• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis keruangan kawasan lindung DAS Cikaso, kabupaten Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis keruangan kawasan lindung DAS Cikaso, kabupaten Sukabumi"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KERUANGAN KAWASAN LINDUNG

DAS CIKASO, KABUPATEN SUKABUMI

NURUL IFTITAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2005

(3)

ABSTRAK

NURUL IFTITAH. Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan WIDIATMAKA.

Pesatnya kemajuan yang dicapai dalam pembangunan, seringkali berakibat pada terjadinya pergeseran pola pemanfaatan lahan yang tidak sesuai lagi dengan kaidah penataan ruang, daya dukungnya serta kesesuaian lahannya. Oleh karena itu, perlu ada suatu penataan ruang yang diarahkan pada tercapainya keseimbangan kawasan budidaya dan kawasan lindung. Penentuan kawasan lindung, sebagai faktor pembatas suatu pemanfaatan ruang, harus berdasarkan kondisi fisik wilayahnya, dan dalam implementasinya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kawasan yang berfungsi lindung di DAS Cikaso ditinjau dari aspek biofisik wilayahnya, 2) menganalisis kemungkinan penyimpangan fungsi kawasan lindung, 3) menganalisis besarnya indikasi tekanan penduduk terhadap kawasan lindung. Metode analisis dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi serta menggunakan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan kriteria Departemen Kehutanan. Indikasi tekanan penduduk ditentukan dengan perhitungan nilai indeks tekanan penduduk.

Berdasarkan kondisi fisik wilayahnya, kawasan yang sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso, jika menggunakan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 adalah 26.285.69 ha atau 22.44% dari keseluruhan luas wilayah. Sedangkan jika menggunakan pendekatan kriteria Departemen Kehutanan diperoleh kawasan lindung seluas 43.421.61 ha (37.07%).

Berdasarkan rencana pemanfaatan ruang yang telah ada, terdapat kemungkinan penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso sebesar hampir 93% dan ketidaksesuaian pengalokasian pemanfaatan ruang sebesar 97.57%. Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan existing pada kawasan yang seharusnya berfungsi lindung, terdapat kemungkinan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sebesar 79.33%, yaitu untuk penggunaan tegalan, sawah, semak belukar, kebun campuran, perkebunan, pemukiman, dan padang rumput serta pasir.

Kriteria penetapan kawasan lindung lain oleh Departemen Kehutanan dapat digunakan sebagai kriteria tambahan dalam penetapan kawasan lindung di wilayah-wilayah tertentu, misalnya pada wilayah hulu suatu DAS atau pada wilayah-wilayah yang telah mengalami kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia.

Seluas 98.36% dari kawasan lindung hasil identifikasi berada di wilayah-wilayah yang mempunyai indikasi tekanan penduduk (indeks tekanan penduduk >1).Oleh karena itu, perlu upaya mengurangi ketergantungan penduduk terhadap lahan melalui penguatan kelembagaan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan aksesibilitas pada wilayah selatan Kabupaten Sukabumi.

(4)

ABSTRACT

NURUL IFTITAH. Spatial Analysis of Preservation Area of Cikaso Watershed, Sukabumi District. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and WIDIATMAKA.

Attained progressive in development sometimes causes shifting of land utilization pattern that does not match with spatial arrangement point of view, carrying capacity and land suitability. Therefore, the spatial arrangement plan is needed to achieve balance between cultivation area and preservation area. Determination of preservation area as a limitation factor for spatial utilization has to be based on the physical condition of its area, and the implementation is affected by socioeconomic condition of community surrounding the area.

The objectives of this research are: 1) to identify the preservation areas in Cikaso watershed based on its biophysical condition, 2) to analyze the spatial utilization discrepancy of preservation area, 3) to analyze the population pressure on preservation area. The analysis was conducted by GIS approach and applying the president Decree No. 32/1990 about Management of Preservation Area as well as the criteria from Ministry of Forestry (1993). Population pressure indication is decided by the value of population pressure index.

Based on physical condition of the Cikaso watershed by applying the president Decree No. 32/1990, the area that should be decided as a preservation area is 26,285.69 ha or 22.44% of the entire watershed. Meanwhile by the criteria of Ministry of Forestry (1993), the preservation area is 43,421.61 ha (37.07%).

Based on the existing spatial utilization plan, there is 93% discrepancy of spatial utilization on preservation area of the watershed and discrepancy of spatial utilization allocation is 97.57%. Based on the existing land use as well as the area that should be functioned as a preservation area, there is 79.33% discrepancy of the spatial utilization that has been applied for dry field, rice field, brushwood, plantation, mixed cultivation, settlement, grassland and sand.

Another criterias for determination of preservation area by Ministry of Forestry (1993) are able to be used as additional criteria for determination of preservation area of particular areas, for example upper area of the watershed or the damaged area due to people activities.

There is significant indication of the population pressure on 98.36% of the identified preservation area in the watershed (Population Pressure Index >1). Therefore, dependency of the community on the preservation area should be decreased by strengthening the farmer institution, increasing the job opportunities and increasing the accessibility at southern of Sukabumi District.

Key words: discrepancy, existing land use, preservation area, population pressure, spatial arrangement plan

(5)

ANALISIS KERUANGAN KAWASAN LINDUNG

DAS CIKASO, KABUPATEN SUKABUMI

NURUL IFTITAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005

(6)

Judul Tesis : Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi

Nama : Nurul Iftitah

NIM : A253040064

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Dr. Ir. Widiatmaka, DAA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 31 Oktober 2005 Tanggal Lulus :

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah kawasan lindung, dengan judul Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi.

Terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku Komisi Pembimbing atas motivasi, arahan, dan bimbingannya sejak tahap awal hingga selesainya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan selaku Penguji Luar Komisi atas masukan dan sarannya guna penyempurnaan tesis ini. Kepada pimpinan beserta staf Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung dan Ibu Evi (Pemda Kabupaten Sukabumi), terima kasih atas kemudahan yang diberikan dalam akses data, juga Pimpinan beserta staf Kantor Cabang Dinas Kehutanan Wilayah V dan VI, Kabupaten Sukabumi, yang telah banyak membantu selama penulis di lapangan. Tak lupa terima kasih pula kepada ayah dan ibu atas doa dan restunya, suami, dan anak-anak tercinta atas pengertian dan kasih sayangnya, serta rekan-rekan PWL atas kebersamaan yang indah dan dukungan semangat yang tiada henti selama ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak. Jika terdapat kebenaran, adalah semata-mata dari Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.

Bogor, Desember 2005

Nurul Iftitah

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 5 Pebruari 1970 dari ayah Agoes Prajitno dan ibu Siti Fatimah sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Menikah dengan Dedi Hermansyah pada tahun 1994 dan telah dikaruniai sepasang buah hati, Nabila Novania Hermansyah (10 tahun) dan Ghifari Septandi Hermansyah (3 tahun).

Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota kelahiran dan pada tahun 1988 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) IPB. Pada tahun 1989, penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkan pada tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah diperoleh pada tahun 2004 atas biaya Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Latihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas.

Penulis pernah bekerja pada PT. Megah Ganendra Consultans di Jakarta (1992-1994) dan PT. Intidaya Agrolestari di Bogor (1994-1998). Pada tahun 1998 penulis masuk sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan dan saat ini bertugas pada Direktorat Pengelolaan DAS, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta.

