• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

PUPUT MALAHAYATI SARI H14102100

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

RINGKASAN

PUPUT MALAHAYATI SARI. Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Timur Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS).

Negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang memiliki perbedaan karakteristik tiap daerah dan keragaman yang tinggi antar daerahnya yang menyebabkan pola pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam, sehingga akan berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh tiap daerah berbeda-beda, ada beberapa wilayah yang tumbuh lebih cepat dan ada wilayah yang tumbuh lebih lambat. Kemampuan untuk tumbuh yang berbeda inilah yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar wilayah.

Pada awal pembangunan beberapa wilayah mempunyai pendapatan per kapita yang sama yaitu pola perkembangan pendapatannya cenderung untuk terus naik. Setelah beberapa tahun, ternyata terjadi ketimpangan pendapatan antar wilayah. Ini dapat terjadi karena pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah tidak seragam, salah satunya dikarenakan proses penetesan kebawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi untuk daerah miskin tidak terjadi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di KTI, menganalisis konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI, dan mengkaji pengaruh variabel pendidikan terhadap konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI. Wilayah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah seluruh dari 109 kabupaten/kota yang ada di Kawasan Timur Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi: PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 1993 menurut kabupaten/kota di KTI, jumlah penduduk, dan tingkat pendidikan dilihat dari jumlah murid SD, SMP, SMU seluruh kabupaten/kota di KTI. Tahun yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tahun 1993, tahun 1996, dan tahun 1998. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu analisis tingkat ketimpangan pendapatan dihitung dengan menggunakan formulasi Williamson (CVw), dan yang kedua analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda untuk melihat apakah terjadi konvergensi absolut dan analisis konvergensi bersyarat serta melihat apakah variabel pendidikan mempengaruhi pertumbuhan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di KTI.

(3)

ditambahkan pada perhitungan regresi menunjukan hasil bahwa pendidikan tidak mempengaruhi konvergensi pendapatan di Kawasan Timur Indonesia.

(4)

ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN

ANTAR KABUPATEN/KOTA

DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

Oleh

PUPUT MALAHAYATI SARI H14102100

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(5)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Puput Malahayati Sari Nomor Registrasi Pokok : H14102100

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Timur Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si NIP. 132 158 758

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S NIP. 131 846 872

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI PENELITIAN ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Januari 2007

(7)

Jakarta, sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Ngaderi dan Ibu Suparmi. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Mekar Jaya pada tahun 1990 sampai dengan 1996 dan melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMPN 8 Cimanggis Depok dari tahun 1996 sampai dengan 1999. Pada tahun 1999 – 2002, penulis melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat atas di SMAN 8 Bogor.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Indonesia Timur”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Sahara, SP, M. Si dan Widyastutik, SE, M. Si selaku dosen penguji hasil karya ini yang telah berkenan meluangkan waktunya,

2. Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku yang telah banyak memberikan do’a, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis,

3. Mulyani Efendi, S. Hut selaku suami yang telah memberikan dorongan dan motivasi, kasih sayang dan waktunya kepada penulis selama penulisan skripsi ini,

4. Pusatakawan FEM, IPB, dan BPS yang telah berkenan membantu penulisan skripsi ini,

5. Semua teman-teman FEM angkatan 39 (Nonon, Endang, Burik, Cenong, Galon, Cerus, Venti, Mamae, Mami, Iyas, Mailo) atas motivasi dan kebersamaannya selama penulisan skripsi ini,

6. Bapak Encep Entah selaku orang tua angkat yanmg selalu membantu dan memberikan doa restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini,

(9)

skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Januari 2007

(10)

iii

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 8

2.1.Pertumbuhan Ekonomi ... 8

2.2.Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah ... 10

2.3.Definisi konvergensi ... 14

2.4.Hasil Penelitian Terdahulu ... 17

2.5.Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

2.5.1.Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 21

2.5.2. Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah ... 28

2.5.3. Pendapatan Domestik Regional Bruto ... 29

2.5.4. Konvergensi Absolut dan Konvergensi Bersyarat ... 32

2.6.Kerangka Pemikiran Konseptual ... 36

2.7.Hipotesis ... 39

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian ... 40

3.2.Jenis dan Sumber Data ... 40

3.3.Metode Analisis ... 41

3.3.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan... 42

(11)

OLEH

PUPUT MALAHAYATI SARI H14102100

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(12)

RINGKASAN

PUPUT MALAHAYATI SARI. Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Timur Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS).

Negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang memiliki perbedaan karakteristik tiap daerah dan keragaman yang tinggi antar daerahnya yang menyebabkan pola pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam, sehingga akan berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh tiap daerah berbeda-beda, ada beberapa wilayah yang tumbuh lebih cepat dan ada wilayah yang tumbuh lebih lambat. Kemampuan untuk tumbuh yang berbeda inilah yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar wilayah.

Pada awal pembangunan beberapa wilayah mempunyai pendapatan per kapita yang sama yaitu pola perkembangan pendapatannya cenderung untuk terus naik. Setelah beberapa tahun, ternyata terjadi ketimpangan pendapatan antar wilayah. Ini dapat terjadi karena pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah tidak seragam, salah satunya dikarenakan proses penetesan kebawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi untuk daerah miskin tidak terjadi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di KTI, menganalisis konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI, dan mengkaji pengaruh variabel pendidikan terhadap konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI. Wilayah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah seluruh dari 109 kabupaten/kota yang ada di Kawasan Timur Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi: PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 1993 menurut kabupaten/kota di KTI, jumlah penduduk, dan tingkat pendidikan dilihat dari jumlah murid SD, SMP, SMU seluruh kabupaten/kota di KTI. Tahun yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tahun 1993, tahun 1996, dan tahun 1998. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu analisis tingkat ketimpangan pendapatan dihitung dengan menggunakan formulasi Williamson (CVw), dan yang kedua analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda untuk melihat apakah terjadi konvergensi absolut dan analisis konvergensi bersyarat serta melihat apakah variabel pendidikan mempengaruhi pertumbuhan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di KTI.

(13)

ditambahkan pada perhitungan regresi menunjukan hasil bahwa pendidikan tidak mempengaruhi konvergensi pendapatan di Kawasan Timur Indonesia.

(14)

ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN

ANTAR KABUPATEN/KOTA

DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

Oleh

PUPUT MALAHAYATI SARI H14102100

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(15)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Puput Malahayati Sari Nomor Registrasi Pokok : H14102100

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Timur Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si NIP. 132 158 758

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S NIP. 131 846 872

(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI PENELITIAN ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Januari 2007

(17)

Jakarta, sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Ngaderi dan Ibu Suparmi. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Mekar Jaya pada tahun 1990 sampai dengan 1996 dan melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMPN 8 Cimanggis Depok dari tahun 1996 sampai dengan 1999. Pada tahun 1999 – 2002, penulis melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat atas di SMAN 8 Bogor.

