KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI
TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG
PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN
(ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.
49/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN
PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)
TESIS
Oleh
ADE SUMITRA HADISURYA 077005094/HK
S
E K O L A H
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI
TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG
PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN
(ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.49/PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN
PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ADE SUMITRA HADISURYA 077005094/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Judul Tesis : KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN (ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO. /PAILIT/2004/PN.NIAGA/JKT. PST DAN PUTUSAN
PENGADILAN NIAGA NO. 41/PAILIT/2007/PN.NIAGA/JKT.PST)
Nama Mahasiswa : Ade Sumitra Hadisurya Nomor Pokok : 077005094
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) (Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D i r e k t u r
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 18 Agustus 2009
Telah diuji pada
Tanggal 18 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS
4. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum
ABSTRAK
Pekerja/buruh memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai tujuan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Salah satu hak pekerja/buruh yang secara normatif diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh untuk memperoleh upah atau uang pesangon. Tetapi dalam kenyataannya hak pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon tersebut terkadang tidak dipenuhi oleh perusahaan tempatnya bekerja baik karena perusahaannya telah mengalami pailit sehingga tidak mampu lagi membayar, atau karena perusahaan memang tidak mau membayarnya sekali pun telah ada putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) yang mewajibkan pengusaha (perusahaan) untuk membayar upah atau uang pesangon tersebut. Sebagai kreditor preferen, maka menurut UUK dan PKPU, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pailit perusahaannya kepada Pengadilan Niaga, sedangkan tidak dibayarnya upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 merupakan perselisihan hak sehingga pengadilan yang berwenang untuk mengadili perselisihan tersebut adalah Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Akan tetapi apabila ditinjau dari lembaganya, maka antara PHI dan Pengadilan Niaga merupakan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili (kompetensi) yang berbeda satu sama lain walau sama-sama merupakan peradilan khusus yang berada dalam satu lembaga peradilan umum, sehingga besar sekali kemungkinan terjadi sengketa mengenai kewenangan mengadili bahkan sering terjadi kekaburan dalam menentukan titik singgung serta batas yang jelas dan terang mengenai kewenangan mengadili dari masing-masing pengadilan serta merupakan problematika tersendiri yang perlu dipecahkan terlebih dahulu sebelum hakim memeriksa perkara. Untuk itulah tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan, untuk mengetahui penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan untuk mengetahui pengadilan yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan.
Penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis yaitu dengan mengkaji dan menganalisis kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan berdasarkan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan. Data utama penelitian ini adalah data sekunder yang digali aneka bahan hukum, baik bahan hukum primer atau sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif
dan induktif untuk kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa masih terdapat perbedaan mengenai kejelasan seberapa didahulukannya pembayaran upah atau uang pesangon bagi pekerja/buruh dalam suatu perusahaan yang dinyatakan pailit serta luasnya penafsiran mengenai syarat-syarat agar perusahaan dapat dinyatakan pailit. Selain itu juga masih terdapat perbedaan pendapat dari Mahkamah Agung maupun para ahli hukum kepailitan dan ketenagakerjaan mengenai pengadilan yang berwenang dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan. Hal ini disebabkan karena aturan yang mengatur mengenai kewenangan dari suatu badan peradilan khususnya antara Pengadilan Niaga dengan PHI masih dapat ditafsirkan secara luas mengenai ruang lingkup kewenangannya oleh hakim dari masing-masing badan peradilan tersebut. Untuk itu diharapkan di masa yang akan datang hakim yang mengadili tuntutan pekerja atau buruh atas upah atau uang pesangon baik melalui PHI maupun Pengadilan Niaga konsisten dengan putusan-putusan yang telah dikeluarkannya serta lebih memperhatikan lagi kepentingan maupun nasib para pekerja/buruh yang pada dasarnya mempunyai kedudukan maupun financial yang rendah. Begitu juga diharapkan kepada pembuat undang-undang untuk tidak menerbitkan suatu aturan yang saling bertentangan dan menimbulkan banyak penafsiran.
Kata kunci : Kewenangan, Pengadilan Niaga, Mengadili, Pekerja/Buruh, Upah, Uang Pesangon, Perusahaan
Ade Sumitra Hadisurya : Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt. Pst Dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst), 2009
ABSTRACT
Workers have a very important role and position as the actors in achieving the objectives of development. Hence, the development of manpower is intended to improve their quality and contribution in the development and to protect their rights and interests in line with the dignity and values of humanity. One of the rights of the workers normatively regulated in Law No.] 3/2003 on Manpower is that the workers have a right to receive wages/salary or severance payment. In fact, the right of workers to receive wages/salary or severance pay is sometimes not met by the company where they work because either the company is bankrupt that it cannot pay the workers' salary any more or the company just does not want to pay the workers salary although the Central Labor Dispute Settlement Committee (P4P) has made a decision hat the company must pay the workers' salary or severance pay. As preference creditor, according to UUK and PKPU, the workers can file an application of their company's bankruptcy to the court of commerce while, according to Law No.2/2004, the salary or severance pay which are not paid is a dispute of right that the court of law which has an authority to try the dispute is the Industrial Relation Court (PHI). In terms of their institutions, Industrial Relation Court (PHI) and Court of Commerce (Pengadilan Niaga) are the two institutions with different authority to try (competence) even though they are special courts under a general judicature institution that the dispute on the authority to try a case probably happens because there is no clear limit of their authority to try a case and it is a specific problem which needs to be solved before the judges try a case in court. Hence, the purpose of this descriptive normative legal study is to look at to what extent the authority of Court of Commerce (Pengadilan Niaga) in trying a case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work, to find out how the dispute ofsalary and severance payment is seated according to Law No.2/2004 on Industrial Relation Dispute Settlement, and to analyze which court has the authority to try the case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work.
