Yasinta Susaeno
ii ABSTRAK
TINDAK TUTUR DIREKTIF PADA ANAK USIA DUA TAHUN DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN
KEMAMPUAN BERBAHASA DI PAUD
Oleh Yasinta Susaeno
Penelitian ini membahas masalah tindak tutur direktif pada anak usia dua tahun
dan implikasinya pada pembelajaran kemampuan berbahasa di PAUD. Tujuan
pe-nelitian ini adalah mendeskripsikan tindak tutur direktif pada anak usia dua tahun
dan implikasinya pada pembelajaran kemampuan berbahasa di PAUD.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan desain deskriptif kualitatif. Sumber
data dalam penelitian ini adalah seorang anak usia dua tahun yang bernama
Salsabila. Data yang menjadi kajian dalam penelitian ini berupa tindak tutur
direktif yang dilakukan oleh subjek penelitian.Teknik pengumpulan data yang
di-gunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak libat cakap, teknik simak bebas
libat cakap dan catatan lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak tutur direktif pada anak usia dua
ta-hun yang meliputi meminta, memerintah, memesan, dan menasihati dilakukan dengan dua cara, yakni secara langsung dan tidak langsung. Tuturan langsung
Yasinta Susaeno
iii
langsung dengan argumentasi/alasan. Tuturan tidak langsung disampaikan
meng-gunakan modus bertanya, menyatakan fakta, dan melibatkan orang ketiga.
Tutur-an tidak lTutur-angsung ditemukTutur-an pada tindak tutur direktif meminta dan memerintah. Hal tersebut karena subjek penelitian lebih sering berkomunikasi menggunakan
tuturan meminta dan memerintah kepada mitra tuturnya. Selain modus, anak juga
mendayagunakan konteks untuk mendukung supaya keinginannya dapat tercapai.
Terdapat empat konteks yang didayagunakan anak pada hasil penelitian ini, yakni
konteks tempat, konteks waktu, konteks peristiwa, dan konteks orang sekitar. Prinsip percakapan pun sudah mulai diterapkan anak ketika bertutur, baik prinsip
kerja sama maupun prinsip kesantunan.
Yasinta Susaeno
iv
TINDAK TUTUR DIREKTIF PADA ANAK USIA DUA TAHUN DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN
KEMAMPUAN BERBAHASA DI PAUD
Oleh Yasinta Susaeno
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
pada
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah JurusanPendidikanBahasa dan Seni
FakultasKeguruan dan IlmuPendidikanUniversitas Lampung
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Yasinta Susaeno
i
TINDAK TUTUR DIREKTIF PADA ANAK USIA DUA TAHUN DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN
KEMAMPUAN BERBAHASA DI PAUD
(Skripsi)
Oleh
YASINTA SUSAENO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Yasinta Susaeno
4.3 Implikasi Hasil Penelitian pada Pembelajaran Bahasa di PAUD ... 78
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 83
5.1 Simpulan ... 83
5.2 Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 86
Yasinta Susaeno
ix
MOTO
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa
dan orang-orang yang berbuat kebaikan
(QS. An-Nahl: 128)
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
(QS. Alam Nasyrah: 6)
Yasinta Susaeno
vi
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Nurlaksana Eko R., M.Pd. ………..
Sekretaris : Sumarti, S.Pd., M.Hum. ………..
Penguji
Bukan Pembimbing : Dr. Wini Tarmini, M.Hum. ………..
2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dr. H. Bujang Rahman, M.Si. NIP 19600315 198503 1 003
Yasinta Susaeno
vii
SURAT PERNYATAAN
Sebagai civitas akademik Universitas Lampung, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
NPM : 0813041055 nama : Yasinta Susaeno
judul skripsi : Tindak Tutur Direktif pada Anak Usia Dua Tahun dan Implikasinya pada Pembelajaran Kemampuan Berbahasa di PAUD
program studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. karya tulis ini bukan saduran/terjemahan, murni gagasan, rumusan dan pe-laksanan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber di organisasi tempat riset;
2. dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka;
3. saya menyerahkan hak milik atas karya tulis ini kepada Universitas Lampung, dan oleh karenanya Universitas Lampung berhak melakukan pengelolaan atas karya tulis ini sesuai dengan norma hukum dan etika yang berlaku; dan
4. pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.
Bandarlampung, Juni 2012 Yang membuat pernyataan,
Yasinta Susaeno
x
PERSEMBAHAN
Dengan penuh syukur atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan Allah swt.,
kupersembahkan karya kecilku kepada orang-orang tersayang berikut ini.
1. Ayah dan Ibuku tercinta, Suprapto dan Yanina Sari, terima kasih untuk
se-mua cinta, kasih sayang, doa, dan dukungan yang telah kalian berikan
pa-daku hingga sekarang.
2. Adik-adikku, Yulisa dan Salsabila, terima kasih atas doa dan senyuman
yang selalu ada untukku.
3. Keluarga besarku yang senantiasa menanti keberhasilanku.
4. Almamaterku tercinta, Universitas Lampung yang telah memberi ilmu
Yasinta Susaeno
v
Judul Skripsi : TINDAK TUTUR DIREKTIF PADA ANAK
USIA DUA TAHUN DAN IMPLIKASINYA
PADA PEMBELAJARAN KEMAMPUAN
BERBAHASA DI PAUD
Nama : Yasinta Susaeno
Nomor Pokok Mahasiswa : 0813041055
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Dr. Nurlaksana Eko R., M.Pd. Sumarti, S.Pd., M.Hum. NIP 19640106 198803 1 001 NIP 19700318 199403 2 002
2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Yasinta Susaeno
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, pada 11 Februari 1990. Anak pertama dari
tiga bersaudara, buah kasih pasangan Ayahanda Suprapto dan Ibunda Yanina Sari.
Pendidikan yang telah penulis tempuh, yakni SD Negeri 2 Langkapura pada tahun
1996–2002, SMP Negeri 14 Bandar Lampung pada tahun 2002–2005, SMA
Negeri 14 Bandar Lampung pada tahun 2006−2008. Tahun 2008 penulis
meng-ikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima
di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan
Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.