(18)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Indonesia Timur”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Sahara, SP, M. Si dan Widyastutik, SE, M. Si selaku dosen penguji hasil karya ini yang telah berkenan meluangkan waktunya,

2. Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku yang telah banyak memberikan do’a, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis,

3. Mulyani Efendi, S. Hut selaku suami yang telah memberikan dorongan dan motivasi, kasih sayang dan waktunya kepada penulis selama penulisan skripsi ini,

4. Pusatakawan FEM, IPB, dan BPS yang telah berkenan membantu penulisan skripsi ini,

5. Semua teman-teman FEM angkatan 39 (Nonon, Endang, Burik, Cenong, Galon, Cerus, Venti, Mamae, Mami, Iyas, Mailo) atas motivasi dan kebersamaannya selama penulisan skripsi ini,

6. Bapak Encep Entah selaku orang tua angkat yanmg selalu membantu dan memberikan doa restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini,

(19)

skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Januari 2007

(20)

iii

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 8

2.1.Pertumbuhan Ekonomi ... 8

2.2.Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah ... 10

2.3.Definisi konvergensi ... 14

2.4.Hasil Penelitian Terdahulu ... 17

2.5.Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

2.5.1.Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 21

2.5.2. Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah ... 28

2.5.3. Pendapatan Domestik Regional Bruto ... 29

2.5.4. Konvergensi Absolut dan Konvergensi Bersyarat ... 32

2.6.Kerangka Pemikiran Konseptual ... 36

2.7.Hipotesis ... 39

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian ... 40

3.2.Jenis dan Sumber Data ... 40

3.3.Metode Analisis ... 41

3.3.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan... 42

(21)

3.3.4. Pengujian Terhadap Model Penduga (Uji F) ... 45

3.3.5. Uji Signifikan Individu (Uji t) ... 45

3.4.Definisi Operasional ... 46

IV. GAMBARAN UMUM KETERTINGGALAN KAWASAN TIMUR INDONESIA... 48

4.1. Keadaan Umum Kawasan Timur Indonesia ... 48

4.2. Permasalahan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia... 52

4.3. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Timur Indonesia ... 53

4.4. Perkembangan PDRB di Kawasan Timur Indonesia ... 54

V. ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/ KOTA DI KAWASAN TIMUR INDONESIA... 58

5.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan... 58

5.2. Analisis Konvergensi Pendapatan Absolut ... 60

5.3. Analisis Konvergensi Pendapatan Bersyarat ... 68

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 74

6.1. Kesimpulan ... 74

6.2. Saran... ... 75

DAFTAR PUSTAKA... 76

(22)

v

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1986-2003 ... 2 2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional ... 18 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia... 19 4. Analisis Konvergensi Absolut di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1993 ... 60 5. Analisis Konvergensi Absolut di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1996 ... 63 6. Analisis Konvergensi Absolut di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1998 ... 65 7. Analisis Konvergensi Bersyarat di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1993 ... 68 8. Analisis Konvergensi Bersyarat di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1996 ... 70 9. Analisis Konvergensi Bersyarat di Kawasan Timur Indonesia

(23)

Halaman 1. Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow ... 25 2. Kerangka Pemikiran Penelitian... 38 3. Jumlah Penduduk tiap Propinsi di KTI (1993-2004) ... 49 4. Jumlah Murid tiap Propinsi di KTI (1993-2004) ... 51 5. Pertumbuhan PDRB per kapita per Tahun... 53 6. Persentase PDRB per kapita tiap Pulau KTI... 56 7. Persentase PDRB per kapita tiap propinsi terhadap PDRB di KTI ... 58 8. Indeks Kesenjangan Pendapatan antar kabupaten/kota di KTI... 59 9. Plot pola hubungan antara PDRB 1993 dengan pertumbuhan

tahun 2004... 62 10. Plot pola hubungan antara PDRB 1996 dengan pertumbuhan

tahun 2004... 64 11. Plot pola hubungan antara PDRB 1998 dengan pertumbuhan

(24)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1. PDRB atas dasar harga berlaku dan peranannya menurut

propinsi, pulau. Tahun 1996, 2000, 2003 ... 79 2. Pertumbuhan Ekonomi Antar Provinsi, Tahun 1993-2003 (%)... 80 3. Data Pendidikan Dilihat dari Jumlah Murid SD-SMU Menurut

Kabupaten/Kota Di Kawasan Timur Indonesia (jiwa)... 81 4. Perhitungan CVw Kawasan Timur Indonesia Tahun 1993 ... 82 5. Perhitungan CVw Kawasan Timur Indonesia Tahun 1996 ... 86 6. Perhitungan CVw Kawasan Timur Indonesia Tahun 1998 ... 89 7. Persentase PDRB per kapita Propinsi di KTI ... 92 8. Plot Antara Sisaan Baku (SRES) dan Dugaan (Fits) Tahun 1993 93 9. Plot Antara Sisaan Baku (SRES) dan Dugaan (Fits) Tahun 1996 93 10. Plot Antara Sisaan Baku (SRES) dan Dugaan (Fits) Tahun 1998 94 11. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1993 ... 95 12. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1996 ... 96 13. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1998 ... 97 14. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1993 ... 98 15. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1996 ... 99 16. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1998 ... 100

(25)

Indonesia terdiri dari berbagai pulau dengan perbedaan karakteristik dan keragaman yang tinggi antar daerahnya. Perbedaan tersebut meliputi sumber daya alam, ekonomi, sosial budaya, adat-istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, mutu sumber daya manusia, letak geografis, serta sarana dan prasarana yang tersedia di setiap daerah. Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan tumbuh di daerah tersebut sehingga ada daerah mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan antar wilayah. Pada awal pembangunan semua wilayah mempunyai pendapatan per kapita yang sama yaitu pola perkembangan pendapatannya cenderung untuk terus naik. Setelah beberapa tahun, ternyata terjadi ketimpangan pendapatan antar wilayah karena pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah tidak seragam.

(26)

2

Pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang lebih diarahkan untuk mencapai peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya dengan berusaha meningkatkan pendapatan perkapita yang masih rendah. Sedangkan di negara maju lebih mengutamakan masalah pemerataan karena tingkat pendapatan per kapitanya tinggi dan lebih memperhatikan kualitas hidup (quality of life). Hal ini dapat terlihat dengan adanya gerakan lingkungan hidup.

Menurut Tabel 1 dalam Sukirno (2004) menunjukkan bahwa selama periode 1986-1996 perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif pesat, hanya pada tahun 1987 tingkat pertumbuhannya dibawah 5 persen. Dalam periode 1986-1996 secara rata-rata pertumbuhan ekonomi hampir mencapai 7 persen. Sejak tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemunduran yang disebabkan oleh krisis pada tahun 1997. Puncaknya pada tahun 1998 tingkat pertumbuhan Ekonomi Indonesia berada di bawah 0 persen (-13,1 %) dan pada tahun berikutnya perekonomian mulai mengalami perbaikan walaupun belum mencapai kondisi seperti pada saat belum terjadi krisis.

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1986-2003

(27)

Perkembangan hasil pembangunan yang telah dicapai di Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan GDP per kapita antar provinsi, maupun antar Kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia. Jawa mendominasi aktivitas ekonomi Indonesia karena dari wilayah-wilayah di Indonesia, SDM wilayah Jawa baik dilihat dari jumlah maupun mutu dianggap lebih baik dari wilayah lainnya. Selain itu, pada masa orde baru proses pembangunan di Indonesia dilaksanakan dengan sistem sentralistik. Semua kebijakan pembangunan diatur oleh pemerintah pusat. Sistem pemerintahan inilah yang diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan selama ini. Ketimpangan yang terjadi selama ini telah membuat beberapa daerah merasa diberlakukan tidak adil. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan pembangunan antar daerah seperti ketimpangan yang terjadi antar Kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia bahkan antar sub wilayah atau daerah dalam suatu wilayah atau kawasan.

