• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis Di Kota Pekanbaru Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Determinan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis Di Kota Pekanbaru Tahun 2008"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

DETERMINAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

PADA PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) PENDERITA

TUBERKULOSIS DI KOTA PEKANBARU

TAHUN 2008

TESIS

Oleh

RUSHERINA

067010016/KK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DETERMINAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

PADA PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) PENDERITA

TUBERKULOSIS DI KOTA PEKANBARU

TAHUN 2008

T E SI S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (MKes) dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUSHERINA

067010016/KK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : DETERMINAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) PENDERITA TUBERKULOSIS DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Rusherina Nomor Pokok : 067010016

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. Kintoko Rochadi, MKM Anggota : dr. Alwinsyah, Sp.PD

(5)

PERNYATAAN

DETERMINAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

SEBAGAI PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) PENDERITA

TUBERKULOSIS DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2008

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2008

(6)

ABSTRAK

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Saat ini kuman tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, sehingga tahun 1993 World Health Organitation (WHO) mencanangkan kedaruratan global tuberkulosis. Upaya Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis (P2TB) di Prop Riau dengan strategi DOTS mulai dilaksanakan pada tahun 1995. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang pendamping minum obat (PMO) melihat tingginya resiko terhadap gangguan kesehatan terhadap PMO, maka perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan penyakit menular terhadap kejadian penyakit akibat lingkungan kerja dan faktor manusianya, salah satu diantaranya alat pelindung diri (APD). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran PMO menggunakan APD, dan untuk mengetahui hubungan pendidikan, pengetahuan, motivasi dan beban kerja PMO menggunakan APD pada penderita tuberkulosis.

Jenis penelitian bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional, dengan maksud ingin mengetahui hubungan sesaat antara variabel independen dan variabel dependen. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 96 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, analisa data menggunakan uji statistik dengan dengan batas kemaknaan 0,05.

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel beban kerja dengan PMO menggunakan APD (p = 0,000) sedangkan yang tidak mempunyai hubungan yang signifikan adalah variabel pendidikan (p = 0,12), variabel pengetahuan (p = 0,09) dan variabel motivasi (p = 0,22).

Diharapkan kepada PMO yang memiliki beban kerja yang tinggi agar dapat menggunakan APD pada saat mengawasi penderita minum obat agar penyebaran kuman mycobahterium tuberculosis dapat ditekan seminimal mungkin, serta perlu penelitian lebih lanjut tentang penggunaan APD oleh PMO dengan variabel dan sampel yang berbeda.

(7)

ABSTRACT

Tuberculosis is a transmitted desease caused by the bacterium of Mycobaterium tuberculosis. Nowadays, the bacterium of tuberculosis has infected one-third of the world population that, in 1993, the World Health Organization tuberculosis (P2TB) through DOTS strategy in Riau Province was first implemented in 1995. To guarantee a regular medication, some one to accompany (monitor) the victim to take medicine (PMO) is needed. Considering the high risk of health disorder to the PMO, one of the attempts to prevent the incident of transmitted desease caused by accupational environment and human factor is the use of personal protection aquipment (PPE).

The purpose of this quantitative study with cross-sectional is to axamine the momentary relationship between independent and dependent variables through the description of the PMO who use the personal protection equipment (PPE) and the relationship between education, knowledge, motivation, and work load of the PMO using PPE in The those suffering from tuberculosis. The Data for this study were collected from 96 samples through questionnaire-based interviews. The data obtained were statistically examined through the SPSS program.

The result of this study shows that there is significant relationship between work load and the use of PPE by the PMOs working with those suffering from tuberculosis education, knowledge and motivation do not have any significant relationship with the use of PPE by the PMOs working with those suffering from tuberculosis.

It is suggested that the PMOs improve their knowledge in the use of PPE through printed or electronic media and be mitivated to use PPE when monitoring those suffering from tuberculosis taking their medicine. Although they have a heavy work load, the PMOs are expected to think of their own health by using PPE when use of PPE in the PMOs working with those suffering from tuberculosis. It is necessary to do a further study on the PMOs working with those suffering from tuberculosis.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memanuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat S2 pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari, begitu banyak dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis dari memulai penulisan tesis ini sehingga dapat diselesaikan.

Dengan penuh ketulusan hati, penulis menyampaikan terima kasih, semoga sukses dan bahagia selalu dalam lindunganNya kepada: Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD, selaku pembimbing yang telah memberikan perhatian, dukungan dan pengarahan sejak mulai hingga selesai tesis ini.

Di samping itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK, Dosen Pembimbing dan Penguji Tesis. 5. Ibu Ir. Indra Chahaya S, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing dan

(9)

6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru yang telah memberi izin dan dukungan.

7. Ibu Direktur Poltekkes Depkes Riau yang telah memberikan izin pendidikan pada Sekolah Pascasarjana ini.

8. Teristimewa buat suami tercinta yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dorongan dan doa restu kepada penulis agar dapat menyelesaikan pendidikan pascasarjana.

9. Juga anak-anakku tersayang Monica Regina dan Aldahnuh Rahmadana yang selama ini telah mendampingi dan terus berdoa untuk bundanya dalam penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih kepada kedua orangtua, Abang, Kakak, Adik yang telah memberikan dukungan bantuan selama penulis mengikuti pendidikan, semoga Allah SWT membalas kebaikan yang telah dilakukan dan melimpahkan ridho dan hidayahNya.

Akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat Indonesia, khususnya Kota Pekanbaru.

Pekanbaru, Agustus 2008

Penulis,

Rusherina

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rusherina

Tempat/Tanggal Lahir : Pariaman, 24 April 1965

Agama : Islam

Alamat : Jln. Jasa Blok B No. 4 Perum. Nangka Permai Telp (0761) 63446

Telp/HP : 081365708152

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1969 – 1975 : SDN 2 Pariaman Tahun 1975 – 1979 : SMPN 1 Pariaman Tahun 1979 – 1982 : SMUN I Pekanbaru Tahun 1982 – 1985 : APK – TS Padang

Tahun 2001 – 2004 : STIKES Hang Tuah Pekanbaru

Tahun 2006 – 2008 : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja

RIWAYAT PEKERJAAN

(11)

DAFTAR ISI

1.2. Perumusan Masalah ………... 1.3. Tujuan Penelitian ………... 1.4. Hipotesa …………..……… 1.5. Manfaat Penelitian ………. 1

2.1. Tuberkulosis Paru ………. 2.2. Pengawasan Menelan Obat ……..………. 2.3. Alat Pelindung Diri (APD) ………... 2.4. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemakaian APD ... 2.5. Kerangka Konsep ... 9

(12)

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 36 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………..

