• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Kandungan Boraks pada Lontong Serta Pengetahuan dan Sikap Pedagang Tentang Boraks di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa Kandungan Boraks pada Lontong Serta Pengetahuan dan Sikap Pedagang Tentang Boraks di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Kusioner Penelitian Analisa Kandungan Boraks Pada Lontong Serta Pengetahuan dan Sikap Pedagang Tentang Boraks Di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

A. Karakteristik Responden

Sumber Membeli bahan baku lontong : Ketahanan Lontong : ... Hari Pengawet yang digunakan:

Nama pengawet yang digunakan :

Jika Lontong Tidak habis akan dikemanakan: B. Pengetahuan

1. Menurut ibu/ bapak, apa yang dimaksud dengan bahan tambahan makanan? (Dapat memilih lebih dari 1 jawaban)

1. Biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud tertentu.

2. Bahan tambahan makanan yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan. 3. Bahan tambahan yang ditambahkan dalam makanan dengan tujuan untuk

mempengaruhi sifat dan bentuk makanan

4. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan

2. Menurut ibu/bapak, apakah ada peraturan tentang bahan tambahan pangan yang diizikan dan tidak diizinkan?

a. Tidak (0) b. Ada (2)

3. Menurut ibu/bapak, apa manfaat dari penggunaan bahan tambahan makanan? (Dapat memilih lebih dari 1 jawaban)

1. Untuk mengawetkan makanan 2. Meningkatkan nilai gizi makanan

3. Untuk membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna

4. Tidak untuk menyembunyikan kerusakan makanan dan menyembunyikan cara kerjaa yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan.

(2)

1. Dapat membuat ketergantungan

2. Dapat menimbulkan penyakit seperti penyakit kanker 3. Dapat merusak ginjal

4. Dapat merusak hati

5. Bagaimana ciri-ciri makanan yang mengandung pengawet?(Dapat memilih lebih dari 1 jawaban)

1. Makanan menjadi awet dan menjadi tahan lama 2. Dapat memperbaiki warna

3. Dapat memperbaiki teksturnya makanan 4. Dapat meberikan kesan segar pada makanan

6. Apakah ibu/bapak, dapat menyebutkan bahan tambahan pangan yang diijinkan penggunaannya ? (Dapat memilih lebih dari 1 jawaban)

1. Pewarna 2. Pengawet 3. Pemanis buatan 4. Penyedap rasa

7. Apakah ibu/bapak, dapat menyebutkan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan penggunaannya ? (Dapat memilih lebih dari 1 jawaban)

1. Boraks 2. Formalin

3. Dulsin (Pemanis Buatan yang rasa manisnya 250 kali gula tebu dan menyebabkan racun bagi tubuh)

4. Kalium Klorat (biasanya digunakan untuk pemutih tepung) 8. Apakah menurut ibu/bapak, pengawet berbahaya bagi kesehatan?

a. Tidak(0) b. Ya(2)

9. Menurut ibu/bapak, apa pengaruh pengawet yang tidak diijinkan terhadap kesehatan, jika dikonsumsi oleh manusia? (Dapat memilih lebih dari 1

10. Menurut ibu/bapak, apakah pengawet lontong yang paling baik digunakan? a. Boraks / obat lontong/ pengenyal lontong (0)

b. Pengawet alami seperti kapur sirih (2)

11. Apakah ibu tahu ciri-ciri lontong yang mengandung boraks? (Dapat memilih lebih dari 1 jawaban)

1. Lembut dan berwarna putih khas lontong 2. Rasanya lebih gurih

(3)

Sikap

No Pertanyaan S TS

1 Apakah ibu setuju bahwa bahan tambahan makanan (BTM) yang digunakan dalam pengolahan makanan dapat memperbaiki kualitas?

2 0

2 Apakah ibu setuju jika ada peraturan yang mengatur penggunaan bahan tambahan makanan?

2 0

3 Apakah ibu setuju jika bahan tambahan makanan harus selalu digunakan dalam

pengolahan makanan ? 0 2

4 Apakah ibu setuju bahwa bahan tambahan makanan dapat menimbulkan berbagai bahaya kesehatan seperti mual, muntah, bahkan sampai kematian?

2 0

5 Menurut ibu apakah makanan yang mengandung bahan pengawet seperti boraks tidak menjadi masalah bila dicampurkan kedalam lontong yang ibu jual?

0 2

6 Apakah ibu setuju jika lontong yang ditambahkan boraks akan menjadi lebih awet (tahan lama)?

2 0

7

Apakah ibu setuju jika boraks merupakan zat pengawet yang tidak diijinkan penggunaannya pada makanan oleh Pemerintah

2 0

8 Apakah ibu setuju jika makanan yang mengandung pengawet buatan (dari bahan kimia) diganti dengan pengawet alami seperti kapur sirih

2 0

9 Pemerikasaan terhadap makanan yang dijual sebaiknya tidak perlu dilakukan karena dapat merugikan pedagang

0 2

10 Menurut ibu apakah para pedagang makanan yang menggunakan bahan pengawet seperti boraks pada makanan yang dijual tidak perlu dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena hal tersebut tidak berpengaruh kepada kesehatan?

0 2

Keterangan :

S : Setuju TS : Tidak Setuju

(4)
(5)
(6)

Lampiran 4. Batas Wilayah Lokasi Penelitian

Keterangan :

A : Berbatasan dengan Kelurahan WEK V B : Berbatasan dengan Sihitang

C : Berbatasan dengan Ujung Padang D : Berbatasan dengan Padangmatinggi E : Wilayah Kelurahan Aek Tampang

C

A

B

E

(7)

Lampiran 5. Gambar Penelitian

(8)

Gambar 4.7. Proses pembuatan lontong dengan tambahan boraks/pengenyal lontong

Keterangan :

Gambar 1 : proses pncucian beras sebelum di olah

Gambar 2: proses penambahan boraks/ pengenyal lontong Gambar 3:pencampuran boraks dengan bahan agar merata Gambar 4:pengemasan bahan ke dalam plastik

(9)

Gambar 6: Lontong yang telah dimasak

(10)
(11)
(12)

Lampiran 8. Master Data Karakteristik Pedagang Lontong yang Berjualan di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimuan Tahun 2015

No. Nama JK Ur L.B SMB

(13)

1 = Pasar 2 = Warung KL (Ketahanan Lontong) : 1 = 1 Hari

2 = 2 Hari 3 = 3Hari PYG (Pengawet yang digunakan):

1 = Tidak Pakai 2 = Alami 3 = Buatan NPYG (Nama Pengawet yang digunakan):

1 = Tidak Pakai 2 = Kapur Sirih 3 = Pengenyal Sisa (Jika Lontong Tidak Habis Dikemanakan):

(14)

Lampiran 9. Master Data Pegetahuan Pedagang Lontong yang Berjualan di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimuan Tahun 2015

No Nama

Pengetahuan

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P

10 P 11

P tot

1 N.AZIZAH 2 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1

2 RAISAH 2 2 1 1 1 2 2 2 1 2 2 2

3 ANNA P 2 1 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2

4 LENA 1 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2

5 REFI 1 2 1 2 1 1 2 2 1 2 2 2

6 MARYAM 2 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 1

7 ANI 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1

8 SUKRA 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1

9 MARLINA 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 1

10 MAIMUNAH 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1

11 HAIDA 2 2 1 2 1 1 2 2 2 2 2 1

12 YANTI 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1

13 KHALIDAH 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1

14 UWAK AJO 1 2 1 2 1 1 2 2 1 2 2 2

(15)

Keterangan :

Pertanyaan P2, P8, P10

Skor Pengetahuan : Jika 1 = Nilai 0 Jika 2 = Nilai 2

Pertanyaan lainnya (Pertanyaan Pengetahuan P1, P3,P4, P5,P6,P7,P9,P11) Skor pengetahuan : Jika 1 = Nilai 1 (hanya memilih 1jawaban)

