POLA KEMITRAAN DI KABUPATEN MUSI RAWAS
PROPINSI SUMATERA SELATAN
SETYO YUWONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat
terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Kabupaten Musi Rawas
Propinsi Sumatera Selatan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Juni 2006
SETYO YUWONO. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan
Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan.
Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan HARDJANTO.
Pembangunan hutan rakyat pola kemitraan merupakan salah satu alternatif
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu sejak produksi kayu bulat dari hutan
alam menurun dengan mendayagunakan lahan-lahan di luar kawasan hutan yang
kurang produktif. Kemitraan dalam pembangunan hutan rakyat antara petani permilik
lahan dan perusahaan dikelola berdasarkan prinsip saling menguntungkan.
Perusahaan memerlukan bahan baku kayu secara berkesinambungan dan petani
pemilik lahan memerlukan bantuan modal, pengetahuan teknis dan kepastian
pemasaran.
Dalam pembangunan hutan rakyat tidak hanya menyangkut teknis silvikultur
saja tetapi juga menyangkut faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Oleh karena itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan rakyat perlu
adanya keterlibatan masyarakat yang dilandasi oleh tujuan memperoleh manfaat.
©Hak cipta milik Setyo Yuwono, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
POLA KEMITRAAN DI KABUPATEN MUSI RAWAS
PROPINSI SUMATERA SELATAN
SETYO YUWONO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SELATAN
Nama
: Setyo Yuwono
NIM
: P025014051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Dr. Ir. Hardjanto, M.S.
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Nopember 2005 ini adalah pembangunan hutan rakyat
pola kemitraan, dengan judul Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap
Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan Di Kabupaten Musi Rawas Propinsi
Sumatera Selatan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Hardjanto, M.S.
selaku Dosen Pembimbing.
2.
Pimpinan dan staf PT. Xylo Indah Pratama yang telah mengizinkan dan
membantu penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data
3.
Mas Agus Setyono, Mas Bambang Supriyanto, Mas Edi Cahyono dan
teman-teman di Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas yang membantu dalam
pengumpulan data
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri dan anak-anak
tercinta (Wulan, Yayas dan Tata) serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang
dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Juni 2006
Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 3 Oktober 1964 dari ayah Moch
Joesoef (alm) dan ibu Sri Mastuti. Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara.
Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Yogyakarta dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk UGM. Penulis memilih Fakultas Kehutanan dan
menamatkannya pada tahun 1988. Kesempatan untuk melanjutkan ke program
Magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada
Institu Pertanian Bogor pada tahun 2001.
DAFTAR TABEL ……….. x
DAFTAR GAMBAR ………. xi
DAFTAR LAMPIRAN ………. xii
I. PENDAHULUAN ………. 1
1.1. Latar Belakang ……….………. 1
1.2. Kerangka Pemiki ran ………. 5
1.3. Perumusan Masalah .……… 7
1.4. Tujuan Penelitian ………. 9
1.5. Kegunaan Penelitian ……… 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 10
2.1. Pengertian Hutan Rakyat …….. ..………. 10
2.2. Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan ……….…. 11
2.3. Pengertian Persepsi ….……….. 16
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi .……….. 17
2.5. Pengertian Partisipasi ……… ……… 18
2.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi ……… 21
III. METODE PENELITIAN ………..………. 22
3.1. Populasi dan Contoh .………..………. 22
3.2. Pengumpulan Data ………..………. 23
3.3. Batasan Operasional ……….. ……… 24
Karakteristik Umum Wilayah kabupaten Musi Rawas ………….…….… 36
Kependudukan ……….……….. 37
4.2. Gambaran Lokasi Penelitian ……….………. 38
Kecamatan BTS ULU ……….………… 39
Kecamatan Muara Kelingi ………..……….……….. 39
Kecamatan Jaya Loka ……….………… 40
4.3. Gambaran Petani Hutan Rakyat ………. 41
4.4. Gambaran Hutan Rakyat Pola Kemitraan ………..……… 43
Profil Perusahaan ……… 43
Pola Kemitraan ……….. 44
Pengelolaan Hutan Rakyat ………. 51
V. HASIL PENELITIAN ……….……… 58
5.1. Persepsi terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan ……….. 58
5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat….……… 59
5.3. Partisipasi pada Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan …………. 61
5.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat ……… 62
VI. PEMBAHASAN ……… 65
6.1. Persepsi terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan ……….. 65
6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat….……… 73
6.3. Partisipasi pada Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan …………. 81
6.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat ……… 86
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 97
DAFTAR PUSTAKA ……… .100
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Sebaran Penduduk Kabupaten Musi Rawas Menurut Jenis
Kelamin ……….. 37
2. Kondisi Desa Lokasi Penelitian di Kecamatan BTS Ulu ……….. 39 3. Kondisi Desa Lokasi Penelitian di Kecamatan Muara Kelingi …. 40 4. Kondisi Desa Lokasi Penelitian di Kecamatan Jayaloka ……….. 41 5. Jumlah Responden Berdasarkan Umur ………. 42 6. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan …….……... 43 7. Realisasi Pembangunan Hutan Rakyat dengan Pola Kemitraan
……… 54
8. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Persepsi ………….... 58 9. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor Persepsi …….. 59 10. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Partisipasi …………. 61 11. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-Faktor Partisipasi ….. 63 12. Persepsi Responden terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola
Kemitraan……….……….………….. 65
13. Persepsi Responden terhadap Lahan yang Dimanfaatkan Untuk
Hutan Rakyat ………...……….. 67
14. Persepsi Responden terhadap Manfaat Hutan Rakyat ………….. 69 15. Persepsi Responden terhadap Jenis Tanaman Hutan Rakyat …… 71 16. Persepsi Responden terhadap Pola Kemitraan ……….. 72 17. Analisa Ragam Faktor-Faktor Persepsi ………. 74 18. Partisipasi Responden pada Pembangunan Hutan Rakyat Pola
Kemitraan ………... 81
19. Partisipasi Responden dalam Kegiatan Perencanaan ……… 83 20. Partisipasi Responden dalam Aktivitas Kelompok Tani ……….. 84 21. Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Kegiatan Hutan
Rakyat ……… 85
22. Partisipasi Responden dalam Pengamanan, Evaluasi dan
Pemanfaatan Hasil ………. 86
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran ……….. 6
2. Peta Kabupaten Musi Rawas ………. ……….. 38 3. Tanaman Pulai Umur 2 Tahun pada Hutan Rakyat Pola
Kemitraan di Kecamatan BTS ULU ……….…. 55 4. Tanaman Pulai Umur 2 Tahun pada Hutan Rakyat Pola
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Karakteristik Responden …..……….. 105 2. Hasil Pengolahan Data Faktor-Faktor Persepsi ….……. ……….. 108 3. Hasil Pengolahan Data Faktor-Faktor Partisipasi ……….…. 110
4. Surat Perjanjian ……….…. 112
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah suatu negara dengan potensi sumberdaya hutan yang
sangat besar dan menyimpan keragaman hayati tertinggi di dunia. Di dalam hutan alam seluas 133,574 juta ha, tercatat ada sebanyak 500 spesies mamalia, 1.500
spesies burung, 10 ribu spesies pohon dan mewakili sekitar 10% hutan alam tropika humida di dunia (Na’iem 2004). Berdasarkan rekalkulasi penutupan lahan
Indonesia tahun 2005, kawasan hutan Indonesia seluas 133,574 juta ha terbagi dalam hutan konservasi selu as 19,876 juta ha, hutan lindung seluas 30,052 juta ha,
hutan produksi tetap seluas 35,259 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 25,656 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 22,732 juta ha (Dephut,
2005). Sumberdaya hutan tersebut sangat vital bagi perekonomian Indonesia, baik dalam penyediaan kayu untuk keperluan domestik maupun untuk ekspor yang
memberikan kontribusi 3,8 – 5,95 milyar US$ per tahun (Dephut 2003).