4.2. Analisis Univariat ………... 4.3. Analisis Bivariat ……….

36 37 39

BAB 5 PEMBAHASAN ………... 43

5.1. Hubungan Pendidikan dengan PMO Penderita

Tuberkulosis Menggunakan APD ………... 5.2. Hubungan Pengetahuan dengan PMO Penderita

Tuberkulosis Menggunakan APD ………. 5.3. Hubungan Motivasi dengan PMO Menggunakan APD 5.4. Hubungan Beban Kerja dengan PMO Menggunakan

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 3.1. Variabel dan Definisi Operasional ……….. 33 4.1. Distribusi Frekuensi Responden PMO Penderita Tuberkulosis

di Kota Pekanbaru Tahun 2008 ………. 38 4.2. Distribusi Responden Menurut Pendidikan PMO Menggunakan

APD di Kota Pekanbaru Tahun 2008 ………... 40 4.3. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan PMO

Menggunakan APD di Kota Pekanbaru Tahun 2008 ………….. 41 4.4. Distribusi Responden Menurut Motivasi PMO Menggunakan

APD di Kota Pekanbaru Tahun 2008 …………... 42 4.5. Distribusi Responden Menurut Beban Kerja PMO

(14)

DAFTAR GAMBAR

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Saat ini kuman tuberkulosis (TBC) telah menginfeksi

sepertiga penduduk dunia, sehingga tahun 1993 World Health Organitation (WHO) mencanangkan kedaruratan global tuberkulosis. Hal ini karena pada sebagian besar negara di dunia, tuberkulosis tidak terkendali akibat banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan terutama penderita menular Basil Tahan Asam (BTA +) (Dep Kes RI, 2002).

Tahun 1993, ditetapkan WHO sebagai tahun kedaruratan global Tuberkulosis (Nakajima, 1993). Ini terjadi akibat: 1) peningkatan kasus TB yang terkait dengan peningkatan kasus AIDS/HIV; 2) tingginya angka migrasi penduduk yang menyebabkan makin meningkatnya penyebab TB; 3) perhatian pemerintah yang mulai berkurang dalam pemberantasan penyakit TB (terutama di negara-negara berkembang); 4) munculnya multi drugs resistant obat-obat TB (Dep Kes, 2002).

(17)

Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga 2000 (SKRT, 2000) menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Menurut WHO diperkirakan setiap tahun di Indonesia terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian karena tuberkulosis sekitar 140.000, secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis BTA + (Dep Kes RI, 2002).

Di Indonesia, penyakit TBC masih merupakan masalah kesehatan utama. Sampai saat ini, program penanggulangan TBC (selanjutnya disebut P2TB) belum menunjukkan kemajuan yang berarti, hal ini dapat dilihat dari data tentang penyebab utama kematian di Indonesia. Penyakit TBC mencapai urutan keempat pada tahun 1990, meningkat menjadi urutan ketiga pada tahun 1996, kemudian menjadi urutan kedua pada tahun 2000, dan kembali ke urutan ketiga pada tahun 2005 (Dep Kes RI, 2006).

Mulai tahun 1995, program penanggulangan TBC nasional mengadopsi strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sesuai rekomendasi WHO yang kemudian dikembangkan di seluruh puskesmas di Indonesia pada tahun 2000.

(18)

paduan jangka pendek yang ampuh dan gratis; 4) adanya pengawas penderita menelan obat (PMO); 5) adanya sistem pencatatan dan pelaporan yang baik (Dep Kes RI, 2002).

Di Propinsi Riau jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2007 yaitu 3.987 kasus dengan basil tahan asam positif 2.597. Penyakit tuberkulosis banyak menyerang masyarakat kurang mampu yang tinggal ditempat kumuh, kurang pencahayaan dan ditambah lagi dengan daya tahan tubuh yang menurun serta makanan yang tidak bergizi (Din Kes Provinsi Riau, 2005).

Upaya Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis (P2TB) di Provinsi Riau dengan strategi DOTS mulai dilaksanakan pada tahun 1995. Pada tahun 1998-1999 semua kabupaten/kota telah melaksanakan strategi DOTS dan sampai saat ini telah menjangkau semua Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang ada serta 1 Rumah Sakit Umum Pemerintah. Pada tahun 2001 telah dibentuk Tim Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TBC tingkat Provinsi dan Tim Gerdunas TBC tingkat Kabupaten/Kota (Dinkes Provinsi Riau 2005).

(19)

Peran seorang PMO sangat penting dalam pengobatan penderita tuberculosis karena pengobatan yang cukup lama yaitu 6-8 bulan diperlukan pengawasan langsung bagi penderita terutama pada tahun intensif (2 bulan pertama) dan juga pada fase lanjutan karena dikhawatirkan penderita akan mangkir atau putus berobat sebelum berakhirnya masa pengobatan.

Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu dapat menimbulkan kekebalan ganda kuman TBC terhadap OAT atau Multi Drug Resistance (MDR) (Dep Kes RI, 2002).

(20)

Dari studi awal yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kota Pekanbaru pada tanggal 10 Maret 2008, masih banyak keluarga penderita sebagai PMO belum menggunakan alat pelindung diri seperti masker, mereka hanya menggunakan sapu tangan sebagai penutup mulut pada saat mengawasi penderita minum obat. Melihat tingginya resiko terhadap gangguan kesehatan terhadap PMO, maka perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kejadian penyakit akibat lingkungan kerja dan faktor manusianya, salah satu diantaranya adalah penggunaan alat pelindung diri (Suma’mur, 1981).

Alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja yang terjadi. Peralatan pelindung diri tidak menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada.

Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak bahaya dengan cara penempatan penghalang antara tenaga kerja dengan bahaya (Suma’mur, 1981).

(21)

masih rendah dari penderita TB BTA+ yang diobati angka kesembuhan juga masih rendah.

Gibson (1985) mengemukakan ada 3 jenis variabel yang mempengaruhi kinerja seseorang yaitu faktor individu (kemampuan keterampilan dan latar belakang), faktor organisasi (sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, organisasi dan desain pekerjaan) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi).