Jika 2 = Nilai 2 (memilih 2 atau lebih jawaban) P TOT ( Total Pengetahuan):

(16)

Lampiran 10. Master Data Sikap Pedagang Lontong yang Berjualan di KelurahanAek Tampang Kota Padangsidimuan Tahun 2015

No Nama

Sikap

S TOT S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10

1 N.AZIZAH 2 2 0 2 2 2 2 2 0 2 1

2 RAISAH 2 2 0 2 2 2 2 2 0 2 1

3 ANNA P 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1

4 LENA 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1

5 REFI 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1

6 MARYAM 0 2 2 2 2 2 0 0 0 2 2

7 ANI 2 2 2 2 0 0 2 2 0 0 2

8 SUKRA 0 2 2 2 2 2 0 0 0 2 2

9 MARLINA 0 2 0 2 2 0 2 0 2 2 2

10 MAIMUNAH 0 0 2 0 2 0 0 2 0 2 2

11 HAIDA 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1

12 YANTI 2 2 0 2 2 2 2 2 0 2 1

13 KHALIDAH 2 2 2 2 2 2 0 2 0 2 1

14 UWAK AJO 0 2 0 0 2 2 2 2 0 0 2

(17)

Keterangan :

S 1 – S11 (Pertanyaan Sikap 1-10)

Skor Sikap Pertanyaan Positif : Jika 0 = (Tidak Setuju) Jika 2 = (Setuju) Skor Sikap Pertanyaan Negatif: Jika 0 = (Setuju)

Jika 2 = (Tidak Setuju) S TOT ( Total Sikap):

(18)

Lampiran 11.Output Karakteristik Responden JENIS KELAMIN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulativ

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

SUMBER MEMBELI BAHAN BAKU LONTONG

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 1 hri 10 66.7 66.7 66.7

2 hri 4 26.7 26.7 93.3

3hri 1 6.7 6.7 100.0

Total 15 100.0 100.0

PENGAWET YANG DIGUNAKAN

Frequency Percent Valid Percent

(19)

NAMA PENGAWET YANG DIGUNAKAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid TIDAK PAKAI 3 20.0 20.0 20.0

KAPUR SIRIH 11 73.3 73.3 93.3

PENGENYAL 1 6.7 6.7 100.0

Total 15 100.0 100.0

JIKA LONTONG TIDAK HABIS DIKEMANAKAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid DIPANASKAN KEMBALI 3 20.0 20.0 20.0

SIMPAN DI KULKAS 7 46.7 46.7 66.7

LAIN-LAIN 5 33.3 33.3 100.0

Total 15 100.0 100.0

total penegetahuan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid baik 9 60.0 60.0 60.0

sedang 6 40.0 40.0 100.0

(20)

Lampiran12. Output Pengetahuan Responden YANG DIMAKSUD BTP

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 8 53.3 53.3 53.3

2 7 46.7 46.7 100.0

Total 15 100.0 100.0

MENGAPA ADA BTP YG DILARANG

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 9 60.0 60.0 60.0

2 6 40.0 40.0 100.0

(21)

MENYEBUTKAN BTP YG TDK DIIZINKAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 15 100.0 100.0 100.0

PENGARUH PENGAWET YG TDK DIIJINKAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 7 46.7 46.7 46.7

2 8 53.3 53.3 100.0

Total 15 100.0 100.0

PENGAWET LONTONG YG PALING BAIK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 1 6.7 6.7 6.7

2 14 93.3 93.3 100.0

Total 15 100.0 100.0

CIRI-CIRI LONTONG YG MENGANDUNG BORAKS

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 1 6.7 6.7 6.7

2 14 93.3 93.3 100.0

(22)

Lampiran 13. Output Sikap Responden

BTP YANG DIGUNAKAN DAPAT MEMPERBAIKI KUALITAS

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0 1 6.7 6.7 6.7

2 14 93.3 93.3 100.0

Total 15 100.0 100.0

BTP HARUS SLLU DIGUNAKAN DALAM PENGOLAHAN MAKANAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0 5 33.3 33.3 33.3

2 10 66.7 66.7 100.0

Total 15 100.0 100.0

APAKAH BORAKS BERBAHAYA BAGI KESEHATAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0 2 13.3 13.3 13.3

2 13 86.7 86.7 100.0

Total 15 100.0 100.0

APAKAH BORAKS TIDAK MENJADI MASALAH BAGI KESEHATAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0 1 6.7 6.7 6.7

2 14 93.3 93.3 100.0

Total 15 100.0 100.0

LONTONG YANG DITAMBAHKAN BORAKS AKAN MENJADI LEBIH AWET

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0 3 20.0 20.0 20.0

2 12 80.0 80.0 100.0

(23)

BORAKS MERUPAKAN ZAT PENGAWET YANG TIDAK DIJINKAN PENGGUNAANNYA

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0 4 26.7 26.7 26.7

2 11 73.3 73.3 100.0

Total 15 100.0 100.0

JIKA MAKANAN YANG MENGANDUNG PENGAWET BUATAN IGANTI DENGAN PENGAWET ALAMI

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0 3 20.0 20.0 20.0

2 12 80.0 80.0 100.0

Total 15 100.0 100.0

PEMERIKSAAN TERHADAP MAKANAN YANG DI JUAL

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0 9 60.0 60.0 60.0

2 6 40.0 40.0 100.0

Total 15 100.0 100.0

PEDAGANG YANG MENGGUNAKAN BORAKS TIDAK PERLU DILAPORKAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid BAIK 8 53.3 53.3 53.3

SEDANG 7 46.7 46.7 100.0

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, Nurjaya. 2013. Pengaruh Pemberian Boraks Dosis Bertingkat Terhadap Perubahan Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hepar Selama 28 Hari. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Agustina, F. Pambayun, R & Febry, F. 2009. Higiene dan Sanitasi pada Pedagang Makanan Jajanan Tradisional di Lingkungan Sekolah Dasar di Kelurahan Demang Lebar daun Palembang Tahun 2009. http://eprints.unsri.ac.id/64/3/Abstrak8.pdf, diakses 23 agustus 2015.

Akbar. 2015. Modul Praktikum Metode riset Untuk Bisnis dan Manajemen Program Studi Manajemen S1 Fakultas Bisnis Dan Manajemen. Universitas Widyatama. Bandung).

Cahyadi, wisnu. 2006. Analisa & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Cahyadi, wisnu. 2008. Analisa & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Cahyadi, wisnu. 2009. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Depkes R.I. 2002. Pedoman Penggunaan Bahan Tambahan Pangan bagi Industri. Jakarta

Djoko, P. 2006. Panduan Gizi Lengkap.Yogyakarta: Andi.

Eddy, Setyo. 2006. Tahu Makanan Favorit yang Keamanannya Perlu Diwaspadai. http://www.Kompas.com/kesehatan/News/0503/30/101104.htm

Fadilah. 2006. Identifikasi Kandungan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Pada Makanan Jajanan Anak SDN Kompleks Kota Palopo Tahun 2006. Skripsi. Makassar: Universitas Hasauddin. Diakses tanggal 10 Juli 2015 Heruwati. 2006. Pengujian Organoleptik (Evaluasi Sensori) Dalam Industri

Pangan. Ebookpangan.com. Diakses 5 Juli 2015.

(25)

Nasution, Anisyah. 2009. Analisa Kandungan Boraks Pada Lontong Di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Notoadmojo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta .

Notoadmojo, Soekidjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta .

Nugroho, Julia A. Pemeriksaan boras dalam lontong secara kuantitatif yang di jual di wilayah Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi. Penelitian; 2011. Diakses tanggal 05 Juli 2015

Pangestiningsih. 1992. Gambaran Anatomi Fetus Tikus Putih Akibat Pemberian Boraks Pada Induk Bunting. Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan RI. 1096. 2011. Tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.033 Tahun 2012. Tentang Bahan Tambahan Makanan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.1168/MENKES/PER/X/1999. Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Saparinto, Cahyo., Diana Hidayat. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Singgih D, Gunarsa. 1998. Psikologi Perkembangan. Jakarta ; BPK Gunung Mulia.

