TRAKEOSTOMI
Oleh
dr. FERRYAN SOFYAN., M.Kes., Sp-THT-KL
NIP : 198109142009121002
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TRAKEOSTOMI 2
2.1 Terminologi 2
2.2 Sejarah Trakeostomi 3
2.3 Indikasi dan Kontraindikasi 4
2.4 Keuntungan dan Kerugian Trakeostomi 11
2.5 Jenis-Jenis Trakeostomi 12
2.6 Teknik operasi 14
2.7 Perawatan Post Trakeostomi 26
2.8 Komplikasi Trakeostomi 29
BAB III TRAKEOSTOMI PADA ANAK 35
3.1 Anatomi 35
3.2 Teknik Operasi 36
3.3 Komplikasi 38
3.4 Dekanulasi 42
3.5 Pemilihan Tube Trakeostomi 43
3.6 Perawatan post operatif 44
3.7 Tindakan emergensi lain OSNA 48
BAB IV KESIMPULAN 52
BAB I
PENDAHULUAN
Keadaan Kegawat daruratan jalan nafas dapat menimbulkan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, oleh karena itu perlu dilakukan penilaian
dan penanganan yang cepat, tepat dan benar. Pada kasus-kasus yang dapat
menimbulkan gangguan jalan nafas sehingga menjadi kegawat daruratan jalan
nafas dapat terjadi kapan dan dimana saja. Oleh karena itu setiap dokter
diharapkan, terutama dokter spesialis THT-KL dapat mengenal serta tanda-tanda
kegawatdaruratan jalan nafas , dan dapat melakukan penatalaksanaan yang cepat,
tepat dan benar, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.
Trakheostomi merupakan prosedur untuk memasang suatu kanula kelumen
Trakhea melalui insisi kulit diatas trakea, dan menyisihkan jaringan pretrakhealis
sehingga bisa melihat secara langsung pada trachea. Bisa juga disebut sebagai
membuat Stoma pada trachea dan biasanya bersifat temporer. Ada pendapat
menyatakan synonim dari Trakheotomi. Akan tetapi ada juga yang menyatakan
Trakheotomi adalah tindakan menyayat atau membuat lubang pada trachea.
Tindakan Trakheostomi selain untuk menyelamatkan jiwa pasien,
ternyata dapat juga untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Dengan
Trakheostomi diharapkan oksigenasi kejaringan akan lebih baik, sehingga pasien
menjadi lebih tenang dan dapat melanjutkan pengobatan selanjutnya.
Keberhasilan tindakan Trakheostomi ditentukan oleh berbagai faktor
seperti persiapan preoperative, prosedur intra operative dan perawatan pasca
operative yang baik dan benar sehingga diharapkan berhasil.
Diharapkan dengan tulisan ini, dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang Trakheostomi sehingga para dokter khususnya dokter spesialis THT-KL
dapat melakukan tindakan Trakheostomi dengan terampil, aman dan benar
sehingga dapat menghindari kematian akibat gagalnya ventilasi serta diharapkan
BAB II
TRAKEOSTOMI
2.1. TERMINOLOGI1,2,3
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan pada keadaan kesulitan (ob
struksi) jalan nafas atas dimana mempunyai variasi teknik operasinya yang
tujuannya membuka trakea untuk melancarkan passage udara termasuk disini
laryngotomy, cricothyroidotomy (membuka membran krikoid), trakeotomi dan
trakeostomi. Trakeostomi merupakan tindakan yang sering dilakukan sehari-hari
pada pasien dengan sumbatan jalan nafas.Untuk melakukan Trakeostomi seorang
tidak hanya harus tahu anatomi secara detail tapi juga harus mengusai tindakan
preoperative,teknik operasi dan perawatan pasca operative .
Trakeostomi atau trakeotomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk
membuat lubang melalui bagian depan leher yang menembus ke dalam trakea.
Dalam arti yang lebih luas trakeotomi adalah pembuatan lubang pada trakea yang
bersifat sementara tanpa atau dengan diikuti pemasangan kanul. Lubang tersebut
ditutup atau menutup kembali setelah kanul diangkat. Trakeostomi sebenarnya
merupakan tindakan membuat lubang (stoma) yang selanjutnya diikuti dengan
pemasangan kanul sehingga udara dapat masuk ke dalam paru-paru.
Trakeostomi permanen adalah tindakan membuat lubang permanen dengan
menjahit kulit sekitar stoma pada mukosa trakea. Trakeostomi elektif dilakukan
bila diduga akan timbul problem pernafasan pada tumor laring, tumor pangkal
lidah, tumor tonsil, pasca operasi kepala / torak atau pada pasien dengan
insufisiensi paru-paru kronik. Trakestomi teurapetik diindikasikan untuk setip
kasus insufisiensi respirasi karena hipoventilasi alveoli untuk mengeluarkan sekret
atau untuk alat bantu respirasi mekanis (respirator). Trakeostomi emergensi
biasanya dilakukan untuk mengatasi keadaan gawatdarurat sehingga persiapan
2.2. SEJARAH TRAKEOSTOMI 1,2,7,8
Tindakan bedah trakeostomi memiliki sejarah panjang. Buku suci agama
Hindu Rig veda yang ditulis antara tahun 2000 dan 1000 SM menjelaskan suatu
tindakan yang dapat menyatukan kembali pipa udara bila rawan leher terpotong.
1. Era pertama
Ahli sejarah menganggap Asclepiades yang lahir sekitar 125 SM orang
yang pertama kali melakukan operasi ini walau tidak ada catatan mengenai
keberhasilan tindakan ini. Brasalova (1500 – 1570 M) mengemukakan
penanganan bedah yang berhasil pada angina Ludwig pada tahun 1546.
2. Era kedua (1546 – 1833)
Trousseau dan Bretonneau mempopulerkan operasi ini di Perancis.
Mereka melakukannya untuk menangani kasus difteria dengan angka keberhasilan
25 % (angka penyembuhan yang tinggi pada waktu itu).
3. Era ketiga
Pada tahun 1921, Chevalier Jackson mengemukakan teknik modern dan
menentang insisi kartilago krikoid atau cincin trakea pertama. Teknik ini
mengurangi komplikasi yang tinggi akibat stenosis subglotis iatrogenik. Pada era
ini, indikasi untuk trakeostomi hampir eksklusif untuk menghilangkan sumbatan
jalan nafas bagian atas.
4. Era keempat
Dimulai tahun 1932 ketika Wilson mengusulkan bahwa koreksi jalan nafas
dapat dilakukan pada kasus-kasus paralysis pernafasan yang sulit, kususnya
poliomyelitis. Galloway menambahkan indikasi trakeostomi seperti cedera kepala,
dada yang berat, intoksikasi barbiturat dan kontrol jalan nafas pasca bedah. Pada
era ini lahirlah ungkapan : “Jika anda mempertimbangkan trakeostomi,maka
lakukanlah, dan pepatah ini masih oleh sebagian dokter untuk menghindari
trakeostomi pada saat kritis”.
Sejak awal tahun 1960-an kecenderungan untuk melakukan trakeostomi
guna memintas sumbatan dan mengatasi akumulasi secret atau kegagalan ventilasi
telah menjadi lebih kompetitif, di mana perawatan yang lebih baik termasuk
penghisapan sekret trakea yang sering serta pemakaian udara yang lembab dan
kanul baru yang dibuat dari plastik guna mengurang pembentukan keropeng,
dengan demikian tidak lagi memerlukan penggantian kanul yang sering.
Kecepatan intubasi dan kemudahan ekstubasi serta dapat dihindari komplikasi
trakeostomi membuat teknik ini menarik dan berangsur-angsur telah menggeser
kedudukan indikasi trakeostomi.
Meskipun tindakan trakeostomi sering dipandang negatif sebab dipercaya
insisi masuk ket kartilago rakea susah sembuh tapi cara ini mempunyai manfaat
pada pasien.
2.3. INDIKASI DAN KONTRA INDIKASI
2.3.1. INDIKASI 1
Secara garis besar terdapat 4 (empat) dasar indikasi untuk melakukan
tindakan trakeostomi, yaitu pada :
Obstruksi saluran nafas bagian atas
Insufisiensi ventilasi akibat penumpukan secret
Insufisiensi respirasi mekanik
Tindakan elektif
Secara lebih terperinci indikasi dalam melakukan tindakan trakeostomi
adalah sebagai berikut :
2.3.1.1. Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA) 1,6,7
Obstruksi laring merupakan bagian dari obstruksi saluran nafas atas yang
merupakan keadaan kedaruratan medis, dimana dapat disebabkan oleh berbagai
etiologi dan dengan penanganan yang berbeda. Tindakan trakeostomi terutama
dilakukan dalam usaha untuk mencegah terjadinya asfiksia yang disebabkan oleh
obstruksi laring terutama yang menyebabkan penyempitan rima glottis.
Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan pada saat terjadi suatu
keadaan kegawatan jalan nafas yang disebabkan oleh OSNA, yaitu :
a. Prosedur yang digunakan untuk mengontrol jalan nafas harus bersifat
b. Level terendah dari suatu obstruksi harus ditentukan, sehingga kontrol
jalan nafas yang dilakukan harus menjamin patensi jalan nafas di bawah
level tersebut.
c. Masalah yang berhubungan dengan keadaan OSNA biasanya berhubungan
dengan masalah medis yang lain. Misalnya, seorang dokter harus waspada
akan kemungkinan terjadinya trauma servikal pada pasien dengan trauma
multipel. Pada kasus OSNA yang disebabkan oleh proses infeksi, harus
diperhatikan mengenai kemungkinan terjadinya sepsis dan penurunan
fungsi paru. Meskipun penanganan jalan nafas merupakan masalah yang
mendesak yang harus diatai, namun faktor-faktor yang menyertai keadaan
tersebut, haruslah diperhatikan dalam penaganan pasien secara
menyeluruh.
Gejala yang timbul tergantung pada tingkat obstruksi yang ada, lokasi dan
penyebabnya. Meskipun berbeda penyebab, namun menampakkan satu gejala
utama yang sama yaitu adanya stridor inspirasi atau ekspirasi. Stridor adalah suatu
pernafasan yang kasar, bernada tinggi dan menunjukkan adanya penyempitan
saluran pernafasan atas. Kadang-kadang sifat stridor (inspirasi / ekspirasi) dapat
memberikan petunjuk tentang lokasi patologi yang menyebabkan obstruksi.
Tanda dan gejala klinis yang menunjukkan adanya suatu kelainan
obstruksi laring adalah
a. Sesak nafas (dyspneu)
Tingkat sesak nafas tergantung dari derajat obstruksi. Semakin besar
obstruksi maka akan semakin sesak.
b. Serak
Serak terjadi dikarenakan perubahan minimal dari kontur pita suara yang
normal. Hal ini merupakan tanda adanya fungsi vibrasi yang abnormal dari
pita suara. Hal ini dapat disebabkan oleh trauma, termasuk ke dalamnya
paralaisis saraf, robekan mukosa atau edema.
c. Stridor
Stridor didefinisikan sebagai suara gaduh pernafasan. Berdasarakan
Stridor inspirasi timbul bila obstruksi terjadi pada tingkat pita suara sejati atau
daerah tepat dibawahnya, sedangkan bila terjadi obstruksi pada daerah
subglotis (antara pita suara sejati dengan batas bawah kartilago krikoid) maka
yang terjadi adalah stridor inspiratoir dan ekspiratoir.
Derajat stridor berhubungan tidak hanya dengan persentasi obstruksi jalan
nafas, tetapi juga berhubungan dengan kecepatan aliran udara melewati lesi
obstruksi. Akan tetapi, stridor bukanlah satu-satunya faktor yang dapat
memprediksi atau sebagai indikator derajat obstruksi.
d. Retraksi otot-otot pernafasan tambahan
Penderita yang bernafas melawan obstruksi saluran pernafasan parsial
secara otomatis akan menggunakan otot-otot pernafasan tambahan.
Peregangan otot-otot leher akan menyebabkan tertariknya jaringan lunak di
daerah supraklavikula ke arah dalam pada setiap inspirasi. Pada penderita
yang lebih muda, terjadi retraksi sternum dan indentasi celah interkostalis
karena berusaha mengembangkan toraks untuk menghasilkan inspirasi negatif.
Jelas terdapat retraksi subkosta terutama pada bayi dan anak kecil.
d. Gejala umum lainnya
Pasien menjadi gelisah dan cemas akibat terjadinya hipoksia. Denyut nadi
akan meningkat (takikardi), dimana pada anak kecil takikardi merupakan
petunjuk terbaik bagi derajat hipoksia. Denyut nadi yang lebih dari 160 kali
per menit menggambarkan diperlukannya intubasi dan oksigenasi. Pada
pemeriksaan gas darah arteri memperlihatkan retensi karbondioksida atau
perubahan dalam pH arteri, tetapi sering hal ini angkanya normal.
Pada obstruksi laring lebih lanjut penderita menjadi kelelahan dan stridor
akan membaik karena usaha utuk bernafas menjadi menurun, pernafasan
menjadi lambat dan teratur untuk menghindari kolaps saluran nafas. Biasanya
penderita mengangkat dagu ke atas dan ke depan serta membuka mulut
lebar-lebar. Penampilan penderita akan menjadi pucat dan keabu-abuan akibat
sianosis.
Untuk menentukan tindakan yang akan diambil pada obstruksi laring
* Menurut PAPARELLA
Grade I : Terlihat adanya retraksi suprasternal, supraklavikular, ruang
interkostal dan epigastrium.
Grade II : Grade I + stridor inspiratoir.
Grade III : Grade II + rasa gelisah, disorientasi, cemas yang menjurus ke
komatus.
Grade IV : Grade III + pucat lalu sianosis.
Grade V : Grade IV + rasa tercekik.
Grade VI : Grade V + kelelahan dan kehabisan tenaga.
* Menurut JACKSON
Stadium I : Retraksi suprasternal ringan dan penderita dalam keadaan
tenang.
Stadium II : Retraksi pada suprasternal lebih dalam disertai retraksi
epigastrium dan penderita tampak mulai gelisah
Stadium III : Retraksi pada suprasternal, supra dan infraklavikular, interkostal
dan penderita lebih gelisah.
Stadium IV : Stadium III disertai pucat dan tampak cemas, frekuensi
pernafasan makin cepat yang kemudian semakin melambat dan
akhirnya berhenti.
Tindakan trakeostomi harus segera diambil bila tingkatan obstruksi sampai
pada stadium II dan III atau saat ini belum obstruksi / sesak tetapi dalam
perjalananya penyakit kelak akan ada obstruksi maka dipertimbangkan untuk
melakukan tindakan trakeostomi
Secara umum penyebab obstruksi pada laring dibagi menjadi :
I. Kelainan congenital :
a. Supraglotik :
- Laringomalasia
- kista laring
b. Glotik :
- Web dan atresia
- Posterior laryngeal cleft
- Cri- du – chat syndrome
c. Subglotik :
- Stenosis subglotik kongenital
- Hemangioma subglotik
2. Infeksi dan Inflamasi :
a. Laringitis akut : - non spesifik : Epiglotitis, Laringeotrakheobronkhitis
- spesifik : Diphteri laring, herpes laring
b. Laringitis kronis : - non spesifik : Amiloidosis laring
- spesifik : Tuberkulosis, sarcoidosis, siphilis,
skleroma
c. Edema laring non spesifik : Allergic angioneurotik edema, Reinke’s edema,
perikondritis laring
3. Neoplasma
- Tumor jinak : Hemangioma, papilloma,
- Tumor ganas : Karsinoma supra glotis, glotis, dan subglotis
4. Trauma : iatrogenik, trauma tumpul,
5. Lain – lain :
a. benda asing
b. paralisis pita suara
2.3.1.2. Timbunan sekret dari cabang distal trakeobronkial 1,6,7
Situasi klinis mungkin disertai dengan infeksi, kegagalan jantung
kongestif, edema pulmona, penyakit paru kronis atau penyakit bulbar sekunder
dari iskemia serebrovaskular atau stroke. Adanya akumulasi sekret di saluran
nafas bawah akan meningkatkan ketidakmampuan difusi udara di alveoli. Adanya
trakheostomi dapat memungkinkan sekret diaspirasi sesuai kebutuhan dengan efek
samping minimal kepada pasien.
Kondisi klinis yang dapat menimbulkan suatu timbunan secret dari cabang
Batuk yang tidak adekuat akibat operasi di perut atau dada
Bronkopneumoni
Muntahan dan aspirasi isi lambung
Luka bakar wajah, leher, cabang bronkus
Keadaan yang mengakibatkan koma seperti DM, uremia, septicemia dan liver failure
2.3.1.3. Kelambatan aliran O2 ke cabang distal trakeobronkial 1,6,7
Kegagalan pernafasan akut membutuhkan tindakan trakheostomi, yang
dapat terjadi dikarenakan banyak penyebab. Pada keadaan ini, kadang diperlukan
tekanan ventilasi yang positif baik bersifat intermitten atau kontinyu. Pada
kebanyakan kasus, trakheostomi dapat memberikan jalan yang paling mudah dan
paling aman untuk memberikan bantuan ventilasi, menghilangkan “dead space”
saluran nafas atas dan diikuti dengan aspirasi pulmonal yang sering dan akurat.
Keadaan klinis yang menyebabkan suatu kelambatan aliran O2 ke cabang
distal trakheobronkial antara lain :
Obstruksi paru-paru kronik (PPOM) yang di sertai hipoventilasi alveolar, seperti bronkhitis kronis, emfisema, bronkiektasi dan asma
Depresi pernafasan sekunder karena keracunan obat dan makanan
Terkenanya dinding dada akibat flail chest, patah tulang iga dan emfisema akibat tindakan pembedahan
Eklampsia
Cedera berat torak dan kepala
Emboli udara dan lemak
Koma post operasi neurosurgery
Penyakit SSP (susunan saraf pusat) seperti stroke, encephalitis, Guilan Bare Syndrome, poliomielitis dan tetanus
2.3.1.4. Tindakan elektif
Bertujuan untuk menjaga jalan nafas, ketika jalan nafas atas dalam resiko
potensial untuk terjadinya obstruksi. Banyak operasi mayor pada mulut, pharing
langsung dari trauma bedah dan melalui gangguan fisiologis mekanisme menelan.
