• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI

TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG

PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN

(ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.

49/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN

PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)

TESIS

Oleh

ADE SUMITRA HADISURYA 077005094/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI

TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG

PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN

(ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.

49/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN

PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ADE SUMITRA HADISURYA 077005094/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN (ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO. /PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN

PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)

Nama Mahasiswa : Ade Sumitra Hadisurya Nomor Pokok : 077005094

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) (Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal lulus : 18 Agustus 2009

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 18 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

4. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Pekerja/buruh memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai tujuan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Salah satu hak pekerja/buruh yang secara normatif diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh untuk memperoleh upah atau uang pesangon. Tetapi dalam kenyataannya hak pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon tersebut terkadang tidak dipenuhi oleh perusahaan tempatnya bekerja baik karena perusahaannya telah mengalami pailit sehingga tidak mampu lagi membayar, atau karena perusahaan memang tidak mau membayarnya sekali pun telah ada putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) yang mewajibkan pengusaha (perusahaan) untuk membayar upah atau uang pesangon tersebut. Sebagai kreditor preferen, maka menurut UUK dan PKPU, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pailit perusahaannya kepada Pengadilan Niaga, sedangkan tidak dibayarnya upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 merupakan perselisihan hak sehingga pengadilan yang berwenang untuk mengadili perselisihan tersebut adalah Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Akan tetapi apabila ditinjau dari lembaganya, maka antara PHI dan Pengadilan Niaga merupakan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili (kompetensi) yang berbeda satu sama lain walau sama-sama merupakan peradilan khusus yang berada dalam satu lembaga peradilan umum, sehingga besar sekali kemungkinan terjadi sengketa mengenai kewenangan mengadili bahkan sering terjadi kekaburan dalam menentukan titik singgung serta batas yang jelas dan terang mengenai kewenangan mengadili dari masing-masing pengadilan serta merupakan problematika tersendiri yang perlu dipecahkan terlebih dahulu sebelum hakim memeriksa perkara. Untuk itulah tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan, untuk mengetahui penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan untuk mengetahui pengadilan yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan.

Penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis yaitu dengan mengkaji dan menganalisis kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan berdasarkan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan. Data utama penelitian ini adalah data sekunder yang digali aneka bahan hukum, baik bahan hukum primer atau sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif

(6)

dan induktif untuk kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa masih terdapat perbedaan mengenai kejelasan seberapa didahulukannya pembayaran upah atau uang pesangon bagi pekerja/buruh dalam suatu perusahaan yang dinyatakan pailit serta luasnya penafsiran mengenai syarat-syarat agar perusahaan dapat dinyatakan pailit. Selain itu juga masih terdapat perbedaan pendapat dari Mahkamah Agung maupun para ahli hukum kepailitan dan ketenagakerjaan mengenai pengadilan yang berwenang dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan. Hal ini disebabkan karena aturan yang mengatur mengenai kewenangan dari suatu badan peradilan khususnya antara Pengadilan Niaga dengan PHI masih dapat ditafsirkan secara luas mengenai ruang lingkup kewenangannya oleh hakim dari masing-masing badan peradilan tersebut. Untuk itu diharapkan di masa yang akan datang hakim yang mengadili tuntutan pekerja atau buruh atas upah atau uang pesangon baik melalui PHI maupun Pengadilan Niaga konsisten dengan putusan-putusan yang telah dikeluarkannya serta lebih memperhatikan lagi kepentingan maupun nasib para pekerja/buruh yang pada dasarnya mempunyai kedudukan maupun financial yang rendah. Begitu juga diharapkan kepada pembuat undang-undang untuk tidak menerbitkan suatu aturan yang saling bertentangan dan menimbulkan banyak penafsiran.

Kata kunci : Kewenangan, Pengadilan Niaga, Mengadili, Pekerja/Buruh, Upah, Uang Pesangon, Perusahaan

(7)

Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009

ABSTRACT

Workers have a very important role and position as the actors in achieving the objectives of development. Hence, the development of manpower is intended to improve their quality and contribution in the development and to protect their rights and interests in line with the dignity and values of humanity. One of the rights of the workers normatively regulated in Law No.] 3/2003 on Manpower is that the workers have a right to receive wages/salary or severance payment. In fact, the right of workers to receive wages/salary or severance pay is sometimes not met by the company where they work because either the company is bankrupt that it cannot pay the workers' salary any more or the company just does not want to pay the workers salary although the Central Labor Dispute Settlement Committee (P4P) has made a decision hat the company must pay the workers' salary or severance pay. As preference creditor, according to UUK and PKPU, the workers can file an application of their company's bankruptcy to the court of commerce while, according to Law No.2/2004, the salary or severance pay which are not paid is a dispute of right that the court of law which has an authority to try the dispute is the Industrial Relation Court (PHI). In terms of their institutions, Industrial Relation Court (PHI) and Court of Commerce (Pengadilan Niaga) are the two institutions with different authority to try (competence) even though they are special courts under a general judicature institution that the dispute on the authority to try a case probably happens because there is no clear limit of their authority to try a case and it is a specific problem which needs to be solved before the judges try a case in court. Hence, the purpose of this descriptive normative legal study is to look at to what extent the authority of Court of Commerce (Pengadilan Niaga) in trying a case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work, to find out how the dispute ofsalary and severance payment is seated according to Law No.2/2004 on Industrial Relation Dispute Settlement, and to analyze which court has the authority to try the case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work.

The main data for this study were the secondary data in the forms of primary and secondary legal material obtained through library research. The data obtained were qualitatively analyzed through deductive and inductive methods to describe the existing situation and condition on which the problem is based and to find out the authority of Court of Commerce (Pengadilan Niaga) in trying a case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work based on the legal norms stated in the existing regulation of legislation and court decision.

(8)

severance pay which are not paid by the company where they work. This different opinion occurs because the regulation regulating the scope of authority of a judicature body especially between the Industrial Relation Court (PHI) and the Court of Commerce (Pengadilan Niaga) can still be broadly interpreted by the judges of respective court. In the future, it is expected that the judges who tried the claim of the workers on their salary or severance pay either through the Industrial Relation Court (PHI) or the Court of Commerce (Pengadilan Niaga) must be consistent with the decisions they have made and must be paid more attention to the interest or destiny of the workers who financially have a low position. The law makers or the legislative members are expected not to issue opposing and multi-interpretation regulations.