Suhanda, R. 2012. Higiene Sanitasi Pengolahan Dan Analisa Boraks Pada Bubur Ayam Yang Dijual Di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2012. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sumantri, E. 2010.KesehatanLingkungan&Perspektif Islam.Kharisma Putra Sunoryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku

(26)

Surianti. 2008. Studi Mutu Minuman Jajanan Pada Anak Sekolah Di SD Islam Athirah Kota Makassar Tahun 2008. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin. Diakses tanggal 10 Juli 2015.

Syah, D. dkk. 2005. Manfaat Dan Bahaya Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bandung.

WHO. Bahaya bahan kimia pada kesehatan manusia dan lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2006.

Yolanda, M. 2013. Analisa Boraks Dalam Sepuluh Lontong Yang Beredar di

Daerah Wonokromo

Surabaya.http://www.digilib.ubaya.ac.id/index.php?page=view_pdf&kode =ks-f.pdf Diakses tanggal 25 Juni 2015

Yuliarti, N. 2007. Awas! Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Sulchan, M. Endang Nur W. 2007. Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan

Styrofoam. Semarang.

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/486/4 87. Diakses tanggal 25 januari 2016.

Suyitno. 1990. Bahan-bahan pengemas. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Guslaida, Mira. 2015. Hubungan Karakteristik Pengetahuan dan Sikap pada Ibu Rumah Tangga dan Pedagang dengan Penggunaan Kantong Plastik di Pasar Tradisional Firdaus Kecamatan Medan Tembung Tahun 2014. Skirpsi. Universitas Sumatera Utara, Medan.

(27)

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Aek Tampang dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan metode pengabuan dan kuantitatif dengan metode Spektrofotometri.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan Aek Tampang yaitu di Pasar Inpres Padangmatinggi, Simpang SMA 3, dan Aek Tampang. Alasan pemilihan lokasi:

1. Lokasi tersebut banyak menjual lontong sehingga sesuai dengan tempat melakukan penelitian.

2. Di lokasi tersebut terdapat Pasar Inpres, pusat untuk berbelanja sayur-sayuran dan kebutuhan sehari-hari dan pedangang serta masyarakat di sekitar lokasi sering menikmati lontong untuk sarapan.

3.2.2 Waktu Penelitian

(28)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pedagang lontong yang berjualan di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan yaitu di 3 lokasi: Pasar Inpres Padangmatinggi, Simpang SMA 3, dan Aek Tampang, dimana jumlah pedagang lontong di lokasi tersebut adalah 15 orang pedagang lontong.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah total populasi sebanyak 15 orang pedagang lontong, dengan pertimbangan bahwa lontong banyak di jual di lokasi tersebut (Pasar Inpres Padangmatinggi, Simpang SMA 3, Aek Tampang), lontong banyak dibeli masyarakat untuk sarapan, dimana lontong yang dijual memiliki kekenyalan yang berbeda. Pemeriksaan sampel lontong dari 15 orang pedagang lontong.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kandungan boraks pada lontong.

3.4.2 Data Sekunder

(29)

3.5 Defenisi Operasional

1. Lontong adalah makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari beras di bungkus dengan plastik, daun pisang, dan daun kelapa yang dijalin lalu dimasak dengan air hingga terbenam, mempunyai tekstur yang lembut dan kenyal dan disajikan dengan kuah.

2. Pengetahuan pedagang lontong merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

3. Sikap pedagang lontong adalah reaksi atau respon pedagang terkait penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya pada makanan.

4. Boraks adalah senyawa kimia berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil pada suhu dan tekanan normal.

5. Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan boraks pada lontong yang dilakukan di Laboratorium Balai Riset Dan Standardisasi Industri Medan.

6. Uji kualitatif adalah pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya boraks pada sampel (lontong) dengan menggunakan metode pengabuan.

7. Uji kuantitatif adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan kadar boraks yang terkandung dalam sampel (lontong) dengan metode titrasi asam basa.

(30)

Adapun aspek pengukuran dari pemeriksaan boraks pada lontong adalah: Boraks yaitu jika pada sampel lontong yang diperiksa secara kualitatif ditemukan perubahan warna api menjadi warna hijau (reaksi nyala api). Tidak ada boraks, yaitu tidak ditemukannya perubahan warna pada reaksi nyala api dalam sampel lontong yang diperiksa secara kualitatif, Atau boraks = 0.

Adapun skala pengukuran variabel penelitian terhadap pengetahuan dan sikap pedagang lontong tentang boraks yang diukur melalui pernyataan yang terdapat dalam lembar kuesioner.

Penilaian atas jawaban yang diberikan responden adalah sebagai berikut: a. Nilai baik apabila responden mendapat nilai >75% dari skor maksimal. b. Nilai sedang, apabila responden mendapat nilai 40-75% dari skor maksimal. c. Nilai kurang apabila responden mendapat nilai <40% dari skor maksimal. 3.6.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh pedagang lontong tentang boraks yang diukur melalui 11 pertanyaan yang diajukan kepada responden. Jumlah pertanyaan pengetahuan sebanyak 11 pertanyaan dengan skor tertinggi adalah 2 dan skor terendah adalah 0.

Untuk semua pertanyaan kecuali pada no 2,8, dan 10 jawaban yang diberikan lebih dari 1. Jika responden dapat menyebutkan 2-3 pilihan mendapat nilai 2 dan jika responden hanya dapat menyebutkan 1 pilihan mendapatkan nilai 1. Sedangkan untuk pertanyaan 2,8,dan 10 jawaban a bernilai 0, dan jawaban b bernilai 2.

(31)

a. Baik, apabila jawaban responden memiliki skor >75% menjawab benar dari 11 pertanyaan yang diajukan dari total skor >17 dari seluruh pertanyaan yang ada.

b. Sedang, apabila jawaban responden memiliki skor 40-75% menjawab benar dari 11 pertanyaan yang diajukan dari total skor 9-17 dari seluruh pertanyaan yang ada.

c. Rendah, apabila jawaban responden memiliki skor < 40% yang menjawab benar dari 11 pertanyaan yang diajukan dari total skor < 9 dari seluruh pertanyaan yang ada.

3.6.2 Sikap

Sikap dapat diukur dengan pemberian skor terhadap jumlah kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pernyataan 10 yang terdiri dari pernyataan positif dan negatif, dimana pernyataan yang benar diacak dan diberi nilai 2. Skor tertinggi adalah 20. Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu : a. Tingkat sikap baik apabila jawaban responden benar >75% atau memiliki

skor > 15 dari seluruh pertanyaan yang ada.

b. Tingkat sikap sedang apabila jawaban responden benar 40-75% atau memiliki skor 8-15 dari seluruh pertanyaan yang ada.

(32)

3.7 Prosedur Kerja Pemeriksaan Boraks Secara Kualitatif dan Kuantitatif Sebanyak 100 gram lontong dimasukkan ke dalam masing-masing plastik lalu sampel dibawa untuk diperiksa di Laboratorium Balai Riset Dan Standardisasi Industri Medan.

A. Bahan Pemeriksaan

Sampel atau bahan yang digunakan untuk analisa adalah lontong yang diambil dari beberapa penjual lontong di Kelurahan Aek Tampang. Adalah sebagai berikut :

1. Lontong 2. Metanol

3. Methil Alkohol Absolut 4. H2SO4 (Asam Sulfat Pekat)

5. Kurkumin 0,125% 6. Aquadest

B. Alat-alat

1. Beaker glass 250 ml 2. Labu Ukur

3. Cawan porselen 4. Pipet tetes

5. Timbangan elektrik 6. Tanur/Furnace 7. Oven

8. Spektrofotometri 9. Waterbath

(33)

E. Cara Kerja

1. Secara Kualitatif dengan Metode Pengabuan

Prosedur kerja secara kualitatif dengan metode pengabuan a. 50 gram lontong ditambahkan dengan 10 gram kapur (CaCO3)

b. Lontong digerus di dalam lumpang batu lalu masukkan ke dalam cawan. Kemudian masukkan ke dalam oven untuk mengurangi kadar air yang terkandung, lalu setelah itu sebelum masukan kedalam tanur/furnace sampel diarangkan terlebih dahulu dengan menggunakan kompor gas sampai asap hilang, lalu dimasukan ke dalam tanur/furnace selama 3-4 jam dengan temperatur 5400C setelah itu dinginkan.

c. Abu dimasukkan ke dalam 15 buah cawan dan diberi kode sampel d. Abu digunakan untuk tes berikutnya.