Selain itu trakheortomi elektif juga dapat dilakukan untuk mencegah aspirasi oaral
atau dari gaster. Pada banyak pasien dengan keadaan umum yang meragukan,
terutama adanya defisiensi kardiovaskular dan pulmonal serta usia lanjut,
trakheostomi elektif sebaiknya dilakukan.
Keadaan-keadaan di atas tergantung dari berat ringannya gangguan pernafasan
yang terjadi. Selain untuk membebaskan jalan nafas, trakeostomi mempunyai
fungsi antara lain, yaitu :
Menurunkan anatomical dead space
Menurunkan resistensi aliran udara sehingga dapat meningkatkan efektivitas alveolar
Perlindungan terhadap terjadinya aspirasi
Memungkinan penderita menelan tanpa terjadi apnea
Memudahkan pembersihan trakea
Sebagai jalan untuk pemberian obat-obatandan humidifikasi saluran trakeabronkial
Menurunkan tekanan batuk yang kadang-kadang penting pada kasus neurology dan penderita post operasi
INDIKASI 2 :
1. Obtruksi jalan nafas yang disebabkan oleh
lumen trakea yang abnormal , misalnya massa pada tiroid, anomaly pembuluh darah., tumor primer trakea.
Dinding trakea yang abnormal ( trakeomalasia berat )
Glotis dan supraglotis yang abnormal (congenital anomali, .stenosis, infeksi, tumor , paralisis pita suara bilateral)
2. Trauma leher yang menyebabkan cedera berat pada laring,
pembuluh darah dan tulang hyoid.
3. Emfisema subkutaneus yang disebabkan oleh trauma, burn, infeksi
atau anafilaktif.
waktu lama ( pasien koma, pasien-pasien dengan gagal nafas )
5. Pasien dengan aspirasi kronis dan batuk dimana dirasa perlu untuk
dilakukan pulmonary toilet
6. Elective airway management pada pasien dengan kasus reseksi
onkologi kepala dan leher atau brakiterapi pada kanker kepala ,dan
leher.
7. Obtructive sleep apnea
2.3.2. KONTRA INDIKASI 7,8.
Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk tindakan trakeostomi. Untuk
kasus-kasus yang tidak emergensi misalnya pada tumor subglotis (stadium I) tindakan
trakeostomi dapat ditangguhkan . Dalam hal ini trakeostomi sebaiknya dilakukan
pada saat atau mendekati saat tindakan laringektomi untuk menghindari
kemungkinan tumor mencapai stoma.
Terdapat juga kontraindikasi relatif pada patah tulang leher yang tidak stabil dan
hematoma di leher yang luas.
2.4. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN TRAKEOSTOMI Keuntungan trakeostomi dapat disebutkan antara lain :8,10.
1. Membebaskan jalan nafas di atas stoma
2. Mengurangi dead space pada cabang trakeobronkial sehingga jumlah udara
yang tidak diperlukan pada saat inspirasidan ekspirasi pada setiap kali
bernafas akan berkurang
3. Menurunkan resistensi aliran udara sehingga dapat meningkatkan
efektivitas alveolar
4. Usaha untuk mengatasi kesulitan bernafas berkurang sehingga kerja otot
pernafasan berkurang
5. Cabang bronchial dapat mudah diaspirasi sehingga dengan demikian dapat
merupakan perlindungan terhadap terjadinya aspirasi
6. Cabang bronchial terlindung dari penghisapan isi faring
8. Sebagai jalan untuk pemberian obat-obatan dan humidifikasi saluran
trakeabronkial
9. Menurunkan tekanan batuk yang kadang-kadang penting pada kasus
neurology dan penderita post operasi
Kerugian trakeostomi :
1. Filtrasi dari udara tidak sempurna sehingga kemungkinan terjadinya infeksi
kuma lebih besar
2. Humidifikasi tidak sempurna
3. Jaringan parut yang timbul dari segi kosmetik mengganggu
4. Dapat timbul komplikasi yang tidak diinginkan seperti perdarahan,
emfisema subkutan, pneumotorak dan sebagainya
2.5. JENIS-JENIS TRAKEOSTOMI
2.5.1. Berdasarkan Letak Stoma 9
Menurut letak dibuatnya stoma, trakeostomi terbagi atas :
a. Trakeostomi letak tinggi
b. Trakeostomi letak tengah
c. Trakeostomi letak rendah
Trakeostomi letak tinggi
Insisi dan pembuatan stoma di lakukan pada cincin trakea ke I di sebelah
atas dari istmus tiroid sebagai patokan. Trakeostomi pada posisi ini mempunyai
resiko :
Kemungkinan terkena pita suara lebih besar Dapat terjadi stenosis laring
Dapat menyebabkan perikondritis krikoidea
Trakeostomi letak tengah
Insisi dan pembuatan stoma dilakukan pada bagian yang ditutupi istmus
tiroid, pada cincin trakea III – IV.
Trakeostomi letak rendah
Insisi dan pembuatan stoma dilakukan pada bagian bawah istmus tiroid.
Jenis ini jarang dilakukan oleh karena :
Merupakan daerah yang banyak pembuluh darah besar sehingga berbahaya bila tersayat pada insisi atau diseksi
Letak trakea terlalu dalam
Bila kanul lepas, sulit untuk melakukan reinersasi
Kemungkinan terjadinya emfisema mediastenum lebih besar
Ujung kanul dapat melewati karina dan melukai / menimbulkan laserasi dinding bifurkasio
Jarak antara stoma dan kulit terlalu jauh sehingga kanul mudah tertarik keluar
Pada kanul dengan balon, balon tersebut dapat melipat di sekitar stoma
Gambar 2.1. Akses untuk trakeostomi berdasarkan letak stoma tampak lateral 9
Adapted from: Scott and Brown. Otolaryngology.1987
2.5.2. Berdasarkan Waktu dan Cara Tindakan
Menurut waktu dan cara (teknik) melakukan tindakan, trakeostomi di bagi
atas :
a. Trakeostomi emergensi
b. Trakeostomi elektif
Trakeostomi Emergensi
Merupakan tindakan trakeostomi untuk mengatasi keadaan gawat darurat
dengan waktu sangat mendesak karena jika terlambat akan sangat membahayakan
jiwa penderita. Dilakukan tanpa harus harus persiapan yang lengkap dan tidak
harus di kamar operasi.
Trakeostomi Elektif
Merupakan tindakan trakeostomi terencana sehingga persiapan-persiapan
dapat dilakukan lebih sempurna termasuk dalam persiapan alat-alat dan dilakukan
di kamar operasi
Mini Trakeostomi
Merupakan prosedur trakeostomi yang dilakukan untuk memberikan akses
saluran nafas yang temporer dan suboptimal. Meliputi :
a. Trakheostomi Perkutaneus
Prosedur ini tidak dilakukan pada waktu keadaan emergensi. Prosedur ini
sebaiknya dilakukan secara elektif, pada pasien yang telah diintubasi di kamar
operasi atau di ICU.
b. Krikotiroidotomi
Prosedur tindakan ini dilakukan secara cepat dengan peralatan yang
minimal. Biasanya dikerjakan pada kondisi-kondisi yang tidak optimal dan
potensi kemungkinan terdapatnya trauma laring cukup tinggi. Bila pasien telah
stabil, harus dilakukan pemeriksaan di kamar opersai dan laring harus diperiksa
secara endoskopis. Bila ada tanda-tanda kerusakan pada laring atau jika
diperlukan ventilasi dalam jangka waktu lama, maka krikotiroidotomi harus
diganti dengan trakeostomi formal.
2.6. TEKNIK OPERASI
2.6.1. Alat-alat yang diperlukan :
a. Kanul trakea dengan ukuran sesuai ukuran penderita
c. Pisau bisturi
d. Tenakulum model Chavelier Jackson
e. Retraktor kecil 6 buah
f. Trousseau dilator
g. Klem hemostat 6 buah
h. Gunting tajam
i. Jarum kecil
j. Needle holder
k. Cut gut
l. Cairan antiseptic
2.6.2. Pemilihan Kanul (tube) Trakheostomi 10
Kanul trakeostomi terbuat dari plastik atau dari bahan metal, dengan
berbagai macam panjang dan diameter yang berbeda. Hal ini juga berperngaruh ke
dalam perawatan pasca trakeostomi. Ukuran dan jenis kanul yang dipergunakan
sangat bergantung kepada ukuran trachea dan kebutuhan individual seseorang.
Namun secara umum ukuran yang optimal adalah dipilih kanul dengan diameter
dalam yang paling lebar untuk menurunkan resistensi jalan nafas, Sedangkan
diameter luar yang dipilih haruslah yang paling kecil untuk mencegah stenosis.
(Lewis 1992). Dalam keadaan situasi gawat darurat, untuk memilih trakeostomi
tube pada anak-anak adalah dengan melihat jari kelingking anak tersebut. Ukuran
kelingking kira-kira mendekati diameter luar tuba yang dipilih.