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin banyaknya industri perkayuan maka kebutuhan bahan baku kayu yang harus dipasok untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut semakin meningkat. Di sisi lain pasokan kayu bulat yang berasal dari hutan alam saat ini semakin menurun volumenya. Hal ini disebabkan oleh menyusutnya luas hutan alam yang dapat menyediakan bahan
baku kayu. Beberapa kegiatan yang ditengarai sebagai penyebab pengurangan luas hutan adalah (a) konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan sektor
lain misalnya untuk perkebunan dan transmigrasi; (b) pencurian kayu atau penebangan liar (illegal logging); (c) perambahan dan okupasi lahan serta
(d) kebakaran hutan (Dephut 2005). Hal ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara permintaan dan penyediaan bahan baku kayu sebagai bahan
baku industri. Pada saat ini kapasitas industri kayu diperkirakan sebesar 58,24 juta m3 per tahun, sementara itu potensi hutan alam dalam menyediakan bahan baku
Salah satu alternatif mengatasi masalah tekanan terhadap sumber daya hutan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu adalah dengan
memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif di luar kawasan hutan melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat (Dewi et al. 2004). Menurut Irawanti et al (2000) pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu model pengusahaan lahan milik masyarakat yang dapat menunjang kelangsungan hidup dan
kesejahteraan masyarakat, bahkan di beberapa tempat berfungsi sebagai tabungan yang akan menjadi basis untuk menopang kelanjutan kehidupannya. Hal ini karena hutan rakyat baru dapat memberikan kontribusi pendapatan kepada pemiliknya pada akhir daur, pada saat dipanen. Untuk jenis tanaman Sengon
setelah tanaman berumur 5-8 tahun dan setelah 8 tahun untu k tanaman Pulai.
Pembangunan hutan rakyat mempunyai prospek yang baik untuk
mengurangi tekanan terhadap sumber daya hutan, karena dalam pelaksanaannya melibatkan semua lapisan masyarakat, baik masyarakat petani, pengusaha maupun pemerintah. Beberapa alasan yang mendukung kegiatan pembangunan hutan rakyat antara lain adalah (Hayono 1996) :
(a) Kegiatan pembangunan hutan rakyat memberikan manfaat bagi masyarakat, baik manfaat yang langsung dirasakan berupa pemenuhan
kebutuhan kayu dan penyerapan tenaga kerja maupun manfaat yang secara tidak langsung dirasakan berupa peningkatan kesuburan tanah, penanggulangan erosi dan pengaturan tata air.
(b) Produksi kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat selama ini
menunjukkan peningkatan hasil yang cukup signifikan.
(c) Memiliki p angsa pasar yang cukup besar
(d) Bentuk hutan rakyat pada umumnya sudah dikenal masyarakat, namun tingkat pengelolaan dan pemanfaatannya masih belum optimal, baik
dari segi silvikultur maupun sosial ekonominya
(e) Tersedianya lahan yang dapat ditanami dengan hak kepemilikannya
Keberadaan hutan rakyat dewasa ini semakin menunjukkan peran yang sangat penting. Dalam bidang ekonomi hutan rakyat mampu men ingkatkan
pendapatan petani melalui diversifikasi komoditas, dalam bidang produksi kayu hutan rakyat mampu menyediakan produksi kayu alternatif dengan semakin menyusutnya produksi kayu dari hutan alam, dalam bidang ekologi hutan rakyat mampu memperbaiki kualitas lingkungan (Irawanti et al. 2000). Menurut Suharno
(2004) dalam Hardiyanto (2004) bahwa pada tahun 2004 diperkirakan kebutuhan kayu untuk industri nasional sebesar 42,3 juta m3, lebih dari 38% akan dipasok dari hutan tanaman, sisanya akan dipasok dari hutan alam 5,7 juta m3, hutan
rakyat 10,7 juta m3, kayu karet 7,5 juta m3 dan impor kayu bulat 2 juta m3.
Ada beberapa pola dalam pembangunan hutan rakyat, diantaranya adalah hutan rakyat pola kemitraan, yaitu hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama
masyarakat dan perusahaan swasta atau koperasi dengan insentif permodalan bunga ringan. Dasar pertimbangan pola kemitraan ini adalah pihak perusahaan perlu kontinuitas bahan baku kayu, sedangkan pihak masyarakat perlu bantuan modal kerja, sumberdaya manusia (SDM) yang menguasai teknologi dan
pengetahuan hutan rakyat dan kepastian pemasaran (Hidayat 2000).
Dengan mendasari pertimbangan itu, PT. Xylo Indah Pratama mencoba
melakukan kerjasama dengan masyarakat di Kabupaten Musi Rawas untuk membangun hutan rakyat pola kemitraan di Propinsi Sumatera Selatan. Hutan rakyat pola kemitraan PT. Xylo Indah Pratama dimulai pada tahun 1996 dengan jenis tanaman Pulai Gading (Alstonia Scholaris). Target penanaman sampai tahun
2005 dengan target 10.000 Ha yang tersebar pada beberapa desa di kabupaten Musi Rawas dan semua lahan yang diupayakan untuk hutan rakyat adalah milik rakyat (XIP 1996). Diharapkan dengan adanya pembangunan hutan rakyat itu pihak perusahaan mendapatkan pasokan bahan baku kayu pulai secara kontinyu.
Selain itu dengan adanya pembangunan hutan rakyat pola kemitraan diharapkan akan terjalin suatu interaksi yang harmonis antara PT. Xylo Indah Pratama dengan masyarakat sekitarnya. Interaksi yang harmonis ini tidak dapat diabaikan dalam pembangunan sekto r kehutanan, karena sangat disadari keberpihakan kepada rakyat merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan
Pelaksanaan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang mendukung maupun yang menghambat. Faktor tersebut
meliputi faktor sosial ekonomi dan budaya, faktor biofisik dan sistem silvikulturnya. Pembangunan hutan rakyat pola kemitraan akan berhasil apabila dalam pelaksanaannya dapat memanfaatkan faktor-faktor yang mendukung dan mengatasi faktor-faktor yang menghambatnya. Pembangunan hutan rakyat pola
kemitraan berhasil apabila (1) supply kayu bahan baku industri dapat terpenuhi secara berkesinambungan (2) kesejahteraan masyarakat meningkat (3) aspek konservasi/perlindungan lahan meningkat dan (4) produktifitas lahan meningkat (Hayono 1996).
Di samping itu masalah hutan rakyat tidak hanya menyangkut segi teknik silvikulturnya saja tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi. Hal ini perlu
disadari karena pembangunan hutan rakyat merupakan investasi jangka panjang, maka pemilik harus punya lahan lain seperti pekarangan, kebun atau sawah yang dapat memberikan pendapatan untuk membiayai kebutuhan keluarga sehari-hari. Lahan pekarangan dan sawah biasanya diusahakan untuk tanaman pertanian atau
tanaman semusim. Pendapatan dari tanaman inilah yang diandalkan untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga sehari-hari sehingga tidak seluruh lahan yang dimilikinya diusahakan untuk hutan rakyat.
Oleh karena itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan perlu adanya partisipasi dan kerjasama dengan masyarakat. Keterlibatan masyarakat harus dilandasi oleh tujuan memperoleh manfaat
sehingga akan memiliki makna bagi pembangunan dalam arti luas. Jika masyarakat memahami arti dan tujuan keterlibatannya maka akan sangat mempengaruhi persepsinya. Sebaiknya keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan harus mengandung unsur edukasi yaitu adanya perubahan persepsi
masyarakat terhadap kegiatan yang diikuti.
Persepsi yang ada pada masyarakat melandasi partisipasi masyarakat
terhadap kegiatan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan. Adanya persepsi positip dari masyarakat dapat dijadikan indikator bahwa kegiatan hutan rakyat
adanya partisipasi ini diharapkan dapat menunjang keberhasilan pembangunan hutan rakyat, karena dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan
keberhasilan tidak akan dapat dicapai tanpa adanya partisipasi masyarakat.
1.2. Kerangka Pemikiran
Dalam pembangunan kehutanan di Indonesia terjadi suatu ketimpangan dimana kebutuhan bahan baku kayu semakin meningkat, sedangkan hutan sebagai
penyedia utama kayu semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Dilain sisi di luar kawasan banyak terdapat lahan-lahan yang tidak produktif karena belum
dikelola secara optimal. Dengan kondisi tersebut, pengembangan hutan rakyat merupakan alternatif dalam mangatasi permasalahan pemenuhan persediaan
kebutuhan kayu dengan memanfaatkan lahan -lahan yang kurang produktif di luar kawasan hutan.
Dalam pembangunan hutan rakyat secara swadaya di Kabupaten Musi Rawas ada beberapa kendala yang dihadapi yang antara lain adalah (1) luas
lahannya terbatas dan tersebar, (2) terbatasnya modal, (3) terbatasnya pengetahuan teknis tentang hutan rakyat dan (4) terbatasnya pemasaran. Dengan melihat
kendala-kendala yang ada dan mendasari prinsip dari pola kemitraan maka di Kabupaten Musi Rawas dibangun hutan rakyat dengan pola kemitraan kerjasama
masyarakat pemilik lahan dan perusahaan swasta.
Adanya kegiatan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan memberikan
tanggapan yang berbeda-beda dari masyarakat sekitarnya. Terciptanya Persepsi negatip akan menjadi hambatan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Sebaliknya terciptanya persepsi yang positip akan memberikan gambaran bahwa kegiatan yang dijalankan mendapat dukungan masyarakat.
