• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji bioaktivitas zat ekstraktif kayu suren (Toona sureni Merr.) dan ki Bonteng (Platea latifolia BL.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji bioaktivitas zat ekstraktif kayu suren (Toona sureni Merr.) dan ki Bonteng (Platea latifolia BL.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

UJI BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF KAYU SUREN

(Toona sureni Merr.) dan KI BONTENG (Platea latifolia BL.)

MENGGUNAKAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)

SRI WAHYUNI MEILANI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif

Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.)

Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah karya saya sendiri dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2006

(3)

ABSTRAK

SRI WAHYUNI MEILANI. Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan RITA KARTIKA SARI.

Negara Indonesia dikenal dunia memiliki hutan hujan tropika yang kaya akan keanekaragaman flora. Bagian daun dan kulit batang pohon suren (Toona sureni Merr.) telah lama digunakan masyarakat umum sebagai obat tradisional (Sangat el al. 2000). Di hutan alam kawasan Gunung Salak, Jawa Barat ditemukan 112 jenis tumbuhan dari 49 famili yang berpotensi sebagai tumbuhan obat diantaranya ki bonteng (Platea latifolia BL.), karena mengandung senyawa alkaloid, flavonoid dan saponin yang merupakan kelompok senyawa bioaktif (Sugiana 2003). Maka perlu dilakukan penelitian mengenai bioaktivitas dari kedua jenis tersebut agar ditemukan senyawa kimia berkhasiat obat khususnya antikanker. Metode bioassay untuk menguji aktivitas antikanker ekstrak suatu tumbuhan adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan hewan uji Artemia salina Leach. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan zat ekstrakif kulit dalam (inner bark) dan bagian teras cabang suren dan ki bonteng yang larut dalam pelarut aseton dan hasil fraksinasinya dengan pelarut n-heksana, etil-asetat serta residu dari ekstrak aseton tersebut serta untuk mengetahui bioaktivitas zat ekstraktif tersebut terhadap A. salina.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu ekstraksi serbuk (40-60 mesh) dari inner bark dan bagian teras cabang suren dan ki bonteng dengan menggunakan pelarut aseton dan kemudian fraksinasi dengan pelarut n-heksana dan etil asetat. Kemudian ekstrak dan fraksinya diujikan terhadap larva udang A. salina dan data mortalitas diolah dengan menggunakan analisis probit untuk mendapatkan nilai LC50.

Hasil ekstraksi dan fraksinasi menunjukkan bahwa inner bark suren mengandung 12,93 % ekstrak aseton yang terdiri dari 0,80 % fraksi n-heksana; 3,13 % fraksi etil asetat dan 3,94 % fraksi residu. Sedangkan bagian teras cabangnya mengandung 2,31 % ekstrak aseton dengan 0,18 % fraksi n-heksana; 1,42 % fraksi etil asetat dan 0,40 % fraksi residu. Untuk jenis ki bonteng, inner barknya mengandung 11,19 % ekstrak aseton dengan fraksi n-heksana 0,11 %; fraksi etil-asetat 1,47 % dan fraksi residu 3,19 %. Sedangkan bagian teras cabangnya mengandung 0,90 % ekstrak aseton dengan fraksi n-heksana 0,25 %; fraksi etil-asetat 0,41 % dan fraksi residu 0,16 %.

(4)

UJI BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF KAYU SUREN

(Toona sureni Merr.) dan KI BONTENG(Platea latifolia BL.)

MENGGUNAKAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)

SRI WAHYUNI MEILANI

E24102020

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Nama Mahasiswa : Sri Wahyuni Meilani

NRP : E 24102020

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.H.Wasrin Syafii, M.Agr Ir. Rita Kartika Sari, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS

Tanggal :

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Riau pada tanggal 5 Mei 1985. Penulis

merupakan anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Wahyono Wassim dan

Tiasari Hasibuan.

Penulis memulai pendidikan di TK Bhayangkari tahun 1989, tahun 1990

masuk Sekolah Dasar Negeri 004 Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi

Riau. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2

Tembilahan kemudian pada tahun 2002 lulus dari SMU Negeri 2 Tembilahan.

Pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI),

penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Teknologi Hasil Hutan,

Fakultas Kehutanan.

Selama mahasiswa, penulis aktif pada Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas

Kehutanan periode tahun 2003-2004 sebagai staff Departemen Kesekretariatan

dan Lembaga Kemahasiswaan Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Hasil

Hutan (HIMASILTAN) sebagai Kepala Departemen Kesekretariatan periode

2004-2005. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan diantaranya Bina

Corps Rimbawan 2003, Forester Cup 2003, pelepasan wisuda Fakultas Kehutanan

2004 dan KOMPAK THH 2004.

Penulis pernah mengikuti kegiatan Field Trip di PT Trakindo Utama Bekasi,

PT Inhutani II Bekasi, dan Pabrik Pengolahan Gondorukem dan Terpentin (PGT)

Sindang Wangi, Nagrek, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Pada tahun 2005,

penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H)

kelompok Getas II jalur Baturraden-Cilacap dan Kampus Lapangan UGM, di

Getas, Ngawi, Jawa Timur. Selain itu, pada tahun 2006 penulis melaksanakan

Praktek Kerja Lapang (PKL) di HPHTI PT Arara Abadi (Sinar Mas Group)

Perawang, Kabupaten Siak Propinsi Riau.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB,

penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Uji Bioaktivitas Kayu Suren

(Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)”, dibawah bimbingan Prof.Dr.Ir.H. Wasrin

(7)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul ”Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki

bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)”

ini dengan sebaik-baiknya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian

Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak, mama, bang Febri, adek Rani tercinta, keluarga besar Wassim dan

Dullah Sidik Hasibuan serta bang Neko yang telah memberikan doa, cinta

kasih, perhatian, dukungan, semangat dan motivasinya kepada penulis.

2. Bapak Prof.Dr.Ir.H. Wasrin Syafii, M.Agr selaku pembimbing skripsi 1 dan

Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku pembimbing skripsi 2 atas segala

perhatian, masukan, nasehat-nasehat dan bimbingannya.

3. Bapak Drs. Simon Taka Nuhamara, MS selaku dosen penguji dari Departemen

Silvikultur dan Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku dosen penguji dari

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

4. Seluruh staf dan laboran laboratorium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil

Hutan atas bantuannya selama melaksanakan penelitian.

5. Nura, Fadli dan Ijul atas kerjasamanya selama penelitian.

6. Budi, Ieka, Tia, Nia, Chiput, Irma, Buyung, Rais, Doto dan keluarga besar

THH 39 atas kekompakan serta kebersamaannya selama ± 4 tahun ini.

7. Neni, Vivi, Iera, Andri, Melin dan teman-teman di Puri Fikriyah atas bantuan,

pengertian, dorongan semangat, dan canda tawanya.

8. Seluruh pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Bogor, September 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Obat ... 4

Deskripsi Suren (Toona sureni Merr.) ... 4

Deskripsi Ki bonteng (Platea latifolia BL.) ... 5

Ekstraksi ... 5

Senyawa Bioaktif ... 8

Ekstraktif ... 11

Brine Shrimp Lethality Test ... 12

Artemia salina Leach. ... 13

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian ... 16

Uji Bioaktivitas dengan Brine Shrimp Lethality Test ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Fisik Inner bark dan Teras Cabang Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) ... 21

Kandungan Zat Ekstraktif ... 21

Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Suren ... 22

Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Ki bonteng ... 23

Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif dengan Brine Shrimp Lethality Test ... 28

SIMPULAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Nilai konstanta dielektrik, titik didih dan sifat kepolaran beberapa pelarut

yang digunakan dalam penelitian ini... 7

2. Jenis kayu dengan diameter berbeda sebagai contoh uji ... 16

3. Hasil analisis fisik kulit cabang kayu suren dan ki bonteng ... 21

4. Hasil analisis fisik bagian teras cabang kayu suren dan ki bonteng ... 21

5. Kandungan rata-rata ekstrak aseton inner bark dan teras cabang suren (T. sureni) serta hasil fraksinasinya ... 23

6. Kandungan rata-rata ekstrak aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng (P. latifolia) serta hasil fraksinasinya ... 24

7. Nilai rata-rata mortalitas terkoreksi terhadap larva udang A. salina setelah diberikan zat ekstraktif kayu suren dan ki bonteng pada berbagai konsentrasi ... 29

8. Hasil analisis probit fraksi teraktif ekstrak aseton kayu suren (T. sureni) dan ki bonteng (P. latifolia) ... 30

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Larva udang Artemia salina Leach ... 13 2. Cabang kayu suren dan ki bonteng sebagai contoh uji ... 15

