• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi penggunaan air pada budidaya tebu lahan kering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi penggunaan air pada budidaya tebu lahan kering"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING

PURWONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Efisiensi Penggunaan Air pada Budidaya Tebu Lahan Kering” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Purwono

(4)
(5)

PURWONO. Water Use Efficiency on Upland Sugar Cane. Supervised by DIDY SOPANDIE as the chairman, SRI SETYATI HARJADI and BUDI MULYANTO as the member of advisory committee.

Low Indonesian sugar production is mainly due to low productivity and low sugar yield. The shift of sugarcane crop acreage from low land to upland was the major factor of low productivity. Cultivation of sugarcane in uplands faced many constraints, namely low availaibility of soil water, low soil nutrient and unavailability of appropriate varieties. Cane cultivation in upland is commonly done at the beginning of the wet season (in November) in order to avoid the plant from water stress at the beginning of growth period. This causes the sugarcane age of only 7 months and have not reach maturity at harvest time in June which leads to lower sugarcane productivity.

Shifting planting season is an alternative that can be done to obtain plants with sufficient maturity at the harvest time. However, the consequences of shifting the planting season is that the planting occured on dry season and which means that watering is needed. The limited availability of water demands efficiency in water usage. The application of organic matter as filter cake compost is expected to reduce the frequency of irrigation.

This aims of this study are (1) to study the effect of water supply on performance of several varieties of sugarcane, (2) to study the effect of filter cake compost on nutrient uptake by sugarcane at various irrigation levels, (3) to analyze the efficiency of water usage in connection with the provision of filter cake compost in some varieties of sugarcane, and (4) to develop recommendation of water supply efficiency in the field with the addition of filter cake compost. The study was conducted in three stages of the experiment, which were the performance of several varieties under water stress, the effect of filter cake compost and irrigation on plant nutrient uptake, and the application of filter cake compost and frequency of irrigation on upland sugar cane productivity.

(6)

To study the effect of filter cake compost and water supply on the nutrient uptake of sugarcane, the variety PS 921 was used. The dose of filter cake compost were 0, 5, 10, 15, and 20 tons per hectare and the soil water content were 100%, 75% and 50% FC, respectively. The results of this experiments show that the uptake of P by sugarcane was influenced by soil water content, whereas filter cake compost was not significantly influenced. The results of nutrient analysis showed residual P was greater in soil with low water content but it has smaller dry weight. The effect of filter cake compost was not significant in this experiment. Sugarcane plants under low water level condition have a smaller shoot-root ratio. This indicates that sugarcane plants overcome water shortage conditions by increasing root growth as their effort to fulfill the need of water. This has caused prolinae content not to increase in plans under water stress conditions.

Field experiments using two varieties of PS 862 and PS 864 showed that addition of filter cake compost on Regosol soil was able to reduce the frequency of irrigation from once a week to 2 weeks without lowering the yield. The amount of water needed at each watering was 100 m3. The amount of water needed per month was 20% of crop evapotranspiration (ETp) amount. The highest yield of plants obtained was on plants treated with 5 tons filter cake compost with two weeks irrigation frequency. The relationship between the dose of filter cake compost with crystall sugar, showed that the highest yield, 7.62 tons, achieved at dose of 3 tons filter cake compost per hectare. With a furrow area 36% of the total area, so if an application made to the entire surface of the ground with the applicator, the doses is equivalent to 8 tons.

The results showed that the productivity of sugar could be increased if the plant has sufficient maturity at harvested. This could be achieved if planting is shifted 2 months earlier before the rainy season. To ensure the early growth of plants, watering should be given. With the application of filter cake compost irrigation could be given every 2 weeks. If water conditions in the field is sufficient, recommendation of varieties are those that have high yield potential which are varieties similar to PS 921 or PS 862. Under lower soil water content it was recommended to use varieties similar to PS 864.

(7)

PURWONO. Efisiensi Penggunaan Air pada Budidaya Tebu Lahan Kering. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE sebagai Ketua, SRI SETYATI HARJADI, dan BUDI MULYANTO sebagai Anggota Komisi.

Rendahnya produksi gula di Indonesia disebabkan oleh rendahnya produktivitas gula dan terutama disebabkan oleh rendahnya rendemen. Pergeseran areal pertanaman tebu dari lahan sawah ke lahan kering menjadi faktor utama rendahnya produktivitas. Pengusahaan tebu di lahan kering menghadapi kendala ketersediaan air, rendahnya ketersediaan unsur hara dan penentuan varietas yang sesuai. Penanaman tebu di lahan kering umumnya dilakukan pada awal musim hujan (November) agar tanaman tidak mengalami cekaman air pada awal pertumbuhan. Namun dengan masa tanam ini tanaman tebu belum cukup umur pada saat tebang awal (Juni), sehingga produktivitasnya rendah.

Pergeseran masa tanam merupakan alternatif yang dapat dilakukan agar umur tanaman sudah cukup tua pada saat ditebang. Konsekuensi pergeseran masa tanam adalah menanam tebu pada akhir musim kemarau yang berarti harus melakukan penyiraman. Jumlah air yang terbatas menuntut efisiensi penggunaan air di lapangan. Aplikasi bahan organik berupa kompos blotong diharapkan dapat menekan frekuensi penyiraman.

Penelitian ini bertujuan (1) mempelajari pengaruh pemberian air terhadap keragaan beberapa varietas tebu, (2) mempelajari pengaruh pemberian kompos blotong terhadap serapan hara oleh tanaman tebu pada kadar air yang berbeda, (3) menganalisis efisiensi penggunaan air sehubungan dengan pemberian kompos blotong pada beberapa varietas tebu, dan (4) mendapatkan rekomendasi pemberian air yang efisien di lapangan dengan adanya penambahan kompos blotong. Penelitian dilakukan dengan tiga tahapan percobaan, yaitu keragaan beberapa varietas terhadap cekaman air, peranan kompos blotong dan penyiraman terhadap serapan hara, dan aplikasi kompos blotong dan frekuensi penyiraman pada tebu lahan kering.

Varietas tebu yang digunakan pada percobaan keragaan varietas pada tiga kadar air tanah adalah PS 851, PS 864, PS 862, PS 921, PS 951, PS 91-787 dan BL. Dari pengamatan yang dilakukan selama 3 bulan, terlihat bahwa cekaman air mulai nyata pada kadar air 50% KL. Dari perhitungan Drought Tolerance Index (DTI) ketujuh varietas hanya mampu tumbuh dengan baik sampai kadar air tanah 75% KL. Varietas BL dan PS 864 memiliki nilai mendekati nilai toleran, sedangkan lainnya memiliki nilai cukup toleran. Meskipun nilai DTI varietas PS 921 termasuk sedang tetapi memiliki biomasa yang paling tinggi pada semua perlakuan kadar air tanah dan kebutuhan air paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa varietas PS 921 memiliki potensi paling tinggi di antara varietas lainnya sebagai varietas tebu lahan kering.

(8)

dicobakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20 ton per ha dan kadar air tanah 100%, 75% dan 50% KL. Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa serapan hara P oleh tanaman dipengaruhi oleh kadar air tanah. Hasil analisis unsur hara menunjukkan sisa P lebih besar pada tanah dengan kondisi kadar air tanah yang rendah, artinya jumlah yang diserap lebih kecil. Serapan unsur P yang rendah sejalan dengan rendahnya bobot kering tanaman yang semakin kecil pada kadar air tanah yang semakin rendah. Tanaman pada kondisi kadar air tanah yang rendah memiliki nisbah tajuk-akar yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman tebu mengatasi kondisi kekurangan air dengan memperbesar pertumbuhan akar daripada tajuk, sehingga menjadi alasan mengapa kandungan prolina tidak meningkat pada kondisi tanaman mengalami cekaman air.

Percobaan lapangan menggunakan dua varietas yaitu PS 862 dan PS 864 menunjukkan bahwa pemberian kompos blotong pada tanah Regosol mampu mengurangi frekuensi penyiraman dari seminggu sekali menjadi 2 minggu sekali tanpa menurunkan rendemen. Jumlah air yang dibutuhkan pada tiap penyiraman adalah 100 m3. Jumlah air yang dibutuhkan per bulan sebesar 20% dari jumlah evapotranspirasi tanaman (ETp). Rendemen tertinggi diperoleh pada tanaman yang diberi kompos blotong 5 ton dengan frekuensi penyiraman 2 minggu sekali. Hubungan antara dosis kompos blotong dengan hasil hablur gula menunjukkan bahwa hasil tertinggi, yaitu 7,62 ton, dicapai pada dosis kompos blotong 3 ton per ha. Dengan luas juringan 36% dari total luas areal maka jika dilakukan aplikasi ke seluruh permukaan tanah dengan aplikator, dosis ini setara dengan 8 ton.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas gula akan dapat ditingkatkan jika tanaman memiliki kematangan yang cukup pada saat ditebang. Hal ini akan dapat dicapai jika penamanan digeser 2 bulan lebih awal sebelum musim hujan. Untuk menjamin pertumbuhan awal tanaman, harus diberikan penyiraman. Dengan pemberian kompos blotong, penyiraman air dapat dilakukan 2 minggu sekali. Jika kondisi air di lapangan mencukupi, varietas yang disarankan adalah yang memiliki potensi hasil tinggi yaitu varietas sejenis PS 921 atau PS 862, tetapi jika kondisi air tanah kurang, disarankan menggunakan varietas sejenis PS 864.