Persepsi positip dari masyarakat melandasi Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pembangunan hutan rakyat. Dengan adanya partisipasi masyarakat diharapkan dapat menunjang keberhasilan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan, karena partisipasi merupakan salah satu syarat dalam mencapai keberhasilan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan tersebut.
rakyat antara persepsi dan partisipasi tidak saling berkaitan. Oleh karena itu dalam penelitian ini persepsi dan partisipasi dikaji secara terpisah. Alur kerangka
pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
1.3. Perumusan Masalah
Sejak tahun 1996 di Kabupaten Musi Rawas diadakan kegiatan pembangunan hutan rakyat pola kemitraaan oleh PT. Xylo Ind ah Pratama untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku industri slate pensil dengan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif milik masyarakat di luar kawasan hutan.
Untuk mendapatkan hasil kayu berkualitas baik, maka dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat perlu ditunjang dengan kegiatan pemeliharaan yang
terdiri dari penyulaman, penyiangan dan pendangiran, pemupukan, pruning, penjarangan, dan pengendalian hama penyakit. Adanya penghentian pemberian
Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) dari Departemen Kehutanan mulai tahun 2000, padahal KUHR itu meliputi biaya penanaman dan pemeliharaan dan dalam
surat perjanjian biaya kegiatan pemeliharaan ditanggung perusahaan mitra., mengakibatkan perusahaan mitra mengalami keterbatasan pendanaan. Salah satu
pengaruhnya adalah kegiatan pemeliharaan tanaman tidak dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan rencana kegiatan yang disosialisasikan kepada
masyarakat pada awal pelaksanaan pembangunan hutan rakyat ini. Tidak semua tanaman yang mati akibat kebakaran atau penyebab lain dilakukan penyulaman;
pemupukan, penyiangan dan pendangiran yang seharusnya dilaksanakan sampai tanaman berumur 3 (tiga) tahun tidak dilaksanakan pada semua areal tanaman;
selain itu kegiatan penjarangan I dan II juga tidak dilaksanakan.
Dengan tidak dilaksanakannya kegiatan pemeliharaan hutan rakyat tersebut,
maka kondisi pertumbuhan tanamannya pada beberapa lokasil tidak optimal, bahkan ada beberapa lokasi yang terbengkalai tidak terawat. Hal ini menimbulkan
kekecewaan petani hutan rakyat yang menggantungkan pendapatan dari kegiatan hutan rakyat, baik yang berasal dari upah tenaga kerja maupun hasil penjualan
kayu hasil penjarangan. Selain itu menurut pertimbangan ekonomis produksi kayu pada akhir daur tidak layak karena menurunnya kualitas dan kuantitas hasil kayu.
perusahaan mitra dan petani cenderung mengabaikan tanaman hutan rakyat, bahkan di beberapa lokasi tanaman hutan rakyat jenis pulai dikonversi menjadi
tanaman karet atau tanaman pertanian lainnya.
Menurut Sadli (1976), emosional merupakan faktor pribadi yang dapat
memberikan persepsi yang berbeda. Persepsi seseorang terhadap suatu obyek akan positif apabila obyek tersebut sesuai dengan kebutuhannya, sebaliknya akan negatif apabila bertentangan dengan kebutuhan orang tersebut (Sugiyanto 1996). Persepsi merupakan hasil proses psikologi seseorang setelah menerima stimuli
yang mendorong tumbuhnya motivasi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan (Sudrajat 2003). Davis dalam Sastropoetro (1988), berpendapat bahwa partisipasi dalam suatu kegiatan tidak hanya keterlibatan fisik tetapi juga keterlibatan mental dan emosional. Slamet (1990) dalam Winarto (2003)
mengatakan bahwa partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya suatu program pembangunan. Dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan persepsi dan partisipasi masyarakat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilannya.
Adanya kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan ini dikhawatirkan akan mempengaruhi keberhasilan
pencapaian tujuan pembangunan hutan rakyat. Berdasarkan uraian di atas dan melihat nilai pentingnya persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap keberhasilan kegiatan pembangunan, maka yang menjadi pertanyaan/permasalahan dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan PT.
Xylo Indah Pratama, yaitu:
(a) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat pola kemitraan?
(b) Bagaimana partisipasi masyarakat dalam kegiatan hutan rakyat pola kemitraan?
(c) Faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat pola kemitraan?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
(a) Mengkaji persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat pola kemitraan dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat.
(b) Mengkaji partisipasi masyarakat dalam kegiatan hutan rakyat pola kemitraan dan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat.
1.5. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna sebagai :
(a). Bahan masukan bagi para pengambil kebijakan, pelaksana dan pengelola kegiatan pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan dalam
peningkatan keberhasilan dan pengembangan kegiatan hutan rakyat selanjutnya.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ADANYA LAHAN TIDAK PRODUKTIF DI LUAR KAWASAN HUTAN KAWASAN HUTAN RUSAK KEBUTUHAN KAYU MENINGKAT PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT KENDALA
1. Lahan sempit dan tersebar
2. Modal terbatas 3. SDM terbatas 4. Pemasaran terbatas HUTAN RAKYAT POLA KEMITRAAN PERSEPSI PARTISIPASI
HUTAN RAKYAT BERHASIL
1. Supply Kayu terpenuhi secara kontinyu 2. Kesejahteraan Masyarakat meningkat 3. Konservasi meningkat
4. Produktivitas lahan meningkat
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI 1. Persepsi Petani 2. Kelembagaan HR 3. Tokoh Masyarakat 4. Hak dan Kewajiban 5. Kebijakan
Pemerintah 6. Keaktifan 7. Status Sosial FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI 1. Umur
2. Pendid ikan 3. Penyuluhan 4. Pengalaman 5. Ekonomi 6. Pemahaman
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Hutan Rakyat
Pada mulanya hutan rakyat dikenal melalui program karangkitri yang
dibangun dengan tujuan untuk menghijaukan pekarangan, talun dan lahan-lahan rakyat yang gundul untuk konservasi tanah dan air serta perbaikan lingkungan
(Indrawati 2001). Hutan rakyat pada umumnya dikembangkan pada lahan kritis, lahan kering baik berupa tegalan maupun kebun atau lahan-lahan kurang produktif
pada daerah bergelombang atau dengan kelerengan rata-rata di atas 45 %. Namun dalam perkembangannya hutan rakyat tidak hanya dikembangkan di daerah kritis
tetapi juga diarahkan untuk mencapai sasaran peningkatan sosial ekonomi atau kesejahteraan masyarakat di pedesaan dan pemenuhan kebutuhan bahan baku
industri.
Hutan rakyat sering disebut dengan istilah hutan milik, karena hutan rakyat
merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan kepemilikan lahannya. Menurut peraturan perundang-undangan (UU no 5 tahun 1967 dan
penggantinya UU no 41 tahun 1999) pengertian hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini untuk membedakan
dengan hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Berdasarkan pengertian tersebut perbedaan hutan
rakyat dengan hutan negara dilihat berdasarkan status pemilikan tanah atau sifat dari obyek (tanah dan hutan), bukan berdasarkan pelaku atau subyek yang
mengelola hutan. Dengan demikian jika rakyat secara perorangan atau kelompok memperoleh hak guna usaha (misal HPH) hutannya tidak disebut sebagai hutan
rakyat (Suharjito 2000). Lebih lanjut dijelaskan, pengertian hutan rakyat sebagaimana tersebut menimbulkan konsekuensi-konsekuensi. (1) hutan yang
tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluarga petani sebagai suatu anggota kelompok masyarakat dan diklaim sebagai hutan negara tidak termasuk hutan
rakyat. (2) Hutan yang tumbuh di atas tanah milik dan diusahakan oleh orang kota yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal masih dapat dikategorikan
Batasan hutan rakyat lebih rinci lagi diberikan oleh Menteri Kehutanan sebagaimana tercantum pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor
49/Kpts-II/1997, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun I sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. Menurut Simon (1999) hutan rakyat adalah hutan yang
dibangun secara swadaya oleh masyarakat, ditujukan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya secara ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan rakyat dibangun di atas lahan milik atau di atas lahan bukan kawasan negara dikenal dengan istilah private forest, tree farming
atau wood lots.
