DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BALI DAN
TELUK KILUAN LAMPUNG
STANY RACHEL SIAHAINENIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Kajian Tingkah Laku,
Distribusi dan Karakter Suara Lumba-Lumba di Perairan Pantai Lovina Bali dan
Teluk Kiluan Lampung” adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
STANY RACHEL SIAHAINENIA. 2008. Kajian Tingkah Laku, Distribusi dan Karakter Suara Lumba-Lumba di Perairan Pantai Lovina Bali dan Teluk Kiluan Lampung. Dibimbing oleh Mulyono S. Baskoro sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Totok Hestirinoto sebagai Anggota.
Lebih dari sepertiga jenis paus dan lumba-lumba dunia terdapat di perairan Indonesia termasuk juga beberapa jenis yang dikategorikan langka dan terancam punah. Kenyataan saat ini bahwa lumba-lumba sudah menjadi hewan buruan untuk dijadikan bahan konsumsi dan lain seperti daging paus. Pemburuan Lumba-lumba secara terus menerus dapat mengakibatkan berkurangnya populasi Cetacea di alam, meskipun dilakukan secara tradisional (Faizah et al. 2006). Untuk mengetahui keberadaan populasi lumba-lumba diperlukan suatu informasi awal yang akan berguna sebagai referensi untuk manajemen sumberdaya laut dan meningkatkan pemahaman mengenai ekologi Cetacea di habitat yang sebenarnya.
Lumba-lumba mengandalkan sistem sonar yang disebut echolocation
sebagai sensor utama mereka. Hal ini sangat berguna sebagai alat navigasi, untuk mencari mangsa dan menghindar dari predator. Karakter dari suara yang dihasilkan lumba-lumba dapat digunakan sebagai teknik untuk terapi bagi anak-anak yang memiliki masalah psikis maupun keterbelakangan mental atau autisme dan untuk penderita stroke.
Tujuan penelitian ini : (1) mengidentifikasi jenis lumba-lumba dan tingkah laku di Perairan Pantai Lovina Bali dan Teluk Kiluan Lampung secara visual, (2) menganalisis distribusi lumba-lumba di Perairan Pantai Lovina Bali dan Teluk Kiluan Lampung dan (3) menganalisis karakter suara dari beberapa jenis lumba-lumba. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah Penelitian ini diharapkan berguna sebagai : (1) sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak pengambil kebijakan untuk menetapkan suatu kawasan perlindungan laut bagi Cetacea, khususnya lumba-lumba dan (2) dengan mengetahui karakter suara dapat diterapkan teknik pembangkit frekuensi yang diharapkan dapat menjadi pemandu bagi lumba-lumba untuk menghindari bahaya serta terapi bagi anak-anak yang memiliki masalah psikis maupun keterbelakangan mental atau autisme.
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang berbeda yaitu di Perairan Pantai Lovina Kabupaten Buleleng Bali dan di Perairan Teluk Kiluan Kabupaten Tanggamus Lampung. Metode yang digunakan adalah (1) identifikasi Cetacea secara visual, (2) pengamatan tingkah laku lumba-lumba secara langsung (visual
sensus on dolphin) dari atas kapal nelayan dengan menggunakan metode pengambilan contoh jarak jauh (distance sampling) dengan line transect zig-zag
Perairan Teluk Kiluan teridentifikasi 2 (dua) jenis spesies antara lain Spinner dolphin (Stenella longirostris) dan Bottlenose dolphin (Tursiop truncatus). Selama pengamatan kedua perairan didominasi oleh Spinner Dolphin, antara lain 85,62% di Perairan Pantai Lovina dan 61,33% di Teluk Kiluan.
Tingkah laku yang sering dilakukan oleh lumba-lumba di kedua perairan adalah melakukan travelling, feeding dan bowriding. Gerakan travelling adalah gerakan yang sering dilakukan oleh lumba-lumba di kedua perairan. Perairan Pantai Lovina sebesar 59% dan Perairan Teluk Kiluan sebesar 69%.
Pergerakan lumba-lumba di Perairan Pantai Lovina berada pada kisaran kedalaman antara 100-650 meter dan mengikuti garis pantai. Selama pengamatan terlihat bahwa di Perairan Pantai Lovina, kelompok lumba-lumba datang dari arah Timur Laut dan bergerak ke arah Barat Daya. Hal tersebut dibuktikan dengan bertambahnya nilai Bujur Timur dan diikuti dengan bertambahnya nilai Lintang Selatan. Diduga pergerakan lumba-lumba dari arah Timur Laut menuju Barat Daya adalah untuk mencari makanan dengan Perairan Pantai Seririt sebagai tujuan migrasinya. Di Perairan Teluk Kiluan lumba-lumba berada pada kisaran kedalaman antara 100-800 meter dan menjauhi pantai. Diduga keberadaan lumba-lumba yang menjauhi pesisir pantai karena kondisi perairan yang berhadapan dengan perairan samudera yang terbuka dan curam. Berdasarkan letaknya kondisi Perairan Teluk Kiluan lebih dipengaruhi oleh Perairan Samudera Hindia.
Terdapat 7 (tujuh) potong suara pada file suara yang berhasil dianalisis pada Perairan Pantai Lovina. Saat hydrophone diturunkan terdapat asosiasi
Spinner dolphin dan Spotted dolphin yang terbagi dalam beberapa schooling. Potongan suara B1 merupakan suara Spotted dolphin berdurasi 0,85 detik, dengan intensitas rata-rata adalah 56,52 dB pada frekuensi 12 kHz dengan panjang gelombang 0,125 m. Potongan suara B2 merupakan suara Spinner dolphin berdurasi 1,35 detik, intensitas rata-rata 52,49 dB, berfrekuensi 6 kHz dan panjang gelombang suara 0,25 m. Potongan suara B3 merupakan suara
Spotted dolphin berdurasi 0,75 detik. Intensitas rata-rata adalah 56,28 dB terjadi pada frekuensi 19 kHz, panjang gelombang suara 0,09 m. Potongan suara B4 merupakan suara Spinner dolphin berdurasi 0,8 detik, intensitas rata-rata 54,53 dB terjadi pada frekuensi 19 kHz dan 22.000 Hz dengan panjang gelombang suara 0,09 m dan 0,007 m. Potongan suara B5 merupakan suara Spinner dolphin berdurasi 0,65 detik, intensitas rata-rata 48,36 dB terjadi pada frekuensi 13 kHz dan 22 kHz dengan panjang gelombang suara 0,11 m dan 0,07 m. Potongan suara B6 merupakan suara Spinner dolphin berdurasi 0,45 detik, intensitas rata-rata 23,28 dB terjadi pada frekuensi 16 kHz dan panjang gelombang 0,09 m. Potongan suara B7 merupakan suara Spotted dolphin
berdurasi 0,65 detik, intensitas rata-rata 50,22 dB terjadi pada frekuensi 9 kHz dan 22 kHz dimana panjang gelombang suara 0,16 m dan 0,07 m.
Berdasarkan nilai frekuensi yang tidak lebih dari 25 kHz dapat dinyatakan bahwa tipe suara yang berhasil direkam di Perairan Pantai Lovina Buleleng menunjukkan bahwa suara yang terekam bukan merupakan tipe suara whistles
yang sering digunakan untuk komunikasi.
Stany Rachel Siahainenia. 2008. Study in Behaviour, Distribution and Sound of Dolphin on the Coastal Water of Lovina Beach, Bali and Kiluan Bay. Lampung. Under supervisor of Mulyono S.Baskoro and Totok Hestirianoto.
