikan olehnya dan diatur pula dalam Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam hal delik penyertaan yang menjadi dasar untuk dilakukan asas opportunitas oleh jaksa, sehingga saksi tersebut tidak dipidana. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu pada Pasal 117 ayat (1), Pasal 118, Pasal 166, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 229 dan Pasal 98, dan perlindungannya diatur pula dalam Pasal 5 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kata Kunci : Perlindungan saksi, penegakan hukum pidana.
commit to user ABSTRACT
TIARA RIZCKY AMMELIA. E1107078. A THEORETICAL STUDY ON LAW PROTECTION FOR WHISTLE BLOWER RELATED AND UNRELATED TO THE CASE IN THE PERSPECTIVE OF
CRIMINAL LAW ENFORCEMENT IN INDONESIA. LAW
FACULTY OF SEBELAS MARET UNIVERSITY.
This research aims to find out the law protection for whistle blower
is related and unrelated to the case in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia.
This study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature using statue and conceptual approaches. This research employed primary, secondary, and tertiary law materials. The method of collecting data used was library study. The law material collected was then analyzed using statue approach.
Considering the result of research put in the discussion, it can be concluded, that law protection for Whistle Blower related to the case in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia is regulated in Article 10 clause (2) of Act Number 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection imposed by the judge for the testimony given by the witness and also in Article 51 clause (1) Penal Code in the accompanying statement underlying the opportunity principle carried out by the judge, so that the witness is not condemned. The law protection for whistle blower unrelated to the case in in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia is regulated in Criminal Procedural Law Code (KUHAP), in Articles 117 clause (1), 118, 166, 173, 177, 178, 229, and 98, and the protection is also regulated in Article 5 of Acts Number 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection.
Keywords: Witness Protection, criminal law enforcement.
commit to user KATA PENGANTAR
Assa la mu’a laikum Wa ra hmatulla hi Wa ba ra ka tuh
Puji syukur penulis haturkan kehadapan Allah SWT yang Maha pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE
BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS
DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungan, semangat, doa, saran dan kritik serta sarana dan prasarana bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Edy Herdiyanto, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing serta Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku pembimbing terima kasih atas bantuan menyusun judul dan sumbangan pemikiran serta pencerahan terhadap Penulis dalam penulisan hukum ini;
4. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Ketua Program Non Reguler terimakasih atas saran yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi penulis selama menempuh pendidikan strata satu ini, serta segala dukungan dalam penulisan hukum ini;
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada penulis hingga menjadi seorang sarjana hukum yang dapat dijadikan bekal
commit to user
dalam penyelesaian skripsi ini serta menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas;
6. Bapak Dwi Samudji, S. H., M.Hum., selaku Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo yang telah memberikan banyak materi-materi mengenai hukum dan kehidupan serta informasi dan petunjuk kepada penulis selama Kegiatan Magang Mahasiswa di Kejaksaan Negeri Sukoharjo;
7. Kedua orang tua Penulis, Bapakku Sarjono Tercinta dan Bundaku Sri Hastuti, terimakasih atas segala doa, cinta kasih, dukungan tanpa henti baik moril maupun materiil, kesabaran, dan kepercayaan yang diberikan kepada Penulis tanpa pamrih apapun, sehingga penulis dapat menghargai setiap waktu dan kesempatan di dalam hidup.
8. Kakakku tersayang Tiri Prabowo, serta adik-adikku tersayang Firdaus Novandy Kurniawan dan Anisa Novidia Kurniasari, atas kasih sayang, dan pengertiannya untuk berbagi disemua sisi hidup dengan Penulis selama proses penulisan ini;
9. Embah kakung, Embah Uti, Budhe, Pakdhe, Bulek, Paklek, Mas, Mbak, Adik dan segenap saudara, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu atas segala dukungan doa yang telah diberikan pada Penulis selama proses penulisan ini, sehingga semuanya dapat terselesaikan dengan baik.
10. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum UNS angkatan 2007 Sylvi Ayu Briliana “Besanku”, Novaenny Titik “Nupha”, Henggar “Ma rehot”, Ayu Kusuma “Ayu Smada ”, Pratiwi Suryadewi “Tiwi”, Mei , Elvira, Wawan, Mahardika, Bibianus Hengky “Pengky”, Arifin Dwi S “Iypin”, Tannguh Safridah K “Ga nyout” , Mz Nunung Irawan “Nungsky” dan semua teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu atas dukungan yang diberikan pada seminar proposal. Kalian adalah semangatku.
11. Sahabatku Sylvi Ayu Briliana “Besa nku”, Achmad Mustajid “ mas Ajid” ,
Mbak Widya, Siti Aisah “ Aisah” , Nunung Novianingsih “ Nyingnying”, Tunjung Genarsih “ Mba k Njung” , Kumala Dewi “ mba k Dewi” , Tiyok, terimakasih atas doa, waktu, dan kesabarannya untuk mendengarkan segala curahan hati Penulis selama masa perkuliah dan dikala segala
ix
commit to user
proses ini terasa begitu berat. Terima kasih untuk semua kasih sayang, dukungan dan hiburan yang kalian berikan bagi Penulis;
12. Teman Kos Rahyll, Mbak Nitha, Nyingnying, Mb Dyah, Dina, Putria Rahmawati “ Puput” , Lice, Anis, Tiwi, Sisca, Lia, Aissah, Mba Eni, Nunung, Mba Noew, terimakasih buat persaudaraan, persahabatan, kasih sayang dan perhatiannya selama ini, semoga menjadi kenangan terindah; 13. Anak-anak Sekarpace dan Solo Selatan, Mas Makruf, Mas Budi, Makruf
hafidzi, Dzul, Duta, Hilman, Bayu, Mas Edi, Mas Mail, Mas Eko, Mas Tofa, Mas Ikhsan, Mas Irfan, Rusdi, Tamimi, Imam, Syamsu, Mba Choir, Neny, Rini, Clara, Hasna, Putri, dek Dian, Okta, Shinta, Nova, Titik, Uut, Wulan, Khusnul dan temen-temen semua yang belum disebut, terima kasih banyak atas dukungan dan persahabatan dari kalian.
14. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya seluruh proses penulisan hukum ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Terimakasih atas dukungannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi maupun penulisannya baik dari segi materi pembahasan maupun penulisannya, hal ini karena manusia tidak terlepas dari kesalahan dan kekhilafan serta keterbatasan materi, waktu, pengetahuan, serta kadar keilmuan dari Penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum ini.
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga dapat diamalkan dalam pengembangan dan pembangunan hukum nasional dan tidak menjadi suatu karya yang sia-sia. Amin.
Wa ssa la mu’a la ikum Wa ra hmatulla hi Wa ba ra katuh
Surakarta, 25 Maret 2011
Penulis
commit to user DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penulisan ... 4
D. Manfaat Penulisan ... 5
E. Metode Penulisan ... 5
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Kerangka Teori ... 11
1. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum ... 11
2. Tinjauan Tentang Whistle Blower ... 14
3. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum Pidana ... 25
commit to user
B. Kerangka Pemikiran ... 29
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana ... 31
1. Pengaturan penggunaan whistle blower yang terkait kasus (saksi mahkota) ... 31
2. Ketentuan hukum perlindungan whistle blower yang terkait kasus (saksi mahkota)……….. 35
3. Kelembagaan yang melindungi saksi mahkota ……... 39
B. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana... 43
1. Kedudukan whistle blower yang tidak terkait kasus (saksi kunci) ... 43
2. Ketentuan Hukum Perlindungan Saksi………. 45
3. Kelembagaan perlindungan saksi……….. 53
BAB IV PENUTUP ... 58
A. Simpulan ... 58
B. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Pemikiran ... 29
commit to user BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu terakhir masyarakat Indonesia disuguhi oleh kasus tindak pidana penggelapan pajak dan pencucian uang oleh Gayus Halomoan Tambunan yang disidik oleh Mabes Polri. Susno Duadji mengekspos adanya keganjilan proses penyidikan dan penuntutan serta persidangan kasus tersebut. Ia merasa adanya indikasi peyimpangan karena uang bukti kejahatan sebesar Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) di rekening Gayus Tambunan yang dibekukan pada masa Susno Duadji sebagai Kabareskrim telah dicairkan dan Susno Duadji juga menduga vonis pengadilan pun terdapat unsur kaganjilan. Ditenggarai ada makelar kasus yang menggarap kasus pidana ini. Pengungkapan keterangan Susno Duadji tersebut tentu cukup menarik untuk diikuti, didengar dan ditindak lanjuti karena sebagai mantan pejabat yang langsung menyidik kasus tersebut, Susno Duadji mengetahui detail tentang dinamika kasus tersebut. Fenomena pengungkapan makelar kasus oleh Susno Duadji ini menjadi pro dan kontra dikarenakan saat ini Susno duadji sebagai pengungkap fakta (whistle
blower) ternyata justru dijadikan tersangka. (Lawskripsi. Perlindungan Hukum
Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dalam Perkara Pidana (Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi Dan Korban.