Selain itu, kanul trachea juga tersedia dalam bentuk terdapat balon dan
tidak disertai balon. Ketika balon diinflasi, hal ini akan menutup celah antara
kanul dengan trachea, sehingga hanya aliran udara yang yang melewati lumen
kanul yang dapat sampai ke paru-paru. Kanul yang dilengkapi balon harus
dipergunakan pada pasien yang memerlukan ventilasi mekanis. Untuk pasien yang
bernafas spontan, balon mungkin diperlukan untuk diinflasi ketika pasien
menerima makanan oral, selain daripada itu balon dikempeskan. Sedangkan kanul
yang tidak dilengkapi dengan balon dipergunakan pada pasien di rumah dengan
Jenis kanul yang lain, berdasarkan ada tidaknya “fenestrasi”. Jenis kanul
ini mempunyai lubang pada dinding posterior dari kanul luar, yang
memungkinkan lewatnya aliran udara melalui saluran nafas atas dan lubang
trakeostomi. Aliran udara ini memungkinkan pasien berbicara dan menghasilkan
batuk yang lebih efektif. Kanul yang mempunyai “fenestrasi” ini seringkali
digunakan sebelum proses dekanulasi untuk menjamin seorang pasien dapat
mentoleransi nafas melalui jalan nafas normal .
Jenis-jenis kanul trakeostomi yang banyak beredar , antara lain :
1. Bahan dari metal : Holinger Jackson
2. Bahan dari polyvinyl chlorida : Shiley
Portex 3. Bahan dari silastic :
Argyle Bivona
Keuntungan memakai kanul dari polyninyl chlorida adalah lebih lentur
sehingga lebih mudah mengikuti bentik trakea dan cenderung mengumpulkan
secret lebih sedikit. Pipa silicon yang lembut penting terutama pada anak dengan
abnormalitas spinal dengan bentuk atau deviasi abnormal trakea. Kanul Holinger
dan Jackon mempunyai inner kanul dan mungkin penting pada prosedur
rekontruksi saat stent diikat dengan kawat ke pipa trakeostomi. Inner kanul
menjadikan cara untuk membersihkan lumen pipa trakeostomi untuk periode
Gambar 2.2. Jenis-jenis kanul trakeostomi 10
1. Kanul metal (Inner & outer canule) 2. Kanul buntut udang
3. Kanul dengan katub bicara 4. Kanul dengan cuff
2.5.3. Metode dan Pelaksanaannya 8,9,10
a. Pretrakeostomi
Sebelum melakukan tindakan trakeostomi, operator harus menjelaskan
kepada penderita dan keluarganya tentang tindakan yang akan dilakukan dengan
segala resikonya, sehingga penderita dan keluarganya mengerti dan menyetujui
tindakan trakeostomi tersebut.
b. Posisi penderita
Secara umum penderita penderita dalam posisi terlentang, kepala ekstensi
dengan menempatkan bantalan di bawah bahu, sehingga leher lebih menonjol dan
trakea lebih mudah dicapai. Operator berdiri di sebelah kanan penderitan asisten
di sebelah kiri. Kepala penderita dipegang sedemikian rupa sehingga tercapai
ekstensi yang diharapkan. Dagu dan sternal noch terletak pada garis lurus dan
posisi ini terus dipertahankan sampai kanul terpasang.
Pada anak-anak biasanya dibalut dengan selimut, kedua tangannya berada
dalam selimut dengan maksud untuk mengurangi gerakan pada anak pada saat
Gambar 2.3. Posisi penderita saat dilakukan tindakan trakeostomi 9
c. Anestesi
Biasanya dilakukan dengan anestesi local secara infiltrasi ke jaringan
intrakutan atau subkutan pada linea mediana leher setinggi batas kartilago tiroid
menelusur ke bawah sampai batas istmus tiroid (pada insisi vertical) atau pada
garis horizontal setinggi pertengahan antara tonjolan krikoid dan insisura
suprasternalis. Pada anak kecil anestesi local kurang memuaskan, sebaiknya
dilakukan narkose umum ringan atau dapat dilakukan dalam endotrakeal tuba
sehingga memudahkan palpasi trakea.
d. Metode Digby
Metode ini dilakukan pada trakeostomi elektif
1. Setelah ditempatkan pada posisi yang benar dilakukan tindakan a dan
antiseptik, dipasang duk berlubang dan dilanjutkan dengan pemberian
anestesi di daerah operasi.
2. Selanjutkan dilakukan insisi kulit.
Insisi kulit dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
a). Insisi Vertikal
Dilakukan tepat di linea mediana mulai dari batas atas kartilago
krikoidea memanjang ke bawah 4 – 6 cm .
b). Insisi Horisontal
Dilakukan 2 cm di bawah kartilago krikoidea (kurang lebih setinggi
pertengahan antara tonjolan krikoid dan insisura suprasternal) sampai
kira-kira sepanjang 5 cm
Gambar 2.5. Garis tempat diberikannya anestesi lokal dan insisi 8
Insisi horizontal mempunyai keuntungan secara kosmetika tetapi
mempunyai kerugian, yaitu :
Sering terjadi penumpukan secret pada lipatan insisi kulit bagian bawah
Ujung kanul sering menekan dinding depan trakea sehingga mudah timbul jaringan granulasi, nekrosis, stenosis dan
perdarahan.
Sedangkan insisi vertical di linea mediana dari segi kosmetika kurang
bagus tetapi lapangan pandang lebih luas.
3. Setelah insisi kulit, selanjutnya fascia dipisahkan dengan hemostat secara
tumpul dan vertical sepanjang insisi ke arah trakea. Asisten menyisihkan
fascia ke arah lateral dengan retractor kecil. Bila terdapat perdarahan di
klem dan bila perlu dilakukan ligasi.
4. Fascia yang membungkus batas bawah kartilago krikoidea diinsisi secara
transversal sehingga mencapai trakea. Dengan hemostat terbuka dan
dilakukan penekanan ke bawah, pemandangan ke trakea lebih terbuka di
belakang istmus tiroid.
Gbr. 2.6 Strap mucles diidentifikasi dan dilakukan diseksi di
5. Kelenjar tiroid dengan istmus yang terletak di atas trakea, biasanya dapat
diretraksi ke atas atau ke bawah, dengan demikian dapat langsung
mencapai keempat cincin trakea yang pertama. Bila tidak mudah di
retraksi maka istmus harus diklem, dipotong dan ditambatkan jauh dari
garis tengah lapangan operasi.
Gbr. 2.7 Kel. tiroid dibebaskan dari trachea dengan klem atau gunting10
Gbr. 2.8 Istmus tiroid diangkat dengan dilakukan kauter seperlunya untuk
Gbr. 2.9 Prosedur alternative : istmus tiroid dipotong dengan
menggunakan klem sebelumnya9
6. Skalpel dipegang seperti memegang pensil, kelingking diletakkan di atas
manubrium sterni dan secara hati-hati dilakukan insisi vertical melalui
cincin trakea ke II dan III, bila perlu sampai ke IV. Sebaiknya dilakukan
aspirasi udara di trakea lebih dahulu sebelum melakukan insisi. Insisi
sebaiknya menghindari cincin trakea ke satu oleh karena dapat
Gbr 2.10. dilakukan insisi trakea pada kartilago 2-4
7. Pada saat trakea dibuka (cincin trakea diinsisi), asisten harus sudah
mempersiapkan alat penghisap lendir (suction) untuk menghisap secret
atau mucus yang ada dalam lumen trakea dan untuk mencegah
menyemprotnya secret.
8. Tepi luka dijepit dengan hemostat dan dengan gunting, cincin trakea ke III
dipotong melingkar sehingga terdapat celah di dinding anterior trakea.
Cara ini lebih baik daripada menekan atau menikam ujung kanul melalui
celah yang sudah dibuat itu dan sekaligus menghilangkan sesak serta
memudahkan ligasi istmus tiroid.
9. Kemudian kanul trakea dipasang dan pita untuk mengfiksasi kanul diikat
dengan melilitkan pada leher. Kanul tidak boleh terlalu dekat dengan kulit
karena dapat terjadi empisema subkutis bahkan empisema mediastinum.
Untuk menghindari hal tersebut maka diantara sayap kanul dengan kulit
dipasang kasa yang juga berfungsi sebagai penutup luka insisi.
Gbr. 2.11 Dilakukan penarikan dengan benang nilon untuk menjamin insersi kanul
10.Selama tindakan operai berlangsung, oksigen harus selalu terpasang di
depan hidung dan setelah trakea terbuka oksigen dipasang di depan stoma.
Gbr. 2.12 Kanul dalam diinsersi, sayap trakheostomi diikat ke leher dan dipasang
kassa untuk menutupi luka (K) Kanul dihubungkan dengan “air supply”:10
e. Metode Chevalier Jackson 9,10,11
Cara ini dilakukan pada tindakan trakeostomi emergensi di mana alat-alat
operasi tidak harus lengkap. Bila tidak ada scalpel digunakan pisau biasa atau silet
untuk melakukan insisi. Demikian pula bila tidak ada kanul trakea dapat
digunakan slang dari karet. Tindakan trakeostomi ini dapat dilakukan di mana saja
tapi tidak boleh lupa tindakan a dan antiseptik semaksimal mungkin sehingga
tujuan untuk menyelamatkan jiwa penderita tercapai.
Tekhnik yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Penderita ditidurkan terlentang dengan posisi kepala ekstensi
2. Ibu jari dan jari tengah tangan kiri menekan M.Sternokleidomastoideus
pada kedua sisinya untuk melindungi pembuluh darah dan sekaligus
mengfiksir kartilago laring dan trakea.