(9)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING

PURWONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

1. Prof . Dr. Ir. M. A. Chozin

(Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

2. Dr. Ir. Tri Koesoemaningtyas, MSc

(Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka :

1. Prof . Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSc

(Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

2. Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo, MS

(13)

Nama : Purwono Nomor Pokok : A361020011

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Ketua

Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

(14)
(15)

xv

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat selesai dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Saat ini produksi gula Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri yang tiap tahun terus meningkat. Rendahnya produksi gula dalam negeri disebabkan rendahnya produktivitas gula. Pergeseran areal tebu ke lahan kering adalah penyebab penting menurunnya produktivitas gula. Diperlukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi dalam rangka mencapai swasembada nasional. Untuk mendukung program swasembada gula nasional, disusun penelitian berdasarkan suatu rangkaian pemikiran dan serangkaian percobaan berjudul ”Efisiensi Penggunaan Air pada Budidaya Tebu Lahan Kering”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan dari mulai penyusunan proposal penelitian hingga penulisan disertasi, sehingga disertasi ini dapat selesai dengan baik.

Ucapan terimakasih dan penghargaan disampaikan juga kepada :

1. Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Wakil Rektor Bidang Akademik, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Kepala Bagian Produksi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas pemberian ijin dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

(16)

xvi

4. Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto yang telah menguji penulis pada Ujian Prakualifikasi Program Doktor di IPB.

5. Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin dan Dr. Ir. Tri Koesoemaningtyas, M.Sc sebagai penguji pada Ujian Tertutup Program Doktor di IPB.

6. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSc dan Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo, MS sebagai penguji pada Ujian Terbuka Program Doktor di IPB.

7. Pimpinan dan Staf PTPN X Surabaya yang telah memberikan fasilitas dan dukungan selama penulis melakukan percobaan lapangan di Jengkol Kediri. 8. Istriku Murdiningsih dan anakku Dimas Aji Supriyanto yang selalu memberikan

dukungan dan semangat selama penulis menyelesaikan studi.

9. Sdr. Aga Fathir dan Indah Rahmawati yang telah membantu pelaksanaan penelitian di rumah kaca.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang bergerak di bidang pengusahaan tanaman tebu dan pergulaan.

Bogor, Januari 2012

(17)

xvii

Penulis adalah anak pertama pasangan H. Gijono (Alm) dan Hj. Desmi, lahir di Pekalongan pada tanggal 22 September 1958. Menyelesaikan pendidikan Sarjana di Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1981. Pada tahun 1985 penulis diterima di Program Studi Agronomi, Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1989. Masuk Program Doktor pada Program Studi Agronomi, Pascasarjana IPB, tahun 2002.

(18)
(19)

xix

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan ... 8

Hipotesis ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 11

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Tebu ... 11

Proses Pembentukan Gula dan Perimbangan Sink-Source ... 14

Karakteristik Lahan Kering ... 18

Tanggap Tanaman Tebu terhadap Kekeringan ... 21

Bahan Organik ... 27

Varietas Tebu untuk Lahan Kering ... 30

KERAGAAN VARIETAS TEBU PADA BEBERAPA KADAR AIR TANAH .. 33

Abstrak ... 33

Abstract ... 34

Pendahuluan ... 35

Bahan dan Metode ... 36

Hasil Percobaan ... 38

Pembahasan ... 49

Simpulan ... 53

PERANAN KOMPOS BLOTONG DAN KADAR AIR TANAH TERHADAP SERAPAN HARA ... 55

Abstrak ... 55

Abstract ... 56

Pendahuluan ... 57

Bahan dan Metode ... 58

Hasil Percobaan ... 60

Pembahasan ... 66

(20)

xx

APLIKASI KOMPOS BLOTONG DAN FREKUENSI PENYIRAMAN PADA

TEBU LAHAN KERING ... 71

Abstrak ... 71

Abstract ... 72

Pendahuluan ... 73

Bahan dan Metode ... 74

Hasil Percobaan ... 79

Pembahasan ... 89

Simpulan ... 92

PEMBAHASAN UMUM ... 95

Penataan Varietas ... 96

Peranan Kompos Blotong terhadap Efisiensi Penggunaan Air dan Pergeseran Waktu Tanam ... 98

Peningkatan Rendemen Efektif ... 101

Kontribusi Hasil Penelitian terhadap Swasembada Gula ... 103

SIMPULAN DAN SARAN... 107

Simpulan ... 107

Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 111

GLOSARI ... 117

(21)

xxi

1. Pembagian umur dan fase pertumbuhan tanaman tebu ... 11

2. Persentase tiap bagian vegetatif tanaman tebu ... 12

3. Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974) ... 13

4. Kecukupan hara berdasarkan analisis tanaman ... 13

5. Hasil analisis tanah di wilayah Jombang dan Kediri ... 21

6. Nilai (kc) tebu berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber and Smith, 2005) ... 23

7. Hasil analisis kompos blotong ... 30

8. Tinggi tanaman tebu umur 2 MST sampai dengan 12 MST ... 39

9. Interaksi antara varietas dan kadar air untuk peubah tinggi tanaman tebu umur 12 MST ... 40

10. Jumlah daun tiap tanaman umur 2 - 12 MST ... 41

11. Luas daun tiap tanaman umur 2 – 12 MST ... 41

12. Interaksi antara varietas dan kadar air terhadap luas daun umur 12 MST ... 42

13. Interaksi antara varietas dan kadar air untuk peubah diameter batang umur 12 MST ... 43

14. Interaksi antara varietas dengan kadar air tanah terhadap jumlah tunas... 43

15. Kandungan karbohidrat, protein, nisbah karbohidrat/protein, dan jumlah stomata pada tanaman ... 44

16. Interaksi varietas dan kadar air terhadap bobot kering tanaman ... 46

17. Total air ditambahkan dan nisbah dengan bobot kering per tanaman ... 46

18. Kandungan prolina pada jaringan tanaman ... 47

19. Nilai DTI masing-masing varietas pada kondisi kadar air tanah 75% KL dan 50% KL ... 52

20. Analisis tanah pada awal percobaan ... 60

21. Jumlah air yang ditambahkan 1 BST dan 1-2 BST ... 61

22. Interaksi antara kadar air dengan dosis kompos terhadap penambahan air total ... 62

23. Tinggi tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST ... 62

24. Jumlah daun tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST ... 63

25. Luas daun tanaman tebu umur 4, 8 dan 12 MST ... 64

26. Jumlah tunas, bobot kering dan nisbah tajuk/akar tanaman tebu ... 65

27. Kandungan unsur hara tanaman tebu ... 66

(22)

xxii

29. Analisis tanah sebelum percobaan... 80 30. Tinggi tanaman tebu umur 1 BST sampai dengan 6 BST ... 83 31. Jumlah tunas tanaman tebu umur 1 sampai dengan 6 BST ... 84 32. Panjang lengkung daun tanaman tebu umur 1 BST dan 3 BST ... 84 33. Diameter batang tanaman tebu umur 5 BST dan 6 BST ... 85 34. Kandungan unsur hara pada daun tanaman tebu ... 86 35. Kandungan unsur hara tanah pada umur tanaman 4 BST ... 87 36. Brix, Pol, Harkat Kemurnian (HK), Nilai Nira, KNT, Rendemen Sementara,

dan Rendemen Efektif ... 88 37. Kecenderungan interaksi antara pemberian air dengan dosis kompos

(23)

xxiii

1. Bagan alir kerangka pemecahan masalah ... 8 2. Bagian batang tebu dewasa ... 13 3. Rumus kimia sukrosa ... 14 4. Reaksi singkat pembentukan sukrosa pada tebu (Babb and Haigler, 2001) ... 15 5. Persentase bahan kering, gula dan nitrogen pada batang tebu

(Sudiatso, 1999) ... 15 6. Perkembangan rendemen sejalan dengan umur tanaman varietas

CP 80-1827 (Gilbert et al. 2001) ... 16 7. Persentase brix dan pol per periode analisis (2 minggu) di Indonesia

(Sudiatso, 1999) ... 17 8. Hubungan antara defisit air dengan rendemen gula relatif (Dorenbos and