Pada tahun 2010 semester 4 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL)
di Bandung–Yogyakarta–Bali, tahun 2011 semester 6 penulis melaksanakan
Ku-liah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Lampung Barat, Kecamatan Sumberjaya,
Desa Tugusari, serta Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA Negeri 1
Yasinta Susaeno
xi
SANWACANA
Puji syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat, taufik, serta
hi-dayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul “Tindak Tutur Direktif pada Anak Usia Dua Tahun dan
Im-plikasinya pada Pembelajaran Kemampuan Berbahasa di PAUD” ini adalah salah
satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pendidikan pada Program Studi
Pendikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Lampung. Skripsi ini sengaja
di-susun untuk mempermudah mahasiswa khususnya calon pengajar dan pembaca
pada umumnya dalam memahami lebih jauh tentang tindak tutur direktif pada
anak usia dua tahun.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
1. Dr. Nurlaksana Eko R., M.Pd., selaku pembimbing utama atas kesediaannya
untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian
skripsi ini;
2. Sumarti, S.Pd., M.Hum., selaku pembimbing kedua atas kesediaannya untuk
memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi
ini;
3. Dr. Wini Tarmini, M.Hum., selaku pembahas pada seminar hasil dan
Yasinta Susaeno
xii
pengarahan, nasihat, bantuan, dan saran-saran dari mulai pengajuan judul,
penyusunan proposal, hingga skripsi ini selesai dengan penuh kesabaran;
4. Dr. Edi Suyanto, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah membimbing penulis selama menempuh studi di
Universitas Lampung;
5. Drs. Imam Rejana, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;
6. bapak dan ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
dan Daerah yang telah memberi penulis ilmu yang bermanfaat;
7. Dr. M. Thoha B.S. Jaya, M.S., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, beserta stafnya;
8. Dr. H. Bujang Rahman, M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung;
9. ayah dan ibu tercinta, (Suprapto dan Yanina Sari), yang selalu memberikan
kasih sayang, motivasi dalam bentuk moral maupun material dan untaian doa
yang tiada terputus untuk keberhasilan penulis;
10. adik-adikku (Yulisa dan Salsabila) yang aku sayangi dan selalu memberikan
semangat, dan motivasi;
11. keluarga besarku yang senantiasa menantikan kelulusanku dengan
memberikan dorongan, semangat, dan doa;
12. sahabat-sahabatku di Batrasia angkatan 2008 (Asih Kurniawati, Ika Puspita
Apriani, Neneng Suryani, Putri Wulandari, Rima Gustianita, Yetni Halimah,
Yinda Dwi Gustira, dan Yuliana Lestari) yang selama ini saling memberi
Yasinta Susaeno
xiii
menghibur disetiap kesedihan, dan saling melengkapi, semoga persahabatan
kita akan kekal selamanya dan tidak terpisahkan oleh jarak dan waktu;
13. seluruh rekan-rekan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
dan Daerah angkatan 2008 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu
terima kasih atas kerja sama, doa serta kebersamaan yang telah teman-teman
berikan;
14. seluruh kakak tingkat angkatan 2005 – 2007 yang saya hormati; dan
15. seluruh adik tingkat 2009 – 2011 yang saya sayangi.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semua. Amin.
Bandar Lampung, Juni 2012
Penulis,
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah alat komunikasi karena tanpa adanya bahasa maka seseorang tidak
dapat berkomunikasi dengan lancar. Bahasa adalah milik manusia dan merupakan
satu ciri pembeda utama umat manusia dengan makhluk hidup lainnya di dunia ini
(Tarigan, 1990: 4). Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat
interaksi yang hanya dimiliki manusia. Sebagai alat komunikasi, bahasa
diguna-kan oleh anggota masyarakat penuturnya untuk menjalin hubungan dengan
anggo-ta masyarakat yang lain yang mempunyai kesamaan bahasa.
Bahasa tidak hanya digunakan oleh orang dewasa dalam berkomunikasi,
anak-anak usia dua tahun pun sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi
dengan orang di sekitarnya. Mereka sudah mulai berani untuk mengutarakan apa
yang diinginkannya, mulai aktif dalam berbahasa, dan setiap saat selalu bertutur
kepada mitra tuturnya. Ucapan anak usia dua tahun belum jelas karena fungsi alat
ucapnya yang belum sempurna, tetapi pada usia ini mereka sudah berusaha
bel-ajar bertutur atau berbicara dalam mengajukan sesuatu yang diinginkannya.
Tutur-an yTutur-ang mereka ucapkTutur-an terkadTutur-ang hTutur-anya meniru dari tuturTutur-an orTutur-ang dewasa.
Namun tuturan-tuturan tersebut disimpan di dalam ingatannya kemudian
2
memerintah mitra tuturnya. Fungsi komunikasi tersebut sering dituturkan oleh
anak usia dua tahun dan disebut tindak tutur direktif.
Tindak tutur direktif, yaitu ilokusi yang bertujuan menghasikan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur, (tindak ilokusi ini oleh Leech disebut
dengan tindak tutur ilokusi impositif). Tindak tutur direktif sering digunakan oleh
anak usia dua tahun untuk memerintah mitra tutur melakukan sesuatu. Tuturan
yang dihasilkan menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Misalnya, sang
anak meminta dibuatkan susu karena ia haus dengan menggunakan tuturan
me-minta. Hal tersebut dapat terlihat pada contoh percakapan yang berhasil didapat
oleh peneliti berikut ini.
(1) S : “Mamah buatin tutu, Tata aus.” (sambil merengek kepada sang
ibu). (Tutu = susu)
I : “Nanti ya, Mamah nonton TV dulu.”
S : “Ih... Mamah buatin Tatawiyah tutu.” (sambil menangis).
I : “Iya sayang Mamah buatin. Tunggu sebentar ya! Jangan
nangis lagi!”
S : “He..eh...”
Percakapan di atas terjadi pada malam hari, saat sang ibu sedang menonton
tele-visi bersama sang anak. Dalam percakapan tersebut, tampak bahwa sang anak
me-minta dibuatkan susu oleh ibunya sambil merengek. Awalnya sang ibu belum
mengabulkan keinginan sang anak tersebut karena sedang asyik menonton
tele-visi, tetapi setelah mendengar anaknya menangis barulah ia membuatkan susu.
Sang anak menggunakan tindak tutur langsung pada sasaran. Hal tersebut
dilaku-kannya karena meminta dibuatkan susu merupakan kebiasaan setiap hari,
sehing-ga ia tidak takut untuk mengutarakan apa yang diinginkannya densehing-gan
3
Selain menggunakan tindak tutur langsung untuk mengutarakan keinginannya
ter-sebut anak usia dua tahun pun dapat menggunakan tindak tutur tidak langsung
da-lam mengutarakan apa yang mereka inginkan. Misalnya, pada contoh percakapan
yang berhasil didapat oleh peneliti berikut ini.
(2) S : “Aku mau apa ya?” (Sambil melihat ke arah ibunya).
I : “Mamah gak tau lah Adek mau apa.”
S : “Aku mau apa ya?” (Sambil melihat jajanan yang ada
dihadapannya).
I : “O... Tata mau jajan ya?”
S : “Iya Mamah...” (Sambil tersenyum malu).
I : “Bilang dong Tata, Mamah kan gak tau Tata mau apa. Ya
udah sekarang Tata mau jajan apa?”
S : “Minuman.” (Sambil menunjuk minuman yang ada
dihadapannya).
I : “Ya udah kita beli minuman ini ya.”
Percakapan di atas terjadi pada pagi hari, saat sang ibu sedang berbelanja di pasar
bersama sang anak. Pada percakapan tersebut, tampak bahwa sang anak ingin
me-minta dibelikan sesuatu yaitu minuman ketika sang ibu sedang membeli sesuatu di
pasar. Namun ia tidak langsung mengutarakan apa yang diinginkannya. Justru ia
menggunakan tindak tutur tidak langsung dengan modus bertanya untuk
mengu-tarakan keinginannya tersebut, yakni dengan cara bertanya sambil melihat ke arah
ibunya, namun sang ibu belum paham maksud dari tuturan bertanya anaknya
ter-sebut. Sang anak pun memberi kode kepada sang ibu tentang maksud tuturannya
tersebut dengan melihat ke arah jajanan yang ada di hadapannya itu. Hal itulah
yang membuat sang ibu akhirnya mengerti maksud dari tuturan anaknya itu. Hal
tersebut dilakukan sang anak karena ia sedikit ragu terhadap kemungkinan
4
Kajian tentang tindak tutur direktif sudah banyak dilakukan oleh para peneliti.
Adapun para peneliti yang telah melakukan penelitian tentang tindak tutur direktif
antara lain, Megaria (2009) yang meneliti tentang tindak tutur memerintah pada
anak usia prasekolah dan implikasinya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di
TK. Subjek penelitian ini adalah seorang anak berusia 5,7 tahun bernama Annisa
Frecilia Adenina dan Patrisia (2010) yang meneliti tentang kesantunan dalam
tin-dak tutur meminta pada anak-anak dan implikasinya pada pembelajaran Bahasa
Indonesia di SD. Subjek penelitian ini adalah seorang anak berusia 7 tahun
ber-nama Yasa Intizar Tazana.