3. Bagan kerja ekstraksi dan fraksinasi inner bark dan teras

cabang suren dan ki bonteng ... 18

4. Hubungan mortalitas larva udang Artemia salina Leach. dengan

penambahan berbagai konsentrasi ekstrak yang terkandung dalam inner

bark suren ... 31 5. Hubungan mortalitas larva udang A. salina dengan penambahan

berbagai konsentrasi ekstrak yang terkandung dalam teras cabang

suren ... 32

6. Hubungan mortalitas larva udang A. salina dengan penambahan

berbagai konsentrasi ekstrak yang terkandung dalam inner bark

ki bonteng ... 33

7. Hubungan mortalitas larva udang A. salina dengan penambahan

berbagai konsentrasi ekstrak yang terkandung dalam teras cabang

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai persentase kadar air (KA) suren (Toona sureni Merr.) dan

ki bonteng (Platea latifolia BL.) ... 44

2. Nilai persentase kadar ekstrak aseton suren dan ki bonteng ... 45

3. Nilai persentase kadar ekstrak aseton suren dan ki bonteng pada fraksi

n-heksana ... 46

4. Nilai persentase kadar ekstrak aseton suren dan ki bonteng pada fraksi

etil asetat ... 47

5. Nilai persentase kadar ekstrak aseton suren dan ki bonteng pada fraksi

residu ... 48

6. Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang suren

(Toona sureni Merr.) ... 49

7. Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang suren

(Toona sureni Merr.) fraksi n-heksana... 50

8. Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang suren

(Toona sureni Merr.) fraksi etil asetat ... 51

9. Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang suren

(Toona sureni Merr.) fraksi residu ... 52

10. Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng

(Platea latifolia BL.) ... 53

11. Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng

(Platea latifolia BL.) fraksi n-heksana... 54

12. Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng

(Platea latifolia BL.) fraksi etil asetat ... 55

13. Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng

(Platea latifolia BL.) fraksi residu ... 56

14. Hasil minitab analisis probit pada suren ... 57

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara Indonesia dikenal dunia memiliki hutan hujan tropika yang kaya

akan keanekaragaman flora. Diperkirakan flora Indonesia memiliki 30.000-40.000

spesies tumbuhan berbunga. Ini suatu jumlah yang melebihi aneka flora dari

negara-negara tropika lainnya di dunia. Dari jumlah tersebut, terdapat tidak

kurang dari 1.100 spesies tumbuhan yang dapat digunakan sebagai tumbuhan obat

tradisional (Heyne 1987). Menurut Kassahara dan Hemmi (1986), dari 28.000

jenis tumbuhan yang ditemukan di Indonesia, ± 7.000 jenis (7.577 jenis)

diantaranya adalah tumbuhan obat.

Fransworth (1985) dalam Zuhud et al. (1994), menyatakan bahwa 74 % dari 121 bahan aktif obat modern di USA berasal dari pengetahuan obat

tradisional yang berasal dari tumbuhan hujan tropika. Hal ini menunjukkan bahwa

hutan tropika Indonesia sangat potensial mengandung berbagai senyawa bioaktif

yaitu senyawa yang dalam kadar kecil dapat mempengaruhi fungsi fisiologi sel

hidup. Oleh karena itu, keanekaragaman hayati hutan tropika Indonesia adalah

sumber senyawa-senyawa metabolit sekunder (zat ekstraktif) yang tak ternilai

jumlah jenisnya. Senyawa-senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat

untuk mengatasi berbagai penyakit bahkan obat modern yang beredar di pasaran

merupakan hasil eksplorasi zat ekstraktif tumbuhan yang terdapat di hutan tropis.

Krisis ekonomi yang melanda serta kesadaran masyarakat untuk back to nature

telah meningkatkan penggunaan tanaman obat baik untuk pencegahan maupun

dalam pengobatannya. Dengan demikian, keanekaragaman tumbuhan obat

tersebut sangatlah mungkin dimanfaatkan demi kesejahteraan umat manusia.

Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Aneka Usaha Kehutanan dan

Fakultas Kehutanan IPB tahun 2000 yang dilakukan di Hutan Lindung Gunung

Salak (tidak termasuk kawasan hutan UGI), menunjukkan bahwa kawasan hutan

ini mempunyai potensi yang cukup besar sebagai sumber plasma nutfah tumbuhan

obat. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 117 jenis dari 60 famili tumbuhan

obat sehingga kemudian kawasan hutan ini ditetapkan sebagai salah satu kawasan

(13)

(2003), menyatakan bahwa ditemukan 112 jenis tumbuhan dari 49 famili yang

terdiri dari 62 jenis pohon, 20 jenis herba, 6 jenis perdu, 2 jenis semak, 8 jenis

liana dan 14 jenis epifit yang berpotensi sebagai tumbuhan obat dan diantaranya

adalah ki bonteng. Ki bonteng (Platea latifolia BL.) adalah salah satu jenis

tumbuhan potensial berkhasiat obat yang ditemukan di Gunung Salak karena

bagian kulit batang ki bonteng mengandung senyawa kimia kelompok alkaloid,

flavonoid dan saponin.

Bagian daun dan kulit batang pohon suren (Toona sureni Merr.) telah lama

digunakan masyarakat umum sebagai obat mules, demam, kencing manis dan

gondok (Sangat et al. 2000). Pada screening awal yang dilakukan Kardono et al.

(2002), menunjukkan bahwa ekstrak metanol kulit kayu suren ini mengandung

senyawa bioaktif antidiabetes. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa bagian

kulit dan kayu suren mengandung senyawa kimia dari kelompok alkaloid,

flavonoid dan saponin. Senyawa-senyawa tersebut merupakan kelompok senyawa

bioaktif. Kelompok senyawa ini diduga memiliki sifat antidiabetes dan antikanker

(Kardono et al. 2002 dan Sajuthi 2001). Oleh karena itu, eksplorasi senyawa bioaktif terhadap kedua jenis tersebut perlu dilakukan dengan harapan ditemukan

senyawa kimia yang berkhasiat obat, khususnya yang bersifat antikanker.

Alasan dipilihnya eksplorasi zat ekstraktif sebagai obat antikanker karena

jumlah penderita kanker yang terus meningkat (penambahan 7 juta orang/tahun),

dan 2/3nya diperkirakan berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia

(Kupang Watch 2006).

Untuk melihat adanya kemungkinan efek suatu ekstrak dapat digunakan

penelusuran farmakologis-biologis dengan menguji ekstrak tersebut berdasarkan

suatu metode bioassay (Bruhn 1991). Metode bioassay yang digunakan untuk uji

bioaktivitas zat ekstraktif adalah dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan uji.

Alasan penggunaan BSLT ini adalah peka, cepat, sederhana dan dapat diulang

tanpa terjadi penyimpangan. Serta metode bioassay ini sering dikaitkan sebagai

metode identifikasi senyawa antikanker yang berasal dari tumbuhan (Wahyuno

(14)

50 %) dan hasil BSLT ini berkorelasi positif dengan sifat antikanker

senyawa-senyawa kimia yang dikandung oleh bahan uji (Meyer et al.1982).

Penelitian ini menggunakan kulit dalam (inner bark) dan bagian teras

cabang kayu suren dan ki bonteng. Menurut Fengel dan Wegener (1995), inner

bark kemungkinan mengandung jenis zat ekstraktif maupun komposisi berbeda dengan kulit bagian luarnya sehingga akan mengandung senyawa bioaktif yang

berbeda jenis atau komposisinya. Harun dan Labosky (1985), menyatakan bahwa

ada kemungkinan zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu juga terdapat di

dalam kulit, mengingat pembentukan jaringan kayu dan kulit dimulai dari jaringan

meristem sekunder yang sama. Fengel dan Wegener (1995) juga menyatakan

bagian teras umumnya mengandung lebih banyak zat ekstraktif. Apabila inner

bark dan teras cabang memiliki aktivitas dan kandungan senyawa bioaktif yang tidak berbeda dengan bagian batang maka kita dapat memanfaatkan tanaman

tersebut sebagai obat tanpa melakukan penebangan. Sedangkan untuk

memperoleh ekstrak yang mengandung senyawa kimia dari kelompok alkaloid,

flavonoid, saponin, triterpenoid, dan senyawa bioaktif lainnya dari tumbuhan

dibutuhkan pelarut yang aman, harganya tidak terlalu mahal, toksisitasnya rendah,

daya larutnya tinggi dan tidak terlalu reaktif (Houghton dan Raman 1998). Maka

pelarut aseton dipilih sebagai pelarut dalam penelitian ini, dan untuk memperoleh

fraksi-fraksinya digunakan pelarut n-heksana dan etil-asetat yang mewakili

pelarut yang bersifat non-polar dan polar.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif

kulit dalam (inner bark) dan bagian teras cabang suren (T. sureni) dan ki bonteng

(P. latifolia) yang larut dalam pelarut aseton dan hasil fraksinasinya dengan

pelarut n-heksana, etil asetat dan residunya serta untuk menguji bioaktivitas zat

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Tumbuhan Obat

Pengertian tumbuhan obat adalah semua tumbuhan, baik yang sudah

ataupun yang belum dibudidayakan yang dapat digunakan sebagai obat, berkisar

dari yang terlihat mata hingga yang nampak di bawah mikroskop (Hamid et al.