Reaksi Nyala Api

Abu dimasukkan ke dalam cawan porselin kemudian tambahkan Asam sulfat dan metanol kemudian di bakar jika api berwarna hijau artinya sampel positif mengandung boraks.

2. Secara Kuantitatif dengan Spektrofotometri

Prosedur kerja secara kuantitatif dengan metode Spektrofotometri a. Timbang sampel sebanyak 1,7803 gr

b. Kemudian diabukan dan dilarutkan dengan aquades didalam labu ukur sebesar 50%

(34)

d. Keringkan dengan alat waterbath dengan temperatur 55OC, selama 80 menit e. Setelah itu dinginkan diudara terbuka dan akan muncul endapan merah

kecoklatan.

f. Larutkan kedalam labu ukur 25 ml, kemudian dilarutkan dengan alkohol , dan di uji dengan alat spektrofotometer

Penghitungan kadar boraks = V×40,590 ppm B

Keterangan :

V = Volume sampel yang telah dilarutkan B = Berat sampel

3.8 Analisa Data

(35)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Aek Tampang memiliki wilayah 200 Ha, dimana terdapat luas pemukiman 93 Ha, luas perkebunan 97 Ha, serta luas pertanian 8 Ha.

Batas-batas wilayah Kelurahan Aek Tampang tersebut antara lain: 1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan WEK V

2. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Padangmatinggi / Sihitang 3. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Ujung Padang

4. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Padangmatinggi

Lokasi penelitian terletak di Padangmatinggi, daerah tersebut merupakan daerah yang banyak pedagang yang berjualan lontong. Karena letaknya dekat dengan pasar inpres dan sekolah membuat lokasi ini ramai dikunjungi banyak orang.

Jumlah penduduk di Kelurahan Aek Tampang sebanyak 8424 orang. Jumlah laki-laki sebanyak 3461 orang dan perempuan sebanyak 4963 orang. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga yang ada di Kelurah Aek Tampang sebanyak 1855 KK. Mata pencarian masyarakat, tertinggi adalah wiraswasta yaitu sebanyak 536 orang.

4.2 Deskripsi Sampel

(36)

tersebut banyak dijual lontong karena lokasi merupakan pusat perbelanjaan sayuran dan bahan makanan sehari-hari bagi warga sekitar Kelurahan Aek Tampang dan dilokasi tersebut juga terdapat beberapa sekolah dan pusat kesehatan masyarakat. Lontong banyak dibeli masyrakat, pegawai puskesmas dan siswa sekolah untuk sarapan dan ada juga yang mengkonsumsi lontong pada saat makan siang. Dikarenakan kebanyakan pedagang lontong berjualan hingga jam 02.00 wib dan bahkan ada yang sampai sore hari.

Berdasarkan hasil observasi langsung dari 15 pedagang lontong yang dijual mempunyai kekenyalan yang berbeda-beda dan daya simpan yang berbeda-beda. Hanya 15 pedagang lontong yang berjualan di lokasi tersebut sehingga semua lontong yang dijual di tiga lokasi tersebut dijadikan sampel dari penjual yang berbeda-beda.

Gambar 4.1 Sampel yang diambil dari lokasi penelitian, sampel lontong yang dibungkus plastik (gambar 1), dan sampel lontong yang dibungkus daun kelapa (gambar 2).

(37)

4.3 Karakteristik Pedagang

Hasil wawancara terhadap pedagang lontong menunjukkan karakteristik pedagang lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan tahun 2015 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Pedagang Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin dan Umur Pedagang Lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

Karakteristik Pedagang Jumlah Persentase (%) Jenis Kelamin

(38)

Tabel 4.2 Distribusi Pedagang Berdasarkan Karakteristik Lama Berjualan dan Sumber Membeli Bahan Baku Lontong yang Dijual di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

Karakteristik Jumlah Persentase (%) Lama Berjualan

Berdasarkan Tabel 4.2 hasil penelitian dari 15 pedagang lontong sebagai responden terdapat 8 pedagang (53,3%) telah bekerja sebagai pedagang lontong selama < 5 tahun, lalu 2 pedagang (13,3%) telah bekerja selama 6-10 tahun dan 5 pedagang (33,3%) bekerja selama > 11 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian dari 15 pedagang lontong sebagai responden terdapat 14 pedagang (93,3%) yang membeli sumber bahan baku lontongnya di pasar dan hanya 1 pedagang (6,7%) yang membeli sumber bahan baku lontong di warung.

Tabel 4.3 Distribusi Pedagang Berdasarkan Karakteristik Ketahanan Lontong yang Dijual di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

Karakteristik Jumlah Persentase (%)

(39)

 Tidak Pakai

Berdasarkan hasil penelitian dari 15 pedagang lontong, mereka mempunyai ketahanan lontong yang berbeda-beda. Sebanyak 10 pedagang (66,7%) dengan ketahanan lontong hanya bertahan 1 hari saja. Kemudian terdapat 4 pedagang (26,6%) yang memiliki ketahanan sampai 2 hari dan 1 pedagang (6,7%) memiliki ketahanan lontong hingga 3 hari.

Dari 15 pedagang lontong, mereka memakai pengawet yang berbeda-beda agar lontong yang mereka masak lebih tahan lama. Pedagang lontong yang memakai pengawet alami sebanyak 11 pedangang (73,3%), yang memakai pengawet buatan hanya 1 pedagang (6,7%) dan ada juga pedagang yang tidak memakai pengawet untuk lontongnya yaitu sebanyak 3 pedagang (20,0%).

Berdasarkan hasil penelitian dari 15 pedagang lontong, mereka memakai pengawet yang berbeda-beda dengan nama yang berbeda juga, agar lotong yang mereka masak lebih tahan lama. Pedagang lontong yang memakai pengawet kapur sirih sebanyak 11 pedangang (73,3%), yang memakai pengawet dengan nama pengenyal lontong sebanyak 1 pedagang (6,7%) dan ada juga pedagang yang tidak memakai pengawet untuk lontongnya yaitu sebanyak 3 pedagang (20,0%).

Dari 15 pedagang lontong yang menajadi responden, jika lontong yang mereka masak tidak habis terjual ada 3 pedangang (20,0%) akan memanaskan kembali lontong tersebut, lalu ada 7 pedagang (46,7%) akan memasukan lontongnya ke kulkas jika tidak habis dan sisanya 5 pedagang (33,3%) yang

(40)

memiliki jawaban yang berbeda-beda yaitu seperti di berikan untuk makanan ternak, dimakan sendiri, diolah kembali dan dibuang.