(28)

4

Nasional Bruto (GDP) ternyata pendapatan per kapita masyarakatnya berada di bawah pendapatan Nasional (sebesar Rp 33.695,81). Sebaliknya luar Jawa secara umum pendapatan perkapitanya berada di atas pendapatan perkapita Nasional, misalnya Kalimantan Timur yang merupakan provinsi dengan pendapatan per kapita paling tinggi (Rp 211.546,36), mencapai hampir tujuh kali lipat dari pendapatan per kapita Nasional.

Kawasan Timur Indonesia menyimpan berbagai keunggulan untuk diberdayakan misalnya sumber daya alam yang berlimpah. Wilayah ini sesungguhnya sangat potensial untuk menjadi kekuatan ekonomi baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional. Namun sumber daya manusia yang tersedia di kawasan ini sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk menggali potensi yang ada, inilah yang disebut “kaya tetapi miskin”, artinya bahwa sumber daya alamnya sangat berpotensi tetapi pengolahannya masih sangat minim atau belum optimal.

(29)

teknologi guna memanfaatkan sumber alamnya. Sebaliknya, sebuah wilayah yang miskin sumber alam, namun cakap dalam mengembangkan teknologi, ternyata lebih cepat berkembang dibandingkan wilayah lainnya yang tidak cukup mempunyai sumber daya alam dan manusia yang unggul. Ada lima kepulauan yang diambil sebagai sampel dalam tulisan ini, antara lain Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya serta pulau Bali

1.2. Perumusan Masalah

Ketimpangan pembangunan selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, dan dimensi. Bukan hanya berupa ketimpangan hasil pembangunan misalnya dalam hal pendapatan perkapita atau pendapatan daerah, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Ketika arus globalisasi semakin tak terbendung di Indonesia, semangat regionalisasi dari berbagai daerah semakin menguat, terutama daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah.

(30)

6

Di Kawasan Timur Indonesia, dengan melihat potensi yang dimiliki masing-masing daerah diharapkan daerah tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya dan mengatasi ketimpangan baik antar golongan masyarakat, antar daerah, maupun antar propinsi yang terjadi selama ini. Dengan perbedaan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah secara otomatis menyebabkan PDRB antar daerah di kawasan timur Indonesia berbeda-beda pula. Berdasarkan data PDRB tahun 1993, 1996 dan 1998 belum diketahui terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah. Tapi secara umum terjadi kenaikan PDRB untuk tiap daerah tersebut dan diharapkan terjadi konvergensi sehingga daerah yang miskin dapat mengejar daerah yang kaya. Di samping itu perlu adanya kajian untuk mengetahui dampak variabel pendidikan dalam mempercepat terjadinya konvergensi sehingga kesejahteraan antar daerah dapat tercapai secepatnya.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

1) Menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia.

2) Menganalisis konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia.

(31)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi bagi: 1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, baik

pemerintah pusat dan khususnya pemerintah daerah kabupaten/kota di KTI mengenai arah kebijakan yang tepat dalam mengatasi ketimpangan dan dalam merencanakan program pembangunan untuk meningkatkan konvergensi pendapatan antar daerah kabupaten/kota di KTI.

2) Bagi penulis, adalah sebagai wahana untuk mengaplikasikan pemahaman penulis tentang teori-teori yang di dapatkan selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, serta peneliti dan akademis yang ingin melakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan masalah konvergensi pendapatan antar wilayah.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi sama-sama

menerangkan mengenai perkembangan ekonomi yang berlaku. Pertumbuhan

selalu digunakan sebagai suatu ungkapan umum yang menggambarkan tingkat

perkembangan suatu negara yang diukur melalui persentasi pertambahan

pendapatan nasional riil (Sukirno, 2004).

Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh

perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Para ahli ekonomi bukan

saja tertarik kepada masalah perkembangan pendapatan nasional riil, tetapi juga

kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha merombak sektor

pertanian yang tradisional, masalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan

masalah perataan pembagian pendapatan. Dalam pembangunan ekonomi tingkat

pendapatan per kapita terus menerus meningkat, kalau pertumbuhan ekonomi

belum tentu diikuti oleh kenaikan pendapatan per kapita (Sukirno, 2004).

Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf

hidup suatu bangsa yang sering kali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan

riil per kapita. Tujuan pembangunan ekonomi disamping untuk menaikkan

pendapatan nasional riil juga untuk meningkatkan produktivitas (Todaro, 1999).

Tingkat output pada suatu saat tertentu ditentukan oleh beberapa faktor.

Faktor-faktor ini berhubungan satu sama lain. Faktor-Faktor-faktor tersebut digolongkan menjadi

(33)

pendidikan, kesehatan, agama, pemerintah, dan sebagainya). Jadi ekonomi

pembangunan atau ilmu yang mempelajari tentang pembangunan ekonomi tidak

hanya menggambarkan jalannya perkembangan ekonomi saja, tetapi juga

menganalisa hubungan sebab akibat dari faktor-faktor perkembangan tersebut.

Dikatakan ada pertumbuhan ekonomi apabila terdapat lebih banyak output

dan dapat meliputi penggunaan input lebih banyak dan lebih efisien. Ada

perkembangan atau pembangunan ekonomi kalau tidak hanya terdapat lebih

banyak output, tetapi juga perubahan-perubahan dalam kelembagaan dan

pengetahuan teknik dalam menghasilkan output yang lebih banyak. Pembangunan

atau perkembangan ekonomi menunjukkan perubahan-perubahan dalam struktur

output dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian di samping kenaikan

output. Jadi pada umumnya perkembangan atau pembangunan selalu disertai

dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan

pembangunan atau perkembangan (Sukirno, 2004).

Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan output

per kapita dalam jangka panjang, jadi persentase pertambahan output itu haruslah

lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan

dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Para teoritis ilmu

ekonomi pembangunan masa kini, masih terus menyempurnakan makna, hakikat

dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para teoritis tersebut menyatakan bahwa

pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB

(34)

10

kepuasan dan kebahagiaan dengan rasa aman dan tentram yang dirasakan

masyarakat luas.

2.2. Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah

Adanya perbedaan kemajuan antar daerah di jelaskan Myrdal dalam

teorinya, Myrdal berpendapat pembangunan ekonomi proses sebab dan penyebab

sirkuler yang membuat si kaya mendapat keuntungan yang semakin banyak dan

mereka yang tinggal di belakang akan menjadi semakin terhambat. Perbedaan

tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan

pengaruh yang merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai

kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun,

sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Jhingan, 1990).

Perbedaan kemajuan antar wilayah berarti tidak samanya kemampuan

untuk bertumbuh yang sama dengan kesenjangan sehingga yang timbul adalah

ketidakmerataan, sehingga muncul pendapat dan studi-studi empiris yang

menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis. Dalam

hal ini (Kuznet, 1955) mengemukakan suatu hipotesis yang di kenal dengan

sebutan “ U Hypothesis”, hipotesa ini dihasilkan lewat kajian empiris terhadap

pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah

(35)

hubungan kolerasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan yang disebabkan

karena pertumbuhan pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada

sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga

kerja.

Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor modern dan

tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan di

sektor modern lebih cepat dibandingkan sektor tradisional. Berdasarkan tingkat

kemajuannya wilayah-wilayah dalam suatu Negara dapat di kelompokkan sebagai

berikut (Hanafiah, 1998) yaitu:

1.Wilayah terlalu maju terutama kota-kota besar dimana terdapat batas

pertumbuhan atau polarisasi, umpamanya dalam menghadapi masalah

diseconomies of scale yang menyebabkan masalah manajemen, kenaikan biaya produksi, kenaikan biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan

upah, kenaikan harga bahan baku energi, peningkatan ongkos sosial.

