ANALISA KANDUNGAN BORAKS PADA LONTONG DI KELURAHAN PADANG BULAN KOTA MEDAN
TAHUN 2009
SKRIPSI
Oleh :
ANISYAH NASUTION 051000132
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Lontong adalah makanan yang digemari oleh banyak masyarakat Indonesia. Lontong terbuat dari beras dan dimasak dengan air hingga terbenam, mempunyai tekstur yang lembut dan kenyal. Biasanya masyarakat mengkonsumsi lontong sebagai sarapan. Penjual berusaha menampilkan lontongnya agar kelihatan menarik bagi konsumen baik dari segi fisik, warna maupun rasa. Hal inilah yang membuat beberapa penjual menggunakan boraks sebagai bahan pengawet dan pengenyal agar lontong yang dihasilkan lebih kenyal, tahan lama serta biaya produksinya rendah. Penjual menggunakan boraks karena lebih praktis, mudah diperoleh dan tidak menimbulkan bau.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Penelitian ini adalah studi deskriptif yaitu untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan metode pengabuan dan kuantitatif dengan metode titrasi asam basa. Sampel diambil secara purposif yaitu lontong dari 24 penjual lontong di lima lokasi penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 62,5% lontong mengandung boraks. Secara fisik ciri-ciri lontong yang mengandung boraks dapat diketahui dengan melihat bentuk lontong yang padat dan kenyal, warnanya bersih, serta tahan disimpan lebih dari 5 hari. Berdasarkan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/1999 boraks dilarang digunakan dalam makanan, oleh karena itu penulis menyarankan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Medan agar melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi secara berkala, khususnya bagi penjual lontong sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dalam penggunaan bahan-bahan berbahaya sebagai bahan tambahan dalam makanan.
ABSTRACT
Lontong is a food interested to many people of Indonesia. It is made of rice and cooked with some water until embedded, having a soft and elastic texture. Usually, people consume lontong for breakfast. The traders makes an effort to present lontong to be more attractive for consumers, either physically, color or taste. There are many reasons for traders to use borax as the preserving and elasticity agents to make lontong more elastic, longer last and cheaper production cost. They used borax due to more practice, easier to find and without odor.
The objective of the present stud is to know the content of borax in lontong product sold in Kelurahan Padang Bulan of Medan. The study is a descriptive survey to know the content of borax in lontong sold in Kelurahan Padang Bulan using a laboratory test qualitatively with dusting method and quantitative with acid-base titration method. The samples were taken purposively of 24 retailers of lontong in five locations of study.
The result of the study showed that 62,5% of the lontong contained borax. Physically, the characteristics of lontong containing borax included the dense and elastic, clear color and last for longer than 5 days. Based on the Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/1999, borax is prohibited to use in any food, therefore, the writer recommends that the Drug and Food Administration Board (BPOM) Medan to makes a guidence, control and evaluation periodically especially for those traders of lontong to take preventive action in the use of dangerous substances for supplemental additive in any foods.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Anisyah Nasution
Tempat/Tanggal Lahir : Padangsidimpuan/28 September 1986 Jenis kelamin : Perempuan
Anak ke : 2 dari 5 bersaudara
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat Rumah : Jl. Merdeka gang Setia no.11 Padangsidimpuan
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. TK Aisyah Padangsidimpuan : 1991-1993
2. SDN 26 Padasidimpuan : 1993-1999
3. MTsN Model Padangsidimpuan : 1999-2002
4. SMAN 2 Padangsidimpuan : 2002-2005
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur penulis hantarkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Analisa Kandungan Boraks pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan penulis sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.
Selama proses penyusunan skripsi ini, telah banyak bantuan, nasehat dan bimbingan yang penulis terima dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Albiner Siagian, Msi dan Ibu Fitri Ardiani SKM, MPH, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dengan keikhlasan untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.
Selanjutnya, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, Msi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Jumirah, Apt, MKes selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, Msi, selaku Dosen Penguji II dan Bapak Prof. Dr. David H Simanjuntak, selaku Dosen Penguji III.
5. Abang Marihot Oloan Samosir, ST selaku pembimbing laboratorium dan staf pegawai di Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU yang telah membantu dalam proses penelitian.
6. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
7. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta Ir. H. Akhmad Nasution dan Hj. Melliani Dalimunthe, S.Pd yang telah banyak memberikan dukungan, materi, doa dan semangat kepada penulis yang tidak ternilai harganya selama proses pengerjaan skripsi ini.
8. Abang, kakak dan adik-adikku (B’ Ahyar, K’Aminah, Yusuf, Zubaidah dan Ismail) tersayang yang selalu mendukungku dan mendoakanku selama pengerjaan skripsi ini.
9. Buat bang Ibrahim yang selalu ada disampingku untuk mendukung dan memberi semangat serta doa selama dalam pengerjaan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat tersayang Nita, Ika, Onna, Siti, Ira, Kasur, Octa sebagai teman berbagi ilmu, dukungan, motivasi dan yang selalu mendoakanku.
11. Seluruh teman-teman seperjuangan Ade, Nery, Kak Etri, Evi, Christin, Ade Nofe, Dita, Nisha, Winda, B’Sadar, Agus dan rekan-rekan peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat serta semua rekan stambuk 2005.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan bagi siapa saja yang membacanya, setidaknya bagi penulis sendiri dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Medan, Desember 2009
3.3. Populasi dan sampel ... 30
4.4. Pemeriksaan Kandungan Boraks pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009 ... 38
4.4.1. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Lontong Secara Kualitatif di kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009 ... 39
4.4.2. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Lontong Secara Kuantitatif di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009 ... 41
BAB V PEMBAHASAN ... 43
5.1. Hasil Pemeriksaan Boraks Secara Kualitatif ... 44
5.2. Hasil Pemeriksaan Boraks Secara Kuantitatif ... 45
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
6.1. Kesimpulan ... 48
6.2. Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
1. Perhitungan Kadar Boraks
2. Permenkes RI No. 1168/Per/Menkes/X/1999
3. Surat Keterangan Penelitian Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Kualitatif Boraks pada Lontong
di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009 ... 40 Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Boraks pada Lontong
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Kimia Boraks ... 20
Gambar 2. Kerangka Konsep ... 28
Gambar 3. Skema Cara Penganbilan Sampel ... 30
Gambar 4. Lontong di kelurahan padang Bulan ... 38
ABSTRAK
Lontong adalah makanan yang digemari oleh banyak masyarakat Indonesia. Lontong terbuat dari beras dan dimasak dengan air hingga terbenam, mempunyai tekstur yang lembut dan kenyal. Biasanya masyarakat mengkonsumsi lontong sebagai sarapan. Penjual berusaha menampilkan lontongnya agar kelihatan menarik bagi konsumen baik dari segi fisik, warna maupun rasa. Hal inilah yang membuat beberapa penjual menggunakan boraks sebagai bahan pengawet dan pengenyal agar lontong yang dihasilkan lebih kenyal, tahan lama serta biaya produksinya rendah. Penjual menggunakan boraks karena lebih praktis, mudah diperoleh dan tidak menimbulkan bau.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Penelitian ini adalah studi deskriptif yaitu untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan metode pengabuan dan kuantitatif dengan metode titrasi asam basa. Sampel diambil secara purposif yaitu lontong dari 24 penjual lontong di lima lokasi penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 62,5% lontong mengandung boraks. Secara fisik ciri-ciri lontong yang mengandung boraks dapat diketahui dengan melihat bentuk lontong yang padat dan kenyal, warnanya bersih, serta tahan disimpan lebih dari 5 hari. Berdasarkan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/1999 boraks dilarang digunakan dalam makanan, oleh karena itu penulis menyarankan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Medan agar melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi secara berkala, khususnya bagi penjual lontong sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dalam penggunaan bahan-bahan berbahaya sebagai bahan tambahan dalam makanan.