The main data for this study were the secondary data in the forms of primary and secondary legal material obtained through library research. The data obtained were qualitatively analyzed through deductive and inductive methods to describe the existing situation and condition on which the problem is based and to find out the authority of Court of Commerce (Pengadilan Niaga) in trying a case of workers'claim on their salary or severance pay which are not paid by the company where they work based on the legal norms stated in the existing regulation of legislation and court decision.
severance pay which are not paid by the company where they work. This different opinion occurs because the regulation regulating the scope of authority of a judicature body especially between the Industrial Relation Court (PHI) and the Court of Commerce (Pengadilan Niaga) can still be broadly interpreted by the judges of respective court. In the future, it is expected that the judges who tried the claim of the workers on their salary or severance pay either through the Industrial Relation Court (PHI) or the Court of Commerce (Pengadilan Niaga) must be consistent with the decisions they have made and must be paid more attention to the interest or destiny of the workers who financially have a low position. The law makers or the legislative members are expected not to issue opposing and multi-interpretation regulations.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah serta segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT, karena berkat rahmat dan kasih sayang-NYA tesis ini dapat diselesaikan dalam
rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister dalam bidang hukum
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis penulis
adalah “Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah atau Uang Pesangon Yang Belum/Tidak dibayar Oleh Perusahaan Pailit (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No.49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst)”.
Dalam menyelesaikan tesis ini bukanlah hal yang mudah bagi penulis di mana
dalam proses penyelesaiannya penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa
pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini izinkanlah dengan
kerendahan hati, penulis menyampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih yang
tulus kepada semua pihak yang telah turut memberikan bantuan kepada penulis sejak
awal penulis menjalankan perkuliahan hingga penyusunan tesis ini sampai pada
penyelesaiannya. Tidak ada kata-kata yang lebih berarti untuk dapat mengungkapkan
rasa terima kasih penulis, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya, Amin.
Ucapan terima kasih yang sebasar-besarnya penulis sampaikan kepada yang
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H,
SpA(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B. M.Sc., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi
mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH., selaku Pembimbing Utama yang dengan
sepenuh hati telah memberikan arahan dan bimbingan, saran dan dorongan
kepada penulis.
5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah
banyak memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M. Hum, selaku Pembimbing III yang telah
banyak memberikan bimbingan dan saran.
7. Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo, SH, MS dan Ibu Dr. Agusmidah, SH, M.Hum
selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis
8. Para Guru Besar dan Staf Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Program studi Ilmu Hukum.
9. Bapak Agus Subroto yang sekarang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri
10. Ketua Pengadilan Negeri Stabat yang telah memberikan banyak waktu kepada
penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.
11. Rekan-rekan sekantor dan rekan-rekan seperjuangan pada kelas paralel Hukum
Bisnis Program studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis dalam rangka
menyelesaikan studi S2 ini.
12. Para Staf pengajar dan Staf Administrasi para Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Untuk yang tercinta kedua orang tua penulis Bapak H. Sutisna Effendi dan
Ibu Hj. Subiatun, kedua mertua Bapak H. Arwan Byirin SH, MH dan Ibu Hj.
Nurhasanah, isteri tercinta Eka Nuritasari, SH dan kedua anak-anakku Latifah
Maharani dan Nuraufan Ashira serta saudara-saudara dan adik-adik iparku yang
sangat penulis sayangi dan banggakan yang selalu membantu penulis dalam
menyelesaikan studi ini baik dengan pikiran, dorongan, doa serta motivasi.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kasih sayang serta pahala yang
setimpal atas bantuan dan budi baik yang telah diberikan oleh Bapak, Ibu,
rekan-rekan dan seluruh keluarga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
Akhirnya, penulis berharap semoga penelitian ini berguna bagi pengembangan
ilmu pengetahuan khususnys ilmu hukum bagi insan-insan hukum di tanah air
tercinta Indonesia. Terima kasih.
Medan, Agustus 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Ade Sumitra Hadisurya
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 07 Juni 1974
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : KEJATISU
Alamat : Jalan Sei Galang No. 123 Medan
Pendidikan : SD Yayasan Pendidikan Pusri Palembang Tamat Tahun 1986
SMP Yayasan Pendidikan Pusri Palembang Tamat Tahun 1989
SMA Negeri 5 Palembang Tamat Tahun 1992
Strata Satu (S1) Universitas Sriwijaya Palembang Tamat Tahun 1998
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK………... i
ABSTRACT……….. .. iii
KATA PENGANTAR……….... v
RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI………..…. ix
BAB I PENDAHULUAN……….………... 1
A. Latar Belakang………... 1
B. Rumusan Masalah……… 21
C. Tujuan Penelitian………. 22
D. Manfaat Penelitian……….. 23
E. Keaslian Penulisan……….. 23
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional………... 24
1. Kerangka Teori………. 24
2. Landasan Konsepsional………. 37
G. Metode Penelitian……….. 40
1. Jenis dan Sifat Penelitian……… 40
2. Sumber Data………... 41
3. Teknik Pengumpulan Data……….. 42
BAB II KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH
PERUSAHAAN……… 43
A. Kewenangan Absolut dan Kewenangan Relatif
Pengadilan Niaga……… 43
B. Tata Cara Permohonan Pernyataan Pailit………... 49
1. Subjek Pemohon………... 49
2. Permohonan Pailit Harus Diwakili Oleh Seorang
Advokat………. .. 53
3. Permohonan Pailit Diajukan Kepada Ketua Pengadilan Melalui Panitera……….... 54
C. Proses Pemeriksaan Permohonan Pernyataan Pailit…………... 54
D. Pelaksanaan Putusan Pailit………. 57
E. Syarat-Syarat Agar Debitor Dapat Dinyatakan Pailit……….... 62
1. Pengertian Debitor dan Kreditor……….. 62
2. Pengertian Utang……….. 64
3. Pengertian Berhenti Membayar……… 67
4. Pengertian Utang yang Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih…. 70
5. Pembuktian Sederhana………. 72
F. Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak
Dibayar Oleh Perusahaan………... 73