Kasam, 1987 dalam Irianto et al., 2000) ... 25 9. Neraca bahan pada proses pengolahan gula tebu (PG Gunung Madu

Plantation, 1999) ... 29 10. Penampang melintang batang varietas PS 851, PS 921, dan BL ... 48 11. Curah hujan rata-rata di Kebun Jengkol bulan Mei 2006 – Okt 2007 ... 79 12. Curah hujan rata-rata di Kebun Jengkol tahun 1990-2007 ... 80 13. Evapotranspirasi potensial (ETp) dan evapotranspirasi tanaman tebu (ETc)

Tahun 2006 di Kebun Jengkol ... 81 14. (a) Kadar air tanah pada penyiraman 1 minggu sekali; (b) Kadar air tanah

pada penyiraman 2 minggu sekali; (c) Kadar air tanah pada penyiraman 3

minggu sekali. ... 82 15. Pola tanam tebu di Jawa saat ini (a) dan penggeseran masa tanam varietas

(24)

xxiv

(25)

1

Latar Belakang

Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia semula terkenal sebagai negara pengekspor gula yang cukup besar dan diperhitungkan di dunia, tetapi saat ini justru berubah menjadi negara pengimpor gula dalam jumlah cukup besar. Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia, untuk tahun 2009, pada saat produksi dalam negeri sekitar 2,45 juta ton, kebutuhan domestik sekitar 4,64 juta ton, atau kemampuan produksi dalam negeri sekitar 53 persen. Tahun 2010 kebutuhan gula Indonesia mencapai 4,8 juta ton yang terdiri 2,6 juta ton gula konsumsi rumah tangga langsung dan 2,2 juta ton untuk industri makanan dan minuman. Sementara itu produksi gula kristal putih nasional dari tebu menurun drastis hanya sebesar 2,2 juta ton. Dengan kondisi tersebut, ketergantungan pemenuhan gula dalam negeri 56% terhadap total kebutuhan. Jumlah impor gula tahun 2010 mencapai 2,5 juta ton lebih yang terdiri 2,4 juta ton raw sugar, 75 ribu ton gula rafinasi, dan 118 ribu ton gula kristal putih.

Pada tahun 2010/2011 produksi gula dunia mencapai 168 juta ton atau naik 4,66% dari tahun 2009/2010 sebesar 161 juta ton. Sementara konsumsi pada tahun 2010/2011 mencapai 167,9 juta ton, sehingga stok gula dunia mencapai 58,8 juta ton. Jumlah stok ini hampir sama dengan stok tahun sebelumnya. Namun meskipun stok jumlahnya relatif sama, karena jumlah konsumsi meningkat maka nisbah antara stok dengan konsumsi menurun dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 35,04 persen1. Stok gula dunia diperkirakan akan terus berkurang sejalan dengan meningkatnya harga minyak bumi yang ternyata mendorong industri tebu menjadi etanol. Akibat persaingan antara penggunaan tebu untuk gula dan untuk etanol, maka harga gula dunia cenderung bertahan pada tingkat yang tinggi. Sebagai negara yang mengimpor gula dalam jumlah besar, bagi Indonesia baik kelimpahan maupun kelangkaan gula dunia sangat nyata pengaruhnya terhadap kondisi pergulaan di Indonesia.

Pemerintah Indonesia mencanangkan program swasembada gula tercapai pada tahun 2014. Kebutuhan total gula tahun 2014 diproyeksikan sebesar 5,6 juta ton,

1

(26)

terdiri dari gula kristal putih sebesar 3 juta ton dan gula kristal rafinasi sebesar 2,6 juta ton. Dengan asumsi produktivitas gula sebesar 7,44 ton per ha, swasembada gula akan tercapai jika luas areal meningkat menjadi 766 ribu ha (Dewan Gula Indonesia, 2007).

Data tahun 2010 menunjukkan bahwa luas kebun tebu di Indonesia adalah 450 ribu ha. Luasan ini terdiri dari tebu petani (TR) sekitar 57,8% dan kebun tebu milik pabrik gula sekitar 42,2 persen. Pada tahun yang sama, di Jawa persentase kebun tebu petani sekitar 73,80%, sedangkan kebun milik pabrik gula sekitar 26,20 persen. Dari total luas tanaman tebu tersebut 77,27% adalah tebu yang dibudidayakan di lahan kering (Dewan Gula Indonesia, 2011). Pulau Jawa yang semula sebagai sentral produksi gula nasional semakin bergeser dengan semakin sulitnya diperoleh lahan yang sesuai untuk areal produksi tebu. Berdasarkan luas areal tebu yang ada saat ini, untuk mencapai swasembada diperlukan penambahan 15 pabrik gula dengan areal minimum 350 ribu ha.

Salah satu faktor penting rendahnya produktivitas gula di Indonesia adalah rendahnya rendemen tebu yang dicapai. Dari data yang diperoleh 10 tahun terakhir terlihat bahwa rendemen rata-rata di Indonesia jarang melampaui 7%, bahkan di beberapa pabrik gula rendemen yang diperoleh hanya sekitar 6,5 persen. Pencapaian produktivitas gula tebu tahun 2010 hanya sebesar 5,29 ton per ha. Hasil ini diperoleh dari rendemen rata-rata tebu sebesar 6,47% dan produktivitas tebu sebesar 80,56 ton per ha. Jika dibandingkan dengan negara penghasil gula yang saat ini surplus di Asia, yaitu Thailand dan Cina, sebenarnya data produktivitas tebu Indonesia tidak terlalu rendah. Produktivitas tebu rata-rata di Cina saat ini adalah 77,1 ton dengan rendemen rata-rata 14%. Yunnan merupakan salah satu provinsi penghasil gula terbesar di Cina dan mengalami peningkatan produktivitas dari 60 ton menjadi 80 ton tebu per hektar. Rata-rata produkitivitas tebu di Thailand sekitar 70-75 ton per hektar dengan rendemen rata-rata 12 persen2. Negara penghasil gula terbesar saat ini adalah Brasil, dari data yang ada ternyata tingginya hasil gula per hektar disebabkan oleh tingginya rendemen yaitu 14-16% sedangkan hasil tebunya hanya antara 68-70

2

(27)

ton per hektar. Sementara hasil tebu di Australia saat ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yaitu 84 ton per ha tetapi dengan rendemen 14-15 persen3.

Meskipun hasil gula per satuan luas ditentukan oleh hasil tebu dan rendemen, tetapi peningkatan rendemen jauh lebih strategis dibandingkan peningkatan hasil tebu. Pilihan ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain efisiensi akan lebih tinggi jika rendemen yang ditingkatkan daripada pada hasil tebu. Efisiensi ini tercapai dengan penghematan biaya tebang angkut sampai dengan proses pengolahan tebu menjadi gula. Jika produktivitas gula dapat ditingkatkan sesuai asumsi dalam road map atau lebih tinggi, kebutuhan tambahan areal tidak perlu sampai 300 ribu ha. Potensi rendemen tebu di Indonesia memungkinkan pencapaian rendemen riel lebih dari 8 persen. Kontribusi varietas dan masa tanam yang tepat dapat mencapai > 20% dari produktivitas yang dicapai saat ini (P3GI, 2011).

Proses pembentukan gula yang sesungguhnya terjadi pada tanaman melalui suatu proses metabolisme yang panjang dari mulai fotosintesis sampai dengan pembentukan sukrosa. Tebu adalah tanaman semusim yang akan berakhir masa pertumbuhannya dengan berbunga pada bulan Mei-Juni (Barnes, 1974). Pembentukan sukrosa terjadi mulai awal musim kemarau, karena dipacu oleh enzim Sukrosa Phosphate Synthetase (Lehninger, 1982; Babb and Haigler, 2001). Sementara itu pembentukan gula monosakarida mulai terjadi saat tanaman berumur 4 bulan setelah tanam. Hal ini berarti tanaman tebu harus memiliki masa pertumbuhan yang cukup untuk membentuk gula monosakarida yang nantinya akan diubah menjadi sukrosa.

Sebagian besar tebu saat ini diusahakan di lahan kering sehingga umumnya ditanam di awal musim hujan, yaitu bulan November–Desember dengan tujuan menghindarkan tanaman dari cekaman air. Tanaman tebu yang ditanam pada awal musim hujan akan digiling pada musim kemarau (Juni–September ) tahun berikutnya sehingga umur tanaman berkisar 8 bulan. Dengan umur ini tentu saja tanaman belum cukup matang pada saat dipanen, sehingga produktivitas yang dicapai tidak maksimum. Untuk mendapatkan masa pertumbuhan yang cukup, masa tanam harus digeser lebih maju ke akhir musim kemarau. Penggeseran masa tanam harus disertai dengan penyiraman agar tanaman tidak mengalami cekaman air di awal

3

(28)

pertumbuhannya. Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi pada daerah semi arid. Sistem budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien air hujan yang tersimpan dalam tanah. Jumlah air yang tersedia di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan ketersediaan bahan organik. Hal ini menyebabkan pasokan air sering kurang mencukupi untuk pertumbuhan tanaman. Selain ketersediaan air, masalah kritis di lahan kering adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah. Ketersediaan hara, terutama P kurang baik, dan kandungan bahan organik sangat rendah. Dari pengukuran di beberapa tempat di Jawa Timur, kandungan bahan organik kurang dari 3%, padahal tanah untuk tanaman tebu seharusnya memiliki kandungan bahan organik tanah tidak kurang dari 5 persen. Rendahnya kandungan bahan organik menyebabkan efisiensi pemupukan dan retensi air rendah.