ABSTRACT
Lontong is a food interested to many people of Indonesia. It is made of rice and cooked with some water until embedded, having a soft and elastic texture. Usually, people consume lontong for breakfast. The traders makes an effort to present lontong to be more attractive for consumers, either physically, color or taste. There are many reasons for traders to use borax as the preserving and elasticity agents to make lontong more elastic, longer last and cheaper production cost. They used borax due to more practice, easier to find and without odor.
The objective of the present stud is to know the content of borax in lontong product sold in Kelurahan Padang Bulan of Medan. The study is a descriptive survey to know the content of borax in lontong sold in Kelurahan Padang Bulan using a laboratory test qualitatively with dusting method and quantitative with acid-base titration method. The samples were taken purposively of 24 retailers of lontong in five locations of study.
The result of the study showed that 62,5% of the lontong contained borax. Physically, the characteristics of lontong containing borax included the dense and elastic, clear color and last for longer than 5 days. Based on the Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/1999, borax is prohibited to use in any food, therefore, the writer recommends that the Drug and Food Administration Board (BPOM) Medan to makes a guidence, control and evaluation periodically especially for those traders of lontong to take preventive action in the use of dangerous substances for supplemental additive in any foods.
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Salah satu isi dari dasar-dasar pembangunan kesehatan di Indonesia adalah adil dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal ini hanya dapat terjadi dengan menyelenggarakan pembangunan nasional di segala aspek kehidupan dan lapisan masyarakat mulai dari usia anak-anak sampai usia dewasa. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah masalah pangan (Depkes RI, 2001).
Keselamatan dan kesehatan masyarakat harus dilindungi terhadap pangan yang tidak memenuhi syarat dan terhadap kerugian sebagai akibat produksi, peredaran dan perdagangan pangan yang tidak benar. Cara produksi dan peredaran pangan yang tidak benar dapat merugikan dan membahayakan kesehatan masyarakat. Penjaminan pangan yang bermutu dan aman merupakan tanggung jawab pemerintah, industri pangan dan konsumen, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing (Cahyadi, 2008).
Keamanan pangan diartikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Saparinto dan Hidayati, 2006).
Makanan yang kita makan sehari-hari tentu saja juga mempunyai resiko menjadi tidak aman untuk dikonsumsi, karena kemungkinan dicemari bahan-bahan yang berbahaya seperti mikroba, bahan kimia atau benda-benda lainnya yang dapat meracuni atau dapat mengakibatkan kecelakaan. Karena itu, tindakan-tindakan untuk mencegah timbulnya bahaya dalam makanan, baik kimia, fisik maupun mikrobiologi dalam seluruh rantai pangan harus dipahami sepenuhnya. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam konstalasi ini adalah bahan-bahan yang ditambahkan terhadap bahan pangan, yang kemudian dikenal dengan nama Bahan Tambahan Pangan (BTP).
BTP ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat. BTP pada umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan diuji sesuai dengan kaidah- kaidah ilmiah yang ada. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai aturan yang diperlukan untuk mengatur pemakaian BTP secara optimal (Syah, 2005).
meningkatkan cita rasa, memperbaiki warna, tekstur, sebagai bahan penstabil, pencegah lengket maupun memperkaya vitamin serta mineral. Sebenarnya, makanan yang menggunakan pengawet yang tepat (menggunakan pengawet makanan yang dinyatakan aman) dengan dosis di bawah ambang batas yang ditentukan tidaklah berbahaya bagi konsumen. Namun demikian, seringkali produsen yang nakal menggunakan pengawet yang tidak tepat seperti pengawet nonmakanan ataupun pengawet yang tidak diizinkan oleh badan POM sehingga merugikan konsumen. Salah satu contohnya adalah boraks (Hardinsyah dan Sumali, 2001).
Boraks merupakan garam Natrium Na2B4O7 10H2O yang banyak digunakan dalam berbagai industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, dan keramik. Gelas pyrex yang terkenal dibuat dengan campuran boraks. Di Indonesia boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang dilarang digunakan pada produk makanan, karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen. Boraks sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi, kerupuk gendar, atau kerupuk puli yang secara tradisional di Jawa disebut “Karak” atau “Lempeng”. Disamping itu boraks digunakan untuk industri makanan seperti dalam pembuatan mie basah, lontong, ketupat, bakso bahkan dalam pembuatan kecap (Oliveoile, 2008).
makanan berupa mi basah, lontong, bakso, pempek, dan kerupuk udang yang diambil secara acak di Pasar SMEP, Tugu, Bambu Kuning, Kampung Sawah, dan swalayan Bandar Lampung. Setelah dilakukan uji laboratorium, dari 30 contoh mi basah, 84% positif mengandung boraks. Dari 9 sampel lontong, 11,1% mengandung boraks, dan dari 13 sampel pempek, 85% juga positif mengandung borak. Yang lebih parah lagi adalah 12 sampel bakso, 7 sampel cincau hitam dan 12 sampel kerupuk undang, 100% positif mengandung boraks.
Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat buruk, namun sifatnya terakumulasi (tertimbun) sedikit demi sedikit dalam organ hati, otak dan testis. Boraks tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap melalui kulit. Boraks yang terserap dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikeluarkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya menganggu enzim-enzim metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria. Boraks yang dikonsumsi cukup tinggi dapat menyebabkan gejala pusing, muntah, mencret, kejang perut, kerusakan ginjal, hilang nafsu makan (Oliveoile, 2008).
Alasan inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian tentang penggunaan zat kimia yaitu boraks pada lontong yang dijual di sekitar Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Mengingat lontong merupakan jajanan yang biasa dijual dan banyak disukai oleh masyarakat.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah ada kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009.
1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan.
1.3.2.Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada lontong yang dijual di
Kelurahan Padang Bulan Kota Medan.
1.4.Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan dan Badan POM untuk lebih memperhatikan penggunaan bahan pengawet berbahaya pada makanan yang dilarang di Indonesia seperti boraks pada lontong.
2. Sebagai bahan masukan dan petunjuk bagi produsen maupun pengolah makanan dalam memproduksi lontong.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun
minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya adalah bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan atau pembuatan makanan atau minumam (Saparinto dan Hidayati, 2006).
Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa
dan tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara alamiah tidak selalu
bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh, bahkan dapat mengandung
senyawa yang merugikan kesehatan orang yang mengkonsumsinya.
Senyawa-senyawa yang dapat merugikan kesehatan dan tidak seharusnya terdapat di dalam
suatu bahan pangan dapat dihasilkan melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi
selama pengolahan maupun penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat
secara alamiah. Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan
pangan (BTP) atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu
lainnya ke dalam proses pengolahan pangan (Hardiansyah dan Sumali, 2001).
Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3 (Saparinto
dan Hidayati, 2006) :
1. Pangan segar
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar
2. Pangan Olahan
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan
cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh: teh manis,
nasi, pisang goreng dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi
pangan olahan siap saji dan tidak siap saji.
a. Pangan olahan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah diolah dan
siap disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.
b. Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah
mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan
pengolahan lanjutkan untuk dapat dimakan atau minuman.
3. Pangan Olahan Tertentu
Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi
kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan.
Contoh: ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk
orang yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.
2.2. Keamanan Pangan
Untuk melaksanakan Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat maka pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman
dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat
(Cahyadi, 2008).
Karena keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring
dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, maka
diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak diproduksi, diolah, ditangani,
diangkut, disimpan dan didistribusikan serta dihidangkan kepada konsumen.
Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi
pada rantai penanganan pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan
sampai saat produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001).
Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan
dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses
produksi makanan dan peranannya sampai siap dikonsumsi manusia. Setiap orang
yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan wajib memenuhi
persyaratan sanitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang
berlaku (Saparinto dan Hidayati, 2006).
Untuk itu keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering
mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai
dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian
sampai resiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan (food
2.3. Bahan Tambahan Pangan
2.3.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan
BTP adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam
jumlah kecil dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur dan
memperpanjang daya simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti
protein, mineral dan vitamin (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, Bahan
Tambahan Pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan
biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai atau tidak
mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk
maksud teknologi (temasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan,
perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan
untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung)
suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Budiyanto, 2004).
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi pangan perlu
diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak
penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat.
Penyimpangan dalam penggunaannya akan membahayakan kita bersama, khusunya
generasi muda sebagai penerus pembangunan bamgsa. Di bidang pangan kita
memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan
yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi dan lebih mampu bersaing
nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional,
termasuk pengunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi, 2008).
2.3.2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan
Fungsi dasar bahan tambahan pangan yaitu (Hughes, 1987):
1. Untuk mengembangkan nilai gizi suatu makanan, biasanya untuk makanan diet
denganjumlah secukupnya. Di banyak negara, termasuk Amerika dan Inggris,
nutrisi tertentu harus ditambahkan ke dalam makanan pokok berdasarkan
peraturan mereka.
2. Untuk mengawetkan dan memproduksi makanan.
Demi kesehatan kita dan untuk mencegah penggunaan bumbu dengan masa
singkat dan fluktuasi harga, sangatlah penting makanan itu dibuat mampu
menahan pengaruh racun dalam jangka waktu selama mungkin.
3. Menolong produksi
Fungsi ini memiliki peranan yang penting untuk menjamin bahwa makanan di
proses seefisien mungkin dan juga dapat menjaga keadaan makanan selama
penyimpanan.
4. Untuk memodifikasi pandangan kita.
Bahan tambahan ini mengubah cara kita memandang, mengecap, mencium,
merasa dan bahkan mendengar bunyi makanan yang kita makan (kerenyahan).
Ada dua alasan utama mengapa menggunakan bahan tambahan ini, pertama karena
ekonomi, misalnya makanan dengan bahan dan bentuk yang kurang bagus dapat
adalah karena permintaan publik, misalnya dalam masakan modern dimana bahan
makanan dasar dimodifikasi.
2.3.3. Jenis Bahan Tambahan Pangan
Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:
1. Aditif sengaja : yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan
tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa,
mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk atau rupa dan lain
sebagainya.
2. Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah
sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.
Bila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin,
asam sitrat, dan lain sebagainya, dapat juga disintesis dari bahan kimia yang
mempunyai sifat serupa benar dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan
kimia maupun sifat metabolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan
lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat,
lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering
terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi
kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadi
2.3.4.Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan
Bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan pada makanan
berdasarkan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/1988 adalah (Fardiaz, 2007):
1. Anti oksidan dan oksidan sinergisi
Bahan tambahan pangan yang digunakan untuk mencegah terjadinya proses
oksidasi. Contoh : asam askorbat dan asam eritrobat serta garamnya untuk produk
daging, ikan dan buah-buahan kaleng. Butilhidroksi anisol (BHA) atau butilhidroksi
toluen (BHT) untuk lemak, minyak dan margarin.
2. Anti kempal
Bahan tambahan pangan yang dapat mencegah mengempalnya makanan yang
berupa serbuk, tepung atau bubuk. Contoh: Ca silikat, Mg karbonat, dan SI dioksida
untuk merica dan rempah lainnya. Garam stearat dan tri Ca fosfat pada gula, kaldu
dan susu bubuk.
3. Pengatur keasaman
Bahan tanbahan pangan yang dapat mengasamkan, menetralkan, dan
mempertahankan derajat keasaman makanan. Contoh: Asam laktat, sitrat, dan malat
digunakan pada jeli. Natrium bikarbonat, karbonat, dan hidroksida digunakan sebagai
penetral pada mentega.
4. Pemanis buatan
Bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan
5. Pemutih dan pematang tepung
Bahan tambahan pangan yang dapat mempercepat proses pemutihan tepung dan
atau pematangan tepung hingga dapat memperbaiki mutu penanganan.
6. Pengemulsi, pemantap dan pengental
Bahan tambahan pangan yang dapat membantu terbentuknya atau
memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. Biasa digunakan untuk
makanan yang mengandung air atau minyak. Contoh: polisorbat untuk pengemulsi es
krim dan kue, peltin untuk pengental pada jamu, jeli, minuman ringan dan es krim,
gelatin pemantap dan pengental untuk sediaan keju, karagenen dan agar-agar untuk
pemantap dan pengental produk susu dan keju.
7. Pengawet
Bahan tambahan pangan yang dapat mencegah fermentasi, pengasaman atau
penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Biasa
ditambahkan pada makanan yang mudah rusak atau yang disukai sebagai medium
pertumbuhan bakteri atau jamur. Contoh: asam benzoat dan garamnya dan ester para
hidroksi benzoat untuk produk buah-buahan, kecap, keju dan margarin, asam
propionat untuk keju dan roti.
8. Pengeras
Bahan tambahan pangan yang dapat memperkeras atau mencegah lunaknya
makanan. Contoh: Al sulfat, Al Na sulfat untuk pengeras pada acar ketimun dalam
9. Pewarna
Bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada
makanan. Contoh: karmin, ponceau 4R, eritrosin warna merah, green FCF, green S
warna hijau, kurkumin, karoten, yellow kuinolin, tartazin warna kuning dan karamel
warna coklat.
10. Penyedap rasa dan aroma serta penguat rasa
Bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambahkan atau
mempertegas rasa dan aroma. Contoh: monosodium glutamat pada produk daging.
11. Sekuestran
Bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam yang ada pada
makanan sehingga dicegah terjadinya oksidasi yang dapat menimbulkan perubahan
warna dan aroma. Biasa ditambahkan pada produk lemak dan minyak atau produk
yang mengandung lemak atau minyak seperti daging dan ikan. Contoh: asam folat
dan garamnya.