(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah serta segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT, karena berkat rahmat dan kasih sayang-NYA tesis ini dapat diselesaikan dalam

rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister dalam bidang hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis penulis

adalah “Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah atau Uang Pesangon Yang Belum/Tidak dibayar Oleh Perusahaan Pailit (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No.49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst)”.

Dalam menyelesaikan tesis ini bukanlah hal yang mudah bagi penulis di mana

dalam proses penyelesaiannya penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa

pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun

secara tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini izinkanlah dengan

kerendahan hati, penulis menyampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih yang

tulus kepada semua pihak yang telah turut memberikan bantuan kepada penulis sejak

awal penulis menjalankan perkuliahan hingga penyusunan tesis ini sampai pada

penyelesaiannya. Tidak ada kata-kata yang lebih berarti untuk dapat mengungkapkan

rasa terima kasih penulis, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya, Amin.

Ucapan terima kasih yang sebasar-besarnya penulis sampaikan kepada yang

(10)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H,

SpA(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.

Chairun Nisa B. M.Sc., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi

mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., selaku Ketua Program Magister Ilmu

Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH., selaku Pembimbing Utama yang dengan

sepenuh hati telah memberikan arahan dan bimbingan, saran dan dorongan

kepada penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah

banyak memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M. Hum, selaku Pembimbing III yang telah

banyak memberikan bimbingan dan saran.

7. Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo, SH, MS dan Ibu Dr. Agusmidah, SH, M.Hum

selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis

8. Para Guru Besar dan Staf Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara Program studi Ilmu Hukum.

9. Bapak Agus Subroto yang sekarang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri

(11)

10. Ketua Pengadilan Negeri Stabat yang telah memberikan banyak waktu kepada

penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.

11. Rekan-rekan sekantor dan rekan-rekan seperjuangan pada kelas paralel Hukum

Bisnis Program studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis dalam rangka

menyelesaikan studi S2 ini.

12. Para Staf pengajar dan Staf Administrasi para Program Studi Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Untuk yang tercinta kedua orang tua penulis Bapak H. Sutisna Effendi dan

Ibu Hj. Subiatun, kedua mertua Bapak H. Arwan Byirin SH, MH dan Ibu Hj.

Nurhasanah, isteri tercinta Eka Nuritasari, SH dan kedua anak-anakku Latifah

Maharani dan Nuraufan Ashira serta saudara-saudara dan adik-adik iparku yang

sangat penulis sayangi dan banggakan yang selalu membantu penulis dalam

menyelesaikan studi ini baik dengan pikiran, dorongan, doa serta motivasi.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kasih sayang serta pahala yang

setimpal atas bantuan dan budi baik yang telah diberikan oleh Bapak, Ibu,

rekan-rekan dan seluruh keluarga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

(12)

Akhirnya, penulis berharap semoga penelitian ini berguna bagi pengembangan

ilmu pengetahuan khususnys ilmu hukum bagi insan-insan hukum di tanah air

tercinta Indonesia. Terima kasih.

Medan, Agustus 2009

Penulis,

(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ade Sumitra Hadisurya

Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 07 Juni 1974

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : KEJATISU

Alamat : Jalan Sei Galang No. 123 Medan

Pendidikan : SD Yayasan Pendidikan Pusri Palembang Tamat Tahun 1986

SMP Yayasan Pendidikan Pusri Palembang Tamat Tahun 1989

SMA Negeri 5 Palembang Tamat Tahun 1992

Strata Satu (S1) Universitas Sriwijaya Palembang Tamat Tahun 1998

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………... i

ABSTRACT……….. .. iii

KATA PENGANTAR……….... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI………..…. ix

BAB I PENDAHULUAN……….………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Rumusan Masalah……… 21

C. Tujuan Penelitian………. 22

D. Manfaat Penelitian……….. 23

E. Keaslian Penulisan……….. 23

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional………... 24

1. Kerangka Teori………. 24

2. Landasan Konsepsional………. 37

G. Metode Penelitian……….. 40

1. Jenis dan Sifat Penelitian……… 40

2. Sumber Data………... 41

3. Teknik Pengumpulan Data……….. 42

(15)

BAB II KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH

PERUSAHAAN……… 43

A. Kewenangan Absolut dan Kewenangan Relatif

Pengadilan Niaga……… 43

B. Tata Cara Permohonan Pernyataan Pailit………... 49

1. Subjek Pemohon………... 49

2. Permohonan Pailit Harus Diwakili Oleh Seorang

Advokat………. .. 53

3. Permohonan Pailit Diajukan Kepada Ketua Pengadilan Melalui Panitera……….... 54

C. Proses Pemeriksaan Permohonan Pernyataan Pailit…………... 54

D. Pelaksanaan Putusan Pailit………. 57

E. Syarat-Syarat Agar Debitor Dapat Dinyatakan Pailit……….... 62

1. Pengertian Debitor dan Kreditor……….. 62

2. Pengertian Utang……….. 64

3. Pengertian Berhenti Membayar……… 67

4. Pengertian Utang yang Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih…. 70

5. Pembuktian Sederhana………. 72

F. Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak

Dibayar Oleh Perusahaan………... 73

(16)

2. Dalam Permohonan Pernyataan Pailit Yang Diajukan Oleh Pekerja/Buruh Terhadap Perusahaan Dengan Dalil Perusahaan Tidak Melaksanakan Putusan Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P)………... 85

2.1. Dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 49/Pailit/ 2004/PN. Niaga. Jkt.Pst Antara Wiwin C dkk Lawan PT. Roxindo Mangun Apparel Industry……….. 85

2.2. Dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 41/Pailit/ 2007/PN. Niaga/Jkt.Pst Antara Heryono dkk Lawan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) ………... 87

2.3. Analisa Terhadap Putusan Nomor 49/Pailit/2004/ PN. Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Nomor 41/Pailit/2007/ PN.Niaga/Jkt.Pst .……….... 91