Menurut Hardjanto dalam Suharjito (2000), hutan rakyat yang juga disebut
sebagai hutan milik merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan dengan kepemilikan lahan. Berkaitan dengan luas minimal hutan rakyat harus 0,25 Ha, maka keberadaan hutan rakyat di Jawa hanya sedikit yang bisa memenuhi kriteria sesuai dengan definisi hutan rakyat. Sedangkan Alrasyid
(1979) mendefinisikan hutan rakyat sebagai hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon, yang pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau oleh suatu badan usaha seperti koperasi dengan berpedoman kepada ketentuan yang sudah digariskan oleh
pemerintah.
2.2. Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan
Secara resmi definisi kemitraan telah diatur dalam Undang-Undang Usaha Kecil (UUUK) no 9 tahun 1995 yaitu kerjasama antara usaha kecil dengan usaha
menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan merupakan salah satu cara
dalam hubungan produksi yang hanya bisa dipraktekkan apabila paling tidak ada dua pihak yang melakukan kerjasama dalam satu satuan waktu tertentu yang
Menurut Puspitawati (2004) konsep kemitraan idealnya kedua belah pihak yang bermitra harus saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Kerjasama
kemitraan ada yang berjalan spontan berdasarkan saling membutuhkan, yang dilakukan secara insidentil dan untuk jangka waktu tertentu dan ada juga yang memang direkayasa oleh pemerintah berdasarkan kebijakan tertentu. Himbauan pemerintah yang cukup gencar bahkan disertai dengan fasilitas fisik maupun
kemudahan yang disediakan oleh pemerintah seperti kemudahan dalam mendapatkan kredit bank, telah mendorong pihak swasta untuk mengembangkan usahanya melalui hubungan kemitraan. Hal lain yang mendorong pihak swasta melaksanakan kemitraan adalah sulitnya memperoleh lahan untuk berproduksi,
sehingga secara perhitungan lebih efisien dengan mengontrak lahan petani daripada harus menginvestasikan dana yang cukup besar untuk penyediaan tanah
Dalam pembangunan hutan rakyat yang lestari, untuk menunjang keberhasilannya ditawarkan berbagai alternatif model, diantaranya adalah pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan, yaitu dengan cara membentuk kemitraan antara petani pemilik lahan dan pihak swasta sebagai perusahaan mitra.
Tujuannya antara lain adalah memberdayakan masyarakat sekitar hutan sebagai kekuatan ekonomi, meningkatkan kemampuan perekonomian masyarakat melalui kemandirian dalam mengelola usaha serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Hutan rakyat pola kemitraan dibangun oleh perusahaan di lahan milik masyarakat dan dikelola berdasarkan prinsip -prinsip kemitraan yang berazaskan
kelestarian, sosial, ekonomi dan ekologi. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah adanya saling membutuhkan dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak (Triyono 2004). Perusahaan memerlukan bahan baku kayu untuk industri secara berkesinambungan dan rakyat pemilik lahan memerlukan bantuan modal,
Meskipun demikian pemikiran untuk mengembangkan hutan rakyat dengan pola kemitraan juga tidak terlepas untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah
dalam bentuk pemberian insentif permodalan kredit dengan bunga ringan. Pemanfaatan kredit usaha hutan rakyat (KUHR) dari Departemen Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi (DR) untuk pembangunan hutan rakyat mengharuskan dibentuknya kemitraan antara kelompok tani dengan perusahaan
mitra. Dengan demikian baik perusahaan mitra maupun petani hutan rakyat diharapkan tidak menghadapi kesulitan dalam memasarkan kayu untuk pengembalian kredit usaha hutan rakyat tersebut.
Permodalan berupa KUHR disalurkan kepada petani dengan status pinjaman lunak dengan bunga 6 % selama 11 tahun dengan lingkup kegiatan perencanaan, persiapan lahan, pembuatan persemaian/pengadaan bibit, penanaman,
pemeliharaan tanaman, pengadaan sarana prasarana hutan rakyat, perlindungan dan pengamanan hutan rakyat dan pemungutan hasil/pemanenan (Dephut 1997).
Melalui pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan ini diharapkan pihak-pihak yang terkait langsung dalam pembangunan hutan rakyat dapat memperoleh manfaat yang diperoleh sekaligus (Dishut Jateng 2004), yaitu :
(1)Petani : - Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani
- Memperoleh bantuan modal melalui pinjaman dari pemerintah
- Memperoleh bimbingan teknologi dari mitra usaha dan pemerintah
(2)Mitra Usaha : - Mempunyai cadangan bahan baku kayu
- Memperoleh bantuan modal melalui pinjaman dari
pemerintah
(3)Pemerintah : - Salah satu program pemerintah dalam membangun hutan
lestari dapat terealisasi
Menurut Irawanti et al. (2000), dalam penggunaan KUHR ada dua bentuk
sehingga semua kegiatan fisik lapangan dari penanaman sampai pemanenan dilaksanakan oleh mitra sendiri. Hal ini dikarenakan pemahaman atau penguasaan
petani terhadap teknik penyediaan dan pembuatan bibit, penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemanenan sangat terbatas, di samping petani juga memiliki keterbatasan dalam permodalan. (2) Petani diberi kebebasan untuk memilih jenis tanaman yang biasa dibudidayakan oleh mereka secara turun temurun atau secar a
tradisional. Apabila petani telah menguasai teknis dan ekonomis budidaya tanaman tersebut maka peluang untuk gagal dapat diminimalkan. Dalam kedua model tersebut terdapat unsur niat baik perusahaan mitra untuk menolong petani dimana mitra tidak membuka peluang untuk memotong kredit yang menjadi hak
petani. Lebih lanjut dijelaskan, apabila seluruh kredit secara tunai diberikan kepada petani maka peluang gagal dalam membangun hutan rakyat sangat besar sebab hasil dari hutan rakyat diperoleh dalam jangka waktu yang lama (sesuai keketentuan KUHR adalah 11 tahun).
Pembangunan hutan rakyat pola kemitraan ditempuh dengan beberapa pola pemanfaatan lahan, yaitu (1) tanaman kayu dikembangkan di sekeliling lahan
sebagai tanaman pagar / batas dan di tengahnya diusahakan tanaman semusim, (2) tanaman kayu dikembangkan di seluruh hamparan lahan tetapi menggunakan jarak tanam relatif lebar agar dapat dikombinasikan dengan tanaman semusim, (3) tanaman kayu dikembangkan di seluruh hamparan lahan, pada tahun pertama
dan kedua ditanam dengan sistem tumpangsari kemudian pada tahun-tahun berikutnya dilakukan penjarangan dimana hasil kayunya sudah dapat dijual. (Irawanti et al. 2000). Untuk tanaman yang dikembangkan sebagai tanaman pagar/batas, kontrak kerjasama antara perusahaan mitra dengan petani dihitung
berdasarkan jumlah pohon, tetapi dalam mendapatkan kredit KUHR yang berdasarkan perhitungan persatuan luas (hektar), maka dalam perhitungannya jumlah pohon dikonversikan ke satuan luas dengan jumlah pohon 1.650 setiap ha atau jarak tanam 2 x 3 m.
Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan sebagaimana dalam Surat Keputusan nomor 02/Kpts/V/1997 jenis tanaman yang dikembangkan untuk kegiatan usaha hutan rakyat adalah jenis tanaman yang
(Paraserianthes falcataria), Acacia mangium, Acacia auriculiformis, Gmelina
arborea, Pulai (Alstonia sp), Jabon (Anthocerphalus cadamba), Suren, Rotan, bambu, Kayu bawang, Karet dan sebaginya. Menurut Widiarti (2002), jenis komoditas dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan di Jawa Barat antara lain adalah bambu dan sengon. Pemilihan jenis komoditas ini disesuaikan dengan keinginan masyarakat dan pertimbangan keadaan tempat tumbuh serta
perkiraan pasar yang akan menampung. Hal nampak bahwa di daerah setempat sudah banyak yang mengusahakan jenis tanaman tersebut. Di Jawa Tengah jenis yang banyak dikembangkan adalah Sengon, Gmelina, Mahoni, Jati. Hal ini disebabkan di Jawa Tengah banyak terdapat industri pengolahan kayu sengon
sehingga mudah dalam hal pemasaran (Dishut Jateng 2004).. Di Kabupaten Wonogiri yang dikembangkan adalah jenis Jati dan Mahoni, karena jenis tersebut yang dapat tumbuh bagus di lahan yang berbatu sebagaimana kondisi Kabupaten Wonogiri. Di Sumatera Selatan jenis tanaman yang dikembangkan dalam kegiatan
pembangunan hutan rakyat pola kemitraan adalah jenis Sengon, Acacia dan Pulai (Irawanti et al. 2000)
Keberhasilan pembangunan hutan rakyat tidak hanya diukur oleh keberhasilan tanaman tetapi juga diukur dalam pemanfaatan hasilnya yaitu oleh adanya kepastian pasar bagi hasil hutan rakyat. Dalam kemitraan di Jawa Barat, mitra usaha hutan rakyat umumnya baru bersifat menjanjikan pemasarannya, tidak
menjamin akan menampung seluruh hasil produksi. Bahkan petani dibebaskan bila ada yang ingin menjual kepada pihak luar (Widiarti 2002). Hal ini mengandung sisi positif dan negatif, yaitu apabila pemasaran dengan pihak luar lancar dan harga bagus, maka petani akan diuntungkan, sebaliknya apabila belum
ada industri yang menampung maka petani akan mengalami kerugian. Berbeda dengan di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, pengembangan hutan rakyat diprakarsai oleh perusahaan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang telah memiliki pembeli tetap. Hal ini menjamin adanya
kepastian dalam pemasaran hasil hutan rakyat.