About one-third of dolphin species in the world is living in Indonesia, including some other types categorized by rareness and threatened of extinct. The purposes of this research are (1) to analyse visually the dolphin behaviour on the surface of water area at its real habitat (2) to compare the data the Lovina beach, Bali and Kiluan Bay, Lampung and (3) to analyse the sound character of dolphin. Equipments used in this research were (1) identification book of dolphin, (2) perception of dolphin’s behaviour, and (3) sample sound of dolphin used the hydrophone. There were three species of dolphin found and successfully identified during research in Lovina Beach, namely Stenella longirostris (Spinner dolphin), Stenellaattenuata (Spotted dolphin) and Tursiopstruncatus (Bottlenose dolphin).In Kiluan Bay, there were two species of dolphin found, namely Stenella longirostris (Spinner dolphin) and Tursiopstruncatus (Bottlenose dolphin). During perception, both of coastal water were predominated by Spinner dolphin, 85,62% in Lovina Beach and 61,33% in Kiluan Bay. Travelling around the both waters area is the main dolphin behaviour, this is done in looking effort for food. Dolphin movement in coastal water of Lovina appear and gyrate between 100 to 650 metres deepness along the coastaline, while in coastal water of Kiluan Bay between 100 to 800 metres. They avoid follow coastal are. Observation to the frequency value at the most 25 kHz can expressed that a recorded sound type in coastal water Lovina Beach were whistles which used for communications.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DI PERAIRAN PANTAI LOVINA BALI DAN
TELUK KILUAN LAMPUNG
STANY RACHEL SIAHAINENIA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Tingkah Laku, Distribusi dan Karakter Suara Lumba-Lumba di Perairan Pantai Lovina Bali dan
Teluk Kiluan Lampung
Nama Mahasiswa : Stany Rachel Siahainenia
NRP : C451060011
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro,M.Sc Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.sc
Ketua Anggota
Diketahui,
Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ketua,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Lumba-lumba merupakan mamalia laut yang sangat cerdas, sehingga
banyak teknologi yang terinspirasi dari lumba-lumba.Lumba-lumba memiliki
sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi dan menerima rangsangan
yang dinamakan sistem sonar. Dengan sistem ini dapat menghindari
benda-benda yang ada didepan lumba-lumba sehingga terhindar dari benturan.
Disamping itu lumba-lumba juga seringkali melakukan berbagai gerakan yang
unik di permukaan air, hal ini sangat indah untuk dinikmati. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang berbagai tingkah laku yang
dilakukan lumba-lumba di permukaan air dan mengetahui tipe suara yang
dikeluarkan oleh lumba-lumba saat lumba-lumba melakukan komunikasi di
perairan.
Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas
anugeranNya penulis dapat menyelesaikan tesis tepat pada waktunya.
Terima kasih dan Penghargaan penulis yang sebesar-besarnya kepada
Prof. Dr. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc sebagai
ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan serta
kesabarannya dalam membimbing. Ir. Agus Priyono, MS selaku penguji luar
komisi yang banyak memberi masukan kepada penulis.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua
Program Studi atas arahannya selama menyelesaikan studi, Ir. Diniah,M.Si yang
selalu memberikan masukan-masukan dalam penyelesaian tesis, seluruh staf
dosen dan staf administrasi Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK
IPB atas bantuannya selama studi.
Terima kasih atas doa dan dukungannya kepada keluargaku, Papa dan
Mama tercinta, Fally, Heri, Chindy, Marc, seluruh keluarga Siahainenia/Tuhusula
di Ambon, Jakarta dan Kel Mailoa di Bogor.
Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Universitas Pattimura,
khususnya Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan
kesempatan untuk melanjutkan program magister.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada DIKTI yang telah
selama perkuliahan berlangsung.
Penulis mengucapkan terima kasih untuk kasih sayang, perhatian serta
kebersamaannya kepada my second family at Palem Merah (Kel Rahmat, Nana ”the Soul”,K’Deby, Ibu Atje, Yona, Delly, Emma, Tintin, Aline), kepada saudara-saudaraku yang terkasih Degen Kalay, Frederick Ayal, Max Wenno, Pa Alberth
Nanlohy, Bung Nando Dangeubun, Bung James Abrahamsz yang telah banyak
memberikan support dan masukan yang sangat berarti kepada penulis, Hakim
atas bantuan petanya, Gerald, Simon dan Pa’Bangle untuk bantuan selama
penelitian di Pantai Lovina Bali, Theresia, Mas Ali, Pa Yusli, M. Zhia Ulhaq dan
Sahabat-sahabatku di Lampung (Made, Henry, Lukman) yang sudah banyak
membantu penulis selama penelitian berlangsung di Teluk Kiluan.
Tak lupa juga terima kasih penulis untuk keluarga kecilku ”all crew Salak
Sunset” (Kel Havard, Ma’Dian’ K’robby’ Chatzzy’ Ester’ Ari Vodka’ K”Jerry’ Rholly’ Jembo’ Yohan..serta teman2 lainnya.. thanks guys..sudah berikan warna dalam hidupku), rekan-rekan PERMAMA Bogor atas kebersamaannya selama ini serta semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu namanya. Terima
kasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak terdapat kesalahan baik
dari segi isinya maupun dari segi penulisannya. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat diharapkan dari semua pihak untuk perbaikan tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 17 Mei 1979 dari ayah Drs. Johanis Siahainenia dan ibu Cornelly Tuhusula, S.Sos .
Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Ambon dan di terima di
Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor. Tahun 2001 penulis menyelesaikan studi
strata 1, tahun 2003 penulis mulai bekerja sebagai dosen di Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura dan pada tahun 2006 penulis mendapat
kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada Sekolah
Aerials
:
Gerakan lumba-lumba melakukan lompatan yang sangat tinggi, melakukan salto, berputar dan berbalik sebelum masuk kembali ke air.Avoidance
:
Gerakan lumba-lumba yang menghindar dari kapal.Blowhole
:
Lubang hidung lumba-lumba berguna untuk pernapasan pada saat berenang di permukaan air.Bow riding
:
Aktivitas berenang yang dilakukan lumba-lumba mengikuti gerakan ombak yang terjadi akibat gerakan kapal dan mengikuti kapal.Breaching
:
Aktivitas melompat ke udara lumba-lumba dengan kepala terlebih dahulu dan menjatuhkan diri kembali ke air.CITES : Convention on International Trade Endangered Species merupakan sebuah perjanjian internasional tentang pembatasan perdagangan satwa yang dilindungi.
Click : Tipe suara lumba-lumba dengan frekuensi
mencapai 150 kHZ dan berdurasi pendek yang digunakan untuk ekolokasi.
Dolphin assisted therapy : Terapi lumba-lumba yang dipercaya dapat membantu penyembuhan stroke, autisme dan beberapa gangguan bergerak akibat kerusakan saraf.
Echolocation : Kemampuan binatang untuk mentransmisikan suara dan mendeteksi pantulan dari suara tersebut setelah berbenturan dengan suatu obyek.
Fast fourier transform : Proses memasukkan data suara berbentuk *.wav dan diproses sehingga akan muncul grafik yang disimpan dalam bentuk *.txt diproses lagi untuk mendapatkan nilai numerik.
Hiss reduction : Proses perbaikan suara desah untuk memperjelas suara lumba-lumba.
yang menyilaukan dari sinar matahari.
Lobtailing. : Gerakan mengangkat ekor ke dalam air.
Noise reduction : Proses untuk menghilangkan suara latar yang diakibatkan dari perairan dan mesin kapal.
Power spectral density : Proses memasukkan data suara yang berbentuk *.wav dan diproses menghasilkan suatu grafik hubungan intensitas dengan frekuensi.
Schooling : Kumpulan atau gerombolan ikan yang berada disuatu perairan.
Spyhop : Gerakan memunculkan kepala ke permukaan air berfungsi untuk mengamati keadaan disekitarnya.
Stationary : Lumba-lumba diam tidak melakukan pergerakan.
Streamline : Bentuk tubuh lumba-lumba seperti torpedo, tanpa sirip belakang.
Travelling : Gerakan lumba-lumba membentuk kelompok dalam kegiatan mencari mangsa dan pergerakan untuk migrasi.