Dari deskripsi di atas menunjukkan bahwa penelitian mengenai tindak tutur
direk-tif yang telah diteliti oleh Megaria (2009) dan Patrisia (2010) terdapat perbedaan
dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini. Hal tersebut nampak pada
peneli-tian peneliti yang meneliti keseluruhan tindak tutur direktif pada anak usia dua
ta-hun yang meliputi tuturan meminta, memerintah, memesan, menasihati, dan
mere-komendasikan, sedangkan penelitian Megaria (2009) lebih fokus meneliti tentang
tindak tutur memerintah dan penelitian Patrisia (2010) lebih fokus meneliti
ten-tang kesantunan dalam tindak tutur meminta.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlu melakukan penelitian terhadap
anak usia dua tahun dengan judul “Tindak Tutur Direktif pada Anak Usia Dua
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana tindak tutur direktif pada anak usia dua tahun dan implikasinya pada
pembelajaran kemampuan berbahasa di PAUD.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindak tutur direktif pada anak
usia dua tahun dan implikasinya pada pembelajaran kemampuan berbahasa di
PAUD.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi keilmuan dan bagi
pembel-ajaran bahasa, baik secara teoretis maupun secara praktis.
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
kajian pragmatik, serta memberikan masukan bagi pengembangan teori tindak
tutur.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pengajaran bahasa. Masukan tersebut secara langsung dapat dimanfaatkan oleh
guru dalam pembelajaran bahasa tentang adanya tindak tutur direktif, yakni
berkaitan dengan tuturan meminta, memerintah, memesan, menasihati, dan
merekomendasikan. Bagi guru PAUD, kajian ini hendaknya dimanfaatkan
untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar kemampuan
6
pendekatan komunikatif dan pendekatan kontekstual yang mengembalikan
bahasa pada fungsi utamanya sebagai alat komunikasi dan menghubungkan
kegiatan belajar mengajar dengan konteks kehidupan nyata anak-anak.
1.5Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan anak usia dua tahun.
2) Data penelitian ini adalah tindak tutur direktif yang meliputi meminta,
7
II. LANDASAN TEORI
2.1. Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang
meng-kaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Adapun hal-hal yang akan dibahas
dalam tindak tutur meliputi: pengertian tindak tutur, jenis-jenis tindak tutur, dan
pendayagunaan konteks dalam tindak tutur.
2.1.1 Pengertian Tindak Tutur
Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara,
pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya
tin-dak tutur digunakan oleh beberapa disiplin ilmu. Adapun pengertian tintin-dak tutur
yang dikemukakan oleh para ahli bahasa, antara lain: Austin, Searle, Chaer, dan
Tarigan.
Austin (dalam Rusminto, 2010: 22) pertama kali mengemukakan istilah tindak
tu-tur. Austin mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada
pe-nuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu. Pendapat
Austin ini didukung oleh Searle (dalam Rusminto 2010: 22) dengan mengatakan
bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah kalimat, melainkan tindakan tertentu,
8
Selanjutnya Searle (dalam Rusminto, 2010: 22) mengemukakan bahwa tindak
tu-tur adalah teori yang mencoba mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada
hu-bungan tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian tersebut
didasarkan pada pandangan bahwa (1) tuturan merupakan sarana untuk
berkomu-nikasi dan (2) tuturan baru memiliki makna jika direalisasikan dalam tindak
ko-munikasi nyata, misalnya membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan
permin-taan. Dengan demikian, tindakan merupakan karakteristik tuturan dalam
komuni-kasi. Diasumsikan bahwa dalam merealisasikan tuturan atau wacana, seseorang
berbuat sesuatu, yaitu performansi tindakan. Tuturan yang berupa performansi
tin-dakan ini disebut dengan tuturan performatif, yakni tuturan yang dimaksudkan
un-tuk melakukan suatu tindakan.
Chaer (2004: 16) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual,
bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si
penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada
makna atau arti tindakan dalam tuturannya, sedangkan Tarigan (1990: 36)
menyatakan bahwa berkaitan dengan tindak tutur maka setiap ujaran atau ucapan
tertentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Dengan kata lain, kedua
belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu tujuan kegiatan
yang berorientasi pada tujuan tertentu. Sesuai dengan keterangan tersebut, maka
instrumen pada penelitian ini mengacu pada teori tindak tutur.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah teori yang
9
yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya dalam berkomunikasi.
Arti-nya, tuturan baru bermakna jika direalisasikan dalam tindakan komunikasi nyata.
2.1.2 Jenis-Jenis Tindak Tutur
Berkenaan dengan tuturan, Austin (dalam Rusminto, 2010: 22–23)
mengklasifika-sikan tindak tutur atas tiga klasifikasi, yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur
iloku-si, dan tindak tutur perlokusi.
2.1.2.1 Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindakan proposisi yang berada pada kategori
mengata-kan sesuatu (an act saying somethings). Oleh karena itu, yang diutamamengata-kan dalam
tindak lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Wujud tindak
lo-kusi adalah tuturan-tuturan yang berisi pernyataan atau tentang sesuatu. Leech
(dalam Rusminto, 2010: 23) menyatakan bahwa tindak bahasa ini lebih kurang
da-pat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan
acuan. Perhatikan contoh tindak tutur ilokusi berikut.
(3) Andi belajar menulis. (4) Bajumu kotor sekali.
Kedua kalimat di atas diutarakan penulisnya semata-mata untuk
menginformasi-kan sesuatu tanpa ada tendesi untuk melakumenginformasi-kan sesuatu, apa lagi untuk
mem-pengaruhi mitra tuturnya.
2.1.2.2 Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan
tindakan tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu (an act of
10
atau pertanyaan yang terungkap dalam tuturan. Moore (dalam Rusminto, 2010:
23) menyatakan bahwa tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang sesungguhnya
atau yang nyata yang diperformansikan oleh tuturan, seperti janji, sambutan, dan
peringatan. Mengidentifikasi tindak ilokusi lebih sulit jika dibandingkan dengan
tindak lokusi, sebab pengidentifikasian tindak ilokusi harus mempertimbangkan
penutur dan mitra tuturnya, kapan dan di mana tuturan terjadi, serta saluran apa
yang digunakan. Oleh sebab itu, tindak ilokusi merupakan bagian penting dalam
memahami tindak tutur. Perhatikan contoh tindak tutur ilokusi berikut.
(5) Saya tidak pergi.
Tuturan pada data (5) Saya tidak pergi., tuturan ini terjadi pada hari minggu pada
saat penutur menelpon mitra tutur dan pada saat itu sedang dalam keadaan hujan.
Penutur memiliki janji kepada mitra tutur untuk pergi bersama. Tuturan ini tidak
hanya sebagai sebuah pemberitahuan semata, tetapi ada maksud lain yang
dike-hendaki penutur. Penutur sebenarnya ingin meminta maaf kepada mitra tutur
kare-na membatalkan janji untuk pergi bersama dikarekare-nakan hujan. Informasi yang
di-berikan penutur sebenarnya kurang begitu penting karena besar kemungkinan
mit-ra tutur juga tidak bisa pergi karena di daemit-rah mitmit-ra tutur juga sedang hujan seperti
yang terjadi di daerah si penutur.
Leech (dalam Rusminto, 2010: 23) mengklasifikasikannya berdasarkan hubungan
fungsi-fungsi tindak ilokusi dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan
peri-laku yang sopan dan terhormat menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut.