1991). Menurut Zuhud et al. (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies

tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat yang

dikelompokkan menjadi :

™ Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui

atau dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah

digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.

™ Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah

telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat

obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

™ Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan obat yang diduga

mengandung senyawa/bahan aktif yang berkhasiat obat, tetapi belum

dibuktikan secara ilmiah/medis atau penggunaannya sebagai bahan

obat tradisional sulit ditelusuri

Jumlah tumbuhan dan tanaman obat di Indonesia tercatat berkisar antara

ratusan sampai ribuan jenis. Dalam buku “Medicinal Herbs Index in Indonesia”

tercantum 7.577 jenis tumbuhan yang dikenal dan ditemukan di Indonesia,

walaupun tidak seluruhnya berasal dari Indonesia (Heyne 1987).

Deskripsi Suren (Toona sureni Merr.)

Tanaman suren termasuk famili Meliaceae dengan genus Toona. Di

Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama suren (Jawa), surian (Kalimantan)

atau mapala/molopaga (Sulawesi). Daerah penyebaran pohon suren di seluruh

Indonesia. Pohon suren memiliki ciri utama warna kayu merah seperti daging

direbus, riap tumbuhnya jelas, susunan pori tata lingkar dan isi porinya berupa

(16)

yang berbentuk pohon dengan tinggi mencapai 20 m dan tumbuh baik di dataran

rendah hingga ketinggian 2.000 m dpl.

Sifat dan kegunaan kayu suren adalah berat jenis : rata-rata 0,39

(0,27-0,67); kelas awet : IV/V; kelas kuat : IV. Kegunaan : bahan bangunan ringan

(termasuk lemari), dinding hias, langit-langit, peti teh, kotak cerutu, bangunan

kapal dan perahu dayung, alat musik (antara lain piano), vinir lapisan muka kayu

lapis dan ukiran (Newman et al. 1999).

Suren memiliki kandungan bahan surenon, surenin dan surenolakton yang

berperan sebagai penghambat pertumbuhan, insektisida dan antifeedant

(menghambat daya makan) terhadap larva serangga uji ulat sutera (Dinata 2005).

Suren telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai tumbuhan yang berkhasiat

obat. Bagian kulitnya digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit,

misalnya oleh suku Rejang Lebong (Bengkulu) untuk mules, suku Jawa untuk

demam, suku Bali untuk kencing manis (diabetes mellitus) dan oleh suku Samawa

(NTB) untuk menyembuhkan penyakit gondok (Sangat et al. 2000).

Deskripsi Ki bonteng (Platea latifolia BL.)

Menurut Heyne (1987), ki bonteng termasuk famili Icacinaceae dengan

genus Platea. Nama daerah sunda : Ki kadanca. Pohon ki bonteng dikenal dengan

raksasa rimba karena batangnya berbentuk tiang, perawakan pohon ini sangat

besar dengan tinggi lebih besar dari 40 m, diameter batang setinggi dada 1,50 m

dan terdapat di seluruh pulau Jawa pada ketinggian antara 1.000 dan 1.600 m dpl.

Kayunya yang berbau seperti kumarin, bisa terdapat dalam ukuran yang

sangat besar akan tetapi kayu ini tidak awet di cuaca terbuka. Di daerah Priangan,

ki bonteng dianggap dapat digunakan untuk pekerjaan dibawah atap. Di Jawa

Tengah dan Jawa Timur, walaupun banyak terdapat di sana namun namanya tidak

dikenal oleh masyarakat (Heyne 1987).

Ekstraksi

Ekstraksi kayu meliputi sejumlah besar senyawa berbeda yang dapat

diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non-polar. Ekstraksi

(17)

benzena, etanol, diklorometana atau campuran dari pelarut-pelarut tersebut. Asam

lemak, asam resin, lilin, tannin, dan senyawa berwarna merupakan

senyawa-senyawa yang paling penting yang dapat diekstraksi dengan pelarut. Komponen

utama dari bagian kayu yang dapat larut dalam air terdiri atas karbohidrat, protein

dan garam-garam an-organik (Fengel dan Wegener 1995).

Ekstraksi adalah suatu metode pemisahan komponen-komponen dari suatu

campuran dimana komponen yang larut masuk ke dalam pelarut yang dipakai

sedangkan komponen yang tidak larut akan tertinggal di dalam bahan. Metode

yang paling sederhana yang digunakan untuk mengekstraksi padatan adalah

mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, kemudian memisahkannya dari

padatan yang tidak terlarut (Lehniger dan Baverloo 1976). Hasil ekstraksi yang

diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang terdapat pada contoh uji dan

jenis pelarut yang digunakan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam

pemilihan pelarut adalah selektivitas, kapasitas, kemudahan untuk diuapkan dan

harga pelarut tersebut. Prinsip kelarutan adalah “like dissolve like”, yaitu (1)

pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut

non-polar akan melarutkan senyawa non-polar, (2) pelarut organik akan

melarutkan senyawa organik (Khopkar 1990 dalam Yunita 2004).

Ekstraksi obat dari tumbuhan dengan ekstraksi cair tergolong sebagai jenis

ekstraksi cairan-padat (liquid-solid extraction). Tujuan metode ekstraksi ini

adalah mengeluarkan bahan yang diinginkan dari sel-sel dengan proses difusi.

Prinsip dari cara ini adalah untuk tercapainya keseimbangan konsentrasi bahan

dalam pelarut pada batas yang diinginkan. Hasil ekstraksi dari proses ini

dipengaruhi oleh suhu, pH, ukuran bahan yang akan diekstraksi dan gerakan

pelarut yang terjadi di sekitarnya. Parameter yang juga sangat penting dalam

ekstraksi adalah pemilihan pelarut. Suatu pelarut ideal adalah yang memiliki

selektivitas tinggi yakni untuk memisahkan senyawa dengan bobot molekul

rendah, seperti alkaloid, saponin dan terpentin, pelarut yang paling baik

digunakan adalah alkohol alifatik dengan maksimum 3 atom karbon atau

campuran dari pelarut itu dengan air (Bombardelli 1991).

Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan

(18)

pengrajangan simplisia, pemilihan pelarut dan kondisi ekstrak, proses

pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian serta usulan proses

ekstraksi yang akan digunakan (Sabel dan Warren 1973). Prosedur klasik untuk

memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering adalah

dengan proses ekstraksi berkesinambungan dengan menggunakan sederetan

pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya (Harborne 1987). Polaritas sering

diartikan sebagai adanya pemisahan kutub muatan positif dan negatif dari suatu

molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom

penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul

yang lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya

polaritas dari suatu zat pelarut proporsional dengan besarnya konstanta

dielektriknya (Adnan 1997).

Menurut Stahl (1985), konstanta dielektrik (ε) merupakan salah satu

ukuran kepolaran pelarut yang mengukur kemampuan pelarut untuk menyaring

daya tarik elektrostatik antara isi yang berbeda. Kemampuan zat cair melarutkan

zat padat ion sangat bergantung, walaupun tidak semata-mata bergantung pada

tetapan dielektriknya. Dalam penelitian ini digunakan pelarut aseton dikarenakan

pelarut ini memiliki sifat antara lain nilai polaritas dan konstanta dielektrik yang

tinggi, dapat dicampur dengan air dalam berbagai perbandingan dan merupakan

pelarut yang baik (Lestari 2003). Menurut Reichardt (1998), aseton sebagai

pelarut organik lebih aman bagi kesehatan dibandingkan dengan pelarut

kloroform, benzena dan toluena. Pelarut aseton mempunyai toksisitas yang lebih

rendah (1.000 ppm) dibandingkan dengan benzena (8 ppm), kloroform (10 ppm)

dan toluena (200 ppm). Nilai konstanta dielektrik, titik didih dan sifat kepolaran

beberapa pelarut yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Nilai konstanta dielektrik, titik didih dan sifat kepolaran beberapa pelarut yang digunakan dalam penelitian ini

Nama Pelarut Nilai konstanta dielektrik (ε) Titik didih (oC)1) Sifat kepolaran2)

Aseton

Houghton dan Raman (1998)

2)

(19)

Senyawa Bioaktif

Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas biologis

terhadap organisme lain atau pada organisme yang menghasilkan senyawa

tersebut. Senyawa bioaktif hampir selalu toksik pada dosis tinggi. Setiap zat

kimia, termasuk senyawa aktif dari tumbuhan pada dasarnya bersifat racun,

tergantung pada penggunaan, takaran, pembuatan, cara pemakaian dan waktu

yang tepat untuk mengkonsumsi. Beberapa tanaman dikenal menghasilkan

senyawa bioaktif yang mempunyai berbagai aktivitas bioaktif termasuk antikanker

yang pada umumnya berupa senyawa-senyawa flavonoid, glikosida, steroid

alkaloid dan terpenoid (Kurz dan Constabel 1998).