Whistle : Tipe suara lumba-lumba yang digunakan untuk komunikasi antar grup. Memiliki frekuensi kurang dari 25 kHZ.
DAFTAR TABEL ……….. xiv
2.1 Klasifikasi dan morfologi Cetacea ……… 7
2.2 Karakteristik beberapa Cetacea ……… 10
2.3 Tingkah laku Cetacea ………. 16
2.4 Makanan dan cara makan ……….. 18
2.5 Penggunaan suara oleh lumba-lumba ………. 19
2.5.1 Echolocation ………... 20
2.5.2 Komunikasi ………. 22
3. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 23
3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian ……….. 23
3.1.1 Perairan Pantai Lovina ……….. 23
3.1.2 Perairan Teluk Kiluan ……… 25
3.2 Kondisi oseanografi lokasi penelitian ……… 28
4 METODOLOGI PENELITIAN ……… 30
4.1 Tempat dan waktu penelitian ………. 30
4.2 Alat dan bahan ………. 30
4.3 Prosedur penelitian ……….. 31
3.3.1 Identifikasi Cetacea ………... 33
3.3.2 Pengamatan tingkah laku lumba-lumba ………. 33
3.3.3 Pengambilan sampel suara lumba-lumba ………. 36
4.4 Analisis data ………. 36
3.4.1 Proses perbaikan suara latar (noise reduction) ……… 37
3.4.2 Proses perbaikan suara desah (hiss reduction) ……… 37
3.4.3 Pemotongan data suara (cropping) ……… 38
3.4.4 PSD (power spectral density) ………. 39
3.4.5 FFT (fast fourier transform) ……….. 39
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 41
5.1 Hasil pengamatan lumba-lumba ……… 41
5.2 Tingkah laku lumba-lumba di permukaan air ……….. 46
5.3 Distribusi lumba-lumba ……… 49
4.3.1 Perairan Pantai Lovina ……….. 49
5.5 Karakter suara lumba-lumba ……….. 55
5.5.1 Tipe suara lumba-lumba ………... 55
5.5.1.1 Potongan suara B1 ………. 55
5.5.1.2 Potongan suara B2 ………. 55
5.5.1.3 Potongan suara B3 ………. 56
5.5.1.4 Potongan suara B4 ………. 57
5.5.1.5 Potongan suara B5 ………. 58
5.5.1.6 Potongan suara B6 ………. 58
5.5.1.7 Potongan suara B7 ………. 58
5.5.2 Tipe suara dan tingkah laku lumba-lumba ………. 60
6 KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 63
6.1 Kesimpulan ………. 63
6.2 Saran ………... 63
DAFTAR PUSTAKA ………. 64
1 Kisaran frekuensi suara pada beberapa mamalia ……….. 20
2 Perkembangan penduduk di Kabupaten Buleleng (1999-2005) ………. 24
3 Luas wilayah Pekon Kiluan Negeri ……… 27
4 Jenis mata pencaharian penduduk Teluk Kiluan ……… 27
5 Arus, salinitas dan suhu saat pengukuran di lapangan ………. 28
6 Alat, bahan dan kegunaannya ………... 31
7 Deskripsi tingkah laku lumba-lumba ………. 33
8 Kisaran skala kondisi permukaan laut (skala beaufort) ...……….. 35
9 Hasil pengamatan lumba-lumba ……… 51
1 Alur kerangka pikir ………... 5
2 Morfologi mamalia laut ordo Cetacea ………... 9
3 Delphinus delphis (Linnaeus 1758) ………... 10
4 Tursiop truncatus (Carwardine 1995) ………... 11
5 Sousa chinensis (Osbeck 1765) ……… 12
6 Stenella longirostris (Carwardine 1995) ………... 13
7 Stenella attenuata (Carwardine 1995) ……….. 14
8 Steno bredanesis (Lesson 1828) ……….. 14
9 Grampus griseus (G.Cuvier 1812) ……… 15
10 Lagenodelphis hosei (Fraser 1956) ……….. 16
11 Mekanisme produksi dan penerimaan suara pada lumba-lumba (Evans 1987) ………. 21
12 Suasana pagi dan keindahan atrakasi lumba-lumba di Pantai Lovina … 25 13 Suasana pagi dan keindahan alam Teluk Kiluan………. 27
14 Lokasi penelitian ……….. 30
15 Alur pengambilan data di lapangan ……….. 32
16 Posisi pengamat pada metode single observer ……….. 34
17 Perhitungan jarak tegak lurus (perpendicular distance) ……… 35
18 Alur pengambilan sampel suara ………... 36
19 Data suara sebelum perbaikan ………. 37
20 Data suara setelah perbaikan ……….. 38
21 Spektrum suara lumba-lumba per satu pulsa suara setelah dilakukan cropping ……… 38
22 Alur analisis data suara lumba-lumba ………... 40
23 Jenis spesies yang ditemukan selama pengamatan……….. 43
24 Pemunculan lumba-lumba berdasarkan waktu pengamatan di Perairan Pantai Lovina ... 44
25 Jumlah pemunculan lumba-lumba yang teramati di perairan Pantai Lovina ……… 44
26 Pemunculan lumba-lumba berdasarkan waktu pengamatan di Perairan Teluk Kiluan ... 45
27 Jumlah pemunculan lumba-lumba yang teramati di perairan Teluk Kiluan ………. 45
28 Tingkah laku traveling (a), aerials (b), feeding (c), bowriding (d) di Perairan Pantai Lovina ……… 47
29 Gerakan lumba-lumba yang sering dilakukan di Perairan Pantai Lovina ……… 48
30 Tingkah laku traveling (a), aerials (b), feeding (c), bowriding (d) di Perairan Teluk Kiluan ……….. 48
31 Gerakan lumba-lumba yang sering dilakukan di Perairan Teluk Kiluan ……….. 49
32 Distribusi lumba-lumba selama pengamatan lapangan di Perairan Pantai Lovina ……… 50
33 Distribusi lumba-lumba selama pengamatan lapangan di Perairan Teluk Kiluan ……….. 51
34 Distribusi lumba-lumba berdasarkan waktu pengamatan di perairan Pantai Lovina ... 53
39 Potongan suara B3 ……….. 57
40 Potongan suara B4 ……….. 57
41 Potongan suara B5 ……….. 58
42 Potongan suara B6 ………... 59
43 Potongan suara B7 ………... 59
1 Hasil pengamatan lumba-lumba di Perairan Pantai Lovina Bali tanggal 17-20 September 2007 ... 69 2 Hasil pengamatan lumba-lumba di Perairan Teluk Kiluan Lampung
tanggal 12-15 November 2007 ... 75 3 Potongan suara lumba-lumba yang terekam di Perairan Pantai Lovina,
Bali ... 83 4 Nilai FFT per 5 ms potongan suara B1 dengan durasi 85 ms di
Perairan Pantai Lovina, Bali ... 84 5 Nilai FFT per 5 ms potongan suara B2 dengan durasi 215 ms di
Perairan Pantai Lovina, Bali ... 85 6 Nilai FFT per 5 ms potongan suara B3 dengan durasi 245 ms di
Perairan Pantai Lovina, Bali ... 88 7 Nilai FFT per 5 ms potongan suara B4 dengan durasi 95 ms di
Perairan Pantai Lovina, Bali ... 92 8 Nilai FFT per 5 ms potongan suara B5 dengan durasi 65 ms di
Perairan Pantai Lovina, Bali ... 94 9 Nilai FFT per 5 ms potongan suara B6 dengan durasi 60 ms di
Perairan Pantai Lovina, Bali ... 95 10 Nilai FFT per 5 ms potongan suara B7 dengan durasi 70 ms di
1.1 Latar belakang
Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena
memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi.