2. Dalam Permohonan Pernyataan Pailit Yang Diajukan Oleh Pekerja/Buruh Terhadap Perusahaan Dengan Dalil Perusahaan Tidak Melaksanakan Putusan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P)………... 85
2.1. Dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 49/Pailit/ 2004/PN. Niaga. Jkt.Pst Antara Wiwin C dkk Lawan PT. Roxindo Mangun Apparel Industry……….. 85
2.2. Dalam Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Nomor 41/Pailit/ 2007/PN. Niaga/Jkt.Pst Antara Heryono dkk Lawan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) ………... 87
2.3. Analisa Terhadap Putusan Nomor 49/Pailit/2004/ PN. Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Nomor 41/Pailit/2007/ PN.Niaga/Jkt.Pst .……….... 91
BAB III PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMBAYARAN UPAH ATAU UANG PESANGON MENURUT UU NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL………... 98
A. Penyelesaian Perselisihan Pembayaran Upah atau Uang Pesangon di Luar Pengadilan (Non Litigasi)...………... 98
1. Penyelesaian Perselisihan Melalui Bipartit……….. 101
2. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi………. 103
B. Penyelesaian Perselisihan Pembayaran Upah atau Uang Pesangon Melalui Pengadilan Hubungan Industrial (Litigasi)………... 105
1. Pengajuan Gugatan……… 109
2. Tenggang Waktu dan Kadaluarsa……….. 109
3. Pengembalian dan Penyempurnaan Gugatan……….. 110
4. Pemeriksaan Di Persidangan……….. 112
BAB IV PENGADILAN YANG BERWENANG UNTUK MENGADILI TUNTUTAN PEKERJA/BURUH ATAS UPAH ATAU UANG PESANGON YANG TIDAK DIBAYAR OLEH
PERUSAHAAN……… 115
A. Kepailitan dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Sebagai Aturan Khusus (Lex Specialis)... 115
B. Pengadilan Yang Berwenang Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon……… 126
C. Kelebihan/Keuntungan Menggunakan Pengadilan Hubungan Industrial Sebagai Sarana Penuntutan Hak Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan………. … 134
1. Secara Teoritis………... 135
2. Secara Praktis……….... 137
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 139
A. Kesimpulan……… 139
B. Saran……….. 143
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam suatu pola hidup tertentu, manusia mengharapkan bahwa
kebutuhan-kebutuhan dasarnya akan dapat terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut
mencakup kebutuhan-kebutuhan akan :1
“1. Food, shelter, clothing, 2. Safety of self and property, 3. Self-esteem,
4. Self-actualization, 5. Love”.
Dalam usaha untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya itulah setiap
orang pasti akan memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu-membantu
atau saling tukar bantu dalam memberikan segala sesuatu yang telah dimiliki dan
saling memberikan segala sesuatu yang masih diperlukan dari orang lain.2 Dimana
hal ini tidak terlepas dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon),
yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan
1
A.H. Maslow, Motivastion and personality, (New York: Harpers, 1954) dalam Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 7.
2
satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat jasmani
maupun rohani.3
Bagi seseorang yang tidak (kurang) memiliki modal, maka untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya tersebut, ia memerlukan pekerjaan yang dapat memberikan
penghasilan kepadanya. Sedangkan bagi orang yang memiliki modal maka ia dapat
mendirikan suatu usaha (perusahaan) untuk lebih meningkatkan lagi akan
kebutuhannya tersebut. Walaupun begitu, walau seseorang tergolong orang yang
mampu dan dapat dikatakan telah memiliki segala sesuatu yang diinginkannya,
namun yang pasti ia tidak akan mampu untuk merawat, memelihara atau
mempertahankannya seorang diri, dan untuk itu ia memerlukan orang lain sebagai
tenaga kerjanya.
Agar usaha (perusahaan) yang dimilikinya dapat berjalan dengan baik dan
sukses, selain dari tingkat keterampilan pekerja/buruh dan teknologi yang digunakan,
sikap manajemen, cara memperlakukan pekerja, lingkungan fisik dan psikologis serta
aspek-aspek lain dari budaya perusahaan sebagai faktor yang mempengaruhi
produktivitas pekerja,4 maka salah satu faktor yang juga penting dilakukan oleh
pengusaha (perusahaan) adalah dengan membina hubungan kerjasama yang baik
antara pengusaha selaku pimpinan dan para pekerja/buruh.5
3
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 1.
4
F. Winarni dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji Dan Upah, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), hal. 7.
5
Akan tetapi dalam hubungan saling bantu-membantu atau saling tukar bantu
tersebut akan selalu menimbulkan adanya perselisihan, walaupun kecil kuantitas
maupun kualitasnya. Begitu juga halnya dalam hubungan antara pengusaha
(perusahaan) dengan pekerja/buruhnya.
Betapapun harmonisnya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha/majikan, namun terjadinya perselisihan perburuhan tidak mudah untuk
dihindari.6 Konflik atau perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari adanya hubungan perburuhan atau
hubungan industrial yang ada dimanapun dan kapanpun.7
Setiap perselisihan yang menyangkut hubungan antar manusia tersebut selalu
diupayakan penyelesaiannya.8 Demikian juga halnya dengan perselisihan yang terjadi
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
buruh/pekerja.
Perselisihan menurut bahasa Indonesia berasal dari kata selisih yang berarti
beda kelainan. Perselisihan berarti perbedaan (pendapat), atau pertikaian, sengketa,
percekcokan.9
6
A. Uwiyono, “Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Dikaitkan dengan Pola Hubungan Perburuhan (Studi Perbandingan antara Indonesia – Belanda)”, Hukum dan Pembangunan, Jakarta, Nomor 5 Tahun XXII Oktober 1992, dalam Farid Muázd, Pengadilan Hubungan Industrial dan Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan, (Jakarta: Ind Hill Co, 2006)hal. 476.
7
Ibid, hal. 2. 8
Ibid, hal. 1. 9
Dalam kepustakaan ilmu hukum, kata yang banyak dipergunakan dan cocok
sebagai terjemahan dari perselisihan adalah dispute. Menurut Black’s Laws
Dictionary, Dispute diartikan sebagai :
“ A conflict or controversy, especially one that has given rise to a particular
lawsuit “.10
Joni Emirzon memberikan pengertian konflik/perselisihan/percekcokan adalah
adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang
mengadakan hubungan atau kerjasama.11 Sedangkan menurut Ronny Hanitijo,
konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan
tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap
pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya
masing-masing.12 Dalam pengertian lain, konflik dapat dimaknakan sebagai suatu kondisi
dimana pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain berbuat atau tidak berbuat
sesuai dengan yang diinginkan, tetapi pihak lain menolak keinginan itu.13
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU PPHI), Perselisihan
hubungan industrial, didefinisikan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
10
Bryan A. Garner – Editor in Chief, Black’s Laws Dictionary Seventh Edition, (St. Paul, Minn, 1999), hal. 485, dalam Farid Muázd, Op.Cit, hal. 6.