(9)

Sebuah persembahan untuk anak‐anakku tersayang,  Nabila Novania Hermansyah dan  

Ghifari Septandi Hermansyah,  semoga karya ini 

dapat menjadi pemacu semangat kalian  dalam meraih pendidikan yang tinggi 

dan mewujudkan cita 

(10)

DAFTAR ISI

Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 6

TINJAUAN PUSTAKA Penataan Ruang ………... 7

Kawasan Lindung ……… 10

Tekanan Penduduk pada Kawasan Lindung ………... 13

Kesesuaian Lahan ……… 15

Daerah Aliran Sungai ……….. 16

Sistem Informasi Geografi ……….. 20

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan ……….. 22

Tempat dan Waktu Penelitian……….. 22

Pengumpulan Data ……….. 24

Penyiapan Data Digital ……… 25

Identifikasi Kawasan Lindung ………... 25

Analisis Kemungkinan Penyimpangan Fungsi Kawasan Lindung …. 29 Analisis Tekanan Penduduk………. 29 Parameter Penetapan Kawasan Lindung……….. 44

Identifikasi Kawasan Lindung ……… 53

Analisis Kemungkinan Penyimpangan Fungsi Kawasan Lindung….. 62

Analisis Tekanan Penduduk………. 87

SIMPULAN……… 100

DAFTAR PUSTAKA ……… 103

LAMPIRAN ………... 107

(11)

ANALISIS KERUANGAN KAWASAN LINDUNG

DAS CIKASO, KABUPATEN SUKABUMI

NURUL IFTITAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2005

(13)

ABSTRAK

NURUL IFTITAH. Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan WIDIATMAKA.

Pesatnya kemajuan yang dicapai dalam pembangunan, seringkali berakibat pada terjadinya pergeseran pola pemanfaatan lahan yang tidak sesuai lagi dengan kaidah penataan ruang, daya dukungnya serta kesesuaian lahannya. Oleh karena itu, perlu ada suatu penataan ruang yang diarahkan pada tercapainya keseimbangan kawasan budidaya dan kawasan lindung. Penentuan kawasan lindung, sebagai faktor pembatas suatu pemanfaatan ruang, harus berdasarkan kondisi fisik wilayahnya, dan dalam implementasinya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kawasan yang berfungsi lindung di DAS Cikaso ditinjau dari aspek biofisik wilayahnya, 2) menganalisis kemungkinan penyimpangan fungsi kawasan lindung, 3) menganalisis besarnya indikasi tekanan penduduk terhadap kawasan lindung. Metode analisis dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi serta menggunakan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan kriteria Departemen Kehutanan. Indikasi tekanan penduduk ditentukan dengan perhitungan nilai indeks tekanan penduduk.

Berdasarkan kondisi fisik wilayahnya, kawasan yang sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso, jika menggunakan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 adalah 26.285.69 ha atau 22.44% dari keseluruhan luas wilayah. Sedangkan jika menggunakan pendekatan kriteria Departemen Kehutanan diperoleh kawasan lindung seluas 43.421.61 ha (37.07%).

Berdasarkan rencana pemanfaatan ruang yang telah ada, terdapat kemungkinan penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso sebesar hampir 93% dan ketidaksesuaian pengalokasian pemanfaatan ruang sebesar 97.57%. Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan existing pada kawasan yang seharusnya berfungsi lindung, terdapat kemungkinan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sebesar 79.33%, yaitu untuk penggunaan tegalan, sawah, semak belukar, kebun campuran, perkebunan, pemukiman, dan padang rumput serta pasir.

Kriteria penetapan kawasan lindung lain oleh Departemen Kehutanan dapat digunakan sebagai kriteria tambahan dalam penetapan kawasan lindung di wilayah-wilayah tertentu, misalnya pada wilayah hulu suatu DAS atau pada wilayah-wilayah yang telah mengalami kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia.

Seluas 98.36% dari kawasan lindung hasil identifikasi berada di wilayah-wilayah yang mempunyai indikasi tekanan penduduk (indeks tekanan penduduk >1).Oleh karena itu, perlu upaya mengurangi ketergantungan penduduk terhadap lahan melalui penguatan kelembagaan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan aksesibilitas pada wilayah selatan Kabupaten Sukabumi.

(14)

ABSTRACT

NURUL IFTITAH. Spatial Analysis of Preservation Area of Cikaso Watershed, Sukabumi District. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and WIDIATMAKA.

Attained progressive in development sometimes causes shifting of land utilization pattern that does not match with spatial arrangement point of view, carrying capacity and land suitability. Therefore, the spatial arrangement plan is needed to achieve balance between cultivation area and preservation area. Determination of preservation area as a limitation factor for spatial utilization has to be based on the physical condition of its area, and the implementation is affected by socioeconomic condition of community surrounding the area.

The objectives of this research are: 1) to identify the preservation areas in Cikaso watershed based on its biophysical condition, 2) to analyze the spatial utilization discrepancy of preservation area, 3) to analyze the population pressure on preservation area. The analysis was conducted by GIS approach and applying the president Decree No. 32/1990 about Management of Preservation Area as well as the criteria from Ministry of Forestry (1993). Population pressure indication is decided by the value of population pressure index.

Based on physical condition of the Cikaso watershed by applying the president Decree No. 32/1990, the area that should be decided as a preservation area is 26,285.69 ha or 22.44% of the entire watershed. Meanwhile by the criteria of Ministry of Forestry (1993), the preservation area is 43,421.61 ha (37.07%).

Based on the existing spatial utilization plan, there is 93% discrepancy of spatial utilization on preservation area of the watershed and discrepancy of spatial utilization allocation is 97.57%. Based on the existing land use as well as the area that should be functioned as a preservation area, there is 79.33% discrepancy of the spatial utilization that has been applied for dry field, rice field, brushwood, plantation, mixed cultivation, settlement, grassland and sand.

Another criterias for determination of preservation area by Ministry of Forestry (1993) are able to be used as additional criteria for determination of preservation area of particular areas, for example upper area of the watershed or the damaged area due to people activities.

There is significant indication of the population pressure on 98.36% of the identified preservation area in the watershed (Population Pressure Index >1). Therefore, dependency of the community on the preservation area should be decreased by strengthening the farmer institution, increasing the job opportunities and increasing the accessibility at southern of Sukabumi District.

Key words: discrepancy, existing land use, preservation area, population pressure, spatial arrangement plan

(15)

ANALISIS KERUANGAN KAWASAN LINDUNG

DAS CIKASO, KABUPATEN SUKABUMI

NURUL IFTITAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005

(16)

Judul Tesis : Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi

Nama : Nurul Iftitah

NIM : A253040064

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Dr. Ir. Widiatmaka, DAA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 31 Oktober 2005 Tanggal Lulus :

(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah kawasan lindung, dengan judul Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi.

Terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku Komisi Pembimbing atas motivasi, arahan, dan bimbingannya sejak tahap awal hingga selesainya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan selaku Penguji Luar Komisi atas masukan dan sarannya guna penyempurnaan tesis ini. Kepada pimpinan beserta staf Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung dan Ibu Evi (Pemda Kabupaten Sukabumi), terima kasih atas kemudahan yang diberikan dalam akses data, juga Pimpinan beserta staf Kantor Cabang Dinas Kehutanan Wilayah V dan VI, Kabupaten Sukabumi, yang telah banyak membantu selama penulis di lapangan. Tak lupa terima kasih pula kepada ayah dan ibu atas doa dan restunya, suami, dan anak-anak tercinta atas pengertian dan kasih sayangnya, serta rekan-rekan PWL atas kebersamaan yang indah dan dukungan semangat yang tiada henti selama ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak. Jika terdapat kebenaran, adalah semata-mata dari Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.

Bogor, Desember 2005

Nurul Iftitah

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 5 Pebruari 1970 dari ayah Agoes Prajitno dan ibu Siti Fatimah sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Menikah dengan Dedi Hermansyah pada tahun 1994 dan telah dikaruniai sepasang buah hati, Nabila Novania Hermansyah (10 tahun) dan Ghifari Septandi Hermansyah (3 tahun).

Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota kelahiran dan pada tahun 1988 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) IPB. Pada tahun 1989, penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkan pada tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah diperoleh pada tahun 2004 atas biaya Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Latihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas.

Penulis pernah bekerja pada PT. Megah Ganendra Consultans di Jakarta (1992-1994) dan PT. Intidaya Agrolestari di Bogor (1994-1998). Pada tahun 1998 penulis masuk sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan dan saat ini bertugas pada Direktorat Pengelolaan DAS, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta.

(19)

Sebuah persembahan untuk anak‐anakku tersayang,  Nabila Novania Hermansyah dan  

Ghifari Septandi Hermansyah,  semoga karya ini 

dapat menjadi pemacu semangat kalian  dalam meraih pendidikan yang tinggi 

dan mewujudkan cita 

(20)

DAFTAR ISI

Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 6

TINJAUAN PUSTAKA Penataan Ruang ………... 7

Kawasan Lindung ……… 10

Tekanan Penduduk pada Kawasan Lindung ………... 13

Kesesuaian Lahan ……… 15

Daerah Aliran Sungai ……….. 16

Sistem Informasi Geografi ……….. 20

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan ……….. 22

Tempat dan Waktu Penelitian……….. 22

Pengumpulan Data ……….. 24

Penyiapan Data Digital ……… 25

Identifikasi Kawasan Lindung ………... 25

Analisis Kemungkinan Penyimpangan Fungsi Kawasan Lindung …. 29 Analisis Tekanan Penduduk………. 29 Parameter Penetapan Kawasan Lindung……….. 44

Identifikasi Kawasan Lindung ……… 53

Analisis Kemungkinan Penyimpangan Fungsi Kawasan Lindung….. 62

Analisis Tekanan Penduduk………. 87

SIMPULAN……… 100

DAFTAR PUSTAKA ……… 103

LAMPIRAN ………... 107

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Luas lahan kritis di empatbelas kecamatan yang tercakup dalam DAS

Cikaso pada tahun 2004 ..……… 5

2 Pembagian responden yang dipilih secara sengaja ………... 24

3 Nilai skor berdasarkan klasifikasi kelas lereng ………...……... 26

4 Nilai skor berdasarkan klasifikasi jenis tanah ………...……... 26

5 Nilai skor berdasarkan klasifikasi intensitas hujan harian rata-rata …... 26

6 Kriteria penetapan kawasan lindung menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan Dephut (1993) …... 27

7 Wilayah administrasi di DAS Cikaso ... 36

8 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan sub DAS ...…... 38

9 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan kelas lereng ...…... 38

10 Curah hujan harian rata-rata dan luas wilayah cakupan tiap-tiap Stasiun Pengamat Hujan ... 39 11 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan jenis tanah ...…... 40

12 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan ketinggian ...…... 40

13 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan formasi geologi ...…... 41

14 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan tingkat kerentanan gerakan tanah ...…... 41

15 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan penggunaan lahan ...….... 42

16 Data kependudukan empatbelas kecamatan yang tercakup dalam wilayah DAS Cikaso ……….. 43

17 Sebaran berbagai kelas lereng pada wilayah DAS Cikaso ………. 44

18 Hasil scoring terhadap jenis tanah ………...………. 46

19 Tingkat curah hujan harian pada masing-masing sub DAS …………... 47

(22)

Halaman

20 Luas kawasan lindung berdasarkan parameter lereng, jenis tanah, curah hujan, dan kawasan hutan ... 49

21 Sebaran mata air di wilayah DAS Cikaso ... 50

22 Luas kawasan perlindungan setempat di wilayah DAS Cikaso ... 51

23 Sebaran zona kerentanan gerakan tanah di wilayah DAS Cikaso ... 53

24 Kawasan lindung hasil identifikasi di wilayah DAS Cikaso ... 55

25 Alokasi rencana pemanfaatan ruang di wilayah DAS Cikaso ... 64

26 Pola perubahan penutupan lahan di Kabupaten Sukabumi tahun 1994-2001 ... 66

27 Penggunaan lahan existing di wilayah DAS Cikaso ... 69 28 Penggunaan lahan existing di wilayah DAS Cikaso berdasarkan

alokasi rencana pemanfaatan ruang (RTRW Kabupaten Sukabumi 1996-2006) ... 70

29 Rencana pemanfaatan ruang pada kawasan lindung hasil identifikasi dengan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 ... 72

30 Rencana pemanfaatan ruang pada kawasan lindung hasil identifikasi dengan pendekatan kriteria Dephut (1993) ... 73

31 Penggunaan lahan existing pada kawasan lindung hasil identifikasi dengan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 ... 75

32 Penggunaan lahan existing pada kawasan lindung hasil identifikasi dengan pendekatan kriteria Dephut (1993) ... 76

33 Kawasan prioritas yang dapat ditetapkan sebagai kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso ... 86

34 Indeks tekanan penduduk tahun 2002 di wilayah DAS Cikaso ... 90

35 Indikasi tekanan penduduk pada kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 ... 97

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi (BPS 2000;

2004a) ………. 4

2 Frekuensi bencana longsor dan banjir di empatbelas kecamatan yang tercakup dalam DAS Cikaso (BPS 2000; 2002; 2004a) ………. 5

3 Diagram alir kerangka pendekatan ..………... 23

4 Diagram alir identifikasi kawasan lindung dengan menggunakan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Dephut (1993) ...………. 28

5 Wilayah kajian (DAS Cikaso) yang terletak di wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi ... 35

6 Pembagian wilayah DAS Cikaso menjadi sembilan sub DAS ……….. 37

7 Kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 ... 56

8 Kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria Dephut (1993) ... 57

9 Kepemilikan jenis lahan pertanian petani responden ………. 67

10 Sebagian lahan terlantar di bagian hulu wilayah DAS Cikaso ... 77

11 Sempadan Sungai Cikaso (kiri) dan Sungai Cipamarangan (kanan) ….. 78

12 Sempadan pantai di Desa Buniwangi, Kecamatan Surade ………. 79

13 Tanaman Sengon dan Mahoni di lahan milik rakyat ……….. 80

14 Kawasan hutan produksi terbatas di Desa Cimerang ………. 86

15 Jumlah desa berdasarkan nilai indeks tekanan penduduk ……….. 93

16 Rata-rata pendapatan petani responden ... 96

17 Tingkat pendidikan responden ... 97

18 Peta indikasi tekanan penduduk pada kawasan lindung hasil identifikasi (berdasarkan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990) ... 99