4.4 Pengetahuan Pedagang Lontong

Berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada pedagang lontong maka pengetahuan responden tentang kandungan boraks pada lontong serta pengaruhnya terhadap kesehatan manusia, dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4 Distribusi Pedagang Lontong Berdasarkan Pengetahuan Tentang Kandungan Boraks Pada Lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

No Pengetahuan Pedagang

SKOR

2 1

n % n %

1

Pengertian Bahan tambahan

makanan 9 60 6 40

2

Peraturan tentang bahan tambahan pangan yang diizikan dan tidak dilarang penggunaannya pada

makanan 13 86,7 2

13,3

5 Ciri-ciri makanan yang mengandung pengawet

8 53,3 7 46,7

6 Menyebutkan bahan tambahan pangan yang diijinkan penggunaannya

6 40 9 60

7

Menyebutkan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan penggunaannya

14 93,3 1 6,7

(41)

9

Pengaruh pengawet yang tidak diijinkan terhadap kesehatan, jika dikonsumsi oleh manusia

8 53,3 7 46,7

10 Pengawet lontong yang paling baik

digunakan 14 93,3 1 6,7

11 Ciri-ciri lontong yang mengandung

boraks 14 93,3 1 6,7

Berdasarkan Tabel 4.4 lebih banyak responden menjawab semua pilihan pertanyaan yang diajukan pada pertanyaan tentang yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan. Oleh sebab itu responden yang diberi skor 2 sebanyak 9 pedagang (60%) dan yang hanya menjawab 1 pilihan jawaban sebanyak 6 pedagang (40%). Pada pertanyaan tentang peraturan bahan tambahan pangan yang diijinkan dan tidak diijinkan penggunaannya umumnya pedagang menjawab ada yaitu sebanyak 14 pedagang (93,3%) dan hanya 1 pedagang (6,7%) yang tidak mengetahui. Lebih banyak pedagang hanya memilih satu jawaban dari pertanyaan tentang manfaat dari penggunaan bahan tambahan makanan yaitu sebanyak 8 pedagang (53,3%) dan 7 pedagang (46,7%) memilih 2 atau lebih pilihan jawaban yang dicantumkan. Umumnya pedagang memilih semua pilihan jawaban pada pertanyaan yang menanyakan bahwa mengapa ada bahan tambahan pangan yang dilarang yaitu sebanyak 13 pedagang (86,7%) dan sebagian pedagang hanya mengetahui salah satu akibat yang ditimbulkan oleh bahan pangan yang dilarang untuk digunakan yaitu sebanyak 2 pedagang (13,3%). Lebih banyak pedagang yang tahu tentang ciri-ciri makanan yang mengandung pengawet yaitu sebanyak 8 pedagang (53,3%), dan sebanyak 7 pedagang (46,7%) hanya memilih salah satu dari pilihan jawaban.

(42)

pedagang (60%). Dan sebanyak 6 pedagang (40%) mengetahui semua bahan tambahan pangan yang diizinkan penggunaannya. Umumnya pedagang dapat menyebutkan bahan tambahan pangan yang tidak dizinkan penggunaannya hanya 1 pedagang (6,7%) yang dapat menyebutkan satu jawaban tentang pertanyaan tersebut.

Umumnya pedagang mengetahui bahwa pengawet berbahaya bagi kesehatan yaitu sebanyak 15 pedagang (100%). Lebih banyak pedagang mengetahui pengaruh pengawet yang tidak diizinkan terhadap kesehatan yaitu sebanyak 8 pedagang (53,3%) dan 7 pedagang (46,7%) hanya menjawab salah satu dari jawaban yang disediakan. Umumnya pedagang menyatakan bahwa pengawet lontong yang paling baik digunakan adalah pengawet alami yaitu sebanyak 14 pedagang (93,3%). Dan 1 pedagang (6,7%) yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Umumnya pedagang mengetahui tentang ciri-ciri lontong yang mengandung boraks yaitu sebanyak 14 pedagang (93,3%), dan 1 pedagang (6,7%) yang hanya memilih satu jawaban pertanyaan yang disediakan.

Tabel 4.5 Distribusi Pedagang Lontong Berdasarkan Pengetahuan Pedagang Lontong Tentang Boraks pada Lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

Tingkat Pengetahuan Jumlah %

Baik 9 60,0

Sedang 6 40,0

(43)

konsumen. Keterampilan berdagang makin bertambahn dan semakin banyak pula relasi bisnis maupun pelanggan yang berhasil di jaring (Akbar, 2015).

4.5 Sikap Pedagang Lontong

Berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap pedagang lontong yang berjualan di Kelurahan Aek Tampang maka diperoleh sikap responden tentang kandungan boraks pada lontong . Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini:

Tabel 4.6 Distribusi Pedagang Lontong Berdasarkan Sikap Tentang Boraks Pada Lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota

digunakan dalam pengolahan makanan

dapat memperbaiki kualitas

8 53,3 7 46,7 15 100

2 Ada peraturan yang mengatur penggunaan

bahan tambahan makanan 14 93,3 1 6,7 15 100

3 Bahan tambahan makanan harus selalu

digunakan dalam pengolahan makanan 5 33,3 10 66,7 15 100

4

Bahan tambahan makanan dapat menimbulkan berbagai bahaya kesehatan seperti mual, muntah, bahkan sampai kematian

13 86,7 2 13,3 15 100

5

Makanan yang mengandung bahan pengawet seperti boraks tidak menjadi masalah bila dicampurkan kedalam lontong yang ibu jual

1 6,7 14 93,3 15 100

6

Lontong yang ditambahkan boraks akan

menjadi lebih awet (tahan lama) 12 80 3 20 15

100

7 Boraks merupakan zat pengawet yang

(44)

Berdasarkan Tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar responden yaitu 8

Sebanyak 10 pedagang (66,7%) tidak setuju jika bahan tambahan makanan harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan dan ada juga pedagang yang setuju yaitu sebanyak 5 pedagang (33,3%). Kemudian sebanyak 13 pedagang (86,7%) setuju bahwa bahan tambahan makanan dapat menimbulkan berbagai bahaya kesehatan seperti mual, muntah, bahkan sampai kematian dan masih ada pedagang sebanyak 2 pedagang (13,3%) yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Mayoritas responden tidak setuju bahwa makanan yang mengandung bahan pengawetseperti boraks tidak menjadi masalah bila dicampurkan kedalam lontong yang dijual, dan masih ada pedagang yang tidak setuju sebanyak 1 pedagang (6,7).

makanan oleh Pemerintah

8

Makanan yang mengandung pengawet

buatan (dari bahan kimia) dapat diganti

dengan pengawet alami seperti kapur sirih

12 80 3 20 15 100

9

Pemerikasaan terhadap makanan yang dijual sebaiknya tidak perlu dilakukan karena dapat merugikan pedagang 9

60 6 40 15 100

10

Para pedagang makanan yang menggunakan bahan pengawet seperti boraks pada makanan yang dijual tidak perlu dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena hal tersebut tidak berpengaruh kepada kesehatan

(45)

Sebanyak 18 pedagang (80,0%) setuju jika lontong yang ditambahkan boraks akan menjadi lebih awet (tahan lama), kemudian 3 pedagang menyatakan tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Sebanyak 11 pedagang (73,3%) setuju bahwa boraks merupakan zat pengawet yang tidak diijinkan penggunaannya pada makanan oleh pemerintah. Sebagian besar responden yaitu 12 pedagang (80,0%) menyatakan setuju jika makanan yang mengandung pengawet buatan (dari bahan kimia) diganti dengan pengawet alami seperti kapur sirih, dan masih ada pedangang yang tidak setuju yaitu sebanyak 3 pedagang (20,0%).

Sebagian besar pedagang setuju jika pemeriksaan terhadap makanan yang dijual sebaiknya tidak perlu dilakukan karena dapat merugikan pedagang yaitu sebayak 9 pedagang (60,0%), dan ada juga pedagang yang setuju dengan pernyataan tersebut yaitu sebanyak 6 pedagang (40,0%). Dan mayoritas pedagang sebanyak 13 pedagang (86,7%) tidak setuju bahwa para pedagang makanan yang menggunakan bahan pengawet seperti boraks tidak perlu dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena hal tersebut tidak berpengaruh kepada kesehatan dan sebanyak 2 pedagang (13,3%) setuju dengan pernyataan tersebut.