Selain itu terjadi juga beberapa bahan tambahan pangan yang bisa digunakan
dalam makanan antara lain (Depkes RI, 1988):
1. Enzim
Bahan tambahan pangan yang berasal dari hewan, tanaman atau jasad renik
yang dapat menguraikan makanan secara enzimatik. Biasa untuk mengatur
proses fermentasi makanan. Contoh: amilase dari aspergillus niger untuk
2. Penambahan gizi
Bahan tambahan pangan berupa asam amino, mineral atau vitamin, baik
tunggal maupun campuran yang dapat memperbaiki atau memperkaya gizi
makanan. Contoh: asam askorbat, feri fosfat, inositol, tokoferol, vitamin A, B12
dan vitamin D.
3. Humektan
Bahan tambahan pangan yang dapat menyerap lembab sehingga dapat
mempertahankan kadar air dalam makanan. Contoh: gliserol untuk keju, es
krim dan sejenisnya dan triaseti untuk adonan kue.
4. Antibusa
Bahan tambahan pangan yang dapat menghilangkan busa yang dapat timbul
karena pengocokan atau pemasakan. Contoh: dimetil polisiloksan pada jeli,
minyak dan lemak, sari buah dan buah nanas kalengan, silikon dioksida amorf
pada minyak dan lemak.
2.3.5.Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan
BTP yang tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam makanan menurut
Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/X/1999 adalah (Cahyadi, 2008):
1. Natrium tetraborat (boraks)
2. Formalin (formaldehyd)
3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils)
4. Kloramfenikol (chloramphenicol)
5. Kalium klorat (potassium chlorate)
7. Nitrofurazon (nitrofurazone)
8. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl urea)
9. Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid andm its salt)
10. Rhodamin B (pewarna merah)
11. Methanil yellow (pewarna kuning)
12. Dulsin (pemanis sintesis)
13. Potasium bromat (pengeras).
2.4.Zat Pengawet
Zat pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau
menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga tidak terjadi fermentasi (pembusukan),
pengasaman atau penguraian makanan karena aktifitas jasad-jasad renik (bakteri)
(Fardiaz, 2007).
Pengertian bahan pengawet sangat bervariasi tergantung dari negara yang
membuat batasan pengertian tentang bahan pengawet. Meskipun demikian,
penggunaan bahan pengawet memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan
kualitas dan memperpanjang umur simpan bahan pangan (Cahyadi, 2008).
Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik dalam
bentuk asam dan garamnya (Rohman dan Sumantri, 2007).
1. Pengawet Organik
Zat pengawet organik lebih banyak dipakai dari pada zat pengawet anorganik
karena pengawet organik lebih mudah dibuat dan dapat terdegradasi sehingga mudah
diekskresikan. Bahan pengawet organik yang sering digunakan adalah: asam sorbat,
2. Pengawet Anorganik
Pengawet anorganik yang masih sering dipakai dalam bahan makanan adalah:
nitrit, nitrat dan sulfit.
Banyak cara yang telah dilakukan untuk mengawetkan bahan pangan, misalnya
pengalengan makanan, diawetkan (asinan/manisan) dalam botol, pendinginan,
pemanasan, pengeringan dan penggaraman. Dalam melakukan pengawetan biasanya
digunakan bahan kimia dan dewasa ini penggunaanya semakin bertambah karena
merupakan salah satu pilihan yang menguntungkan bagi produsen makanan olahan.
Alasan produsen dalam penggunaan bahan pengawet adalah (Fardiaz, 2007):
1. Kebutuhan teknis
Dewasa ini banyak perubahan yang terjadi, misalnya pengawet pada mentega,
banyak digunakan asam sitrat dan vitamin E dari pada BHA/BHT.
2. Memperpanjang masa simpan
Hal ini merupakan masalah yang sukar. Produsen dan konsumen sama-sama
berkepentingan, artinya konsumen menginginkan produk lebih awet supaya tidak
belanja setiap hari dan produsen pun ingin makanan cukup waktu untuk
pendisribusian dan penjualannya.
3. Melengkapi teknik pengawetan
Adanya pengawet membuat warna tetap selama masa distribusi. Teknik
pengawetan misalnya dengan pemanasan menjadi lebih sempurna. Artinya untuk
4. Mengganti kehilangan antioksidan dan pengawet alami secara proses
Pengawet juga berfungsi untuk menambah antioksidan yang ada pada bahan
makanan secara alami dan oleh karena perlakuan pada prosesnya menjadi hilang
atau berkurang.
5. Menanggulangi masalah higienis
Segi higienis dalam pabrik, jauh dari memadai. Bahan pengawet dapat membantu
membuat makanan tidak cepat rusak, akibat sanitasi pabrik yang kurang baik.
6. Kebutuhan ekonomi
Bahan pengawet yang digunakan adalah sangat sedikit. Tetapi untungnya sangat
besar karena makanan menjadi awet dan dapat disimpan dalam waktu lama.
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang
mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat
proses fermentasi, pengasaman atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan
tetapi tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan
tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Syah, 2005).
Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan
pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik bersifat
patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya
maupun mikrobial non patogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan,
misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah
senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang
dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi,
langsung, misalnya keracunan; maupun yang bersifat tidak langsung atau kumulatif,
misalnya apabila bahan pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi,
2008).
2.5.Boraks
Boraks atau dalam nama ilmiahnya dikenal sebagai sodium tetraborate
decahydrate merupakan bahan pengawet yang dikenal masyarakat awam untuk
mengawetkan kayu, antiseptik kayu dan pengontrol kecoa. Tampilan fisik boraks
adalah berbentuk serbuk kristal putih. Boraks tidak memiliki bau jika dihirup
menggunakan indera pencium serta tidak larut dalam alkohol. Indeks keasaman dari
boraks diuji dengan kertas lakmus adalah 9,5, ini menunjukkan tingkat keasaman
boraks cukup tinggi (Bambang, 2008).
Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet berbahaya yang
tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan makanan. Boraks adalah senyawa
kimia dengan rumus Na2B4O7 10H2O berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil
pada suhu dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium
hidroksida dan asam borat (Syah, 2005).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/IX/1988, asam borat
dan senyawanya merupakan salah satu dari jenis bahan tambahan makanan yang
dilarang digunakan dalam produk makanan. Karena asam borat dan senyawanya
merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen. Meskipun boraks
berbahaya bagi kesehatan ternyata masih banyak digunakan oleh masyarakat sebagai
bahan tambahan makanan, karena selain berfungsi sebagai pengawet, boraks juga
dapat memperbaiki tekstur bakso dan kerupuk hingga lebih kenyal dan lebih disukai
konsumen (Mujianto, 2003).
Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa bor yang dikenal juga dengan nama
borax. Di Jawa Barat dikenal juga dengan nama “bleng”, di Jawa Tengah dan Jawa
Timur dikenal dengan nama “pijer”. Digunakan/ditambahkan ke dalam pangan/bahan
pangan sebagai pengental ataupun sebagai pengawet (Cahyadi, 2008).
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diperoleh data bahwa senyawa
asam borat ini dipakai pada lontong agar teksturnya menjadi bagus dan kebanyakan
ditambahkan pada proses pembuatan bakso. Komposisi dan bentuk asam borat
mengandung 99,0% dan 100% H3BO3. Mempunyai bobot molekul 61,83 dengan B =
17,50% ; H = 4,88% ; O = 77,62% berbentuk serbuk hablur kristal transparan atau
granul putih tak berwarna dan tak berbau serta agak manis (Cahyadi, 2008).