2.Wilayah netral di cirikan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan dan

kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos

sosial dan merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu padat.

3.Wilayah sedang merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran pola

distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik yang

merupakan gambaran kombinasi antara daerah maju dan kurang maju

dimana terdapat juga pengangguran dan kelompok masyarakat miskin.

4.Wilayah kurang berkembang atau kurang maju yan merupakan wilayah

(36)

12

dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan

pembangunan nasional seperti daerah-daerah konsentrasi industri yang

sudah mundur.

5.Wilayah tidak berkembang merupakan wilayah tidak maju atau wilayah

miskin dimana industri modern tidak pernah dapat berkembang dalam

berbagai skala umumnya di tandai dengan daerah pertanian dengan usaha

tani subsisten dan kecil, berpenduduk jarang dan tersebar dan tidak terdapat

kota atau konsentrasi pemukiman yang relatif besar.

Kesenjangan regional oleh Murty dalam Abel (2006) diartikan sebagai

ketidakseimbangan pertumbuhan antar sektor primer, sekunder, tersier atau sektor

sosial di suatu negara, distrik, atau tempat dimana peristiwa itu terjadi. Di setiap

negara apakah itu negara maju atau berkembang, negara pertanian atau industri,

negara besar atau kecil, mempunyai wilayah yang maju dan tertinggal secara

ekonomi. Adalah penting untuk menghubungkan pola pembangunan ekonomi

regional dengan beragam variabel fisik dan sosial ekonomi untuk

mengidentifikasikan variabel mana yang mempunyai pengaruh terbanyak terhadap

pola pertumbuhan. Meskipun kesenjangan tidak berlaku di semua wilayah dengan

kekuatan (tingkatan) yang sama, tetap terdapat aspek-aspek umum yang dapat

memberikan beberapa generalisasi, penyebab utama kesenjangan adalah:

a). Faktor Geografis.

Apabila suatu wilayah yang sangat luas, distribusi dari sumberdaya

(37)

tidak akan merata. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang

lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah berkembang lebih baik.

b). Faktor Historis.

Tingkat pembangunan suatu masyarakat juga bergantung pada masa yang

lalu untuk menyiapkan masa depan. Bentuk organisasi ekonomi yang hidup di

masa lalu menjadi alasan penting yang dihubingkan dengan isu insentif, untuk

pekerja dan pengusaha. Sistem feodal memberikan sangat sedikit insentif untuk

bekerja keras. Sistem industri dimana pekerja merasa tereksploitasi, bekerja tanpa

istirahat, suatu perencanaan dan sistem yang membatasi akan memberi sedikit

insentif dan menyebabkan pembangunan terhambat.

c). Faktor Politik.

Ketidakstabilan politik dapat menjadi penghambat pembangunan yang

sangat kuat. Selain itu, jika pemerintah stabil tapi lemah, korupsi dan

ketidakmampuan untuk mengalahkan sikap mementingkan diri sendiri dan

menolak tekanan atau kontrol sosial akan menggagalkan tujuan dari kebijakan

pembangunan. Kondisi politik disetiap wilayah tidak sama.

d). Faktor Kebijakan Pemerintah

Belakangan ini, hampir semua negara kaya sedang diterapkan konsep

negara kesejahteraan (welfare of state). Di negara tersebut, kebijakan pemerintah mulai diarahkan secara langsung pada pemerataan regional yang lebih besar.

Kekuatan pasar yang menghasilkan efek ”backwash” dihilangkan, sementara yang menghasilkan efek menyebar didukung sementara di negara-negara miskin,

(38)

14

e). Faktor Administrasi (birokrasi)

Faktor administrasi yang efisien atau tidak efisien berpengaruh dalam

menambah kesenjangan antar wilayah. Saat ini pemerintah dalam menjalankan

fungsinya membutuhkan administrator yang jujur, terdidik, terlatih dan efisien

karena birokrasi yang efisien akan berhasil dalam pembangunan regional dan

sebaliknya.

f). Faktor Sosial

Banyak faktor sosial yang menjadi penghalang dalam pembangunan.

Penduduk di wilayah yang belum berkembang memiliki lembaga dan keinginan

(attitude) yang kondusif untuk pembangunan ekonomi. Di lain pihak penduduk dari wilayah yang lebih maju memiliki kelembagaan dan keinginan yang kondusif

untuk pembangunan.

g). Faktor Ekonomi

Penyebab secara ekonomis seperti perbedaan-perbedaan dalam faktor

produksi, proses kumulatif dari berbagai faktor, siklus kemiskinan yang buruk,

kekuatan pasar yang bebas dan efek ”backwash” dan efek menyebar (spread) dan pasar tidak sempurna, berlangsung dan menambah kesenjangan dalam

pembangunan ekonomi.

2.3. Definisi Konvergensi

Konvergensi pertumbuhan adalah kecenderungan

perekonomian miskin tumbuh lebih cepat dibandingkan

(39)

dapat mengejar ketertinggalannya dan ketimpangan perekonomian antar daerah

dapat menurun (Sukirno, 1985).

Menurut Barro and Martin dalam Garcia dan Soelistianingsih (1998)

terdapat dua pendekatan utama dalam konvergensi regional, yang pertama yaitu

analisa konvergensi regional yang diturunkan dari pokok penelitian utama di

tingkat internasional. Analisa jenis ini umumnya menggunakan cross section

regretion antara Negara, antar tingkat pertumbuhan dengan tingkat awal pendapatan perkapita. Pendekatan yang kedua berakar pada tradisi panjang dalam

penelitian regional dimana perhatian utama diberikan pada analisa disparitas

pendapatan yang membedakan dengan pendekatan satu dalam analisa pendekatan

dua kesenjangan regional di pelajari secara independen dari teori pertumbuhan.

Williamson (1965) menjelaskan bahwa proses konvergensi regional terkait

dengan proses pembangunan nasional, Williamson memprediksi bahwa disparitas

pendapatan regional akan memusat (konvergen) setelah melalui tiga fase yaitu

dari tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity) dalam proses pembangunan.

Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik, konvergensi adalah kondisi

dimana daerah miskin yang belum mencapai kemapanan cenderung tumbuh lebih

cepat dibandingkan dengan daerah kaya yang telah mencapai kemapanan. Pada

kondisi ini, pendapatan per kapita akan tumbuh konstan sebagai tidak adanya

pertambahan modal kecuali untuk menutupi pertambahan penduduk dan

(40)

16

kemapanan akan tumbuh konstan. Sedangkan Negara atau daerah lain akan terus

tumbuh hingga posisi kemapanannya.

Menurut Solow-Swan model menyatakan bahwa Negara-negara yang

mempunyai perbedaan dalam proses produksi, tabungan, dan pertumbuhan

penduduk akan tetapi mempunyai kesamaan dalam kemajuan teknologi akan

menyebabkan rata-rata pendapatan perkapita mencapai konvergen menuju titik

keseimbangan pertumbuhan akan tetapi jika teknologi, tabungan dan pertumbuhan

penduduk sama antar Negara maka Negara-negara tersebut akan mencapai

konvergen dengan tingkat pendapatan per kapita yang tinggi (Mankiw,2000).

Menurut teori basis ekspor dalam Richardson (1991), faktor-faktor yang

menimbulkan konvergensi antara lain :

1. Adanya kemungkinan arus faktor yang bersifat menyeimbangkan seperti

yang diprediksikan oleh model Neo Klasik. Dimana tenaga kerja akan

berpindah dari daerah-daerah upah rendah ke daerah-daerah upah tinggi dan

jika upah dan produk marjinal dari modal mempunyai korelasi terbalik,

modal akan mengalir menurut arah yang sebaliknya. Dengan demikian,

daerah-daerah upah rendah pun cenderung untuk tumbuh lebih cepat.