11
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 21.
12
Ronny Hanitijo, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik”, (Semarang: Majalah Fakultas Hukum UNDIP, 1984), hal. 22, dalam Lalu Husni, Op.Cit, hal. 2.
13
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Apabila melihat pada bunyi Pasal 1 angka 1 tersebut, maka subjek hukum
yang diatur dalam UU PPHI adalah baik pekerja/buruh atau pengusaha perorangan
maupun kolektif (serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan pengusaha).
Pasal 2 UU PPHI menyebutkan bahwa terdapat 4 (empat) jenis perselisihan
hubungan industrial, yaitu :
1. Perselisihan hak : yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, perjanjian perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama (Pasal 1 angka 2);
2. Perselisihan kepentingan : yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3);
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja : yaitu perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4);
4. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh : yaitu perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka
5).
Dalam penjelasan Pasal 2 huruf a disebutkan “Perselisihan hak adalah
perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan”.
Salah satu hak normatif yang diatur oleh UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh untuk memperoleh upah sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 88 – Pasal 98.
Penyelesaian sengketa perselisihan yang terjadi dalam hubungan industrial
dilakukan melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam Bab II UU PPHI. Pengadilan
Hubungan Industrial baru dapat menyelesaikan sengketa perselisihan apabila upaya
penyelesaian melalui bipartit, mediasi, atau konsiliasi tidak tercapai, dimana risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi tersebut wajib dilampirkan dalam
gugatan (Pasal 83 UU PPHI).
Walau dalam UU PPHI telah diatur tata cara penyelesaian suatu perselisihan
hubungan industrial, tetapi ada juga upaya pekerja/buruh untuk menuntut hak
normatifnya tersebut akibat tidak dibayarnya upah atau pun uang pesangon oleh
perusahaan tempatnya bekerja melalui Pengadilan Niaga dengan menggunakan
lembaga kepailitan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK
49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst antara Wiwin C dkk lawan PT. Roxindo Mangun
Apparel Industry dan dalam putusan Pengadilan Niaga No.
41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst antara Heryono dkk lawan PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) :
Permohonan ini berawal dari permohonan pernyataan pailit yang diajukan
oleh beberapa pekerja/buruh sehubungan dengan tidak dibayarnya upah atau
pesangon oleh perusahaan tempatnya bekerja yang telah diputus oleh Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) termasuk penggugat di
dalamnya.
Lembaga hukum kepailitan, bukan merupakan lembaga yang baru dalam
sistem hukum Indonesia. Bahkan dibandingkan beberapa negara maju di dunia,
Indonesia sudah lebih awal memiliki peraturan yang mengatur tentang kepailitan
karena diwarisi dengan Faillissement Verordening.14
Tujuan kepailitan menurut Faillissement Verordening adalah melindungi
kreditor konkuren untuk memperoleh hak-haknya berkaitan dengan berlakunya asas
yang menjamin hak-hak yang berpiutang (kreditor) dari kekayaan orang yang
berutang (debitor).15 Tujuan ini disimpulkan dari pengertian kepailitan dalam
Memorie van Toelichting yang menyatakan kepailitan sebagai suatu sitaan
14
Rahmat Bastian, Studi Analisa Cross Border Bankruptcy, sebagaimana dikutip Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktek di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 6.
15
berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan debitor guna kepentingan bersama
para kreditornya.16 Tujuan ini sesuai dengan asas sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW), yang menyatakan : “Alle de
roerende en onroerende goederen van den schuldenaar, zoo wel tegenwoordige als
toekomstige, zijn voor deszelfs persoonlijke verbintenissen aansprakelijk”.17 Hukum
memberlakukan asas tersebut untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor
akan melunasi utang-utangnya.18 Tujuan lain dari kepailitan menurut Faillissement
Verordening juga adalah untuk melindungi debitor, seperti melindungi debitor yang
beriktikad baik yang pailit di luar kesalahannya atau alasan-alasan penting lainnya
dari dilaksanakannya paksaan badan terhadap utang-utang yang diadakan olehnya
sebelum pernyataan pailit.19
Perkembangan selanjutnya menunjukkan tujuan hukum kepailitan tidak hanya
melindungi kepentingan kreditor dan debitor, namun juga kepentingan para pihak
yang terkait dengan kreditor dan debitor atau pihak stakeholders.20 Perlindungan
16
Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailitan untuk Indonesia (1998), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 3-4.
17
Terjemahannya adalah “Segala harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan Debitor.” Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Grafiti, 2002), hal. 7.
18
Ibid, hal. 7 dan hal. 38-39. 19
Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, A Critical Review on Bankruptcy Law: Towards The Bankruptcy Laws That Protect Creditor and Debitor Interest, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 101.
20
terhadap stakeholders mempunyai suatu tujuan imperatif, yaitu bisnis harus
dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan stakeholders dijamin,
diperhatikan, dan dihargai dalam suatu kegiatan bisnis. Hal ini dikarenakan berbagai
pihak tersebut dipengaruhi dan dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis.21
Kreditor mempunyai stakeholders yang tidak berbeda dengan debitor. Jika kreditor
mempunyai piutang yang tidak dapat ditagih, maka kreditor dapat pula pailit.22
Namun, perlindungan terhadap kepentingan kreditor dan stakeholdersnya tidak boleh
sampai merugikan kepentingan debitor dan para stakeholders debitor yang
bersangkutan.23
Setidaknya ada empat kepentingan stakeholders yang harus dilindungi oleh
Undang-Undang Kepailitan. Pertama, kepentingan negara yang hidup dari pajak
yang dibayar oleh debitor. Kedua, kepentingan masyarakat yang memerlukan
kesempatan kerja dari debitor. Ketiga, kepentingan masyarakat yang memasok
barang dan jasa kepada debitor. Pemasok barang biasanya adalah perusahaan
menengah dan kecil yang mempunyai satu atau dua pembeli dominan, sehingga
sudah seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah. Keempat, kepentingan
21
A Sony Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 89.