Lebih dari sepertiga jenis paus dan lumba-lumba dunia terdapat di perairan
Indonesia, termasuk beberapa jenis yang dikategorikan langka dan terancam
punah. kira-kira terdapat 30 jenis Cetacea yang hidup di perairan ini. Cetacea
merupakan salah satu biota yang melakukan pergerakan dari Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia yang terjadi melalui terusan Kepulauan Sunda Kecil yang
membentang sepanjang 900 km dari Selat Sunda sampai dengan paparan
Sahul. Cetacea yang bermigrasi menjadikan terusan tersebut sebagai tempat
pergerakan lokal atau migrasi jarak jauh (Klinowska 1991). Cetacea sangat
rentan terhadap berbagai dampak lingkungan, seperti kerusakan habitat,
gangguan suara bawah permukaan, polusi laut dan penangkapan berlebih atas
sumberdaya perairan (Hofman 1995).
Saat ini seluruh jenis Cetacea masuk dalam daftar Convention on International Trade Endangered Species (CITES), sebuah perjanjian internasional tentang pembatasan perdagangan satwa yang dilindungi. Indonesia
juga telah meratifikasi Convention on International Trade Endangered Species
pada tahun 1979, berarti bahwa Indonesia juga setuju untuk tidak melakukan
perdagangan ekspor impor Cetacea dan produk-produk Cetacea. Disamping itu
Cetacea merupakan mamalia laut yang dilindungi sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistem, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Salah satu famili dari Cetacea yang paling menarik perhatian, banyak
terdapat di Perairan Indonesia dan sering dijumpai adalah famili Delphinidae atau
dikenal dengan istilah oceanic dolphins dari genus Stenella dan Tursiops. Kebiasaan lumba-lumba yang bergerak berkelompok dan berlompatan di atas
permukaan laut merupakan pemandangan yang menakjubkan. Lumba-lumba
sering terlihat menyertai atau mengejar kapal-kapal ikan sambil berkejaran dan
berlompatan. Perilaku ini juga berkaitan erat dengan usaha untuk mengejar
kelompok ikan atau dalam pergerakan berpindah atau migrasi ke tempat lain. Hal
keberadaan kelompok ikan. Oleh karena itu, lumba-lumba dianggap sebagai
sahabat nelayan (Priyono 2001).
Sejak tahun 2000 perhatian masyarakat dunia tertuju pada pola
penyebaran, pola migrasi dan kelestarian mamalia laut ini. Usaha konservasi
terhadap mamalia laut membutuhkan data dan informasi yang akurat dan terkini,
sayangnya belum banyak peneliti Indonesia yang melakukan penelitian
mengenai mamalia laut ini. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia baru
merintis penelitian tentang mamalia laut melalui “Riset Inventarisasi Mamalia Air”
pada tahun 2003 yang lalu. Salah satu penelitian yang banyak dilakukan oleh
peneliti cetacean dunia adalah mengenai kemampuan bio-sonar Odontoceti
(paus bergigi) yang dapat mentransmisikan sinyal suara dan mendapatkan
informasi mengenai lingkungan sekitar dari pantulan suara tersebut.
Beberapa tahun terakhir ini di Indonesia, lumba-lumba sudah menjadi
hewan buruan untuk dijadikan bahan konsumsi. Apabila dilakukan secara terus
menerus dapat mengakibatkan berkurang populasi lumba-lumba di alam,
meskipun dilakukan secara tradisional. Perairan Pantai Lovina di Kabupaten
Buleleng Bali dan Perairan Teluk Kiluan Kabupaten Tanggamus Lampung
merupakan salah satu jalur migrasi lumba-lumba di Indonesia. Di perairan
tersebut, masyarakat bisa melihat secara langsung lumba-lumba melintas dan
melompat di sekitar pantai. Diperkirakan, daerah tersebut merupakan home range dari sekumpulan lumba-lumba tersebut. Karena daya tarik lumba-lumba, maka pemerintah daerah setempat memusatkan kegiatan pariwisata di lokasi ini.
Melalui penelitian ini diharapkan bisa mengetahui jumlah populasi
lumba-lumba yang ada di Perairan Pantai Lovina Bali dan Teluk Kiluan Lampung.
Penelitian mengenai suara yang dihasilkan oleh lumba-lumba dilakukan dengan
cara mendeteksi dan menganalisis karakteristik suaranya pada berbagai kondisi
dan tingkah laku di habitatnya. Karakteristik suara jenis mamalia laut ini dapat
digunakan sebagai alat pembangkit frekuensi untuk membangkitkan suara
dengan karakteristik yang didapat dari penelitian awal. Suara yang dibangkitkan
tersebut diharapkan dapat menjadi pemandu bagi lumba-lumba untuk
menghindari atau keluar dari suatu perairan yang membahayakan bagi
1.2 Perumusan masalah
Cetacea sudah menjadi hewan buruan untuk dijadikan bahan konsumsi
dan lain seperti daging paus. Pemburuan Cetacea secara terus menerus dapat
mengakibatkan berkurangnya populasi Cetacea di alam, meskipun dilakukan
secara tradisional (Faizah et al. 2006). Untuk mengetahui keberadaan populasi lumba-lumba diperlukan suatu informasi awal yang akan berguna sebagai
referensi untuk manajemen sumberdaya laut dan meningkatkan pemahaman
mengenai ekologi Cetacea di habitat yang sebenarnya. Oleh sebab itu dilakukan
penelitian untuk mengetahui jumlah, distribusi dan tingkah laku dari Cetacea
sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak pengambil
kebijakan untuk mengadakan suatu kawasan perlindungan laut bagi
lumba-lumba.
Lumba-lumba mengandalkan sistem sonar yang disebut echolocation
sebagai sensor utama mereka, karena akustik merupakan sarana yang paling
efektif dan efisien untuk berkomunikasi pada lingkungan perairan. Lumba-lumba
mentransmisikan sinyal akustik dari nasal cavity pada bagian kepala dan menerima pantulannya dari rahang bawah. Pantulan tersebut memungkinkan
lumba-lumba untuk mengetahui bentuk, ukuran, tekstur dan jarak dari obyek. Hal
ini sangat berguna sebagai alat navigasi, untuk mencari mangsa dan menghindar
dari predator. Suara dengan durasi, panjang gelombang, amplitudo, frekuensi,
interval dan pola suara yang berbeda ditransmisikan untuk tujuan yang berbeda
pula. Karakter dari suara yang dihasilkan lumba-lumba dapat digunakna sebagai
teknik untuk terapi bagi anak-anak yang memiliki masalah psikis maupun
keterbelakangan mental atau autisme dan untuk penderita stroke.
1.3 Kerangka pikir
Keberadaan dan kelimpahan lumba-lumba di suatu perairan didukung
juga oleh faktor mencari makanan dan kondisi oseanografi di perairan tersebut.
Faktor oseanografi antara lain, suhu, salinitas, arus dan pasang surut. Silva et al.
(2007) menyatakan bahwa Spinner dolphin berperan penting dalam rantai makanan di perairan Fernando de Noronha. Lumba-lumba memangsa ikan kecil,
cumi, dan udang, Lumba-lumba dimangsa oleh ikan hiu kecil dan ikan hiu kecil
mencari makanan pada malam hari dan memangsa spesies epipelagis
sedangkan pada pagi hari memangsa spesies mesopelagis.
Shane 1990 dalam Leatherwood and Reeves 1990 menyatakan bahwa
Bottlenose dolphin memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungannya, sehingga mengakibatkan variasi pada tingkah laku lumba-lumba.
Jenis Tursiops merupakan salah satu jenis lumba-lumba yang memiliki intelegensia yang tinggi sehingga memungkinkan untuk dilatih berbagai trik oleh
manusia. Di Indonesia, Bottlenose dolphin dikenal oleh masyarakat melalui media hiburan untuk melakukan atraksi-atraksi yang menghibur. Disamping itu
untuk kepentingan komersil, pelatihan lumba-lumba berguna untuk menjaga
kondisi fisik dan psikologis lumba-lumba (The Dolphin Research Centre 2004).