1) Kompetitif, seperti memerintah, meminta, menuntut, mengemis.
2) Menyenangkan, seperti menawarkan, mengajak, mengundang, menyapa,
11
3) Bekerja sama, seperti menyatakan, melapor, mengumumkan, mengajarkan.
4) Berentangan, seperti mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi.
Halliday (dalam Rusminto, 2009: 72) mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam
empat belas jenis, yaitu sebagai berikut.
1) Tindak tutur menyapa, mengundang, menerima, dan menjamu.
2) Tindak tutur memuji, mengucapkan selamat, menyanjung, menggoda, dan
menyombongkan.
3) Tindak tutur menginterupsi, menyela, dan memotong pembicaraan.
4) Tindak tutur memohon, meminta, dan mengharapkan.
5) Tindak tutur mengelak, membohongi, mengobati kesalahan, dan
mengganti subjek.
6) Tindak tutur mengkritik, menegur, mencerca, mengomeli, mengejek,
menghina, dan memperingatkan.
7) Tindak tutur mengeluh dan mengadu.
8) Tindak tutur menuduh dan menyangkal.
9) Tindak tutur menyetujui, menolak, dan membantah.
10)Tindak tutur meyakinkan ,mempengaruhi, dan menyugesti.
11)Tindak tutur memerintah, memesan, dan meminta atau menuntut.
12)Tindak tutur menanyakan, memeriksa, dan meneliti.
13)Tindak tutur menaruh simpati dan menyatakan bela sungkawa.
12
Sementara itu, Pateda (dalam Rusminto, 2009: 73) secara lebih sederhana
meng-klasifikasikan tuturan atas lima klasifikasi, yaitu sebagai berikut.
1) Tuturan yang berisi pernyataan.
2) Tuturan yang berisi suruhan atau penolakan.
3) Tuturan yang berisi permintaan atau penolakan.
4) Tuturan yang berisi pertanyaan atau jawaban.
5) Tuturan yang berisi nasihat.
Sementara itu, Searle (dalam Rusminto, 2009: 71) membedakan tindak ilokusi
menjadi lima bagian sebagai berikut.
a. Tindak Tutur Asertif
Tindak tutur asertif, yakni ilokusi di mana penutur terikat pada kebenaran
pre-posisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan, mengusulkan, membual,
mengemukakan pendapat, melaporkan. Berikut ini contoh tuturan asertif jenis
pemberitahuan.
(6) Bagaimana kalau liburan tahun ini kita ke Lombok.
Tuturan di atas merupakan usulan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa
penutur mengusulkan suatu tempat yang penutur ketahui, tempat tersebut
me-rupakan tempat wisata yang indah.
b. Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif, yaitu ilokusi yang bertujuan menghasikan suatu efek
be-rupa tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur, (tindak ilokusi ini oleh Leech
13
meminta, merekomendasikan, dan menasihati. Berikut uraian mengenai jenis
tindak tutur direktif.
1. Meminta
Minta berarti berharap supaya diberi atau mendapat sesuatu (Poerwadarminta,
2006: 769). Jadi, tuturan meminta dikemukakan agar mitra tutur memberi
se-suatu (yang dimintai). Contoh tuturan meminta sebagai berikut.
(7) Pita mau buah.
Tuturan pada data (7) Pita mau buah terjadi pada pagi hari, saat sedang
menon-ton televisi di ruang keluarga. Tuturan ini dituturkan penutur (seorang anak)
kepada mitra tutur (kakak). Tuturan ini termasuk tuturan meminta sesuatu
ke-pada mitra tuturnya berupa sebuah permintaan agar kakaknya memberi buah
kepada sang anak.
2. Memerintah
Perintah berarti perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;
se-suatu yang harus dilakukan. Memerintah berarti memberi perintah; menyuruh
melakukan sesuatu (Poerwadarminta, 2006: 876). Jadi, tuturan memerintah
di-kemukakan agar mitra tutur melaksanakan atau mengerjakan apa yang
diingin-kan pembicara. Contoh kalimat tuturan memerintah sebagai berikut.
(8) Minum sana!
Tuturan pada data (8) Minum sana! terjadi pada pada malam hari, saat sang
ka-kak sedang berbaring di tempat tidur sambil makan keripik bersama adiknya,
lalu sang adik memerintah kakaknya supaya mengambilkan minum karena
14
mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu berupa sebuah tindakan agar kakaknya
mengambil air minum untuk kakaknya yang kepedasan itu.
3. Memesan
Memesan berarti memberi pesan (nasihat, petunjuk, dan sebagainya)
(Poerwadarminta, 2006: 883). Jadi, tuturan memesan dikemukakan untuk
memberi pesan kepada orang lain. Contoh kalimat tuturan memesan sebagai
berikut.
(9) Pesan Ayah, kau bangun subuh.
Tuturan pada data (9) Pesan Ayah, kau bangun subuh terjadi pada malam hari.
Tuturan ini dituturkan oleh ayah yang akan pergi ke luar kota kepada anak
laki-lakinya. Tututan ini bukan hanya sebuah pesan agar anaknya harus bangun
su-buh, tetapi sang ayah menginginkan anaknya melakukan shalat subuh setiap
hari.
4. Menasihati
Nasihat berarti ajaran atau pelajaran baik; anjuran (petunjuk, peringatan,
tegur-an) yang baik. Menasihati berarti memberi nasihat (Poerwadarminta, 2006:
795). Jadi, tuturan menasihati dikemukakan untuk memberi nasihat, anjuran
kepada orang lain. Contoh tuturan menasihati sebagai berikut.
(10) Kalau mau pintar harus rajin ke perpustakaan.
Tuturan pada data (10) Kalau mau pintar harus rajin ke perpustakaan terjadi
pada siang hari. Tuturan ini dituturkan seorang guru kepada para murid saat
ha-15
rus rajin ke perpustakaan. Guru menginginkan murid-murid rajin membaca dan
mengisi waktu luang dengan berkunjung ke perpustakaan.
5. Merekomendasikan
Rekomendasi berarti hal minta perhatian bahwa orang yang disebut dapat
di-percaya, baik (biasa dinyatakan dengan surat); penyuguhan; saran yang
meng-anjurkan (membenarkan ; menguatkan). Merekomendasikan berarti
memberi-kan rekomendasi; menasihatmemberi-kan; menganjurmemberi-kan (KBBI, 2008: 1158). Jadi,
tu-turan merekomendasikan dikemukakan untuk memberikan rekomendasi dan
memberitahukan kepada seseorang atau lebih bahwa sesuatu yang dapat
diper-caya. Contoh tuturan merekomendasikan sebagai berikut.
(11) Saya sebagai ketua komisi telah merekomendasikan pembentukan Dewan Pengurus Keuangan.
Tuturan pada data (11) merupakan tuturan yang diungkapkan oleh penutur
un-tuk merekomendasikan pembenun-tukan Dewan Pengurus Keuangan.
Dardjowidjojo (2008: 95) pada tindak ujaran direktif pembicara melakukan tindak
ujaran dengan tujuan agar pendengar melakukan sesuatu. Wujud tindak ujaran ini
dapat berupa pertanyaan seperti pada contoh (12), permintaan sangat lunak seperti
pada contoh (13), sedikit menyuruh seperti pada contoh (14), atau sangat langsung
dan kasar seperti pada contoh (15).
(12) Apa kamu harus merokok di sini? (13) Mbok kamu mampir kalau ke Jakarta. (14) Ayo, dong, dimakan kuenya.