22
Sutan Remy Sjahdeini, “Tanggapan terhadap Perpu Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998”, Makalah, (Jakarta: 13 Juli 1998), hal. 9. Lihat pula Sutan Remy Sjahdeini, “Perlindungan Debitor dan Kreditor Dampak Undang-Undang Kepailitan Terhadap Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 54, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1995), hal. 4-6.
23
masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa debitor, baik
selaku konsumen akhir maupun pedagang.24
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar
dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, di mana debitor
tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang
tersebut kepada para kreditornya. Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan
harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para
kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang sesuai dengan prosedur hukum
maupun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan
tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi
pembayaran karena harta debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu.
Hal ini tentunya sangat tidak adil dan dapat merugikan kreditor maupun debitor itu
sendiri. Selain itu apabila seorang debitor hanya mempunyai satu orang kreditor dan
debitor tersebut tidak membayar utang secara sukarela maupun debitor tidak
mempunyai kemampuan untuk membayar utangnya, maka seorang kreditor tersebut
dapat mengajukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan
seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut.
Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk
penyelesaian kewajiban-kewajiban debitor terhadap kreditor secara lebih efektif,
efisien, dan proporsional.25
24
Ibid. 25
Masalah kepailitan sesungguhnya terjadi karena adanya utang piutang antara
debitor dan kreditor. Permasalahan baru muncul apabila debitor berhenti membayar
utangnya pada waktu jatuh tempo, baik karena tidak mau membayar maupun karena
tidak mampu membayar.26
Dalam UUK dan PKPU, pekerja/buruh tidak disebutkan secara khusus
sebagai subjek hukum (pihak-pihak) yang dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit. Tetapi apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit maka upah pekerja/buruh
yang belum dibayarkan baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit
dianggap sebagai upah yang terutang dan merupakan utang harta pailit (Pasal 39 ayat
(2) UUK dan PKPU).
Pasal 2 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit adalah sebagai berikut :
1. Debitor sendiri (Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU) ;
2. Seorang kreditor atau lebih (Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU) ;
3. Kejaksaan, dalam hal adanya kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU) ;
4. Bank Indonesia, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan perbankan (Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU) ;
5. Badan Pengawas Pasar Modal, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian (Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU) ;
6. Menteri Keuangan, apabila yang akan dipailitkan adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU).
26
Berdasarkan dari kasus dan hal-hal yang sebagaimana telah diuraikan di atas,
terlihat ada dua peraturan hukum yang dapat digunakan oleh pekerja/buruh untuk
menuntut/mempertahankan haknya berupa upah atau pun uang pesangon tidak
dibayar oleh pengusaha (perusahaan) yaitu dengan menggunakan UU PPHI melalui
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan dengan menggunakan UUK dan
PKPU melalui permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.
Akan tetapi apabila ditinjau dari lembaganya maka antara Pengadilan
Hubungan Industrial dan Pengadilan Niaga merupakan suatu lembaga yang
mempunyai kewenangan mengadili (kompetensi) yang berbeda satu sama lain walau
sama-sama merupakan peradilan khusus yang berada dalam satu lembaga peradilan
yaitu peradilan umum (Pengadilan Negeri).27
Sebelum diundangkannya UU PPHI, penyelesaian perselisihan yang terjadi
antara pengusaha dengan pekerja/buruh diatur dalam UU Nomor 22 tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan badan yang berwenang untuk
menyelesaikan perselihan tersebut adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (P4). Kewenangan badan ini secara spesifik diatur dalam ketentuan Pasal
1 huruf c, yaitu terbatas mengenai :
1. Perselisihan perburuhan berupa pertentangan antara majikan atau perkumpulan
majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh,
27
2. Pertentangan itu berkenaan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai
hubungan kerja, syarat-syarat kerja, dan/atau keadaan perburuhan.
Sejak diundangkannya UU PPHI, maka UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi
sehingga penyelesaian masalah perselisihan hubungan industrial yang terjadi sejak
diberlakukannya UU PPHI harus mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam
undang-undang ini.
Pasal 56 UU PPHI menyebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak ;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan ; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja ;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun kewenangan Pengadilan Niaga ditentukan dalam Pasal 300 ayat (1)
UUK dan PKPU, yang secara tegas menyatakan :
“Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa
dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain
dibidang perniagaan yang penerapannya dilakukan dengan undang-undang”.
Hal ini berarti Pengadilan Niaga selain mempunyai kewenangan absolut untuk
Pembayaran Utang (PKPU), juga berwenang untuk memeriksa perkara lain yang
ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu contoh bidang perniagaan yang juga
menjadi kewenangan Pengadilan Niaga saat ini adalah persoalan Hak atas Kekayaan
Intelektual.28
Selain itu, Pasal 303 UUK dan PKPU mempertegas kewenangan Pengadilan
Niaga yang terkait dengan perjanjian yang memuat klausul arbitrase, yaitu :
“Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan
pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausul
arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
undang-undang ini”.
Adanya kewenangan mengadili yang berbeda mengakibatkan apabila suatu
tuntutan pemenuhan hak (gugatan) ditujukan kepada badan peradilan yang tidak
berwenang untuk mengadilinya, maka gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke verklaard) tanpa memeriksa substansi perkaranya.