BAB III PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMBAYARAN UPAH ATAU UANG PESANGON MENURUT UU NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL………... 98

A. Penyelesaian Perselisihan Pembayaran Upah atau Uang Pesangon di Luar Pengadilan (Non Litigasi)...………... 98

1. Penyelesaian Perselisihan Melalui Bipartit……….. 101

2. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi………. 103

B. Penyelesaian Perselisihan Pembayaran Upah atau Uang Pesangon Melalui Pengadilan Hubungan Industrial (Litigasi)………... 105

1. Pengajuan Gugatan……… 109

2. Tenggang Waktu dan Kadaluarsa……….. 109

3. Pengembalian dan Penyempurnaan Gugatan……….. 110

4. Pemeriksaan Di Persidangan……….. 112

(17)

BAB IV PENGADILAN YANG BERWENANG UNTUK MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH

PERUSAHAAN……… 115

A. Kepailitan dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Sebagai Aturan Khusus (Lex Specialis)... 115

B. Pengadilan Yang Berwenang Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon……… 126

C. Kelebihan/Keuntungan Menggunakan Pengadilan Hubungan Industrial Sebagai Sarana Penuntutan Hak Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan………. … 134

1. Secara Teoritis………... 135

2. Secara Praktis……….... 137

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 139

A. Kesimpulan……… 139

B. Saran……….. 143

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam suatu pola hidup tertentu, manusia mengharapkan bahwa

kebutuhan-kebutuhan dasarnya akan dapat terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut

mencakup kebutuhan-kebutuhan akan :1

“1. Food, shelter, clothing, 2. Safety of self and property, 3. Self-esteem,

4. Self-actualization, 5. Love”.

Dalam usaha untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya itulah setiap

orang pasti akan memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu-membantu

atau saling tukar bantu dalam memberikan segala sesuatu yang telah dimiliki dan

saling memberikan segala sesuatu yang masih diperlukan dari orang lain.2 Dimana

hal ini tidak terlepas dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon),

yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan

1

A.H. Maslow, Motivastion and personality, (New York: Harpers, 1954) dalam Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 7.

2

(19)

satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat jasmani

maupun rohani.3

Bagi seseorang yang tidak (kurang) memiliki modal, maka untuk memenuhi

kebutuhan dasarnya tersebut, ia memerlukan pekerjaan yang dapat memberikan

penghasilan kepadanya. Sedangkan bagi orang yang memiliki modal maka ia dapat

mendirikan suatu usaha (perusahaan) untuk lebih meningkatkan lagi akan

kebutuhannya tersebut. Walaupun begitu, walau seseorang tergolong orang yang

mampu dan dapat dikatakan telah memiliki segala sesuatu yang diinginkannya,

namun yang pasti ia tidak akan mampu untuk merawat, memelihara atau

mempertahankannya seorang diri, dan untuk itu ia memerlukan orang lain sebagai

tenaga kerjanya.

Agar usaha (perusahaan) yang dimilikinya dapat berjalan dengan baik dan

sukses, selain dari tingkat keterampilan pekerja/buruh dan teknologi yang digunakan,

sikap manajemen, cara memperlakukan pekerja, lingkungan fisik dan psikologis serta

aspek-aspek lain dari budaya perusahaan sebagai faktor yang mempengaruhi

produktivitas pekerja,4 maka salah satu faktor yang juga penting dilakukan oleh

pengusaha (perusahaan) adalah dengan membina hubungan kerjasama yang baik

antara pengusaha selaku pimpinan dan para pekerja/buruh.5

3

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 1.

4

F. Winarni dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji Dan Upah, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), hal. 7.

5

(20)

Akan tetapi dalam hubungan saling bantu-membantu atau saling tukar bantu

tersebut akan selalu menimbulkan adanya perselisihan, walaupun kecil kuantitas

maupun kualitasnya. Begitu juga halnya dalam hubungan antara pengusaha

(perusahaan) dengan pekerja/buruhnya.

Betapapun harmonisnya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

pengusaha/majikan, namun terjadinya perselisihan perburuhan tidak mudah untuk

dihindari.6 Konflik atau perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari adanya hubungan perburuhan atau

hubungan industrial yang ada dimanapun dan kapanpun.7

Setiap perselisihan yang menyangkut hubungan antar manusia tersebut selalu

diupayakan penyelesaiannya.8 Demikian juga halnya dengan perselisihan yang terjadi

antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

buruh/pekerja.

Perselisihan menurut bahasa Indonesia berasal dari kata selisih yang berarti

beda kelainan. Perselisihan berarti perbedaan (pendapat), atau pertikaian, sengketa,

percekcokan.9

6

A. Uwiyono, “Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Dikaitkan dengan Pola Hubungan Perburuhan (Studi Perbandingan antara Indonesia – Belanda)”, Hukum dan Pembangunan, Jakarta, Nomor 5 Tahun XXII Oktober 1992, dalam Farid Muázd, Pengadilan Hubungan Industrial dan Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan, (Jakarta: Ind Hill Co, 2006)hal. 476.

7

Ibid, hal. 2. 8

Ibid, hal. 1. 9

(21)

Dalam kepustakaan ilmu hukum, kata yang banyak dipergunakan dan cocok

sebagai terjemahan dari perselisihan adalah dispute. Menurut Black’s Laws

Dictionary, Dispute diartikan sebagai :

“ A conflict or controversy, especially one that has given rise to a particular

lawsuit “.10

Joni Emirzon memberikan pengertian konflik/perselisihan/percekcokan adalah

adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang

mengadakan hubungan atau kerjasama.11 Sedangkan menurut Ronny Hanitijo,

konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan

tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap

pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya

masing-masing.12 Dalam pengertian lain, konflik dapat dimaknakan sebagai suatu kondisi

dimana pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain berbuat atau tidak berbuat

sesuai dengan yang diinginkan, tetapi pihak lain menolak keinginan itu.13

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU PPHI), Perselisihan

hubungan industrial, didefinisikan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan

pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau

10

Bryan A. Garner – Editor in Chief, Black’s Laws Dictionary Seventh Edition, (St. Paul, Minn, 1999), hal. 485, dalam Farid Muázd, Op.Cit, hal. 6.