Lumba-lumba memiliki sifat yang unik seperti banyak melakukan tingkah
laku dalam pergerakannya di permukaan air sambil mengeluarkan suara yang
bertujuan untuk komunikasi antar sesama lumba-lumba. Lammers (2004)
menyatakan ciri khusus dari Spinner dolphin adalah memiliki distribusi yang panjang dan sering melakukan gerakan akrobatik di permukaan air. Pada saat
istirahat, Spinner dolphin mengeluarkan suara echolocation untuk mendeteksi lingkungan disekitarnya. Melalui karakteristik lumba-lumba dalam pola
pemunculan dan pergerakan dapat diketahui pola distribusi yang dilakukan oleh
lumba-lumba.
Lumba-lumba berkomunikasi dengan sesama jenisnya atau dengan
spesies lain dengan berbagai cara, terutama dalam bentuk sinyal akustik.
Simmonds et al (2004), mengatakan bahwa echolocation menghasilkan informasi secara detail dan akurat mengenai lingkungan sekitar lumba-lumba dan
memungkinkan lumba-lumba untuk mendeteksi benda dengan jarak beberapa
sentimeter sampai puluhan meter. Echolocation biasanya dihasilkan pada
frekuensi tinggi. Untuk mengetahui jenis suara yang dihasilkan oleh
lumba-lumba, dilakukan perekaman suara lumba-lumba kemudian dianalisis untuk
mendapatkan frekuensi optimum dan panjang gelombang suara (Gambar 1).
1.4 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengidentifikasi jenis dan tingkah laku lumba-lumba di Perairan Pantai
2) Menganalisis distribusi lumba-lumba di perairan Pantai Lovina Bali dan
Teluk Kiluan Lampung ;
3) Menganalisis karakter suara dari beberapa jenis lumba-lumba yang
ditemukan.
1.5 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna sebagai :
1) Bahan pertimbangan bagi pihak-pihak pengambil kebijakan untuk
menetapkan suatu kawasan perlindungan laut bagi Cetacea, khususnya
lumba-lumba ;
2) Dengan mengetahui karakter suara dapat diterapkan teknik pembangkit
frekuensi yang diharapkan dapat menjadi pemandu bagi lumba-lumba untuk
menghindari bahaya serta terapi bagi anak-anak yang memiliki masalah
psikis maupun keterbelakangan mental atau autisme.
1.6 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Lumba-lumba berada di perairan Pantai Lovina dan Teluk Kiluan untuk
melakukan travelling dan mencari makan ;
2) Tingkah laku lumba-lumba pada saat melakukan pergerakan memiliki pola
Faktor Oseanografi
Arus Salinitas Suhu Pasang
surut
Karakteristik lumba-lumba
Pola pemunculan
Pola pergerakan
Arah gerak
Suara yang dikeluarkan
Kecepatan arus
Kondisi fisik perairan
Gerakan yang dilakukan di permukaan air
Jumlah individu
distribusi
Tingkah laku di permukaan air
Analisis suara
Frekuensi optimum
Panjang gelombang
Tipe suara
Tingkah laku, distribusi dan karakter suara lumba-lumba
Gambar 1 Alur kerangka pikir.
2.1 Klasifikasi dan morfologi Cetacea
Lumba-lumba, paus dan pesut merupakan mamalia laut yang termasuk
dalam ordo Cetacea, yang mempunyai 3 (tiga) sub-ordo yaitu Archaeoceti,
Mysticeti dan Odontoceti. Saat ini hanya sub-ordo Odontoceti dan Mysticeti yang
masih ada dibumi, sedangkan sub ordo Archaeoceti sudah punah. Paus baleen
adalah anggota dari sub-ordo Mysticeti, sedangkan paus bergigi (toothed whale) termasuk dalam sub-ordo Odontoceti (Jefferson et al. 1993). Berikut adalah klasifikasi dari lumba-lumba.
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Cetacea
Suborde : Odontoceti, (toothed whales) Familia : Delphinidae (oceanic dolphins)
Genus Delphinus
Delphinus capensis (Long-Beaked Common Dolphin)
Delphinus delphis (Short-Beaked Common Dolphin) Genus Tursiops
Tursiops truncatus (Lumba-lumba hidung botol)
Tursiops aduncus (Indo-Pacific Bottlenose Dolphin) Genus Lissodelphis
Lissodelphis borealis (Northern Rightwhale Dolphin)
Lissiodelphis peronii (Southern Rightwhale Dolphin)
Genus Sotalia
Sotalia fluviatilis (Tucuxi) Genus Sousa
Sousa chinensis (Indo-Pacific Hump-backed Dolphin)
Sousa chinensis chinensis (Chinese White Dolphin)
Sousa teuszii (Atlantic Humpbacked Dolphin)
Genus Stenella
Stenella frontalis (Atlantic Spotted Dolphin)
Stenella clymen (Clymene Dolphin)
Stenella attenuata (Pantropical Spotted Dolphin)
Stenella longirostris (Spinner Dolphin)
Stenella coeruleoalba (Striped Dolphin)
Genus Steno
Genus Cephalorynchus
Cephalorhynchus eutropia (Chilean Dolphin)
Cephalorhynchus commersonii (Commerson's Dolphin)
Cephalorhynchus heavisidii (Heaviside's Dolphin)
Cephalorhynchus hectori (Hector's Dolphin)
Genus Grampus
Grampus griseus (Risso's Dolphin)
Genus Lagenodelphis
Lagenodelphis hosei (Fraser's Dolphin)
Genus Lagenorhyncus
Lagenorhynchus acutus (Atlantic White-Sided Dolphin)
Lagenorhynchus obscurus (Dusky Dolphin)
Lagenorhynchus cruciger (Hourglass Dolphin)
Lagenorhynchus obliquidens (Pacific White-Sided Dolphin)
Lagenorhynchus australis (Peale's Dolphin)
Lagenorhynchus albirostris (White-Beaked Dolphin)
Genus Orcaella
Orcaella heinsohni (Australian Snubfin Dolphin)
Orcaella brevirostris (Irrawaddy Dolphin)
Genus Peponocephala
Peponocephala electra (Melon-headed Whale)
Genus Orcinus
Orcinus orca (Killer Whale)
Genus Feresa
Feresa attenuate (Pygmy Killer Whale)
Genus Pseudorca
Pseudorca crassidens (False Killer Whale)
Genus Globicephala
Globicephala melas (Long-finned Pilot Whale)
Globicephala macrorhynchus (Short-finned Pilot Whale)
Hewan-hewan dari ordo Cetacea adalah hewan menyusui yang
sepanjang hidupnya ada di perairan dan telah melakukan berbagai adaptasi
untuk kehidupan di lingkungan ini. Tubuhnya berbentuk seperti torpedo
(streamline) tanpa sirip belakang. Sirip depannya mengecil dan memiliki sebuah ekor horisontal yang kuat untuk bergerak seperti baling-baling perahu. Lubang
kepalanya. Lubang ini berguna untuk pernapasan pada saat hewan itu berenang
di permukaan air. Morfologi mamalia laut dari ordo Cetacea seperti terlihat dalam
Gambar 2.
Gambar 2 Morfologi mamalia laut ordo Cetacea.
Carwadine et al. (1997) menerangkan ciri-ciri umum yang terdapat pada Cetacea yaitu mereka memiliki bentuk bagian tubuh yang berbeda dengan
kebanyakan mamalia yang lain. Kebanyakan mamalia memiliki lubang hidung
yang menghadap ke depan,tetapi Cetacea memiliki lubang hidung diatas kepala.