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=19 2&Itemid=192>(12 November 2010 pukul 11.00).
Hal ini menimbulkan polemik, bahkan Komisaris Jenderal Susno Duadji mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor 13 tahun 2006, khususnya Pasal 10 ayat 2, yaitu: "Seorang saksi yang juga terdakwa dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.
commit to user
Ada beberapa alasan mengapa secara resmi Susno Duadji mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ke Mahkamah Konstitusi. Alasan Susno mengajukan judicia l review adalah karena telah kehilangan haknya dalam hukum dan pemerintahan dengan proses penahanan dan penyelidikan. Sebagai seorang saksi, dalam Undang-undang LPSK seharusnya Susno dilindungi dan tidak dilakukan penahanan serta dijadikan seorang tersangka.
Kasus di atas kisah tragis sang pelapor (whistleblower) memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia dan memiliki satu kesamaan yakni berbuah serangan balik dari pihak yang dilaporkan. Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu juga dengan saksi jikalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan sendiri.
Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
(Wayan P Wijaya Kusuma. Sistem Peradilan Pidana Indonesia http://wayanpwijayakusuma.blogspot.com/2009/11/sistem-peradilan-pidana-indonesia.html)
commit to user
pendekatan pembuktian negatif berdasarkan perundang-undangan atau “ Negatief
Wettelijk Overtuiging”. Adakalanya seorang saksi itu memang murni dalam
pengertian saksi yang tidak terkait kasus (saksi kunci), namun ada pula saksi yang terkait kasus (saksi mahkota). Posisi yang sebagaimana disebutkan terakhir ini tentunya terjadi pergulatan batin saksi yang juga sebagai pelaku dan sudah sepatutnya pula hukum (aparat penegak hukum) memberikan perhatian dan penghargaan yang setimpal pula atas keberaniannya mengungkapkan fakta suatu kebenaran.
Hukum Acara Pidana Indonesia (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981), baik secara teoritis dan praktisnya tidak menaruh perhatian yang sangat serius terhadap masalah perlindungan saksi sementara disisi yang lain saksi (keterangan saksi) menempati peringkat utama dalam tata urutan alat bukti menurut pasal 184 KUHAP. Pasal 184 KUHAP berbunyi : Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa;
Tentunya ada menjadi penyebab hingga pembuat undang-undang (legislasi) menempatkan keterangan saksi pada posisi atau urutan pertama dari 5 (lima) alat bukti dalam KUHAP. Sudah barang tentu seorang atau beberapa orang yang menjadi saksi yang kemudian menjadi alat bukti berupa keterangan saksi memainkan peranan yang sangat penting untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa baik sejak di tingkat penyidikan maupun di tingkat penuntutan. Seseorang yang menempati posisi sebagai saksi dalam suatu tindak pidana berarti saksi tersebut adalah yang melihat langsung dengan mata kepala sendiri bagaimana suatu perbuatan (tindak pidana) tersebut dilakukan si tersangka atau terdakwa. Pemahaman saksi disini meliputi saksi yang terkait kasus maupun saksi yang tidak terkait kasus, serta terdapat hal yang menarik berupa bagaimana perlindungan hukumnya terhadap keduanya. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas serta masih sedikitnya penelitian terhadap hal tersebut , penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian dalam rangka skripsi dengan judul “KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN
commit to user
DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah
Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan obyektif
a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.