Karekteristik boraks antara lain (Riandini, 2008):
a. Warna adalah jelas bersih
b. Kilau seperti kaca
c. Kristal ketransparanan adalah transparan ke tembus cahaya
e. Perpecahan sempurna di satu arah
f. Warna lapisan putih
g. Mineral yang sejenis adalah kalsit, halit, hanksite, colemanite, ulexite dan
garam asam bor yang lain.
h. Karakteristik yang lain: suatu rasa manis yang bersifat alkali.
Senyawa asam borat ini mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut: jarak
lebur sekitar 171°C, larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5 bagian
gliserol 85% dan tak larut dalam eter. Kelarutan dalam air bertambah dengan
penambahan asam klorida, asam sitrat atau asam tetrat. Mudah menguap dengan
pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100°C yang secara
perlahan berubah menjadi asam metaborat (HBO2). Asam borat merupakan asam
lemah dan garam alkalinya bersifat basa. Satu gram asam borat larut sempurna dalam
30 bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tak berwarna. Asam borat tidak
tercampur dengan alkali karbonat dan hidroksida (Cahyadi, 2008).
Efek boraks yang diberikan pada makanan dapat memperbaiki struktur dan
tekstur makanan. Seperti contohnya bila boraks diberikan pada bakso dan lontong
akan membuat bakso/lontong tersebut sangat kenyal dan tahan lama, sedangkan pada
kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk serta
memiliki tekstur yang bagus dan renyah. Parahnya, makanan yang telah diberi boraks
dengan yang tidak atau masih alami, sulit untuk dibedakan jika hanya dengan panca
2.5.1. Kegunaan Boraks
Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium hidroksida atau
asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa
digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak,
larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga
digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas,bahan pembersih/pelicin porselin,
pengawet kayu dan antiseptik kayu (Aminah dan Himawan, 2009).
2.5.2.Pengawet Boraks pada Makanan
Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai
pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi pula mengenyalkan
makanan. Makanan yang sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso,
lontong, mie, kerupuk, dan berbagai makanan tradisional seperti “lempeng” dan
“alen-alen”. Di masyarakat daerah tertentu boraks juga dikenal dengan sebutan garam
bleng, bleng atau pijer dan sering digunakan untuk mengawetkan nasi untuk dibuat
makanan yang sering disebut legendar atau gendar (Yuliarti, 2007).
2.5.3.Penyalahgunaan Boraks pada Lontong
Dalam pemeriksaan yang digelar di sejumlah sekolah di Depok, Jawa Barat,
ditemukan adanya zat pengawet yang diduga boraks di dalam jajanan berupa lontong
yang berbahan dasar beras. Menurut Kepala Seksi Pengawas Obat dan Makanan
(POM) Dinas Kesehatan Kota Depok, boraks digunakan sebagai bahan campuran
untuk membuat lontong agar lebih tahan lama, teksturnya padat, lebih kenyal dan
Selain itu, makanan berupa mi basah, lontong, bakso, pempek, dan kerupuk
udang diambil secara acak di Pasar SMEP, Tugu, Bambu Kuning, Kampung Sawah,
dan swalayan Bandar Lampung. Setelah dilakukan ujian laboratorium, dari 30 contoh
mi basah, 84% positif mengandung boraks. Dari 9 sampel lontong, 11,1%
mengandung boraks, dan dari 13 sampel pempek, 85% juga positif mengandung
borak. Dan yang lebih parah adalah 12 sampel bakso, 7 sampel cincau hitam, dan 12
sampel kerupuk undang, 100% positif mengandung boraks (Agus, 2009).
Ciri-ciri lontong yang mengandung boraks adalah (Anonim, 2008):
a. Tahan lama
b. Tekstur kenyal
c. Warna putih bersih
d. Rasanya getir
2.5.4.Dampak Boraks terhadap Kesehatan
Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh
tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Karena kadar tertinggi
tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh
dibandingkan dengan organ yang lain. Dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan
orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan
bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20 gr/kg berat badan
orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-anak (Saparinto dan Hidayati,
Efek negatif dari penggunaan boraks dalam pemanfaatannya yang salah pada
kehidupan dapat berdampak sangat buruk pada kesehatan manusia. Boraks memiliki
efek racun yang sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai halnya
zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia.
Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat buruk,
namun sifatnya terakumulasi (tertimbun) sedikit-demi sedikit dalam organ hati, otak
dan testis. Boraks tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap
melalui kulit. Boraks yang terserap dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikelurkan
melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya
menganggu enzim-enzim metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria
(Artika, 2009).
Sering mengkonsumsi makanan berboraks akan menyebabkan gangguan otak,
hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria
(tidak terbentuknya urin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan
depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan bahkan
kematian (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Keracunan kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam waktu lama. Akibat
yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit,
alposia, anemia dan konvulsi. Penggunaan boraks apabila dikonsumsi secara
terus-menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf,
depresi dan kekacauan mental. Dalam jumlah serta dosis tertentu, boraks bisa
kulit karena boraks cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan dan pencernaan, kulit
yang luka atau membran mukosa (Saparinto dan Hidayati, 2006).
Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu
setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksis. Gejala klinis keracunan boraks
biasanya ditandai dengan hal-hal berikut (Saparinto dan Hidayati, 2006):
a. Sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret
b. Sakit kepala, gelisah
c. Penyakit kulit berat
d. Muka pucat dan kadang-kadang kulit kebiruan
e. Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah
f.Hilangnya cairan dalam tubuh
g. Degenerasi lemak hati dan ginjal
h. Otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan kejang-kejang
i.Kadang-kadang tidak kencing dan sakit kuning
j.Tidak memiliki nafsu makan, diare ringan dan sakit kepala
k. Kematian
2.6.Lontong
2.6.1.Karekteristik Lontong
Lontong merupakan salah satu cara penyajian nasi berbahan dasar beras.
Lontong berbentuk nasi yang dipadatkan karena dimasak dengan air namun ditekan
kenyal dan lembut serta dapat bertahan hingga dua hari jika disimpan dalam lemari
pendingin (Tarwodjo,1998).
2.6.2.Pembuatan Lontong
Pada proses pembuatan lontong dapat dilakukan dengan memasukkan beras ke
dalam panci. Tuangkan air hingga setinggi satu ruas jari dari permukaan beras. Masak
sampai menjadi aron. Ambil selembar daun pisang, taruh 3 hingga 4 sendok makan
beras aron di atasnya. Gulung hingga berbentuk bulat panjang bergaris tengah 4 cm.
Semat kedua ujungnya dengan lidi. Lakukan hingga semua beras aron terbungkus.
Didihkan air yang banyak dalam panci, masukkan gulungan beras ke dalamnya
hingga terendam air. Rebus selama 4 jam, bila air berkurang tambahkan air panas
secukupnya. Setelah lontong matang, angkat, tiriskan kemudian didinginkan
2.7.Kerangka Konsep
Boraks
1. Tahan Lama
2. Kenyal Lontong
Analisa Laboratorium
Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/IX/1999
Kuantitatif Kualitatif
Gambar 2. Kerangka Konsep
Keterangan :
Lontong yang dijual di daerah Padang Bulan Kota Medan jika diberi boraks
maka lontong tersebut akan tahan lama dan teksturnya pun kenyal. Untuk mengetahui
ada tidaknya dan berapa kadar boraks yang terkandung pada lontong tersebut
dilakukan analisa laboratorium secara kualitatif dan kuantitatif yang disesuaikan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui ada tidaknya
kandungan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan
menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan metode pengabuan
dan kuantitatif dengan metode titrasi asam basa.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan Padang Bulan yaitu di sekitar
Kampus USU, Jalan Jamin Ginting (Simpang Kampus-Sumber), Pasar I, Pasar II dan
Pasar III.