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta administrasi DAS Cikaso ………... 108

2 Peta kelas lereng DAS Cikaso ………... 109

3 Peta jenis tanah DAS Cikaso ………. 110

4 Peta curah hujan DAS Cikaso ……… 111

5 Peta kawasan hutan DAS Cikaso ………... 112

6 Peta tingkat kerentanan gerakan tanah DAS Cikaso ………... 113

7 Peta rencana pemanfaatan ruang DAS Cikaso (RTRW Kabupaten Sukabumi Tahun 1996-2006) ……… 114

8 Peta penggunaan lahan DAS Cikaso ……….. 115

9 Sebaran jenis tanah di wilayah DAS Cikaso ……….. 116

10 Sebaran masing-masing jenis kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 ……… 117

11 Sebaran masing-masing jenis kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria Dephut (1993) ……….... 119

12 Hasil overlay antara peta rencana pemanfaatan ruang dan peta penggunaan lahan existing ... 122 13 Hasil overlay antara peta kawasan lindung hasil identifikasi

berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan peta rencana pemanfaatan ruang ……… 125

14 Hasil overlay antara peta kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria Dephut (1993) dan peta rencana pemanfaatan ruang ……….……… 127

15 Hasil overlay antara peta kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan peta penggunaan lahan existing ……... 130 16 Hasil overlay antara peta kawasan lindung hasil identifikasi

berdasarkan pendekatan kriteria Dephut (1993) dan peta penggunaan

lahan existing ………. 134

(25)

17 Kepadatan geografis desa-desa di wilayah DAS Cikaso ... 139

18 Kepadatan agraris desa-desa di wilayah DAS Cikaso ………... 141

19 Tekanan penduduk tiap-tiap desa di wilayah DAS Cikaso ………….... 143

(26)

Latar Belakang

Paradigma pembangunan sering meletakkan pertimbangan ekonomi di atas pertimbangan lingkungan hidup. Orientasi pembangunan cenderung terfokus pada perolehan manfaat tunai (tangible) sebesar-besarnya dari pengolahan sumberdaya yang tersedia. Dalam pencapaian tujuan pembangunan, seringkali dilakukan pengerahan sumberdaya dengan tanpa disertai penekanan terhadap pentingnya pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan bagi generasi mendatang. Dampak yang ditimbulkan dari pendekatan ini dapat berupa kelestarian lingkungan yang terabaikan, penurunan kualitas lingkungan dan kualitas hidup manusia, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan tidak tercapai.

Kemunduran kemampuan sumberdaya alam akibat pesatnya pembangunan semakin bertambah kompleks seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk telah menyebabkan terjadinya pergeseran pola pemanfaatan lahan menjadi tidak sesuai lagi dengan kaidah penataan ruang, daya dukung serta kesesuaian lahannya. Di samping itu, sering terjadi pemanfaatan kawasan yang seharusnya merupakan kawasan lindung, justru digunakan untuk aktivitas yang tidak bersifat perlindungan, sehingga terjadi perubahan fungsi dan tatanan lingkungan (Syafi’i et al. 2001).

Hakikat pembangunan adalah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki untuk maksud dan tujuan tertentu. Namun demikian, karena ketersediaan sumberdaya sangat terbatas, maka diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi pelestarian lingkungan hidup agar kemampuannya serasi dan seimbang untuk mendukung keberlanjutan kehidupan manusia. Strategi pengelolaan yang dimaksud, yaitu upaya sadar, terencana dan terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan sumberdaya secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup (BKTRN 2001).

(27)

2

menghubungkan antara kegiatan penataan ruang dan sifat keberlanjutan, dan secara garis besar berbicara tentang kapasitas dan daya dukung lingkungan terhadap kegiatan yang berlangsung di atasnya. Kaidah lingkungan hidup juga mengemukakan apa saja tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh manusia dalam upaya melakukan konservasi dan rehabilitasi atau perlindungan dan pengawetan terhadap alam.

Selain indikator lingkungan hidup, aspek keruangan akan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan apabila diatur dengan baik serta pemanfaatannya diupayakan pada tercapainya keseimbangan antara kawasan budidaya dan kawasan lindung. Perlu ditekankan bahwa pemanfaatan unit ruang harus sepadan dengan kapasitas kemampuan elemen-elemen ruang tersebut (darat, udara, sungai, laut, dan lain-lain) untuk mendukung keberlangsungan kegiatan di atasnya atau yang disebut dengan carrying capacity (BKTRN 2001).

Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana pengaturan pemanfaatan ruang telah mengarah pada kesesuaiannya dengan kapasitas kemampuannya, perlu dilakukan suatu analisis pemanfaatan ruang guna penyempurnaan rencana tata ruang yang telah ada.

Perumusan Masalah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, disebutkan bahwa strategi dan arahan kebijaksanaan pengembangan kawasan lindung, meliputi langkah-langkah untuk memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan. Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, dinyatakan bahwa rencana pola tata ruang kawasan lindung adalah:

- menetapkan kawasan lindung sebesar 45% dari luas seluruh wilayah Jawa Barat, yang meliputi kawasan yang berfungsi lindung di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan;

(28)

- mengendalikan pemanfaatan ruang di luar kawasan hutan sehingga tetap berfungsi lindung.

Kawasan lindung yang dimaksud pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat tersebut adalah kawasan yang mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.

Luas wilayah Provinsi Jawa Barat adalah 3 555 502 ha. Apabila 45% dari wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan lindung, berarti seluas 1 599 976 ha dari wilayah Provinsi Jawa Barat adalah kawasan Lindung. Sedangkan luas hutan lindung dan hutan konservasi (Taman Nasional) di Provinsi Jawa Barat hanya 319.214 ha atau 9% dari keseluruhan luas Provinsi Jawa Barat (Nuriana 2002). Dengan demikian, terdapat 1.280.762 ha atau 80% kawasan lindung yang bukan berupa hutan lindung dan hutan konservasi (Taman Nasional), yang penetapannya harus didasarkan pada kondisi fisik wilayahnya. Di samping itu, dalam pemanfaatan ruangnya pun harus disertai dengan upaya peningkatan fungsi lindung yang disesuaikan dengan pemanfaatan ruang yang telah ada saat ini.

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jawa Barat yang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, sebesar 70% wilayahnya dialokasikan sebagai kawasan lindung. Wilayah ini hampir setiap tahun dilanda bencana alam tanah longsor, banjir, dan gempa tektonik (Anonim 2004).

Salah satu wilayah yang berkaitan erat dengan fungsi lindung adalah daerah resapan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena daerah resapan DAS berperan penting dalam sistem tata air. Zen (1999), mengemukakan bahwa DAS merupakan daerah dimana pengembangan wilayah dapat dipusatkan (tanah subur, air, dan lahan bervariasi). Disamping itu, menurut Manan (1998), suatu kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan, seperti penyelamatan hutan, tanah, dan air, akan lebih mudah untuk dievaluasi keberhasilannya jika menggunakan DAS sebagai sasarannya.

(29)

4

Umum bekerjasama dengan konsultan JICA mengenai West Java Irigation Project Cibuni-Cikaso tahun 1988, menyatakan bahwa Sungai Cikaso merupakan salah satu sungai yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber air irigasi (Anonim 2005).