(29)

Oleh sebab itu diperlukan suatu cara yang tepat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman yang ditanam lebih awal (akhir musim kering).

Peningkatan efisiensi penggunaan air dapat dilakukan dengan pengurangan tambahan air tetapi pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Kondisi ini dapat terjadi jika evaporasi dapat dikurangi sehingga air di tanah tetap tersedia bagi tanaman. Cara lain untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air adalah dengan menanam varietas yang tahan kekeringan, sehingga tanaman tebu tetap tumbuh dengan baik meskipun mengalami kekurangan air atau hanya mendapat tambahan air yang relatif sedikit.

(30)

produtivitas tebu 10% dan rendemen 0,5 sampai 0,7 persen4. Hasil nyata juga dapat dilihat pada keberhasilan Pabrik Gula Gunung Madu dan Sugar Group di Lampung dalam peningkatan rendemen melalui program soil building dengan pemberian bahan organik berupa blotong secara kontinyu pada tanaman tebu pertama (plant cane). Praktik aplikasi pemberian blotong ataupun kompos blotong yang banyak dilakukan masih bertujuan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, sedangkan terhadap pengurangan frekuensi penyiraman belum dilakukan.

Perumusan Masalah

Dari penelusuran aspek yang menjadi penentu produksi gula di dalam negeri, dapat ditarik beberapa hal penting, yaitu penurunan produksi gula lebih disebabkan oleh penurunan produktivitas tebu dan rendahnya rendemen yang dicapai daripada produktivitas tebu dan luas areal. Luas areal tanaman tebu relatif tetap selama 5 tahun terakhir. Penurunan produktivitas karena rendahnya rendemen ini antara lain disebabkan oleh pergeseran areal (wilayah produksi) lahan tebu dari lahan sawah irigasi ke lahan kering. Permasalahan pengusahaan tebu di lahan kering adalah : a. Umumnya di lahan kering tebu ditanam di awal musim hujan. Pada saat itu

curah hujan masih rendah dan kadar air tanah yang kurang terjamin, bahkan sering kurang terutama di awal pertumbuhan, sehingga pertumbuhan awal terhambat.

b. Kesuburan tanah kurang baik terutama ketersediaan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tebu (N, P, dan K). Akibatnya selain pertumbuhan terganggu, proses pembentukan gula tidak berlangsung dengan baik, sehingga rendemen yang diperoleh rendah.

c. Kandungan bahan organik rendah (lahan untuk tebu menghendaki kandungan bahan organik minimum 3%)

d. Varietas kurang sesuai, karena selama ini orientasi perakitan varietas adalah untuk lahan sawah dengan pengairan yang terjamin. Akibat ketidaksesuaian ini tanaman mengalami cekaman air pada awal pertumbuhan yang ditunjukkan dengan berkurangnya pembentukan anakan dan berkurangnya tinggi dan

4

(31)

diameter batang. Pada saat musim hujan datang, tanaman akan lebih memperbaiki pertumbuhan vegetatif sehingga pembentukan gula tidak maksimum.

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka di lapangan dilakukan tindakan pemecahan: a. Memberikan pengairan di awal pertumbuhan, biasanya selama 3 bulan sebelum

air hujan mencukupi kebutuhan air tanaman.

b. Melakukan pemupukan untuk mencukupi unsur hara. Pupuk yang diberikan adalah pupuk anorganik (Urea dan ZA, SP-36, dan KCl) untuk mencukupi kebutuhan unsur hara makro yang dianggap kurang.

c. Penggunaan varietas yang dianggap sesuai ditanam di lahan kering dengan kriteria memiliki potensi hasil tinggi.

Namun dari tindakan yang diambil ternyata belum mampu menyelesaikan masalah, karena :

a. Pemberian air memang mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman, tetapi keterbatasan jumlah air dan tambahan biaya menimbulkan masalah yang tidak mudah diatasi di lapangan. Air menjadi mahal jika diberikan secara tidak tepat, khususnya di Jawa yang umumnya sumber air untuk irigasi adalah sumur.

b. Pemupukan yang dilakukan ternyata sering tidak berpengaruh besar terhadap hasil. Hal ini karena kondisi fisik tanah kurang baik akibat rendahnya bahan organik. Daya tukar kation dan aerasi tanah kurang baik, sehingga serapan hara oleh akar tanaman menjadi kurang baik.

c. Penggantian varietas ternyata belum mampu mengatasi permasalahan budidaya tebu di lahan kering. Beberapa varietas yang digunakan ternyata tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi lahan kering. Diperlukan suatu pengujian yang cermat terhadap varietas yang akan ditanam di lahan kering, sebab varietas yang memiliki potensi hasil tinggi belum tentu sesuai untuk tiap wilayah. Pemilihan varietas harus didasarkan pada sifat toleran terhadap kekeringan dan memiliki respon tinggi terhadap pemberian air.

(32)

JUMLAH AIR

PERGESERAN LAHAN DARI SAWAH KE LAHAN KERING

HASIL TEBU DAN RENDEMEN TINGGI PENYEBAB

PRODUKTIVITAS TURUN (HASIL TEBU & RENDEMEN RENDAH)

PENAMBAHAN

2 1 KADAR AIR TANAH KURANG 4 TIDAK COCOKVARIETAS

PER

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemecahan masalah

Tujuan

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tebu yang ditanam di lahan kering. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah:

(33)

b. Mempelajari pengaruh pemberian kompos blotong terhadap serapan hara oleh tanaman tebu pada kadar air tanah yang berbeda.

c. Menganalisis efisiensi penggunaan air sehubungan dengan pemberian kompos blotong pada beberapa varietas tebu.

d. Mendapatkan rekomendasi pemberian air yang efisien di lapangan dengan adanya penambahan kompos blotong.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Tiap varietas akan memiliki keragaan yang berbeda pada tingkat kadar air tanah yang berbeda.

2. Pemberian kompos blotong akan memperbaiki efisiensi serapan hara, sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik, yang ditunjukkan dengan peningkatan hasil tebu dan rendemen.

3. Pemberian air yang cukup di awal pertumbuhan tanaman (dari tanam sampai awal musim hujan) akan memperbaiki pertumbuhan tanaman.

(34)
(35)

11

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk tanaman C4 yang sudah mengalami adaptasi dari tanaman liar (Saccharrum robustum L.). Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dapat dibagi menjadi dua bagian penting, yaitu secara vegetatif dan reproduktif. Penggolongan ini sangat penting diketahui mengingat tujuan akhir pengusahaan tanaman tebu adalah hasil gula (sukrosa) yang merupakan resultan dari hasil batang tebu dan kandungan gula yang dikandungnya. Faktor yang mempengaruhi hasil tanaman tebu adalah varietas, lingkungan termasuk tanah, iklim, suplai air, teknik budidaya, dan umur tanaman.

Secara umum tanaman tebu dikembangbiakkan secara vegetatif menggunakan stek tanaman. Pertumbuhan tebu dibagi menjadi 4 fase, yaitu (1) perkecambahan sampai dengan tunas muncul di permukan tanah, (2) pembentukan anakan sampai dengan pembentukan kanopi secara penuh, (3) pembentukan dan pemanjangan batang, dan (4) pematangan (Wiedenfeld, 2000). Fase petumbuhan tanaman tebu dan umurnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pembagian umur dan fase pertumbuhan tanaman tebu

Umur tanaman (Bulan) Fase pertumbuhan

0 – 1 Perkecambahan – pertumbuhan tunas 1 – 2 Pembentukan anakan

2 – 3 Pembentukan anakan

2,5 – 4 Pertumbuhan anakan - kanopi penuh

4 – 10 Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang) 10 – 11 Pematangan - awal senesen

11 – 12 Matang

(36)

tanaman berbunga musim, artinya saat berbunga ditentukan oleh musim dan untuk Indonesia saat berbunga sekitar bulan Maret.

Jika kondisi sesuai untuk pertumbuhan, batang akan memanjang sampai fase generatif. Namun jika suhu turun terlalu rendah dan hujan atau irigasi kurang, pertumbuhan terganggu dan akhirnya berhenti. Tanaman akan segera beralih ke fase reproduktif dengan membentuk sukrosa. Akibat pertumbuhan yang singkat, maka biomasa yang dihasilkan kurang baik.