2. Tujuan subyektif
a. Untuk memperoleh bahan dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memberi sumbangan pikiran dan manfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan jawaban yang jelas mengenai perlindungan hukum terhadap whistle blower dalam hukum acara pidana. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi,
masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum selanjutnya yang berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diteliti oleh penulis yaitu mengetahui perlindungan hukum terhadap whisle
blower yang terkait kasus dan whistle blower yang tidak terkait kasus
dalam perspektif penegakan hukum acara pidana.
b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan dan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
commit to user
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Didalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006:28). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum itu sendiri, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrina l resea rch) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (libra bry ba sed) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim, 2006:44).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif. Artinya sebagai ilmu yang besifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22).
commit to user
3. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian normatif, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian hukum antara lain pendekatan Undang-Undang (statue a pproa ch), pendekatan kasus (ca se
a pproa ch), pendekatan historis (historica l a pproa ch),pendekatan komparatif
(compa rative a pproa ch), dan pendekatan konseptual (conseptua l a pproa ch)
(Peter Mahmud Marzuki, 2005:93). Dari beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue a pproa ch) yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
4. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian
Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahan sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
b. Bahan Hukum Sekunder
commit to user
yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memuliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Peneliti mengumpulkan data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk kemudian dikategorikan, dibaca, dikaji, selanjutnya dipelajari, diklarifikasi dan dianalisis dari buku-buku, literatur, artikel, karangan ilmiah, makalah, jurnal dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dikaji.
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen reasmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data penunjang di dalam penelitian ini. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan kongkret yang dihadapi (Jonny Ibrahim, 2006:393).
6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan logika deduktif. Dalam hal ini sumber penelitian yang diperoleh dengan menggunakan intervariasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang membantu menafsirkan norma terkait. Kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
commit to user
premis minor (bersifat khusus) dari kedua premis itu ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47).Didalam logika silogistik untuk penalaran umum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Dihubungkan dengan penelitian yang saya tulis, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai premis mayor sedangkan premis minornya adalah perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
commit to user
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana dan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum
a. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain (Soedikno Mertokusumo,1991:9).
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, perlindungan hukum adalah : “Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang atau lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pnguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada”.
Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama. Berlakunya seorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum) dimulai saat berada dalam kandungan ibunya dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama ia hidup.
b. Perlunya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
Menjadi saksi adalah wajib menurut undang-undang, yang berarti pula bagi siapa saja yang tidak mengindahkannya akan dikenakan sanksi (hukuman).
Seseorang yang menyaksikan peristiwa pidana terkadang enggan untuk memberikan kesaksiannya, hal ini dikarenakan seseorang tersebut takut untuk menjadi saksi. Apabila seseorang yang dapat diperkenankan sebagai saksi, kemudian dengan pertimbangan dan alasan tertentu ia tidak
commit to user
melaksanakan kewajibannya, maka dengan melihat apa yang tersirat dalam Pasal 224 KUHP tentang kejahatan terhadap penguasa umum, Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu dan keterangan palsu, dengan pengecualian dibebaskan dari kewajiban memberikan sumpah pada Pasal 170-171 KUHAP, harus dianggap sebagai sesuatu kenyataan. Artinya, harus dilihat hal-hal yang seharusnya dikontribusikan kepada saksi, sehingga kenyataan tersebut dapat berubah. Perubahan tersebut dengan cara memberikan perlindungan normatif yang berdimensi psikologis.
Perlindungan normatif diberikan oleh pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang harus memberikan jaminan kepada seorang saksi, berupa ganti rugi yang dikeluarkan oleh saksi selama ia memberikan kesaksiannya dalam setiap tahapan proses hukum. Seorang saksi harus didampingi oleh penasehat hukum. Bahkan lebih dari itu, dalam kasus-kasus tertentu, saksi harus mendapatkan pengawalan dari aparat kepolisian.