Menurut Teitjen, et. al (1997) mengidentifikasikan beberapa faktor psikososial dan organisasional yang menambah terjadinya ketidakpatuhan petugas perawat kesehatan.

Yang paling penting dirasakan adalah: 1) pengaman yang kurang untuk petugas yang bekerja dirumah sakit dan klinik, dan 2) konflik kepentingan antara menyelenggarakan perawatan kesehatan yang terbaik dan melindungi diri sendiri dari pemaparan (Gershon, 1996).

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka penulis ingin melihat analisa pekerja kesehatan menggunakan alat pelindung diri sebagai pengawas menelan obat penderita tuberkulosis di Kota Pekanbaru tahun 2008.

1.2. Perumusan Masalah

(22)

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui gambaran PMO menggunakan alat pelindung diri (APD) pada penderita tuberkulosis di Kota Pekanbaru tahun 2008. 1.3.1. Untuk mengetahui hubungan pendidikan, pengetahuan, motivasi dan beban

kerja PMO menggunakan alat pelindung diri pada penderita tuberkulosis di Kota Pekanbaru.

1.4. Hipotesa

Untuk menjawab pertanyaan “Apakah Pekerja Kesehatan Menggunakan Alat Pelindung Diri Sebagai Pengawas Menelan Obat Penderita Tuberkulosis Paru”, maka peneliti memberikan jawaban sementara dalam bentuk hipotesis, sebagai berikut: 1.4.1. Adanya hubungan antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian

kasus BTA + pada PMO.

1.4.2. Adanya hubungan antara pendidikan, pengetahuan, motivasi dan beban kerja dengan penggunaan alat pelindung diri pada PMO.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Memberi masukan bagi Departemen Kesehatan dalam rangka menentukan kebijakan dan strategi intervensi yang tepat dan terarah dalam program P2TB. 1.5.2. Memberi masukan bagi Dinas Kesehatan Provinsi Riau dalam rangka

(23)
(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1. Pengertian

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang terutama disebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis dan biasanya menyerang paru-paru (Diane

C. Baughman, 2000).

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB (mycobacterium tuberkulosis), sebagian besar menyerang paru-paru, tetapi dapat juga

menyerang organ tubuh lainnya (Pedoman Penanggulangan TBC, 2006).

Penyakit tuberkulosis adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kumam tuberkulosis (Mycobacterium Tuberkulosis), sebagian besar

kuman tuberkulosis ini menyerang paru, tapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (http; //www. infeksi. com).

2.1.2. Cara Penularan

(25)

Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2006).

Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang keluar dari parunya. Makin tinggi derajad positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Dep Kes RI, 2006).

2.1.3. Gejala Penyakit

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat, gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

Gejala Sistemik/Umum

1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam, kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul (40 – 41`C),

(26)

3. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah), 4 Perasaan tidak enak (malaise), lemah,

5. Berat badan menurun.

Gejala Khusus

1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian

bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah

bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.

2. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

3. Bila mengenai tulang maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuatan pada kulit diatasnya, pada muaranya ini akan keluar cairan nanah (http:penyakit-pengobatan.blogspot.com).

2.1.4. Upaya Pencegahan/Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis

Directly Observed Treatmen Shortcourse (DOTS) merupakan suatu strategi

(27)

manajemen penanggulangan tuberkulosis di Indonesia ditekankan pada tingkat kabupaten/kota (Dep Kes RI, 2002).

2.1.5. Pengobatan Tuberkulosis Paru Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resisten kuman terhadap obat anti tuberkulin (OAT).

Prinsip Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan, jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawasan Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan Tahap Awal (intensif )

(28)

2. Bila pengobatan tetap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

2. Tahap lanjutan penting membunuh kuman persisten, sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan perpaduan OAT:

Kategori I : 2HRZE / 4 H3R3

Kategori II : 2HRZE / HRZE / 5H3R3E3 Kategori III : 2HRZ / 4 HR

(Depkes RI, 2002)

2.2. Pengawasan Menelan Obat 2.2.1. Definisi PMO

(29)

PMO (Pengawasan Menelan Obat) adalah orang yang dipercaya, dikenal, dan disetujui oleh petugas kesehatan maupun penderita untuk mengawasi penderita TBC dalam meminum obat dan pengobatan yang teratur sampai selesai.

2.2.2. Persyaratan PMO

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

2.2.3. Siapa yang Bisa Jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

2.2.4. Tugas Seorang PMO

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

(30)

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

2.2.5. Informasi Penting yang Perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada Pasien dan Keluarganya

1. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur. 2. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.

3. Cara penularan TB, gejala-gejala mencurigakan dan cara pencegahannya. 4. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).

5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

6. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.

2.3. Alat Pelindung Diri (APD)

Petugas pelayanan kesehatan setiap hari dihadapkan kepada tugas yang berat untuk bekerja dengan aman dalam lingkungan yang membahayakan. Kini, resiko pekerjaan yang umum dihadapi oleh petugas pelayanan kesehatan adalah kontak dengan darah dan tubuh sewaktu perawatan rutin pasien.

(31)

2.3.1. Pengertian

Alat Pelindung Diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tubuh tenaga

kerja dari bahaya di tempat kerja. Alat pelindung diri dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman telah maximum (Depnakertrans RI, 2004).

Menurut Suma`mur (1992), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja.

Menurut Habsari (2003) langkah-langkah dalam pemilihan alat pelindung diri terdiri dari:

1. Mengumpulkan data tentang potensi bahaya yang dapat terjadi, sebagai langkah awal agar alat pelindung diri yang digunakan sesuai kebutuhan.

2. Menentukan jumlah alat pelindung diri yang akan disediakan. Dalam menentukan jumlah tergantung pada jenis alat pelindung diri yang dapat digunakan secara bergantian.

3. Memilih kualitas/mutu dari alat pelindung diri yang akan digunakan.

Alat Pelindung Diri yang telah dipilih hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Dapat memberikan perlindungan terhadap bahaya. 2. Berbobot ringan.