Hasil fotosintesis yang berlangsung selama pertumbuhan akan diekspresikan pada bagian tanaman yang terdapat di atas tanah (tajuk) dan di bawah tanah (perakaran). Komposisi bagian vegetatif tebu yang matang dengan memisahkan daun dan pelepah tua (trash) telah banyak diukur. Proporsi dari bagian-bagian tanaman bervariasi menurut varietas, umur, dan keadaan tempat tumbuh tanaman. Pada Tabel 2 disajikan proporsi secara umum tiap bagian tanaman (Barnes, 1974). Tabel 2 Persentase tiap bagian vegetatif tanaman tebu

Bagian Tanaman Bobot kering

(%) Bagian bawah tanah

 Bongkol (stubble) 4,5

 Akar 12,7

Bagian atas tanah

Trash (daun dan pelepah kering) 24,6

 Batang 49,2

 Pucuk 9,0

(37)

Tabel 3 Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974)

Komposisi Bagian batang

3 2 1 a b c d

Brix nira (%) 7,54 10,00 11,69 13,64 15,87 17,77 20,75

Sukrosa (% tebu) 2,24 5,02 7,08 9,94 12,93 15,50 19,50

Kemurnian nira (HK) 29,70 50,20 60,60 72,90 81,50 87,20 94,00

Bobot (% total) 12,69 1,27 1,48 1,74 1,99 2,25 78,58

Daun + 1 Titik batas (patah)

No. d No. c No. b No. a 1 2 3

Gambar 2 Bagian batang tebu dewasa

Pertumbuhan tanaman tebu berhubungan dengan status hara yang dikandung dalam tanaman. Kekurangan hara (kahat) yang terjadi akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembentukan gula. Pada Tabel 4 disajikan status hara tanaman dalam status kecukupan (Sanchez dalam Jacob, 2001).

Tabel 4 Kecukupan hara berdasarkan analisis tanaman

No Unsur hara Satuan Nilai

1 N % 1,5

2 P % 0,05

3 K % 2,25

4 Ca % 0,15

5 Mg % 0,1

6 S % 0,01

7 Cu ppm 1

8 Fe ppm 5

9 Mn ppm 10

(38)

Proses Pembentukan Gula dan Perimbangan Sink-Source

Bahan penting dari tanaman tebu yang merupakan hasil utama adalah sukrosa yang merupakan gula disakarida hasil penggabungan antara glukosa dan fruktosa (Gambar 3). Sukrosa termasuk bukan gula pereduksi berbeda dengan glukosa yang dapat mereduksi Cu2O4 dalam larutan basa menjadi CuO2 (Lehninger, 1982). Sifat

molekul sukrosa yang khas adalah sangat mudah untuk dikristalkan, sehingga dipilih sebagai pemanis komersial yang menyuplai 13% dari total energi yang dibutuhkan oleh manusia. Sukrosa dikenal secara umum sebagai gula tebu meskipun terdapat juga dalam tanaman sumber pemanis lain yang dikenal, terutama beet gula (http://encarta.msn.com/encyclopedia_761573894/Sugar).

Gambar 3 Rumus kimia sukrosa

Pada Gambar 4 disajikan lintasan ringkas pembentukan sukrosa pada tanaman. Sukrosa dibentuk oleh tanaman melalui jalur glukosa-6-fosfat yang berubah menjadi fruktosa-6-fostat. Dari bentuk ini tampak bahwa unsur P sangat dibutuhkan dalam reaksi awal pembentukan sukrosa. Pada tahap selanjutnya reaksi penggabungan akan terjadi dengan aktivator enzim Sukrosa Phosphat Sintetase (SPS). Kerja enzim SPS sangat dipengaruhi oleh radiasi dan suhu udara. Itulah sebabnya diperlukan bulan kering nyata pada fase kematangan tanaman tebu agar terbentuk sukrosa (Babb and Haigler, 2001). Namun kinerja enzim ini tidak sederhana sebab menyangkut proses pembentukan gula monosakarida, serapan unsur P dan kondisi jaringan tanaman (Tetlow et al., 2004).

Sesuai dengan letak sukrosa dalam sel (dalam vacuola), maka penumpukan akan mulai terjadi pada bagian batang yang lebih tua, yaitu pangkal batang (No. d pada Gambar 2). Kemudian berturut-turut akan tertimbun pada bagian batang yang

Glukosa Fruktosa

(39)

lebih muda (Gambar 2). Hal ini berarti pada saat pembentukan gula monosakarida, batang berubah fungsi menjadi wadah (sink) sementara daun masih berperan sebagai sumber (source). Selanjutnya pada saat pembentukan sukrosa, energi yang dihasilkan melalui respirasi digunakan untuk menggabungkan dua gula monosakarida menjadi disakarida (Vickery and Vickery, 1981). Itulah sebabnya tidak boleh terjadi pertumbuhan baru pada saat proses tersebut berlangsung. Pada Gambar 5 disajikan grafik yang menunjukkan jumlah sukrosa, bobot bahan kering, dan gula pereduksi (monosakarida) pada posisi bagian batang tebu.

Glukosa 6-fosfat Glukosa 1-fosfat

(40)

Pembentukan sukrosa terus meningkat sejalan dengan umur tanaman, tetapi setelah mencapai titik maksimum rendemen akan cenderung menurun karena terjadi pemecahan sukrosa menjadi monosakarida yang dikenal dengan inversi (Gilbert et al., 2001). Untuk daerah yang musim gilingnya dimulai pada bulan November, rendemen tertinggi dicapai pada awal Maret (Gambar 6). Sementara itu pengamatan langsung di lapangan terhadap kandungan gula yang dihitung dengan brix dan pol pada saat periode giling di Indonesia disajikan pada Gambar 7. Musim giling di Indonesia rata-rata dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada awal September sehingga rendemen tertinggi dicapai pada bulan Agustus. Rendemen sangat dipengaruhi oleh kondisi hujan pada saat menjelang panen. Jika hujan turun pada saat tanaman tebu mulai membutuhkan masa kering yang nyata, proses pematangan akan terganggu dan rendemen berkurang (Ana, 1999; Wisnusubroto, 2000).

Gambar 6 Perkembangan rendemen sejalan dengan umur tanaman varietas CP 80-1827 (Gilbert et al. 2001)

1-Okt 1-Nov 2-Des 2-Jan 2-Feb 4-Mar

AWAL TENGAH LAMBAT

(12,66%)

Waktu Rendemen (%)

9,0 9,5 10,0 10,5 11,0 11,5 12,0 12,5 13,0 13,5 14,0

(41)

Gambar 7 Persentase brix dan pol per periode analisis (2 minggu) di Indonesia (Sudiatso, 1999)

Di samping menghasilkan gula sukrosa dan gula monosakarida, hasil metabolisme tanaman tebu juga menghasilkan senyawa lain berupa jaringan penguat tanaman (selulosa), protein, mineral, lilin, dan senyawa berlemak. Senyawa selain gula inilah yang dalam proses pemisahan akan tercermin dalam ampas, meskipun sebagian lainnya akan terbawa dalam nira. Pada keadaan yang normal tanaman tebu di Indonesia mengandung 69-82% air, 8-16% bahan serat (sabut), 6-29% sukrosa, 0,5-2,5% gula reduksi, 0,5-1,0% bahan organik bukan gula, dan 0,5-2,0% abu (Sudiatso, 1999). Neraca bahan yang diperoleh rata-rata dari pabrik gula di Jawa pada saat ini menunjukkan bahwa kadar nira hanya sebesar 53,16% sementara ampasnya 32,79% dan sabutnya 14,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kadar sabut relatif masih baik, tetapi ampasnya meningkat. Peningkatan ampas ini diduga disebabkan oleh mutu tebu yang kurang baik. Mutu tebu dipengaruhi oleh kadar kotoran tebu dan budidaya yang kurang sempurna, terutama pemupukan dan kecukupan air. Nilai normal kadar nira seharusnya lebih besar dari 60% dengan persentase gula total (pol) >12. Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap pabrik gula di Jawa diketahui bahwa nilai pol5 nira rata-rata 9,93% dengan kisaran antara 8,30-11,20 persen.

5

(42)

Komponen hasil tanaman tebu selain rendemen adalah bobot batang. Oleh sebab itu selain rendemen tinggi, pengusahaan tanaman harus mampu menghasilkan bobot batang yang baik juga. Tingginya dosis pupuk N yang digunakan saat ini menyebabkan tanaman hanya mampu menghasilkan bagian biomasa yang pada saat panen akan menjadi ampas. Itulah sebabnya mutu tebu saat ini memiliki persentase nira yang rendah.