Perlindungan psikologis perlu dilakukan karena bagi orang awam belum dapat membedakan antara tersangka, terdakwa dan saksi. Proses penghilangan perasaan rasa bersalah yang selanjutnya menimbulkan rasa takut inilah yang mesti diantisipasi dengan jalan memberikan perlindungan psikologis terhadap saksi.
Beberapa pasal dalam KUHAP yang dianggap memberikan perlindungan pada saksi dan korban adalah Pasal 98, Pasal 117 ayat (1), Pasal 118, Pasal 166, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 229.
Pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mempertegas adanya perlindungan saksi dan korban adalah pada:
1) Pasal 8 yaitu “Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.
commit to user
ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30”.
3) Pasal 36 yaitu:
a) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang.
b) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Perlindungan saksi dan korban sangatlah penting karena tanpa saksi dan korban, penegakan hukum tidak akan berjalan lancar dan berkeadilan. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang yang melindungi saksi dan korban sangat dibutuhkan agar ada kepastian hukum. Yang kemudian dibentuklah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang berbunyi: “Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”.
Seorang Saksi dan Korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain, berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu tindak pidana.
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 Bab III sampai Bab IV.
commit to user
Pasal 12 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu: “LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.
LPSK mempunyai visi yaitu terwujudnya perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan, misi dari LPSK adalah:
1) Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana;
2) Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban;
3) Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban;
4) Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak saksi dan korban;
5) Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipasi masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban. (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
(http://www.lpsk.go.id/humas/index.php?option=com_content&view =article&id=48&Itemid=2)
Menurut pasal 28 UU No 13 Tahun 2006, alasan perlindungan dan bantuan yang diberikan LPSK adalah:
1) sifat pentingnya keterangan saksi dan atau korban 2) tingkat ancaman yang membahayakan
3) hasil analisis medis/psikolog
4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan.
2. Tinjauan tentang Whistle Blower
a. Pengertian Whistle Blower
Whistle blower atau peniup peluit adalah orang yang menginisiasi
commit to user
Whistle blower adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan
atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk didalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. (Wikipedia bahasa
Indonesia. Whistle Blower.
http://id.wikipedia.org/wiki/Whistle_Blower)
Perlindungan para pengungkap fakta atau whistleblower di buat dengan maksud untuk memberikan sebuah landasan hukum dan skema perlindungan khusus bagi pengungkapan yang terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, melanggar hukum, kelalaian yang mempengaruhi kepentingan umum, bahaya terhadap kesehatan, keselamatan umum dan termasuk bahaya terhadap lingkungan. Perlindungan ini menanamkan rasa aman pada pegawai untuk menyuarakan pikirannya.
Di dalam dunia nyata yang mengalami pelanggaran dalam hal hukum tidak hanya terjadi didalam perusahaan atau institusi pemerintahan yang dapat menimbulkan ancaman secara substansial bagi masyarakat akibat dari tindakan Whistle Blowing. Salah satu tipe dari
whistle blower yang paling sering ditemukan adalah tipe internal Whistle
Blower yaitu seorang pekerja atau karyawan didalam suatu perusahaan
atau institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada didalam perusahaan tersebut.
Selain itu juga ada tipe external Whistle blower,yaitu pihak pekerja atau karyawan didalam suatu perusahaan atau organisasi yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak diluar institusi, organisasi atau perusahaan tersebut.
commit to user
hukum atau diminta atas perintah eksekutif untuk tetap dijaga kerahasiannya maka laporan seorang whistle blower tidak dianggap berkhianat.
Kondisi saksi tidak jauh berbeda dengan tersangka atau terdakwa, mereka sama-sama memerlukan perlindungan, karena:
1) Bagi saksi (apalagi orang awam), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah.
2) Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidan baginya karena dianggap bersumpah palsu. 3) Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya
mendapat ancaman, terror, intimidasi dari pihak yang dirugkan. 4) Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya.
5) Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka atau terdakwa. (Harkristuti Harkrisnowo, 2002:7)
b. Teori Pembuktian
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Lilik Mulyadi, 2007:49).
Pengertian pembuktian menurut Subekti yaitu yang dimaksudkan dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (R. Subekti, 2007:1).