2. Alokasi sumber daya di dalam lingkungan daerah-daerah yang bersangkutan

dari sektor upah rendah (seperti sektor pertanian) ke sektor produktivitas

yang tinggi, upah tinggi, sehingga meningkatkan pendapatan rata-rata per

(41)

3. Ciri-ciri kematangan dalam daerah-daerah yang sudah lama berpendapatan

tinggi dapat melambatkan kenaikan pendapatan per kapita di masa

mendatang.

2.4. Hasil Penelitian Terdahulu

Esmara dalam Wijaya (2001) melakukan penelitian dengan menggunakan

data PDRB dan menerapkan koefisien Williamson yang dibobot. Ia

memperkirakan tingkat perbedaan pendapatan regional untuk tahun 1968-1972.

Menurut tulisan yang merupakan perintis ini, indeks ketidaksamaan Williamson

dari tahun tersebut meningkat tajam dari 0,571 menjadi 0,945 jika semua

pendapatan dimasukkan, tetapi jika pendapatan dari minyak bumi dikeluarkan dari

PDRB propinsi-propinsi yang kaya minyak (seperti Riau dan Kalimantan Timur)

maka angka-angka itu antara 0,34 sampai 0,552. Ia menunjukkan bahwa

propinsi-propinsi dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi juga mempunyai biaya

hidup yang lebih tinggi, sehingga kalau PDRB per kapita di koreksi berdasarkan

perbedaan-perbedaan harga, indeks ketidakmerataan tersebut akan banyak

merosot.

Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional

pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko (1986) dengan menggunakan

formulasi Williamson (CVw) untuk tahun 1976-1980. Uppal dan Handoko

mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB

diluar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi

(42)

18

pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan

ketimpangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan

kepada propinsi.

Tadjoedin (1996) juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional

dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama dengan diatas untuk periode

1984-1993. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

ketimpangan pendapatan selama periode analisis.

Tabel 2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional

Di luar Migas Tahun

Uppal & Handoko Tadjoedin Tadjoedin, et al

1976 0,4631

Sumber: Uppal dan Handoko (1986) dan Tadjoedin (1996) dan Tadjoedin, et al, (2001)

Tadjoedin, et al, (2001) melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan

(43)

berdasarkan harga konstan tahun 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat

ketimpangan semakin meningkat, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 di atas.

Selain mengukur Ketimpangan nasional, Tadjoedin (1996) juga mengukur

besarnya ketimpangan pendapatan antar pulau, hasil yang diperoleh yaitu pulau

yang perekonomiannya di dominasi oleh sektor pertanian (Pulau Sumatra)

mempunyai tingkat ketimpangan yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau

yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri (Pulau Jawa). Hal ini

menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian tidak berada pada posisi yang

dikotomis dengan pemerataan.

Tabel 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia

Tahun Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya 1984 0,2460 0,5680 0,4381 0,0522 0,3435

Mattola (1985) melakukan penelitian untuk menganalisis besarnya

ketimpangan pendapatan daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan

menggunakan formulasi Williamson. Mattola juga menganalisis peranan sektor

pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Untuk melihat

peranan tersebut, dibandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan

(44)

20

diperoleh dari analisi tersebut menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan dengan

memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil dibandingkan

dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa

sektor pertanian mempunyai peran untuk mengurangi ketimpangan pendapatan

yang terjadi.

Lutvi (1995) dalam penelitiannya yang berjudul kesenjangan kondisi

ekonomi regional antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia menyimpulkan

faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan suatu daerah secara nyata adalah

pendapatan regional yang mencerminkan perolehan nilai tambah, kapital/modal

dan investasi, tenaga kerja yang dipengaruhi tingkat pendidikan, upah, dan jumlah

penduduk, dan pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun pendapatan asli

daerah (PAD) yang mempengaruhi secara tidak langsung pembentukkan investasi.

Selama sebelas tahun pengamatan 1983-1993 terlihat kesenjangan

pertumbuhan masing-masing peubah pembangunan Kawasan Barat dan Kawasan

Timur. Pertumbuhan kawasan barat diketahui jauh lebih pesat dan ini semakin

dikuatkan dari hasil perhitungan terhadap efek yang dimiliki masing-masing

kawasan. Dari hasil analisis deskriptif, kesenjangan yang terjadi antara Kawasan

Barat dan Timur sepanjang tahun 1983-1993 antara lain adalah kesenjangan

PDRB non migas dan PDRB non migas perkapita, dimana kawasan barat

mempunyai keadaan yang lebih baik dari kawasan timur. Selain itu terdapat

kesenjangan dalam arus penanaman modal/investasi, kapital, pembiayaan

pembangunan baik dari pusat maupun PAD, tingkat kemampuan baca tulis,

(45)

serta partisipasi angkatan kerja yang menunjukkan ketidakmerataan distribusi dan

produktivitas tenaga kerja.

2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis

2.5.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Dalam Teori pertumbuhan basis ekspor, pertumbuhan suatu daerah

tergantung pada pertumbuhan industri-industri ekspornya dan kenaikan

permintaan yang bersifat eksternal bagi daerah yang bersangkutan adalah penentu

pokok dari pertumbuhan regional. Sektor-sektor perekonomian suatu daerah

dikelompokkan menjadi sektor basis dan non basis. Prediksi-prediksi dari hipotesa

basis ekspor berbeda dari prediksi model lainnya. Pertama, bertambah luasnya

basis ekspor suatu daerah akan cenderung menaikkan tingkat pertumbuhan.

Kedua, teori basis ekspor tidak mencakup tingkat pertumbuhan keseimbangan;

Ketiga, teori ini sama sekali tidak mempersoalkan apakah tingkat pertumbuhan

regional cenderung untuk konvergen atau divergen. Terdapat tiga kekuatan

potensial yang penting dalam konvergensi. Pertama, adanya kemungkinan arus

faktor yang bersifat menyeimbangkan seperti yang diprediksikan oleh model

Neo-Klasik. Dimana tenaga kerja akan berpindah dari daerah-daerah upah rendah ke

daerah-daerah upah tinggi dan jika upah dan produk marjinal dari modal

mempunyai korelasi terbalik, modal akan mengalir menurut arah yang sebaliknya.

Dengan demikian, daerah-daerah upah rendah pun cenderung untuk tumbuh lebih

cepat. Sumber utama kedua yang menimbulkan konvergensi, alokasi sumber daya

di dalam lingkungan daerah-daerah yang bersangkutan dari sektor upah rendah

(46)

22

sehingga meningkatkan pendapatan rata-rata per kapita. Ketiga, ciri-ciri

kematangan dalam daerah-daerah yang sudah lama berpendapatan tinggi dapat

melambatkan kenaikan pendapatan per kapita di masa mendatang. Teori ini

menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah

adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar

daerah. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal,

termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk di ekspor, akan menghasilkan

kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Model ini sangat berguna untuk

menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sector yang dibutuhkan

masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi (Richardson, 1991).