Dalam menghitung rendemen tebu, angka yang dicari adalah besarnya persentase gula yang mampu dikristalkan (hanya sukrosa). Perhitungan rendemen tebu dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

{ 0, 4 ( )}Bobot nira 100

R pol - brix - pol × Bobot tebu

Dari rumus ini terlihat bahwa rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh nilai pol (total gula), nilai brix (total padatan terlarut), dan kadar nira dalam tebu. Semakin tinggi kandungan pol dalam brix, kemurnian nira semakin tinggi. Hubungan antara brix dengan pol berdasarkan analisis yang telah dilakukan memiliki korelasi yang erat dengan persamaan R = -0,0254 + 0,4746 B6. Namun karena rendemen dipengaruhi oleh kandungan nira tebu, maka tebu dengan pol tinggi belum tentu rendemennya juga tinggi. Oleh sebab itu untuk mendapatkan rendemen tinggi, tanaman tebu harus memiliki brix tinggi dengan kemurnian yang baik dan kandungan nira yang tinggi juga.

Karakteristik Lahan Kering

Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Lahan kering merupakan salah satu ekosistem sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk pengembangan berbagai komoditi. Pengembangan lahan kering terutama di dataran rendah merupakan pilihan strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan produksi pertanian, termasuk produksi gula.

Selain masalah air, lahan kering di Indonesia umumnya memiliki kendala kesuburan tanah rendah, lahan dengan solum dangkal, dan lahan dengan topografi

6

(43)

berbukit. Total lahan pertanian di Indonesia ± 70,20 juta hektar yang terdiri 18,5 juta ha lahan perkebunan, 14,6 juta ha tegalan, 7,9 juta ha lahan sawah, dan 11,3 juta ha lahan tidur. Dari luasan yang dapat digunakan untuk pengembangan tanaman semusim, luas lahan yang tersedia hanya ± 12,6 juta hektar sesuai untuk tebu dan kapas (Mulyani dan Las, 2008). Data luas lahan kering ini belum mempertimbangkan status kawasan yang berhubungan dengan kawasan hutan. Dalam memanfaatkan lahan tersebut selain diperlukan persiapan teknologi yang tepat, baik dari aspek agronomi maupun aspek sumberdaya lahan, juga penyelesaian masalah sosial yang berbeda di tiap lokasi.

(44)

fase 2 (Wiedenfeld, 2000). Fase 1 dan 2 berlangsung selama 3 bulan, sehingga selama masa inilah tanaman membutuhkan suplisi air. Jumlah air yang dibutuhkan untuk proses evapotranspirasi sebesar 100-125 mm per bulan (Lisson et al., 2005). Oleh sebab itu di Indonesia untuk lahan kering umumnya tebu ditanam di awal musim hujan sehingga tidak mengalami cekaman air di awal pertumbuhan (fase 1 dan 2).

Setelah air, masalah penting di lahan kering adalah kandungan bahan organik dan ketersediaan unsur hara. Dari proses pembentukan gula dalam tanaman tebu, unsur hara yang sangat penting adalah P dan K. Dari analisis tanah yang telah dilakukan pada daerah sentra tebu (Jawa Timur) ternyata rata-rata kandungan P tanah di lahan kering termasuk rendah, yaitu berkisar antara 7-24 ppm (Tabel 4), padahal nilai minimum kandungan P2O5 tanah untuk tebu adalah 30 ppm (Depertemen

Pertanian, 1999). Sementara untuk kandungan N termasuk tinggi, namun kenyataan di lapangan petani umumnya justru memupuk tanamannya dengan Urea dan sedikit SP-36. Hal ini tentu saja menyebabkan mutu tebu mejadi kurang baik dan kandungan gula dalam batang tebu (rendemen) rendah. Untuk K2O nilainya

termasuk sedang, sehingga meskipun tanaman diberikan pupuk KCl sedikit bahkan tidak dipupuk, masih mampu menghasilkan sukrosa jika monosakaridanya terbentuk dengan baik. Kandungan bahan organik tanah yang dicerminkan oleh kandungan C organik menunjukkan nilai lebih rendah dari 3% terutama pada jenis tanah Regosol. Tampaknya untuk lahan kering tingkat kandungan bahan organik ini menjadi masalah yang serius karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam mengikat air. Untuk jenis tanah Regosol yang memiliki tekstur kasar dengan kandungan pasir dominan, fungsi bahan organik sangat penting karena secara langsung akan mempengaruhi daya ikat air.

(45)

Tabel 5 Hasil analisis tanah di wilayah Jombang dan Kediri

I : Andosol coklat-Andosol Coklat Kekuningan II : Asosiasi Regosol dan Litosol

III : Asosiasi Mediteran Coklat dan Grumosol Kelabu IV : Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol

V : Regosol Coklat Keabuan VI : Latosol Coklat Kemerahan

Tanggap Tanaman Tebu terhadap Kekeringan

Cekaman lingkungan memicu berbagai tanggap tanaman, mulai dari perubahan metabolisme sampai dengan laju pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman dapat berupa cekaman abiotik atau biotik, yaitu radiasi, kekeringan, salinitas, dan suhu tinggi. Di antara cekaman lingkungan, kekeringan adalah salah satu yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Tanggap tanaman terhadap kekeringan dapat terjadi secara fisiologi, biokimia, dan molekuler (Hong et al., 2008). Besarnya pengaruh cekaman kekeringan tergantung pada fase pertumbuhan dimana cekaman terjadi (Ramesh and Mahadevaswamy, 2000).

(46)

mustahil dilakukan. Untuk mengatasi masalah kekurangan air pada saat tanam, saat rendah karena masa pertumbuhannya pendek. Untuk menyikapi pendeknya masa pertumbuhan diusahakan tebu ditanam pada akhir musim kemarau. Hal ini berarti pada saat tanam lingkungan berada dalam keadaan kering sehingga diperlukan ada tambahan air di awal pertumbuhan. Sebagai contoh, di Thailand hasil tebu dan gula tertinggi diperoleh jika tebu ditanam pada bulan November, yaitu akhir musim hujan. Hal ini karena pada saat panen, yaitu November tahun berikutnya tebu memiliki umur yang cukup (Jintrawet et al., 2000). Dari data yang ada menunjukkan bahwa kekeringan pada awal pertumbuhan ternyata berpengaruh nyata terhadap hasil tebu dibandingkan kekeringan pada akhir pertumbuhan (Gambar 7).

20

(47)

Nilai ET tanaman dapat dihitung dengan berbagai metode dan salah satu metode yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan nilai ET potensial (ETp) yang dihitung dari nilai Evaporasi panci (Epan), yaitu :

ETp = kp . E pan

dari nilai ETp dihitung nilai ET tan dengan menggunakan koefisen tanaman (kc), yaitu :

ET tan = kc . ETo

Nilai ET tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi yang dibutuhkan oleh tanaman agar diperoleh hasil yang maksimum, artinya nilai ini adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisen tanaman memiliki nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, sehingga nilai ET tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal tersebut. Pada Tabel 6 disajikan nilai kc pada tanaman tebu. Inman-Bamber and Smith (2005) dalam beberapa penelitiannya mendapatkan hubungan antara hasil tebu (Yc) dengan total air yang digunakan selama siklus pertumbuhan tanaman. Hubungan tersebut adalah Yc = -2,5 + (9,69 ETp.)

Tabel 6 Nilai (kc) tebu berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber and Smith, 2005)

Umur tanaman

(Bulan) Fase pertumbuhan Nilai kc

0 – 1 Perkecambahan – pertumbuhan tunas 0,55

1 – 2 Pembentukan anakan 0,80

2 – 3 Pembentukan anakan 0,90

2,5 – 4 Pertumbuhan anakan - kanopi penuh 1,00

4 – 10 Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang) 1,05

10 – 11 Pematangan - awal senesen 0,80

11 – 12 Matang 0,60

(48)

memprediksi rendemen yang akan dicapai (Wisnusubroto, 2000). Korelasi antara curah hujan dengan rendemen berkisar antara – (0,69-0,89). Tidak salah kiranya jika pemeliharaan saluran (got) sangat berpengaruh terhadap rendemen. Got yang buruk akan menyebabkan respirasi akar terganggu sehingga energi untuk penyerapan hara secara aktif lebih besar. Pada bulan November-Desember adalah fase tanaman membentuk gula monosakarida, sehingga kondisi respirasi yang buruk akan mengganggu proses sintesis gula. Di daerah Everglade (Florida) tebu diusahakan pada tanah organik yang ternyata keberhasilannya sangat ditentukan oleh drainase. Semakin dangkal muka air tanah semakin rendah produksi gula yang dihasilkan karena penurunan rendemen. Hasil tertinggi diperoleh pada muka air tanah 61 cm (Glaz et al., 1980).