Dalam pembuktian terdapat empat teori pembuktian yang digunakan untuk menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang ada, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka
(Conviction in time)
commit to user
keyakinan hakim saja. Hakim hanyalah mengikuti hati nuraninya saja dan semua tergantung kepada kebijaksanaan hakim.
2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan yang logis (Conviction Raisonnee).
Teori ini mengutamakan keyakinan hakim sebagai dasar utama menghukum terdakwa yang keyakinan hakim itu harus disertai pertimbangan hukum yang nyata dan logis diterima akal pikiran yang sehat. Dan keyakinan itu tidak perlu didukung alat bukti yang sah. 3) Sistem atau teori pembuktian menurut Undang-Undang positif
(Psitief Wettelijke Bewijstheorie).
Bersalah atau tidaknya terdakwa didasarkan pada ada atau tidaknya alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Suatu sistem pembuktian yang ditunjukkan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang.
Menurut D. Simons sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, sistem pembuktian menurut Undang-Undang positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hukum secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Hati nurani hakim tidak ikut hadir dalam menentukan salah tidaknya terdakwa (D. Simons. Dalam Andi Hamzah, 2001 :247).
4) Sistem atau teori pembuktian menurut Undang-Undang secara negative (Nega tief Wettelijke Bewijstheorie)
commit to user
haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam Undang-Undang. Jadi, kegiatan pembuktian didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri (Adami Chazawi, 2008: 28).
c. Alat Bukti
Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).
Alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan di dalam pemeriksaan di persidangan dijelaskan di dalam Pasal 184 Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu sebagai berikut:
1) Keterangan Saksi
Pengertian saksi menurut pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa :“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri”.
Sedangkan pengertian keterangan saksi berdasarkan Pasal 1 angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu : “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alas an dari pengetahuannya itu”.
2) Keterangan Ahli
commit to user
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Keterangan ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal tersebut (Andi Hamzah, 2001 : 269).
3) Surat
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa surat sebagaimana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat 1 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
4) Petunjuk
Petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah “perbuatan kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Dan dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, atas keterangan terdakwa.
Mengenai penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia melakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti. Kemudian permasalahan diserahkan pada hakim, maka pengamatan hakim dapat dijadikan sebagai alat bukti perkara.
5) Keterangan Terdakwa
commit to user
Penempatan alat bukti terdakwa pada urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, merupakan salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”.
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja seperti yang disebut di atas, tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
d. Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi Mahkota) dan Whistle
Blower yang Tidak Terkait Kasus (Saksi Kunci)
1) Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi Mahkota)
commit to user Saksi mahkota didefinisikan;
Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut (M. Sofyan Lubis. Saksi mahkota dalam peradilan pidana. http://msofyanlubis.wordpress.com/2010/07/26/saksi-mahkota/)
Saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan. Pengaturan mengenai saksi mahkota ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.
commit to user
Penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan; 2). terdapat kekurangan alat bukti; dan 3). diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing);
Sebagai imbalan atas kesaksiannya, sesuai dengan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi mahkota berhak mendapatkan insentif hukum berupa keringanan hukuman. Selengkapnya pasal tersebut berbunyi, "Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan".
2) Whistle Blower yang Tidak Terkait Kasus (Saksi Kunci)
KUHAP tidak memberikan suatu definisi otentik mengenai saksi kunci, namun pengertian saksi kunci adalah sesuai dengan pengertian saksi pada pasal 1 angka 26 KUHAP.
Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Tidak terkait kasus di sini bahwa saksi itu adalah orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain dan dia tidak melakukan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan tindak pidana yang sedang dimintakan kesaksian kepadanya.
commit to user
perkara pidana. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian keterangan saksi adalah:
a). Unrelia ble witness
Saksi dipersuasi untuk memberikan keterangan yang memperkuat posisi jaksa, terutama jika saksi menghadapi ancaman pidana juga.
b). Witness a s product of bullying a nd hara ssment
Metode tertentu penegak hukum dalam meminta keterangan, missal : pertanyaan yang berulang-ulang tidak relevan dan dalam jangka waktu panjang tanpa jeda yang layak.