(15) Pergi kamu!
Selanjutnya, seorang mitra tutur memiliki beberapa cara untuk merespon sebuah
16
tersebut tanpa membantah, mengiyakan dengan memunculkan ujaran tertentu atau
bahkan mitra tutur melakukan penolakan terhadap tindak tutur direktif yang
di-ungkapkan oleh penutur.
c. Tindak Tutur Komisif
Tindak Tutur komisitif, yakni ilokusi di mana penutur terikat pada suatu
dakan di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan, berkaul. Contoh
tin-dak tutur komisif.
(16) Adik mau dibelikan apa jika kakak sudah bekerja nanti?
Tuturan (16) Adik mau dibelikan apa jika kakak sudah bekerja nanti?, berupa
komisif penawaran. Pada tuturan di atas penutur terikat suatu tindakan di masa
depan berupa penawaran akan membelikan sesuatu.
d. Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif, yakni ilokusi yang berfungsi untuk mengungkapkan
si-kap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya
mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam,
berbela sungkawa. Ilokusi ekspresif terdapat pada contoh tuturan berikut.
(17) Saya turut belasungkawa atas meninggalnya kakekmu.
Tuturan (17) Saya turut belasungkawa atas meninggalnya kakekmu., berupa
ilokusi ekspresif yang mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap
ke-adaan yang tersirat dalam ilokusi.
e. Tindak Tutur Deklaratif
Tindak tutur deklaratif, yakni ilokusi yang digunakan untuk memastikan
17
memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengangkat. Ilokusi deklaratif terdapat
pada contoh tuturan berikut.
(18) Mulai besok, silakan Anda angkat kaki dari perusahaan ini.
Tuturan (18) Mulai besok, silakan Anda angkat kaki dari perusahaan ini.,
me-rupakan tindak ilokusi deklaratif, yakni ilokusi yang digunakan untuk
memasti-kan kesesuaian antara isi proposisi dengan kenyataan. Tuturan ini berupa
tutur-an pemecattutur-an ytutur-ang disampaiktutur-an oleh kepala perusahatutur-an kepada bawahtutur-annya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur asertif
ada-lah tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan.
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang mengikat penutur untuk melakukan
tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu. Tindak tutur komisif adalah ilokusi
yang penuturnya terikat janji pada suatu tindakan di masa depan. Tindak tutur
eks-presif adalah tuturan yang mengungkapkan perasaan penutur. Tindak tutur
dekla-ratif adalah tuturan yang dapat menyebabkan adanya situasi (status) baru.
2.1.2.3 Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan
ter-hadap mitra tutur, sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi
tutur-an. Levinson (dalam Rusminto, 2010: 23) menyatakan bahwa tindakan perlokusi
lebih mementingkan hasil, sebab tindak ini dikatakan berhasil jika mitra tutur
melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Perhatikan contoh berikut.
(19) Kemarin saya sangat sibuk.
Tuturan (19) Kemarin saya sangat sibuk., diutarakan seseorang yang tidak dapat
18
mengandung tindak ilokusi memohon maaf, dan tindak perlokusi (efek) harapan
adalah orang yang mengundang dapat memakluminya.
2.1.3 Pendayagunaan Konteks dalam Tindak Tutur
Sebuah peristiwa tutur tidak akan pernah lepas dari konteks yang melatarinya,
tu-turan akan lebih bermakna jika dilibatkan dengan konteks yang melatarinya. Grice
(dalam Rusminto, 2009: 53) konteks adalah latar belakang pengetahuan yang
sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang memungkinkan mitra tutur
untuk memperhitungkan tuturan dan memaknai arti tuturan dari si penutur.
Se-mentara itu, Schiffrin (dalam Rusminto, 2010: 56) mendefinisikan konteks
seba-gai sebuah dunia yang diisi orang-orang yang memproduksi tuturan-tuturan atau
situasi tentang susunan keadaan sosial sebuah tuturan sebagai bagian konteks
pengetahuan di tempat tuturan tersebut diproduksi dan diinterpretasi. Dengan
de-mikian, konteks tidak saja berkenaan dengan pengetahuan, tetapi merupakan suatu
rangkaian lingkungan tempat tuturan dimunculkan dan diinterpretasikan sebagai
realisasi yang didasarkan pada aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat
pe-makaian bahasa.
Tarigan (1990: 35) mengemukakan bahwa konteks sebagai setiap latar belakang
pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh pembicara
(atau penulis) dan penyimak (atau pembaca) serta yang menunjang interpretasi
penyimak (atau pembaca) terhadap apa yang dimaksud pembicara (atau penulis)
dengan suatu ucapan tertentu. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bah-wa konteks adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi makna tuturan dari
19
Dalam setiap tuturan selalu terdapat unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya
komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Unsur-unsur tersebut sering juga
dise-but sebagai ciri-ciri konteks meliputi segala sesuatu yang berada di sekitar penutur
dan mitra tutur ketika peristiwa tutur sedang berlangsung. Hymes (dalam
Rusminto, 2010: 57) menyatakan bahwa unsur-unsur konteks mencakup berbagai
komponen yang disebut dengan akronim SPEAKING. Akronim ini dapat
diurai-kan sebagai berikut.
1) Setting, yang meliputi waktu, tempat atau kondisi fisik lain yang berada di
se-kitar tempat terjadinya peristiwa tutur.
2) Participants, yang meliputi penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
peristi-wa tutur.
3) Ends, yaitu tujuan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai dalam peristiwa
tu-tur yang sedang terjadi.
4) Act sequences, yaitu bentuk dan isi pesan yang ingin disampaikan.
5) Keys, yaitu cara berkenaan dengan sesuatu yang harus dikatakan oleh penutur.
6) Instrumentalities, yaitu saluran yang digunakan dan bentuk tuturan yang
dipa-kai oleh penutur dan mitra tutur.
7) Norms, yaitu norma-norma yang digunakan dalam interaksi yang sedang
ber-langsung.
8) Genres, yaitu register khusus yang dipakai dalam peristiwa tutur.
2.2 Kelangsungan dan Ketidaklangsungan Tuturan
Dengan cara yang lebih rinci, Wijana (dalam Rusminto, 2010: 44)
20
1) Modus Langsung
Modus langsung, yakni modus tuturan yang mencerminkan kesesuaian antara
tuturan dengan tindakan yang diharapkan, misalnya tuturan deklaratif untuk
menginformasikan sesuatu, tuturan interogatif untuk bertanya. Sebagai contoh
dapat dilihat kalimat berikut.
(20) Yuli merawat ayahnya.
Kalimat di atas merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita.
2) Modus Tidak Langsung
Modus tidak langsung, yakni modus tuturan yang mencerminkan
ketidaksesu-aian antara tuturan dengan tindakan yang diharapkan dengan tujuan agar
tu-turan dianggap lebih sopan, misalnya tutu-turan interogatif memerintah. Sebagai
contoh dapat dilihat kalimat berikut.
(21) Di mana sepatuku?
Tuturan (21) Di mana sepatuku?, apabila diutarakan seorang kakak kepada
seorang adik, tidak semata-mata berfungsi untuk menanyakan di mana sepatu
kakak, tetapi juga secara tidak langsung memerintah sang adik untuk
meng-ambil sepatu milik kakak.
3) Modus Literal
Modus literal, yakni modus tuturan yang mencerminkan kesesuaian makna
li-teral tuturan dengan tindakan yang diharapkan. Sebagai contoh dapat dilihat
kalimat berikut.