Efisiensi penggunaan air (water use efficiency) sering dihitung sebagai nisbah antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut (ET) (Hatfield et al., 2001). Berdasarkan metode hidrologi neraca air di tanah dapat dirumuskan dengan persamaan

curah hujan + irigasi = perkolasi + run off + W + ET

dimana W adalah perubahan volume air yang tersimpan di dalam tanah selama periode tertentu. Dari neraca air dapat diketahui bahwa dapat dilihat bahwa jika curah hujan berkurang, semua nilai akan berkurang termasuk nilai ET dan kadar air tanah. Hal ini akan perpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Agar tanaman tetap dapat melakukan kegiatan dengan baik, maka ET harus dkembalikan ke nilai yang normal. Nisbah relatif yang dihitung berdasarkan ET aktual dan ET yang mampu memberikan hasil maksimum berhubungan dengan fase pertumbuhan tanaman. Pengurangan nilai nisbah relatif ini akan tergantung pada fase apa terjadinya.

Khusus untuk tanaman tebu hubungan antara defisit evapotranspirasi dengan rendemen gula relatif menurut Doorenbos and Kasam (1987) dalam Irianto et al. (2000) dapat disajikan sebagai berikut:

1 Ya Ky 1 ETa

Ym ETc

    

 , dengan Ya adalah hasil rendemen aktual, Ym adalah

(49)

aktual dan ETc evapotranspirasi tanaman. Besarnya Ky untuk fase inisiasi dan vegetatif sebesar 0,75, fase pembentukan gula 0,5 dan fase pematangan sebesar 0,1. Secara grafik hubungan antara evapotranspirasi relatif terhadap penurunan rendemen disajikan pada Gambar 8. berpengaruh terhadap penurunan rendemen sebesar (1 – (Ya/Ym)) dengan nilai yang berbeda pada tiap fase pertumbuhan tanaman tebu.

(50)

Kandungan air tanah sangat berhubungan dengan serapan unsur hara, terutama unsur nitrogen. Penurunan kadar air tanah dari 100% kapasitas lapang ke 70% kapasitas lapang menurunkan laju serapan nitrogen. Pada kelembaban tanah yang semakin rendah ternyata pemberian nitrogen dengan dosis tinggi tidak meningkatkan bahan kering tanaman (Santoso, 1998).

Pada keadaan tanaman kekurangan air, serapan air secara nyata menurun. Serapan air sangat erat hubungannya dengan laju transpirasi tanaman. Air ditranspirasikan melalui stomata, sehingga pada saat stomata menutup dalam usaha tanaman untuk mengurangi transpirasi, secara langsung laju serapan air oleh akar juga menurun. Hubungan antara penurunan laju transpirasi dengan penurunan laju serapan air tidak linear. Hal ini disebabkan banyak faktor yang terlibat dalam proses yang terjadi (Steudle, 2000). Selanjutnya Steudle (2000) menemukan bahwa proses selanjutnya dari kondisi defisit air adalah terjadinya perubahan pada sel tanaman. Dalam kondisi kecukupan air, sel akar berkembang tanpa eksodermis, tetapi pada kondisi kekurangan air sel-sel akar mulai membentuk eksodermis sebagai usaha mengurangi kehilangan air dari dalam sel (plasmolisis). Tanaman yang mengalami kondisi kekurangan air akan mengalokasikan hasil fotosintesis ke akar daripada untuk membentuk tajuk. Smit and Singels (2006) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pertumbuhan tajuknya. Tajuk tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pada saat indeks luas daun (LAI) lebih besar dari 2. Tanaman lebih menjaga kondisi akar dibandingkan tajuk jika kondisinya kekurangan air (Sharp et al., 2004). Penelitian lain yang dilakukan oleh Smit and Singels (2006) menunjukkan bahwa jika kadar air diturunkan dari kadar air kapasitas lapang (26%) menjadi 15% selama 38 hari menyebabkan penurunan jumlah daun dari 10,8 menjadi 5,2. Berkurangnya perkembangan jaringan sangat dipengaruhi oleh perkembangan sel. Pembesaran sel hanya akan terjadi jika tekanan turgor lebih besar dari kekuatan dinding sel (Hong et al., 2008)

(51)

Permasalahannya adalah hasil maksimum akan diperoleh jika umur tanaman saat panen cukup (antara 10-12 bulan) yang berarti waktu tanam jatuh pada musim kering. Konsekuensi waktu tanam musim kering adalah harus ada tambahan air. Dua faktor utama dalam pelaksanaan pemberian air, yaitu jumlah air yang tersedia dan manajemen pemberiannya. Di lapangan saat ini tambahan air diberikan dengan beberapa cara yaitu penyiraman dari lebung atau pemberian air dengan membuat sumur pantek. Mengingat jumlah air yang terbatas dan biaya yang dikeluarkan cukup besar, maka diperlukan perhitungan yang cermat agar air dapat dihemat tetapi produktivitas tetap tinggi. Efisiensi penggunaan air menjadi tindakan yang sangat menentukan dalam budidaya lahan kering. Inman-Bamber (2004) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tambahan air yang tepat dapat meningkatkan hasil sukrosa sebesar 3 ton/ha dibandingkan tanaman yang kondisi airnya tidak terkontrol.

Bahan Organik

(52)

dengan jumlah yang cukup, yaitu sekitar 7,5 ton per ha (Shuka et al., 2008). Bahan organik yang digunakan oleh Sukha dalam penelitiannya adalah pupuk kandang.

Banyak penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan peningkatan retensi air akibat pemberian bahan organik, bahkan terhadap variabel lain di tanah. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Hatfield et al. ( 2001) mendapatkan bahwa dengan penambahan bahan sisa tanaman gandum ternyata menurunkan laju evaporasi sebesar 34 – 50% dan meningkatkan hasil sebesar 393 kg hasil gandum. Penelitian lain yang dilakukan bahkan mendapatkan suatu hubungan yang nyata antara hasil (Y) dengan retensi air (WR) dan total C organik (TOC). Persamaan yang didapat bervariasi antara hasil tahun 1992 dengan tahun 1994, yaitu

Tahun 1992 Y = 183,1 + 2,05 WR + 120,7 TOC (r = 0,51) Tahun 1994 Y = 362,0 + 4,8 WR + 49,5 TOC (r = 0,59)

Tindakan perbaikan tanah atau penyehatan tanah telah diterapkan secara baik di areal tebu di Australia. Disadari bahwa selama lebih dari 25 tahun tanah digunakan untuk penanaman tebu secara monokultur sehingga terus merosot kesehatannya. Oleh sebab itu Australia mulai mengembangkan sistem pertanian tebu berkelanjutan dengan menerapkan keseimbangan tingkat kesuburan tanah yang dilihat secara komprehensif dari sisi fisik, kimia dan biologi (Bell et al., 2007). Program ini dikenal dengan Sustainable Sugarcane Farming System yang saat ini terus dikembangkan dengan berbagai penelitian (Garside, 2000).

Beberapa percobaan yang dilakukan oleh Satuan Pengembangan Tebu Dinas Perkebunan Jawa Timur menunjukkan bahwa dengan pemberian blotong hasil tanaman tebu meningkat sampai dengan 10% pada lahan kering. Penelitian lainnya yang dilakukan di wilayah PG Madukismo (Yogyakarta) menunjukkan bahwa pemberian bahan organik mampu meningkatkan produktivitas hablur tanaman pertama (PC) tetapi tidak nyata terhadap tanaman keprasan (Arifin dan Prihardini, 2007).

(53)

blotong pada proses pengolahan tebu sekitar 4 persen. Kandungan utama blotong adalah kalsium, karbohidrat, fosfor dan bahan padatan lainnya.

Tebu (100%)

Ampas (32%)

Nira (68%)

Brix (Padatan total)

18%)

Air (39%)

Blotong (Filter cake)

(4%)

Pol (Gula total)

(12%)

Tetes (Molases) (4%)

Hablur (Gula kristal)

(8%)

Gambar 9 Neraca bahan pada proses pengolahan gula tebu (PG Gunung Madu Plantation, 1999)

Hasil penelitian pemberian blotong segar yang selama ini dilakukan ternyata baru mampu memperbaiki hasilnya pada musim kedua (tanaman keprasan). Oleh sebab itu saat dilakukan pengomposan blotong sebelum diaplikasikan ke tanah. Pemberian kompos blotong dan bagase ternyata mampu memperbaiki serapan hara dan pertumbuhan tanaman tebu di lahan kering, terutama unsur N dan S. Sementara untuk unsur P dan K pemberian kompos terlihat pengaruhnya pada akhir pertumbuhan tanaman (Guntoro et al., 2003). Pada penelitian di lapangan (PG Tjoekir) musim tanam 2003/2004 yang telah dilakukan dengan dosis kompos blotong 3 ton per hektar ternyata mampu meningkatkan produksi tebu 10- 20% dan rendemen 0,5- 0,7 persen. Hasil analisis kompos blotong disajikan pada Tabel 7.