c). Lying witness
Memberikan keterangan yang tidak sebenarnya walaupun sudah disumpah baik karena disuap atau intimidasi pihak lain.
d) Silent witness
Saksi yang menolak memberikan jawaban yang sesungguhnya karena khawatir akan menyudutkan dirinya.
e) Incompetent witness
Keterangan saksi tidak layak jadi alat bukti yang sah di pengadilan karena infant, menta l disea se atau menta l defect.
f) Turn coat witness
Saksi yang semula disuga akan membela terdakwa ternyata melakukan sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan penasehat hukum.
commit to user
e. Perlindungan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa dalam Proses Peradilan Pidana
Definisi di dalam KUHAP tentang tersangka dan terdakwa terdapat pada pasal 1 butir 14, mengenai tersangka sebagai berikut: “Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Sedangkan butir 15 mengenai terdakwa ialah sebagai berikut: “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan”.
Dalam penjelasan KUHAP dapat ditemukan 10 (sepuluh) asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, yaitu:
1) Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun; 2) Praduga tidak bersalah;
3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; 4) Hak untuk mendapat bantuan hukum;
5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan;
6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; 7) Peradilan yang terbuka untuk umum;
8) Pelanggaran atas hak-hak warga Negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
9) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu, termasuk hak menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum; 10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan
commit to user
Menurut pendapat Mardjono dalam pidatonya yang dimuat dalam buku karya Mien Rukmini, dia berpendapat bahwa:
Hak-hak yang diberikan oleh KUHAP bukan tertuju kepada tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum, akan tetapi sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai obyek dan subyek anggota masyarakat. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran materiel sungguh-sungguh adalah pelaku delik, hal itu merupakan suatu resiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu. Akan tetapi seorang tersangka/terdakwa belum tentu sungguh-sunnguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence) ( Mien Rukmini, 2003:91).
3. Tinjauan tentang Penegakan Hukum Pidana
a. Pengertian Penegakan Hukum Pidana
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu (Satjipto Raharjo, 1983:24).
Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantab dan mengejawentah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut perbuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada di antara hukum dan moral. (Soerjono Soekanto, 1983:5)
commit to user
khususnya hukum pidana sehingga sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum.
b. Aparat Penegak Hukum 1) Polisi
“Dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian diartikan sebagai segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Sifat dari tugas polisi adalah:
a) Preventif (sifat mencegah), yaitu menjaga jangan sampai terjadi perbuatan atau kelalaian yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan.
b) Represif (sifat memberantas) yaitu mencari dan menyelidiki peristiwa-peristiwa yang telah mengganggu ketertiban dan keamanan.
Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas yakni:
a) asas legalitas; b) asas plichmatigheid; c) asas subsidiaritas
Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan polisi harus didasarkan kepada undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Asas plichmatigheid ialah asas di mana polisi sudah dianggap sah berdasarkan atau bersumber kepada kekuasaan atau kewenangan umum (Momo Kelana, 1994:10).
2) Jaksa Penuntut Umum
commit to user
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a) Melakukan penuntutan;
b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Menurut Pasal 1 butir butir 1 KUHAP: “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal 1 butir 2 KUHAP: “Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Di dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa tugas dan wewenang Penuntut Umum adalah:
a) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
commit to user
c) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d) membuat surat dakwaan;
e) melimpahkan perkara ke pengadilan;
f) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g) melakukan penuntutan;
h) menutup perkara demi kepentingan hukum;
i) mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j) melaksanakan penetapan hakim.
3) Hakim
Menurut Pasal 1 butir 8 KUHAP, “hakim adalah Pejabat pengadilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”.
Adapun yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Wewenang hakim utamanya adalah mengadili yang meliputi kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana.
commit to user Tindak pidana
Pembuktian tindak pidana
Pasal 184 ayat (1) KUHAP
Saksi Ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa
Tidak terkait kasus
Terkait kasus
Saksi Kunci
Saksi Mahkota
Perlindungan Hukum
B. Kerangka Pemikiran
Ga mba r 1.