Sehingga tidak jarang dalam suatu proses perkara khususnya perkara perdata, dimana
secara substansi seharusnya gugatan dapat dikabulkan akan tetapi oleh karena tidak
28
dipenuhinya formalitas prosedural dalam beracara (hukum acara),29 maka akan
menggagalkan penegakkan hukumnya.30
Permasalahan kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan
berbagai faktor seperti faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara
peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court)
berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan
sendirinya menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional. Perkara
yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah, tidak dapat diajukan
langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Sengketa yang harus diselesaikan lebih
dahulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat diajukan langsung kepada
peradilan banding atau kasasi.dan sebaliknya. Apa yang menjadi kewenangan atau
yuridiksi peradilan yang lebih tinggi, tidak dapat dapat diminta penyelesaiannya
kepada peradilan yang lebih rendah.31 Ada juga faktor perbedaan atau pembagian
yuridiksi berdasarkan lingkungan peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau
kewenangan absolut bagi masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga
29
Pasal 299 UUK dan PKPU maupun Pasal 57 UU PPHI menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang diatur secara khusus masing-masing dalam undang-undang.
30
Dalam perkara pidana, tata cara penegakkan hukum dimulai sejak penyelidikan sampai dengan pelaksanaan hukuman, bahkan sampai saat seorang napi siap kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. Inilah inti dari “integrated criminal justice system”. Yang lebih memprihatikan kalau kekurangan prosedural tersebut dijadikan pintu pembuka jalan penyalahgunaan wewenang untuk melepaskan atau membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan/atau hukuman. Secara normatif mungkin tidak ada yang salah, tetapi secara kenyataan, proses yang kurang “cermat” tersebut yang telah melepaskan atau membebaskan seseorang yang semestinya dihukum.
31
atribusi kekuasaan (attributive competentie, attributive juridiction).32 Selain
perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan faktor kewenangan khusus (specific
jurisdiction) yang diberikan undang-undang kepada badan external judical, seperti
Arbitrase atau Mahkamah Pelayaran. Bahkan masalah yuridiksi ini, dapat juga timbul
dalam satu lingkungan peradilan, disebabkan faktor wilayah (locality) yang
membatasi kewenangan masing-masing pengadilan dalam lingkungan wilayah
hukum atau daerah hukum tertentu yang disebut dengan kewenangan relatif atau
distribusi kewenangan (distributive juridiction).33
Adanya kewenangan dari masing-masing badan peradilan tersebut dapat
menimbulkan sengketa mengenai kewenangan mengadili. Dalam Pasal 56 ayat (2)
UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung34, disebutkan bahwa sengketa kewenangan
mengadili terjadi :
a. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang
sama;
b. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili perkara
yang sama.
Di Indonesia, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna
menegakkan hukum dan keadilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
32
Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hal. 28. 33
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 180. 34
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum,
Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.35
Keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung ini
merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh karena itu,
secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice), dalam kedudukannya sebagai
pengadilan negara (state court). Dengan demikian, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan
Pasal 2 juncto Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004 merupakan landasan sistem
peradilan negara (state court system) di Indonesia, yang dibagi dan terpisah
berdasarkan yurisdiksi atau separation court system based on jurisdiction.36
Selain empat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan di atas, tidak
menutup kemungkinan adanya pengkhususan/spesialisasi dalam masing-masing
lingkungan peradilan seperti Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak
Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial
yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara.37
35
Lihat pasal 2 juncto pasal 10 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
36
M. Yahya Harahap, “Beberapa Tinjauan Reformasi Kekuasaan Kehakiman”, Makalah, (Jakarta: 5 Agustus 2002), hal. 13.
37
Mengenai sistem pemisahan kewenangan mengadili, menurut M. Yahya
Harahap masih dianggap relevan adalah dasar-dasar yang dikemukakan dalam
penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970, yaitu :38
a. didasarkan pada lingkungan kewenangan ;
b. masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu atau diversity jurisdiction ;
c. kewenangan tertentu tersebut, menciptakan terjadinya kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subject matter of jurisdiction ;
d. oleh karena itu, masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.
Dalam perkembangan sejarahnya, adanya berbagai macam badan peradilan
tersebut tidak terlepas dari aturan-aturan hukum yang diwarisi oleh pemerintahan
kolonial Belanda yang menjajah Indonesia saat itu. Pada zaman pemerintahan
kolonial Belanda, badan peradilan dipisahkan berdasarkan golongan penduduk yaitu
badan peradilan untuk golongan penduduk Eropa atau yang dipersamakan dengannya
dan untuk golongan penduduk Bumiputera atau yang dipersamakan dengannya. Pada
tahun 1847, dualisme tata peradilan ini semakin dimantapkan dengan sebuah
Koninklijk Besluit tertanggal 16 Mei 1847 yang termuat dalam Stb. 1847 No. 23 yang
dikenal dengan nama Reglement op de Rechterlijke Organisatie en Het Beleid Der
Justitie (yang selanjutnya dikenal dengan RO) yang diberlakukan tanggal 1 Mei
1848. RO ini mendasari sahnya badan-badan peradilan yaitu : Districtsgerecht,
Regentschapsgerecht, Landraad, Rechtbank van Ommegang, Rechtspraak ter
38
Politierol yang menurut yurisdiksinya berkompeten mengadili orang-orang dari
golongan rakyat pribumi, sedangkan untuk badan-badan yang menurut yurisdiksinya
hanya berkompeten memeriksa dan memutus perkara-perkara untuk golongan
penduduk Eropa adalah : Residentiegerecht, Raad van Justitie, dan Hooggerechtshof.
Raad van Justitie juga bertindak sebagai pengadilan pada tingkat banding, sedangkan
Hooggerechtshof bertindak sebagai pengadilan pada tingkat kasasi untuk
perkara-perkara orang pribumi yang diadili oleh Landraad.39
Selain badan-badan peradilan pemerintah kolonial, masih terdapat peradilan
lain seperti pengadilan swapraja yang ada dan dikelola oleh raja-raja, sultan-sultan,
dan atau pangeran-pangeran. Untuk daerah-daerah lain yang tidak diperintah
langsung oleh pemerintah Hindia Belanda juga didapati beragam bentuk badan
penyelesaian sengketa lain seperti yang lazim disebut pengadilan desa (Desa
Rechtspraak).40
Tujuan utama membahas yurisdiksi atau kewenangan mengadili adalah untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat
berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan
penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru. Sebab apabila pengajuannya keliru,
mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan pengadilan yang
dituju tidak berwenang mengadilinya. Atau dengan kata lain, gugatan yang diajukan
39
Lihat Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, A Critical Review on Bankruptcy Law: Towards The Bankruptcy Laws That Protect Creditor and Debitor Interest, Op.Cit, hal. 83-85.