Alkaloid

Menurut Harborne (1987), alkaloid sekitar 5.500 jenis telah diketahui dan

merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Tidak ada satupun

istilah ‘alkaloid’ yang memuaskan, tetapi pada umumnya alkaloid mencakup

senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya

dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid seringkali bersifat

racun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol

yang secara luas banyak digunakan dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya

tanpa warna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi

hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Uji

sederhana yang sama sekali tidak sempurna, untuk alkaloid dalam daun atau buah

segar adalah rasa pahitnya di lidah. Misalnya, alkaloid kuinina adalah zat yang

dikenal paling pahit dan pada konsentrasi molar 1x10-3 memberikan rasa pahit yang berarti. Alkaloid dahulu sebagai sumber utamanya hanya berasal dari

tanaman yang berbunga (angiospermae). Tetapi pada dewasa terakhir, ternyata

alkaloid ditemukan juga dalam beberapa jenis hewan baik yang hidup di laut

maupun di darat, berupa serangga, makroorganisme dan tanaman rendah lainnya

(Pandji 1989). Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti

biji, daun, ranting dan kulit kayu. Alkaloid memang jarang ditemukan dalam

jaringan mati. Umumnya alkaloid terakumulasi dalam jaringan yang tumbuh aktif

(20)

tumbuhan belum diketahui begitu pasti, walaupun beberapa senyawa ditafsirkan

berperan sebagai pengatur, atau penolak dan pengikat serangga. Sampai saat ini,

penggolongan senyawa alkaloid belum ada yang digunakan secara umum. Hal ini

disebabkan karena alkaloid mempunyai struktur yang banyak jenisnya, sehingga

penggolongan alkaloid berdasarkan strukturnya untuk membedakan jenis yang

satu dengan yang lain sukar dilakukan (Suradikusumah 1989).

Dalam pengobatan, alkaloid memberikan efek fisiologis yang pada

umumnya di susunan syaraf pusat, misalnya sebagai obat anti rasa sakit dan obat

tidur, dalam jumlah besar sangat beracun bagi manusia (Vicker dan Vickery

1981).

Menurut Sumiwi (1992), fungsi alkaloid bagi tumbuhan antara lain

sebagai zat beracun untuk melawan serangga atau hewan pemakan tumbuhan,

faktor pengatur tumbuh, substansi cadangan untuk memenuhi kebutuhan akan

nitrogen dan elemen-elemen lain yang penting bagi tumbuhan dan hasil akhir

reaksi detoksifikasi dari suatu zat yang berbahaya bagi tumbuhan.

Flavonoid

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Mereka dapat

diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini

dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu

warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia; jadi mereka mudah dideteksi

pada kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987).

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi dan karena itu

menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak.

Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida

dan aglikon flavonoid yang manapun mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan

dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida. Karena alasan itu, maka dalam

menganalisis flavonoid biasanya lebih baik kita memeriksa aglikon yang terdapat

dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis sebelum memperhatikan

kerumitan glikosida yang mungkin terdapat dalam ekstrak asal (Harborne 1987).

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali

(21)

sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas.

Antosianin berwarna yang terdapat dalam daun bunga hampir selalu disertai oleh

flavon atau flavonol tanpa warna. Hasil penelitian akhir-akhir ini telah

membuktikan bahwa flavon merupakan ko-pigmen penting, karena sangat

diperlukan untuk menyatakan warna antosianin secara penuh dalam jaringan

bunga. Biasanya antosianin juga terdapat sebagai campuran, terutama dalam

bunga, dan suatu jaringan bunga dapat mengandung sampai sepuluh pigmen yang

berlainan (Harborne 1987). Pada tumbuhan, flavonoid dapat meningkatkan

dormansi, meningkatkan pembelahan sel-sel kalus, sebagai enzim penghambat

pembentukkan protein, menghasilkan zat warna pada bunga, untuk merangsang

serangga, burung dan satwa lainnya untuk mendatangi tumbuhan tersebut sebagai

agen dalam penyerbukan dan penyebaran biji. Dalam dunia pengobatan, beberapa

senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibodi, misalnya antivirus dan jamur,

peradangan pembuluh darah dan dapat digunakan sebagai racun ikan (Vickery dan

Vickery 1981).

Saponin

Saponin termasuk dalam golongan senyawa terpenoid dan bagian dari

triterpenoid (diturunkan dari hidrokarbon C30). Saponin merupakan glikosida triterpenoid dan sterol. Senyawa ini merupakan senyawa aktif permukaan yang

bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya

membentuk busa yang stabil dan dapat menghemolisis sel darah. Pembentukan

busa yang mantap sewaktu mengekstrak tumbuhan atau pemekatan ekstrak

tumbuhan merupakan bukti adanya saponin. Untuk uji saponin yang sederhana

adalah dengan menggunakan ekstrak alkohol, air dari tumbuhan dalam tabung

reaksi dan perhatikan terbentuknya busa yang tahan lama pada permukaan cairan

(Harborne 1987).

Pada tumbuhan, saponin mempunyai fungsi yang sama dengan

triterpenoid karena mengandung turunan dari senyawa ini, diantaranya dapat

meningkatkan daya kecambah benih dan menghambat pertumbuhan akar,

menghambat pertumbuhan sel-sel tumor pada tumbuhan dan satwa. Saponin

(22)

untuk meningkatkan kolesterol serum, sebagai zat antibiotik, tahan jamur, anti

influenza dan peradangan tenggorokan, sebagai bahan dasar untuk mendapatkan

sapogenin yang berguna untuk menghasilkan hormon pertumbuhan pada satwa

dan dapat digunakan sebagai racun ikan (Vickery dan Vickery 1981).

Triterpenoid dan Steroid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan

berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa

warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik, yang

umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak

digunakan adalah reaksi Lieberman-Burchard (anhidrida asetat-H2SO4 pekat)

yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru.

Sterol dianggap senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu dan

lain-lain), tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang

ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Memang tiga senyawa yang biasa disebut

“fitosterol” mungkin terdapat pada setiap tumbuhan tinggi : sitosterol, stigma

sterol dan kampesterol (Harborne 1987).

Triterpenoid dan turunannya termasuk saponin dan steroid pada tumbuhan

berfungsi sebagai racun serangga, bakteri dan jamur. Steroid dapat meningkatkan

permeabilitas membran sel dan merangsang proses pembungaan. Dalam

pengobatan, senyawa ini berguna sebagai zat antibiotik diantaranya anti jamur,

bakteri dan virus. Steroid dapat merangsang aktivitas hormon estrogen dan

progesteron pada satwa dan manusia. Steroid menjadi sumber energi bagi

mikroorganisme pada pengurai (Vickery dan Vickery 1981).

Ekstraktif

Kayu mengandung endapan yang bervariasi (umumnya bahan organik)

yang gabungannya disebut ekstraneous atau ekstraktif. Bahan tersebut bukan

merupakan bahan penyusun kayu, tetapi terdapat dalam rongga sel dan dinding

(23)

lemak, resin, gula, minyak, pati, alkaloid dan tannin. Istilah ekstraktif didasarkan

kepada kemungkinannya (bagian kecil) diekstraksi dari kayu dengan air dingin

atau panas, atau pelarut netral seperti alkohol, benzen, aseton dan lain-lain.

Proporsi ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1 % (sebagai contoh poplar)

hingga lebih dari 10 % (sebagai contoh redwood) berdasarkan berat kering tanur

kayu. Untuk beberapa jenis dari daerah tropis bisa terdapat sekitar 20 %. Adanya

variasi tidak hanya terdapat diantara spesies tetapi juga dalam pohon yang sama

terutama diantara kayu gubal dan kayu teras (Tsoumis 1991).

Menurut Fengel dan Wegener (1995), kandungan ekstraktif dalam kulit

lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia tidak hanya tergantung pada spesies tetapi

juga pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang dapat

diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian ekstraksi yang hasilnya

memberikan ciri awal komposisinya.

