• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah (Study Kasus Kabupaten Deli Serdang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah (Study Kasus Kabupaten Deli Serdang)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH

(STUDY KASUS KABUPATEN DELI SERDANG)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

DIANA ANGGRENI NIM: 070200310

Departemen Hukum Administrasi Negara Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara

FAKULTAS HUKUM

(2)

Halaman Pengesahan :

PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

DIANA ANGGRENI NIM: 070200310

Departemen Hukum Administrasi Negara Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

Surianingsih, SH. M.Hum (NIP: 196002141987032002)

Pembimbing I: Pembimbing II

Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS Afrita, SH. M.Hum

NIP: 195409121984031001 NIP: 197104301997022001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya penulis dapat merangkumkan kegiatan penelitian hingga pada penyelesaian skripsi ini dengan judul “ Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik di Era Otnonomi Daerah”

Pelayanan Publik adalah suatu pelayanan yang di berikan kepada masyarakat dalam menjalankan tugas sebagai instansi negara seperti Badan Pertanahan Nasional terutam di Kabupaten Deli Serdang. Dengan adanya Undang-Undang nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama.

Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional. Pelayanan publik oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan. Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah maka pelayanan publik dapat di laksanakan di daerah-daerah berdasarkan asas desentralisasi, salah satunya instansi yang melaksanakan pelayanan publik tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang dimana BPN telah menetapkan standard pelayanan publik dengan mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standard Pelayanan dan Pengaturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sehingga Badan Pertanahan Nasional kabupaten Deli Serdang harus mengikuti atau melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan peraturan tersebut.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang teramat dalam kepada berbagai pihak yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MS selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Surianingsih. SH. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi yang berjudul Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah.

3. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis baik pada kuliah di Jurusan hingga pada saat penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Afrita, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan ilmu, perhatian bahkan semangat kepada penulis.

5. Bapak Afnansyah, SH, M.Kn, selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang.

(5)

penulis, semata-mata penulis persembahkan setiap prestasi penulis hanya kepada Tuhan dan Orangtua terkasih.

7. Saudara-saudara ku, Kakanda Jekta Surbakti, Christa surbakti, Kharlina Surbakti dan Santa Ria Surbakti, atas kasih, doa, dan semangat yang telah diberikan demi kemajuan penulis. Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang teramat baik memberikan keluarga yang luar biasa bagi penulis.

8. Sahabat terkasih Naomi, Wiltrida, Rolly, Roseria, Putri, Merlina, Ayu, Linda, Nova, Sarah, Alma, Alex, Jaka, Herdianto yang telah menemani penulis dalam melaksanakan kegiatan penulis di kampus maupun di lingkungan luar kampus dan telah memberikan doa, semangat, dukungan dan perhatian kepada penulis.

9. Ahmad Ali Dona Ginting terima kasih atas keyakinan yang selalu kamu berikan kepada penulis, tekanan yang mendorong penulis untuk lebih maju dan lebih baik dari hari-hari lalu dan hari sekarang untuk masa depan yang lebih cerah.

10.Teman-teman terkasih, teman-teman stambuk 2007, adik junior dan senior di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih buat dukungan, semangat dan pertemanan yang penulis dapatkan melalui mereka oleh karena keterbatasan ruang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu.

Mengingat bahwa sifat ilmu pengetahuan adalah dinamis dan akan terus mengalami perkembangan, sementaraskripsi ini tidak dapat dikatakan sempurna maka penulis mengharapkan saran serta kritik yang membangun, dan sebelumnya penulis mohon maaf bilamana terdapat kekurangan dan kesalahan lain yang tidak berkenan di hati.

Akhir kata, penulis menyajikan skripsi ini, semoga bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Februari 2011

(6)

Abstrak

DIANA ANGGRENI, Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah dibawah bimbingan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH.MS dan ibu Afrita SH.M.Hum.

Dilihat dari kenyataan bahwa pelayanan publik yang diterima masyarakat sangatlah kurang dimana pelayanan yang diberikan terlalu berbelit-belit dan tindakan instansi Negara (pejabat) yang berwenang tersebut tidak dapat bersikap baik dan bermalas-malasan dalam melayani masyarakat, padahal mengenai pelayanan publik sekarang ini telah ditetapkan di dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mana diharapkan agar pejabat yang memberi pelayanan dan masyarakat yang menerima pelayanan sama-sama memahami bagaimana tata cara pelayanan itu sendiri.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2011 sampai bulan Februari 2011 bertempat di kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang dimana prosedurnya melalui Kantor Kesatuan Bangsa yang diteruskan ke Kantor Badan Perancang Pembangunan Daerah (Bappeda) dan diteruskan lagi ke Kantor Badan Pertanahan Nasional dengan memberikan surat rekomendasi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pelayanan publik mempunyai peran yang amat penting dalam kehidupan manusia. Dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang menetukan bahwa kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan. ...i

Kata Pengantar. ...ii

Abstrak . ...v

DAFTAR ISI. ...vi

BAB I. PENDAHULUAN I. Latar Belakang. ...1

II. Perumusan Masalah ...6

III. Tujuan dan Manfaat Penulisan. ...7

IV. Keaslian Penulisan. ...8

V. Tinjauan Kepustakaan. ...8

VI. Metode Penelitian. ...10

VII. Sistematika Penulisan. ...11

BAB II. GAMBARAN UMUM MENGENAI PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH I. LANDASAN HUKUM PELAYANAN PUBLIK. ...13

A. Permasalahan Pelayanan Publik. ...14

B. Penyelesaian Permasalahan Pelayanan Publik. ...16

C. Pedoman Pelayanan Publik. ...18

II. LANDASAN HUKUM OTONOMI DAERAH A. Otonomi Daerah Masa Pemerintahan Hindia Belanda. ...24

B. Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1945. ...27

C. Otonomi Daerah Berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948...27

D. Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1957. ...28

E. Otonomi Berdasarkan Undang-undang No 18 Tahun 1965. ...28

(8)

G. Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999

dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. ...30

III. PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH. ...37

BAB III. GAMBARAN UMUM MENGENAI BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN DELI SERDANG I. LANDASAN HUKUM BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN). ...43

A. Visi dan Misi Badan Pertanahan Nasional...43

B. Fungsi Badan Pertanahan Nasional. ...44

C. Sebelas Agenda Kebijakan Badan Pertanahan Nasional. ...45

II. KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN DELI SERDANG. ...47

III. STRUKTUR ORGANISASI BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN DELI SERDANG. ...49

BAB IV . PELAYANAN PUBLIK BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN DELI SERDANG BERDASARKAN STANDAR PELAYANAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL I. STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN. ...56

A. KELOMPOK DAN JENIS PELAYANAN. ...57

B. PERSYARATAN. ...57

C. BIAYA...57

D. WAKTU...57

E. PROSEDUR. ...58

F. PELAPORAN. ...58

II. MEMBATU DALAM PENGELOLAAN PENGADUAN. ...59

A. MANFAAT PENGADUAN...59

(9)

C. PENDEKATAN POSITIF TERHADAP KELUHAN

(PENGADUAN)...60 D. PRINSIP DASAR SISTEM MANAJEMEN PENGADUAN. .61 III. PENCATATAN DAN INFORMASI PERTANAHAN. ...64

BAB V. PENUTUP

I. KESIMPULAN. ...65 II. SARAN. ...66

(10)

Abstrak

DIANA ANGGRENI, Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah dibawah bimbingan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH.MS dan ibu Afrita SH.M.Hum.

Dilihat dari kenyataan bahwa pelayanan publik yang diterima masyarakat sangatlah kurang dimana pelayanan yang diberikan terlalu berbelit-belit dan tindakan instansi Negara (pejabat) yang berwenang tersebut tidak dapat bersikap baik dan bermalas-malasan dalam melayani masyarakat, padahal mengenai pelayanan publik sekarang ini telah ditetapkan di dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mana diharapkan agar pejabat yang memberi pelayanan dan masyarakat yang menerima pelayanan sama-sama memahami bagaimana tata cara pelayanan itu sendiri.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2011 sampai bulan Februari 2011 bertempat di kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang dimana prosedurnya melalui Kantor Kesatuan Bangsa yang diteruskan ke Kantor Badan Perancang Pembangunan Daerah (Bappeda) dan diteruskan lagi ke Kantor Badan Pertanahan Nasional dengan memberikan surat rekomendasi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pelayanan publik mempunyai peran yang amat penting dalam kehidupan manusia. Dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang menetukan bahwa kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Negara Indonesia mempunyai wilayah yang sangat luas, dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa, etnis, kebudayaan, agama, yang berbeda. Namun dengan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, negara tersebut menjadi negara kesatuan yang berbentuk Republik yang berdasarkan Pancasila dan Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dinyatakan antara lain bahwa : “ Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan, kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan membentuk pemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”1

Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Penyelanggaraan negara dilaksanakan melalui pembangunaan nasional dalam segala aspek kehidupan yang dilakukan secara bertahap, namun pembangunan nasional tersebut tidak berjalan dengan baik, dengan terjadinya krisis multi dimensional yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997.

Hal tersebut terjadi, karena pembangunan nasional yang dilaksanakan dahulu adalah pembangunan yang terpusat, dan tidak merata dan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, namun tidak diimbangi oleh kehidupan sosial, politik, ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Di samping itu, pembangunan nasional yang dilaksanakan mempunyai fundamental yang rapuh,

(12)

penyelanggaraan negara yang sangat birokratis dan cenderung korup serta tidak demokratis, telah menyebabkan krisis moneter dan ekonomi yang berlanjut dengan moral yang memperhatinkan.

Keinginaan untuk memperbaiki penyelenggaraan negara tersebut oleh pemerintah memang dilaksanakan yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah.

Hal yang mendasar dari Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut adalah memberikan kesempatan dan keleluasaan daerah untuk membangun daerahnya dan lebih memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakasa dan kreativitas serta meningkatkan peran dan fungsi dari badan-badan pemerintahan.2

Dalam tulisan ini akan ditunjukkan bahwa sepanjang mengenai bidang pertanahan, “otonomi yang seluas-luasnya” itu dalam rangka ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sejak Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) hingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 terbatas pada bentuk “desentralisasi”.

UUD NRI 1945 sejak rumusannya yang asli dalam rangka pelaksanaan salah satu tujuan kemerdekaan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti dalam Pembukaan UUD NRI 1945 dengan kata-kata : “memajukan kesejahteraan umum” , pada Pasal 33 ayat (3) menggariskan kebijakan dasar mengenai penguasa dan penggunaan sumber-sumber daya alam yang ada, dengan kata-kata:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 3

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dipisahkan dari tata kehidupan makhluk hidup, oleh karena itu tanah mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Setiap manusia memerlukan

2 Sumartini,L. 2001. “Penyusunaan Kerangka Ilmiah Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional di Bidang Pemberdayaan Rencana Legislatif Daerah Dalam Era Otonomi Daerah”. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia.

(13)

tanah sebagai tempat tinggalnya maupun untuk mencari nafkah bagi kelangsungan hidupnya. Hubungan manusia dengan tanah merupakan hubungan yang sangat erat dan bersifat abadi, dimulai sejak manusia lahir hingga akhir hayatnya manusia selalu berhubungan dengan tanah.

Kebutuhan akan tanah dari hari ke hari semakin meningkat, antara lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan, sedangkan luas tanah terbatas atau tetap. Dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, dan adanya tuntutan akan adanya mutu kehidupan yang lebih baik sebagai dampak positif dari keberhasilan pembangunan yang sedang dilaksanakan, semuanya ini memerlukan tanah sebagai sarana dasarnya.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah tersebut, sebagai konsekuensi logisnya maka telah meningkat pula berbagai masalah pertanahan yang dalam beberapa tahun terakhir ini muncul ke permukaan dan menjadi pusat perhatian masyarakat luas.