2.3. Pengertian Persepsi
Persepsi adalah suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang
mengenai sesuatu yang diinformasikan kepadanya (Dyah 1983). Vredentbergt (1974) dalam Sattar (1985) mengemukakan bahwa persepsi berhubungan dengan keadaan jiwa seseorang, dimana persepsi adalah cara seseorang mengalami obyek dan gejala-gejala melalui proses yang selektif. Selanjutnya dikatakan dengan
melalui proses yang selektif terhadap rangsangan dari suatu obyek atau gejala tertentu, seseorang akan mempunyai suatu tanggapan terhadap obyek atau gejala yang dialaminya. Sebagai proses, persepsi merupakan proses membangun kesan dan membuat penilaian. Berkaitan dengan itu, menurut Biran dalam Sudrajat
(2003) persepsi merupakan proses psikologi yang berlangsung pada diri kita sewaktu mengamati berbagai hal yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Sudrajat (2003) persepsi merupakan produk atau hasil proses psikologi yang dialami seseorang setelah menerima stimuli, yang mendorong
tumbuhnya motivasi untuk memberikan respon atau melakukan/tidak melakukan sesuatu kegiatan. Persepsi dapat berupa kesan, penafsiran atau penilaian
berdasarkan pengalaman yang diperoleh. Dalam hubungan ini, persepsi merupakan hasil dari suatu proses pengambilan keputusan tentang pemahaman
seseorang kaitannya dengan suatu obyek, stimuli atau individu yang lain. Kesan tentang stimuli tersebut dapat dipandang sebagai pengalaman tentang obyek,
peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat 1985).
Sattar (1985) menjelaskan pengertian dari persepsi adalah penilaian, pengelihatan atau pandangan seseorang melalui proses psikologi yang selektif
terhadap suatu obyek atau segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Sebagai suatu kesatuan psikologi, persepsi dapat
mempengaruhi konsepsi individu dan berpengaruh langsung terhadap perubahan perilakunya. Perilaku seseorang tidak dapat dilepaskan dari persepsi orang
tersebut terhadap tindakan yang dilakukannya. Persepsi seseorang terhadap suatu obyek akan positif apabila obyek tersebut sesuai dengan kebutuhannya,
Menurut Muchtar (1998), persepsi adalah proses penginderaan dan penafsiran rangsangan suatu obyek atau peristiwa yang diinformasikan, sehingga
seseorang dapat memandang, mengartikan dan menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungan dimana ia berada, sehingga ia dapat menentukan tindakannya.
Menurut Kayam (1985) dalam Sugiyanto (1996), persepsi adalah pandangan seseorang terhadap suatu obyek sehingga individu tersebut memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan
berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. Kunci pemahaman terhadap persepsi masyarakat pada suatu obyek, terletak pada pengenalan dan penafsiran unik terhadap obyek pada suatu situasi tertentu dan bukan sebagai suatu pencatatan terhadap situasi tertentu tersebut (Sugiyanto 1996).
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Menurut Sadli (1976) ada empat faktor yang dapat mempengaruhi persepsi
seseorang, yaitu :
(1) Faktor obyek rangsangan
Ciri khas dari faktor ini terdiri dari :
(a) Nilai, yaitu ciri-ciri dari rangsangan seperti nilai bagi subyek yang
mempengaruhi cara rangsangan tersebut di persepsi.
(b) Arti emosional, yaitu sampai seberapa jauh rangsangan tertentu merupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi individu yang bersangkutan.
(c) Familiaritas, yaitu pengenalan yang berkali-kali dari suatu rangsangan yang mengakibatkan rangsangan tersebut di persepsi lebih akurat. (d) Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran
seseorang mengenaii rangsangan tersebut.
(2) Faktor Pribadi
(3) Faktor Pengaruh Kelompok
Dalam suatu kelompok manusia, respon orang lain akan memberikan arah terhadap tingkah laku seseorang.
(4) Faktor latar belakang kultural
Orang dapat memberikan suatu persepsi yang berbeda terhadap obyek karena latar belakang kultural yang berbeda.
Menurut Sattar (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kegiatan reboisasi dan penghijauan adalah (1) Pendidikan,
(2) Sosial Ekonomi, (3) Sosial Budaya dan (4) Penyuluhan. Sedangkan Mar’at (1984) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah (1) pengalaman, (2) proses belajar, (3) cakrawala, dan (4) pengetahuan. Manusia mengamati obyek psikologik dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai
oleh nilai kepribadiannya. Obyek psikologik ini dapat berupa kejadian, ide atau situasi tertentu. Faktor pengalaman dan proses belajar memberikan bentuk dan
struktur terhadap apa yang dilihat, sementara faktor pengetahuan dan cakrawala memberikan arti terhadap obyek psikologik tersebut.
Sarwono (1992) mengemukakan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu obyek dipengaruhi oleh kebudayaan (termasuk di dalam adat istiadat) dan umur.
Persepsi terhadap informasi yang disampaikan tergantung pada individu yang menerimanya. Bagaimana individu menafsirkan informasi yang diterima
tergantung pada pendidikan, pekerjaan, pengalaman dan kerangka pikirnya.
2.5. Pengertian Partisipasi
Partisipasi sering disinonimkan dengan peran serta atau keikutsertaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan.
Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988) mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong untuk bersedia memberikan sumbangan bagi tercapainya tujuan
(a) Bahwa partisipasi itu sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan emosional, lebih dari semata-mata atau hanya keterlibatan jasmaniah atau
fisik.
(b) Kesediaan memberikan sumbangan kepada usaha untuk mencapai tujuan
kelompok, ini berarti bahwa terdapat rasa senang dan sukarela untuk membantu kegiatan kelompok.
(c) Tanggung jawab yang merupakan segi yang menonjol dari anggota karena semua orang yang terlibat dalam suatu organisasi mengharapkan agar kelompok itu tujuannya tercapai dengan baik.
Dengan demikian maka partisipasi tidak hanya melibatkan unsur fisik saja
tetapi lebih dari itu adalah keterlibatan psikis. Untuk dapat berpartisipasi diperlukan keterlibatan total, karena partisipasi yang diperlukan tidak hanya
berorientasi vertikal atau hanya mau melakukan sesuatu kalau ada perintah dari atasan, tetapi partisipasi yang bersifat aktif. Partisipasi aktif memerlukan
kesadaran mental masyarakat tentang sesuatu hal yang memerlukan keterlibatannya.
Soekanto (1982) mendefinisikan partisipasi sebagai suatu proses identifikasi diri seseorang untuk menjadi peserta dalam suatu proses kegiatan bersama dalam
suatu situasi sosial tertentu. Sedangkan menurut Cohen dan Uphoff (1977), partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara kerjanya; keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program dan keputusan yang telah
ditetapkan melalui sumbangan sumberdaya atau bekerja sama dalam suatu organisasi; keterlibatan masyarakat menikmati manfaat dari pembangunan serta
dalam evaluas pelaksanaan program.
Raharjo (1983) memberikan pendapatnya bahwa berpartisipasi adalah
keikutsertaan suatu kelompok masyarakat dalam program-program pemerintah. Program pemerintah merupakan program yang ditujukan kepada masyarakat desa.
Dalam kaitan ini maka masyarakat tidak hanya menerima saja tetapi dapat membantu proses pelaksanaannya. Dalam berpartisipasi mengandung makna
Sejalan dengan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat sebagai partisipan aktif, Sihombing (1980) mengemukakan bahwa dalam konteks pembangunan,
partisipasi bukan semata-mata “kebaikan hati” para elit pengambil keputusan, akan tetapi partisipasi adalah hak dasar yang sah dari umat manusia untuk turut serta merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan yang menjanjikan harapannya.
Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan, namun tidak berarti bahwa partisipasi hanya sebatas keikutsertaan masyarakat dalam
pelaksanaan kegiatan pembangunan. Hal ini sejalan dengan pendapat Swasono (1995) bahwa partisipasi tidaklah hanya tahap pelaksanaan pembangunan saja, tetapi meliputi seluruh spektrum pembangunan tersebut yang dimulai dari tahap menggagas rencana kegiatan hingga memberikan umpan balik terhadap gagasan
rencana yang telah dilaksanakan.
Pengertian partisipasi oleh banyak ahli diartikan sebagai peranserta
masyarakat dalam suatu kegiatan, yang bila dikaitkan dengan pembangunan, maka akan merupakan upaya peran serta dalam pembangunan. Slamet (1990) dalam Winarto (2003) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya suatu program pembangunan. Dapat dikatakan bahwa tanpa adanya
partisipasi masyarakat maka setiap pembangunan akan kurang berhasil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan akan melalui suatu proses belajar. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mengetahui kesempatan-kesempatan
berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan seringkali kemampuan dan ketrampilan mereka masih perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut. Menurut Laode (1981) dalam Winarto (2003) menyatakan bahwa kesempatan, kemampuan dan kemauan mutlak harus ada
dalam keseimbangan. Apabila salah satu faktor tersebut tidak tercakup maka partisipasi tidak akan sempurna.
Menurut Goldsmith dan Blustain dalam Winarto (2003) masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika (1) partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah
bersangkutan, (3) manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat, dan (4) dalam proses partisipasi itu dijamin
adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat.
2.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Sastropoetro (1988) berpendapat bahwa secara umum faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan adalah
(1) keadaan sosial masyarakat, (2) kegiatan program pembangunan, (3) keadaan alam sekitar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadaan sosial masyarakat berupa
pendidikan, pendapatan, kebiasaan, kepemimpinan, keadaan keluarga, kemiskinan, kedudukan sosial dan sebagainya. Bentuk program pembangunan
merupakan kegiatan yang dirumuskan serta dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi kemasyarakatan dan tindakan-tindakan kebijaksanaan.
Sedangkan keadaan alam sekitar adalah faktor fisik daerah yang ada pada lingkungan tempa hidup masyarakat.
Menurut Tarigan (1993 ) partisipasi masyarakat dalam penghijauan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (1) penyuluhan, (2) keterlibatan dalam
organisasi formal, (3) keterlibatan tokoh masyarakat, dan (4) perilaku tradisional.
Berdasarkan penelitian Sunartana (2003) mengemukakan bahwa
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi anggota dalam kelompok pengelola dan pelestari hutan antara lain adalah (1) Status sosial, (2) Kekosmopolitan,
(3) Pengalaman berorganisasi, dan (4) Kejelasan hak dan kewajiban.
Suyatna (1982) menyebutkan bahwa faktor yang berpengaruh dalam
partisipasi adalah faktor individu sebagai sasaran pembaharuan dan faktor sistem penyuluhan pembinaan. Menurut Hubeis (1989) aktif atau tidaknya masyarakat
berperan serta dalam pembangunan akan sangat dip engaruhi oleh beragam faktor yang bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnnya. Keragaman ini dipengaruhi oleh faktor geografi, ekologi, ekonomi, sosial budaya dan faktor kedisiplinan partisipan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Contoh
Obyek yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah petani peserta kemitraan dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan dengan PT. Xylo Indah Pratama di Kabupaten Musi Rawas yang melingkupi 9 (sembilan) desa pad a 3 (tiga) kecamatan, yaitu kecamatan BTS Ulu (meliputi desa SP 9 Bangun Jaya,
SP 5 Suka Makmur dan SP 7 Kota Baru), Kecamatan Muara Kelingi (meliputi desa Beliti 3 E, Lubuk Tua dan desa Remayu) dan Kecamatan Jayaloka (meliputi desa Ngestiboga I, Ciptodadi dan desa Sidodadi).
Pengambilan contoh dalam penelitian ini menggunakan Pengambilan
Contoh Tiga Tingkat (three stage sampling). Satuan contoh tingkat pertama adalah kecamatan, satuan contoh kedua adalah desa dan satuan contoh ketiga adalah rumah tangga peserta hutan rakyat pola kemitraan. Penentuan kecamatan dan desa terpilih dilakukan secara purposive sampling atau contoh yang diarahkan
dengan memperhatikan beberapa kriteria.
(1) Tingkat kecamatan; Pada satuan contoh tingkat pertama, dari 6 (enam) Kecamatan di Kabupaten Musi Rawas yang menjadi lokasi kegiatan hutan rakyat pola kemitraan diambil 3 (tiga) kecamatan terpilih dengan
memperhatikan luasan lahan milik petani yang dikelola dengan hutan rakyat pola kemitraan Kecamatan yang terpilih adalah kecamatan yang memiliki keseluruhan luas lahan milik petani yang dikelola dengan hutan rakyat pola kemitraan yang terluas. Kecamatan terpilih ini adalah Kecamatan BTS Ulu, Kecamatan Muara Kelingi dan Kecamatan Jayaloka.
(2) Tingkat desa; Satuan contoh tingkat kedua diambil 3 (tiga) desa yang masing-masing berada di tiga kecamatan terpilih. Penentuan desa contoh berdasarkan kriteria jumlah petani yang menjadi peserta hutan rakyat pola
kemitraan. Desa yang terpilih adalah desa yang memiliki jumlah petani peserta hutan rakyat pola kemitraan yang paling banyak. Berdasarkan
Kota Baru, di kecamatan Muara Kelingi diambil 3 desa terpilih yaitu desa Beliti 3 E, Lubuk Tua dan desa Remayu, dari 5 desa di Kecamatan Jayaloka
dipilih 3 desa yaitu desa Ngestiboga I, Ciptodadi dan desa Sidodadi.
(3) Untuk pengambilan contoh tingkat tiga, menurut Arikunto (2000), apabila jumlah populasi lebih dari 100 atau besar, jumlah contoh yang dapat diambil adalah 10 – 15 % dari populasi tersebut, maka jumlah petani contoh
(responden) dalam penelitian ini adalah sebesar 15 % dari keseluruhan jumlah petani peserta hutan rakyat pola kemitraan dari desa-desa terpilih. Penentuan jumlah petani contoh untuk masing-masing desa terpilih proporsional dengan masing-masing jumlah petani peserta pada desa-desa
terpilih tersebut. Sedangkan penentuan petani peserta hutan rakyat pola kemitraan yang dijadikan contoh dipilih secara acak (random).
Jumlah populasi dari 9 desa terpilih berjumlah 968 orang yang terinci desa SP 9 Bangun Jaya 112 orang, SP 5 Suka Makmur 75 orang, SP 7 Kota Baru
66 orang, desa Beliti 3 E 297 orang, desa Lubuk Tua 178 orang, desa Remayu 13 orang, Ngestiboga I 169 orang , desa Ciptodadi 30 dan desa Sidodadi 28 orang .
Jumlah contoh yang diambil dari 968 orang populasi adalah 149 orang yang
meliputi desa SP 9 Bangun Jaya 17 orang, SP 5 Suka Makmur 12 orang, SP 7 Kota Baru 10 orang, desa Beliti 3 E 45 orang, desa Lubuk Tua 27 orang, desa Remayu 2 orang, Ngestiboga I 26 orang , desa Ciptodadi 5 dan desa Sidodadi 5 orang .