Hal yang mempengaruhi kandungan zat ekstraktif dalam kayu diantaranya

adalah umur, site (tempat tumbuh), genetik, posisi dalam pohon, jenis pelarut

yang digunakan dan kecepatan pertumbuhan.

Brine Shrimp Lethality Test

Menurut Meyer et al. (1982), uji bioaktivitas menggunakan larva udang

Artemia salina Leach dikenal dengan istilah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). BSLT adalah suatu metode penelusuran untuk menentukan bioaktivitas suatu

ekstrak ataupun senyawa terhadap larva udang dari A. salina. Metode ini

berkembang sebagai salah satu metode bioassay dalam mengisolasi senyawa aktif

yang terdapat dalam suatu ekstrak tanaman. Lebih jauh lagi bioassay ini sering

dikaitkan sebagai metode identifikasi senyawa anti kanker berasal dari tumbuhan.

Uji bioaktivitas dengan menggunakan larva udang memiliki spektrum

farmakologi yang luas, sederhana prosedurnya, cepat, tidak memerlukan biaya

yang besar dan hasilnya dapat dipercaya.

Uji mortalitas larva udang merupakan salah satu metode uji bioaktif pada

penelitian senyawa bahan alam. Penggunaan larva udang untuk kepentingan studi

bioaktivitas sudah dilakukan sejak tahun 1956 dan sejak saat itu telah banyak

(24)

jaringan tanaman. Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas

farmakologi suatu senyawa. Adapun penerapan untuk sistem bioaktivitas dengan

menggunakan larva udang tersebut, antara lain untuk mengetahui residu pestisida,

anastetik lokal, senyawa turunan morpin, mikotoksin, karsinogenitas suatu

senyawa dan polutan untuk air laut serta sebagai alternatif metode yang murah

untuk uji sitotoksisitas (Hamburger dan Hostettmann 1991).

Senyawa aktif yang memiliki daya bioaktivitas tinggi diketahui

berdasarkan nilai Lethal Concentration 50 % (LC50), yaitu suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji

sampai 50 %. Data mortalitas yang diperoleh kemudian diolah dengan probit

analisis yang dirumuskan oleh Finney (1971) untuk menentukan nilai LC50 pada derajat kepercayaan 95 %. Senyawa kimia berpotensi bioaktif jika mempunyai

nilaiLC50 kurang dari 1.000 ppm (Meyer et al. 1982).

Artemia salina Leach.

Menurut Mudjiman (1983), udang renik asin (brine shrimp) atau artemia

adalah udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton yang

menghuni perairan-perairan yang berkadar garam tinggi (salina), baik dekat pantai

maupun jauh di Pedalaman laut. Artemia salina Leach. diklasifikasikan sebagai

berikut :

filum : Arthropoda

kelas : Crustacea

subklas : Branchipoda

ordo : Anostraca

famili : Artemiidae

genus : Artemia

species : Artemia salina Leach.

Gambar 1. Larva A. salina

Keunggulan penggunaan A. salina untuk uji BSLT ini ialah sifatnya yang

peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat, mudah dibiakkan

(25)

keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya

difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya.

A. salina ditemukan hampir pada seluruh tempat di permukaan perairan di bumi yang memiliki kisaran salinitas 10-20 g/l, hal inilah yang menyebabkannya

mudah dibiakkan. Telur A. salina terlihat seperti partikel-partikel kecil berwarna

coklat dengan diameter kira-kira 0,20 mm. Partikel-partikel tersebut akan naik ke

permukaan dan akhirnya tersapu ke darat oleh angin ketika terjadi penguapan air

pada musim-musim tertentu di wilayah perairan yang memiliki kadar garam

tinggi. Telur-telur tersebut dapat dikumpulkan dan dipisahkan dari pasir dan

kotoran lainnya dengan cara pengayakan. Telur-telur tersebut memiliki resistensi

yang tinggi terhadap kondisi ekstrim dan dapat disimpan dalam waktu yang lama,

jika telur-telur tersebut berada dalam keadaan bebas air. Uji BSLT dengan

menggunakan A. salina dilakukan dengan menetaskan telur-telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur A. salina akan menetas sempurna

menjadi larva dalam waktu 24 jam. A. Salina yang baik digunakan untuk uji

BSLT ialah yang berumur 48 jam sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan

kematian A. salina bukan disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al. 1982).

Larva yang baru saja menetas berbentuk bulat lonjong dan berwarna

kemerah-merahan dengan panjang 400 μm dengan berat 15 μg. Anggota badannya

terdiri dari sepasang sungut kecil (anteluena atau antena I) dan sepasang sungut

besar (antena atau antena II). Di bagian depan diantara kedua sungut kecil tersebut

terdapat bintik merah yang berfungsi sebagai mata (oselus). Di belakang sungut

besarnya terdapat sepasang mandibula (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian

(26)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni - Agustus 2006.

Bahan dan Alat

Penelitian ini dimulai dengan pengadaan bahan baku yaitu bagian cabang

kayu suren (Toona sureni Merr.) dan ki bonteng (Platea latifolia BL.) yang

berasal dari hutan alam di sekitar Gunung Salak Sukabumi. Secara administrasi

letak lokasi pengadaan bahan baku ini adalah di Wana Wisata Perhutani

Cangkuang, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.

Secara geografis terletak pada 06043’58” LS sampai 06045’26” LS dan 106037’41” BT sampai 106040’58” BT pada ketinggian 900 – 1.500 m dpl. Menurut tipe iklim Schmidt dan Fergusson, Gunung Salak termasuk tipe iklim A

sedangkan menurut tipe iklim Mohr termasuk iklim bulan basah sepanjang tahun.

Suhu rata-rata 25,5 oC dan kelembaban udara rata-rata 85,5 % dengan curah hujan rata-rata 3.445 mm/thn (Sugiana 2003). Contoh uji diperoleh dari dua bagian dari

cabang yang diambil, yaitu kulit bagian dalam (inner bark) dan teras cabang kayu

suren dan ki bonteng. Dari dua jenis kayu tersebut diambil masing-masing tiga

bagian cabang dari pohon yang berbeda dengan jenis yang sama. Ketiga bagian

tersebut digunakan sebagai ulangan (Gambar 2). Sedangkan diameter cabang yang

digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 2.

(27)

Tabel 2. Jenis kayu dengan diameter berbeda sebagai contoh uji

Jenis Kayu Diameter Pohon

(cm)

Diameter Cabang (cm)

Suren (T. sureni) 1 120 9,5 Suren (T. sureni) 2 100 9 Suren (T. sureni) 3 80 9 Ki bonteng (P. latifolia) 1 100 12,5 Ki bonteng (P. latifolia) 2 80 11 Ki bonteng (P. latifolia) 3 60 9

Semua contoh uji dipotong-potong menjadi serpihan dan dikering

udarakan. Apabila sudah kering, kemudian contoh uji digiling dengan

menggunakan hammer mill dan disaring sehingga masing-masing contoh uji berbentuk serbuk dengan ukuran yang seragam (40-60 mesh) sebanyak + 500 g

untuk bagian teras cabang dan + 50 g untuk inner bark.

Bahan lainnya yang digunakan adalah telur A. salina, pelarut netral seperti

aseton, n-heksana dan etil asetat. Peralatan yang digunakan adalah alat pembuat

serbuk (willey mill dan hammer mill), peralatan gelas (labu erlenmeyer, tabung

reaksi, cawan petri, gelas piala, gelas ukur, pipet volumetrik dll), perangkat

ekstraksi, alat timbangan dan rotary evaporator.

Metode Penelitian

Adapun rangkaian metode penelitian dimulai dengan penyiapan serbuk,

ekstraksi dan fraksinasi serta uji bioaktivitas ekstrak dengan Brine Shrimp

Lethality Test (BSLT).

Penyiapan Serbuk

Bagian inner bark suren dan ki bonteng dirajang dan bagian teras cabangnya dipotong-potong sebesar batang korek api lalu dikering udarakan,

kemudian digiling dengan Willey mill dan disaring dengan menggunakan Hammer

(28)

Ekstraksi dan Fraksinasi

Serbuk bagian inner bark dan teras cabang kayu suren dan ki bonteng

yang telah diketahui kadar airnya untuk mengoreksi berat serbuk yang digunakan

sehingga diperoleh residu serbuk dengan bobot yang tepat diekstraksi. Teknik

ekstraksi yang dilakukan adalah dengan cara maserasi yaitu dengan merendam

serbuk dalam 1 liter pelarut selama 1 hari. Serbuk inner bark suren dan ki bonteng

sebanyak ± 50 g diekstraksi dengan ± 200 ml aseton dan ± 300 g serbuk teras

cabangnya diekstraksi dengan ± 1.000 ml aseton. Pelarut yang digunakan adalah

aseton teknis yang telah dimurnikan dengan cara penyulingan. Serbuk direndam

dengan menggunakan pelarut aseton hingga seluruh bahan terendam dan lakukan

pengadukan sedikit agar pelarut mengenai seluruh bahan. Perendaman dengan

menggunakan aseton dilakukan berulang-ulang hingga diperoleh larutan yang

tidak berwarna atau jernih (warna pelarut sama seperti warna asalnya). Ekstrak

aseton yang dihasilkan kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary vaccum

evaporator pada suhu 30-40 oC dan selanjutnya dilakukan pengeringan dalam oven pada suhu sekitar 40 oC. Kemudian ditimbang bobotnya untuk mendapatkan kadar ekstrak kasar.