Masyarakat masih beranggapan bahwa pelayanan di bidang pertanahan masih terlalu sulit dan berbelit-belit dalam prosedur, lamanya waktu pemrosesan serta biaya yang tinggi. Penyebabnya bisa dikarenakan pelayanan kantor pertanahan yang kurang optimal. Hal ini menunjukkan adanya tuntutan masyarakat akan perlunya keterbukaan dalam pelaksanaan tugas, prosedur pembayaran yang sederhana, kepastian waktu dan biaya yang harus dibayar oleh masyarakat dalam penyelesaian urusan hak atas tanahnya, serta berbagai kemudahan dalam pelayanan maupun perlindungan hak-hak dan kepentingan masyarakat

(14)

tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa yang dimaksud serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbutan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu tugas pokok Badan Pertanahan Nasional sekaligus merupakan salah satu fungsi kantor pertanahan Kabupaten/Kota adalah melaksanakan pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Oleh sebab itu kiranya wajar apabila pelaksanaan tugas Badan Pertanahan Nasional akan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan perhatian terhadap upaya-upaya untuk lebih meningkatkan pelayanan pertanahan tersebut. Upaya peningkatan pelayanan pertanahan kepada masyarakat mempunyai aspek yang sangat luas, dari tingkat kebijakan termasuk penerbitan ketentuan peraturan yang diperlukan sampai tingkat pelaksanaannya.

Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah telah menetapkan kebijakan pelayanan kepada masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan pembangunan pertanahan.

(15)

dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang sering disebut dengan pelayanan publik. Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa, atau melalui kotak pos 5000 maupun langsung kepada pimpinan Badan Pertanahan Nasional, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan.

Masyarakat yang merupakan pelanggan dari pelayanan publik, juga memiliki kebutuhan dan harapan pada kinerja penyelenggara pelayanan publik yang profesional. Sehingga yang sekarang menjadi tugas Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah adalah bagaimana memberikan pelayanan publik yang mampu memuaskan masyarakat. Adanya implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Pemerintah mempunyai tanggung jawab, kewenangan dan menentukan standar pelayanan minimal, hal ini mengakibatkan setiap Daerah (Kotamadya/Kabupaten) di Indonesia harus melakukan pelayanan publik sebaik-baiknya dengan standar minimal.

(16)

terstandarisasi yang dapat menjangkau semua daerah khususnya dalam pelayanan bidang pertanahan.

Masalah Pertanahan menyangkut dua sisi kepentingan yaitu, kepentingan pemerintah daerah untuk melakukan regulasi terhadap kegiatan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat agar sesuai dengan perencanaan, kondisi dan kebutuhan pemerintah daerah, di sisi lain adalah kepentingan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam melakukan penggarapan tanah dan hak-hak atas tanah yang mempunyai efek di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Implementasi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah ke depan salah satunya adalah bagaimana dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara dan sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip utama kebijakan desentralisasi yaitu demokratisasi, akuntabilitas publik daan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan ini penulis tertarik untuk menetahui pelayanan pertanahan di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang sehingga memilih judul dan mengkhususkan penelitian tentang “Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah (study kasus

Kabupaten Deli Serdang)”.

II. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari pemikiran bahwa situasi dan kondisi serta kemampuan suatu daerah dengan daerah yang lain tidak sama, baik dari aspek kesiapan sarana dan pasarana maupun aspek sumber daya manusia yang diperuntukan bagi penyelenggaran pembangunan yang bersifat fisik dan non fisik maka partisipasi aktif dari seluruh komponen bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab sangat diperlukan oleh Pemerintah Daerah Otonom.

(17)

pembuat akta tanah antara lain merumuskan koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan dan pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan yang menjadi rumusan permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran umum mengenai pelayanan publik di era otonomi daerah.

2. Bagaimana gambaran umum mengenai Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang.

3. Apakah pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan standar pelayanan di Badan Pertanahan Nasional.

III. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Selain untuk melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, juga tulisan ini untuk :

1. Melihat gambaran umum pelayanan publik di era otonomi daerah. 2. Melihat dan mengetahui gambaran umum Badan Pertanahan Nasional

Kabupaten Deli Serdang.

3. Mengetahui apakah pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan standar pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional Pusat.

Disamping hal diatas, melalui penelitian dan pembahasan ini punulis ingin menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dibidang pemerintahan dan dibidang penyelenggaraan tugas dan peran BPN dalam pelayanan publik.

Dengan adanya penelitian ini penulis mendapatkan gambaran tentang tugas dan fungsi BPN khususnya yang berhubungan dengan peran dalam pelayanan publik di era otonomi daerah sekaligus konstribusinya pada pelaksanaan otonomi daerah setelah berlakunya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006.

(18)

IV. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran penulis di perpustakaan universitas sumatera utara dan di perpustakaan fakultas hukum uninersitas sumatera utara, penulis tidak menemukan adanya judul skripsi mengenai ”Peran Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang Dalam Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah”. Sehingga penulis dapat menjamin keaslian penulisan yang di lakukan oleh penulis.

V. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan judul yaitu ”Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik Di Era Otonomi

Daerah”.

Sebelum penulis melanjutkan pembahasan, terlebih dahulu penulis mencoba memberikan beberapa penjelasan, pengertian secara umum dari judul skripsi ini, sekaligus memberikan penegasan demi mencegah kesimpangsiuran atau kekaburan dalam memahami tulisan ini.

1. “Peran” dalam tulisan ini mempunyai arti fungsi dan tugas.