40
berada diluar yurisdiksi pengadilan tersebut. Selain itu juga apabila masing-masing
pengadilan berwewenang dalam mengadili perkara yang sama tentunya dapat
menimbulkan adanya putusan yang berbeda-beda pula.41
Dapat dilihat, permasalahan kewenangan mengadili merupakan syarat formil
keabsahan gugatan. Kekeliruan mengajukan gugatan kepada lingkungan peradilan
atau pengadilan yang tidak berwenang, mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga
tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan gugatan yang diajukan tidak
termasuk kewenangan absolut atau relatif pengadilan yang bersangkutan.
Masalah kompetensi absolut ini diatur dalam Pasal 134 HIR/160 RBg dan
mengenai kewenangannya dapat diajukan setiap saat selama perkara masih berjalan.
Bahkan hakim yang memeriksa perkara itupun karena jabatannya wajib menyatakan
bahwa ia tidak berwenang mengadilinya walaupun tidak ada bantahan (eksepsi) dari
tergugat. Sedangkan masalah kompetensi relatif diatur dalam Pasal 133 HIR/159 RBg
dimana bantahan mengenai kewenangannya harus diajukan pada kesempatan pertama
tergugat memberikan jawabannya. Apabila tidak diajukan pada kesempatan pertama
tersebut, maka tidak dapat diajukan lagi pada sidang selanjutnya (Putusan Mahkamah
Agung RI tanggal 13 September 1972, Reg. No. 1340 K/Sip/1971).42
41
Dalam sengketa PT. Bridgestone dengan pekerjanya juga terdapat sengketa kewenangan mengadili relatif antara Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, dimana masing-masing pengadilan merasa berwenang untuk mengadili perkara tersebut yang berakibat adanya putusan yang berbeda-beda yaitu PHI Bandung menetapkan pekerja berhak atas kenaikan gaji sebesar 14,8 % sementara PHI Jakarta menetapkan hanya menyetujui kenaikan gaji sebesar 10 %. Lihat http:// www.hukumonline.com /detail.asp? id=18007 &cl=Berita, “Bila Dua PHI Membuat Putusan Berbeda”, diakses tanggal 27 April 2009.
42
Apabila hal-hal yang tersebut diatas terjadi, maka tentunya dapat merugikan
pihak pekerja/buruh itu sendiri, baik dalam hal waktu maupun finansial dan
penyelesaian perkara pun tidak dapat dilakukan secara efisien dan efektif43 sehingga
peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak akan
tercapai.
Berdasarkan isu hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas itulah
membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang Kewenangan Pengadilan Niaga
Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang Pesangon Yang Tidak Dibayar Oleh Perusahaan (Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 49/Pailit/2004/PN.Niaga/Jkt.Pst dan Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst)
B. Rumusan Masalah
Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini, maka perlu
dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian yang akan dikaji lebih
lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang diidentifikasikan tersebut44.
43
Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 dan bandingkan dengan hasil studi Bank Dunia tahun 2002, dimana salah satu cara untuk membuat pengadilan menjadi efisien adalah dengan cara membuat Pengadilan Khusus (Specialized Court) dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 138.
44
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan
pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan
?
2. Bagaimana penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon
menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial ?
3. Pengadilan manakah yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerja/buruh
atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan
pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan.
2. Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang
pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
3. Untuk mengetahui pengadilan yang berwenang untuk mengadili tuntutan
D. Manfaat Penelitian
Dengan terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta
tercapainya tujuan penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan sejumlah
manfaat teoritis maupun manfaat secara praktis.
Manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan
guna pengembangan Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan maupun Hukum
Kepailitan khususnya dalam beracara di pengadilan, sedangkan manfaat secara
praktis adalah untuk memberikan masukan bagi para buruh/pekerja maupun
pengusaha agar dapat memilih pengadilan yang tepat untuk menyelesaikan
permasalahannya sehingga asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan
dapat tercapai. Selain itu diharapkan agar tercapainya persamaan persepsi dari hakim
yang memutus perkara tersebut sehingga asas kepastian hukum yang
didamba-dambakan oleh para pencari keadilan (yustisiabelen) dapat terpenuhi.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi dan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara baik untuk program studi ilmu hukum maupun program studi
kenotariatan, bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai Kewenangan
Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Tuntutan Pekerja/Buruh Atas Upah Atau Uang
karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka,
sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang
mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat
kerangka berpikir dalam penulisan.45
Satjipto Raharjo mengatakan bahwa teori memberikan penjelasan dengan cara
mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.46 Demikian
pula menurut Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai
serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.47
Pentingnya kerangka teori menurut Ronny Hanitijo adalah setiap penelitian
haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan
karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan
pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data dan analisis data.48
45
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80. 46
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 224. 47
Ibid 48
Bertitik tolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka
pemikiran teoritis sebagai landasan konsepsional pendekatan masalah penelitian
dapat disusun menggunakan teori, konsep, asas-asas dan pendapat-pendapat ilmuwan
yang dinilai relevan untuk membuat jernih dan atau memecahkan suatu masalah yang
diteliti.
Sebagai negara hukum (rechtsstaat), maka setiap warga negara Indonesia dan
alat negaranya harus bertindak dan terikat pada aturan yang telah ditetapkan terlebih
dahulu oleh pejabat yang berwenang.49 Hal ini dapat diartikan juga bahwa apabila
terjadi suatu perselisihan, dan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara
kekeluargaan, maka pihak yang merasa50 dirugikan haknya tidak boleh
menyelesaikannya dengan cara menghakimi sendiri (eigenrichting), akan tetapi harus
diselesaikan melalui pengadilan.51 Pihak yang merasa dirugikan haknya dapat
mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana
mestinya. Tugas pengadilan (hakim) dalam menyelesaikan suatu
sengketa/perselisihan adalah mengimplementasikan aturan-aturan hukum
menyangkut perkara yang diajukan.52
49
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di luar Pengadilan, Op.Cit, hal. 8.