Ekstrak kasar yang diperoleh difraksinasi secara berturut-turut dengan

menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat. Fraksinasi yang dilakukan adalah

dengan cara memasukkan larutan yang telah kental ke dalam funnel separator.

Ekstrak aseton yang dihasilkan dimasukkan ke dalam funnel dan ditambahkan

sebanyak pelarut n-heksana : aquades : aseton (perbandingan 2:1:1). Campuran

dikocok dan dibiarkan hingga terjadi pemisahan, selanjutnya fraksi terlarut dalam

n-heksana dipisahkan dari residunya dan dimasukkan ke dalam labu. Fraksinasi

dengan menggunakan n-heksana dilakukan hingga larutan berwarna jernih dan

selanjutnya fraksi terlarut n-heksana ini dipekatkan dengan menggunakan rotary

vaccum evaporator pada suhu 30-40 oC. Selanjutnya dilakukan pengeringan di oven pada suhu sekitar 40 oC. Kemudian ditimbang bobotnya untuk mendapatkan kadar fraksi terlarut dalam n-heksana

Fraksinasi berikutnya dengan menggunakan pelarut etil asetat. Residu hasil

fraksinasi dengan n-heksana ditambahkan dengan 50 ml etil asetat (perbandingan

(29)

seperti fraksi dengan n-heksana. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut etil

asetat dimasukkan ke dalam botol yang tertutup rapat. Fraksinasi dilakukan

hingga larutan berwarna jernih. Fraksi yang terpisah dipisahkan menjadi fraksi

pada bagian atas funnel merupakan fraksi etil asetat sedangkan fraksi yang berada

dibagian bawah funnel merupakan residu. Selanjutnya sama dengan fraksi terlarut

n-heksana, fraksi terlarut etil asetat ini dipekatkan dengan menggunakan rotary

vaccum evaporator pada suhu 30-40 oC. Kemudian dilakukan pengeringan dalam oven pada suhu sekitar 40 oC dan ditimbang bobotnya untuk mendapatkan kadar fraksi terlarut dalam etil asetat. Untuk lebih jelasnya, tahapan fraksinasi dengan

menggunakan pelarut di atas secara skematis dapat dilihat pada Gambar 3 di

bawah ini.

Fraksinasi n-heksana:aquades:aseton (2:1:1) @ 25 ml, evaporasi sampai bening

Gambar 3. Bagan kerja ekstraksi & fraksinasi inner bark dan teras cabang suren dan ki bonteng.

* Uji Antikanker

(Brine Shrimp Lethality Test)

Residu

Fraksi etil asetat* Fraksi n-heksana

*

Residu

Ekstrak kasar*

(30)

Penentuan Kadar Ekstraktif

Kandungan zat ekstraktif pada tiap-tiap fraksi dihitung terhadap bobot

kering tanur. Ekstrak aseton, fraksi n-heksana, fraksi etil asetat dan residu yang

telah dikeringkan dalam oven 40 oC ditimbang untuk menghitung kadar ekstraknya.

Mahmudah (2003), menyatakan bahwa kadar ekstraktif dari hasil ekstraksi

dihitung terhadap kering tanur serbuk dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

Wa = berat padatan ekstraktif (g) Wb = berat kering tanur serbuk (g)

Uji Bioaktivitas dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi pelarut aseton, n-heksana dan etil

asetat kemudian diuji bioaktivitasnya dengan menggunakan larva udang. Telur

udang ditetaskan di dalam gelas piala ukuran 1 l yang diisi air laut dilengkapi

dengan aerator dan lampu penerangan dan dalam 24 jam telur akan menetas

menjadi larva udang kemudian dilakukan penyiapan larutan ekstrak uji. Pengujian

dilakukan dengan 6 variasi konsentrasi, yaitu 1.000 ppm, 500 ppm, 200 ppm, 100

ppm, 20 ppm dan 10 ppm. Untuk membuat berbagai konsentrasi ekstrak maka

terlebih dulu membuat larutan induk ekstrak 2.000 ppm dengan cara : sebanyak

10 mg ekstrak kering dilarutkan dalam 5 μl aseton dan tambahkan air laut hingga

menjadi 5 ml larutan ekstrak untuk mendapatkan kadar 2.000 ppm larutan induk.

Dari larutan induk ekstrak tersebut dipipet 500, 250, 100, 50, 10, 5 μl ke dalam

vial sehingga konsentrasi ekstrak menjadi 1.000, 500, 200, 100, 20, 10 μg/ml

(ppm) setelah ditambahkan air laut hingga 1 ml. Sebelum dimasukkan larutan

ekstrak dan air laut, terlebih dahulu dimasukkan larva udang sebanyak 10 ekor ke

dalam vial, hal ini dilakukan agar konsentrasi tepat dan udang tidak mendapat

konsentrasi larutan yang terlalu tinggi sebelum penambahan air laut hingga 1 ml.

Setiap ekstrak dari tiap pohon diuji dan ditambah 1 kontrol, sehingga ada 3 contoh

(31)

konsentrasi dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali sehingga 1 jenis ekstrak

terdapat 6 ulangan.

Setelah 1 hari (24 jam) dilakukan pengamatan dengan cara menghitung

jumlah larva udang yang mati, kemudian dihitung mortalitasnya dengan

menggunakan rumus berikut:

Keterangan :

MA : Mortalitas teramati (%) N1 : Jumlah larva udang awal

N2 : Jumlah larva udang yang mati setelah pengujian

Kemudian nilai mortalitas teramati yang diperoleh dikoreksi dengan

kontrol. Nilai mortalitas terkoreksi ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus

dari Abbot (1925) dalam Sari (2002) yaitu :

Keterangan :

MT : Mortalitas teramati yang terkoreksi oleh mortalitas kontrol (%) Ma : Mortalitas teramati (%)

Mk : Mortalitas kontrol (%)

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan probit

analysis method dari minitab release 14 untuk mengetahui Lethal Concentration (LC50)dengan selang kepercayaan 95 %. Apabila LC50 < 30 ppm maka ekstrak sangat toksik dan berpotensi mengandung senyawa bioaktif antikanker. Meyer

(1982), menyebutkan tingkat toksisitas suatu ekstrak :

¾ LC50 ≤ 30 ppm = Sangat toksik

¾ 31 ppm ≤ LC50 ≤ 1.000 ppm = Toksik

¾ LC50 > 1.000 ppm = Tidak toksik.

%

100

100

Mk

x

Mk

Ma

MT

=

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Fisik Inner bark dan Teras Cabang

Kayu Suren (Toona sureni Merr.)dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.)

Contoh uji yang dipakai adalah 3 teras serta 3 kulit bagian dalam dari

cabang pohon suren (T. sureni) dan ki bonteng (P. latifolia). Masing-masing

bagian cabang diperoleh dari tiga pohon yang berbeda tetapi masih dalam satu

jenis di lokasi hutan alam di sekitar Gunung Salak Sukabumi. Daun yang berasal

dari pohon suren dan ki bonteng dikirim ke Herbarium Bogoriense, Badan

Penelitian dan Pengembangan Botani Pusat Penelitian dan Pengembangan

Biologi–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, untuk

mengidentifikasi jenis pohon.

Kulit dalam dan bagian teras dari cabang batang suren dan ki bonteng

setelah dikering udarakan kemudian dipotong-potong/dicacah dan di analisis

secara visual (seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Tabel 4).

Tabel 3. Hasil analisis fisik kulit cabang kayu suren dan ki bonteng

Parameter Hasil Pengamatan

Kulit Suren Kulit Ki bonteng

Bentuk Kulit kayu, persegi panjang (mudah dikuliti)

Kulit kayu, tidak beraturan/serupa serutan (sedikit susah dikuliti)

Warna Outer bark: Coklat muda Inner bark : Kuning kecoklatan

Outer bark: Coklat tua Inner bark : Merah bata Ukuran Tebal kulit + 0,3 – 0,5 cm Tebal kulit + 0,5 – 1,0 cm

Tabel 4. Hasil analisis fisik bagian teras dari cabang kayu suren dan ki bonteng

Parameter Hasil Pengamatan

Teras Suren Teras Ki bonteng

Bentuk Sedikit susah dibedakan dengan kayu gubalnya

Lebih mudah dibedakan dengan kayu gubalnya

Warna Coklat muda Coklat tua (menyerupai merah bata)

Kandungan Zat Ekstraktif

Kadar ekstrak adalah jumlah total ekstrak murni yang didapat pada suatu

proses ekstraksi dalam suatu bahan (tumbuhan). Nilai kadar ekstrak ini

(33)

perbandingan jumlah ekstrak dan jumlah pengisi yang terkandung pada setiap

butir obat tersebut.