Dalam Arsyad (1999) teori pertumbuhan ekonomi Neo Klasik

berkembang sejak tahun 1950-an, berdasarkan analisis mengenai pertumbuhan

ekonomi menurut pandangan ekonomi Klasik. Teori pertumbuhan ini dirintis oleh

Robert M. Solow (1970) dari Amerika Serikat dan T.W Swan (1956) dari

Australia. Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar

dapat menciptakan keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak

mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas

kebijakan fiskal dan moneter. Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung

kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja,

dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Teknologi ini terlihat dari

peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktivitas perkapita

meningkat. Dalam model tersebut masalah teknologi di anggap fungsi dari waktu

(47)

dimisalkan menghasilkan output yang homogen dan fungsi produksi yang identik

maka di daerah yang memiliki K atau L yang tinggi terdapat upah riil yang tinggi

dan MPK yang rendah dan adapun daerah yang K atau L yang rendah terdapat

upah rill yang rendah dan MPK yang tinggi sebagai akibatnya modal akan

mengalir dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya rendah karena

akan memberikan balas jasa untuk modal yang lebih tinggi dan sebaliknya tenaga

kerja akan mengalir dari daerah yang upahnya rendah ke daerah yang upahnya

tinggi sehingga mekanisme diatas pada akhirnya menciptakan balas jasa

faktor-faktor produksi di semua daerah sama, dengan demikian perekonomian regional

atau pendapatan perkapita regional akan mengalami proses konvergensi (makin

sama). Paham neoklasik melihat peran kemajuan teknologi/inovasi sangat besar

memacu pertumbuhan wilayah dan menciptakan pertumbuhan yang mantap

(steady growth).

Teori pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan dalam

persediaan modal dan angkatan kerja serta kemajuan tehnologi berinteraksi dalam

perekonomian dan pengaruhnya terhadap output total barang dan jasa. Model ini

mengasumsikan hubungan yang tidak berubah antara input modal dan tenaga

kerja dan output barang dan jasa. Tetapi model ini bisa dimodifikasi, yang

memungkinkan peningkatan dalam kemampuan masyarakat untuk berproduksi.

Untuk memasukkan kemajuan tehnologi, kita harus kembali ke fungsi produksi

yang mengaitkan modal total K dan tenaga kerja L ke output total Y. Jadi, fungsi

produksi itu adalah :

(48)

24

Kini kita tulis fungsi produksi sebagai berikut :

Y = F (K, L x E) ...(2)

Dimana E adalah variabel baru (dan abstrak) yang disebut efisiensi tenaga

kerja. Efisiensi tenaga kerja berarti mencerminkan pengetahuan masyarakat

tentang metode-metode produksi : ketika tehnologi mengalami kemajuan, efisiensi

tenaga kerja meningkat. Efisiensi tenaga kerja juga meningkat ketika ada

pengembangan dalam kesehatan, pendidikan, atau keahlian angkatan kerja. L x E

mengukur jumlah para pekerja efektif. Fungsi produksi yang baru ini menyatakan

bahwa output total Y bergantung pada jumlah unit modal K dan jumlah pekerja

efektif, L x E. Peningkatan dalam efisiensi tenaga kerja E, sebagai dampaknya,

seperti peningkatan dalam angkatan kerja L. Asumsi yang paling sederhana

tentang kemajuan tehnologi adalah kemajuan tehnologi yang menyebabkan

efisiensi tenaga kerja tumbuh pada tingkat konstan g. Bentuk kemajuan tehnologi

disebut pengoptimalan tenaga kerja dan g disebut tingkat kemajuan tehnologi

yang mengoptimalkan tenaga kerja. Karena angkatan kerja L tumbuh pada tingkat

n, dan efisiensi dari setiap unit tenaga kerja E tumbuh pada tingkat g, jumlah

pekerja efekti L x E tumbuh pada tingkat n + g (Mankiw, 2000).

Analisis tentang perekonomian membuahkan hasil ketika mengkaji

pertumbuhan populasi, persamaannya adalah:

Δk = sf (k) – ( + n + g)k ...(3)

Dimana Δk sama dengan infestasi sf (k) dikurangi investasi pulang pokok

( + n + g)k. Investasi pulang pokok meliputi 3 kaidah, yaitu: menjaga k tetap

(49)

untuk memberi modal bagi pekerja baru, dan gk dibutuhkan untuk memberi modal

bagi para pekerja efektif baru yang diciptakan oleh kemajuan teknologi.

Sumber : Mankiw,2000

Gambar 1. Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow

Dampak kemajuan teknologi menunjukkan empat variabel kunci dalam

kondisi mapan dengan kemajuan teknologi. Dimana k adalah konstan dalam

kondisi mapan, y = f(k), output per pekerja efektif juga konstan. Tingkat efisiensi

setiap pekerja aktual tumbuh pada tingkat g, output per pekerja juga tumbuh pada

tingkat g, sehingga output total tumbuh pada tingkat n + g.

Kemajuan teknologi dan model pertumbuhan Solow melihat kemajuan

teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g mempengaruhi model

pertumbuhan Solow dalam jumlah yang sama dengan pertumbuhan populasi pada

tingkat n. Sekarang k didefinisikan sebagai jumlah modal per pekerja efektif.

Kenaikan dalam jumlah pekerja efektif karena kemajuan teknologi cenderung

mengurangi k. Dalam kondisi mapan investasi sf (k) benar-benar menghilangkan

Investasi

Pulang-pokok Investasi pulang-pokok ( + n+ g)k

Investasi, Sf(k)

Modal per pekerja, k k*

(50)

26

penurunan dalam k yang terkait dengan penyusutan, pertumbuhan populasi, dan

kemajuan teknologi.

Dengan adanya kemajuan teknologi, menunjukkan bahwa kemajuan

teknologi dapat mengarah ke pertumbuhan yang berkelanjutan dalam output per

pekerja. Sebaliknya, tingkat tabungan yang yang tinggi mengarah ke tingkat

pertumbuhan yang tinggi hanya jika kondisi mapan dicapai. Sekali perekonomian

berada pada kondisi mapan, tingkat pertumbuhan output per pekerja hanya

bergantung pada tingkat kemajuan teknologi. Mengacu pada model solow, hanya

kemajuan teknologi bisa menjelaskan peningkatan standar kehidupan

berkelanjutan (Mankiw, 2000).

Teori pertumbuhan endogen (Endogenous Growth Theory) berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor yang menentukan besaran λ, yaitu tingkat pertumbuhan

GDP yang tidak dijelaskan dan dianggap sebagai variabel eksogen dalam

perhitungan teori Neo Klasik Solow. Teori pertumbuhan endogen ini mempunyai

fungsi produksi sebagai berikut: Y = AK, dimana Y adalah output, K adalah

modal fisik dan sumber daya manusia, dan A adalah semua faktor yang

mempengaruhi teknologi. Fungsi produksi ini tidak menunjukkan muatan dari

pengembalian modal yang kian menurun. Satu unit modal tambahan memproduksi

unit output tambahan A, tanpa memperhitungkan berapa banyak modal di sini.

Keberadaan pengembalian modal yang kian menurun merupakan perbedaan

penting antar model pertumbuhan endogen dan model Solow. Jika diasumsikan

sebagai pendapatan ditabung dan diinvestasikan, akumulasi modal dengan

(51)

perubahan dalam persediaan modal (ΔK) sama dengan investasi (sY) kurang

penyusutan ( K). Menggabungkan fungsi persamaan ini dengan fungsi produksi

Y= AK, kita dapatkan ΔY/Y = ΔK/K = sA- , persamaan ini menunjukkan apa

yang menentukan tingkat pertumbuhan output ΔY/Y. Selama sA > , pendapatan

perekonomian tumbuh selamanya bahkan tanpa asumsi kemajuan tehnologi

eksogen. Dalam model pertumbuhan endogen, tabungan dan investasi bisa

mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan (Mankiw, 2000).