21
Kalimat (22) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi
suara penyanyi yang dibicarakan, artinya ketika ia mengatakan suara
penya-nyi itu bagus memang benar suara penyapenya-nyi itu bagus. Jadi, kalimat ini
meru-pakan tindak tutur dengan modus literal.
4) Modus Tidak Literal
Modus tidak literal, yakni modus tuturan yang mencerminkan ketidaksamaan
makna literal tuturan dengan tindakan yang diharapkan. Sebagai contoh dapat
dilihat kalimat berikut.
(23) Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi).
Kalimat (23) penutur bermaksud mengatakan bahwa suara mitra tuturnya
je-lek, yaitu dengan mengatakan “tak usah menyanyi”. Tindak tutur pada
kali-mat (23) merupakan tindak tutur dengan modus tidak literal.
5) Modus Langsung Literal
Modus langsung literal, yakni modus yang mencerminkan kesamaan bentuk
dan makna literal tuturan dengan tindakan yang diharapkan: tuturan deklaratif
untuk memberitahukan sesuatu. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.
(24) Ayu gadis yang cantik.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur dengan modus langsung literal
apa-bila berturut-turut dimaksudkan untuk memberitakan bahwa orang yang
dibi-carakan sangat cantik.
6) Modus Tidak Langsung Literal
Modus tidak langsung literal, yakni modus tuturan yang dituturkan dengan
mak-22
na literal dengan tindakan yang diharapkan terdapat kesamaan. Sebagai
con-toh dapat dilihat kalimat berikut.
(25) Rambutmu acak-acakan.
Kalimat di atas bukan hanya untuk menyatakan rambut yang memang
acak-acakan tetapi juga untuk menyuruh untuk merapikan.
7) Modus Langsung Tidak Literal
Modus langsung tidak literal, yakni modus yang diungkapkan dengan bentuk
tuturan yang sesuai dengan tindakan yang diharapkan tetapi makna literal
tu-turan tidak sesuai dengan tindakan yang diharapkan. Sebagai contoh dapat
di-lihat kalimat berikut.
(26) Suaramu bagus kok.
Pada kalimat tersebut penutur sebenarnya ingin mengatakan bahwa suara
mit-ra tuturnya jelek.
8) Modus Tidak Langsung Tidak Literal
Modus tidak langsung tidak literal, yakni modus yang diungkapkan dengan
bentuk dan makna literal yang tidak sesuai dengan tindakan yang diharapkan.
Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.
(27) Kamarnya rapi sekali.
Maksud dari tuturan (27) adalah untuk menyuruh seorang anak agar
membe-reskan kamar yang berantakan dan tidak rapi, seorang ibu atau orang yang
le-bih tua dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan tuturan (27).
Berbeda dengan Wijana, Djajasudarma (dalam Rusminto, 2008: 79) secara lebih
klasi-23
fikasi, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur
langsung adalah tindak tutur yang menunjukkan fungsinya dalam keadaan
(tin-dakan) langsung dan literal (penuturan yang sesuai dengan kenyataan). Tindak
tutur langsung ini dinyatakan melalui dua cara, yaitu (a) penutur yang sesuai
dengan kenyataan “tuturan situasional” dan (b) penggunaan frasa verba bagai
tindak ujar. Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang dinyatakan
dengan menggunakan bentuk lain dan tidak literal (penuturan yang tidak sesuai
dengan kenyataan) dengan maksud untuk memperhalus, menghindari konflik, dan
mengupayakan agar komunikasi tetap menyenangkan.
2.3 Prinsip-prinsip Percakapan
Prinsip percakapan digunakan untuk mengatur supaya percakapan dapat berjalan
dengan lancar. Dalam suatu percakapan seseorang dituntut untuk menguasai
kai-dah-kaidah percakapan sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar dan
baik. Adapun prinsip yang digunakan dalam percakapan adalah prinsip kerja sama
dan prinsip sopan santun.
2.3.1 Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja sama mengatur hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur sehingga
berlangsung komunikasi yang sesuai dengan yang diharapkan, yakni antara
penu-tur dan mitra tupenu-tur. Prinsip ini berbunyi “Buatlah sumbangan percakapan Anda
sedemikian rupa sebagaimana yang diharapkan, berdasarkan tujuan dan
arah percakapan yang diikuti”. Prinsip kerja sama ini meliputi beberapa
mak-sim yang dijelaskan oleh Grice (dalam Rahardi, 2005: 53–57), yaitu sebagai
24
a. Maksim Kuantitas
Dalam maksim kuantitas ini, seorang penutur diharapkan dapat memberikan
in-formasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin.
Contoh:
(28)“Lihat itu Muhammad Ali Mau bertanding lagi!”
(29)“Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi”.
Tuturan (28) di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif
isi-nya karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat
dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Tuturan (29)
pe-nambahan informasi tersebut malah justru menyebabkan tuturan menjadi
berlebih-an dberlebih-an terlalu pberlebih-anjberlebih-ang. Tutur-berlebih-an semacam ini melberlebih-anggar prinsip kerja sama.
b. Maksim Kualitas
Dengan maksim kualitas, seseorang penutur diharapkan dapat menyampaikan
se-suatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta ini harus
di-dukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.
Contoh:
(30) “Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!” (31) “Jangan menyontek, nilai bisa E nanti!”
Tuturan (31) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur
dengan mitra tutur. Tuturan (30) dikatakan melanggar maksim kualitas karena
pe-nutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang harus
25
c. Maksim Relevansi
Dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik
an-tara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan
kontri-busi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu.
Contoh:
(32) Direktur : “Bawa ke sini semua berkasnya akan saya tanda
tangani!”
Sekretaris : “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”
Tuturan tersebut dituturkan oleh direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka
bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja direktur. Pada saat itu, ada juga
ne-nek tua yang sudah lama menunggu. Di dalam cuplikan percakapan di atas,
tam-pak dengan jelas bahwa tuturan sang sekretaris, yakni Maaf Bu, kasihan sekali
nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang
Di-rektur, yakni “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani!” Dengan
de-mikian tuturan (32) di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim
relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam
pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan khususnya, apabila
tu-turan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang
khusus sifatnya.
d. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan penutur bertutur secara langsung, jelas,
dan tidak kabur.
Contoh:
(33) “Ayo cepat dibuka!”
26
Tuturan (33) yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan
kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh mitra tutur. Kata dibuka
da-lam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan yang sangat
ting-gi. Oleh karena itu, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan
demiki-an karena kata itu dimungkinkdemiki-an untuk ditafsirkdemiki-an bermacam-macam, demikidemiki-an
pula tuturan yang disampaikan mitra tutur (34) yakni “Sebentar dulu masih
dingin.” Mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi juga. Kata dingin pada
tutur-an itu dapat benyak mendattutur-angktutur-an kemungkintutur-an persepsi penafsirtutur-an karena di
da-lam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan
demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi
maksim pelaksanaan dalam prinsip kerja sama.
2.3.2 Prinsip Kesantunan
Dalam kajian tindak tutur meminta seseorang harus menaati prinsip sopan santun,
tujuannya agar terhindar dari kemacetan komunikasi. Hal yang dimaksud adalah
ketika kita berbicara dengan seseorang dan ingin memperlihatkan
kesopansantun-an kepada mitra tutur, tentu prinsip ini skesopansantun-angat dibutuhkkesopansantun-an. Prinsip sopkesopansantun-an skesopansantun-antun
ju-ga menjaju-ga keseimbanju-gan sosial dan keramahan hubunju-gan dalam percakapan
ter-sebut. Hanya dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa
keberlangsungan percakapan akan dapat dipertahankan. Di samping itu, kehadiran
prinsip sopan santun ini diperlukan untuk menjelaskan dua hal berikut.