Berdasarkan perhitungan jumlah skor yang didapat dari pernyataan responden pada pengukuran sikap maka tingkat sikap responden tentang analisa kandungan boraks pada lontong selanjutnya dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu baik, sedang, kurang. Tingkat sikap responden tentang analisa kandungan boraks pada lontong dapat dilihat pada tabel 4.10. berikut ini:

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Responden di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

Tingkat Sikap Jumlah %

Baik 8 53,3

(46)

Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh bahwa sebagian besar sikap responden tentang analisa kandungan boraks pada lontong berada pada kategori baik yaitu sebanyak 8 pedagang (53,3%).

4.6 Pemeriksaan Boraks

4.6.1 Waktu Pemasakan dan Media pembungkus lontong

Sampel terdiri dari lontong yang dibungkus dengan plastik dan lontong yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa (ketupat). Dan dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut ini:

Tabel 4.8 Waktu Pemasakan dan Media pembungkus lontong yang digunakan di Ke Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015.

No Pedagang Waktu Media Pembungkus

1 1N 2 jam Plastik

(47)

jam pemasakan. Dan terdapat 2 pedagang yang menggunakan media pembungkus lontong dengan daun kelapa.

4.6.2 Hasil Pemeriksaan Kandungan Boraks Pada Lontong Secara Kualitatif di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan.

Hasil pemeriksaan kualitatif boraks pada 15 sampel lontong yang berasal dari 3 lokasi di Kelurahan Aek Tampang dilakukan di Laboratorium Balai Riset Dan Standardisasi Industri Medan. Dan dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.9 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Boraks Pada Lontong Yang dijual di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015 Lokasi

Pengambilan Sampel

Kode Sampel Lontong Uji Kualitatif

(Reaksi Nyala Api) Hasil

Pasar Inpres

1N(Bungkus Plastik) Api biru Negatif 2R(Bungkus Plastik) Api biru Negatif 3A(Bungkus Plastik) Api biru Negatif 10M(Bungkus Plastik) Api hijau Positif 6N(Bungkus Plastik) Api biru Negatif

(48)

yang positif menggunakan boraks selanjutnya dilakukan pemeriksaan kuantitatif untuk mengetahui kadar dari boraks berikut.

4.6.3 Hasil Pemeriksaan Kandungan Boraks Pada Lontong secara Kuantitatif di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

Hasil pemeriksaan secara kuantitatif terhadap penggunaan boraks pada lontong menunjukkan bahwa terdapat 1 sampel lontong yang mengandung boraks. Kadar boraks dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.10 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Boraks Pada Lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

Kode Parameter Satuan

Hasil ppm

Metode

10M Kadar Boraks ppm 1140 Spektrofotometri

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kadar boraks yang berada di sampel 10M menunjukkan sebesar 1140 ppm dalam 1 kg adonan lontong.

(49)

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa karakteristik responden bervariasi mulai dari umur, jenis kelamin, lama berjualan, sumber membeli bahan baku lontong, ketahanan lontong, pengawet yang digunakan, nama pengawet yang digunakan serta sisa lontong jika tidak habis terjual akan dikemanakan. Semua responden adalah pedagang yang berjualan lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan.

Berdasarkan karakteristik responden (umur, jenis kelamin, lama berjualan, sumber membeli bahan baku lontong, ketahanan lontong, pengawet yang digunakan, nama pengawet yang digunakan serta sisa lontong jika tidak habis terjual akan dikemanakan), kategori tertinggi pada jenis kelamin responden adalah perempuan dan kebanyakan responden berumur 31-40 tahun. Menurut Singgih (1998), makin tua umur seseorang maka proses proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya.

(50)

sumber membeli bahan baku pedagang kebanyakan adalah dipasar. Dari hasil penelitian terdapat 2 pasar yang digunakan oleh pedagang untuk membeli sumber bahan baku lontong. Dan dari 2 pasar tersebut terdapat 3 macam pengawet yang sering di gunakan pedagang lontong untuk mengawetkan sekaligus memperbaiki tekstur pada lontong yang akan dijual.

Terdapat 4 pedagang lontong memiliki ketahanan lontong selama 2 hari, dikarenakan pada saat penyimpanan lontong disimpan didalam kulkas dan ada juga yang memanaskan kembali lontong yang tidak habis terjual kemudian sekitar 5 pedagang lontong memiliki alasan yang berbeda-beda yaitu diantaranya ada beberapa pedagang lontong yang mengolah kembali lontong menjadi makanan lainnya, dan sebagiannya lagi membuang lontong atau membuat jadi pakan untuk ternak. Lalu terdapat 1 pedagang yang memiliki ketahanan lontong selama 3 hari dan disimpan pada suhu kamar. Pengawet yang digunakan pada pedagang lontong tersebut adalah pengawet buatan yaitu pengenyal lontong/pijar (boraks) dan pedagang tersebut memperoleh pengawet dari salah satu pasar di daerah Kota Padangsidimpuan.

5.2 Pengetahuan Pedagang Lontong Tentang Kandungan Boraks Pada Lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khusunya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domainyang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (over behavior) (Sunaryo, 2004).

(51)

responden. Kedalaman pengetahuan yang igin kita ketahuai atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan seperti yang sudah dibahas sebelumnya (Soekidjo, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa tingkat pengetahuan pedagang lontong terhadap analisa kandungan boraks pada lontong sudah tergolong baik dimana hasil pengukuran yang dilakukan terhadap tingkat pengetahuan responden tersebut sebagian besar berada pada kategori baik, yaitu sebanyak 9 pedagang (60,0%), sedangkan pada kategori kurang tidak ada.

Hasil pengukuran terhadap pengetahuan menunjukkan bahwa secara umum pedagang menggunakan bahan tambahan pangan pada makanan yang dijualnya adalah karena harganya relatif murah, dapat memberikan tampilan yang menarik serta makanan dapat menjadi tahan lama dan menekan harga produksi.

Terdapat 1 pedagang yang memakai pengawet buatan seperti boraks untuk dapat mengawetkan dan mengenyalkan lontong yang akan dijual. Dilihat dari hasil penelitian yang didapatkan tingkat pengetahuan pedagang tersebut berada dalam kategori baik. Berdasarkan hasil ini didapat diasumsikan bahwa tingkat ketegori baik pada responden berbanding terbalik dengan penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan penggunaannya. Pedagang lontong tersebut menggunakan pengawet buatan dengan alasan lebih murah, efisien waktu dan lebih menghemat bahan bakar karena waktu pemasakan lebih singkat yaitu hanya selama 1 jam berbeda dengan bahan tambahan pangan lainnya.

(52)

pada kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk serta memiliki tekstur yang bagus dan renyah. Makanan yang telah diberi boraks dengan yang tidak atau masih alami, sulit untuk dibedakan jika hanya dengan panca indera, namun harus dilakukan uji khusus boraks di Laboratorium (Depkes RI, 2002).

5.3 Sikap Pedagang Lontong Tentang Kandungan Boraks Pada Lontong di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan

Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulasi atau objek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit). Setelah sesorang mengetahui stimulasi atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulasi atau objek kesehatan tersebut (Soekidjo, 2003).

Informasi yang disampaikan oleh orang yang dianggap penting bagi responden akan mempengaruhi sikap mereka terhadap suatu objek. Sikap pedagang yang baik didukung oleh informasi yang kemungkinan mereka dapat dari orang lain, media atau bahkan pengalaman mereka sendiri. Semakin banyak informasi tentang bahan tambahan pangan yang mereka terima akan mempengaruhi sikap mereka terhadap penggunaan bahan tambahan pangan itu sendiri.

(53)

satunya yaitu sebanyak 14 pedagang (93,3%) menyatakan tidak setuju bahwa makanan yang mengandung bahan pengawet seperti boraks tidak menjadi masalah bila dicampurkan ke dalam lontong yang di jual. Tetapi terdapat 1 pedagang yang setuju dengan pernyataan tersebut dikarenakan pedagang tersebut memakai pengawet buatan seperti boraks untuk dapat mengawetkan dan mengenyalkan lontong yang akan dijual.