3. Dengan scalpel ditangan kanan, dibuat insisi di linea mediana memanjang /
4. Dengan memakai telunjuk sebagai penuntun, cincin trakea ke II, III dan IV
dipotong secara longitudinal
5. Tangkai skalpel ditekan pada celah insisi trakea sehingga memungkinkan
memasukkan kanul
Gbr. 2.13 Insisi kulit secara vertical, dilakukan diseksi
Jaringan dan strap muscle dengan tangan ((10)
Gbr. 2.14
Insisi trachea secara vertical,canul
2.7. PERAWATAN POST TRAKEOSTOMI 8,9,10
Perawatan trakeostomi tidak kalah pentingnya dengan tindakan
trakeostomi itu sendiri. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa sebaiknya ada
perawatan kusus atau penderita diletakkan di kamar jaga sehingga mudah diawasi.
Penderita untuk sementara tidak dapat berbicara sehingga perlu disiapkan bel bila
sewaktu-waktu butuh pertolongan.
2.6.1. Humidifikasi
Hal ini penting untuk mencegah terjadinya infeksi trakea dan tebentuknya
krusta. Pada keadaan ini udara inspirasi masuk ke dalam saluran pernafasan tanpa
filtrasi yang sempurna sehingga menyebabkan gangguan aktifitasdari silia mukosa
bronkus dan gangguan silia norma luntuk mengeluarkan partikel dari saluran
pernafasan, akibatnya sekresi mukus berkurang dan dapat terjadi metaplasia
skuamosa dari epitel trakea yang akhirnya akan membentuk krusta. Oleh karena
itu epitel mukosa tidak mampu melakukan proteksi terhadap kuman yang masuk
bersama udara inspirasi dan mudah menyebabkan trakeitis.
Humidifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan nebuliser atau alat
berbentuk kancing yang diletakkan pada kanul. Penggunaan yang berlebihan alat
ini akan menyebabkan iritasi pada dinding trakea yang kemudian timbul ulserasi.
Bila secret yang timbul menjadi kental atau kering sehingga menjadi
krusta, masukkanlah beberapa tetes sampai 2 cc NaCl fisiologis steril atau NaCl
tsb dicampur dengan Na bikarbonat.
2.6.2. Suctioning (penghisapan)
Untuk menjaga kebersihan kanul, trakea dan bronkus dari secret yang
timbul maka diperlukan suctioning. Secret juga dapat menyebabkan sumbatan dan
menimbulkan atelektasis, pneumonia dan shunt pembuluh pulmonalis. Reflek
batuk tidak memadai dan secret perlu diaspirasi melalui tuba. Tindakan ini perlu
dilakukan berulang kali, setidaknya tiap 15 menit dalam beberapa jam pertama.
Setelah itu dapat dilakukan dalam frekwensi sesuai kebutuhan perorangan
berdasarkan banyaknya secret, hasil auskultasi dada dan mendengarkan
Pasien trakeostomi yang berbunyi menggelegak berada dalam resiko besar
dan harus dilakukan penghisapan. Tekhnik ini dilakuakan dalam kondisi steril,
setipakalinya mengguanakan kateter sekali pakai yang baru / steril. Operator harus
mengguanakan sarung tangan dan mencuci tangannya sebelum dan setelah
melakukan tindakan pada penderita.Tindakan penghisapan dilakukan secara
hati-hati dan diusahakan kateter trakea dibedakan dengan kateter hidung / mulut.
Penggunaan konektor Y dan kateter disposibel menurunkan insidensi
komplikasi yang sering menyertai dan mencemari cairan yang steril.
2.6.3. Penggantian kanul
Pemakaian kanul dari metal harus diperhatikan apakah ada secret atau
krusta yang menutupi kanul tersebut. Bila ada maka dicoba dengan meneteskan
NaCl fisiologis untuk mencairkan secret tadi kemudian dilakukan penghisapan.
Bila penghisapan tidak berhasil dikeluarkan maka penggantian kanul dapat
dipertimbangkan.
Kanul dari bahan polyvinil chlorida dan karet silicon banyak dipakai sebagai
pengganti kanul dari metalkarena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu : Hanya sedikit menimbulkan reaksi jaringan
Hanya sedikit menimbulkan ulserasi bila dipakai bersama respirator Monitoring lebih mudah karena tidak memakai kanul dalam
Panjang kanul dapat disesuaikan menurut kebutuhan
Kerugian dari kanul ini adalah tidak dapat disterilkan dengan ethylene
oxide sebab zat yang dihasilkan akibat reaksinya yaitu ethylene glycol dan
ethylene chloride merupakan zat yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa
yang berat, tetapi dengan mengguanakan kanul dari plastik ini, penggantiqan
kanul trakeostomi menjadi berkurang.
2.6.4. Dekanulasi
Sebelum melakukan dekanulasi ini harus diperhatikan apakah pasase udara
berjalan lancar melalui rima glottis, untuk itu sebaiknya dilakukan laringoskopi
Dekanulasi sebaiknya dilakukan secepatnya untuk menghindari terjadinya
trakeobronkitis, ulserasi trakea,stenosis trakea, trakeomalasia dan trakeokutaneus.
Dekanulasi dilakukan secara bertahap, yaitu lumen kecil ditutup dengan gabus
kecil yang makin lama makin diperbesar sehingga menutup seluruh lumen. Bila
tidak ada tanda sesak nafas maka kanul dapat dilepas / cabut dan luka operasi
ditutup dengan kassa steril setelah sebelumnya dilakukan penjahitan luka operasi
untuk alasan kosmetik.
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi lama dan sulitnya dekanulasi, yaitu: Kondisi yang memerlukan trakeostomi yang menetap
Dislokasi dinding trakea
Jaringan granulasi yang timbul sekitar stoma Edema dari mukosa trakea
Perasaan ketergantungan pada trakeostomi
Ketidakmampuan menyesuaikan diri untuk bernafas melalui jalan nafas yang normal setelah dekanulasi
Stenosis subglotis Trakeomalasdia
Tidak terkordinasinya reflek pembukaan laring
Gangguan pertumbuhan dari laring sebagai akibat dari trakeostomi yang lama
Dekanulasi pada bayi dan anak kecil memerlukan penanganan yang
berbeda dibandingkan orang dewasa , yang pada prinsipnya adalah sebagai
berikut:
1. Dekanulasi harus dilakukan di kamar operasi oleh ahli THT dan perawat
terlatih serta anestesi
2. Peralatan reintubasi harus sudah disiapkan
3. Observasi dilakukan beberapa jam setelah dekanulasi, keadaan umumnya
dinilai bila perlu diperiksa kadar gas darahnya
4. Evaluasi diagnostik harus dilakukan bila kesulitan dalam dekanulasi untuk
2.8. KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI 2,8,,9,10
Komplikasi yang timbul sebagai akibat tindakan trakeostomi terdidi dari :
a. Komplikasi segera : terjadi dalam 24 jam pertama setelah trakeostomi
b. Kompliokasi lanjut : terjadi setelah 24 jam setelah trakeostomi
4.7.1. Komplikasi segera
1. Apneu
Terjadi akibat hilangnya hipoksia dari respirasi. Bila trakeostomi
dilakukan pada pasien dengan riwayat hipoksia kronis, pada mulanya pasien akan
bernafas 1 – 2 kali dengan benar untuk kemudian menjadi apneu. Ini akaibat
denervasi fisiologis dari kemoreseptor perifer karena peningkatan tiba-tiba dari
pO2 dan karena hipoksia menyebabkan respon yang hebat karena kekuatan
respirasi yang besar sehingga timbul apneu.
Beberapa cara untuk bantuan pernafasan sangat diperlukan sampai cukup
CO2 dikeluarkan untuk mengembalikan sensitifitas kemoreseptor sentral. Pasien
tersebut harus terus diobservasi setelah dilakukan tindakan trakeostomi
2. Perdarahan
Terjadinya perdarahan dapat disebabkan karena :
Naiknya kembali tekanan darah ke arah normal secara mendadak karena padasaat tindakan tekanan darah arteri menurun
Meningginya tekanan vena yang diakibatkan oleh batuk akibat adanya iritasi dari kanul
Perdarahan yang timbul biasanya tidak berbahaya. Dengan pembalutan
menggunakan kassa sekitar kanul dapat menghentikan perdarahan, bila tidak
berhasil maka kanul diangkat dan perdarahan diligasi.
3. Emfisema subkutan
Terjadi di sekitar stoma yang dapat meluas ke daerah muka dada bagian
atas. Hal ini disebabkan karena terlalu rapatnya jahitan pada lika insisi sehingga
udara yang terperangkap di dalamnya dapat masuk ke jaringan subkutan pada
sekitar kanul. Untuk mengatasi hal ini dilakukan multiple puncture. Kemudian
dengan melonggarkan semua jahitan akan mecegah komplikasi lebih lanjut,
seperti pneumomediastenum dan pneumotoraks.
4. Pneumomediastenum
Timbul karena peresapan udara melalui luka atau karena batuk sehingga
udara di jaringan cervical turun diantara lapisan-lapisan mediastenum. Hal ini
dapat dicegah dengan membungkus luka yang terbuka. Pneumomediastenum
dapat menyebabkan gangguan peredaran udara atau robeknya pleura parietalis
sehingga dapat menjadi simple atau tension pneumotoraks.
5. Pneumotoraks
Disebabkan karena adanya udara yang merambat ke kavum pleura.