3. Dapat dipakai secara fleksibel (tidak membedakan jenis kelamin). 4. Tidak menimbulkan bahaya tambahan.

(32)

6. Memenuhi ketentuan dari standar yang ada. 7. Pemeliharaan mudah.

8. Penggantian suku cadang mudah. 9. Tidak membatasi gerak.

10. Rasa “tidak nyaman” tidak berlebihan. 11. Bentuknya cukup menarik.

Menurut Suardi (2005) keberhasilan penggunaan alat pelindung diri tergantung jika peralatan pelindungnya:

1. Tepat pemilihannya. 2. Digunakan secara benar.

3. Sesuai dengan situasi dan kondisi bahaya. 4. Senantiasa dipelihara.

Santosa (2004) menyatakan masalah umum alat pelindung diri terdiri atas: 1. Tidak semua alat pelindung diri melalui pengujian laboratories, sehingga tidak

diketahui derajad perlindungannya.

2. Tidak nyaman dan kadang-kadang membuat si pemakai sulit bekerja. 3. Alat pelindung diri dapat menciptakan bahaya baru.

4. Perlindungan yang diberikan alat pelindung diri sulit untuk dimonitor.

5. Kewajiban pemeliharaan alat pelindung diri dialihkan dari pihak manajemen kepekerja.

(33)

7. Kepercayaan pada alat pelindung diri akan menghambat pengembangan kontrol teknologi yang baru.

Menurut Suardi (2005) masalah pemakaian alat pelindung diri dibagi atas: 1. Sisi pekerja tidak mau memakai dengan alasan:

1. Tidak sadar/tidak mengerti, 2. Panas,

3. Sesak,

4. Tidak enak dipakai, 5. Tidak enak dipandang, 6. Berat,

7. Mengganggu pekerjaan,

8. Tidak sesuai dengan bahan yang ada,

9. Tidak ada sanksi jika tidak menggunakannya, 10.Atasan juga tidak memakai.

2. Sisi instansi

1. Ketidak mengertian dari instansi tentang alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis resiko yang ada,

(34)

2.3.2. Alat Perlindungan Pernafasan/Masker

Menurut Habsari (2003) alat pelindung diri pernafasan/masker berguna untuk melindungi pernafasan terhadap gas, uap, debu atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat bersifat racun, korosi, ataupun rangsangan.

Masker terbuat dari berbagai bahan antara kain: katun ringan, kasa, kertas sampai bahan sintesis, yang beberapa diantaranya tahan cairan. Masker yang tebuat dari katun atau kertas sangat nyaman tapi sebagai filter tidak tahan cairan dan tidak efektif.

Masker yang terbuat dari bahan sintetik dapat memberikan sedikit perlindungan dari tetesan partikel besar (> 5um) yang disebarkan lewat batuk dan bersin dari petugas pelayanan kesehatan yang berada dekat (kurang dari 1 meter) dengan pasien. Namun mereka, merasa kurang nyaman untuk memakainya karena bahan ini sukar dipakai untuk bernafas. Santoso (2004) menyatakan masalah alat pelindung diri pernafasan terdiri atas:

1. Penutup muka yang buruk dapat menimbulkan jerawat, dapat membuat rambut jadi terjepit, tidak sesuai dengan ukuran wajah, menimbulkan iritasi pada bekas luka.

2. Pemeliharaan yang tidak baik. 3. Tali pengikat longgar/lepas.

4. Tidak nyaman dalam menghirup udara. 5. Menimbulkan sesak nafas.

(35)

7. Meningkatkan beban kerja pada jantung dan hati. 8. Menghirup kembali udara yang dihembuskan. 9. Kesulitan berkomunikasi.

2.3.3. Respirator

Respirator adalah masker jenis khusus, disebut respirator partikel, yang

dianjurkan dalam situasi menyaring udara yang ditarik nafas dianggap sangat penting (umpamanya, dalam perawatan orang dengan tuberkulosis paru). Terdiri dari berlapis-lapis bahan filter yang terpasang pada muka dengan ketat.

Lebih sulit untuk bernafas melaluinya dan lebih mahal dari pada masker bedah. Efektivitas pemakaian masker khusus ternyata belum terbukti (Teitjen et.al, 1997).

Di samping terbatasnya kesuksesan program pendidikan yang ditujukan kepada perubahan perilaku pelayanan kesehatan dalam menggunakan alat pelindung diri lainnya, perlindungan utama harus terus berlanjut menjadi fokus kegiatan dimasa depan. Untuk lebih sukses, usaha untuk membuat lingkungan kerja lebih aman harus diarahkan kepada semua kader petugas pelayanan kesehatan bukan hanya dokter atau perawat.

Memperbaiki kepatuhan setelah usaha pendidikan dan perubahan perilaku dapat ditingkatkan kalau:

(36)

diperbaiki, pratik-pratik yang berbahaya segera dilenyapkan, dan para petugas secara aktif didorong untuk mencari solusi-solusi yang mudah dan murah.

2. Para penyelia secara teratur memberikan umpan balik dan menghargai perilaku yang tepat (umpamanya, cuci tangan jika kontak di antara pasien ke pasien). 3. Contoh teladan, khususnya dokter dan staf senior fakultas lainnya, secara aktif

mendukung pencegahan infeksi yang dianjurkan dan menjadi contoh/model perilaku yang tepat (Lipscomb dan Rosenstock, 1997).

Dengan membuat rekomendasi yang tepat, mudah digunakan dan dipantau akan meningkatkan kepatuhan petugas dan keamanan kerja petugas kesehatan lebih baik.

Akhirnya, karena perawat kesehatan merupakan profesi yang penting dan berguna, merupakan tanggung jawab dari semua profesi perawat kesehatan untuk membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman untuk pasien dan para pekerjanya.

2.3.4. Tujuan dan Manfaat Penggunaan APD

Pemakaian APD bertujuan untuk melindungi tenaga kerja dan juga merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja oleh bahaya potensial pada suatu perusahaan yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan (Suma`mur, 1986).

(37)

1. Perusahaan

1. Meningkatkan keuntungan karena hasil produksi dapat terjamin baik jumlah maupun mutunya.

2. Penghematan biaya pengobatan serta pemeliharaan kesehatan para tenaga kerja.

3. Menghindari terbuangnya jam kerja akibat absentisme tenaga kerja, sehingga dapat tercapai produktivitas yang tinggi dengan efisiensi yang optimal.

2. Tenaga Kerja

1. Menghindari diri dari resiko pekerjaan seperti kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

2. Memberi perbaikan kesejahteraan pada tenaga kerja sebagai akibat adanya keuntungan perusahaan.

3. Masyarakat dan Pemerintah

1. Meningkatkan hasil produksi dan menguntungkan perekonomian negara dan jaminan yang memuaskan bagi masyarakat.

2. Menjamin kesejahteraan masyarakat tenaga kerja, berarti melindungi sebagian penduduk Indonesia dan membantu usaha-usaha kesehatan Pemerintah.