Meningkatnya kecepatan pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi yang mencapai 2 178 850 jiwa pada tahun 2003 (Gambar 1), atau meningkat 23.14% dalam kurun waktu 1995-2003, telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, yang tidak hanya penting bagi pembangunan masa kini tetapi juga bagi pembangunan masa yang akan datang. Hal ini terlihat dari frekuensi bencana longsor dan banjir, khususnya di empatbelas kecamatan yang tercakup dalam DAS Cikaso, yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 2). Selain itu juga terjadi degradasi lahan yang ditunjukkan dengan adanya lahan kritis, sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang kurang mempertimbangkan daya dukungnya dan tanpa disertai upaya pengawetan tanah. Lahan kritis tersebut, yaitu lahan yang sudah tidak dapat berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik, tersebar pada semua kecamatan yang tercakup dalam DAS Cikaso (Tabel 1).

1.500.000

(30)

0

Gambar 2 Frekuensi bencana longsor dan banjir di empatbelas kecamatan yang tercakup dalam DAS Cikaso (BPS 2000; 2002; 2004a).

Tabel 1 Luas lahan kritis di empatbelas kecamatan yang tercakup dalam DAS Cikaso pada tahun 2004

Sumber Data: Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

(31)

6

2. Apakah pengalokasian dan pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi telah sesuai dengan kondisi fisik wilayahnya?

3. Seberapa besar indikasi tekanan penduduk terhadap kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kawasan yang berfungsi lindung di DAS Cikaso ditinjau dari aspek biofisik wilayahnya.

2. Menganalisis kemungkinan penyimpangan fungsi kawasan lindung.

(32)

Penataan Ruang

Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara, sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang sebagai salah satu sumberdaya alam tidaklah mengenal batas wilayah, namun jika dikaitkan dengan pengaturannya, maka harus ada batas, fungsi, dan sistem yang jelas dalam satu kesatuan (Sastrowihardjo & Napitupulu 2001).

Tata ruang pada dasarnya adalah pengaturan ruang berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu, atau dengan kata lain, pengaturan tempat bagi berbagai kegiatan manusia. Oleh karena itu, agar semua pihak terpenuhi kebutuhannya secara adil dan menghindari terjadinya persengketaan serta menjamin kelestarian lingkungan, maka dibutuhkan suatu proses yang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Pasal 1) disebut penataan ruang, yaitu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Melalui kegiatan tersebut, berbagai sumberdaya alam ditata dari segi letak maupun luas sebagai satu kesatuan, dengan memperhatikan keseimbangan antara berbagai pemanfaatan (CIFOR 2002).

Sastrowihardjo dan Napitupulu (2001), mengemukakan bahwa ketersediaan ruang bukan tak terbatas, sehingga apabila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan. Suatu proses penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, tentu akan meningkatkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga akan meningkatkan daya tampungnya.

(33)

8

pembagian ruang sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 (Pasal 7), yaitu berdasarkan fungsi utama kawasan, berdasarkan aspek administratif, dan berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi wilayah Nasional, wilayah Provinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II. Sedangkan penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.

Hasil dari kegiatan perencanaan tata ruang adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berisi struktur dan pola pemanfaatan ruang. Struktur mengatur sistem pusat-pusat kegiatan beserta jaringan prasarana secara hirarkis. Sedangkan pola pemanfaatan ruang mengatur wilayah dengan satuan-satuan yang fungsional sesuai dengan tujuan, rencana, dan kondisi daya dukung serta daya tampung sumberdayanya, khususnya sumberdaya lahan (Permana 2004).

Sastrowihardjo dan Napitupulu (2001), lebih lanjut menyatakan bahwa, karena rencana tata ruang merupakan produk kebijakan koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, maka penyusunannya harus bertitik tolak pada data, informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, rencana tata ruang tersebut mengandung pengertian perspektif, yaitu menuju kepada keadaan ruang di masa depan. Hal ini juga dinyatakan oleh Azhari (2004), dimana penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan fungsi yang diemban oleh masing-masing ruang/kawasan. Fungsi suatu kawasan akan diperoleh jika penyusunan rencana tata ruang sebagai tahap awal dari proses penataan ruang, mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan, kemampuan lahan, dan ketersediaan lahan (aspek legalitas), yang selanjutnya akan mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

Pemanfaatan ruang sebagai tahap kedua dari proses penataan ruang tentu tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah semata (pembangunan sarana dan prasarana fisik) ataupun kepuasan batiniah saja, akan tetapi keduanya. Pemanfaatan ruang secara adil dan seimbang dimulai dari perencanaan penataan

(34)

ruang sebaik mungkin, sebagai satu kesatuan wilayah yang ditentukan berdasarkan aspek administratif (wilayah pemerintahan) dan atau aspek fungsional (kawasan). Oleh karena itu, setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus mengacu kepada rencana tata ruang yang telah disusun (Azhari 2004).

Pemanfaatan ruang merupakan suatu pengambilan keputusan yang sangat penting apabila dikaitkan dengan lingkungan hidup, karena pemanfaatan ruang merupakan hasil penggabungan antara aktivitas manusia, kondisi fisik wilayah/ lahan dan keinginan manusia yang ada di wilayah/lahan tersebut. Beberapa pola yang dikembangkan dalam pemanfaatan ruang adalah pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya.

Tujuan dari pemanfaatan ruang sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah:

a. mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat;

b. meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor melalui pemanfaatan ruang kawasan secara serasi, selaras, dan seimbang serta berkelanjutan;

c. meningkatkan kemampuan memelihara pertahanan keamanan negara yang dinamis dan memperkuat integrasi nasional;

d. meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan fungsi dan tatanannya.

Selanjutnya, kunci keberhasilan tercapainya tujuan penataan ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang, terletak pada pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini terkait dengan perilaku manusia yang tidak terlepas dari prinsip ekonomi, yaitu meminimalkan biaya dan memaksimalkan keuntungan, dalam upaya mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sifat dasar manusia tersebut juga tercerminkan dalam keinginannya untuk memanfaatkan ruang, mulai dari skala rumah tangga sampai skala global. Tidak terselenggaranya pengendalian pemanfaatan ruang dengan baik, akan berakibat terjadinya eksploitasi ruang yang mengantarkan pada kehancuran.

(35)

10

Pengendalian pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dan menertibkan penyimpangan pemanfaatan ruang yang telah terjadi. Beberapa upaya dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui mekanisme perijinan, insentif dan disinsentif serta pengaduan masyarakat.

Kawasan Lindung

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

Strategi dan arahan pengembangan kawasan lindung sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997, meliputi langkah-langkah untuk memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Dalam rangka memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup, dilakukan penetapan dan perlindungan terhadap kawasan lindung. Penetapan kawasan lindung didasarkan pada kriteria sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Sedangkan perlindungan terhadap kawasan lindung dilakukan dengan cara pelestarian fungsi dan tatanan lingkungan hidup alam, lingkungan hidup sosial, dan lingkungan hidup buatan, untuk meningkatkan kualitas dan fungsinya.

Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, tujuan dari pengelolaan kawasan lindung adalah untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Sedangkan sasaran pengelolaan kawasan lindung, selain meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan, satwa, nilai sejarah, dan budaya bangsa, juga mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan keunikan alam. Selanjutnya, kawasan lindung

(36)

dibedakan menjadi empat kawasan, yaitu kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan kawasan rawan bencana.

Kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahannya terdiri dari: - Kawasan Hutan Lindung, yaitu kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang

mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Kriteria kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, dan curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau, kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih, dan/atau, kawasan hutan yang mempunyai ketinggian 2 000 meter di atas permukaan laut atau lebih.

- Kawasan bergambut, yaitu kawasan yang pembentuk unsur tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama. Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih, yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.

- Kawasan resapan air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan, sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang berguna sebagai sumber air. Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air, dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.

Kawasan perlindungan setempat, terdiri dari:

- Sempadan sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Kriteria sempadan sungai adalah sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman.

- Sempadan pantai, yaitu kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

(37)

12

- Kawasan sekitar danau/waduk, yaitu kawasan tertentu di sekeliling danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk. Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk, antara 50 sampai 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

- Kawasan sekitar mata air, yaitu kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahanan kelestarian fungsi mata air. Kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekurang-kurangnya dalam radius 200 meter di sekitar mata air.

Kawasan suaka alam dan cagar budaya terdiri dari:

- Kawasan suaka alam, yaitu kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Kriteria kawasan suaka alam adalah kawasan-kawasan yang merupakan cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan plasma nutfah, dan daerah pengungsian satwa.

- Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, yaitu daerah yang mewakili ekosistem khas di lautan maupun perairan lainnya, yang merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada. Kriteria kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah kawasan yang berupa perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugus karang, dan atol, yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem.

- Kawasan pantai berhutan bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove), yang berfungsi memberi perlindungan pada kehidupan pantai dan lautan. Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis air surut terendah ke arah arat.

- Taman Nasional, yaitu kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi. Kriteria Taman Nasional adalah kawasan

(38)

berhutan atau bervegetasi tetap, yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata.

- Taman Hutan Raya, yaitu kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Kriteria Taman Hutan Raya sama dengan kriteria Taman Nasional.

- Taman Wisata Alam, yaitu kawasan pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kriteria Taman Wisata Alam sama dengan kriteria Taman Nasional.

- Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan, yaitu kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas. Kriteria kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan yang bernilai budaya tinggi, situs purbakala, dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu, yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam. Kriteria kawasan bencana alam adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam, seperti letusan gunung api, gempa bumi, dan tanah longsor.

Penetapan beberapa bentuk kawasan lindung diharapkan dapat membawa dampak positif terhadap kawasan-kawasan lainnya. Ragam dan intensitas usaha konservasi sumberdaya alam dan lingkungan pada kawasan lindung seharusnya lebih tinggi daripada kawasan-kawasan lainnya, karena kerusakan yang terjadi atas kawasan lindung, di samping menimbulkan kemerosotan jumlah, ragam, dan mutu sumberdaya alam yang ada di dalamnya, juga dapat merugikan atau bahkan membawa bencana di kawasan-kawasan lainnya.

Tekanan Penduduk pada Kawasan Lindung

Makhluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan dalam sistem kehidupan. Makhuk hidup selain manusia

(39)

14

menimbulkan perubahan alami, yang dicirikan oleh keseimbangan, keajegan, dan keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk mengubah secara berbeda karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, bahkan seringkali perubahan itu bersifat merusak lingkungan. Kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam tersebut, berkaitan erat dengan tingkat pertambahan penduduk dan pola penyebarannya yang kurang seimbang serta pengaturan penggunaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang belum memadai. Dengan demikian, pengelolaan lingkungan merupakan suatu hal yang penting, yaitu bagaimana manusia melakukan upaya agar kualitas manusia meningkat sementara kualitas lingkungan juga makin baik (Soerjani et al. 1987).

Indonesia merupakan salah satu negara yang telah berhasil mengurangi laju pertumbuhan penduduknya hingga sekitar 1.5% per tahun. Namun demikian, dengan jumlah penduduk yang mencapai 206 juta jiwa pada tahun 2002, maka telah terjadi pertambahan penduduk hingga 3.09 juta jiwa pada tahun 2003. Dengan pertambahan penduduk yang sama, jumlah tersebut akan bertambah 3.7 juta jiwa/tahun pada tahun 2010, yaitu pada saat penduduk Indonesia telah mencapai sekitar 235 juta jiwa. Tekanan penduduk yang besar tersebut akan berakibat pada peningkatan kebutuhan akan pangan. Dalam rangka memenuhi tambahan kebutuhan pangan 3.5 juta penduduk, dibutuhkan setidaknya tambahan 100.000 ha lahan pertanian untuk memproduksi padi dan beberapa puluh ribu hektar lagi untuk memproduksi produk pertanian lain. Hal ini ditambah dengan kebutuhan kesempatan kerja yang semakin meningkat pula. Kenyataan bahwa penduduk Indonesia sekitar 45% masih terkait dengan pertanian berbasis lahan, berakibat pada terjadinya tekanan yang semakin berat pada sumberdaya lahan dan sumberdaya alam pada umumnya, jika pemanfaatannya tidak dilakukan dengan bijaksana (Krisnamurthi et al. 2002).

Riyadi dan Bratakusumah (2004), mengemukakan bahwa seluruh aktivitas manusia dalam mencukupi kebutuhan hidup selalu membutuhkan ruang, sehingga ketersediaan lahan sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas manusia. Demikian juga besarnya jumlah penduduk dalam suatu wilayah (ruang), akan sangat menentukan kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung penduduknya sehingga memperoleh suatu standar hidup yang layak. Salah satu alat yang dapat

(40)

digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam mendukung segala aktivitas manusia yang berada di suatu wilayah adalah analisis daya dukung (Carrying Capasity Ratio/CCR). Informasi tentang CCR tersebut dapat digunakan untuk menghitung keseimbangan antara daya dukung dari suatu lahan dan keberadaan penduduk. Selain itu juga dapat diperkirakan daya serap potensi lahan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, sehingga dapat dijaga keseimbangan antara potensi alam/lingkungan dan sumberdaya manusia.

Meningkatnya populasi manusia akan menimbulkan kerugian jika tidak disertai pemanfaatan lahan secara benar, karena setiap orang harus membayar mahal untuk perbaikannya atau bahkan sama sekali akan kehilangan sumberdayanya (Odum 1971). Lebih lanjut Soemarwoto (1989), mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk terutama di perdesaan, akan menurunkan nisbah lahan terhadap penduduk, yang berarti menurunnya luas lahan pertanian per petani sehingga tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup petani. Kondisi ini akan mendorong petani untuk memperluas lahan garapannya hingga ke lahan-lahan yang memiliki kelerengan tinggi, di tepi sungai atau menyerobot kawasan hutan lindung.

Oleh karena itu, salah satu hal penting dalam penataan ruang adalah kesadaran bahwa ruang yang direncanakan pengaturannya bukanlah ruang yang kosong dan tanpa penghuni. Keberadaan manusia, aktivitas maupun pemanfaatan ruang yang telah ada harus dipertimbangkan dalam penataan ruang, karena akan menentukan besarnya tekanan penduduk dan daya dukung lahan yang selanjutnya akan mempengaruhi fungsi yang diemban oleh suatu kawasan, terutama pada kawasan yang dalam perencanaannya ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Kesesuaian Lahan

Meningkatnya kebutuhan akanlahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Kegiatan pembangunan yang mendatangkan keuntungan yang lebih besar atau dari sudut pandang politik lebih penting, akan menggeser kegiatan pembangunan yang kurang menguntungkan atau kurang penting dari segi politik. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling

(41)

16

menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra 1989).