Skema Kerangka Pemikira n
Keterangan:
commit to user
yang berlaku di Indonesia adalah nega tief wettelijk stelsel dimana salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut UU.
Alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal 184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah : (1). keterangan saksi; (2). keterangan ahli; (3). surat; (4). petunjuk; dan (5). keterangan terdakwa.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Saksi di sini dapat merupakan saksi yang tidak terkait kasus (saksi kunci) maupun saksi yang terkait kasus (saksi mahkota).
Pada dasarnya saksi kunci merupakan saksi sesuai dengan pengertian saksi pada Pasal 1 angka 26 KUHAP. Sedangkan saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan alat bukti ; dan 3). diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing);
commit to user BAB III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum terhadap Whistle Blower yang Terkait Kasus
dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana
1. Pengaturan Penggunaan Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi
Mahkota)
Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil maka Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memiliki rumusan sistem pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran.
Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat (Andi Hamzah,2001:9).
Selain itu, untuk mendukung implementasi rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya harus berpedoman pada asas-asas yang berlaku dalam proses peradilan pidana, seperti asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence), asas persamaan dihadapan hukum (equa lity
before the la w) dan asas pemeriksaan akusator (Syamsul Bahri
Radjam,2006:273).
Salah satu bentuk dari adanya asas praduga tidak bersalah maka terdakwa sebagai subjek dalam setiap tingkatan pemeriksaan tidak dibebani dengan kewajiban pembuktian. Hal tersebut merupakan bentuk hak asasi terdakwa sebagai konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan akusator dalam KUHAP. Oleh karena itu, sebagai subjek dalam pemeriksaan maka tersangka atau terdakwa diberikan kebebasan untuk
commit to user
melakukan pembelaan diri terhadap tuduhan atau dakwaan yang ditujukan kepada dirinya (Darwan Prinst,1998:107).
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Lilik Mulyadi,2007:49).
Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang sangat determinan dalam rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mendakwakan maka pihak tersebut yang harus membuktikan dakwaannya (Adami Chazawi,2006:201).
Berbeda halnya dengan advokat dalam kapasitasnya sebagai penasihat hukum, maka pembuktian merupakan faktor yang determinan dalam rangka melakukan pembelaan yang optimal terhadap terdakwa selaku kliennya.
commit to user
Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. KUHAP sebagai hukum formil telah memiliki sistem pembuktian tersendiri yang mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal 184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah : a).keterangan saksi ; b).keterangan ahli ; c). surat ; d). petunjuk dan e). keterangan terdakwa.
Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan (Lilik Mulyadi,2007:85). Saksi mahkota menurut Loebby Loqman, yaitu “saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan” (Loebby Loqman,1995:11).
Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.
commit to user
syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.
commit to user
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1174K/Pid/1994 dan No. 1592 K/Pid/1994 tidak membenarkan adanya penggunaan sanksi mahkota Dalam pembuktian perkara pidana. Menurut Yurisprudensi ini, saksi mahkota juga adalah pelaku yang diajukan sebagai terdakwa yang dakwaanya sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Saksi yang disumpah harus berkata benar tentang apa yang ia lihat, dengar, serta ia alami sendiri kalau tidak dapat dipidana atas kesaksiannya tersebut. Disini saksi mahkota mengalami tekanan psikis karena secara implisit membuktikan perbuatan yang ia lakukan, disisi yang lain bahwa kesaksian yang benar akan diancam pidana dalam kedudukannya sebagai terdakwa yang tidak dapat mengingkari atau membela diri karena terikat dengan sumpah saksi.
2. Ketentuan Hukum Perlindungan Whistle Blower yang Terkait Kasus
(Saksi Mahkota)
Whistle blower (peniup peluit) merupakan istilah yang dikenal di
Amerika Serikat bagi mereka yang melaporkan terjadinya tindak pidana. Untuk itu, AS mengeluarkan Whistle Blower Protection Act untuk melindungi para pegawai dari pembalasan dendam pegawai lain yang
dilaporkan karena melakukan kesalahan
(http://www.asmarsaleh.com/article-a-legal-opinion/55-apresiasi-terhadap-saksi-mahkota.html>9 maret 2011 pukul 08.17).
Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.