11

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 21.

12

Ronny Hanitijo, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik”, (Semarang: Majalah Fakultas Hukum UNDIP, 1984), hal. 22, dalam Lalu Husni, Op.Cit, hal. 2.

13

(22)

serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Apabila melihat pada bunyi Pasal 1 angka 1 tersebut, maka subjek hukum

yang diatur dalam UU PPHI adalah baik pekerja/buruh atau pengusaha perorangan

maupun kolektif (serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan pengusaha).

Pasal 2 UU PPHI menyebutkan bahwa terdapat 4 (empat) jenis perselisihan

hubungan industrial, yaitu :

1. Perselisihan hak : yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,

akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan, perjanjian kerja, perjanjian perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama (Pasal 1 angka 2);

2. Perselisihan kepentingan : yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau

perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3);

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja : yaitu perselisihan yang timbul

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja

yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4);

4. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh : yaitu perselisihan antara

serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya

(23)

keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka

5).

Dalam penjelasan Pasal 2 huruf a disebutkan “Perselisihan hak adalah

perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan”.

Salah satu hak normatif yang diatur oleh UU Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh untuk memperoleh upah sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 88 – Pasal 98.

Penyelesaian sengketa perselisihan yang terjadi dalam hubungan industrial

dilakukan melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan Pengadilan Hubungan

Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam Bab II UU PPHI. Pengadilan

Hubungan Industrial baru dapat menyelesaikan sengketa perselisihan apabila upaya

penyelesaian melalui bipartit, mediasi, atau konsiliasi tidak tercapai, dimana risalah

penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi tersebut wajib dilampirkan dalam

gugatan (Pasal 83 UU PPHI).

Walau dalam UU PPHI telah diatur tata cara penyelesaian suatu perselisihan

hubungan industrial, tetapi ada juga upaya pekerja/buruh untuk menuntut hak

normatifnya tersebut akibat tidak dibayarnya upah atau pun uang pesangon oleh

perusahaan tempatnya bekerja melalui Pengadilan Niaga dengan menggunakan

lembaga kepailitan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 37 tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK

(24)

49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst antara Wiwin C dkk lawan PT. Roxindo Mangun

Apparel Industry dan dalam putusan Pengadilan Niaga No.

41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst antara Heryono dkk lawan PT. Dirgantara Indonesia

(Persero) :

Permohonan ini berawal dari permohonan pernyataan pailit yang diajukan

oleh beberapa pekerja/buruh sehubungan dengan tidak dibayarnya upah atau

pesangon oleh perusahaan tempatnya bekerja yang telah diputus oleh Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) termasuk penggugat di

dalamnya.

Lembaga hukum kepailitan, bukan merupakan lembaga yang baru dalam

sistem hukum Indonesia. Bahkan dibandingkan beberapa negara maju di dunia,

Indonesia sudah lebih awal memiliki peraturan yang mengatur tentang kepailitan

karena diwarisi dengan Faillissement Verordening.14

Tujuan kepailitan menurut Faillissement Verordening adalah melindungi

kreditor konkuren untuk memperoleh hak-haknya berkaitan dengan berlakunya asas

yang menjamin hak-hak yang berpiutang (kreditor) dari kekayaan orang yang

berutang (debitor).15 Tujuan ini disimpulkan dari pengertian kepailitan dalam

Memorie van Toelichting yang menyatakan kepailitan sebagai suatu sitaan

14

Rahmat Bastian, Studi Analisa Cross Border Bankruptcy, sebagaimana dikutip Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 6.

15

(25)

berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan debitor guna kepentingan bersama

para kreditornya.16 Tujuan ini sesuai dengan asas sebagaimana yang tercantum dalam

Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW), yang menyatakan : “Alle de

roerende en onroerende goederen van den schuldenaar, zoo wel tegenwoordige als

toekomstige, zijn voor deszelfs persoonlijke verbintenissen aansprakelijk”.17 Hukum

memberlakukan asas tersebut untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor

akan melunasi utang-utangnya.18 Tujuan lain dari kepailitan menurut Faillissement

Verordening juga adalah untuk melindungi debitor, seperti melindungi debitor yang

beriktikad baik yang pailit di luar kesalahannya atau alasan-alasan penting lainnya

dari dilaksanakannya paksaan badan terhadap utang-utang yang diadakan olehnya

sebelum pernyataan pailit.19

Perkembangan selanjutnya menunjukkan tujuan hukum kepailitan tidak hanya

melindungi kepentingan kreditor dan debitor, namun juga kepentingan para pihak

yang terkait dengan kreditor dan debitor atau pihak stakeholders.20 Perlindungan

16

Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailitan untuk Indonesia (1998), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 3-4.

17

Terjemahannya adalah “Segala harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan Debitor.” Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Grafiti, 2002), hal. 7.

18

Ibid, hal. 7 dan hal. 38-39. 19

Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, A Critical Review on Bankruptcy Law: Towards The Bankruptcy Laws That Protect Creditor and Debitor Interest, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 101.

20

(26)

terhadap stakeholders mempunyai suatu tujuan imperatif, yaitu bisnis harus

dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan stakeholders dijamin,

diperhatikan, dan dihargai dalam suatu kegiatan bisnis. Hal ini dikarenakan berbagai

pihak tersebut dipengaruhi dan dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis.21

Kreditor mempunyai stakeholders yang tidak berbeda dengan debitor. Jika kreditor

mempunyai piutang yang tidak dapat ditagih, maka kreditor dapat pula pailit.22

Namun, perlindungan terhadap kepentingan kreditor dan stakeholdersnya tidak boleh

sampai merugikan kepentingan debitor dan para stakeholders debitor yang

bersangkutan.23

Setidaknya ada empat kepentingan stakeholders yang harus dilindungi oleh

Undang-Undang Kepailitan. Pertama, kepentingan negara yang hidup dari pajak

yang dibayar oleh debitor. Kedua, kepentingan masyarakat yang memerlukan

kesempatan kerja dari debitor. Ketiga, kepentingan masyarakat yang memasok

barang dan jasa kepada debitor. Pemasok barang biasanya adalah perusahaan

menengah dan kecil yang mempunyai satu atau dua pembeli dominan, sehingga

sudah seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah. Keempat, kepentingan

21

A Sony Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 89.