Lebih ke belakang, terdapatcekungan di samping kepala yang merupakan posisi
dari kuping namun tidak terdapat daun telinga. Cetacea memiliki leher yang
pendek, tidak fleksibel dan pergerakan kepala yang terbatas. Di belakang kepala
terdapat lengan depan yang berbentuk seperti sirip tanpa jari dan lengan. Bentuk
seperti ikan yang terdapat pada bagian tubuh Cetacea adalah sirip dorsal dan
sirip ekor (fluks). Sirip dorsal berguna untuk kestabilan dan pengaturan panas tubuh. Pada beberapa spesies, sirip dorsalnya kecil atau bahkan tidak dijumpai
sama sekali. Fluks horizontal terdapat di ujung ekor dan ditunjang hanya dibagian tengah oleh bagian akhir tulang ekor (tulang belakang), dan bagian
lainnya terdiri dari jaringan non tulang.
Menurut Reseck (1998), satu perbedaan mendasar antara ikan dan
Cetacea adalah dari bentuk tubuh yaitu pada ekor, dimana ekor mamalia adalah
horinzontal dan ketika berenang bergerak keatas dan kebawah dan
dikombinasikan dengan sedikit gerakan memutar, sedangkan pada ikan ekornya
berbentuk vertikal dan bergerak dari sisi ke sisi ketika berenang.
Cetacea termasuk kedalam golongan hewan berdarah panas, sebagian
besar energi tubuhnya dihabiskan untuk menstabilkan suhu tubuhnya. Rambut
atau bulu pada mamalia laut berkurang atau bahkan menghilang, hal tersebut
berhubungan dengan adaptasi mengurangi hambatan dalam pergerakan. Untuk
lapisan lemak tersebut untuk mempertahankan kondisi tubuh tetap pada suhu
360-370C, walaupun hidup pada lingkungan dengan suhu kurang dari 250C dan mungkin dibawah 100 C. Lemak terdapat pula di bagian lain dari tubuh, pada organ seperti hati, jaringan otot dan didalam tulang dalam bentuk minyak,
dengan jumlah sekitar 50 % dari berat tubuhnya (Evans 1987).
2.2 Karakteristik beberapa Cetacea 1) Delphinus delphis (Common dolphin)
Priyono (2001) mengatakan bahwa lumba-lumba memiliki tubuh yang
ramping serta moncong sedang hingga panjang serta sebuah sirip punggung
yang tinggi dan agak membentuk sabit. Panjang spesies ini mencapai 2.3 m
untuk betina dan 2.6 m untuk jantan, dengan bobot maksimum 150 kg. Memiliki
sirip dorsal yang tinggi dan berbentuk sabit yang agak tegak. Punggungnya
berwarna abu-abu gelap kecoklatan, perut berwarna putih, dan warna coklat
kekuningan pada sisi belakang. Bibirnya gelap dan terdapat sebuah garis yang
mengitari daerah seputar mata. Terdapat pola seperti jam pasir pada setiap
sisinya (Evans 1987). Delphinus delphis (Common dolphin) seperti terlihat dalam Gambar 3.
Gambar 3 Delphinus delphis (Linnaeus, 1758).
Ukuran kelompok berkisar dari beberapa lusin hingga lebih dari 10.000
ekor. Sangat aktif ke udara dan bersuara tinggi. Di beberapa lokasi, lumba-lumba
ini makan pada malam hari memangsa satwa-satwa mangsa yang hidup pada
lapisan dalam laut, dan bermigrasi ke permukaan pada saat siang hari (Priyono
2001).
Genus Delphinus sebagian besar adalah jenis oseanik yang tersebar mempunyai di perairan tropis hingga sub tropis pada kisaran lintang 600 LU di Atlantik Utara, 500 LU di Pasifik Utara dan 500 di Kutub Selatan. Penyebaran genus ini di Indonesia adalah perairan laut dari Selat Malaka hingga Papua
2) Tursiops truncates (Bottlenose dolphin)
Lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) adalah jenis ordo Cetacea kecil yang paling dikenal karena menghuni perairan pantai dan
dipergunakan dalam pentas satwa (Gambar 4). Memiliki ciri-ciri relatif tegap,
moncongnya pendek atau cukup panjang dengan ukuran yang besar dan dengan
jelas terpisah dari melon oleh suatu lapisan. Sirip punggung (dorsal fin) tinggi dan berujung agak bengkok seperti sabit serta muncul dari pertengahan punggung
(Jefferson et al. 1993).
Gambar 4 Tursiops truncatus (Carwardine 1995).
Menurut Priyono (2001), warna kulit lumba-lumba hidung botol
berbeda-beda dari abu-abu terang hingga agak hitam pada bagian punggung dari sisi-sisi,
berbayang ke arah putih pada bagian perut. Bagian perut dan sisi bagian bawah
terkadang berbintik-bintik. Ada sebuah garis gelap dari mata ke flipper, dan sebuah tonjolan warna redup pada bagian punggung yang biasanya hanya
nampak pada jarak dekat. Seringkali terdapat sebaran warna abu-abu pada
tubuh, khususnya pada muka dan apri apex melon ke lubang hidung (blowhole). Memiliki 18-26 pasang gigi yang tegak pada tiap rahang. Lumba-lumba dewasa
memiliki panjang tubuh 1,9-3,8 m, panjang tubuh jantan lebih besar dari betina.
Lumba-lumba hidung botol ditemukan di seluruh dunia pada perairan
tropis dan sub tropis, inshore dan offshore (Klinowska 1991). Menurut Rudolph et al. (1997), spesies lumba-lumba hidung botol menyebar antara lain di Laut Jawa, Pulau Panaitan, sebelah barat Jawa, Pulau Sissie, sebelah timur Laut Seram,
lepas pantai Papua, Samudera Pasifik, Lamalera, Pulau Solor, Pulau Biak, timur
laut Papua, Selat Ambon, Selat Malaka, Selat Singapura, Kepulauan Riau,
sebelah timur Pulau Bangka dan Selat Sunda.
Corkeron (1990) menyatakan bahwa lumba-lumba hidung botol biasanya
3) Sousa chinensis (Indo-Pacific humpback dolphin)
Spesies ini sering disebut lumba-lumba putih Cina (Gambar 5), memiliki
panjang badan 3.2 m untuk jantan dan 2.5 m untuk betina dan bobotnya bisa
mencapai 284 kg. Badannya besar, kuat dan tegap dengan sebuah moncong
panjang yang jelas. Terdapat melon yang kecil pada dahi. Selain itu, terdapat
juga sebuah bongkok, yaitu sebuah tonjolan pada punggung tempat sirip dorsal
berada. Di daerah tertentu, terkadang terdapat pula lipatan pada batang ekor.
Lumba-lumba jantan biasanya mempunyai bongkok dan lipatan yang lebih besar
dibandingkan betina.
Pola warnanya bervariasi tergantung umur dan daerah tempat tinggal.
Diantaranya adalah abu-abu gelap putih pada punggung dan sisi samping atas,
kemudian biasanya lebih cerah pada sisi samping bawah sampai ke perut.
Terdapat ujung putih pada moncong, flipper, dan sirip dorsal. Ketika dewasa terkadang terdapat bintik berwarna putih atau merah muda. Spesies ini
terkadang melakukan akrobatik melompat berputar di udara (Evans 1987;
Jefferson et al. 1993).
Gambar 5 Sousa chinensis (Osbeck 1765).
Sousa chinensis tersebar di pesisir perairan hangat 4 musim, daerah pesisir laut tropis, dan perairan lepas pantai Afrika Selatan sampai Laut Merah
dan Thailand, Kepulauan Indo-Australia sampai bagian utara Laut Cina Selatan
dan pesisir utara Australia (Jefferson et al. 1993). Spesies ini terdapat di laut Arafura dan daerah perairan sekitar Serawak, Malaysia (Rudolph et al. 1997).
4) Stenella longirostis (Long-snouted spinner dolphin)
Terkenal dengan sebutan lumba-lumba paruh panjang (Gambar 6),
memiliki 3 (tiga) pola warna yaitu abu-abu gelap pada bagian punggung, abu-abu
terang pada bagian samping dan putih (abu-abu putih) di bagian perut. Ukuran
tubuh jantan lebih besar daripada betina. Terdapat perbedaan morfologi antara
Gambar 6 Stenella longirostris (Carwardine 1995).