Biasanya cidera pada kaput pleura terjadi pada anak-anak dan bayi karena
letaknya lebih tinggi. Hal ini terjadi bila trakeostomi dilakukan tanpa terlebih dulu
memasang bronkoskop atau tuba endotrakeal.
Pneumotorak spontan terjadi karena ruptur pleura visceralis dalam
usahanya mengatasi keadaan asfiksia. Pneumotoraks dapat terjadi pula karena
trauma langsung, misalnya pada trakeostomi letak rendah. Terapinya dengan
denagn menempatkan chest tube secara under under water seal.
Foto rongten dada harus selalu diperiksa pada trakeostomi yang sulit dan
trakeostomi pada anak-anak untuk diagnosa dini.
6. Cedera pada kartilago krikoidea
Terjadi karena trakeostomi letak tinggi, dan dapat dicegah dengan
melakukan trakeostomi di level / di bawah istmus tiroid.
7. Trakeitis dan trakeobronkitis
Sering pada bayi disebabkan udara yang masuk melalui kanul tidak
terfiltrasi sempurna. Untuk mencegah komplikasi ini dilakukan dengan
humidifikasi nebuliser dengan trakeal kolar, pemasangan endotrakeal untuk
pemberian cairan dan pemasangan O2 konsentrasi tinggi mempunyai efek
8. Fistula trakeaesofageal
Disebabkan karena diseksi yang terlalu dalam sehingga menyebabkan
penetrasi pada otot posterior dari trakea ke esophagus.
9. Paralisis N. Laringeus Rekuren
Terjadi karena diseksi yang terlalu ke lateral. Untuk menghindari hal ini
maka diseksi dilakukan di garis tengah dengan mengfiksasi trakea ditengah atau
dimasukkan tube endotrakeal rigid terlebih dahulu.
10.Malposisi dari kanul
Terjadi karena pengikatan kanul yang tidak hati-hati pada waktu fleksi
kepala dan juga akibat ukuran kanul yang tidak sesuai. Kanul yang terlalu panjang
akan mecederai dinding anterior trakea atau karina, menyebabkan ulserasi dan
obstruksi parsial trakea dan kemungkinan ruptur A. Inominata. Juga dapat
mencapai salah satu bronkus sehingga menyebabkan atelektasis paru-paru
sebelahnya. Kanul yang terlalu pendek dapat menyebabkan pergeseran kanul
keluar trakea terutama bila leher fleksi pada pasien gemuk atau anak-anak.
Komplikasi ini sering terjadi dan dapat dicegah dengan seleksi pemilihan kanul
yang seksama, diikuti dengan evaluasi radiologis post operasi.
11.Obstruksi kanul
Biasanya akibat sumbatan mucus atau bekuan darah disebabkan perawatan
post trakeostomi yang tidak adekuat. Bila setelah dilakukan suctioning tidak
hilang maka merupakan indikasi untuk penggantian kanul.
4.7.2. Komplikasi lanjut
1. Perdarahan yang terlambat
Ujung kanul dapat menyebabkan tekanan atau nekrosis sehingga dinding
pembuluh darah dapat mengalami erosi seperti pada A. Inominata melalui kiri dan
kananbagian depan trakea pada batas sternum, A.Tiroidea Superiordan inferior, A
Karotis Komunis, Arkus Aorta dan V. Inominata.
Bila hal ini terjadi dilakukan bronkoskopi untuk melihat penyebabnya dan
untuk menjahit erosi, biasanya dilakukan median sternotomi. Sebagai tindakan
menghindari trakeostomi letak rendah, kanul metal diganti plastik atau silicon dan
menjaga kelembaban yang tinggi serta perawatan yang a septic dari trakeostomi.
2. Stenosis trakea
Biasanya terjadi tanpa gejala dan terdapat stridor bila stenosis yang terjadi
hebat sekali. Sering terjadi pada anak-anak karena eksisi kartilago dinding anterior
trakea yaitu kartilago trakea yang merupakan satu-satunya penyangga trakea
berbentuk sirkuler. Dapat terjadi granulasi karena defek yang besar
memperlambat epitelisasi dan menyebabkan obstruksi
Faktor predisposisi terjadinya stenosis trakea adalah :
Adanya ulserasi di daerah kanul pada membran mukosa, kerusakan dan absorbsi dari kartilago yang rusak sehingga menyebabkan
terjadinya kontraktur di sekitar Cuff kanul
Pemakaian steroid karena obat ini dapat menyebabkan infeksi dan inflamasi, misalnya stenosis subglotik. Tersering oleh infeksi
pseudomonas aerogenosa, stafilokokus dan E.coli
Untuk mengatasi stenosis dapat dicoba reseksidaerah stenosis yang dilanjutkan
dengan anastomose end to end
3. Fistula trakeoesofageal yang terlambat
Biasanya terjadi akibat insisi yang kurang hati-hati mengenai trakea bagian
posterior atau karena ujung kanul yang salah ke arah posterior menimbulkan
iritasi berlanjut menjadi jaringan nekrotik pada dinding posteriortrakea dan
didnding anterior esophagus. Hal ini sering diikuti dengan aspirasi isi lambung
dan esophagus sehingga menyebabkan pneumonitis. Sebagai pencegahan, balon
pada kanul harus dikempeskan tiap jam supaya tidak terjadi nekrosis mukosa.
Sering terjadi fistel, maka penutupan spontan tidak akan terjadi. Tindakan operatif
dilakukan dengan membuat rorasi flap dari otot untuk menutupi bagian yang
terluka.
4. Disfagia
Diperkirakan terjadi karena adanya hambatan jugulomandibular reflek
pada saat menelan. Hal ini terjadi karena fiksasi trakea ke kulit dan strap muscle
5. Fistula trakeokutaneus
Adanya epitelisasi menyebabkan gangguan penutupan stoma. Tindakan
yang diperlukan adalah melakukan insisi daerah epitelisasi tersebut dan
selanjutnya dilakukan operasi plastik.
6. Infeksi
Biasanya merupakan infeksi sekunder yang timbul bila saat melakukan
penghisapan menggunakan alat yang tidak steril atau kurangnya kelembaban.
Keadaan ini dapat merupakan predisposisi untuk terjadinya trakeitis dan
pneumonia.
7. Malposisi dari kanul
Dapat menimbulkan obstruksi total yang dapat mengakibatkan kematian
bila tidak cepat diberikan pertolongan.
8. Cardiac arrest
Terjadi akibat adanya myokard yang irritable serta merupakan akibat
sekunder dari hipoksia dan asidosis
9. Jaringan parut pada leher
Terjadi karena insisi vertical atau trakeostomi yang terlalu lama, hal ini
dapat diperkecil dengan dekanulasi lebih dini. Kontraktur vertical dan hipertropik
scar yang melebar dapat ditanggulangi dengan repair Z-plasty. Masalah skar ini
terjadi karena perlekatan kulit ke trakea yang akan mempengaruhi gerakan
menelan atau pembentukan skar yang melekuk ke dalam. Pada keadaan ini luka
atau stoma dibuka atau dilepaskan dan ditutup lagi dengan cara aproksimasi
jaringan yang hati-hati.
10. Trakeomalasia
Biasanya terlokalisir meliputi daerah superior dari sayatan trakea.
Keadaan ini disebabkan karena kanul yang terlalu besar, kanul yang bersudut
terlalu tajam ajkan menggesek atau menimpa cincin trakea di atas daerah
trakeostomi dan menekan lebih ke posterior. Keadaan ini dapat menyebabkan
hilangnya rigiditas trakea dan dapat dihindari dengan pemakaian kanul tube teflon
atau plastik. Trakeomalasia dapat menyebabkan keterlambatan dekanulasi pada
11. Dekanulasi yang sulit
Merupakan komplikasi tersering pada anak-anak, biasanya sekunder dari
faktor psikis dan organis. Kanul dapat diekstubasi dalam 8 – 10 hari atau lebih
cepat lagi bila memungkinkan. Bila tidak, dekanulasi menjadi sulit karena :
Anak-anak terbiasa dengan resistensi jalan nafas yang kurang karena trakeostomi menurunkan dead space
Anak-anak cenderung melupakan reflek apneu selama deglutisi sehingga dapat menyebabkan aspirasi
Trejadi kolaps trakea
Beberapa penyebab yang menyebabkan dekanulsasi menjadi sulit :
1. Kesalahan prosedur dan perawatan post trakeostomi
2. Pemakaian kanul yang tidak sesuai
3. Eksisi kartilago trakea
4. Paralisis N. Laringeus Rekurens
5. Pemakaian intubasi yang terlalu lama
Kesemuanya menyebabkan terjadinya trakeomalasia, granulasi dan udema
BAB III
TRAKEOSTOMI PADA ANAK
Penatalaksanaan masalah saluran nafas pada anak-anak kadang-kadang
merupakan tugas yang sulit dan memerlukan evaluasi cermat serta rencara yang
dalam. Hasil yang terpenting adalah saluran nafas aman yang mampu dilakukan
tindakan oleh suatu tim perawatan untuk anak secara nyaman dengan morbiditas
dan mortalitas yang rendah.