22

Sutan Remy Sjahdeini, “Tanggapan terhadap Perpu Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998”, Makalah, (Jakarta: 13 Juli 1998), hal. 9. Lihat pula Sutan Remy Sjahdeini, “Perlindungan Debitor dan Kreditor Dampak Undang-Undang Kepailitan Terhadap Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 54, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1995), hal. 4-6.

23

(27)

masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa debitor, baik

selaku konsumen akhir maupun pedagang.24

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar

dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, di mana debitor

tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang

tersebut kepada para kreditornya. Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan

harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para

kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang sesuai dengan prosedur hukum

maupun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan

tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi

pembayaran karena harta debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu.

Hal ini tentunya sangat tidak adil dan dapat merugikan kreditor maupun debitor itu

sendiri. Selain itu apabila seorang debitor hanya mempunyai satu orang kreditor dan

debitor tersebut tidak membayar utang secara sukarela maupun debitor tidak

mempunyai kemampuan untuk membayar utangnya, maka seorang kreditor tersebut

dapat mengajukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan

seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut.

Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk

penyelesaian kewajiban-kewajiban debitor terhadap kreditor secara lebih efektif,

efisien, dan proporsional.25

24

Ibid. 25

(28)

Masalah kepailitan sesungguhnya terjadi karena adanya utang piutang antara

debitor dan kreditor. Permasalahan baru muncul apabila debitor berhenti membayar

utangnya pada waktu jatuh tempo, baik karena tidak mau membayar maupun karena

tidak mampu membayar.26

Dalam UUK dan PKPU, pekerja/buruh tidak disebutkan secara khusus

sebagai subjek hukum (pihak-pihak) yang dapat mengajukan permohonan pernyataan

pailit. Tetapi apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit maka upah pekerja/buruh

yang belum dibayarkan baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit

dianggap sebagai upah yang terutang dan merupakan utang harta pailit (Pasal 39 ayat

(2) UUK dan PKPU).

Pasal 2 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa pihak-pihak yang dapat

mengajukan permohonan pailit adalah sebagai berikut :

1. Debitor sendiri (Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU) ;

2. Seorang kreditor atau lebih (Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU) ;

3. Kejaksaan, dalam hal adanya kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU) ;

4. Bank Indonesia, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan perbankan (Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU) ;

5. Badan Pengawas Pasar Modal, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian (Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU) ;

6. Menteri Keuangan, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU).

26

(29)

Berdasarkan dari kasus dan hal-hal yang sebagaimana telah diuraikan di atas,

terlihat ada dua peraturan hukum yang dapat digunakan oleh pekerja/buruh untuk

menuntut/mempertahankan haknya berupa upah atau pun uang pesangon tidak

dibayar oleh pengusaha (perusahaan) yaitu dengan menggunakan UU PPHI melalui

gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan dengan menggunakan UUK dan

PKPU melalui permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.

Akan tetapi apabila ditinjau dari lembaganya maka antara Pengadilan

Hubungan Industrial dan Pengadilan Niaga merupakan suatu lembaga yang

mempunyai kewenangan mengadili (kompetensi) yang berbeda satu sama lain walau

sama-sama merupakan peradilan khusus yang berada dalam satu lembaga peradilan

yaitu peradilan umum (Pengadilan Negeri).27

Sebelum diundangkannya UU PPHI, penyelesaian perselisihan yang terjadi

antara pengusaha dengan pekerja/buruh diatur dalam UU Nomor 22 tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan badan yang berwenang untuk

menyelesaikan perselihan tersebut adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan (P4). Kewenangan badan ini secara spesifik diatur dalam ketentuan Pasal

1 huruf c, yaitu terbatas mengenai :

1. Perselisihan perburuhan berupa pertentangan antara majikan atau perkumpulan

majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh,

27

(30)

2. Pertentangan itu berkenaan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai

hubungan kerja, syarat-syarat kerja, dan/atau keadaan perburuhan.

Sejak diundangkannya UU PPHI, maka UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964 tentang

Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi

sehingga penyelesaian masalah perselisihan hubungan industrial yang terjadi sejak

diberlakukannya UU PPHI harus mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam

undang-undang ini.

Pasal 56 UU PPHI menyebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial

bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak ;

b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan ; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja ;

d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan.

Adapun kewenangan Pengadilan Niaga ditentukan dalam Pasal 300 ayat (1)

UUK dan PKPU, yang secara tegas menyatakan :

“Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa

dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain

dibidang perniagaan yang penerapannya dilakukan dengan undang-undang”.

Hal ini berarti Pengadilan Niaga selain mempunyai kewenangan absolut untuk

(31)

Pembayaran Utang (PKPU), juga berwenang untuk memeriksa perkara lain yang

ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu contoh bidang perniagaan yang juga

menjadi kewenangan Pengadilan Niaga saat ini adalah persoalan Hak atas Kekayaan

Intelektual.28

Selain itu, Pasal 303 UUK dan PKPU mempertegas kewenangan Pengadilan

Niaga yang terkait dengan perjanjian yang memuat klausul arbitrase, yaitu :

“Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan

pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausul

arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit

telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

undang-undang ini”.

Adanya kewenangan mengadili yang berbeda mengakibatkan apabila suatu

tuntutan pemenuhan hak (gugatan) ditujukan kepada badan peradilan yang tidak

berwenang untuk mengadilinya, maka gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat

diterima (niet ontvankelijke verklaard) tanpa memeriksa substansi perkaranya.