3.2. Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang ditunjang dengan
penelitian pustaka. Dengan demikian terd apat 2 (dua) jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer dikumpulkan dari hasil pengamatan di lapangan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara langsung dengan petani
Data sekunder dikumpulkan dengan teknik pencatatan dokumen pada instansi-instansi terkait seperti Dinas Kehutanan, Pemerintah Daerah, Perusahaan
atau hasil penelitian/laporan diantaranya adalah data tentang luas wilayah, kependudukan, realisasi dan sebaran hutan rakyat, petani hutan rakyat dan lain -lain
3.3. Batasan Operasional
Untuk menghindarkan adanya kesimpang siuran pengertian terhadap variabel yang akan dipelajari dalam penelitian ini, berikut ini disampaikan batasan
operasional dan pengertian dari variabel-variabel tersebut :
(1) Persepsi, adalah Penilaian dan pandangan masyarakat petani terhadap kegiatan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan oleh PT. Xylo Indah Pratama, diukur berdasarkan jumlah skor dari pertanyaan tentang :
(a) Penilaian terhadap lahan yang dimanfaatkan untuk hutan rakyat (b) Penilaian terhadap manfaat hutan rakyat
(c) Penilaian terhadap jenis tanamann hutan rakyat (d) Penilaian terhadap pola kemitraanhutan rakyat
Pertanyaan masing-masing penilaian berjumlah 4 buah item dan dengan indeks skor jenjang 3, maka masing-masing penilaian mempunyai skor terendah (4) dan skor tertinggi (12) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori berikut :
a. Lebih dari 9 (tinggi ) b. Antara 7 – 9 (sedang) c. Kurang dari 7 (rendah)
Sedangkan untuk nilai tingkat persepsi secara keseluruhan dilakukan dengan
menjumlahkan 16 item pertanyaan, sehingga diperoleh skor terendah (16) dan skor tertinggi (48) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. Lebih dari 37 (tinggi )
(2) Partisipasi, adalah peran serta atau keikutsertaan masyarakat/petani dalam kegiatan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan yang dilaksanakan oleh
PT. Xylo Indah Pratama, diukur berdasarkan jumlah skor dari pertanyaan tentang :
(a) Partisipasi dalam kegiatan perencanaan
(b) Partisipasi dalam aktivitas kelompok tani hutan rakyat
(c) Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharan dan pelatihan hutan rakyat
(d) Partisipasi dalam pengamanan, evaluasi kegiatan dan pemanfaatan hasil Pertanyaan partisipasi pada masing -masing tahap kegiatan berjumlah 4 buah
item dan dengan indeks skor jenjang 3, maka partisipasi pada masing-masing tahap kegiatan mempunyai skor terendah (4) dan skor tertinggi (12) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori berikut :
a. Lebih dari 9 (tinggi )
b. Antara 7 – 9 (sedang) c. Kurang dari 7 (rend ah)
Sedangkan untuk nilai tingkat partisipasi secara keseluruhan dilakukan dengan menjumlahkan 16 item pertanyaan dan dengan indeks skor jenjang
3, maka diperoleh skor terendah (16) dan skor tertinggi (48) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebag ai berikut :
a. Lebih dari 37 (tinggi ) b. Antara 26 – 37 (sedang)
c. Kurang dari 26 (rendah)
(3) Umur, adalah usia responden pada saat penilaian dilakukan. Umur diukur dalam satuan tahun yang dihitung dari hari kelahiran dan dibulatkan ke hari ulang tahun terdekat, dengan kategori sebagai berikut :
a. Antara 15 – 49 tahun (Umur Produktif / Tinggi)
b. Antara 50 – 65 tahun (Umur Kurang Produktif / Sedang)
Berdasarkan indeks skor jenjang 3, maka skor terendah (1) dan skor tertinggi (3) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. 3 (tinggi) b. 2 (sedang) c. 1 (rendah)
(4) Pendidikan, adalah tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti responden, diukur dengan kategori sebagai berikut:
a. Lebih dari 9 tahun (tamat SLTA / tinggi)
b. Antara 6 - 9 tahun (tamat SLTP atau tamat SD / sedang) c. Kurang dari 6 tahun (tidak tamat SD / rendah)
Berdasarkan indeks skor jenjang 3, maka skor terendah (1) dan skor tertinggi (3) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. 3 (tinggi) b. 2 (sedang)
c. 1 (rendah)
(5) Penyuluhan, adalah kegiatan pembinaan dan penyampaian informasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan / Perusahaan (PT. Xylo Indah Pratama) yang bertujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan pandangan masyarakat, diukur berdasarkan jumlah skor dari pertanyaan tentang :
(a) Intensitas kegiatan penyuluhan
(b) Kesesuaian materi penyuluhan dengan kegiatan hutan rakyat kemitraan (c) Kesesuaian metode penyuluhan dengan latar belakang masyarakat
Dengan pertanyaan berjumlah 9 buah item dan dengan indeks skor jenjang 3, maka skor terendah (9) dan skor tertinggi (27) dan selanjutnya
dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
(6) Pengalaman, adalah pengalaman responden yang berhubungan dengan kegiatan pembangunan hutan rakyat, diukur berdasarkan jumlah skor dari
pertanyaan tentang :
(a) Pengalaman dengan kegiatan hutan rakyat
(b) Kesesuaian pengelolaan hutan rakyat dengan latar belakang masyarakat (c) Wawasan atau pengetahuan tentang hutan rakyat
Dengan pertanyaan berjumlah 4 buah item dan dengan indeks skor jenjang 3, maka skor terendah (4) dan skor tertinggi (12) dan selanjutnya
dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. Lebih dari 9 (tinggi )
b. Antara 7 – 9 (sedang) c. Kurang dari 7 (rendah)
(7) Ekonomi, adalah keadaan ekonomi dari responden, diukur berdasarkan jumlah skor dari pertanyaan tentang :
(a) Besarnya penghasilan yang berasal dari kegiatan hutan rakyat dan non hutan rakyat
(b) Luas lahan yang dimiliki dan yang dipergunakan untuk hutan rakyat (c) Kondisi rumah yang ditempati oleh responden
Dengan pertanyaan berjumlah 4 buah item dan dengan indeks skor jenjang 3, maka skor terendah (4) dan skor tertinggi (12) dan selanjutnya
dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. Lebih dari 9 (tinggi ) b. Antara 7 – 9 (sedang) c. Kurang dari 7 (rendah)
(8) Pemahaman program, adalah pemahaman responden tentang dasar dan tujuan kegiatan pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan yang dilaksanakan oleh PT. Xylo Indah Pratama di Kabupaten Musi Rawas.
Dengan pertanyaan berjumlah 6 buah item dan dengan indeks skor jenjang
a. Lebih dari 14 (tinggi ) b. Antara 10 – 14 (sedang)
c. Kurang dari 10 (rendah)
(9) Kelembagaan Hutan Rakyat, adalah keberadaan dan peranan kelompok tani hutan rakyat diukur berdasarkan jumlah skor dari item pertanyaan tentang :
(a) Penilaian terhadap keberadaan kelompok tani hutan rakyat (b)Penilaian terhadap manfaat adanya kelompok tani hutan rakyat
(c) Penilaian terhadap perlunya keterlib atan dalam kelompok tani
Dengan pertanyaan berjumlah 8 buah item dan dengan indeks skor jenjang
3, maka skor terendah (8) dan skor tertinggi (24) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. Lebih dari 18 (tinggi ) b. Antara 13 – 18 (sedang)
c. Kurang dari 13 (rendah)
(10) Tokoh Masyarakat, adalah keterlibatan tokoh masyarakat dalam kegiatan pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan diukur berdasarkan jumlah skor dari pertanyaan tentang :
(a) Keberadaan perangkat desa / tokoh masyarakat sebagai panutan bagi masyarakat
(b)Aktivitas perangkat desa / tokoh masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat
Dengan pertanyaan berjumlah 5 buah item dan dengan indeks skor jenjang 3, maka skor terendah (5) dan skor tertinggi (15) dan selanjutnya
dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
(11) Hak dan Kewajiban, adalah pengetahuan dan kejelasan responden terhadap hak dan kewajiban yang tertuang dalam perjanjian kerja dengan
perusahaan mitra dalam pengelolaan hutan rakyat, diukur berdasarkan jumlah skor dari pertanyaan tentang :
(a) Pemahaman tentang kejelasan hak dan kewajiban dalam kontrak kerja (b) Pemahaman tentang batas-batas kewenangan
(c) Pemahaman isi perjanjian kerjasama menguntungkan kedua belah pihak
Dengan pertanyaan berjumlah 5 buah item dan dengan indeks skor jenjang
3, maka skor terendah (5) dan skor tertinggi (15) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. Lebih dari 11 (tinggi ) b. Antara 8 – 11 (sedang)
c. Kurang dari 8 (rendah)
(12) Kebijakan Pemerintah, adalah pemahaman responden yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaaan hutan rakyat diukur berdasarkan jumlah skor dari item pertanyaan tentang :
(a) Pemahaman bahwa pembangunan hutan rakyat merupakan program pemerintah
(b)Pemahaman bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat tergantung pada partisipasi masyarakat
(c) Pemahaman bahwa pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat
(d)Pemahaman tentang keberadaan dan peran pemerintah dalam pengelolaan hutan rakyat.