2. ”Badan Pertanahan Nasional” adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, yang dalam penulisan ini penulis lebih membahas peran BPN dalam pelayanan publik sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dilaksanakan satuan kewilayahan didaerah-daerah berdasarkan permintaan Pemerintah Daerah Otonom.

3. ”Pelayanan Publik” adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

(19)

publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

5. ”Organisasi Penyelenggara Pelayanan Publik” adalah Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

6. ”Pelaksana Pelayanan Publik” adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

7. ”Masyarakat” adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.

8. ”Standar Pelayanan” adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.

9. ”Sistem Informasi Pelayanan Publik” adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari Penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik.

(20)

VI. Metode Penelitian

Untuk menulis atau menyusun Skipsi ini digunakan data baik primer maupun sekunder. Guna memperoleh data tersebut perlu diadakan penelian atau

research, yaitu kegiatan mencari dan mengumpulkan keterangan, data yang masih tersimpan dan pengetahuan baru yang lebih mendekati kebenaran. Adapun cara penelitian yang dilakukan penulis dengan berbagai cara yaitu :

1. Sasaran Penelitian

Dalam penulisan Skipsi ini peneliti melakukan riset di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang yang merupakan salah satu kantor Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten untuk mengetahui bagaimana BPN dalam melaksanakan perannya dalam pelayanan publik di era otonomi daerah dan sejauhmana peran tersebut dapat memberikan konstribusi bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan siapa yang menyelenggarakan fungís serta tugas tersebut sebagaimana yang diatur dalam organisasi BPN merupakan sasaran penelitian penulis.

2. Data yang dibutuhkan

Guna kepentingan penulisan Skripsi, penulis menggunakan data sebagai berikut:

a). Data primer, adalah data yang diperoleh dengan pengamatan langsung pada objek yang berhubungan langsung dilapangan.

b). Data sekunder, adalah data yang diperoleh dengan cara mengutip dari buku pedoman BPN yang menjadi paduan BPN dalam penyelenggaran fungís era otonomi daerah berkaitan dengan penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

(21)

penulis menggunakan metode penelitian dengan cara mengkombinasikan antara ”Library Research dan Field Research”

a). Library Research (Riset Kepustakaan)

Dalam hal ini, penulis melakukan suatu penelitian melalui buku-buku, Literatur, majalah-majalah maupun bahan-bahan yang diperoleh dari perkuliahan serta data ilmiah yang berhubungan dengan objek penelitian.

b). Field Research (Riset Lapangan)

Dalam penelitian lapangan ini penulis melakukan suatu penelitian dengan cara observasi atau peninjau secara langsung kepada objek penelitian, disamping itu penulis juga melakukan suatu tanya jawab dengan staf Teritorial di BPN kabupaten Deli Serdang dan pihak-pihak yang banyak mengetahui secara luas mengenai pembahasan skripsi ini. Dalam melakukan penelitian, penulis langsung meneliti pada objek penelitian dan berusaha mendapatkan data yang bersifat objektif dilakukan dengan cara :

1). Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan tanpa mengajukan pertanyaan dan pencatatan tidak tergantung kepada responden. 2). Pencatatan, yaitu pengumpulan data dengan cara mengutip data

dari staf terkait dengan penelitian ini.

Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara wawancara, dengan meminta keterangan melalui pertanyaan yang telah disiapkan penulis kepada staf yang bersangkutan.4

VII. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana bab-bab tersebut disesuaikan dengan isi dan maksud dari tulisan skripsi ini, secara garis besar pembahasannya dibagi lagi dalam sub-sub bab sesuai dengan penulisan skripsi. Adapun kelima bab tersebut dapat dilihat dari gambaran sebagai berikut :

(22)

Bab I. Pendahuluan.

Dalam bab ini merupakan materi dasar mengenai maslah dan uraian pembahasannya yang berisikan tentang penegasan dan pengertian judul, alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan penelitian, metode penulisan, metode penelitian dan gambaran isi.

Bab II. Gambaran Umum Mengenai Pelayanan Publik dan Otonomi Daerah.

Disini penulis menjelaskan tentang pelayanan publik, apa dasar hukum berlakunya pelayanan publik, pengertian dari otonomi daerah, landasan hukum otonomi daerah dan mengenai pelayanan publik di era otonomi daerah.

Bab III. Gambaran Umum Mengenai Badan Pertanahan Nasional

Kabupaten Deli Serdang.

Bab ini terdiri dari pengertian peran BPN, Landasan hukum peran BPN dan bagaimana kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang serta menegnai struktur organisasi Badan Pertanahan Nasional dan tugas-tugas dari struktur organisasi Badan Pertanahan Nasional tersebut.

Bab IV. Peran Badan Pertanahan Nasional Dalam Pelayanan Publik di Era

Otonomi Daerah.

Dalam bab ini diuraikan tentang pelayanan publik yang ada di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang. Tentang pelayanan membantu dalam pengelolaan pengaduan dan pencatatan dan informasi pertanahan serta menjelaskan standar pelayanan dan pengaturan pertanahan.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI PELAYANAN PUBLIK DI ERA

OTONOMI DAERAH

I. LANDASAN HUKUM PELAYANAN PUBLIK

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat dan akhirnya telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Dan pada perkembangan terakhir di terbitkan pula Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui keputusan-keputusan dan undang-undang sebagaimana tersebut di atas, tetapi juga melalui peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan.

(24)

kualitas pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan. Penyediaan pelayanan pemerintah yang berkualitas, akan memacu potensi sosial ekonomi masyarakat yang merupakan bagian dari demokratisasi ekonomi. Penyedian pelayanan publik yang bermutu merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang semakin berkurang, akibat krisis ekonomi yang terus menerus berkelanjutan pada saat ini. Hal tersebut menjadikan pemberian pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat menjadi semakin penting untuk dilaksanakan. 5

A. Permasalahan Pelayanan Publik

Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.

Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:

1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan

kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat. 3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari

jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan

lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

5

(25)

5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan pertanahan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai bidang, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggung jawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.

6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada

umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.

7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam

pelayanan pertanahan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

(26)

B. Penyelesaian Permasalahan Pelayanan Publik

Dari sisi lain, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah pelayanan publik tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Penetapan Standar Pelayanan.

Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.

2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP)

Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:

(27)

b). Untuk memastikan bahwa pelayanan pertanahan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku;

c). Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;

d). Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;

e). Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;

f). Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;

3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan.

Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;

4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan.

(28)

publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi.

Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.

C. Pedoman Pelayanan Publik

Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanaan publik oleh aparatur pemerintah perlu disusun suatu pedoman, merupakan acuan bagi instansi pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik, yang dituangkan dalam suatu Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Yang antara lain mengatur: 1. Maksud dan Tujuan ; 2. Hakikat Pelayanan Publik ; 3. Asas-asas Pelayanan Publik ; 4. Prinsip-prinsip Pelayanan Publik.

1. Maksud dan Tujuan

Undang-Undang tentang Pelayanan Publik dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Tujuan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik adalah

(29)

b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;

c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

2. Hakikat Pelayanan Publik

Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Untuk lebih memahami mengenai hakikat pelayanan publik, terdapat beberapa pengertian

a. Pelayanaan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

b. Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. c. Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana

adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

(30)

e. Organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

3. Asas-asas Pelayanan Publik a). Keterbukaan

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b). Kepentingan Umum

Pemeberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.

c). Kepastian Hukum

Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraab pelayanan. d). Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

e). Kesamaan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

f). Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

g). Keprofesionalan

Pelaksanaan pelayanan harus memilikikompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.

h). Persamaan Perlakuan/tidak Diskriminatif

(31)

i). Akuntabilitas

Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

j). Fasilitas dan Perlakuan Khusus Bagi Kelompok Rentan.

Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.

k). ketepatan waktu.

Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.

l). kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

4. Prinsip-prinsip Pelayanan Publik a). Kesederhanaan

Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.

b). Kejelasan, menyangkut :

Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik;

Unit kerja/penjabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik

c). Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. d). Standar Pelayanan Publik

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. e). Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pasal 35 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

(32)

(2) Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: a. pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

b. pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: a. pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

b. pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

c. pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan melalui : Pengawasn melekat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawaswan fungsional yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan masyarakat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 6

”Pelayanan publik adalah salah satu fungsi penting pemerintah, yang seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami dalam menilai komitmen, kompetensi, dan kinerja pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang pokok tersebut. Pelayanan publik merupakan proses sekaligus kinerja yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah dijalankan, yang sekaligus juga mengindifikasikan kualitas aparatur didalamnya. Ketidak puasan terhadap kinerja pelayanan publik antara lain dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan. Gejala high cost economy ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan yang

(33)

terpaksa diterima. Keadaan seperti itu ditemui ditemui pada keseluruhan tingkatan organisasi publik yang memberikan pelayanan. Hal ini mengindikasikan pula luasnya ketidak puasan terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik (Direktorat Aparatur Negara Bappenas, 2004).”

Dalam rangka efektifitas pelaksanan otonomi daerah, sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, dalam kontek desentralisasi, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih reponsif terhadap kepentingan publik, dimana pradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan dengan ciri-ciri :

1 . Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan pada masyarakat.

2 . Lebih memfokuskan diri pada pemberdayan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.

3 . Menerapkan sistim kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.

4 . Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil sesuai dengan maksud yang diinginkan. 5 . Lebih mengutamakan apa yang diinginkan masyarakat.

6 . Pada hal tertentu pemerintahan juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan.

7 . Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan. 8 . Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan. 9 . Menerapkan sitem pasar dalam memberikan pelayanan.7

(34)

Dalam pelaksanaan program dan kegiatan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, diperlukan pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan sebagai langkah akuntabilitas dan evaluasi dengan tujuan menciptakan pelayanan yang prima. Pengawasan sendiri adalah kegiatan penilaian terhadap organisasi agar organisasi tersebut melakukan tugas pokok dan fungsinya dengan baik dan benar untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sementara itu pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif dan professional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi. Sebagai petugas yang setiap saat berhadapan langsung dengan masyarakat yang memerlukan layanan dibidang Pertanahan, tentu sangat dibutuhkan suatu sikap ramah dan santun , sehingga masyarakat dapat merasakan pelayanan yang memuaskan dan penuh keramahan.

II. LANDASAN HUKUM OTONOMI DAERAH

Untuk mengetahui dasar hukum otonomi daerah yang telah berlaku di Indonesia maka ada baiknya terlebih dahulu kita melihatnya dari sejarah otonomi itu sendiri.

A. Otonomi Daerah Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1. Masa Sebelum Tahun 1903

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sebelum tahun 1903, Indonesia hanya terbagi atas dua wilayah administrative, yaitu Beevesten ,Afdeligen,

Onderafdelingen Masing-masing wilayah berada dibawah kekuasaan seorang

Pamong Praja bangsa Belanda ( Europese Bestuurs Ambtenar ) yang disebut

Resident,Assistant Resident ( Kepala Afdeling ),Kepala District ( Wedana ) dan

Kepala Onderdistrict ( Camat ).

(35)

Regent ( Bupati ), Wedana dan assistant wedana.sedangkan dilaur jawa dan madura suatu onderafdeling terbagi atas District dan Praja bangsa Indonesia,yaitu Demang dan Assistant Demang atau nama lain Onderdistrict ( Luasnya sama dengan kecamatan sekarang ) merupakan kesatuan wilayah administratif terkecil yang dibentuk pemerintah belanda baik diJawa maupun diluar Jawa.