Dalam Arsyad (1999) teori pertumbuhan Harrod-Domar dikembangkan

oleh Evsey Domar dan Sir Roy F. Harrod. Teori Harrod-Domar ini menganalisis

syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang

dalam jangka panjang. Teori ini berusaha menunjukkan syarat yang dibutuhkan

agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dengan mantap (steady growth). Menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi

tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk mengganti barang-barang

modal ( gedung-gedung, peralatan, material) yang rusak. Namun demikian, untuk

menumbuhkan perekonomian tersebut, diperlukan investasi-investasi baru sebagai

tambahan stok modal . Teori Harrod-Domar ini mempunyai beberapa asumsi

yaitu:

1. perekonomian dalam keadaan pekerja penuh (full employment) dan barang-barang modal yang terdiri dalam masyarakat digunakan secara penuh.

2. perekonomian terdiri dari 2 sektor yaitu sektor rumah tangga dan sector

(52)

28

3. besarnya tabungan masyarakat adalah proposional dengan besarnya

pendapatan nasional, berarti fungsi tabungan dimulai dari titik nol.

4. kecenderungan untuk menabung (marginal propensity to save = MPS) besarnya tetap, demikian juga ratio antara modal-output (capital-output ratio = COR) dan rasio pertambahan modal-output (incremental capital-output ratio = ICOR).

2.5.2. Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah

Ketimpangan pendapatan antar daerah atau wilayah dapat dipandang

sebagai salah satu ukuran dalam melihat perbedaan tingkat kemakmuran antar

daerah, walaupun kemakmuran itu sendiri tidak hanya diukur dengan indikator

pendapatan per kapita, sebagaimana indikator yang digunakan dalam ketimpangan

pendapatan daerah. Penyajian ketimpangan pendapatan antar daerah pada

dasarnya hanyalah memberikan gambaran secara makro mengenai ketimpangan

pendapatan rata-rata antara berbagai daerah atau wilayah tertentu dan tidak

memperlihatkan pola pembagian pendapatan antar golongan penerima

pendapatan.

Todaro (1981) menggambarkan ketimpangan dengan mempertimbangkan

hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dan tingkat ketimpangan

pendapatan untuk negara maju dan negara sedang berkembang dan

menggambarkan ketimpangan pendapatan dari negara-negara tersebut dalam tiga

kelompok, dimana pengelompokan tersebut disesuaikan dengan tinggi, sedang

(53)

(

)

Metode CVw umum digunakan untuk mengukur ketimpangan PDRB per

kapita. Tingkat ketimpangan yang terjadi dalam metode ini tercermin dalam

sebuah angka indeks. Cara pengukuran ini diperkenalkan oleh Williamson (1965)

dengan menimbangnya dengan proporsi penduduk. Semakin besar angka indeks

berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan regional yang terjadi. Indeks CVw

yang dihasilkan dari suatu perhitungan akan sangat sensitif terhadap perbedaan

data yang digunakan. Rumus indeks yang diformulasikan Williamson (1965)

adalah sebagai berikut:

…………..………... (4)

Dimana:

CVw = indeks ketimpangan pendapatan daerah

fi = jumlah penduduk di daerah i (jiwa)

n = penduduk total (jiwa)

= PDRB per kapita di daerah i (rupiah)

= PDRB per kapita untuk propinsi (rupiah)

2.5.3. Pendapatan Domestik Regional Bruto

Prestasi ekonomi suatu bangsa atau Negara dapat dinilai dengan berbagai

ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran

dengan istilah Pendapatan Nasional. Pendapatan Nasional tidak hanya berguna

untuk menilai perkembangan ekonomi suatu bangsa dari waktu ke waktu, tetapi

juga membandingkannya dengan Negara lain. Dikenal beberapa ukuran

(54)

30

Nasional Bruto (PNB), Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto, Net National Product (NNP) atau Produk Nasional Neto (PNN), dan

National Income (NI) atau Pendapatan Nasional (PN) (Dumairy, 1996).

Menurut Gillis et al. dalam Hendra (2004), produk Nasional Bruto (PNB) adalah penjumlahan nilai produk akhir barang dan jasa yang dihasilkan

masyarakat selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) tanpa menghitung

nilai produk antara. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah penjumlahan nilai

produk akhir barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu

tertentu (biasanya satu tahun) tanpa menghitung nilai produk antara, dalam

penghitungannya mengeluarkan pendapatan warga Negara yang berada di luar

negeri, dan memasukkan seluruh produksi dalam negeri termasuk pendapatan

yang diterima warga Negara asing. PDB diangkat regional menjadi PDRB

(Produk Domestik Regional Bruto).

Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode yaitu:

a. Metode Langsung

Dalam menghitung PDRB dengan metode langsung, penghitungan

didasarkan sepenuhnya kepada data daerah yang terpisah dari data nasional,

sehingga hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa

yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Dalam metode ini PDRB dapat dihitung

atau diukur dengan tiga pendekatan yaitu (Dumairy, 1996):

1. Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh

(55)

tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah

menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian;

(2) pertambangan dan galian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan

air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan

komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10)

pemerintahan; (11) jasa-jasa.

2. Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor

produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam

jangka waktu setahun. Balas jasa produksi dimaksudkan meliputi upah dan

gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung

sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam

hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung neto.

Jumlah komponen semua pendapatan persektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau

lapangan usaha.

3. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1)

pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak

mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan

perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; (4) ekspor neto

(56)

32

b. Metode Tidak Langsung/Alokasi

Menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan

mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam masing-masing kelompok

kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator

yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan

ekonomi tersebut.

Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada

data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaiaan kedua metode tersebut akan

saling menunjang satu sama lain, karena metode langsung akan mendorong

peningkatan mutu atau kualitas data daerah, sedang metode tidak langsung akan

merupakan koreksi dan pembanding bagi data daerah.

Dilihat dari penjelasan diatas PDRB dari suatu daerah/wilayah lebih

menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah, bukan pendapatan yang

sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah bersangkutan. Walaupun demikian

PDRB merupakan data yang paling representative dalam menunjukkan

pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

2.5.4. Konvergensi Absolut dan Konvergensi Bersyarat

Studi empiris menunjukkan bahwa meskipun perekonomian miskin

tumbuh lebih cepat dibanding perekonomian kaya, ketimpangan pada tahap awal

pembangunan persaingan perekonomian justru meningkat, hal ini disebabkan

ketimpangan perekonomian daerah yang kaya lebih rendah namun secara relatif

nilai perubahan itu masih terlalu besar dibandingkan perubahan perekonomian di

(57)

Dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi terdapat dua pandangan

tentang konsep konvergensi. Konvergensi terjadi ketika perekonomian miskin

cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian kaya. Property ini

dihubungkan dengan konsep β-convergence yang diperoleh dari analisa regresi antar perekonomian. Konsep konvergensi adalah β-convergence yang terdiri dari konvergensi absolut dan bersyarat serta α-convergence (Garcia dan Soelistianingsih, 1998).

Terjadinya proses konvergensi dimana daerah miskin cenderung tumbuh

lebih cepat tidak serta merta menyebabkan menurunnya disparitas pendapatan

regional per kapita. Artinya β-convergence tidak selalu identik dengan α -convergence. Meskipun tidak identik tetapi secara empiris β-convergence akan terverifikasi ketika α konvergen juga terverifikasi sehingga dalam prakteknya

kedua konsep di atas dapat dilaksanakan bergantian. α-convergence akan terjadi antar beberapa negara ketika negara-negara tersebut mempunyai dispersi

pendapatan per kapita yang cenderung menurun lebih cepat.