Sikap pedagang tersebut dalam katergoti sedang. Berdasarkan hasil ini dapat diasumsikan bahwa tingkat ketegori sedang pada responden berbanding terbalik dengan penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan penggunaannya.

Hal ini sesuai dengan penelitian Eddy (2005) yang menyatakan bahwa setelah digemparkan dengan penggunaan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet makanan, banyak masyarakat yang mulai ragu-ragu menyantap makanan seperti tahu, mie basah, ayam dan bakso. Menurut penelitian Tarigan (2010), hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 66 sampel sayur yang diperiksa, terdapat 22 sayur yang mengandung boraks. Pemeriksaan secara kuatitatif diperoleh pada sayur daun singkong kadar terendah sebesar 1,731 gr/kg dan tertinggi 3, 709 gr/kg.

(54)

dilarang digunakan dalam makanan. Boraks biasanya digunakan dalam industri gelas, pelicin, porselin, alat pembersih, dan antiseptik.

5.4 Hasil Pemeriksaan Boraks

Penelitian ini mengenai ada tidaknya penggunaan boraks pada lontong. Penelitian dilakukan karena boraks sering disalahgunakan sebagai bahan tambahan pangan, padahal boraks tidak dizinkan penggunaannya dalam makanan yang disesuaikan dengan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/X/1999 tentang bahan tambahan pangan. Pedagang lontong adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kegiatan produksi pembuatan lontong yang akan dijual.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan dengan kadar 1140 ppm dalam 1 kg adonan lontong diperiksa secara kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini sama halnya dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di sejumlah sekolah di Depok Jawa Barat, ditemukan adanya zat pengawet yang diduga boraks di dalam jajanan berupa lontong yang berbahan dasar beras (Virdhani, 2009).

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2009), di Kelurahan Padang Bulan Kota medan dari 24 sampel lontong yang diperiksa terdapat 15 sampel lontong yang mengandung boraks dengan kadar tertinggi 4,081 gr/kg dan kadar terendah sebesar 0,989 gr/kg.Hal ini menunjukkan bahwa

(55)

penggunaan boraks terhadap kesehatan agar masyarakat lebih hati-hati dalam memilih dan menggunakan bahan tambahan pangan.

Konsumsi boraks secara terus menerus dapat mengakibatkan dampak terhadap kesehatan manusia. Proses masuknya boraks ke dalam tubuh yaitu melalui oral dimana manusia memakan makanan yang mengandung boraks. Kemudian boraks yang masuk ke dalam tubuh diabsorbsi secara kumulatif oleh saluran pencernaan (usus/lambung) dan selaput lendir (membran mukosa) dan sedikit demi sedikit boraks terakumulasi. Konsumsi boraks secara terus menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus dan dapat mengakibatkan usus tidak mampu mengubah zat makanan sehingga tidak dapat diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh.

Bahaya utama terhadap kesehatan konsumsi makanan mengandung boraks dalam waktu lama (kronis) dapat menyebabkan nafsu makan menurun, gangguan pencernaan, gangguan SSP (bingung dan bodoh), anemia, rambut rontok, kanker, gangguan hati, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan. Kematian pada orang dewasa dapat terjadi dalam dosis 15-25 gram, sedangkan pada anak-anak dalam dosis 5-6 gram.

5.4.1 Waktu Pemasakan dan Media Pembungkus Lontong Yang Digunakan Di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

(56)

Adonan lontong yang akan dimasukan ke dalam daun kelapa yang sudah dianyam di cuci terlebih dahulu kemudian dimasukan ke dalam anyaman lalu dimasukan ke dalam panci yang telah berisikan air, ukuran air dalam panci yaitu hingga lontong yang dimasukan tenggelam di air. Pemasakan lontong berlangsung hingga 3 jam dan kemudian air di tambahkan lagi kedalam panci dan lontong dimasak kembali selama 3 jam kedepan, hal ini agar lontong tahan hingga 2 hari pada suhu ruang dan disimpan dengan cara menggantungkan lontong.

Penelitian ini dilakukan karena ingin mengetahui ada atau tidak kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan. Dari 15 responden ada 13 pedagang yang menggunakan plastik sebagai pembungkus pada lotong yang dijual. Pada saat ini banyak bahan tambahan pangan yang dilarang penggunaannya masih beredar bebas dipasaran seperti misalnya boraks. Kebanyakan pedagang yang menambahkan boraks pada lontong dengan tujuan agar tahan lama dan teksturnya pun kenyal.

Pada proses pemasakan, lontong yang dibungkus dengan plastik tanpa tambahan boraks memerlukan waktu selama ± 2jam, sedangkan lontong yang telah di tambahkan dengan boraks proses pemasakannya hanya 1 jam saja dan ini lebih menguntungkan bagi penjual karena dapat menghemat bahan bakar dan waktu. Hal inilah yang mendorong para pedagang menambahkan boraks pada lontong tersebut.

Ada bahan pengawet alami makanan yang dapat menjadi alternatif pengganti boraks, salah satunya adalah kapur sirih. Kapur sirih mempunyai rumus kimia CaCO3 sehingga kandungan utama dari kapur sirih adalah kalsium.

(57)

sekitar 1,35 kg membutuhkan 1 bungkus kapur sirih (5gr) dan dijual dengan harga Rp.500. Harga kapur sirih memang sedikit lebih mahal dengan harga boraks yang dijual di pasaran, 100gr boraks dijual seharga Rp.2000. Walupun demikian tetap saja pedagang lontong tidak boleh menggunakan boraks karena berbahaya bagi kesehatan konsumen sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Permenkes No. 1168/Menkes/Per/X/1999.

Cara penambahan kapur sirih pada adonan lontong berbeda-beda, pada lontong yang di bungkus plastik kapur sirih di tambahkan langsung kedalam adonan dengan membubuhkan langsung kapur sirih ke adonan lontong setelah beras di cuci bersih, selain itu sebagian pedagang juga mengencerkan kapur sirih dengan air secukupnya sebelum memasukan ke adonan lontong tetapi hasil pemasakan, kekenyalannya sama serta daya tahan lontongpun hanya 1 hari.

Pada pemasakan lontong, lontong dikemas dengan menggunakan plastik dan proses tersebut tidak baik untuk kesehatan dikarenakan plastik merupakan bahan yang mempunyai derajat kekristalan yang lebih rendahvdari pada serat, dan dapat dilunakkan atau dicetak pada suhu tinggi. Plastik adalah kantong pembungkus yang dibuat dari poliolefin atau polivinil klorida. Plastik juga memiliki dampak pada kesehatan manusia kandungan seperti Monomer vinil klorida, dapat bereaksi dengan guanin dan sitosin pada DNA dan mengalami metabolisme dalam tubuh, sehingga memiliki potensi yang cukup tinggi untuk menimbulkan tumor dan kanker pada manusia terutama kanker hati.

5.4.2 Hasil Pemeriksaan Boraks Secara Kualitatif

(58)

bahwa didalam 15 sampel lontong yang diperiksa ternyata terdapat 1 yang mengandung boraks sebagai BTP berupa pengawet dan pengenyal pada lontong. Hal ini dibuktikan bahwa adanya perubahan warna api menjadi warna hijau. Lontong yang mengandung boraks tersebut diperoleh dari lokasi pertama yaitu pasar inpres padangmatinggi.

Pada proses pembuatan lontong penambahan boraks dilakukan dengan menaburkan boraks langsung pada beras yang telah di cuci dan akan di masukan ke dalam plastik. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan efek kenyal dan lebih cepat masak, tekturnya yang baik dan tahan lama jika dibandingkan dengan lontong yang tidak diberi boraks sehingga lebih menguntungkan bagi penjual. Ciri fisik lontong yang padat dan kenyal, warnanya putih bersih, serta tahan disimpan selama lebih dari 2 hari.