2. Masa Setelah Tahun 1903

Pemerintah Belanda mulai memperkenalkan otonomi daerah di Indonesia. Dengan menerapkan asas desentralisasi berdasarkan Undang-undang Desentralisasi tahun 1903 ( Wet HuodendeDesentralisatie Van Het Bestuur in

Nedrlandse Indie ) yang memungkinkan dibentuknya daerah-daerah otonom yang

bernama “gewestelijke Reswort” untuk wilayah Rural dan Gementeen untuk wilayah Urban di pulau Jawa dan Madura, sedangkan diluar Jawa dibentuk Locale

Resorten ( Selus Wilayah Kewedaan ) pada wilayah yang bersifat Rural dan

Gemeenten untuk wilayah yang bersifat Urban.

Langkah menuju desentralisasi dan otonom ditempuh dengan cara menerapkan Ordanansi (Undang-undang/Dewan-dewan Daerah) (Locale raden) Ordonantie, diundangkan dalam lembaran negara (Staatsblad) 1905 nomor 181.Atas dasar ordonansi ini dibentuklah dewan-dewan daerah Gewst.

Gewest adalah daerah administratife yang sama dengan lingkungan keresidenan

yang otonom.

Diluar Jawa dibeberapa kota penting dibentuk juga dewan-dewan Kotapraja disamping beberapa dewan setempat.Menurut J Wajong (1975 : 5)

pembentukan Gementeraden pilihannya senantiasa jatuh pada kota-kota yang mempunyai banyk penduduk asing. Dalam hal ini Belanda, sebab Gemente dilihat sebagai suatu lingkungan tersendiri yang bercorak barat ditengah masyarakat timur. Gementeraden menjelma menjadi Straaatsgeemente atau Kotopraja (Persi Undang-Undang No 1 tahun 1957) kemudian Kotamadya (Versi Undang-Undang No 5 tahun 1974) dan selanjutnya menjadi kota (Versi Undang-Undang No 2 tahun 1999).

(36)

a). Ordonisasi Propinsi, lembaran negara 1924 Nomor 78,yang disusul dengan Pembentukan Propinsi Jawa Barat ( 1925 ),Jawa Timur ( 1972 ) dan Jawa Tengah ( 1929 ).

b). Ordonansi Kabupaten, lembaran Negara 1924 nomor 79 yang menjadikan dasar bagi pembentukan dewan-dewan kabupaten diketiga Propinsi itu.

c). Ordonisasi Kotapraja, lembaran Negara 1926 Nomor 365 yang mengubah Gementeraden di jawa menjadi Staatsgemente (kotapraja).

d). Bagi diluar Jawa berlaku staatsgemeente Ordonantie

Buitengewesten, lembaran negara 1938 Nomor 131 yang

mengubah Gemente diluar Jawa menjadi Staatsgemeente

(kotapraja).

e). Greepsgemeenshaps Ordonantie, lembaran negara 1973 Nomor

464 yang memungkinkan pembentukan daerah otonom bagi lingkungan suku-suku yang Homogen ( diluar Jawa ).

Daerah-daerah yang disebut diatas pada nomor d dan e diatas diharapkan akan mempunyai status menyerupai propinsi dan kabupaten di Jawa. Tampak bahwa dalam bentuk daerah-daerah tersebut mengikuti pola propinsi dan Kotapraja dinegeri Belanda,dimana instansi tertinggi adalah dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) dan dalam hubungan subordinan dibawahnya terdapat Badan Eksekutif dengan nama “College Van Burgemeester en Wethouders”( Wajong 1975 : 5 ).

Dapat disimpulkan bahwa desentralisasi pada waktu atau berkembang mengarah pada pemerintahan daerah yang bersifat kolegial, yang kelak akan mewarnai perkembangan dan otonom daerah pada masa setelah kemerdekaan. Berdasarkan peraturan pemerintah penduduk Jepang, Osamu Sirei No 27 Tahun 2602 ( 1942 ),Jawa dibagi kedalam:

Syuu (Keresidenan) yang dikepalai oleh seorang Syuu (Resident) Syuu dibagi kedalam Si (Kota praja) yang dikepalai oleh Sicoo (Walikota) dan Ken (Kabupaten) yang dikepalai oleh Ken-coo (Bupati). Ken dibagi kedalam Gun

(37)

dikepalai oleh Son-coo (camat / Asisten Wedana) dan akhirnya Son dibagi kedalam Ku (Desa / Kelurahan) yang dikepalai oleh Ku-coo (Kepala desa / Lurah). Disamping itu masih terdapat pula Kooti ( Kesultanan dan Kesunanan ) Yogyakarta dan Surakarta. Sasaran pemerintah diluar Jawa / Madura sejauh mungkin disesuaikan dengan di Jawa.

Sebagai mana diketahui sejak kemerdekaan hingga sekarang, desentralisasi dan otonomi daerah ditandai dengan serangkaian Undang-undang mengenai pemerintahan Daerah dengan berkali-kali diganti, diubah berturut-turut sebagi berikut:

B. Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1945.

Sebenarnya Undang-undang ini hanya mengatur tentang kedudukan komite Nasional daerah,namun dapat dikatakan pada hakekatnya mengatur tentang pemerintahan daerah (Desentralisasi dan Otonomi daerah). Gambaran Otonomi menurut Undang-undang ini, sedikitnya sama dengan otonomi menurut kefahaman decentralisasi Wetgeving ialah pengaturan mengenai desentralisasi setelah dikeluarkannya Decentrlisatiewet 1903.

C. Otonomi Daerah Berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948

Otonomi Daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak adanya upaya untuk mewujudkan makna bunyi pasal 18 Undang-undang dasar 1945. Menurut J.Wajong ( 1975 : 5 ), hal ini terlihat melalui penetapan yang ada dalam Undang-undang tersebut yaitu :

1. Landasan pelaksanaan desentralisasi yang rasional sebagai sarana mempercepat keajuan rakyat didaerah.

2. Diadakan 3 tingkatan daerah otonom,yaitu propinsi bagi daerah tingkat I, Kabupaten dan Kota bagi daerah Tingkat II dan desa (Kota kecil,nagari,marga dan sebagainya) bagi daerah Tingkat III.