Alasan pemilihan lokasi:
1. Lokasi tersebut banyak menjual lontong sehingga sesuai dengan tempat
melakukan penelitian.
2. Di lokasi tersebut terdapat 2 (dua) Perguruan Tinggi yang mahasiswanya dan
masyarakat di sekitar lokasi sering menikmati lontong untuk sarapan.
3.2.2.Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2009.
3.3.1. Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh lontong yang dijual di Kelurahan Padang
Bulan Kota Medan yaitu di 5 lokasi: Kampus USU, Jalan Jamin Ginting (Simpang
Kampus-Sumber), Pasar I, Pasar II dan Pasar III. Dimana jumlah penjual lontong di
(lima) lokasi tersebut adalah 47.
3.3.2. Sampel
Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan
pertimbangan bahwa lontong banyak dijual di lokasi tersebut (Kampus USU,
Simpang Kampus-Sumber, Pasar I, Pasar II, Pasar III), lontong banyak dibeli
masyarakat untuk sarapan, dimana lontong yang dijual memiliki kekenyalan yang
berbeda.
Di Kampus USU terdapat 13 penjual lontong sehingga sampel yang diambil
sebanyak 7, Jalan Jamin Ginting (Simpang Kampus-Sumber) terdapat 12 penjual
lontong dan sampel yang diambil sebanyak 6, Pasar I terdapat 10 penjual lontong dan
sampel yang diambil sebanyak 5. Pasar II terdapat 6 penjual lontong dan sampel yang
diambil sebanyak 3. Sedangkan di Pasar III terdapat 6 penjual lontong sehingga
sampel yang diambil sebanyak 3. Terdapat 47 penjual lontong di (lima) lokasi
tersebut, sehingga dalam pengambilan sampel diambil setengah dari jumlah penjual
lontong yang ada di setiap lokasi yaitu 24 sampel dan dianggap telah mewakili dari
semua populasi.
3.4.Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kandungan
boraks pada lontong.
3.4.2.Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Padang Bulan Medan berupa
data wilayah Kelurahan Padang Bulan Kota Medan.
3.5.Defenisi Operasional
1. Lontong adalah makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari beras dan
dimasak dengan air hingga terbenam, mempunyai tekstur yang lembut dan
kenyal dan disajikan dengan kuah.
2. Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
menentukan boraks pada lontong yang dilakukan di Laboratorium Gizi Fakultas
3. Uji kualitatif adalah pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui
ada tidaknya boraks pada sampel (lontong) dengan menggunakan metode
pengabuan.
4. Uji kuantitatif adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan kadar
boraks yang terkandung dalam sampel (lontong) dengan metode titrasi asam
basa.
5. Kadar Boraks (mg) adalah jumlah boraks yang terkandung dalam sampel lontong
yang ditentukan berdasarkan volume larutan NaOH yang menitrasi.
3.6.Aspek Pengukuran
Adapun aspek pengukuran dari pemeriksaan boraks pada lontong adalah:
1. Ada boraks yaitu jika pada sampel lontong yang diperiksa secara kualitatif
ditemukan perubahan warna kertas kurkumin kuning menjadi merah kecoklatan
(reaksi kurkumin). Sedangkan pada reaksi nyala api apabila dibakar akan terjadi
nyala api berwarna hijau.
2. Tidak ada boraks, yaitu tidak ditemukannya perubahan warna pada reaksi
kurkumin dan reaksi nyala api dalam sampel lontong yang diperiksa secara
kualitatif. Atau boraks = 0.
Sebanyak 100 gram lontong dimasukkan ke dalam masing-masing plastik lalu
sampel dibawa untuk diperiksa di Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
A. Bahan Pemeriksaan
Sampel atau bahan yang digunakan untuk analisa adalah lontong yang diambil
dari beberapa penjual lontong di Kelurahan Padang Bulan.
B. Alat-alat
6. Labu erlenmeyer 250 ml
7. Lumpang dan alu
8. Pipet tetes
9. Timbangan elektrik
10.Tanur/Furnace
11.Kompor listrik
C. Reagensia yang Digunakan
1. Aquadest
2. Asam klorida (HCl)
3. Asam sulfat
5. Gliserol
6. Natrium hidroksida
7. Metanol
8. Kapur (CaCO3)
D. Pembuatan Larutan Reagensia
1. Pembuatan Larutan Aquadest Bebas CO2
Aquadest dididihkan dalam labu erlenmeyer yang mulutnya ditutup kapas
yang di dalamnya berisi beberapa butir batu didih selama 15 menit.
2. Pembuatan Indikator Fenolptalen
Fenolptalen sebanyak 1 gram dilarutkan dalam 100 ml etanol (96%) kemudian
aquadest ditambahkan secukupnya hingga 100 ml.
3. Pembuatan Larutan Gliserol Netral
a. Masukan 250 ml larutan gliserol kedalam erlenmeyer
b. Tambahkan 3 tetes indikatot fenolptalen
c. Teteskan larutan NaOH 0,2 N sampai terjadi warna merah jambu muda
4. Pembuatan Larutan NaOH 0.1 N dalam 500 ml
Kristal NaOH ditimbang sebanyak 2,001 gram kemudian dilarutkan dalam
E. Cara Kerja
1. Secara Kualitatif dengan Metode Pengabuan
Prosedur kerja secara kualitatif dengan metode pengabuan (Rohman dan
Sumantri,2007):
a. 50 gram lontong ditambahkan dengan 10 gram kapur (CaCO3)
b. Lontong digerus di dalam lumpang batu lalu masukkan ke dalam cawan.
Kemudian masukkan ke dalam tanur/furnace hingga menjadi abu selama 3-4
jam dan dinginkan.
c. Abu dimasukkan ke dalam 2 buah cawan dan diberi kode sampel
d. Abu digunakan untuk tes berikutnya.
Reaksi Kurkumin
Abu dimasukkan ke dalam cawan uap porselin kemudian tambahkan 1 ml
asam klorida 2 N, celupkan kertas kurkumin. Bila di dalam sampel terdapat
boraks, kertas kurkumin yang berwarna kuning menjadi berwarna merah
kecoklatan.
2. Secara Kuantitatif dengan Metode Titrasi Asam Basa
Prosedur kerja secara kuantitatif dengan metode titrasi asam basa (Cahyadi,
2006):
a. Timbang sampel setara 5 g masukkan ke dalam corong pisah
b. Kocok tiap kali dengan 25 ml aquadest
c. Saring, lakukan tiga kali pengocokan
d. Kumpulkan filtrat dalam erlenmeyer
f. Tambahkan 50 ml gliserol netral dan 5 tetes indikator fenolptalen
g. Titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga terjadi warna merah jambu muda
h. Lakukan tiga kali percobaan
i. Tiap ml larutan NaOH 0,1 N setara dengan 6,183 mg atau 0,006183 g asam
borat.