3. Kesejahteraan tenaga kerja, berarti dapat menjamin kesejahteraan keluarga secara langsung.

(38)

5. Kebiasaan hidup sehat diperusahaan akan membantu penerapannya dalam pembinaan kesehatan keluarga yang akan membawa hasil bagi usaha kesehatan masyarakat.

2.4. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemakaian APD 2.4.1. Faktor Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan, materi pendidikan kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan tingkah laku (tujuan). Karena pendidikan itu adalah suatu proses maka dengan sendirinya mempunyai masukan dan keluaran. Masukan proses pendidikan adalah sasaran pendidikan atau anak didik yang mempunyai berbagai karakteristik, sedangkan keluaran proses pendidikan adalah tenaga atau lulusan yang mempunyai kwalifikasi tertentu sesuai dengan tujuan pendidikan institusi yang bersangkutan (Notoatmojo, 1992).

Faktor pendidikan adalah salah satu hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan produktivitas kerja yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar kemungkinan tenaga kerja dapat bekerja dan melaksanakan pekerjaannya (Ravianto, 1990).

(39)

kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja, dunia pendidikan lebih diarahkan untuk mempersiapkan tenaga-tenaga siap latih.

2.4.2. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmojo, 2003).

Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan memiliki beberapa tingkatan antara lain:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk mengingat sesuatu hal dengan baik seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan yang diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara garis benar yang telah dipelajari.

3. Penerapan (Aplication)

(40)

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun, dapat menyelesaikan dan sebagainya terdapat suatu materi atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin diketahui atau kita ukur, dengan cara kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan pengetahuan menurut Notoatmojo (2003) antara lain:

(41)

2. Pendidikan, 3. Pekerjaan, 4. Pengalaman, 5. Status Ekonomi, 6. Informasi, 7. Media Masa.

2.4.3. Motivasi

Motivasi adalah suatu dorongan atau kehendak yang didasari oleh adanya kebutuhan tertentu sehingga mengarahkan pada perilaku peningkatan kinerja. Teori mengenai motivasi dengan rancangan hirarki kebutuhan manusia, dinyatakan oleh A. Maslow dalam teorinya.

Maslow memandang motivasi manusia dalam jenjang lima kebutuhan yang merentang dari kebutuhan fisiologis sebagai kebutuhan dasar yang meningkat ke kebutuhan rasa aman, kebutuhan rasa memiliki, kebutuhan penghargaan sampai yang tertinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Setiap kebutuhan harus sekurang-kurangnya dipenuhi sebelum keinginan individu memuaskan kebutuhan pada tingkat berikut yang lebih tinggi. Dengan motivasi yang meningkat maka kinerja akan meningkat. Motivasi merupakan dorongan yang didasari oleh adanya kebutuhan tertentu, kinerja akan optimal jika kebutuhan terpenuhi (Maslow, 1989).

(42)

mengerjakan sesuatu karena uangnya banyak, meskipun kadang-kadang pekerjaan itu secara hukum tidak benar. Ada juga yang termotivasi karena rasa aman atau keselamatan meskipun bekerja dengan jarak jauh, bahkan ada orang termotivasi bekerja karena pekerjaan tersebut memberikan prestise yang tinggi walaupun gajinya sangat kecil (Ishak & Tanjung, 2003).

Menurut Hasibuan (2001), motivasi berasal dari kata movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Motivasi merupakan hal yang sangat penting karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Motivasi semakin penting karena manejer membagikan pekerjaan bawahannya untuk dikerjakan dengan baik dan terintegrasi kepada tujuan yang diinginkan.

2.4.4. Beban Kerja

(43)

Para praktisi yang membagi pekerjaan menjadi bagian-bagian kecil menyebutkan adanya keuntungan khusus dalam melakukan aktivitas pekerjaan karena mereka dapat melaksanakan pekerjaan tersebut dengan lebih fokus pada bidangnya, seringkali mereka menyebut keuntungan spesialisasi. Dua keuntungan pokok diantaranya, yaitu:

1. Jika suatu pekerjaan terdiri atas sedikit tugas akan lebih mudah melatih pengganti pegawai yang dipecat, dialih tugaskan atau berhalangan hadir, usaha paling minimum untuk menghasilkan biaya pelatihan yang rendah. 2. Jika suatu pekerjaan hanya terdiri dari sejumlah tugas terbatas, karyawannya

dapat menjadi ahli dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Tingkat keahlian karyawan yang tinggi menghasilkan mutu keluaran yang lebih baik (Gibson, 1985).

(44)

2.5. Kerangka Konsep

Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

PMO Keluarga Penderita

- Pendidikan - Pengetahuan - Motivasi - Beban kerja

Pemakaian

APD

(45)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat cross-sectional (potong lintang) dengan maksud ingin melihat keadaan dari hubungan sesaat antara variabel independen dan variabel dependen yaitu ingin melihat penggunaan alat pelindung diri oleh pengawas menelan obat penderita tuberkulosis.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan Kota Pekanbaru tahun 2008, yang terdiri dari 12 kecamatan yang ada di Kota Pekanbaru.

3.2.2. Waktu Penelitian

(46)

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga penderita TBC yang menjadi Pengawas Minum Obat (PMO) dari 12 kecamatan yang berada di Kota Pekanbaru yaitu sebanyak 306 orang.

3.3.2. Sampel

Untuk mendapatkan jumlah sampel digunakan rumus: n = { Z2 ( 1 – /2 ) x P ( 1 – p ) }

d2 Dimana :

N = jumlah sampel

P = estimasi proporsi sampel yang memakai APD = 0,5 1-P = estimasi proporsi yang tidak memakai APD ( 1-0,5 ) Z = deviasi normal standar, digunakan 1,96

d = posisi yang diukur dalam setengah dari interval kepercayaan yang diinginkan.

(47)

dengan demikian perhitungan sampel adalah sebagai berikut: n = { (1,96)2 x (0,5) (0,5) }

(0,1)2 = ( 3,8416 x 0,25 )

0,01 = 0,9604 0,01 = 96

Sampel yang diperlukan sebesar 96 responden

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan menyebarkan kuesioner dengan cara mengajukan pertanyaan yang diisi langsung oleh responden yang dijadikan objek penelitian.