Sehingga tidak jarang dalam suatu proses perkara khususnya perkara perdata, dimana

secara substansi seharusnya gugatan dapat dikabulkan akan tetapi oleh karena tidak

28

(32)

dipenuhinya formalitas prosedural dalam beracara (hukum acara),29 maka akan

menggagalkan penegakkan hukumnya.30

Permasalahan kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan

berbagai faktor seperti faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara

peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court)

berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan

sendirinya menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional. Perkara

yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah, tidak dapat diajukan

langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Sengketa yang harus diselesaikan lebih

dahulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat diajukan langsung kepada

peradilan banding atau kasasi.dan sebaliknya. Apa yang menjadi kewenangan atau

yuridiksi peradilan yang lebih tinggi, tidak dapat dapat diminta penyelesaiannya

kepada peradilan yang lebih rendah.31 Ada juga faktor perbedaan atau pembagian

yuridiksi berdasarkan lingkungan peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau

kewenangan absolut bagi masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga

29

Pasal 299 UUK dan PKPU maupun Pasal 57 UU PPHI menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang diatur secara khusus masing-masing dalam undang-undang.

30

Dalam perkara pidana, tata cara penegakkan hukum dimulai sejak penyelidikan sampai dengan pelaksanaan hukuman, bahkan sampai saat seorang napi siap kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. Inilah inti dari “integrated criminal justice system”. Yang lebih memprihatikan kalau kekurangan prosedural tersebut dijadikan pintu pembuka jalan penyalahgunaan wewenang untuk melepaskan atau membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan/atau hukuman. Secara normatif mungkin tidak ada yang salah, tetapi secara kenyataan, proses yang kurang “cermat” tersebut yang telah melepaskan atau membebaskan seseorang yang semestinya dihukum.

31

(33)

atribusi kekuasaan (attributive competentie, attributive juridiction).32 Selain

perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan faktor kewenangan khusus (specific

jurisdiction) yang diberikan undang-undang kepada badan external judical, seperti

Arbitrase atau Mahkamah Pelayaran. Bahkan masalah yuridiksi ini, dapat juga timbul

dalam satu lingkungan peradilan, disebabkan faktor wilayah (locality) yang

membatasi kewenangan masing-masing pengadilan dalam lingkungan wilayah

hukum atau daerah hukum tertentu yang disebut dengan kewenangan relatif atau

distribusi kewenangan (distributive juridiction).33

Adanya kewenangan dari masing-masing badan peradilan tersebut dapat

menimbulkan sengketa mengenai kewenangan mengadili. Dalam Pasal 56 ayat (2)

UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung34, disebutkan bahwa sengketa kewenangan

mengadili terjadi :

a. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang

sama;

b. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara

yang sama.

Di Indonesia, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna

menegakkan hukum dan keadilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

32

Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hal. 28. 33

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 180. 34

(34)

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum,

Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan

Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.35

Keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung ini

merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh karena itu,

secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice), dalam kedudukannya sebagai

pengadilan negara (state court). Dengan demikian, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan

Pasal 2 juncto Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004 merupakan landasan sistem

peradilan negara (state court system) di Indonesia, yang dibagi dan terpisah

berdasarkan yurisdiksi atau separation court system based on jurisdiction.36

Selain empat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan di atas, tidak

menutup kemungkinan adanya pengkhususan/spesialisasi dalam masing-masing

lingkungan peradilan seperti Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak

Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial

yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di Lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara.37

35

Lihat pasal 2 juncto pasal 10 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

36

M. Yahya Harahap, “Beberapa Tinjauan Reformasi Kekuasaan Kehakiman”, Makalah, (Jakarta: 5 Agustus 2002), hal. 13.

37

(35)

Mengenai sistem pemisahan kewenangan mengadili, menurut M. Yahya

Harahap masih dianggap relevan adalah dasar-dasar yang dikemukakan dalam

penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970, yaitu :38

a. didasarkan pada lingkungan kewenangan ;

b. masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu atau diversity jurisdiction ;

c. kewenangan tertentu tersebut, menciptakan terjadinya kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subject matter of jurisdiction ;

d. oleh karena itu, masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.

Dalam perkembangan sejarahnya, adanya berbagai macam badan peradilan

tersebut tidak terlepas dari aturan-aturan hukum yang diwarisi oleh pemerintahan

kolonial Belanda yang menjajah Indonesia saat itu. Pada zaman pemerintahan

kolonial Belanda, badan peradilan dipisahkan berdasarkan golongan penduduk yaitu

badan peradilan untuk golongan penduduk Eropa atau yang dipersamakan dengannya

dan untuk golongan penduduk Bumiputera atau yang dipersamakan dengannya. Pada

tahun 1847, dualisme tata peradilan ini semakin dimantapkan dengan sebuah

Koninklijk Besluit tertanggal 16 Mei 1847 yang termuat dalam Stb. 1847 No. 23 yang

dikenal dengan nama Reglement op de Rechterlijke Organisatie en Het Beleid Der

Justitie (yang selanjutnya dikenal dengan RO) yang diberlakukan tanggal 1 Mei

1848. RO ini mendasari sahnya badan-badan peradilan yaitu : Districtsgerecht,

Regentschapsgerecht, Landraad, Rechtbank van Ommegang, Rechtspraak ter

38

(36)

Politierol yang menurut yurisdiksinya berkompeten mengadili orang-orang dari

golongan rakyat pribumi, sedangkan untuk badan-badan yang menurut yurisdiksinya

hanya berkompeten memeriksa dan memutus perkara-perkara untuk golongan

penduduk Eropa adalah : Residentiegerecht, Raad van Justitie, dan Hooggerechtshof.

Raad van Justitie juga bertindak sebagai pengadilan pada tingkat banding, sedangkan

Hooggerechtshof bertindak sebagai pengadilan pada tingkat kasasi untuk

perkara-perkara orang pribumi yang diadili oleh Landraad.39

Selain badan-badan peradilan pemerintah kolonial, masih terdapat peradilan

lain seperti pengadilan swapraja yang ada dan dikelola oleh raja-raja, sultan-sultan,

dan atau pangeran-pangeran. Untuk daerah-daerah lain yang tidak diperintah

langsung oleh pemerintah Hindia Belanda juga didapati beragam bentuk badan

penyelesaian sengketa lain seperti yang lazim disebut pengadilan desa (Desa

Rechtspraak).40

Tujuan utama membahas yurisdiksi atau kewenangan mengadili adalah untuk

memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat

berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan

penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru. Sebab apabila pengajuannya keliru,

mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan pengadilan yang

dituju tidak berwenang mengadilinya. Atau dengan kata lain, gugatan yang diajukan

39

Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, A Critical Review on Bankruptcy Law: Towards The Bankruptcy Laws That Protect Creditor and Debitor Interest, Op.Cit, hal. 83-85.