Sebagaimana diketahui, penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda. Hal ini menjadi dasar pentingnya mengetahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk berbagai penggunaan dalam perencanaan penggunaan lahan, yang dapat dilakukan melalui evaluasi lahan. Selain bermanfaat untuk menentukan kelas kesesuaian/kemampuan lahan, evaluasi lahan juga penting untuk memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001; Sitorus 1998). Evaluasi lahan merupakan proses memperbandingkan antara kualitas lahan dengan persyaratan dari penggunaan lahan yang spesifik dan sebagai hasilnya harus memberikan pilihan penggunaan lahan yang sesuai dengan segala pertimbangannya (FAO 1976).

Klasifikasi kemampuan atau kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaian atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001; Sitorus 1998). Istilah kemampuan lahan digunakan oleh Soil Conservation Service, USDA, sebagai cara pengharkatan tanah ke dalam delapan kelas kemampuan lahan. Dalam sistem ini, lahan dikelompokkan terutama atas dasar kemampuannya untuk memproduksi tanaman pertanian dan rumput makanan ternak, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu panjang (Klingiebiel & Montgomery 1961). Sedangkan menurut FAO (1976), istilah kesesuaian dan kemampuan lahan mempunyai arti yang sama sehingga dapat saling dipertukarkan dan selanjutnya memperkenalkan istilah evaluasi lahan. Namun demikian, pengertian yang umum dianut saat ini adalah bahwa kemampuan lahan berarti potensi untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan kesesuaian lahan berarti potensi lahan untuk macam/jenis penggunaan tertentu.

Daerah Aliran Sungai

Sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya, ke sungai utama yang bermuara ke danau atau

(42)

lautan. Pemisah topografi ialah punggung bukit dan juga batuan-batuan yang terdapat di bawah tanah. Sebuah DAS merupakan kumpulan dari beberapa sub DAS. Dengan demikian, sebuah unit DAS merupakan suatu sistem, dimana siklus air dan siklus zat hara berinteraksi. Curah hujan sebagai input dan debit air sebagai output, dengan semua sedimen yang dikandungnya (Manan 1998).

DAS juga diartikan sebagai suatu daerah tertentu, yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut, dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama (single outlet). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Sedangkan sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak-anak sungai ke sungai utamanya, dimana setiap DAS terbagi habis dalam sub DAS–sub DAS (Dephut 2001).

DAS dan wilayah sungai tidaklah pernah mempunyai batas yang bertepatan dengan batas-batas wilayah administrasi. Oleh karena itu, DAS diklasifikasikan menurut hamparan wilayah dan fungsi strategisnya sebagai berikut (Dephut 2001):

a. DAS lokal, yaitu DAS yang terletak secara utuh di suatu daerah kabupaten/kota, dan/atau DAS yang secara potensial hanya dimanfaatkan oleh satu daerah kabupaten/kota.

b. DAS regional, yaitu DAS yang letaknya secara geografis melewati lebih dari satu daerah kabupaten/kota, dan/atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari satu daerah kabupaten/kota, dan/atau DAS lokal yang atas usulan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, dan hasil penilaian ditetapkan untuk didayagunakan (dikembangkan dan dikelola) oleh pemerintah provinsi, dan/atau DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan regional.

c. DAS nasional, yaitu DAS yang letaknya secara geografis melewati lebih dari satu daerah provinsi, dan/atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari satu daerah provinsi, dan/atau DAS regional yang atas usulan

(43)

18

pemerintah provinsi yang bersangkutan dan hasil penilaian ditetapkan untuk didayagunakan (dikembangkan dan dikelola) oleh pemerintah pusat, dan/atau DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan nasional.

Kittradge (1948), menyatakan bahwa Manajemen DAS merupakan penyempurnaan dari istilah Manajemen Hutan Lindung, yaitu pengelolaan dan pengaturan sumberdaya alam, baik hutan, tanah maupun air, yang terdapat dalam sebuah DAS dengan tujuan menghasilkan air, mengendalikan erosi, debit sungai dan banjir. Hutan Lindung itu sendiri diartikan sebagai suatu kawasan yang ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu, terutama dikelola atas dasar pengaruhnya yang menguntungkan terhadap pergerakan air dan tanah.

Sedangkan Manan (1998), menyebutkan bahwa manajemen hutan lindung merupakan bagian dari manajemen DAS, karena DAS mempunyai cakupan yang lebih luas, tidak hanya kawasan berhutan namun juga kawasan di luarnya. Manajemen DAS berarti manajemen sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable) seperti air, tanah, dan vegetasi dalam sebuah DAS, agar dapat menghasilkan air untuk kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan masyarakat, yaitu untuk air minum, industri, irigasi, tenaga listrik, dan sebagainya. Oleh karena itu, suatu kegiatan penyelamatan hutan, tanah, dan air akan lebih mudah untuk dievaluasi keberhasilannya jika menggunakan DAS sebagai sasarannya. Tujuan utama dari manajemen DAS adalah tercapainya suatu keadaan dalam DAS yang memungkinkan terlaksananya keadaan tata air yang baik, dalam hal ini hasil air yang optimum, dipandang dari aspek kuantitas, kualitas, dan regimen (timing).

Pelaksanaan manajemen DAS terdiri dari empat tahapan, yaitu pengenalan, pemulihan, perlindungan, dan perbaikan. Tahap pengenalan dilakukan melalui survai pengkajian layak usaha, untuk menentukan luas, lokasi, dan derajat kekritisan suatu DAS. Tahap pemulihan, yaitu rehabilitasi keadaan tidak mantap yang menyebabkan erosi dan banjir, melalui cara reboisasi, penghijauan, dan keteknikan. Tahap perlindungan dilakukan terhadap bahaya kebakaran, penggembalaan, hama penyakit, dan penebangan tidak sah atau perambahan. Tahap perbaikan meliputi usaha-usaha untuk meningkatkan hasil air, misalnya

(44)

memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan mengurangi intersepsi dan evapotranspirasi (Manan 1998).

Dephut (2001), menggunakan istilah pengelolaan DAS yang didefinisikan sebagai upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dan manusia di dalam DAS dengan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai pada dasarnya berupa:

a. tercapainya kondisi hidrologis yang optimal;

b. meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat;

c. terbentuknya kelembagaan masyarakat yang muncul dari bawah (bottom up) sesuai dengan sosial budaya setempat;

d. terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berkeadilan.