Menurut Jefferson et al. (1993), jenis ini memiliki panjang tubuh dewasa antara 1,3-2,1 m dengan berat 45-75 kg, sedangkan bayi yang baru lahir memiliki
panjang tubuh 80 cm. Masa kehamilan adalah 11 bulan dan interval kelahiran
anak adalah 2-3 tahun sekali. Carwadine (1995) menerangkan bahwa tanda
untuk mengidentifikasi jenis ini di lapangan adalah dengan mengamati tingkat
keseringan lumba-lumba melakukan gerakan memutar di udara. Cara terbaik
untuk membedakan Stenella longirostis dengan spesies lain adalah dengan melihat moncongnya (mulutnya) yang panjang dan ramping dan dahinya yang
melandai.
Spesies ini hidup di laut tropis dan perairan hangat 4 (empat) musim di
Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, Kepulauan Hawai
dan Teluk Thailand (Carwadine 1995). Daerah penyebaran spesies ini adalah
Laut Timor, Laut Arafura, Selat Halmahera, Solor, Lembata, Laut Jawa, Laut
Sawu, Selat Malaka, Laut Seram, Laut Flores, Laut Banda, Selat Sunda, Laut
Sulawesi, pesisir utara Papua, Pulau Alor, Selat Sumba dan Perairan sekitar
Taman Nasional Komodo (Rudolph et al. 1997).
5) Stenella attenuata (Pantropical spotted dolphin)
Lumba-lumba Stenella attenuata (Gambar 7), memiliki totol di sekujur tubuhnya, namun kadang sulit untuk diidentifikasi karena ukuran dan warnanya
yang bervariasi menurut lokasi geografis. Spesies ini memiliki flipper yang panjang dan tajam, sirip dorsal yang panjang dan tegak, mempunyai tiga pola
warna dan biasanya dalam kelompok besar. Permukaan punggung berwarna
abu-abu gelap tetapi ditutupi bintik-bintik pucat, sementara bagian bawah yang
pucat ditutupi oleh bintik-bintik gelap. Ukuran tubuh jantan lebih besar daripada
betina. Panjang total lumba-lumba totol dewasa berkisar 1,7-2,4 m dengan
panjang anak 80 cm. Masa kehamilan 11,5 bulan dan bayi yang baru lahir belum
Makanan mereka terdiri dari ikan, cumi-cumi dan kadang crustacea (Jefferson et al. 1993).
Gambar 7 Stenella attenuata (Carwardine 1995).
Lumba-lumba totol dapat ditemukan pada laut tropis dan perairan empat
musim di Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta
laut-laut di sekitarnya. Daerah penyebaran spesies ini meliputi Laut Banda, sebelah
barat Sumatera, Selat Haruku, Laut Sawu, Lamalera (Rudolph et al. 1997), perairan disekitar Taman Nasional Komodo dan sering dijumpai di Pantai Lovina,
Bali (Khan 2001).
6) Steno bredanensis (Rough-toothed dolphin)
Lumba-lumba Steno bredanensis (Gambar 8), memiliki tubuh yang relatif tegap dengan kepala agak kerucut dan tidak ada batas antara melon dan
moncong (Priyono 2001). Panjang badan sekitar 2.8 m dengan bobot mencapai
150 kg. Spesies ini mempunyai flipper yang besar yang terletak jauh di sisi samping dan sirip dorsal yang berbentuk sabit. Tubuhnya berwarna abu-abu
gelap dengan sebuah pola warna sempit yang memanjang kemudian membesar
kearah samping bawah sirip dorsal. Perut, bibir dan sebagian besar rahang
bawah berwarna putih. Kebanyakan permukaan tubuhnya dipenuhi dengan
goresan dan bintik-bintik putih yang disebabkan oleh gigitan hiu dan sesama
jenis spesies ini (Evans 1987; Jefferson et al. 1993).
Priyono (2001) menyatakan bahwa lumba-lumba ini hidup bergerombol
10-20 ekor meskipun kadang dijumpai lebih dari 100 ekor. Sering bergerak pada
malam hari dengan kecepatan tinggi dimana dagu dan kepala di atas permukaan
air, dalam perilaku meluncur yang khas seperti berselancar. Di perairan tropis
Pasifik cenderung berasosiasi dengan obyek-obyek terapung dan terkadang
dengan Cetacea lainnya.
Lumba-lumba gigi kasar adalah spesies oseanik yang terdapat di seluruh
laut tropis dan subtropis yaitu dari 400 Lintang Utara sampai 350 lintang selatan (Jefferson et al.1993). Spesies ini pernah terlihat di perairan lepas pantai Lamalera, Pulau Lembata pada bulan September 1993 (Rudolph et al. 1997).
7) Grampus griseus (Risso’s dolphin)
Lumba-lumba Grampus griseus (Gambar 9), memiliki tubuh yang relative besar dan tegap dengan kepala yang bulat atau tumpul tanpa paruh yang jelas.
Flipper panjang, runcing dan melengkung. Sirip punggung tinggi dan berbentuk sabit. Pada bagian mulut terdapat garis-garis mulut yang miring ke depan. Satu
ciri khas lumba-lumba ini adalah sebuah jambul tegak pada bagian depan melon
(Priyono 2001).
Spesies ini memiliki panjang bisa mencapai 3.8 m untuk yang dewasa.
Bobotnya bisa mencapai lebih dari 400 kg. Jantan berukuran sedikit lebih besar
dibandingkan betina. Tubuhnya dipenuhi goresan berwarna putih dan ruamruam.
Pola warna pada dewasa berkisar dari abu-abu gelap sampai mendekati putih.
Pada daerah dada terdapat pola berbentuk jangkar putih (Evans, 1987; Jefferson
et al.1993).
Gambar 9 Grampus griseus (G. Cuvier 1812).
Lumba-lumba besar ini sering berada di permukaan sambil berenang
perlahan, meskipun mereka dapat menjadi energik, terkadang menyusur dan
ekor dan biasanya berasosiasi dengan spesies Cetacea lainnya. Puncak musim
beranak di Laut Atlantik Utara pada musim panas (Priyono 2001).
Lumba-lumba abu-abu dapat ditemui di daerah laut tropis dan warm temperate water di seluruh dunia, umumnya pada perairan yang lautnya dalam (Jefferson et al. 1993). Penyebaran spesies ini adalah Samudera Hindia, lepas pantai Manokwari, Papua, Lamalera, Pulau Lembata; Selat Pantar (selat antara
Pura dan Pulau Alor), Kepulauan Tanimbar, Laut Arafura, dan selatan Timor,
Laut Timor (Rudolph et al. 1997).
8) Lagenodelphis hosei (Fraser’s dolphin)
Panjang maksimum spesies Lagenodelphis hosei(Gambar 10) adalah 2.7 m dengan bobot bisa mencapai lebih dari 210 kg. Lumba-lumba ini memiliki
bentuk badan yang pendek, kuat dan gemuk dengan sirip dorsal berbentuk
triangular yang pendek. Moncongnya pendek dan gemuk, namun terlihat jelas.
Ciri-ciri yang paling jelas adalah pola warna yang sangat menarik perhatian yaitu
pita berwarna gelap yang bervariasi ketebalan warnanya mulai dari muka sampai
anus. Terdapat strip pada flipper yang dimulai dari tengah rahang bawah. Sebaliknya, punggungnya berwarna abu-abu gelap kecoklatan, dan perut
berwarna putih atau merah muda (Jefferson et al. 1993).
Gambar 10. Lagenodelphis hosei (Fraser 1956).