3. Memodernisasi dan mendinamisasi pemerintah desa dengan menjadi- kan daerah tingkat III.

(38)

5. Pembentukan Daerah Istimewa didaerah yang mempunyai hak usul dan dizaman sebelum republik Indonesia telah mempunyai pemerintahan sendiri.Namun demikian patut disayangkan pembentukan daerah Tingkat III yang diamanatkan dalam Undang-undang No 22 Tahun 1948 ini tidak pernah dilaksanakan.

D . Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1957.

Undang-undang No 1 Tahun 1957 memperkenalkan konsep otonomi yang riil dan seluas-luasnya yang belum pernah dikemukakan pada Undang Undang mengenai penyelenggaraan pemerintahaan didaerah sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya Undang-undan ini banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh kondisi ketatanegaraan saat itu yakni susunan Ketatanegaraan dengan semangat Liberalisme, karena Politik Hukum yang dianut didasarkan oleh demokrasi Liberalisme. Demikian pula Undang Undang ini mempunyai kelemahan yaitu dengan adanya Perangkat Pemerintahan Daerah yang seakan-akan terpisah dari perangkat pemerintahan pusat didaerah yang setingkat, sehingga menjadi dualisme pemerintahan.

E. Otonomi Berdasarkan Undang-undang No 18 Tahun 1965.

Dengan berlakunya kembali Undang Undang Dasar 1945 berdasarkan Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 maka diadakan pula perubahan dalam pelasanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan itu terutama menghilangkan kelemahan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan kebutuhan penyesuaian susunan pemerintah daerah dengan susunan menurut Undang Undang Dasar 1945.

Undang Undang No 18 Tahun 1965 intinya menetapkan bahwa desentralisasi Berjalan dengan menjunjung tinggi desentralisasi,teritorial,dualisme pemerintahan didaerah dihapuskan. Dalam Undang Undang ini tampak jelas bahwa Kepala Daerah hanya sebagai alat pusat dan pusat sepenuhnya mengendalikan daerah.Mengenai campur tangan pengendalian pusat terhadap daerah ini,antara lain juga tampak dalam hal :

(39)

2 . Kepala Daerah (Sebagai Alat Pusat) mempunyai kekuasaan untuk menagguhkan keputusan DPRD apabila bertentangan dengan GBHN dan kepentingan umum serta peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

3 . Kepala daerah disahkan oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I dam Menteri dalam Negeri atas persetujuan Presiden untuk Daerah Tingkat II.Kepala daerah yang diangkat dapat dari orang luar calon yang diajukan oleh DPRD.

Wilayah indonesia dibagi atas daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom) dan tersusun dalam 3 tingkatan yaitu sebagai berikut :

1 . Propinsi dan atau Kota raya sebagai daerah Tingkat I 2 . Kabupaten dan atau Kotamadya sebagai daerah Tingkat II 3 . Kecamatan dan atau Kotapraja sebagai daerah tingkat III

F . Otonomi Daerah Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974

Bertolak dari kelemahan-kelemahan Undang-undang sebelumnya,maka pada masa pemerintahan orde Baru dilakukan perombakan mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan Otonomi daerah,melalui kebijakan yang tertuang di GBHN dalam ketetapan MPR No IV/ MPR / 1973,yang antaralain mengatakan :

1 . Asas desentralisasi digunakan seimbang dengan dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi.

(40)

Tetapi ini tidak berjalan selamanya dengan adanya reformasi maka Undang-undang ini juga mengalami perubahan karena dirasakan oleh rakyat.Bahwa otonomi ini hanya sebuah teori saja dan masih ada ikut campur tangan pusat dalam pengelolaan hasil daerah masing-masing. Dalam Undang-undang No 5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa otonomi daerah itu merupakan kewajiban dari pada hak kewajiban daerah masing-masing untuk melancarkan pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Otonomi daerah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan Perundang-undangan.

Ketentuan ini memberi gambaran bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah. Dalam bahasa Hukum wewenang tidak sama dengan kekuasaan, kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat.Dalam hukum wewenang berarti hak dan kewajiban. Dalam ikatan dengan otonomi daerah hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban secaraHorizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahaan sebagai mana mestinya. Secara vertical berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahaan dalam satu tertibikatan pemerintahaan negara secara keseluruhan.

G. Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Di Indonesia soal desentralisasi menyangkut dua masalah penting, yakni: Pertama, penyebaran dan pelimpahan kekuasaan pemerintahan ke segenap daerah negara. Kedua, penyerasian perbedaan-perbedaan yang ada diantara daerah-daerah, pemenuhan aspirasi-aspirasi dan tuntutan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Kedua masalah itu akan berkembang sejalan dengan dinamika politik dan respon elite terhadap desentralisasi.wujudkan

(41)

pada Kabupaten/Kota yang kebagian otonomi penuh merentangkan harapan akan terwujudnya local accountability , yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya bukan lagi suatu hal yang mustahil.