Penghitungan kadar boraks =
x 100%
Keterangan :
V = Volume titrasi sampel
N = Normalitas NaOH yang dipakai
B = Berat sampel
3.8.Analisa Data
Sesuai dengan jenis penelitian, maka analisa terhadap data yang terkumpul
dilakukan secara deskriptif yang disertai dengan tabel, narasi dan pembahasan serta
diambil kesimpulan apakah lontong yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota
Medan memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi sesuai dengan Permenkes RI
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kota Medan 4.1.1. Letak
Medan adalah ibukota provinsi Sumatera Utara yang terletak diantara
Kabupaten Deli Serdang dan terletak pada 2,5 - 37,5 m diatas permukaan laut.
Dengan jumlah penduduk 2.036.018 jiwa, yang terdiri dari 995.968 jiwa penduduk
laki-laki dan 1.010.174 jiwa penduduk perempuan.
4.1.2. Batas
Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2, dengan batas-batas wilayah
secara administratif sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
3. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
4. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
4.2.Deskripsi Lokasi Penelitian
Kelurahan Padang Bulan memiliki luas wilayah 1,30 km2 dimana terdapat
pemukiman, taman, perkantoran, perguruan tinggi, kuburan dan prasarana umum
lainnya. Jumlah penduduk sebanyak 8832 jiwa, yang terdiri dari 4244 jiwa penduduk
laki-laki dan 4588 jiwa penduduk perempuan.
Batas-batas wilayah kelurahan Padang Bulan tersebut antara lain :
1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Merdeka
3. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Padang Bulan Selayang
4. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Titi Rantai
4.3.Deskripsi Sampel
Sampel lontong diambil sebanyak 100 gr dari lima lokasi (Kampus USU,
Simpang Kampus-Sumber, Pasar I, Pasar II dan Pasar III) di Kelurahan Padang
Bulan. Sampel yang diambil berasal dari pedagang yang memproduksi sendiri
lontong tersebut. Di daerah ini lontong banyak dijual karena lokasinya padat
penduduk dan terdapat dua Perguruan Tinggi yang masyarakat dan mahasiswanya
sering menikmati lontong sebagai sarapan.
Berdasarkan hasil observasi langsung di lima lokasi tersebut, lontong yang
dijual mempunyai kekenyalan dan daya simpan yang berbeda. Terdapat 47 penjual
lontong di lokasi tersebut sehingga sampel yang diambil sebanyak 24 lontong dari
penjual yang berbeda.
4.4.Pemeriksaan Kandungan Boraks Pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009
Penelitian ini dilakukan karena banyaknya pedagang yang menambahkan
boraks pada lontong dengan tujuan agar tahan lama dan teksturnya pun kenyal.
Padahal boraks dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan, namun
masih banyak pedagang yang menggunakannya dengan maksud agar mendapatkan
keuntungan yang lebih besar. Pada proses pemasakan, lontong yang tidak
mengandung boraks memerlukan waktu lebih dari 4 jam namun jika ditambahkan
boraks maka pemasakannya hanya 2 jam sehingga lebih menguntungkan bagi
pedagang dalam hal bahan bakarnya. Hal inilah yang mendorong para pedagang
menambahkan boraks pada lontong tersebut.
Ada bahan pengawet alami makanan yang dapat menjadi alternatif pengganti
boraks, salah satunya adalah karagenan. Karagenan merupakan bahan pengenyal yang
terbuat dari rumput laut (Euchena sp) dan aman dikonsumsi manusia. Bentuknya
seperti tepung agar-agar dan sudah banyak beredar di pasar. Satu kg adonan lontong
membutuhkan 0,5-1,5 gr karagenan dan dijual dengan harga Rp750 sampai Rp1000.
Harga karegenan memang sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan boraks
sebanyak 0,5-1,5 gr dijual dengan harga Rp.500. Walaupun demikian tetap saja
pedagang lontong tidak boleh menggunakan boraks karena berbahaya bagi kesehatan
konsumen sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Permenkes RI
4.4.1.Hasil Pemeriksaan Kandungan Boraks Pada Lontong Secara Kualitatif di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009
Hasil pemeriksaan kualitatif boraks pada 24 sampel lontong yang berasal dari 5
(lima) lokasi di Kelurahan Padang Bulan dilakukan di Laboratorium Gizi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan dapat dilihat pada tabel 4.1.
berikut ini :
Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Kualitatif Boraks Pada Lontong di KelurahanPadang Bulan Kota Medan Tahun 2009 No. Lokasi Pengambilan
Berdasarkan Tabel 4.1. di atas dapat diketahui bahwa pada 24 sampel lontong
yang diperiksa secara kualitatif dengan reaksi kurkumin, terjadi perubahan warna
kuning menjadi merah kecoklatan pada 15 sampel. Hal ini menunjukkan bahwa 15
sampel tersebut mengandung boraks. Dan pada sampel yang positif menggunakan
boraks selanjutnya dilakukan pemeriksaan kuantitatif untuk mengetahui kadar dari
boraks tersebut.
4.4.2.Hasil Pemeriksaan Kandungan Boraks Pada Lontong Secara Kuantitatif di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009
Hasil pemeriksaan secara kuantitatif terhadap penggunaan boraks pada lontong
menunjukkan bahwa terdapat 15 sampel lontong yang mengandung boraks dengan
kadar yang bervariasi. Kadar boraks untuk masing-masing sampel dapat dilihat pada
Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif Boraks Pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009
No. Lokasi Pengambilan Sampel
Tabel 4.2. menunjukkan kadar boraks yang bervariasi dari ke lima lokasi
tersebut. Kadar boraks yang tertinggi terdapat pada sampel C2 yang berasal dari
lokasi Pasar I yaitu sebesar 4,081 gr/kg dan kadar boraks yang terendah terdapat pada
sampel A7 yang berasal dari lokasi Kampus USU yaitu sebesar 0,989 gr/kg.
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini mengenai ada tidaknya penggunaan boraks pada lontong.
Penelitian dilakukan karena boraks sering disalahgunakan sebagai bahan tambahan
pangan, padahal boraks tidak diizinkan penggunaannya dalam makanan yang
disesuaikan dengan Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/X/1999 tentang bahan
pangan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan boraks pada lontong yang
dijual di Kelurahan Padang Bulan dengan kadar yang berbeda. Lontong yang
mengandung boraks sebanyak 62,5% diperiksa secara kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian ini sama halnya dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) di sejumlah sekolah di Depok Jawa Barat, ditemukan
adanya zat pengawet yaitu boraks di dalam jajanan berupa lontong yang berbahan
dasar beras (Virdhani, 2009).
Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Agus (2009), di Bandar
Lampung makanan berupa mi basah, lontong, bakso, pempek, dan kerupuk udang
positif mengandung boraks. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan boraks telah
menyebar di seluruh Indonesia, untuk itu sebaiknya Dinas Kesehatan memberikan
penyuluhan kepada masyarakat tentang dampak penggunaan boraks terhadap
kesehatan agar masyarakat lebih hati-hati dalam memilih dan menggunakan bahan
5.1. Hasil Pemeriksaan Boraks Secara Kualitatif
Berdasarkan pemeriksaan boraks secara kualitatif pada lontong di
Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,
diperoleh hasil bahwa di dalam 24 lontong yang diperiksa ternyata terdapat 15 yang
mengandung boraks sebagai BTP berupa pengawet dan pengenyal pada lontong. Hal
ini dibuktikan dengan adanya perubahan warna pada kertas kurkumin menjadi warna
merah kecoklatan. Lontong yang mengandung boraks tersebut diperoleh dari lima
lokasi penelitian, yaitu di Kampus USU terdapat 2 lontong, Simpang
Kampus-Sumber ada 5 lontong, Pasar I ada 5 lontong, Pasar II ada 1 lontong dan Pasar III ada
2 lontong.
Gambar 5.1. Perubahan Warna Kertas Kurkumin pada Sampel Lontong Pada proses pembuatan lontong penambahan boraks dilakukan dengan dua
cara yaitu ditaburkan pada air rebusan atau ditambahkan pada adonan lontong, hal
bertujuan untuk mendapatkan efek kenyal dan lebih cepat masak, tekstur yang baik
dan tahan lama jika dibandingkan dengan lontong yang tidak diberi boraks sehingga
lebih menguntungkan bagi penjual. Ciri fisik lontong yang mengandung boraks dapat
diketahui dengan melihat bentuk lontong yang padat dan kenyal, warnanya bersih,
Harga boraks yang murah yaitu berkisar Rp.500/bungkus yang mudah
didapatkan di warung atau pasar serta lebih menguntungkan dari segi ekonomi,
menjadi alasan bagi produsen bebas menggunakannya sebagai BTP pada lontong.
Semakin tinggi tingkat penjualan lontong yang mengandung boraks dalam satu hari,
semakin banyak pula masyarakat yang akan terpapar oleh boraks tersebut.
Meskipun lontong yang dikonsumsi sudah dimasak, tidak berarti bahwa
boraks yang ditambahkan pada waktu pembuatan lontong menjadi hilang, karena
dalam pemeriksaan untuk menentukan ada tidaknya boraks dengan metode
pengabuan, sampel harus dibakar terlebih dahulu sehingga menjadi abu untuk
mengetahui kandungan boraks pada lontong tersebut.
5.1.2. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Lontong Secara Kuantitatif
Pada lontong yang positif mengandung boraks selanjutnya dilakukan
pemeriksaan kuantitatif dengan metode titrasi asam basa untuk mengetahui kadar
boraks pada lontong tersebut. Hasil titrasi yang dijumpai yaitu perubahan warna
menjadi merah jambu muda. Dari hasil pemeriksaan kuantitatif ditemukan kadar
boraks yang tertinggi yaitu 4,081 gr/kg artinya dalam 1 kg sampel lontong yang
diperiksa terdapat kandungan boraks sebanyak 4,081 gr. Sedangkan kadar boraks
yang terendah adalah 0,989 gr/kg artinya dalam 1 kg lontong yang diperiksa terdapat
boraks sebanyak 0,989 gr.
Dampak negatif boraks bagi tubuh dimana pada dosis tertinggi yaitu 10-20
gr/kg berat badan orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan
menyebabkan keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah
jika sering dikonsumsi akan menumpuk/terakumulasi pada jaringan tubuh di otak,
hati, lemak dan ginjal yang pada akhirnya dapt menyebabkan kanker. Manusia
dengan berat badan 50 kg dapat meninggal dunia jika mengonsumsi 5-25 gr boraks.
Yuliarti (2007) menyebutkan bahwa orang dewasa dapat meninggal dunia apabila
mengonsumsi asam borat sebanyak 15-25 gr, sedangkan anak-anak 5-6 gr.
Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu
setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksis. Gejala klinis keracunan boraks
biasanya ditandai dengan sakit perut sebelah atas, muntah, mencret, sakit kepala,
penyakit kulit berat, sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah, tidak nafsu makan,
dehidrasi, koma dan jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan kematian.
Walaupun boraks memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi tubuh, tetap
saja masyarakat menggunakan boraks sebagai BTP. Masih banyak masyarakat
Indonesia kurang mampu untuk membeli makanan yang bermutu tinggi dan
memenuhi persyaratan. Hal ini disebabkan karena tingkat ekonomi masyarakat yang
rendah dan juga pengetahuan yang kurang sehingga kondisi inilah yang menyebabkan
pedagang makanan memproduksi makanan dengan harga yang murah dengan
menggunakan bahan-bahan yang berbahaya. Kurangnya kepedulian pedagang
terhadap keselamatan masyarakat menyebabkan banyaknya penyakit yang timbul
akibat mengonsumsi makanan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Berdasarkan penelitian mahasiswa Teknologi Pangan IPB Dody (2003),
penggunaan boraks pada makanan dapat digantikan dengan pengawet Kalium
Karbonat atau Natrium Karbonat (air abu) sesuai dengan dosis yang diizinkan
diperoleh karena banyak dijual di warung/kedai sekitar pemukiman masyarakat dan
harganya pun tidak terlalu mahal sekitar Rp 1000/botol. Selain itu pengenyal alami
yang dapat digunakan sebagi pengganti boraks pada lontong adalah karagenan.
Karegenan aman dikonsumsi karena terbuat dari bahan alami rumput laut dan sangat
efektif untuk mengenyalkan lontong. Walaupun harganya lebih mahal dari boraks
kareganan harus digunakan sebagai alternatif pengganti boraks agar konsumen terjaga
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan boraks pada lontong yang dijual di Kelurahan
Padang Bulan Kota Medan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat 62,5% pedagang lontong di Kelurahan Padang Bulan menjual
lontong yang mengandung boraks.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium diperoleh kadar boraks
tertinggi dalam lontong sebesar 4,081 dari 1 kg adonan lontong yaitu pada
sampel C2 yang berasal dari lokasi Pasar I dan kadar terendah sebesar 0,989
yaitu sampel A7 yang berasal dari lokasi Kampus USU. Dimana boraks
merupakan salah satu pengawet yang dilarang penggunaanya dalam makanan,
tidak boleh digunakan walaupun dalam jumlah kecil yang disesuaikan dengan
Permenkes RI No.722/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Pangan.
3. Ciri-ciri lontong yang mengandung borak dapat diketahui dengan melihat
bentuk lontong yang padat dan kenyal, warnanya bersih, serta tahan disimpan
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan penyuluhan tentang dampak penggunaan pengawet boraks
dalam pembuatan lontong sebagai bahan tambahan dalam makanan oleh
Dinas Kesehatan Kota Medan kepada para produsen sekaligus penjual
lontong sebagai makanan yang selalu dijajakan kepada masyarakat.
2. Perlu dilakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi secara berkala oleh
Balai Pengawasan Obat dan Makanan khususnya lontong sehingga dapat
dilakukan tindakan pencegahan dalam penggunaan bahan-bahan berbahaya
sebagai bahan tambahan dalam makanan.
3. Perlu dilakukan pengawasan terhadap boraks agar tidak diperjual belikan
secara bebas.
4. Perlu dilakukan upaya pendidikan bagi masyarakat baik produsen dan
konsumen makanan jajanan melalui medi cetak dan elektronik tentang
keamanan pangan.
5. Kepada produsen sekaligus penjual lontong sebaiknya menggunakan
karagenan sebagai pengenyal alami pengganti boraks karena aman untuk