3.4.2. Data Sekunder

(48)

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 3.1. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel Definisi

Operasional

Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Pendidikan Tingkat pendidikan formal terakhir

3. Motivasi Adanya dorongan

untuk

Kuesioner Tinggi bila skor ≥ Median Rendah bila skor < Median

Ordinal

4. Beban Kerja Hambatan kerja dan tugas tambahan selain tugas-tugas rutin rumah tangga

Wawancara Kuesioner 1. Ya

2. Tidak

Ordinal

3.6. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan penelitian setelah pengumpulan data (Hastomo, 2000). Pengolahan data dilakukan melalui empat tahapan, yaitu:

(49)

Merupakan proses pengecekan isian atau kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten.

b) Coding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi berbentuk data atau bilangan. Kegunaan coding adalah untuk mempermudah pada saat analisis dan juga mempercepat proses entri data.

c) Entri Data

Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar serta setelah melewati pengkodean, langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat dianalisis dengan cara entri data dari kuesioner kepaket program komputer.

d) Cleaning

Cleaning (pembersih data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang

sudah dientri apakah ada kesalahan atau tidak.

Data yang telah terkumpul dientri diolah dengan menggunakan program SPSS untuk menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerja PMO penderita tuberkulosis oleh pekerja kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Kota Pekanbaru.

3.7. Analisis Data

Dalam penelitian ini dilakukan analisis data univariat, bivariat. Analisis

univariat adalah untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik

(50)

square yaitu: untuk mengetahui hubungan antara kinerja PMO dengan faktor yang

berhubungan dengan pekerja PMO (pendidikan, pengetahuan motivasi, dan beban kerja).

Untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan 0,05 sehingga:

(51)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Riau saat ini terdiri dari tiga kota dan 12 kabupaten yang mempunyai luas wilayah 329.867.01 Km2 yang terdiri dari dataran seluas 94.501.61 Km2 (28,87%) dan lautan 235.305.40 Km2 (71,13%), memiliki geografis strategis karena berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia serta berbatasan tidak langsung dengan beberapa Negara Asean, selain itu juga Provinsi Riau berada di lintasan perdagangan Internasional mulai dari Selat Malaka sampai ke Laut Cina Selatan.

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 Provinsi Riau mempunyai penduduk sejumlah 4.733.948 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 3,79% per tahun di mana jumlah penduduk terbanyak adalah di Kota Pekanbaru.

Kota Pekanbaru mempunyai luas wilayah 632,26 km2, terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan. Penduduk Kota Pekanbaru tahun 2007 berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2007 adalah berjumlah lebih kurang 771.429 jiwa, naik 3,8% setiap tahunnya, dengan kepadatan penduduk 1.220 km2. Kota Pekanbaru terletak antara garis 101.14! sampai 101.34! Bujur timur dan 0.25! sampai 0.45! Lintang Utara dengan batas wilayah sebagai berikut:

(52)

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar, 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kebupaten Kampar,

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Siak.

Kota Pekanbaru terdiri dari 12 kecamatan dan 17 puskesmas yang merupakan unit pelaksana pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan, dan sebagai pusat kesehatan masyarakat khususnya pelayanan penderita tuberkulosis, dari 17 Puskesmas yang ada di Kota Pekanbaru kasus tuberkulosis cukup tinggi, pada tahun 2007 berjumlah 306 kasus dan PMO yang BTA + berjumlah 15 orang, hal ini disebabkan belum adanya kebijakan dari Pemerintah Daerah setempat untuk memfasilitasi pemakaian APD dalam usaha pencegahan penyakit menular. PMO kadang kala menggunakan sapu tangan sebagai penutup mulut pada saat mengawasi penderita TBC minum obat.

4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dimaksudkan untuk mendeskripsikan masing-masing

variabel dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.

(53)

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden PMO Penderita Tuberkulosis di Kota Pekanbaru Tahun 2008

Variabel n %

Dari Tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa dari 96 responden yang menjadi PMO berpendidikan Rendah sebanyak 51 responden (53,1%) dan berpendidikan Tinggi sebanyak 45 responden (46,9%).

Pengetahuan responden yang menjadi PMO dapat dilihat bahwa 96 responden mayoritas berpengetahuan rendah yaitu 33 responden (34,4%), sedangkan yang berpengetahuan tinggi sebanyak 63 responden (65,6)

(54)

Beban kerja responden yang menjadi PMO dapat dilihat bahwa dari 96 responden yang memiliki beban kerja ringan yaitu 43 responden (44,8%) dan beban kerja berat 53 responden (39,6%).

4.3. Analisis Bivariat

Untuk melihat hubungan antara variabel independen dan variabel dependen maka dilakukan analisis bivariat pada tabel silang dengan menggunakan analisis statistik chisquare. Pada analisis bivariat ini akan dihubungkan variabel independen (pendidikan, pengetahuan, motivasi dan beban kerja) dengan variabel dependen yaitu penggunaan APD oleh pekerja kesehatan.

4.3.1. Hubungan Pendidikan dengan PMO yang Menggunakan APD

Hubungan pendidikan PMO oleh pekerja kesehatan dapat dilihat dari tabel di bawah ini dari 51 PMO penderita TB yang berpendidikan Rendah yang menggunakan APD sebesarr 22 (43,1%), sedangkan dari 45 PMO berpendidikan Tinggi yang menggunakan APD sebanyak 46 (46,7%).

(55)

Tabel 4.2. Distribusi Responden Menurut Pendidikan PMO Menggunakan APD di Kota Pekanbaru Tahun 2008

PMO Menggunakan APD

Ya Tidak Total

No Pendidikan

Jml % Jml % Jml %

1 Rendah 22 43,1 29 56,9 51 100

2 Tinggi 21 46,7 24 53,3 45 100

N=96 X2=0,729 p=0,12

4.3.2. Hubungan Pengetahuan dengan PMO Menggunakan APD

Hubungan pengetahuan PMO menggunakan APD dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Hasil analisis didapatkan bahwa dari 63 PMO yang mempunyai pengetahuan tinggi selalu menggunakan APD sebesar 28 (44,4%), sedangkan 33 PMO yang mempunyai pengetahuan rendah menggunakan APD sebesar 15 (45,5 %).