Pada saat peluang dan ruang otonomi daerah itu baru pada taraf disiasati daerah guna mencapai hasilnya yang optimal, tiba-tiba pemerintah mengambil suatu kebijakan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. jiwa dan semangat otonomi daerah dari kedua undang-undang pemerintahan daerah itu, UU No.22 Tahun 1999 menganut paham, bahwa desentralisasi itu adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka konsepsi itu tampaknya tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang baru, yakni penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Persoalan baru muncul ketika Daerah dihadapkan pada konsepsi otonomi daerah, dimana UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsepsi otonomi daerah yang dianut undang-undang ini mirip dengan konsepsi otonomi daerah yang dianut UU No. 5 Tahun 1974. Dan sangat berbeda dengan rumusan otonomi daerah yang dianut UU No. 22 Tahun 1999 yang menyebutkan otonomi daerah itu adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(42)

urusan wajib pula untuk Kabupaten/Kota. Selain urusan wajib baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota disertai dengan urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004, menurut penulis memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan pola UU No.22 tahun 1999 yang dituangkan dalam PP No.25 Tahun 2000. Pola yang dikembangkan UU No.22 Tahun 1999 vide PP No.25 Tahun 2000 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah, dimana sudah ditentukan apa-apa yang menjadi kewenangan pemerintah dan apa-apa yang menjadi kewenangan propinsi dan apa yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota adalah kewenangan yang tidak temasuk kewenangan pemerintah dan propinsi. Dalam konteks ini undang-undang tidak memberi ruang kepada pemerintah untuk mencampuri urusan yang telah menjadi kewenangan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi tidak pula dapat mencampuri urusan-urusan Kabupaten/Kota.

(43)

ada penyerahan urusan. Mekanisme yang demikian, lagi-lagi mirip model undang-undang No.5 Tahun 1974.

Mencermati pola pembagian urusan yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 memang tidak harus ditanggapi secara skeptis, tetapi konsep otonomi daerah yang akan dikembangkan tampaknya berjiwa sentralistik. Meskipun undang-undang baru itu masih memaknai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang, tetapi sesungguhnya hanya penyerahan urusan. Dan atas urusan yang diserahkan kepada daerah itu diberikan rambu-rambu yang tidak mudah untuk dikelola daerah dengan leluasa sebagai urusan rumah tangga sendiri. Setidaknya ada beberapa-beberapa rambu yang sangat “karet”, yakni:

1. Daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan criteria

eksternalitas, akuntabelitas, dan efisiensi dengan memperhatikan

keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

3. Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antar pemerintah dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan.

(44)

urusan local atau stempat, yang ada hanya kebijakan pusat yang harus menjadi acuan bagi setiap pengambilan kebijakan pemerintahan daerah.

Padangan kita terhadap kebijakan otonomi daerah yang diambil pembentuk undang-undang yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 bukanlah suatu sinisme, melainkan memang kebijakan otonomi daerah yang protektif dan tampaknya lebih dominan dibangun padangan politik “khawatiran “ dan juga sebagai reaksi yang berlebihan atas otonomi daerah yang berlansung dibawah UU No.22 tahun 1999. Bahkan tidak tertutup kemungkinan semangat otonomi daerah dari UU No. 32 Tahun 2004 dibangun atas pandangan UU No.22 Tahun 1999 dipahami sebagai berjiwa federalis. Jika persepsi ini benar, maka sejarah desentralisasi di Indonesia kembali mengalami kemunduran.

Konsepsi otonomi daerah yang dirumuskan dalam UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana digambarkan di atas, ia jelas akan membawa pengaruh dan perubahan yang mendasar bagi eksistensi Daerah dan pemerintahannya. Sekaligus merupakan tantangan bagi daerah dan menghadapkan pemerintahan daerah pada suatu kondisi yang dilematis ketika desakan untuk mewujudkan local accountability.

Jika ditelusuri lebih jauh konsepsi otonomi daerah menurut undang-undang No.32 Tahun 2004, pada Pasal 10 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenagannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Ketentuan ini tentu tidak diperlukan, karena di dalam undang-undang ini telah disebutkan apa-apa yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Dan kalau dikuti ketentuan pasal 10 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 itu maka tidak diperlukan lagi penentuan secara limitatif apa yang menjadi urusan pemerintah daerah. Pemerintahan daerah berhak mengatur urusan-urusan yang tidak menjadi urusan pemerintah pusat.

(45)

prinsip otonomi seluas-luasnya, dilaksanakan pula prinisip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk membedayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Dari beberapa yang kita kemukakan mengenai konse[si otonomi daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka tidak terelakan lagi, bahwa tantangan utama bagi daerah dalam berotonomi pasca revisi UU No.22 Tahun 1999 adalah kesiapan daerah dan masyarakatnya kembali kejiwa dan semangat Otonomi Daerah sebagaimana pernah dipratekkan semasa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 yang berbeda hanya dalam beberapa dan sistemnya, tetapi substansinya kurang lebih sama.

(46)

lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Lebih jauh UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan, bahwa dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

(47)

III. PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH

Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan.

Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja.

Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Oleh karena itu, dengan membandingkan upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dengan kondisi pelayanan publik yang dituntut dalam era desentralisasi, tampaknya apa yang telah dilakukan pemerintah masih belum banyak memberikan kontribusi bagi perbaikan kualitas pelayanan publik itu sendiri, bahkan birokrasi pelaya

Referensi

Dokumen terkait

Demikian berita acara ini dibuat dengan sebenarnya untuk diketahui oleh seluruh calon peserta Lelang Pekerjaan Renovasi Gedung Kantor KPP Madya Batam Tahun Anggaran

JURUSAN : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAFTAR PESERTA KULIAH DAN NILAI AKHIR.. SEMESTER GANJIL TAHUN

[r]

[r]

Dalam hal ini, unit manajemen risiko melakukan diskusi dan penilaian bersama dengan pemilik risiko untuk mendapatkan profil risiko kuantitatif yang lebih akurat..

Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti menengarai ada beberapa faktor penyebab menurunnya minat mengikuti PKPI, yang meliputi (1) faktor dari calon peserta PKPI sendiri,

Lampiran 4 Hal-hal yang Perlu diperhatikan dalam Penerapan Kebijakan Pengelolaan Pengaduan Pelanggaran ( Whistleblowing System ) atau KP3/WBS. Lampiran 5 Checklist

DIRECTORATE GENERAL OF RESOURCES FOR SCIENCE, TECHNOLOGY & HIGHER EDUCATION MINISTRY OF RESEARCH, TECHNOLOGY AND HIGHER