40

(37)

berada diluar yurisdiksi pengadilan tersebut. Selain itu juga apabila masing-masing

pengadilan berwewenang dalam mengadili perkara yang sama tentunya dapat

menimbulkan adanya putusan yang berbeda-beda pula.41

Dapat dilihat, permasalahan kewenangan mengadili merupakan syarat formil

keabsahan gugatan. Kekeliruan mengajukan gugatan kepada lingkungan peradilan

atau pengadilan yang tidak berwenang, mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga

tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan gugatan yang diajukan tidak

termasuk kewenangan absolut atau relatif pengadilan yang bersangkutan.

Masalah kompetensi absolut ini diatur dalam Pasal 134 HIR/160 RBg dan

mengenai kewenangannya dapat diajukan setiap saat selama perkara masih berjalan.

Bahkan hakim yang memeriksa perkara itupun karena jabatannya wajib menyatakan

bahwa ia tidak berwenang mengadilinya walaupun tidak ada bantahan (eksepsi) dari

tergugat. Sedangkan masalah kompetensi relatif diatur dalam Pasal 133 HIR/159 RBg

dimana bantahan mengenai kewenangannya harus diajukan pada kesempatan pertama

tergugat memberikan jawabannya. Apabila tidak diajukan pada kesempatan pertama

tersebut, maka tidak dapat diajukan lagi pada sidang selanjutnya (Putusan Mahkamah

Agung RI tanggal 13 September 1972, Reg. No. 1340 K/Sip/1971).42

41

Dalam sengketa PT. Bridgestone dengan pekerjanya juga terdapat sengketa kewenangan mengadili relatif antara Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, dimana masing-masing pengadilan merasa berwenang untuk mengadili perkara tersebut yang berakibat adanya putusan yang berbeda-beda yaitu PHI Bandung menetapkan pekerja berhak atas kenaikan gaji sebesar 14,8 % sementara PHI Jakarta menetapkan hanya menyetujui kenaikan gaji sebesar 10 %. Lihat http:// www.hukumonline.com /detail.asp? id=18007 &cl=Berita, “Bila Dua PHI Membuat Putusan Berbeda”, diakses tanggal 27 April 2009.

42

(38)

Apabila hal-hal yang tersebut diatas terjadi, maka tentunya dapat merugikan

pihak pekerja/buruh itu sendiri, baik dalam hal waktu maupun finansial dan

penyelesaian perkara pun tidak dapat dilakukan secara efisien dan efektif43 sehingga

peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang ditentukan dalam

Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak akan

tercapai.

Berdasarkan isu hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas itulah

membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang Kewenangan Pengadilan Niaga

Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst)

B. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini, maka perlu

dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian yang akan dikaji lebih

lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang diidentifikasikan tersebut44.

43

Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 dan bandingkan dengan hasil studi Bank Dunia tahun 2002, dimana salah satu cara untuk membuat pengadilan menjadi efisien adalah dengan cara membuat Pengadilan Khusus (Specialized Court) dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 138.

44

(39)

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan

pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan

?

2. Bagaimana penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon

menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial ?

3. Pengadilan manakah yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerja/buruh

atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan

pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan.

2. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang

pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

3. Untuk mengetahui pengadilan yang berwenang untuk mengadili tuntutan

(40)

D. Manfaat Penelitian

Dengan terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta

tercapainya tujuan penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan sejumlah

manfaat teoritis maupun manfaat secara praktis.

Manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan

guna pengembangan Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan maupun Hukum

Kepailitan khususnya dalam beracara di pengadilan, sedangkan manfaat secara

praktis adalah untuk memberikan masukan bagi para buruh/pekerja maupun

pengusaha agar dapat memilih pengadilan yang tepat untuk menyelesaikan

permasalahannya sehingga asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan

dapat tercapai. Selain itu diharapkan agar tercapainya persamaan persepsi dari hakim

yang memutus perkara tersebut sehingga asas kepastian hukum yang

didamba-dambakan oleh para pencari keadilan (yustisiabelen) dapat terpenuhi.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara baik untuk program studi ilmu hukum maupun program studi

kenotariatan, bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai Kewenangan

Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang

(41)

karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka,

sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau

permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang

mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat

kerangka berpikir dalam penulisan.45

Satjipto Raharjo mengatakan bahwa teori memberikan penjelasan dengan cara

mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.46 Demikian

pula menurut Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai

serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.47

Pentingnya kerangka teori menurut Ronny Hanitijo adalah setiap penelitian

haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan

karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan

pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data dan analisis data.48

45

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80. 46

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 224. 47

Ibid 48

(42)

Bertitik tolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka

pemikiran teoritis sebagai landasan konsepsional pendekatan masalah penelitian

dapat disusun menggunakan teori, konsep, asas-asas dan pendapat-pendapat ilmuwan

yang dinilai relevan untuk membuat jernih dan atau memecahkan suatu masalah yang

diteliti.

Sebagai negara hukum (rechtsstaat), maka setiap warga negara Indonesia dan

alat negaranya harus bertindak dan terikat pada aturan yang telah ditetapkan terlebih

dahulu oleh pejabat yang berwenang.49 Hal ini dapat diartikan juga bahwa apabila

terjadi suatu perselisihan, dan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara

kekeluargaan, maka pihak yang merasa50 dirugikan haknya tidak boleh

menyelesaikannya dengan cara menghakimi sendiri (eigenrichting), akan tetapi harus

diselesaikan melalui pengadilan.51 Pihak yang merasa dirugikan haknya dapat

mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana

mestinya. Tugas pengadilan (hakim) dalam menyelesaikan suatu

sengketa/perselisihan adalah mengimplementasikan aturan-aturan hukum

menyangkut perkara yang diajukan.52

49

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di luar Pengadilan, Op.Cit, hal. 8.