Warna zat ekstraktif yang larut dalam pelarut aseton pada kayu suren

umumnya berwarna merah kehitaman sedangkan ki bonteng cenderung berwarna

kuning. Sejumlah flavonoid menentukan warna masing-masing kayu, misal

fisetin, morin dan santal, yang lain (butein, sulfuretin, rangsin) menyebabkan

noda-noda warna dalam pulp dari kayu tropika (Fengel dan Wegener 1989).

Beberapa tanaman dikenal menghasilkan senyawa bioaktif termasuk antikanker

yang berupa senyawa-senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, steroid dan

terpenoid. Adanya senyawa alkaloid dan flavonoid, merupakan indikasi

terdapatnya senyawa obat dalam zat ekstraktif tersebut (Kurz dan Constabel

1998).

Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Suren (Toona sureni Merr.)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstraksi dalam pelarut aseton

dari ± 50 g serbuk kulit dalam (inner bark) cabang suren (kadar air 4,62 %)

menghasilkan ekstrak aseton sebesar 5,94 g atau 12,93 % berdasarkan berat

kering tanur (BKT) serbuk kayunya dan tergolong ke dalam kategori kadar

ekstraktif tinggi sedangkan ekstraksi dalam pelarut aseton dari ± 300 g serbuk

kayu teras cabang suren (kadar air 5,66 %) menghasilkan ekstrak aseton sebesar

6,38 g atau 2,31 % berdasarkan BKT serbuk kayunya dan tergolong ke dalam

kategori kadar ekstraktif sedang. Hal ini didasarkan pada klasifikasi kelas

komponen kimia kayu Indonesia (Anonim 1976 dalam Lestari dan Pari 1990)

yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif kayu termasuk kelas tinggi jika kadar

ekstraktifnya lebih besar dari 4 %, kelas sedang jika kadar ekstraktif antara 2 %-4

% dan kelas rendah jika kadar ekstraktifnya kurang dari 2 %. Berat serbuk yang

digunakan tidak sama untuk setiap bagian maupun jenisnya dikarenakan

keterbatasan bahan penelitian dan untuk mendapatkan ekstrak

sebanyak-banyaknya (Lampiran 3). Ekstrak aseton yang diperoleh kemudian difraksinasi

secara bertingkat dengan menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat. Hasil

(34)

Tabel 5. Kandungan rata-rata ekstrak aseton inner bark dan teras cabang suren (T. sureni) serta hasil fraksinasinya*)

Jenis Sampel Jenis Fraksi (%)

Total Ekstrak

N-Heksana Etil Asetat Residu Aseton (%)

Inner bark 0,80 3,13 3,94 12,93

Teras Cabang 0,18 1,42 0,40 2,31 Keterangan :

*)

- Rataan dari 3 ulangan

- % berat kering tanur (bobot fraksi terhadap bobot awal serbuk)

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat, hasil fraksinasi ekstrak aseton dari

inner bark suren menunjukkan bahwa jumlah zat ekstraktif fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan fraksi residu tidak sama dengan ekstrak asetonnya. Hal ini

diduga disebabkan karena adanya zat ekstraktif dari fraksi-fraksi tersebut yang

mudah menguap pada saat dikeringkan, adanya ekstrak yang melekat pada funnel

separator yang sangat sulit untuk diambil dan dikeluarkan. Disamping itu, karena keterbatasan alat maka funnel separator yang digunakan penutupnya kurang rapat

sehingga ada ekstrak yang tercecer. Apabila kita mengabaikan jumlah ekstrak

yang hilang tersebut, maka hasil fraksinasi menunjukkan bahwa fraksi residu

merupakan fraksi dengan nilai kadar tertinggi sebesar 3,94 % namun nilai ini

tidak jauh berbeda dengan fraksi etil asetat sebesar 3,13 % sedangkan terendah

pada fraksi n-heksana sebesar 0,80 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

zat ekstraktif inner bark suren sebagian besar merupakan kelompok senyawa

polar dan semi polar.

Hasil fraksinasi untuk teras cabang suren menunjukkan bahwa fraksi etil

asetat dengan nilai kadar tertinggi sebesar 1,42 % diikuti fraksi residu sebesar 0,4

% dan terendah fraksi n-heksana sebesar 0,18 %. Karena etil asetat merupakan

pelarut yang bersifat semi polar (Tabel 1), maka dapat dikatakan bahwa ekstrak

aseton bagian teras cabang suren sebagian besar mengandung zat ekstraktif yang

bersifat semi polar.

Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Ki bonteng (Platea latifolia BL.)

Ekstraksi dalam pelarut aseton dari ± 20 gr serbuk inner bark cabang ki

bonteng (kadar air 4,46 %) menghasilkan ekstrak aseton sebesar 1,57 g atau 11,19

(35)

kategori tinggi sedangkan ekstraksi dalam pelarut aseton dari ± 500 g serbuk kayu

teras cabang ki bonteng (kadar air 4,46 %) menghasilkan ekstrak aseton sebesar

2,77 g atau 0,86 % (Tabel 6), dan tergolong ke dalam kategori kadar ekstraktif

rendah. Kemudian ekstrak aseton yang diperoleh difraksinasi dan hasil

fraksinasinya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan rata-rata ekstrak aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng (P. latifolia) serta hasil fraksinasinya*)

Jenis Sampel Jenis Fraksi (%)

Total Ekstrak

N-Heksana Etil Asetat Residu Aseton (%)

Inner bark 0,11 1,47 3,19 11,19

Teras Cabang 0,25 0,41 0,16 0,86 Keterangan :

*)

- Rataan dari 3 ulangan

- % berat kering tanur (bobot fraksi terhadap bobot awal serbuk).

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat, hasil fraksinasi ekstrak aseton dari

inner bark ki bonteng menunjukkan bahwa jumlah zat ekstraktif fraksi n-heksana, fraksi etil asetat dan fraksi residu tidak sama dengan ekstrak asetonnya. Hal ini

diduga disebabkan karena adanya zat ekstraktif dari fraksi-fraksi tersebut yang

mudah menguap pada saat dikeringkan, adanya ekstrak yang melekat pada funnel

separator yang sangat sulit untuk diambil dan dikeluarkan. Disamping itu, karena keterbatasan alat maka funnel separator yang digunakan penutupnya kurang rapat

sehingga ada ekstrak yang tercecer. Dengan mengabaikan perbedaan nilai

tersebut, hasil fraksinasi menunjukkan bahwa fraksi residu dari ekstrak aseton

inner bark ki bonteng merupakan fraksi dengan nilai kadar tertinggi sebesar 3,19 % diikuti fraksi etil asetat sebesar 1,47 % dan terendah fraksi n-heksana sebesar

0,11 %. Fraksi residu merupakan fraksi yang bersifat polar. Fraksi ini adalah

fraksi yang tidak larut dalam fraksi n-heksana dan fraksi etil asetat tapi terlarut

dalam campuran air dan aseton yang ditambahkan pada awal fraksinasi. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa zat ekstraktif inner bark ki bonteng sebagian

besar merupakan senyawa polar.

Hasil fraksinasi untuk teras cabang ki bonteng, menunjukkan bahwa nilai

kadar fraksi tertinggi dalam ekstrak aseton adalah fraksi etil asetat sebesar 0,41 %

kemudian fraksi n-heksana sebesar 0,25 % dan terendah fraksi residu sebesar 0,16

(36)

aseton pada teras cabang ki bonteng sehingga dapat dikatakan kandungan zat

ekstraktif teras cabang ki bonteng bersifat semi polar.