(1) Mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung untuk
27
(2) Hubungan antara arti (dalam semantik konvensional) dengan maksud atau
ni-lai (dalama pragmatik situsional) dalam kalimat-kalimat yang bukan
per-nyataan.
Karena dua hal tersebut, prinsip sopan santun tidak dianggap hanya sebagai
prin-sip yang sekadar pelengkap, tetapi lebih dari itu. Prinprin-sip sopan santun merupakan
prinsip percakapan yang memiliki kedudukan yang sama dengan prinsip
perca-kapan yang lain (Rahardi, 2005: 60–66). Berikut maksim-maksim dalam prinsip
kesantunan.
a. Maksim Kebijaksanaan
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa
pa-ra peserta pertutupa-ran hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengupa-rangi
keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam
ke-giatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim
kebi-jaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Dengan perkataan lain,
me-nurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim
ke-bijaksanaan dilaksanakan dengan baik.
Contoh:
(35) Tuan rumah :”Silakan makan saja dulu, nak!”
Tamu :”Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang
se-dang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah ibu
tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.
Dalam tuturan di atas sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah
sung-guh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu
Orang-28
orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara
kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya.
b. Maksim Kedermawanan
Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertu-turan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang
la-in akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirla-inya sendiri
dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Contoh:
(36) Anak kost A : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak yang kotor.”
Anak kost B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kost pada sebuah rumah
kost di Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang
satunya. Dari tuturan yang disampaikan si A, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia
berusaha memaksimalkan keuntungan pihal lain dengan cara menambahkan beban
bagi dirinya sendiri.
c. Maksim Penghargaan
Dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang dapat dianggap santun
apa-bila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain.
Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling
meng-ejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Peserta tutur yang
sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan
seba-gai orang yang tidak sopan.
29
(37) Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Business English.”
Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali
dari sini.”
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang
dosen dalam ruang kerja dosen pada perguruan tinggi. Pemberitahuan yang
disam-paikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi
de-ngan sangat baik bahkan disertai dede-ngan pujian atau penghargaan oleh dosen A.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B
berpri-laku santun terhadap dosen A.
d. Maksim Kesederhanaan
Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur
diha-rapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap
diri-nya sendiri.
Contoh:
(38) Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda
yang memimpin!”
Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi, saya jelek lho.”
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang
masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka.
e. Maksim Pemufakatan
Maksim pemufakatan ini seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam
maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan
atau pemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau
kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur,
30
Contoh:
(39) Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun : “Boleh, saya tunggu di Rumah Kayu.”
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga
mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruang kelas.
f. Maksim Kesimpatisan
Dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat
memaksi-malkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan dengan pihak lainnya. Sikap
antipati terhadap salah seorang penutur akan dianggap sebagai tindakan tidak
santun.
Contoh:
(40) Ani : “Tut, nenekku meninggal dunia.”
Tuti : “Innalillahiwainnailaihi rojiun, turut berduka cita.”
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang
su-dah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.
2.4 Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan bahasa merupakan suatu permulaan yang dibangun anak sejak lahir,
sang anak memanfaatkan aneka kapasitas bawaan sejak lahir yang beraneka
ra-gam dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia fisik dan sosial.
Pemerolehan bahasa mempunyai ciri, bersinambungan, memiliki suatu rangkaian
kesatuan yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata
yang lebih rumit. Kemerdekaan bahasa anak dimulai sekitar usia satu tahun, saat
anak-anak menggunakan kata-kata lepas atau kata-kata terpisah dari sandi
31
Setiap anak memiliki tingkat, susunan gaya bahasa sendiri, dan cara mereka
sen-diri. Mereka mempunyai ciri atau sifat kepribadian dan menyatakan diri sang anak
dalam menggunakan bahasa. Urutan perkembangan pemerolehan bahasa anak
di-bagi atas tiga di-bagian, yaitu perkembangan prasekolah, perkembangan ujaran
kom-binatori, dan perkembangan masa sekolah (Tarigan, 1988: 14).
Menurut Benedict (dalam Chaer, 2002: 237), menguasai perkembangan kosakata
pada usia sekitar 13 bulan anak sudah menguasai secara reseptif sekitar 50 buah
kata, tetapi baru sekitar usia 19 bulan anak dapat secara produktif mengeluarkan
kata-kata itu. Usia antara dua setengah sampai empat setengah tahun merupakan
masa pesat-pesatnya perkembangan kosakata itu. Malah menurut Clark (dalam
Chaer, 2002: 237) pada usia dua sampai enam tahun anak cenderung menciptakan
kata-kata baru untuk konsep-konsep tertentu.
Kebanyakan orangtua tak menyadari kalau anak mereka ternyata sudah
mempel-ajari banyak kata-kata. Seringkali ketika anak mulai bicara, kemajuannya akan
berlangsung sangat cepat. Tiba-tiba saja ia seperti menguasai banyak kosa kata.
Dengan segera misalnya, ia dapat menunjuk dan menyebutkan benda-benda yang
biasa dilihat atau dipegangnya, anggota tubuh atau menyebut nama orang-orang
yang selalu dekat dengannya. Pada usia dua tahun, ia mungkin akan menggunakan
kalimat yang terdiri dari dua sampai empat kata. Pada dasarnya, anak sudah
mengerti ucapan Anda sebelum ia bisa bicara. Ia sudah dapat merespon
permin-taan orang lain (misalnya perintah; “dorong bolanya ke sini”). Salah satu bentuk
32
dengan menganalisis percakapan yang dibuat oleh anak dengan orang dewasa atau
anak lain.
2.5 Pembelajaran Kemampuan Berbahasa di PAUD
Keberhasilan suatu sistem pengajaran bahasa ditentukan oleh tujuan yang realistis.
Artinya, sistem pengajaran tersebut dapat diterima oleh semua pihak karena
sara-na dan organisasi yan baik, intensitas pengajaran yang relatif tinggi, kurikulum
dan silabus yang tepat guna. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan kegiatan pembelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
men-capai tujuan pendidikan. Pembelajaran yang berlangsung di Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) dilengkapi dengan kurikulum yang di dalamnya terdapat
kom-petensi, sub komkom-petensi, substansi, dan indikator perkembangan yang akan
dica-pai anak yaitu berupa pembentukan perilaku melalui pembiasaan. Muatan
kuriku-lum tersebut mencakup beberapa aspek kompetensi yaitu perkembangan agama
dan moral atau nilai, perkembangan berbahasa, perkembangan kognitif, fisik, seni,
dan sosial emosional.
Kurikulum pada kemampuan berbahasa ialah keterampilan mendengarkan
(me-laksanakan perintah sekaligus, mengerti kata-kata yang ditujukan kepadanya, dan
mulai mengerti larangan), keterampilan menggunakan bahasa sesuai aturan
(menggunakan kalimat tanya dan kalimat sangkal ya atau tidak, mengajukan
per-tanyaan lebih banyak, minta dibacakan buku, menyebut nama benda dan
33
kejadian sederhana, menyebut nama diri dan jenis kelaminnya, dan dapat
menya-takan hak milik) (Kurikulum PAUD).
Kegiatan pembelajaran khususnya di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
memer-lukan pembelajaran yang mampu memberikan dorongan kepada peserta didik
un-tuk pembenun-tukan perilaku, membangun gagasan, dan berkomunikasi dengan baik.