Keputusan apakah untuk manajemen yang dilakukan pada anak dengan
masalah-masalah saluran nafas dengan intubasi endotrakeal atau dengan
trakeostomi membutuhkan sebuah tim yang tdd. anli pediatrik, ahli intensive care,
ahli anestesiologi serta ahli THT. Tim yang banyak berpengalaman sangat
diperlukan. Sebagai tambahan, waktu membuat keputusan dan periode
manajemen yang terus menerus, sebuah tim dari perawat berpendidikan, ahli
speech pathology, ahli terapi pernafasan, pekerja sosial serta psikolog sangat
membantu. Pertimbangan pengalaman dan kemampuan menangani pada
penggunaan fasilitas medis juga penting. Orang tua merupakan bagian vital dari
tim. Sering tercatat bahwa ketika trakeostomi dibutuhkan, respon awal orang tua
merasa lega mengenai metode tindakan saluran nafas ini sering mengemukakan
pertanyaan ‘Mengapa tindakan ini tidak dilakukan lebih awal?’. Respon ketiga
yang dapat diprediksi dari orang tua anak dengan trakeostomi adalah saat
memutuskan untuk dekanulasi, ketika orang tua memiliki perhatian dan keberatan
mengenai penyerahan tindakan trakeostomi untuk saluran nafas.
3.1. Anatomi
Terdapat beberapa perbedaan, baik anatomi maupun fisiologi saluran nafas
pada anak dan dewasa, antara lain :8,9,10
1. Jalan nafas pada anak relatif lebih pendek ( leher pendek, struktur anatomi
lebih kecil, struktur vital saling berdekatan )
2. Letak laring posisinya lebih tinggi. Kartilago cricoid terletak setinggi vertebra
servikalis ke III dan turun sampai pada vertebra servikalis ke VI padaorang
dewasa
3. Kartilago tiroid tidak mengemuka / menonjol sepeti konfigurasi pada orang
dewasa, sehingga kartilago krikoid yang kemudian menjadi patokan mudah
untuk mengidentifikasi pada anak
4. N. Laringeus Rekurens terletak di lateral trakea, karena pre vertebra diisi
lemak
5. Persendian antara kepala dan leher mobile dan dagu mungkin lebih terpisah
dari garis tengah selama operasi
3.2. Tekhnik Operasi 7,8,9
Berdasarkan anatomi tersebut di atas, pelaksanaan trakeostomi pada anak
memerlukan lebih banyak perhatian yang rinci dibanding dewasa.Adapun tekhnik
operasinya adalah sebagai berikut :
1. Tindakan trakeostomi pada anak dilakukan di bawah anestemi umum di ruang
operasi dengan suatu ventilasi yang terkontrol seperti dengan menggunakan
masker, endotrakeal tube atau pada beberapa kasus dengan bronkoskop
2. Anak ditempatkan di meja dengan bantalan bahu agar leher hiperekstensi
mudah. Kepala dapat diikat pada posisi ini, atau ahli anestesiologi mungkin
dapat mengektensikan kepala dan memegang pada posisi itu selama prosedur
dilakukan
3. Palpasi hati-hati pada leher penting praktis untuk menandai petunjuk. Struktur
yang paling menonjol pada SN adalah katilago krikoid. Struktur ini ditandai
dengan pulpen seperti pada superior notch dari kartilago tiroid dan sternal
notch.
4. Anestesi lokal dengan vasokonstriktor, lidocaine 1% dengan epinephrine 1 :
100.000 digunakan untuk menginfiltrasi daerah leher anterior. Leher
kemudian disiapkan dengan cairan desinfektan seperti povidone-iodine dan
area tersebut ditutup. Penting bagi ahli anestesi mempunyai jalan masuk ke
wajah dan endotracheal tube selama prosedur. Area ini lebih baik dibiarkan
tidak tertutup dan perhatian yang hati-hati dilakukan untuk memastikan
daerah steril.
5. Insisi kulit dapat dilakukan dengan cara transversal atau vertical. Insisi
horizontal akan memuaskan secara kosmetik, sedang insisi vertical
mempunyai keuntungan : Memiliki sedikit vaskuler retraksi lebih mudah,
Posisi kanul trakeostomi post operasinya lebih baik
Tidak menyebabkan menurunnya insisi yang berat dari kanul trakeostomi 6. Insisi dilakukan melalui kulit, lemak subkutan dan otot platisma (sepanjang
kurang lebih 1,5 cm) kemudian dilanjutkan diseksi secara vertikal dengan
teliti dan hati-hati. Otot2 pengikat (strap muscles) diretraksikan ke lateral, dan
seluruh diseksi dilakukan pada bidang superior ke inferior. Asisten menarik
jaringan dengan forsep bergigi dan meretraksikan dengan retraktor vena.
Perdarahan dihentikan dengan elektrokauter dan bila perlu pembuluh darah
besar diligasi.
7. Isthmus tiroid dapat diretraksikan ke superior atau inferior sesuai keperluan
atau dipotong jika perlu. Isthmus sangat kecil pada bayi dan selalu dapat
8. Setelah kartilago krikoid diidentifikasi, trakea akan teridentifikasi dan cincin
trakea ke II dan ke III dibersihkan dari jaringan lunak.
9. Aspirasi jarum pada trakea merupakan prosedur yang dapat diterima pada
anak untuk memastikan suatu pembuluh darah besar jangan sampai
dikelirukan dengan jalan nafas
10.Traksi jahitan dibuat antero lateral pada ke dua sisi garis tengah., menembus
dua cincin trakea sebelum dibuat insisi vertical pada garis median cincin ke II
dan ke III. Jaringan trakea tidak dieksisi pada anak. Pada titik ini, ahli
anestesi akan memberitahukan kehilangan tekanan positif. Saat endotracheal
tube ditarik ke proksimal, tempat trakeostomi kemudian diretraksikan ke
lateral dengan jahitan traksi untuk mendapatkan penempatan yang mudah dari
tube trakeostomi. Endotracheal tube tetap pada tingkat glotis dan sedikit
kedalam ruang subglotis pada titik ini untuk memberikan ventilasi yang lebih
jauh melalui endotracheal tube seharusnya dapat menjadi masalah dengan
penempatan trakeostomi
11.Suction catheter yang lunak dapat ditempatkan melalui tempat trakeoetomi
sebelum penempatan tube untuk mendapatkan visualisasi terbaik serta
menyingkirkan darah & sekresi.
12.Setelah kanul ditempatkan, tali kanul trakeostomi kemudian diamankan, dan
simpul ditalikan dilateral pada sisi lain dari leher
13.Luka trakeostomi jangan ditutup rapat karena dapat menimbulkan emfisema
subkutan. Selain itu, karena jika penempatan kurang hati-hati dari tube yang
terjadi postoperatif, menunda pengangkatan tube dari leher dan penempatan
Gbr. 4.19 Prosedur trakheostomi pada anak9
3.3. Komplikasi.8
Komplikasi trakeotomi pediatrik secara khusus dibagi ke dalam :
komplikasi intraoperatif, early postoperative & late postoperative. Pada anak < 1
tahun dilaporkan 3,3%, 13,3% & 38,3& berturut-turut. Keseluruhan angka
mortalitas untuk kelompok umur ini dilaporkan 42%, lebih banyak merefleksikan
proses alamiah penyakit yang mendasarinya. Angka mortalitas untuk prosedurnya
sendiri dilaporkan 1,6%. Seperti yang diharapkan, komplikasi yang lebih tinggi
terlihat pada bayi prematur & bayi yang menggunakan trakeostomi untuk OSNA.
Di lain pihak angka kejadian ketika intubasi endotrakeal yang lama pada nenatus
menjadi populer.
Perdarahan merupakan komplikasi intraoperatif yang ternayak. Diseksi
terbatas yang hati-hati pada trakea dengan kontrol yang sangat cermat dari
perdarahan akan mengurangi komplikasi ini. Perdarahan menetap yang berarti
yang tidak dikontrol dengan elektroakuter, iikatan jahitan, dan tampon longgar
dengan Gelfoam dapat diindikasikan sebagai pembekuan abnormalitas. Emfisema
subkutan adalah hasil terperangkapnya udara dalam jaringan lunak dan dapat
dikurangi tidak dengan menjahit insisi kulit dan mengikat disseksi pada garis
tengah trakea. Emfisema subkutan yang ekstensif ditangani dengan melebarkan
luak pada leher, dan kadang-kadang diperlukan penempatan drain. Kemajuan
untuk pneumomediastinum dan pneumotoraks dapat terjadi.
Pneumomediastinum dan pneumotoraks dapat terjadi dari luka yang
berbentuk kubah dari pleura selama prosedur trakeostomi. Dapat juga terjadi
ruptur alveoli disebabkan oleh peningkatan tekanan negatif intatoraks. Batuk yang
menurunkan komplikasi ini. Foto x-ray dilakulan pada recovery room untuk
menentukan posisi tube yang dapat digunakan untuk mendeteksi udara pada raung
ini. Pneumotoraks yang besar dapat digunakan untuk penempatan chest tube.
Injuri esofageal atau fistel trakeoesofageal dapat juga dihindari dengan
diseksi midline yang sangat teliti dan menghindari pipa makan & stetoskop
esofageal selama prosedur trakeotomi. Insisi ke dalam dinding trakea anterior
dapat dilakukan terlalu dalam, menyebabkan kerusakan pada dinding posterior
trakea dan sebagian dinding trakea dan esofagus. Injuri pada n. laringeus rekuren
dapat dihindari dengan diseksi midline dan insisi trakea vertikal midline.