(56)

Tabel 4.3. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan PMO Menggunakan APD di Kota Pekanbaru Tahun 2008

PMO Menggunakan APD

Ya Tidak Total No Pengetahuan

Jml % Jml % Jml %

1 Rendah 15 45,5 18 54,4 33 100

2 Tinggi 28 44,4 36 55,6 63 100

3 Total 43 44,8 53 55,2 96 100

N=96 X2=0,925 p=0,09

4.3.3. Hubungan Motivasi PMO Menggunakan APD Penderita TB

Tabel di bawah ini memperlihatkan hubungan motivasi PMO menggunakan APD. Dari tabel silang dapat dilihat bahwa 36 PMO yang bermotivasi tinggi menggunakan APD Sebanyak 15 (41,7%). Sedangkan 60 PMO yang bermotivasi rendah menggunakan APD sebanyak 28 (46,7%).

(57)

Tabel 4.4. Distribusi Responden Menurut Motivasi PMO Menggunakan APD di Kota Pekanbaru Tahun 2008

PMO Menggunakan APD

4.3.4. Hubungan Beban Kerja PMO Menggunakan APD

Tabel di bawah ini memperlihatkan hubungan beban kerja PMO menggunakan APD. Dari 53 PMO yang mempunyai beban kerja berat tidak menggunakan APD.

Hasil uji chi square diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara PMO yang menggunakan APD mempunyai beban kerja ringan dan PMO menggunakan APD dengan beban kerja berat dengan hasil (p=0,000<0,05).

Tabel 4.5. Distribusi Responden Menurut Beban Kerja PMO Menggunakan APD di Kota Pekanbaru Tahun 2008

(58)

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Pendidikan dengan PMO Penderita Tuberkulosis Menggunakan APD

Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan yaitu sasaran pendidikan, keluaran yaitu suatu bentuk perilaku baru atau kemampuan baru dari sasaran pendidikan (Notoatmojo, 2002), semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi pola produktivitas kerjanya (Simanjuntak, 1985), pendidikan juga merupakan indikator yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap mampu menduduki jabatan tertentu (Hasibuan, 2001).

Kemampuan berpikir seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan, hubungan ini sesuai dengan teori Bloom, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah untuk menerima dan menangkap informasi yang dibutuhkan (Suciati, 2001).

(59)

hubungan variabel pendidikan dengan PMO menggunakan APD tidak terbukti dengan nilai p =0,12 artinya pendidikan bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan penggunaan APD dalam melakukan pengawasan menelan obat.

Tingkat pendidikan dalam melaksanakan tugas sebagai PMO penderita TBC menggunakan APD kurang mempunyai pengaruh, karena tugas sebagai PMO penderita TBC tidak memerlukan keahlian yang spesifik. Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mencerna dan memahami suatu masalah, selanjutnya pemahaman dalam membentuk sikap seseorang akan dipengaruhi oleh lingkungannya dan menghasilkan suatu perilaku (tindakan) nyata sebagai suatu reaksi, tindakan tersebut dapat berupa tindakan baik atau tindakan kurang baik. Hasil penelitian ini sependapat dengan penelitian Siahaan, R (2008) melaporkan tingkat pendidikan responden yang rendah menyebabkan kurangnya pengetahuan, hasil penelitian ini tidak sependapat dengan Panjaitan (2004) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara tingkat pendidikan lebih tinggi dan lebih rendah, namun secara proposional ada kecenderungan PMO yang berpendidikan yang lebih tinggi mempunyai perilaku lebih baik.

(60)

5.2. Hubungan Pengetahuan dengan PMO Penderita Tuberkulosis Menggunakan APD

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan, tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dan lebih tepat dari pada tindakan yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmojo, 2000).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap satu objek tersebut. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, pengetahuan biasanya sejalan dengan tingkat pendidikan. Pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi pengetahuan sehingga akan lebih baik. Akan tetapi pendidikan seseorang yang rendah belum tentu pengetahuan rendah, karena informasi yang diperoleh tidak hanya melalui apa yang dilihat dan didengar dengan berbagai media masa.

Dalam penelitian ini peneliti membagi 2 kategori pengetahuan PMO yaitu: pengetahuan baik jika PMO mampu menjawab pertanyaan dengan benar >50%, dan pengetahuan kurang jika PMO mampu menjawab dengan benar <50%.

(61)

artinya semakin tinggi pengetahuan PMO maka semakin disiplin PMO menggunakan APD.

Pengetahuan menurut peneliti tidak hanya diperoleh dari pendidikan formalnya, tetapi dapat juga diperoleh dari pengalaman, dengan demikian semakin banyak memperoleh pengetahuan tentang APD maka semakin besar kemungkinan untuk menggunakan APD.

5.3. Hubungan Motivasi dengan PMO Menggunakan APD

Motivasi merupakan dorongan yang timbul pada diri seseorang untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan (Wahyu Sumijo, 2000). Motivasi akan menimbulkan keinginan di dalam diri individu yang mendorong seseorang untuk bertindak, dengan motivasi kita menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap atau di dalam diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku (Gibson, 1997).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan variabel motivasi, responden yang motivasi rendah 46,7% menggunakan APD, sedangkan responden yang motivasi tinggi 41,7% menggunakan APD, hasil uji chi squaret diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan PMO yang menggunakan

APD p = 0,22, dengan demikian pada penelitian ini hipotesa adanya hubungan

(62)

berhubungan dengan kinerja perencanaan Dati II pasca pelatihan perencanaan di Provinsi Jawa Barat (Tabrani, 1994), serta motivasi juga merupakan faktor yang paling berperan terhadap kinerja bidan puskesmas di Kabupaten Garut (Retnasih, 1995).

Motivasi merupakan suatu hal yang berasal dari internal individu yang menimbulkan dorongan atau semangat untuk bekerja keras, pada dasarnya motivasi pekerja kesehatan menggunakan APD dapat terpacu oleh tenaga kesehatan yang ada di puskesmas yang selalu memberikan dorongan dan mengingatkan tentang pentingnya menggunakan APD.

Demikian juga perlu kiranya pimpinan Puskesmas selalu memberikan dorongan dan motivasi kepada pekerja kesehatan yang menjadi PMO penderita TBC untuk aktif menggunakan APD dalam mengawasi penderita minum obat, hal ini karena menjadi PMO merupakan pekerjaan dan tidak ada mendapatkan insentif.