Dengan pertanyaan berjumlah 5 buah item dan dengan indeks skor jenjang 3, maka skor terendah (5) dan skor tertinggi (15) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. Lebih dari 11 (tinggi )
(13) Keaktifan, adalah keaktifan responden dalam mencari informasi yang terkait dengan kehutanan, khususnya hutan rakyat, di luar sistem sosial
dalam satu tahun terakhir diukur berdasarkan jumlah skor dari pertanyaan tentang :
(a) Frekuensi kunjungan ke luar daerah (b) Frekuensi kontak dengan sumber informasi
(c) Frekuensi membaca dan mendengar informasi media (d) Frekuensi mengikuti pertemuan
(e) Frekuensi kehad iran terhadap undangan pelatihan/kursus hutan rakyat
Dengan pertanyaan berjumlah 6 buah item dan dengan indeks skor jenjang
3, maka skor terendah (6) dan skor tertinggi (18) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. Lebih dari 14 (tinggi ) b. Antara 10 – 14 (sedang)
c. Kurang dari 10 (rendah)
(14) Status Sosial, adalah kedudukan responden dalam struktur sosial kemasyarakatan diukur berdasarkan jumlah skor dari pertanyaan tentang :
(a) Kedududkan dalam organisasi sosial kemasyarakatan (b) Kedudukan dalam struktur organisasi dalam masyarakat
Dengan pertanyaan berjumlah 2 buah item dan dengan indeks skor jenjang
3, maka skor terendah (2) dan skor tertinggi (6) dan selanjutnya dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
a. > 4 (tinggi ) b. 4 (sedang)
c. < 4 (rendah)
3.4. Analisis Data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis, baik secara statistik (menggunakan analisis regresi) maupun deskriptif untuk mengetahui hubungan
persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi tersebut.
(1) Persepsi Masyarakat terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan
Dalam penilaian tinggi rendahnya persepsi masyarakat terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan, untuk mengetahuinya dipergunakan
indikator:
(a) Penilaian masyarakat terhadap lahan yang dimanfaatkan untuk hutan rakyat
(b) Penilaian masyarakat terhadap manfaat hutan rakyat (c) Penilaian masyarakat terhadap jenis tanaman hutan rakyat
(d) Penilaian masyarakat terhadap pola kemitraan hutan rakyat
Masing-masing indikator tersebut dituangkan dalam 4 item pertanyaan
sehingga untuk penilaian persepsi menggunakan 16 item pertanyaan dan setiap item pertanyaan mempunyai 3 alternatif jawaban yang diberi nilai 1 sampai dengan 3. Atas dasar itu maka nilai yang menggambarkan tentang persepsi setiap responden berkisar antara 16 dan 48. Nilai 16 merupakan nilai yang terendah dan
nilai 48 merupakan nilai tertinggi, selanjutnya nilai persepsi dikelompokkan dalam 3 kategori sebagai berikut :
(a) Persepsi tinggi, apabila jumlah nilai Lebih dari 37 (b) Persepsi sedang, apabila jumlah nilai antara 26 – 37
(c) Persepsi rendah, apabila jumlah nilai kurang dari 26
Nilai rata-rata persepsi diperoleh dengan menjumlahkan total nilai persepsi dari responden dibagi dengan jumlah responden sebanyak 149 orang, sedangkan nilai rata-rata penilaian petani apabila lahannya dipakai untuk hutan rakyat,
(2) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat
Dalam pembahasan persepsi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat
pola kemitraan terdapat dua jenis variabel, yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel tidak bebas (dependent variable). Sebagai variabel bebas adalah :
(a) Umur ( X1.1 )
(b) Pendidikan ( X1.2 )
(c) Penyuluhan ( X1.3 )
(d) Pengalaman ( X1.4)
(e) Ekonomi ( X1.5 )
(f) Pemahaman Program
(
X1.6 )Sedangkan variabel tidak bebasnya adalah persepsi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan ( Y1 ).
Untuk mengukur variabel penelitian dipergunakan skala ordinal. Dengan
skala ordinal dapat diperoleh perbedaan nilai dan tingkatan variabel yang berurutan. Melalui daftar pertanyaan dapat dilakukan pengukuran variabel, khususnya bagi pertanyaan tertutup atau pertanyaan yang telah disediakan jawabannya. Penentuan skor digunakan skala Likert dengan kriteria 3, 2 dan 1
(Malo 1986). Skala ini berfungsi mempermudah dalam analisis statistik.
Sedangkan untuk mengetah ui hubungan atau pengaruh variabel bebas
terhadap variabel tidak bebas dilakukan dengan menggunakan analisis regresi dengan model fungsi persepsi petani hutan rakyat sebagai berikut :
Dimana :
Y1
= Persepsi PetaniX1.1
= UmurX1.2
= PendidikanX1.3
= PenyuluhanX1.4
= PengalamanX1.5
= EkonomiX1.6
= Pemahaman programKemudian dilanjutkan dengan uji F dan uji t. Uji F dipergunakan untuk melihat pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tidak
bebas. Sedangkan untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas secara sendiri-sendiri dipergunakan uji t.
(3) Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan
Dalam penilaian tinggi rendahnya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan, untuk mengetahuinya dipergunakan
indikator pertanyaan keterlibatannya pada kegiatan :
(a) Partisipasi dalam kegiatan perencanaan
(b) Partisipasi dalam aktivitas kelompok tani hutan rakyat
(c) Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharan
dan pelatihan hutan rakyat
(d) Partisipasi dalam pengamanan, evaluasi kegiatan dan pemanfaatan hasil
Masing-masing indikator tersebut dituangkan dalam 4 item pertanyaan sehingga untuk penilaian tingkat partisipasi menggunakan 16 item pertanyaan dan
setiap item pertanyaan mempunyai 3 alternatif jawaban yang diberi nilai 1 sampai dengan 3. Atas dasar itu maka nilai yang menggambarkan tentang partisipasi
setiap responden berkisar antara 16 dan 48. Nilai 16 merupakan nilai yang terendah dan nilai 48 merupakan nilai tertinggi dan dan selanjutnya
dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :
(a) Partisipasi tinggi, apabila jumlah nilai Lebih dari 37 (b) Partisipasi sedang, apabila jumlah nilai antara 26 – 37 (c) Partisipasi rendah, apabila jumlah nilai kurang dari 26
rakyat, partisipasi dalam tahap pelaksanaan dan partisipasi dalam pengamanan, evaluasi kegiatan dan pemanfaatan hasil diperoleh dengan menjumlahkan
masing-masing penilaian dan dibagi dengan jumlah responden sebanyak 149 orang.
(4) Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Partisipasi Masyarakat
Sebagai mana dalam pembahasan persepsi, dalam pembahasan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan terdapat dua jenis
variabel, yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel tidak bebas (dependent variable).
Sebagai variabel bebas adalah :
(a) Persepsi Petani ( X2.1 )
(b) Kelembagaan Hutan Rakyat ( X2.2 )
(c) Tokoh Masyarakat
(
X2.3 )(d) Hak dan Kewajiban
(
X2.4 )(e) Kebijakan Pemerintah
(
X2 .5 )(f) Keaktifan
(
X2.6 )(g) Status Sosial
(
X2.7 )Sedangkan variabel tidak bebasnya adalah Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan hutan rakyat pola kemitraan ( Y2 ).
Variabel dalam penelitian dipergunakan skala ordinal. Dengan skala
ordinal dapat diperoleh perbedaan nilai dan tingkatan variabel yang berurutan. Melalui daftar pertanyaan dapat dilakukan pengukuran variabel, khususnya bagi pertanyaan tertutup atau pertanyaan yang telah disediakan jawabannya. Penentuan skor digunakan skala Likert dengan kriteria 3, 2 dan 1 (Malo 1986). Skala ini berfungsi mempermudah dalam analisis statistik.
Sedangkan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh variabel bebas
Dimana :
Y2 = Partisipasi Petani
X2.1
= Persepsi PetaniX2.2
= Kelembagaan Hutan RakyatX2.3
= Tokoh MasyarakatX2.4
= Hak dan KewajibanX2.5
= Kebijakan PemerintahX2.6
= KeaktifanX2.7
= Status SosialKemudian dilanjutkan dengan uji F dan uji t. Uji F dipergunakan untuk
melihat pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebas. Sedangkan untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas secara sendiri-sendiri dipergunakan uji t.
IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Musi Rawas
Karakteristik Umum Wilayah Kabupaten Musi Rawas
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Rawas nomor 18 tahun 2000 tentang Pembentukan Lima Kecamatan di Wilayah Kabupaten Musi Rawas dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 2001 tentang pembentukan kota Lubuk Linggau, Kabupaten Musi Rawas memiliki
wilayah administrasi kecamatan sebanyak 17 kecamatan yaitu Kecamatan Rawas Ulu, Ulu Rawas, Rupit, BKL Ulu, Selangit, Muara Beliti, Tugumulyo, Jayaloka, Muara Kelingi, Muara Lakitan, Megang Sakti, Rawas Ilir, Karang Dapo, Karang Jaya, Purwodadi, BTS Ulu dan Nibung.
Wilayah kabupaten Musi Rawas yang terletak di bagian barat Propinsi Sumatera Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut:
• Sebelah Utara dengan Propinsi Jambi • Sebelah Selatan d