(54)

Tabel 7 Hasil analisis kompos blotong

No. Hasil Analisis Contoh

Kompos I Kompos II

1 pH (H2O) 7,56 6,74

2 N (%) 0,93 0,81

3 C (%) 12,90 12,12

4 Nisbah C/N 14 15

5 P2O5 (%) 1,60 1,19

6 K2O (%) 1,07 0,93

7 KA (%) 41,12 35,16

Sumber : Litbang PTPN X, 2005

Varietas Tebu untuk Lahan Kering

Kontribusi varietas tebu terhadap peningkatan produktivitas gula cukup nyata, mengingat produksi tanaman merupakan hasil kerjasama antara sifat genetis (varietas) dengan faktor lingkungannya. Keunggulan suatu varietas tidak bersifat mutlak atau terus menerus, tetapi dalam kurun waktu tertentu akan mengalami penurunan (degradasi). Oleh karena itu penggantian varietas unggul baru merupakan langkah strategis dalam mengatasi permasalahan produktivitas. Tanaman tebu yang semula ditanam di lahan sawah kemudian bergeser ke lahan kering tentu saja memerlukan varietas baru yang sesuai. Perilaku yang berbeda antar varietas perlu diketahui dan difahami agar sifat unggul tebu dapat berkembang secara maksimal.

Tejera et al. (2007) menjelaskan bahwa tidak mudah mendeskripsikan varietas unggul tanaman tebu sebab pengusahaan tanaman tebu bukan hanya untuk menghasilkan batang yang banyak tetapi juga kandungan gula yang tinggi. Dengan berkembangnya pengusahaan tanaman tebu ke lahan kering, maka variabel verietas unggul harus ditambah masih berproduksi dengan baik pada kondisi kekurangan air.

(55)

berkurang, memiliki lapisan lilin pada batangnya dan bulu pada daunnya (Ishaq et al., 2000).

Lembaga resmi yang diberi mandat untuk mengembangkan varietas tebu oleh pamerintah ialah P3GI bekerja sama dengan berbagai lembaga penelitian yang ada di Indonesia dan di negara lain. Plasma nutfah tebu diperoleh dari berbagai negara antara lain Formosa (kode F), Mauritius (M), Queensland (Q) dan beberapa negara lainnya yang potensial. Varietas tebu yang unggul diperoleh melalui jalur (1) introduksi galur dari luar negeri dan diseleksi dengan kondisi alam di suatu daerah, (2), menyilangkan berbagai galur, baik antar galur lokal ataupun dengan galur introduksi, (3) cara mutasi untuk mendapatkan keturunan yang diinginkan. Paradigma keunggulan suatu varietas, sekarang berbeda dengan di waktu lampau. Dahulu untuk seluruh daerah hanya dikenal satu atau dua varietas unggul (satu untuk semua daerah), tetapi sekarang varietas unggul yang ada adalah spesifik lokasi (hanya unggul untuk daerah tertentu). Sebagai contoh dulu dikenal varietas POJ 3016 yang unggul untuk semua daerah, tetapi sekali varietas ini terserang suatu penyakit akibatnya fatal bagi seluruh daerah.

Selain sifat ketahanan terhadap kekeringan, mengingat tebu harus dipanen sesuai dengan masa giling yang berlangsung 5-6 bulan sementara masa tanam saat ini relatif serempak, yaitu awal musim hujan, maka diatur varietas dengan umur matang yang berbeda. Dengan pengaturan varietas ini diharapkan tanaman sudah memiliki kandungan gula cukup tinggi pada saat dipanen, terutama untuk awal musim giling yang jatuh pada bulan Mei-Juni. Umur varietas matang awal adalah 8-10 bulan, matang tengah 8-10 - 12 bulan, dan matang lambat >12 bulan.

Penentuan varietas yang sesuai untuk suatu daerah dilakukan evaluasi varietas dan rating masing-masing. Parameter yang dijadikan kriteria adalah (1) keragaan tanaman dengan bobot 30%, (2) nilai pabrikasi dengan bobot 30% dan (3) produktivitas kebun dengan bobot 40%. Peubah yang diamati adalah:

(1) Keragaan tanaman :

a. Kemampuan umum (kanopi, bentuk daun, ketegaran batang, diameter, kerapatan tanaman, dan kemudahan diklentek)

(56)

d. Lubang dan pada batang (gabus batang)

e. Pertumbuhan sogolan (anakan yang muncul di akhir pertumbuhan) f. Pertumbuhan siwilan (tunas yang tumbuh dari mata batang)

g. Pembungaan

h. Serangan penggerek pucuk, penggerek batang dan penyakit (2) Nilai pabrikasi

a. Brix tebu di lapangan, diukur dari contoh batang di kebun

b. Hasil penggilingan dengan gilingan contoh untuk mengetahui (a) Brix, (b) Pol, dan (3) kadar nira tebu

(3) Produktivitas kebun terdiri dari komponen (a) bobot batang tebu yang layak panen, (b) rendemen, dan hasil hablur.

(57)

33

KADAR AIR TANAH

Abstrak

Tujuan percobaan adalah untuk mengetahui keragaan varietas pada beberapa kadar air yang berbeda. Digunakan 7 varietas tebu yang memiliki potensi untuk dikembangkan di lahan kering, yaitu PS 851, PS 864, PS 862, PS 921, PS 951, PS 91-787 dan BL yang diberikan perlakuan kadar air tanah sebesar 100%, 75% dan 50% kapasitas lapang (KL). Dari pengamatan yang dilakukan selama 3 bulan, terlihat bahwa cekaman air mulai nyata pada kadar air 50% KL. Dari perhitungan Drought Tolerance Index (DTI ) ketujuh varietas hanya mampu tumbuh dengan baik sampai kadar air tanah 75% KL. Varietas BL dan PS 864 memiliki nilai mendekati nilai toleran, sedangkan lainnya memiliki nilai cukup toleran. Meskipun nilai DTI varietas PS 921 termasuk sedang, tetapi memiliki biomasa dan efisiensi penggunaan air yang paling tinggi pada semua perlakuan kadar air tanah. Hal ini menunjukkan bahwa varietas PS 921 memiliki potensi paling tinggi diantara varietas lainnya sebagai varietas tebu lahan kering.

(58)

34

VARIOUS SOIL WATER CONTENT

Abstract

The objective of this research was to study the effect of water supply on the performance of several varieties of sugarcane. This experiment used seven varieties of sugarcane that has the potential to be developed for upland, namely PS 851, PS 864, PS 862, PS 921, PS 951, PS 91-787 and BL, were grown under soil water content treatment at 100%, 75% and 50% field capacity (FC). From 3 months observations, it appeared that water stress was started to affect growth at 50% of FC. From the calculation of Drought Tolerance Index (DTI), seven varieties were able to grow well with the soil water content up to 75% FC. Based on DTI, BL and PS 864 has DTI value close to the tolerant, while others are moderatly tolerant. Although the DTI value of PS 921 was moderately tolerance, it has the highest biomass on all of the soil water content treatment. It shows that PS 921 has the highest potential among the others as upland varietiy.

Gambar

Gambar 1  Bagan alir kerangka pemecahan masalah
Tabel 3   Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974)
grafik yang menunjukkan jumlah sukrosa, bobot bahan kering, dan gula pereduksi
Gambar 6   Perkembangan  rendemen  sejalan  dengan  umur  tanaman  varietas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pula energi yang diproduksi tiap tahun (baru mulai diproduksi pada masa operasi) juga dirinci dalam nilai tahunan, sehingga akan ada sebanyak 40 nilai

Inisiasi program pemuliaan dilakukan melalui kajian keragaman genetik, uji provenansi-keturunan dan uji cekaman jabon yang terdiri atas 4 sub penelitian, yaitu (1)

Pelaksanaan hukum di dalam masyarakat selain tergantung pada kesadaran hukum masyarakat juga sangat banyak ditentukan oleh aparat penegak hukum, oleh karena sering terjadi

Penelitian ini menggunakan metode pengukuran yang bersifat non-konvensional yaitu menggunakan pengolahan citra digital (image processing) menghasilkan data yang akan diproses secara

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada kerusakan tubulus seminiferus, jumlah spermatosit primer, dan viabilitas sperma antara kelompok

HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEPATUHAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE (ANC) PADA IBU HAMIL PRIMIGRAVIDA DI PUSKESMAS PACAR KELING SURABAYA. Oleh : Maria

Hasil penelitian menunjukkan perpustakaan dimanfaatkan cukup kegiatan membaca, minat baca peserta didik cukup, dan beberapa program perpustakaan untuk meningkatkan

Penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto dan Pratiwi (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan stres kerja