Tube trakeostomi menyumbat merupakan komplikasi postoperatif dini
yang terbanyak dan secara umum dihindari dengan suctioning & humidifikasi
yang adekuat.
Komplikasi postoperatif dini dapat termasuk accidental decanulation.
Ikatan trakeostomi harus hati-hati diamankan untuk menghindari komplikasi ini.
Jika ini terjadi pada beberapa hari pertama sebelum saluran dibentuk dengan
sangat baik, ikatan traksi akan membantu penempatan kembali tube. Seluruh
pengurus anak seharusnya berpikir bagaimana memperluas leher dengan tepat dan
menempatkan kembali tube trakeostomi jika terjadi dekanulasi accidental/ secara
kebetulan. Suatu ide yang baik mempunyai ekstra tube dengan ukuran sama dan
satu ukuran yang lebih kecil pada sisi tempat tidur untuk kebutuhan emergensi.
Sebagai tambahan, jika tube trakeostomi tidak dapat ditempatkan kembali, tube
endotrakeal berukuran tepat dapat ditempatkan melalui stoma trakeostomi.
Rencana melakukan pemasangan di sisi tempat tidur seharusnya diindikasikan
apabila anak ini dapat diresusitasikan melewati laring & trakea bagian atas jika
tracheostomy tube tidak dapat ditempatkan kembali. Ini akan merupakan indikasi
untuk operator bahwa kantung ke mulut atau intubasi endotrakeal dari atas
memungkinkan pada pasien ini. Obstruksi laring dan masalah-masalah trakea
bagian atas dapat ditangani dengan cara ini , dan seharusnya juga dilakukan di
tempat tidur. Menggunakan kateter suction yang lembut dan bersih dapat
dilakukan pada lokasi menbukanya trakea dan tracheostomy tube, atau
Trakeitis dan infeksi stoma dapat ditangani dengan perawatan lokal,
penyedotan yang hati-hati sesuai keperluan, dan humidifikasi adekuat. Kultur
selalu dilakukan hanya jika pengukuran rutin lokal tidak efektif.
Pada khususnya neonatus, tube trakeostomi yang lembut dapat melakukan
jalannya keatas melawan dinding trakea melakukan perubahan posisi dan dapat
menobstruksi secara temporer. Bagaimanapun penting tim perawat mengerti
bahwa posisi kepala dan posisi tubuh dapat mempengaruhi patensi airway.
Komplikasi lambat termasuk dekanulasi accidental, tersumbatnya tube, trakeitis,
dan infeksi stoma trakea. Sebagai tambahan, beberapa komplikasi ditingkatkan
oleh durasi absolut dari keperluan tube trakeostomi. Erosi dinding trakea dapat
terjadi dari tekanan tube trakeostomi pada dinding trakea anterior. Arteri
innominate yang menyilang dianterior trakea pada superior thoracic inlet, dan tube
dapat mengikis area tersebut. Manset (cuffed) tube selalu tidak digunakan pada
anak-anak, tetapi juga dapat menyebabkan erosi dinding trakea. Trakeostomi letak
rendah dibawah cincin ke3 dapat menjadi predisposisi masalah ini. Tube
trakeostomi yang terlalu besar juga menambah problem ini. Jika terdapat beberapa
pertanyaan pada waktu penempatan tube, laringoskopi dan bronkoskopi dapat
mengevaluasi ukuran relatif dari lumen trakea dan ukuran tube. Beberapa
perdarahan dari trakeostomi dapat menjadi indikasi suatau problem mayor yang
potensial. Sering terdapat inflamasi sedang trakea dari trauma pengeringan atau
penyedotan, tetapi penampakan langsung untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan dibutuhkan. Ini dapat dilakukan melewati tube trakeostomi sendiri
atau melewati stoma dengan flexible scope.
Tergantung pada indikasi untuk trakeostomi dan kondisi anak,
pemeriksaan laringoskopi/bronkoskopi formal harus dilakukan setiap 6-9 bulan
ketika trakeostomi ditempatkan. Ini terutama penting pada anak-anak problem
neurologi dan spinal yang mempunyai posisi tubuh abnormal.
Fistel trakeosesofageal lambat dapat terjadi dari erosi dinding posterior.
Tube nasogastrik yang indwelling dapat menjadi predisposisi untuk problem ini.
Granuloma trakea sangat banyak di dinding anterior pada bibir superior
massa fibrosa dan dapat menjadi pedunculated atau sessile.Tube yang terlalu besar
dan kurang perawatan luka dapat menjadi predisposisi untuk problem ini. Jika
granuloma diluar batas dan tidak menyebabkan obstruksi, observasi dapat
adekuat. Jika granuloma besar atau pedunculated, sekali-kali mengangkatnya
sebelum mengobstruksi stoma selama mengganti tube trakeostomi. Pengangkatan
selalu dilakukan dibawah visual langsung dengan bronkoskop di tempat,
mendorong granuloma ke dalam stoma, dimana bisa didapatkan kembali dan
dikeluarkan melewati stoma dengan diseksi tajam.
Kolaps suprastomal dan stenosis trakea pada sisi yang sama dapat terjadi
dari tekanan tube trakeostomi dengan kondritis lokal dan melemahkan cincin
trakea dengan menghasilkan kolaps. Insisi trakea tranversal dapat juga menambah
problem ini. Pengangkatan jendela kartilago yang sakit disarankan pada
anak-anak, dapat menyebabkan problem ini. Jika kolaps suprastomal membuat
dekanulasi sulit, prosedur rekonstruksi mungkin diperlukan untuk mengoreksi ini.
Revisi saluran trakeostomi dengan bantuan jahitan dari dinding anterior yang
kolaps melewati strap muscles mungkin cukup, atau rekonstruksi trakea dengan
graft kartilago mungkin diperlukan. Bayi-bayi kecil yang memerlukan prolonged
trakeostomi lebih cenderung mendapatkan masalah ini.
Stenosis subglotik sebagai hasil trakeotomi dapat dikurangi dengan
menghindari trakeostomi tinggi dan perawatan trakeostomi secara teliti.
Krikotirotomi dianjurkan pada anak-anak seperti komplikasi ini dapat terjadi.
Trakeostomi pada hipoxia, anak tidak tenang yang kondisinya memburuk selama
observasi dan tidak mampu diintubasi emergensi lebih baik dihindari dengan
direncanakan lebih awal trakeotomi.
Menetap, fistel trakeokutaneus dilaporkan tinggi sebanyak 20%-40%. Usai
pada trakeotomi dan durasi trakeostomi terlihat menjadi faktor yang berhubungan.
Lebih banyak trakeostomi dilakukan untuk kebutuhan waktu lama saat ini,
keperluan untuk kanulasi yang lama meningkat, dan komplikasi ini kemungkinan
lebih tinggi. Setelah dekanulasi, jika fistel trakeokutaneus menetap lebih dari 6 –
12 bulan, penanganan termasuk eksisi saluran fistel dengan multilayer closure
lain yang mungkin digunakan adalah reinsersi trakeotomi baru dengan dekanulasi
cepat setelah beberapa hari kemudian.
3.4. Dekanulasi 8
Sebelum dekanulasi, masalah utama memerlukan trakeostomi harus
dievaluasi dan ditentukan mengalami perbaikan dimana trakeostomi tidak lama
diperlukan. Sebagai tambahan, Saluran nafas harus dipelajari secara endoskopik
untuk meyakinkan bahwa tidak ada masalah baru yang terjadi oleh trakeostomi
sendiri. Fungsi pita suara seharusnya dinilai juga. Granuloma suprastoma harus
diputuskan. Setelah kriteria ini ditemukan, tube trakeostomi yang lebih kecil
secara progresif ditempatkan sampai tube terkecil untuk kepentingan praktis
dalam menempatkan dan dapat menyumbat untuk perpanjangan waktu yang
adekuat untuk menentukan jika anak mampu bernafas melewati laring. Sumbatan
ini selalu dilakukan hanya pada saat jika anak keluar dari rumah sakit. Sumbatan
wktu malam selalu dadakan dalam pengawasan tempat tidur rumah sakit hanya
sebelum dekanulasi. Pengamatan tidur dilakukan hanya jika keadaan
mengindikasi evaluasi menjadi penting. Permasalahan respirasi sentral akan
memerlukan ini. Sumbatan lama untuk penyakit paru kronis yang mendasari
dengan saluran nafas kecil mungkin penting untuk membuktikan kriteria
dekanulasi. Pada bayi-bayi kecil, saat tube trakeostomi terkecil dapat secara
komplit memenuhi trakea karena itu sumbatan tidak memungkinkan. Fenestrated
tube secara umum tidak digunakan selama proses dekanulasi, seperti jaringan
granulasi dari iritasi fenestrasi yang umumnya terjadi pada anak-anak. Sekali tube
diangkat, tekanan tingkat sedang dipergunakan, dan anak dimonitor di rumah sakit
24 – 48 jam.
3.5. Pemilihan Tube Trakheostomi 8
Lumen yang sempit pada trakea anak dan perbedaan anatomi lain yang
jelas dianjurkan pemakaian tracheostomy tube palstik untuk pediatrik daripada
tracheostomy tube metal kecil untuk dewasa. Soft tube yang lentur lebih mudah