(63)

5.4. Hubungan Beban Kerja dengan PMO Menggunakan APD

Beban kerja adalah volume yang dibebankan kepada seseorang pekerja dan hal ini merupakan tanggung jawab dari pekerja tersebut (Hasibuan, 2001).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan variabel beban kerja, responden yang beban kerja ringan menggunakan APD 100%, sedangkan responden yang memiliki beban kerja berat sama sekali tidak menggunakan APD, dengan demikian terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan pekerja kesehatan menggunakan APD p = 0,000. Dengan demikian hipotesis adanya hubungan antara beban kerja dengan PMO menggunakan APD terbukti, hal ini dikarenakan pekerjaan PMO bukan semata-mata hanya sebagai seorang pengawas menelan obat penderita TBC, namun banyak pekerjaan sampingan yang harus dilakukan seperti pekerjaan rumah tangga, jualan dan lain sebagainya.

Hal ini sejalan dengan penelitian Aditama (2000) bahwa salah satu faktor yang dapat menimbulkan penurunan kinerja karyawan adalah keluhan beban kerja, dan penelitian yang dilakukan Basjuni (2001) yang menyatakan ada hubungan variabel beban kerja dengan hasil kerja, hampir semua PMO mempunyai tugas rangkap, dengan adanya tugas rangkap ini maka beban kerja dengan sendirinya menjadi lebih besar.

(64)
(65)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Keluarga penderita tuberkulosis yang menjadi PMO berpendidikan tinggi sebanyak 45 orang (46,9 %), berpengetahuan tinggi sebanyak 63 orang (65,5), bermotivasi tinggi 36 orang (37,5), sedangkan yang memiliki beban kerja berat sebanyak 53 orang (55,2).

2. Berdasarkan hasil dari analisis bivariat hubungan variabel independen dengan variabel dependen PMO menggunakan APD pada penderita tuberkulosis yang mempunyai hubungan signifikan adalah beban kerja, sedangkan yang tidak mempunyai hubungan yang signifikan yaitu: pendidikan, pengetahuan dan motivasi.

6.2. Saran

1. Diharapkan PMO yang mempunyai beban kerja yang berat, dapat memikirkan kesehatan dengan menggunakan APD saat mengawasi penderita menelan obat, agar penularan kuman mycobacterium tuberkulosis dapat ditekan seminimal mungkin.

(66)

DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, Mendekatkan Pelayanan TB Kepada Masyarakat, Gerdunas Volume 12, Pekanbaru, 2007.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta. 2002.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta, 2006. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Paradikma Sehat, Jakarta, 2001. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Pengawasan K3 Lingkungan Kerja,

Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Jakarta, 2004.

Gibson, James I, et al, Organisasi dan manajemen, Prilaku, dan Proses, terjemahan Djakarsih Jilid I, Erlangga, Jakarta, 1985.

Habsari Diana, N, Penggunaan Alat Pelindung Diri Bagi Tenaga Kerja, Bunga Rampai Hiperkes & KK, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2003.

Hasibuan,SR, Manajement Sumber Daya Masyarakat, Edisi Revisi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2001.

Hidayat Alimut A Aziz, Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data, Salemba Medika, Jakarta, 2007.

Idris, Fachmi, Penanggulangan Tuberkulosis Strategi DOTS, Pengurus besar IDI, Jakarta, 2004.

Ilyas, Yaslis, Perencanaan Sumber Daya Manusia Rumah Sakit, Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM-UI, Depok, 2001.

Maslow, Motivasi dan Kepribadian, Teori Motivasi dengan Rancangan Hirarki Kebutuhan Manusia, (Terjemahan Nurul), PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1989.

(67)

Notoatmodjo, Soekidjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Notoatmojo, Soekidjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,

Salemba Medika, Jakarta, 2003.

Purwanta. Ciri-Ciri Pengawas Minum Obat yang Diharapkan oleh Penderita Tuberkulosis Paru di Daerah Urban dan Rural di Yogyakarta, Jurnal Kesehatan, September, 2005.

Santoso, Manajement Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004.

Suciati, Taksonomi Tujuan Intraksional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2001.

Sumamur, P.K, Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakan, P.T Toko Gunung Agung, Jakarta, 1981.

Suwardi Rusdi, Sistim Manajement Keselamatan dan Kesehatan Kerja, PPM, Jakarta, 2005.

Smeltzer, Suzanne, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth Volume I Edisi 8, EGC, Jakarta, 2001.

Saroso, Sulianti, Pusat Informasi Penyakit Infeksi Khusus HIV/AIDS, http:// www, infeksi.com.

Siswono, Epidemiologi Penyakit TB Paru, File://F://TBC, 2008.

Simanjuntak, Payaman I, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Lembaga Penerbit FKUI, Jakarta, 1989.

Teitjen, Pedoman Pencegahan Infeksi, YBP-SP, Jakarta, 2004.

Wahyuningsih, Analisis Kinerja Nakes Sebagai Pengawasan Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2004, Tesis, FKM-UI, Jakarta, 2004.

(68)

__________, Panduan Kader dalam Penanggulangan TBC, Ditjen PPM & PLP, Depkes RI, Jakarta, 2001.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Variabel dan Definisi Operasional
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden PMO Penderita Tuberkulosis  di Kota Pekanbaru Tahun 2008
Tabel 4.2. Distribusi Responden Menurut Pendidikan PMO Menggunakan APD di Kota Pekanbaru Tahun 2008
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan jurnal (Ramadani, 2016) yang menyatakan bahwa tingginya dosis yang diberikan kepada serangga sasaran, menyebabkan kemungkinan kontak antara

Berdasarkan analisis statistika deskriptif didapatkan informasi bahwa sebanyak 52% pasien kanker payudara pada penelitian ini mengalami tipe respon objektif Stable Disease

Pada penelitian ini biji kedelai hitam varietas Dentam 1 memiliki kadar antosianin sebesar 609,5 mg/100 g kemudian kadar antosianin meningkat setelah perlakuan

[r]

Pada penganalisisan tersebut diperlukan pemahaman terhadap struktur kalimat, kelas kata dan jenis frase dalam bahasa Jerman.Penelitian ini bertujuan untuk

Kualitas dari aspek medis harus adekuat (tidak lebih dan tidak kurang) Sementara peran swasta for profit ada kecenderungan untuk memberi layanan berlebihan (untuk

Hasil penelitian pada lahan masam di Nunukan, Kalimantan Utara menunjukan adanya dua calon varietas yang dapat direkomendasikan sebagai benih alternatif untuk