Kegiatan pembelajaran tersebut dapat dilakukan di lingkungan sekolah maupun di
luar sekolah. Dalam hal ini, guru PAUD dituntut untuk mampu mengembangkan
kemampuan anak melalui bahasa yang sederhana secara tepat, berkomunikasi
se-cara efektif, dan membangkitkan minat anak untuk berbahasa Indonesia.
Berkait-an dengBerkait-an indikator yBerkait-ang mengharapkBerkait-an siswa dapat meminta dibacakBerkait-an buku
ce-rita, guru PAUD diharapkan dapat mengarahkan siswa PAUD untuk membuat
ka-limat meminta tidak hanya kaka-limat imperatif. Bisa saja meminta diungkapkan
34
III. METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Desain
deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki,
dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat
se-karang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Desain
deskriptif memusatkan perhatiannya pada fakta-fakta (fact finding) sebagaimana
keadaan sebenarnya (Nawawi, 1994: 73). Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam
keada-an sewajarnya atau sebagaimkeada-ana adkeada-anya (natural setting), dengan tidak dirubah
dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Nawawi, 1994: 174).
Pada penelitian ini data yang diperoleh tidak dituangkan dalam bentuk bilangan
atau angka statistik, melainkan dalam bentuk kualitatif yang dinyatakan dalam
kata-kata. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kualitatif karena
mendes-kripsikan penggunaan tindak tutur direktif pada anak usia dua tahun dan
implika-sinya pada pembelajaran kemampuan berbahasa di PAUD.
3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan anak usia dua tahun yang
35
Februari 2009 dan pada pengambilan data pertama sang anak berusia dua tahun
sepuluh bulan. Sang anak merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan
Suprapto dan Yanina Sari. Ia berkomunikasi sehari-hari dengan anggota keluarga
menggunakan bahasa Indonesia.
Data dalam penelitian ini berupa tindak tutur direktif yang dilakukan oleh subjek
penelitian. Data diperoleh dari tuturan-tuturan yang dihasilkan oleh subjek
peneli-tian dalam percakapan sehari-hari dengan mitra tuturnya. Mitra tutur yang
dihada-pinya adalah orangtua, kakak, teman, sebaya, serta orang lain yang mungkin
men-jadi sasarannya dalam bertindak tutur direktif.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pengumpulan data yang diusulkan oleh Sudaryanto (dalam Mahsun, 2005: 91),
yaitu teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap. Teknik simak
libat cakap ialah teknik yang digunakan dengan cara berpartisipasi sambil
menyi-mak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Ini berarti
peneliti juga berpartisipasi langsung di dalam percakapan yang terjadi. Teknik ini
merupakan teknik pengumpulan data yang paling sering dilakukan karena peneliti
merupakan kakak subjek sehingga subjek sering menjadikan peneliti sebagai mitra
tutur. Dengan demikian, peneliti terlibat secara aktif dalam percakapan tersebut.
Di samping ini juga digunakan teknik simak bebas libat cakap, di mana peneliti
ti-dak terlibat dalam percakapan (hanya menyimak saja). Teknik ini dikombinasikan
dengan teknik catatan lapangan. Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang
da-36
ta dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Teknik ini digunakan
un-tuk mencatat tindak tutur direktif dari sang anak. Peneliti menggunakan catatan
la-pangan agar data yang dikumpulkan dapat terorganisasi dengan baik.
Pelaksanaan teknik pengumpulan data ini didukung oleh alat-alat perekam,
teruta-ma berupa catatan lapangan lengkap dengan konteks, jaringan para pelaku, dan
aktivitas komunikasi yang melatari digunakannya kegiatan komunikasi yang
dila-kukan oleh subjek penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang
selengkap-lengkapnya berkenaan dengan strategi yang digunakan oleh subjek
da-lam kegiatan komunikasinya. Catatan lapangan yang dimaksud dada-lam penelitian
ini terdiri atas catatan deskriptif dan catatan reflektif. Catatan lapangan merupakan
alat bantu yang sangat penting digunakan oleh pengamat pada saat melakukan
pengamatan. Teknik ini digunakan untuk mencatat semua tuturan yang muncul
dari sang anak.
Catatan deskriptif berupa catatan tentang semua tuturan yang muncul pada saat
sang anak bertutur serta konteks yang melatarinya. Catatan reflektif adalah
inter-pretasi atau penafsiran peneliti terhadap tuturan tersebut atau komentar peneliti
se-cara ringkas terhadap fenomena-fenomena yang diamati. Penelitian dilakukan
sampai peneliti memperoleh data yang cukup. Data dikumpulkan secara natural
dengan beberapa tambahan untuk memancing subjek penelitian dalam
memuncul-kan suatu ujaran. Ketika subjek penelitian bercakap-cakap, peneliti mencatat
per-cakapan tersebut. Cara ini dilakukan terutama ketika peneliti sedang tidak terlibat
37
dekat. Tidak ada jadwal khusus untuk melakukan pengumpulan data. Data
diper-oleh ketika peneliti sedang berada di dekat subjek penelitian.
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1) Mencatat semua data alamiah atau ujaran spontan sang anak yang muncul
yang mengandung tindak tutur direktif.
2) Data yang didapat langsung dianalisis dengan menggunakan catatan
deskriptif dan catatan reflektif juga menggunakan analisis heuristik, yakni
analisis konteks. Analisis heuristik digunakan apabila terdapat tuturan yang
dituturkan sang anak dengan tindak tutur tidak langsung yang memiliki
38
5. Interpretasi Default
4.a. Pengujian Berhasil 4.b. Pengujian Gagal
3. Pemeriksaan 2. Hipotesis Gambar 2.1 Bagan Analisis Heuristik
1. Problem
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini berupa mengidentifikasi jenis tindak
tutur ilokusi dan fungsi tindak tutur ilokusi pada percakapan dengan merumuskan
hipotesis-hipotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data-data yang
terse-dia. Bila hipotesis sesuai dengan bukti-bukti kontekstual yang tersedia, berarti
pengujian berhasil, hipotesis diterima kebenarannya dan menghasilkan interpretasi
baku yang menunjukkan bahwa tuturan mengandung satuan pragmatik. Jika
peng-ujian gagal karena hipotesis tidak sesuai dengan bukti yang tersedia, mitra tutur
perlu membuat hipotesis baru untuk diuji kembali dengan data yang tersedia.
Pro-ses pengujian ini dapat berlangsung secara berulang-ulang sampai diperoleh
39
Contoh:
Tuturan pada contoh di atas termasuk sebuah kalimat pemberitahuan, tetapi
sete-lah diperiksa dengan menggunakan analisis heuristik dengan memasukkan
data-data direktif meminta sesuatu dengan tindak tutur tidak langsung. Maksud dari
tuturan tersebut, Salsa menyatakan kepada sang ibu bahwa terompet miliknya ru-1.Permasalahan
(interpretasi tuturan)
“Tu tan tala-tala Mbak Peta. Telompet Tatawiyah lusak”
2.Hipotesis
1. Salsa hanya menyatakan kepada sang ibu bahwa
terompet miliknya rusak.
2. Salsa hanya menyatakan kepada sang ibu bahwa yang
merusak terompet miliknya adalah temannya yang bernama Mega.
3. Salsa meminta sang ibu untuk membelikannya
terompet baru.
3.Pemeriksaan
1. Salsa hanya menyatakan kepada sang ibu bahwa
terompet miliknya rusak.
2. Salsa hanya menyatakan kepada sang ibu bahwa yang
merusak terompet miliknya adalah temannya yang bernama Mega.
3. Salsa meminta sang ibu untuk membelikannya
terompet baru.
4a. Pengujian 3 Berhasil
5. Interpretasi Default