Sebuah sistem sungai yang bermula dari sumbernya hingga bermuara ke laut, merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan. Setiap campur tangan dan tindakan manusia di bagian tertentu akan mempengaruhi bagian lain. Oleh karena itu, pola penggunaan lahan akan mempengaruhi perilaku sebuah DAS, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perladangan berpindah di lereng bukit dan pengolahan lahan berupa tegalan tanpa usaha pengawetan tanah, telah diketahui sebagai sumber kerusakan lahan pada banyak DAS di Indonesia. Dengan demikian, penduduk yang berdiam dalam DAS merupakan faktor terpenting bagi berhasilnya suatu manajemen DAS yang baik. Manusia sebagai bagian dari ekosistem DAS, berusaha untuk memanfaatkan semua sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya, dimana hasilnya tidak selalu positif dalam arti kelestarian, namun kadang-kadang justru negatif, yaitu pengurasan sumberdaya alam yang ada. DAS dengan penduduk padat tetapi melaksanakan usaha-usaha pengawetan tanah dan air, akan merupakan suatu ekosistem yang lebih produktif dan mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, dibandingkan sebuah DAS yang luas dan berpenduduk jarang tetapi mempraktekkan usaha perladangan berpindah di daerah perbukitan dan melahirkan padang alang-alang yang luas dan tidak

(45)

20

produktif, sehingga mempunyai daya dukung lingkungan yang rendah (Manan 1998).

Timbulnya erosi dan bencana banjir serta longsor sangat terkait dengan pemanfaatan lahan di suatu DAS. Ketiganya sebagai akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan tanah, terutama di daerah yang miring lapangannya, yang dapat bersumber dari kawasan hutan maupun dari luar kawasan hutan seperti perkebunan, tegalan, dan kebun milik masyarakat maupun pemukiman. Oleh karena itu, tindakan manusia berupa pemanfaatan lahan pada lahan-lahan yang miring tanpa disertai usaha pengawetan tanah dan air, misalnya berupa terasiring atau penanaman pohon-pohonan, pasti akan membahayakan daerah di bawahnya atau di hilirnya.

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena, dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis (Aronoff 1989, diacu dalam Prahasta 2004).

Puntodewo et al. (2003), mendefinisikan SIG sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG membutuhkan masukan data yang bersifat spasial dan mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi dan informasi atribut. Beberapa sumber data tersebut antara lain: 1) peta analog, yaitu peta dalam bentuk cetakan, 2) data dari sistem penginderaan jauh, yang biasanya direpresentasikan dalam format raster dan merupakan sumber data terpenting bagi SIG karena ketersediannya yang berkala, dan 3) data hasil pengukuran lapangan yang biasanya direpresentasikan dalam format vektor. Dasar referensi SIG adalah informasi lokasi dalam suatu sistem koordinat tertentu, sehingga SIG mempunyai

(46)

kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa, dan akhirnya memetakan hasilnya.

Berdasarkan operasinya, SIG dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu 1) SIG secara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak dan bersifat data analog, dan 2) SIG secara terkomputer (SIG outomatis) dan datanya merupakan data digital. Namun demikian, pengertian SIG saat ini lebih diterapkan bagi teknologi informasi spasial atau geografi, yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. SIG secara terkomputer merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial karena data dipelihara dalam bentuk digital, sehingga lebih padat dibanding dalam bentuk konvensional lainnya (peta cetak atau tabel). Dengan demikian, data dalam jumlah yang besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi, mempunyai kemampuan memanipulasi data spasial dan mengaitkan atribut serta mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dan prosedur dalam suatu analisis (Barus & Wiradisastra 2000).

Wadsworth dan Treweek (1999), berpendapat bahwa SIG pada umumnya digunakan untuk menggambarkan bentuk permukaan bumi secara horizontal dan juga mampu menghadirkan gambaran secara vertikal. Selain digunakan untuk mempelajari suatu fenomena yang berada pada kisaran milimeter (misalnya kompetisi antar tanaman rumput) hingga kilometer, SIG juga mempunyai peranan dalam: 1) memberikan gambaran tentang distribusi jenis atau fenomena tertentu, 2) menginventarisasi sumberdaya alam yang ada dan mempelajari perubahannya, dan 3) menganalisis, memprediksi, membuat permodelan, dan sumber informasi penting untuk pengambilan keputusan.

(47)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pendekatan

Kerangka pendekatan dari analisis ini didasarkan pada potensi supply dan potensi demand. Potensi supply adalah manfaat (baik tangible benefit maupun

intangible benefit) yang mampu disediakan oleh sifat-sifat fisik DAS Cikaso untuk mendukung kelangsungan hidup masyarakat. Sedangkan potensi demand

adalah permintaan akan ruang dan jasa lingkungan untuk mendukung berbagai

aktivitas kehidupan masyarakat, baik yang tinggal di dalam maupun di sekitar

wilayah DAS Cikaso.

Dengan demikian, di satu sisi perlu ada pasokan sumberdaya alam yang

memadai bagi masyarakat dan di sisi lain perlu ada pengaturan pemanfaatannya

sehingga manfaat yang ada dapat terus diperoleh. Kedua hal tersebut dapat

disinkronkan melalui pengaturan pemanfaatan ruang yang lebih cermat dan

mampu mengakomodir kebutuhan nyata, dengan lebih menekankan pada

persyaratan fungsi lindung untuk mencapai pemanfaatan ruang yang

berkelanjutan. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk

mendukung hal tersebut adalah penunjukan dan pengukuhan kawasan lindung.

Adapun kerangka pendekatan dari analisis pemanfatan ruang kawasan

lindung di DAS Cikaso dilakukan dengan suatu pendekatan sistem, sebagaimana

disajikan pada Gambar 3.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di DAS Cikaso (Kabupaten Sukabumi), dengan bagian

hulu di dataran tinggi Jampang dan bermuara di Samudera Indonesia. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2005, mulai dari tahap

pengumpulan data sampai dengan analisis data.

(48)

Potensi Demand Potensi Supply

Sistem Tata Air

Gambar

Gambar 2  Frekuensi bencana longsor dan banjir di empatbelas kecamatan yang tercakup dalam DAS Cikaso (BPS 2000; 2002; 2004a)
Gambar 3  Diagram alir kerangka pendekatan.
Tabel 2  Pembagian responden yang dipilih secara sengaja
Tabel 5  Nilai skor berdasarkan klasifikasi intensitas hujan harian rata-rata
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berpikir memiliki posisi yang sangat penting sebagai strategi dalam proses berbahasa, baik reseptif maupun ekspresif, yang

Tujuan penelitian ini yaitu (1) mengetahui peningkatan prestasi belajar IPA materi sifat-sifat cahaya dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri pada siswa kelas V SD

Dalam konteks budaya Jawa, hubungan interpersonal yang baik dalam keluarga seperti meluangkan waktu untuk saling bercerita atau bertukar pikiran, dan menyelesaikan

Sebelum waktu pensiun itu, semuanya harus bekerja, tetapi sesudah pensiun malah semuanya terjamin, ya itu yang menyebabkan saya ingat bahwa orang lain tidak pernah makan roti

Tujuan: Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui mutu dari bahan baku riboflavin yang akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet vitamin

Pada running software CFD akan dapat dengan jelas diketahui bentuk pola aliran dan tekanan kapal selam serta kocakan air yang terjadi pada permukaan bebas di tanki

Bahan ajar yang ditawarkan seyogyanya untuk saat sekarang sudah harus disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja yang tentunya dengan tidak melupakan nilai-nilai

b) Ngaji subuh, Masyarakat muslim membutuhkan bimbingan seorang ulama yang paham tentang ilmu agama. Untuk mendapatkan bimbingan tentang ilmu agama pihak YAMUSPA