Harga boraks murah yaitu berkisar Rp.2000/ons yang mudah didapatkan dipasar serta lebih menguntungkan dari segi ekonomi, menjadi alasan bagi produsen bebas menggunakannya sebagai BTP pada lontong. Semakin tinggi tingkat penjualan lontong yang mengandung boraks dalam satu hari, semakin banyak pula masyarakat yang akan tepapar oleh boraks tersebut.

(59)

5.4.3 Hasil Pemeriksaan Boraks pada Lontong Secara Kuantitatif

Pada lontong yang positif mengandung boraks selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara kuantitatif dengan menggunakan alat spektrofotometri untuk mengetahui kadar boraks pada lontong tersebut. Hasil kandungan boraks pada lontong dibaca pada layar komputer yang telah tersambung dengan alat tersebut. Dari hasil pemeriksaan kuantitatif ditemukan kadar boraks tersebut sebesar 1140 ppm didalam 1 kg adonan lontong. Dampak negatif boraks bagi tubuh dimana pada dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-anak, jika sering dikonsumsi akan menumpuk/terakumulasi pada jaringan tubuh di otak, hati, lemak dan ginjal yang pada akhirnya dapat menyebabkan kanker. Manusia dengan berat badan 50 kg dapat meninggal dunia jika mengonsumsi 5-25 gr boraks. Yuliarti (2007) menyebutkan bahwa orang dewasa dapat meninggal dunia apabila mengonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan anak-anak 5-6 gr.

Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah, mencret, sakit kepala, penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah, tidak nafsu makan, dehidrasi, koma dan jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan kematian.

(60)

Indonesia kurang mampu untuk membeli makanan yang bermutu tinggi dan memenuhi persyaratan. Hal ini disebabkan karena tingkat ekonomi masyarakat yang rendah dan juga pengetahuan yang kurang sehingga kondisi inilah yang menyebabkan pedagang makanan memproduksi makanan dengan harga yang murah dengan menggunakan bahan-bahan yang berbahaya. Kurangnya kepedulian pedagang terhadap keselamatan masyarakat menyebabkan banyaknya penyakit yang timbul akibat mengonsumsi makanan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.

Berdasarkan penelitian mahasiswa Teknologi Pangan IPB Dody (2003), penggunaan boraks pada makanan dapat digantikan dengan pengawet Kalium Karbonat atau Natrium Karbonat (air abu) sesuai dengan dosis yang diizinkan

(61)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisa kandungan boraks pada lontong serta pengetahuan dan sikap pedagang tentang boraks di Kelurahan Aek Tampang Kota Padangsidimpuan tahun 2015 maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1 Kelompok usia terbanyak pada kategori usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 7 pedagang (46,7%).

2 Pengetahuan pedagang tentang makanan yang mengandung bahan pengawet seperti boraks berada dalam kategori baik yaitu 60%, tetapi masih ada pedagang yang tidak mengetahui bahwa ada peraturan tentang bahan tambahan pangan yang diizinkan yaitu sebanyak 2 pedagang (13,3%). Ada pedagang yang menyatakan bahwa boraks/ obat lontong /pengenyal lontong adalah pengawet yang paling baik digunakan dalam pemasakan lontong yaitu sebanyak 1 pedagang (6,7%).

3 Sikap pedagang tentang makanan yang mengandung bahan pengawet seperti boraks berada dalam kategori baik yaitu 53,3%.

4 Terdapat 1 pedagang (6,7%) lontong yang menggunakan boraks sebagai bahan pengawet dan pengenyal untuk lontong yang di jual. Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium diperoleh kadar boraks pada lontong adalah sebesar 1140 ppm didalam 1 kg adonan lontong. Yaitu pada sampel 10M yang berasal dari lokasi I.

(62)

6.2 Saran

1 Kepada produsen sekaligus penjual lontong sebaiknya menggunakan pengenyal dan pengawet alami pengganti boraks karena aman untuk dikonsumsi masyarakat.

2 Perlu dilakukan penyuluhan tentang bahan tambahan pangan yang diizinkan dan tidak diizinkan penggunaannya serta dampak penggunaan pengawet boraks dalam pembuatan lontong sebagai bahan tambahan dalam makanan oleh Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuans kepada para produsen sekaligus penjual lontong sebagai makanan yang selalu dijajakan kepada masyarakat karena masih ada pedagang yang tidak mengetahui dampak pasti yang ditimbulkan oleh boraks.

3 Perlu dilakukan pengawasan terhadap boraks agar tidak diperjual belikan secara bebas.

(63)

2.1 Sanitasi Makanan

Sanitasi makanan adalah merupakan salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu kesehatan, mulai dari sebelum makanan diproduksi, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai pada saat dimana makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsikan kepada masyarakat atau konsumen. Dimana sanitasi ini bertujuan untuk menjamin keamanan dan kemurnian makanan, mencegah konsumen dari penyakit, mencegah penjualan makanan yang akan merugikan pembeli, mengurangi kerusakan atau pemborosan makanan (Sumantri, 2010).

Sanitasi makanan adalah untuk mencegah kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan diperlukan penerapan sanitasi makanan. Sanitasi makanan adalah usaha untuk mengamankan dan menyelamatkan makanan agar tetap bersih, sehat dan aman (Mulia, 2005).

(64)

faktor mikrobiologi karena adanya kontaminasi oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit. Akibat buruknya sanitasi makanan dapat timbul gangguan kesehatan pada orang yang mengkonsumsi makanan tersebut.

2.2 Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama. Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang lazim dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada proses pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi ada yang tidak (Cahyo, 2006).

Pengertian Bahan Tambahan Pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 dan No.1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan dan pengepakan, pengemasan dan penyimpanan.

(65)

konsumen. Dampak penggunaan dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangun bangsa. Dibidang pangan kita memelurkan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi, dan lebih mampu bersaing dalam pasar global (Cahyadi, 2009). Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah prepasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

A. Bahan Tambahan Pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membantu pengolahan sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.

(66)

golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dll), dan antibiotik (Cahyadi, 2009).

Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis dibawah ambang batas yang teah ditentukan. Jenis BTP ada 2 yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik

misalnya gula (glukosa). Sedangkan jenis lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis ini selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya

(dailyintake) demi menjaga /melindungi kesehatan konsumen (Cahyadi, 2006).

2.3 Tujuan Bahan Tambahan Pangan (BTP)

2.3.1 Tujuan Penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) a. Meningkatkan nilai gizi makanan,

b. Memperbaiki nilai estetikadan sensori makanan, dan c. Memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.

Produsen menambahkan bahan tambahan pangan ke dalam produk makanan dengan latar belakang yang berdeda-beda. Namun sebenarnya bagi konsumen, penambahan bahan tersebut tidak semuanya diperlukan. Bahkan seringkali ada bahan yang justru membahayakan kesehatan konsumen(Cahyo dan Diana 2006).

Pengunaan BTP seringkali berakibat buruk terhadap kesehatan. Beberapa faktor penyebab adalah sebagai berikut:

(67)

bahan makanan karena harganya lebih murah daripada pewarna makanan.

b. Kurangnya sosialisasi tentang dosis, manfaat, dan bahaya akibat penggunaan bahan tambahan pangan secara salah.

Adapun tujuan lainnya dalam penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, dan membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu sebagai berikut :

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.

Gambar

Gambar 4.6. Sampel Lontong Yang mengandung Boraks
Gambar 4.7. Proses pembuatan lontong dengan tambahan boraks/pengenyal lontong
Gambar 6: Lontong yang telah dimasak
Gambar 4.1 Sampel yang diambil dari lokasi penelitian, sampel lontong yang dibungkus plastik (gambar 1), dan sampel lontong yang dibungkus daun kelapa (gambar 2)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sikap pedagang tentang penggunaan bahan tambahan pangan, zat pewarna, zat pengawet, rhodamin B dan formalin di pasar

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sikap pedagang tentang penggunaan bahan tambahan pangan, zat pewarna, zat pengawet, rhodamin B dan formalin di pasar

Penelitian ini adalah studi deskriptif yaitu untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium secara