Tabel 5 dan Tabel 6, menunjukkan bahwa kandungan rata-rata zat

ekstraktif suren dan ki bonteng memiliki perbedaan baik pada inner bark dan

bagian teras cabangnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tsoumis

(1991), bahwa adanya variasi tidak hanya terdapat diantara spesies tetapi juga

dalam pohon yang sama terutama diantara kayu gubal dan kayu teras. Hasil

ekstraksi secara maserasi (rendaman) dalam pelarut aseton menunjukkan bahwa

kandungan zat ekstraktif dari inner bark suren dan ki bonteng lebih banyak

dibandingkan dengan teras cabangnya. Sjostrom (1998), menyatakan bahwa

kekhasan kulit adalah tingginya kandungan konstituen-konstituen tertentu

(ekstraktif) yang dapat larut seperti pektin dan senyawa-senyawa fenol maupun

suberin. Secara kasar ekstraktif-ekstraktif kulit dapat dibagi menjadi

konstituen-konstituen lipofil dan hidrofil. Kandungan total kedua ekstraktif lipofil dan

hidrofil biasanya lebih tinggi dalam kulit dibandingkan dalam kayu dan bervariasi

dalam batas-batas yang besar diantara spesies-spesies yang berbeda, sekitar 20-40

% berat kering kulit.

Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 juga, maka dapat diketahui bahwa inner

bark suren dan ki bonteng memiliki kesamaan fraksi yang dominan yaitu fraksi residu atau fraksi zat tak terlarut dengan kandungan zat ekstraktif tertinggi

sedangkan fraksi n-heksana merupakan fraksi terendah dalam ekstrak aseton

sehingga dapat dikatakan fraksi residu yang bersifat polar mendominasi ekstrak

aseton dari inner bark kedua kayu tersebut. Sjostrom (1998) mengemukakan

bahwa bagian hidrofil kulit yang dapat diekstraksi hanya dengan pelarut-pelarut

organik polar (aseton, etanol dan sebagainya) mengandung jumlah besar

konstituen-konstituen fenol. Untuk teras cabangnya, suren dan ki bonteng juga

memiliki kesamaan fraksi yang dominan yaitu pada fraksi etil asetat yang lebih

bersifat semi polar (Tabel 5 dan Tabel 6).

Zat ekstraktif merupakan hasil metabolisme sekunder dari tumbuhan yang

terus menerus menumpuk dan mengakibatkan kematian sel-sel pada tumbuhan

tersebut. Semakin lama proses ini terjadi maka semakin banyak substansi sisa

(37)

bertambah pula kandungan zat ekstraktifnya. Tsoumis (1991), mengemukakan

bahwa proporsi ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1 % (sebagai contoh

poplar) hingga lebih dari 10 % (sebagai contoh red-wood) berdasarkan berat

kering tanurnya dan untuk beberapa daerah tropis bisa terdapat sekitar 20 %.

Riset terhadap 480 sampel Pinus echinata yang hidup pada kondisi dan umur

yang berbeda menunjukkan bahwa umur mempengaruhi jumlah zat ekstraktif

lebih dari pengaruh yang lainnya (Hillis 1987). Pada umumnya zat ekstraktif kayu

terdapat pada bagian teras walaupun terdapat sejumlah kecil pada kayu gubal. Zat

ekstraktif pada pangkal pohon akan lebih banyak dibanding bagian di atasnya. Hal

ini dikarenakan pembentukan kayu teras adalah karena adanya sel yang mati

sedangkan bagian atas sel-selnya sedang aktif membelah. Zat ekstraktif pada kulit

umumnya lebih banyak dari bagian kayunya, hal ini disebabkan kulit kaya akan

konstituen-konstituen tertentu yang dapat larut. Bagian cabang kayu kadang

mengandung lebih banyak zat ekstraktif dibandingkan batangnya. Kayu teras dari

cabang dan akar pada Picea abies mengandung konsentrasi lignan yang lebih

tinggi (4 %-6 % dan 2 %-3 %) dibandingkan pada batang hardwood (0,1 %) dari

pohon yang sama (Ekman 1979 dalam Fengel dan Wegener 1989).

Perbedaan jumlah zat ekstraktif pada kayu menurut Hillis (1987)

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, tempat tumbuh, jenis

(genetik), posisi dalam pohon, pelarut yang digunakan dan kecepatan

pertumbuhan. Faktor lain yang mempengaruhi kadar zat ekstraktif pada kayu

adalah ukuran serbuk, frekuensi pengadukan dalam perendaman dan kadar air

serbuk.

Kemampuan tumbuhan untuk mencukupi kebutuhan makanannya sangat

didukung oleh karakteristik daerah tempat dia tumbuh. Semakin baik kondisi

tempat tumbuh (sinar matahari, ketersediaan air, unsur hara, dan sebagainya)

maka semakin banyak makanan yang bisa diproduksi dan semakin baik pula

pertumbuhannya. Dengan demikian, pembentukan metabolit sekunder atau zat

ekstraktif akan semakin banyak pula.

Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi berperan penting.

Setiap jenis pelarut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tidak ada pelarut

(38)

agar lebih banyak maka perlu ditambahkan dua atau lebih jenis pelarut. Zat

ekstraktif mudah larut dalam pelarut netral atau pelarut organik seperti eter,

aseton, benzena, etanol, diklrometana atau campuran larutan tersebut.

Pelarut yang digunakan untuk melarutkan zat ekstraktif pada suatu bahan

tanaman memiliki kemampuan melarutkan (solubility) yang berbeda-beda dan

biasanya dinyatakan dengan konstanta dielektrik. Pelarut dengan konstanta

dielektrik yang tinggi mempunyai kemampuan melarutkan yang lebih besar

dibandingkan pelarut-pelarut yang konstanta dielektriknya lebih kecil. Ekstraktif

kadang berada tersembunyi dibelakang dinding sel tergantung pada derajat

polimerisasi dan insolubitas-nya. Pelarut juga mempunyai batas sampai dia mulai

berkurang daya larutnya. Melalui evaporasi, pelarut yang digunakan untuk

mengekstraksi bahan dapat digunakan lagi akan tetapi daya larutnya diduga

semakin berkurang. Oleh karena itu, jumlah zat ekstraktif yang dapat diekstrak

dari bahan tersebut juga semakin berkurang. Pemakaian ulang pelarut harus

diperhatikan agar bahan dapat terekstrak dengan baik.

Houghton dan Raman (1998), menyatakan bahwa pemilihan pelarut dalam

ekstraksi ditentukan oleh penguapannya, kemudahan untuk terbakar, titik didih,

toksisitas, reaktivitas dan biaya. Titik didih yang terlalu tinggi akan menyebabkan

kerusakan ekstrak pada saat pemisahannya dengan pelarut. Jika pelarut mudah

menguap maka akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi operator maupun

lingkungan sehingga potensi berbahaya dari pelarut harus dipertimbangkan.

Pelarut yang mudah terbakar sebaiknya dihindari untuk mencegah hal-hal yang

tidak diinginkan. Pelarut mempunyai toksisitas yang berbeda-beda sehingga dapat

membahayakan bagi operatornya. Terlalu banyak menghirup pelarut dengan

toksisitas tinggi seperti kloroform atau diethil-eter bisa menyebabkan radang

pernafasan dan dapat membius. Pelarut-pelarut yang reaktif seperti pada peroksida

dapat terdekomposisi dan merusak ekstrak. Eksperimen dengan skala besar akan

menggunakan pelarut yang sangat banyak dan menghabiskan biaya yang sangat

tinggi. Oleh karena itu harus dipilih pelarut yang lebih efisien, ekonomis dan

aman.

Ukuran serbuk kayu suren dan ki bonteng yang digunakan dalam

Gambar

Tabel 1. Nilai konstanta dielektrik, titik didih dan sifat kepolaran beberapa pelarut yang digunakan dalam penelitian ini
Gambar 1. Larva A. salina
Gambar 2. Cabang kayu suren dan ki bonteng sebagai contoh uji
Tabel 2. Jenis kayu dengan diameter berbeda sebagai contoh uji
+7

Referensi

Dokumen terkait

POKJA PEMBANGUNAN GEDUNG LABORATORIUM MAN SUMBEROTO

54.243.359.500,00 (lima puluh empat miliar dua ratus empat puluh tiga juta tiga ratus lima puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah). Calon Pemenang

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

Tanggal Pembayaran atas Pembelian Saham Publik 30 Juni 2012 Tanggal Efektif Penggabungan Usaha 01 Juli 2012 Tanggal Awal Perdagangan Saham Hasil Penggabungan di Bursa 01 Juli

beberapa perkara yang dilakukan yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan orang. Barang siapa yang menjauhi perkara-perkara yang diragukan itu berarti ia

Jika dibedakan dari matriks tersebut akan tampak bahwa laki-laki/suami yang berprofesi sebagai nelayan memiliki waktu luang yang lebih luas daripada perempuan

Dalam membentangkan kertas penyelidikan ini, bagi memenuhi sebahagian syarat untuk ijazah sarjana Pengurusan Sumber Manusia Universiti Utara Malaysia (UUM), saya bersetuju

Teknik kultur embryogenesis somatik memiliki kelebihan antara lain dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak (Li et al., 1998), sifat genetik bibit yang dihasilkan seragam