50 Dipakainya perkataan “merasa” dan :dirasa”, oleh karena belum tentu yang bersangkutan
sesungguh-sesungguhnya melanggar hak penggugat. Lihat. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 1.
51
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hal. 21.
52
Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah-kaidah mempunyai isi yang
bersifat umum dan normatif. Umum karena diperlakukan bagi setiap orang, dan
normatif karena menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan,
serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah
tersebut.53
Dari sudut fungsinya, hukum mencakup hukum substantif (hukum materiil)
dan hukum ajektif (hukum acara; hukum formil).54 Hukum materiil yang termuat
dalam suatu bentuk perundang-undangan merupakan pedoman atau pegangan bagi
seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup,
baik itu perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apa yang boleh
dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan. Sedangkan proses penegakan
hukum materiil erat kaitannya dengan hukum formil atau hukum acara, karena fungsi
dari hukum acara adalah untuk mengatur cara mempertahankan dan menerapkan
hukum materiil.
Dikeluarkannya UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 136 ayat (2) UU
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan :
“Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial Korupsi, UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dll. Apabila perkaranya merupakan perkara perdata, maka aturan yang digunakan dapat berupa KUHPerdata, KUHD, RBg, HIR, dll.
53
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 31.
54
melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang”.
Jadi dapat dikatakan bahwa UU Nomor 2 tahun 2004 merupakan suatu
mekanisme untuk mengimplementasikan dan mempertahankan aturan-aturan hukum
yang terdapat dalam UU Nomor13 tahun 2003.
Tata cara (mekanisme) mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiil
ini, merupakan salah satu subsistem yang penting kalau tidak dapat dikatakan yang
terpenting dalam keseluruhan sistem peradilan. Seluk beluk bagaimana caranya
menyelesaikan suatu perkara melalui badan peradilan, semuanya diatur dalam hukum
acara.55
Hukum formil atau hukum acara pada umumnya tidaklah membebani hak dan
kewajiban seperti yang termuat dalam hukum materiil. Hukum acara memuat
aturan-aturan untuk menjamin pelaksanaan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum
materiil, yaitu melalui pengaturan seperti cara mengajukan tuntutan hak, proses
pemeriksaan, dan memutus perkara serta pelaksanaan putusan. Pada pokoknya hukum
acara sebagai hukum formil mengatur tata cara pengadilan dalam
mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiil yang menyangkut perkara yang
diajukan.
Bila ada hukum materiil yang dilanggar siapakah yang harus melaksanakan
atau menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Apakah kita berhak sendiri-sendiri
melaksanakan aturan tersebut ataukah harus oleh suatu badan tertentu yang telah
55
ditunjuk secara resmi. Jika hukum materiil dilaksanakan sendiri-sendiri menurut
kehendak pihak yang bersangkutan, maka akan timbullah apa yang dikenal dengan
istilah “main hakim sendiri (eigenrichting)”. Inilah yang justru sangat dikhawatirkan,
karena ketertiban dalam masyarakat, juga merupakan salah satu tujuan dari hukum.
Dalam usahanya mengatur, hukum menyesuaikan kepentingan perorangan
dengan kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya, berusaha mencari
keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi
masyarakat. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyebabkan
terjadinya konflik antara kepentingan perorangan dengan perorangan atau antara
kepentingan perorangan dengan masyarakat, maka hukum berusaha menampung
ketegangan atau menyelesaikan konflik tersebut.56
Masing-masing hukum mempunyai tujuan yang spesifik, misalnya hukum
pidana tentunya mempunyai tujuan yang spesifik jika dibandingkan dengan hukum
perdata, demikian pula hukum formil mempunyai tujuan yang spesifik jika
dibandingkan dengan hukum materiil dan bidang-bidang hukum lainnya.57
Dari keseluruhan aliran mengenai tujuan hukum, maka dapat diklasifikasikan
ke dalam 3 aliran konvensional, yaitu :58
1. Aliran etis yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.
2. Aliran utilitas yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan.
56
Ibid, hal.31-32. 57
Ibid, hal. 35. 58
3. Aliran normatif-dogmatik yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
Mengacu pada beberapa aliran mengenai tujuan hukum tersebut, maka teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum, karena
penegakkan hukum atau penerapan hukum melalui proses pengadilan merupakan
unsur yang penting untuk mencapai kepastian hukum.59
Dengan adanya kewenangan mengadili (kompetensi) yang jelas antara
pengadilan hubungan industrial (PHI) dan Pengadilan Niaga akan memberikan
kepastian bagi pekerja/buruh dalam menuntut haknya berupah upah atau pun uang
pesangon akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan
tempatnya bekerja.
Memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh dalam menuntut haknya
khususnya berupa upah atau pun uang pesangon merupakan suatu hal yang sangat
penting untuk dilakukan mengingat sebagai tenaga kerja, pekerja/buruh memiliki
peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai
tujuan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan
untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta
59
melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan.60
Dan adanya kewenangan mengadili yang jelas juga memberikan satu ukuran
yang dapat dijadikan pegangan bagi pengusaha dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Khususnya apabila dihubungkan dengan kegiatan untuk menarik investor
agar mau menanamkan modalnya di Indonesia sebagai penunjang pembangunan,
karena investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan
usahanya. Dan salah satu faktor yang harus dipersiapkan jika ingin menarik minat
investor agar datang untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah adanya
perangkat hukum yang jelas. Artinya antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya
yang berkaitan tidak saling berbenturan.61
Patut disayangkan ialah bahwa sering kali keinginan untuk mengatur kegiatan
perekonomian itu demikian tinggi, dimana peraturan-peraturan yang dibuat itu
kadang-kadang sedemikian banyaknya, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan
kekaburan akan hukum yang berlaku.62
Adanya kekaburan akan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentu
sedikit banyaknya akan berpengaruh pula pada putusan-putusan yang dikeluarkan
oleh badan peradilan, mengingat bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang
menganut sistem hukum civil law dimana kodifikasi merupakan sumber hukum yang
60
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif Dan Operasional, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hal. 1.
61
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi: Pembahasan Dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal.31-33.
62