50 Dipakainya perkataan “merasa” dan :dirasa”, oleh karena belum tentu yang bersangkutan

sesungguh-sesungguhnya melanggar hak penggugat. Lihat. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 1.

51

Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hal. 21.

52

(43)

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah-kaidah mempunyai isi yang

bersifat umum dan normatif. Umum karena diperlakukan bagi setiap orang, dan

normatif karena menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan,

serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah

tersebut.53

Dari sudut fungsinya, hukum mencakup hukum substantif (hukum materiil)

dan hukum ajektif (hukum acara; hukum formil).54 Hukum materiil yang termuat

dalam suatu bentuk perundang-undangan merupakan pedoman atau pegangan bagi

seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup,

baik itu perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apa yang boleh

dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan. Sedangkan proses penegakan

hukum materiil erat kaitannya dengan hukum formil atau hukum acara, karena fungsi

dari hukum acara adalah untuk mengatur cara mempertahankan dan menerapkan

hukum materiil.

Dikeluarkannya UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 136 ayat (2) UU

Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan :

“Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial Korupsi, UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dll. Apabila perkaranya merupakan perkara perdata, maka aturan yang digunakan dapat berupa KUHPerdata, KUHD, RBg, HIR, dll.

53

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 31.

54

(44)

melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang”.

Jadi dapat dikatakan bahwa UU Nomor 2 tahun 2004 merupakan suatu

mekanisme untuk mengimplementasikan dan mempertahankan aturan-aturan hukum

yang terdapat dalam UU Nomor13 tahun 2003.

Tata cara (mekanisme) mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiil

ini, merupakan salah satu subsistem yang penting kalau tidak dapat dikatakan yang

terpenting dalam keseluruhan sistem peradilan. Seluk beluk bagaimana caranya

menyelesaikan suatu perkara melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam hukum

acara.55

Hukum formil atau hukum acara pada umumnya tidaklah membebani hak dan

kewajiban seperti yang termuat dalam hukum materiil. Hukum acara memuat

aturan-aturan untuk menjamin pelaksanaan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum

materiil, yaitu melalui pengaturan seperti cara mengajukan tuntutan hak, proses

pemeriksaan, dan memutus perkara serta pelaksanaan putusan. Pada pokoknya hukum

acara sebagai hukum formil mengatur tata cara pengadilan dalam

mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiil yang menyangkut perkara yang

diajukan.

Bila ada hukum materiil yang dilanggar siapakah yang harus melaksanakan

atau menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Apakah kita berhak sendiri-sendiri

melaksanakan aturan tersebut ataukah harus oleh suatu badan tertentu yang telah

55

(45)

ditunjuk secara resmi. Jika hukum materiil dilaksanakan sendiri-sendiri menurut

kehendak pihak yang bersangkutan, maka akan timbullah apa yang dikenal dengan

istilah “main hakim sendiri (eigenrichting)”. Inilah yang justru sangat dikhawatirkan,

karena ketertiban dalam masyarakat, juga merupakan salah satu tujuan dari hukum.

Dalam usahanya mengatur, hukum menyesuaikan kepentingan perorangan

dengan kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya, berusaha mencari

keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi

masyarakat. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyebabkan

terjadinya konflik antara kepentingan perorangan dengan perorangan atau antara

kepentingan perorangan dengan masyarakat, maka hukum berusaha menampung

ketegangan atau menyelesaikan konflik tersebut.56

Masing-masing hukum mempunyai tujuan yang spesifik, misalnya hukum

pidana tentunya mempunyai tujuan yang spesifik jika dibandingkan dengan hukum

perdata, demikian pula hukum formil mempunyai tujuan yang spesifik jika

dibandingkan dengan hukum materiil dan bidang-bidang hukum lainnya.57

Dari keseluruhan aliran mengenai tujuan hukum, maka dapat diklasifikasikan

ke dalam 3 aliran konvensional, yaitu :58

1. Aliran etis yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.

2. Aliran utilitas yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan.

56

Ibid, hal.31-32. 57

Ibid, hal. 35. 58

(46)

3. Aliran normatif-dogmatik yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.

Mengacu pada beberapa aliran mengenai tujuan hukum tersebut, maka teori

yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum, karena

penegakkan hukum atau penerapan hukum melalui proses pengadilan merupakan

unsur yang penting untuk mencapai kepastian hukum.59

Dengan adanya kewenangan mengadili (kompetensi) yang jelas antara

pengadilan hubungan industrial (PHI) dan Pengadilan Niaga akan memberikan

kepastian bagi pekerja/buruh dalam menuntut haknya berupah upah atau pun uang

pesangon akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan

tempatnya bekerja.

Memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh dalam menuntut haknya

khususnya berupa upah atau pun uang pesangon merupakan suatu hal yang sangat

penting untuk dilakukan mengingat sebagai tenaga kerja, pekerja/buruh memiliki

peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai

tujuan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan

untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta

59

(47)

melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan.60

Dan adanya kewenangan mengadili yang jelas juga memberikan satu ukuran

yang dapat dijadikan pegangan bagi pengusaha dalam menjalankan kegiatan

usahanya. Khususnya apabila dihubungkan dengan kegiatan untuk menarik investor

agar mau menanamkan modalnya di Indonesia sebagai penunjang pembangunan,

karena investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan

usahanya. Dan salah satu faktor yang harus dipersiapkan jika ingin menarik minat

investor agar datang untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah adanya

perangkat hukum yang jelas. Artinya antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya

yang berkaitan tidak saling berbenturan.61

Patut disayangkan ialah bahwa sering kali keinginan untuk mengatur kegiatan

perekonomian itu demikian tinggi, dimana peraturan-peraturan yang dibuat itu

kadang-kadang sedemikian banyaknya, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan

kekaburan akan hukum yang berlaku.62

Adanya kekaburan akan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentu

sedikit banyaknya akan berpengaruh pula pada putusan-putusan yang dikeluarkan

oleh badan peradilan, mengingat bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang

menganut sistem hukum civil law dimana kodifikasi merupakan sumber hukum yang

60

B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif Dan Operasional, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hal. 1.

61

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi: Pembahasan Dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal.31-33.

62

Referensi

Dokumen terkait