Satu kelebihan utama dari β-convergence adalah analisa bersifat dinamis. Bila pengamatan jangka pendek tidak mampu memberi jawaban tentang dampak

dari kebijakan publik, maka kita tidak dapat melihat bahwa dampak tersebut

dalam kecenderungan jangka panjang. Dari sudut pandang teoritis, analisa β -convergence hanyalah analisa deskriptif dan sama sekali tidak berbicara tentang mekanisme di balik bekerjanya konvergensi tersebut, walaupun demikian

analisanya berupa tes langsung terhadap hipotesis teori pertumbuhan neoklasik

(58)

34

(

yt y0

)

t=a+bln

( )

y0 +εt

ln

Dengan analisa β-convergence, dapat diketahui kecepatan konvergensi

secara pasti. Jika konvergensi adalah cepat, maka fokus kita adalah prilaku steady-state sebagaimana telah di ketahui bahwa mayoritas perekonomian berada dekat pada posisi steady-state. Jika konvergensi tidak cepat berarti bahwa posisi perekonomian berada jauh dari posisi steady-state maka lebih baik difokuskan pada pengalaman pertumbuhan yang dialami perekonomian dalam dinamika

transisional.

Model standar pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa tingkat

pertumbuhan tergantung dari perekonomian awal. Hubungan yang negatif antara

pendapatan dengan tingkat pertumbuhan berarti daerah kaya mengalami

pertumbuhan ekonomi rendah yang menunjukkan pendapatan cenderung

konvergen secara absolut. Proses konvergen seperti ini disebut dengan

konvergensi absolut (Absolute Convergence), karena kenyataanya bahwa antar

daerah mempunyai karakteristik perekonomian yang beragam mengakibatkan

dugaan proses konvergensi absolut dinilai menjadi lemah sehingga konvergensi

absolut pada umumnya diikuti oleh konvergensi bersyarat (Conditional

Convergence).

Untuk melihat konsep konvergensi absolut tersebut dengan menggunakan

persamaan

... (5)

Dimana:

ln(yt/y0)/t = Pertumbuhan pendapatan per kapita per tahun pada tahun akhir t

(59)

(

yt y0

)

t=a+b1ln

( )

y0 +bit

ln

yt = PDRB per kapita tahun akhir t (rupiah)

a = Konstanta

b = Koefisien regresi

t = Tahun akhir dikurangi tahun awal

εt = error

Dimana persamaan ini menunjukkan bahwa untuk ß-convergence yang diperoleh adalah harus memenuhi syarat b<0, yang mengimplikasikan tingkat

pengembalian rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita per tahun. Dengan

nilai b yang lebih tinggi akan mengakibatkan kecenderungan mencapai konvergen

yang tinggi pula.

Hipotesis konvergensi absolut tidak selalu ada dengan keluarnya hubungan

negatif antar pendapatan dengan tingkat pertumbuhan. Adakalanya hubungan

tersebut tidak muncul namun ada ketika variabel-variabel lain yang dianggap

berpengaruh seperti pendidikan, kesuburan dan kesehatan yang diikutsertakan

dalam proses regresi. Kecenderungan konvergensi yang timbul dengan syarat

keadaan variabel-variabel tersebut disebut konvergensi bersyarat. Konvergensi

bersyarat merupakan alternatif uji konvergensi apabila daerah-daerah yang diteliti

tidak memiliki heterogenitas parameter-parameter yang memungkinkan setiap

daerah memiliki posisi kondisi mapan (steady-state). Untuk melihat konsep konvergensi bersyarat dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

...(6)

Dimana:

(60)

36

y0 = PDRB per kapita tahun awal (rupiah)

yt = PDRB per kapita tahun akhir (rupiah)

Xi = Tingkat Pendidikan tahun awal

a = Konstanta

b1, b2 = Koefisien regresi

t = tahun akhir dikurangi tahun awal

εt = error

2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual

Dalam pertumbuhan ekonomi di Negara sedang berkembang, pemerintah

lebih memusatkan kepada peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat,

seperti halnya di Indonesia karena memiliki pendapatan yang rendah. Tetapi hasil

perkembangan pembangunan di Indonesia belum merata, masih terjadi

ketimpangan antar KBI dengan KTI, antar daerah maupun antar golongan

masyarakat.

Pembangunan yang dilaksanakan selama PJP 1 telah meningkatkan

pendapatan per kapita masyarakat di Indonesia, tetapi efek yang diharapkan dari

proses trickle down effect sangat lambat mengalir kebawah, bahkan terjadi pergeseran pendapatan yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar daerah.

Ketimpangan yang terjadi antar daerah, baik daerah miskin maupun daerah

kaya salah satunya disebabkan karena adanya perbedaan dari faktor pendidikan,

jumlah maupun kualitas penduduknya, SDA, letak geografisnya, kesehatan, dan

(61)

kapita di suatu daerah bisa rendah, sedang atau tinggi. Sebagai satu kepulauan

pertumbuhan ekonomi di KTI juga sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi

di setiap kabupaten/kota yang ada.

Oleh karena itu, untuk melihat apakah terjadi konvergensi pendapatan

antar kabupaten/kota di KTI dilakukan analisis konvergensi. Bila dari hasil regresi

tersebut tidak terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota, maka

ketimpangan pendapatan makin tinggi. Tetapi bila terjadi konvergensi antar

kabupaten/kota, maka ketimpangan makin menurun. Kerangka pemikiran

(62)

38

Keterangan : = hal yang dibahas

= hal yang dianalisis lebih lanjut

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

Pendapatan antar kabupaten/Kota makin Konvergen

Implikasi Kebijakan dari faktor-faktor yang mempengaruhi ke konvergen pendapatan

• dll Analisis tahun selanjutnya

(1993,1996,& 1998)

(63)

2.5. Hipotesis

Untuk memberi arahan dalam melakukan analisis data, dikemukakan

hipotesis sebagai berikut:

1. Ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Kawasan Timur

Indonesia semakin berkurang.

2. Pertumbuhan pendapatan per kapita yang terjadi antar kabupaten/kota di

Kawasan Timur Indonesia semakin konvergen.

3. Pendidikan meningkatkan kecepatan konvergensi pendapatan antar

Gambar

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1986-2003
Tabel 2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional
Tabel 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia
Gambar 1. Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di kawasan Mebidangro berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.Sedangkan dilihat dari

IDENTIFIKASI POTENSI SEKTOR UNGGULAN DAN TINGKAT KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI KAWASAN. PURWOMANGGUNG TAHUN 2008

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, mengidentifikasi daerah

Untuk kawasan Timur Indonesia diketahui bahwa hubungan ketimpangan wilayah dengan tenaga kerja menghasilkan hubungan yang positif dan tidak begitu kuat sebesar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pertumbuhan ekonomi dan klasifikasi daerah berdasarkan Tipologi Klassen, ketimpangan pendapatan berdasarkan Indeks

Tipologi ketimpangan wilayah di Indonesia Timur sepanjang tahun 2010-2021 yang dibagi ke dalam empat kuadran, yaitu kuadran I tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diikuti oleh laju

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, mengidentifikasi daerah

Pertumbuhan Ekonomi PDRB Penduduk Indeks Williamson Ketimpangan Pembangunan antar wilayah Daerah Maju Hipotesis Kuznets Daerah Tertinggal Faktor yang Mempengaruhi