Lumba-lumba fraser ditemukan di sebelah timur Australia sampai Jepang
dan Taiwan, juga di Samudera Hindia sampai Afrika Selatan, Madagaskar dan
Srilanka (Leatherwood and Revees, 1983). Spesies ini tersebar di Lamalera,
Pulau Lembata; Natsepa, Teluk Baguala, Ambon; Pulau Alor, Laut Sawu; Selat
Ombai, selatan Pulau Alor; Loh Liang, Pulau Komodo (Rudolph et al. 1997).
2.3 Tingkah laku Cetacea
Mamalia laut melakukan berbagai macam gerakan dan tingkah laku yang
beragam, mulai dari yang sangat jelas terlihat sampai yang sangat jarang
dilakukan, namun dapat dipelajari beberapa jenis tingkah laku dari Cetacea
sehingga bisa mengartikan tingkah laku tersebut.
Paus dan lumba-lumba sering kali melakukan aktivitas melompat ke
udara dengan kepala terlebih dahulu dan menjatuhkan diri kembali ke air.
Aktivitas ini disebut dengan istilah breaching. Aktivitas breaching ini masih merupakan misteri namun terdapat beberapa alasan yaitu sebagai suatu tanda,
menghilangkan parasit yang menempel pada tubuh mamalia tersebut, unjuk
kekuatan, sekedar kesenangan dan suatu bentuk komunikasi pada kelompok
mereka (Carwadine 1995).
Beberapa mamalia laut kecil seperti lumba-lumba mampu melakukan
lompatan yang sangat tinggi dan terkadang melakukan gerakan salto, berputar dan berbalik sebelum masuk kembali ke air dan gerakan ini disebut dengan
aerials (Carwadine 1995). Disamping itu aktivitas lainnya adalah bowriding. Carwadine (1995) menjelaskan bahwa bowriding adalah aktivitas berenang yang dilakukan lumba-lumba mengikuti gerakan ombak yang terjadi akibat gerakan
kapal dan mengikuti kapal tersebut. Aktivitas ini merupakan salah satu bentuk
permainan yang dilakukan oleh lumba-lumba.
Spyhop adalah gerakan memunculkan kepala ke permukaan air. Gerakan ini berfungsi untuk mengamati keadaan disekitarnya karena jarak pandang di
udara lebih jauh dibandingkan di dalam air (Carwadine et al. 1997). Sementara aktivitas lainnya adalah gerakan mengangkat fluks atau ekor tersebut ke dalam air yang disebut dengan lobtailing. Diduga hal ini berkaitan dengan agresifitas lumba-lumba dan paus dengan salah satu cara berkomunikasi (Carwadine 1995).
Paus dan lumba-lumba sering kali berdiam di suatu tempat pada
permukaan perairan sehingga sering dilihat dari kapal, badan mamalia laut ini
terlihat seperti sebongkah kayu.
Menurut Shane (1990), lumba-lumba memiliki tingkah laku sosial yang
ditandai dengan :
1) Greeting : lumba-lumba melakukan greeting pada beberapa keadaan ketika bertemu kelompoknya dengan cara berenang cepat diantara yang lainnya di
permukaan air sambil ekornya digerakkan atau dengan cara mengeluarkan
2) Roughhousing : lumba-lumba dengan penuh semangat membuat keributan dan kegaduhan dengan menggunakan rostrum dan flukes untuk menyambut anaknya yang baru dilahirkan ;
3) Alloparental care : lumba-lumba muda berenang dan bermain bersama lumba-lumba dewasa lainnya (babysister) selama lebih dari 1 jam ketika ibunya mencari makan pada jarak beberapa ratus meter dari mereka.
2.4 Makanan dan cara makan
Weber and Thurman (1991) mengatakan bahwa lumba-lumba kebanyakan pemakan ikan, walaupun mereka juga memakan cumi-cumi. Mereka
memangsa bermacam-macam ikan dengan giginya dan menelannya bulat-bulat.
Lumba-lumba kecil makanan utamanya ikan-ikan kecil dan cumi-cumi yang
berada di zona epipelagik di perairan laut terbuka, beberapa spesies
makanannya adalah ikan dasar di perairan dangkal dekat pantai, teluk dan
sungai.
Cockcroft and Ross (1986) mengemukakan bahwa lumba-lumba hidung botol di perairan Natal, Afrika Selatan memakan berbagai jenis ikan pelagis,
cepalopoda, dan beberapa jenis ikan laut dalam. Barros and Odell (1990) mengatakan bahwa lumba-lumba hidung botol lebih memilih jenis Mullet sebagai
makanannya. Sementara Barros and Odell (1990) mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaaan jenis makanan antara lumba-lumba hidung botol betina dan
jantan. Makanan utama mereka adalah Cynoscion, Micropogonias dan
Leiostomus.
Menurut Shane (1990) lumba-lumba memiliki cara makan sebagai berikut :
1) Bottom feeding : lumba-lumba, sendiri atau pada saat bebas atau pada saat menyebar luas biasanya menyelam dengan batang ekor atau ujung ekor
diangkat ke atas, kadang-kadang Lumpur teraduk ke atas ;
2) Against current feeding : lumba-lumba kadang-kadang melawan arus pasang surut yang kuat dan tetap berada di satu tempat kecuali sedang menangkap
dan mengejar ikan, paling sering berada di permukaan ;
3) Horizontal circle feeding : lumba-lumba sering berenang membentuk lingkaran hanya di bawah permukaan dengan dua cara. Pertama,
lumba-lumba berenang cepat di sisi lingkaran dengan tubuh membongkok ke depan,
lebih seperti kucing mengejar ekornya. Kedua, lumba-lumba berada pada
kemudian lumba-lumba itu akan memutar kepalanya atau sangat jarang
seluruh tubuhnya akan berputar 360 derajat membentuk busur sehingga satu
atau beberapa ikan kecil akan lari ke lingkaran dipinggir mulut lumba-lumba
dibawah permukaan ;
4) Edge feeding : Lumba-lumba berenang sepanjang batas penghalang pasir (sand bar), penghalang tiram (oyster bar) di bawah permukaan air (submerged bar), kanal dan garis pantai mangrove untuk mencari makan ; 5) Cara makan dengan menyerbu (feeding rush) ini terlihat pada cara makan di
tepi air. Lumba-lumba akan meningkatkan kecepatannya secara tiba-tiba
sejauh 10-20 meter kearah garis pantai. Sebelum mencapai pantai,
lumba-lumba akan bersandar pada salah satu sisi dan berputar atau membuat
tikungan tajam ke bawah untuk menangkap mangsanya ;
6) Fish kicking atau menendang ikan adalah cara makan yang paling unik. Lumba-lumba menggunakan ujung atau batang ekornya untuk menendang
ikan yang berada di dekat permukaan air ke udara. Fish kicking biasanya dilakukan oleh seekor lumba-lumba yang berenang ke arah schooling ikan ; 7) Sebelum membawa mangsanya ke bawah, lumba-lumba mengosongkan
permukaan air dari mangsanya dengan cara menghentakkan ekornya ke
permukaan. Hal ini menyebabkan hisapan ke bawah yang kemudian diikuti
dengan feeding circles dan feeding rush ;
8) Pada beberapa kesempatan lumba-lumba diam di permukaan lalu
melambung ke atas dan ke bawah atau menggerakkan badannya dengan
kepala di bawah seperti memainkan sesuatu.
2.5 Penggunaan suara oleh lumba-lumba
Peranan suara penting bagi mamalia laut, karena suara merambat dalam
air lima kali lebih cepat daripada di udara dan mempunyai kisaran komunikasi
yang lebih luas daripada penglihatan (Nybakken 1992). Bioakustik adalah ilmu
yang mempelajari suara yang diproduksi oleh binatang. Banyak sekali biota laut
yang dapat memproduksi suara, diantaranya beberapa spesies crustacea, ikan
dan mamalia laut. Akustik merupakan sarana yang paling efektif dan efisien
untuk berkomunikasi pada lingkungan perairan, karena suara di air adalah 1500
m/s atau 4,5 kali lebih cepat daripada kecepatan suara di udara.
sering dideskripsikan sebagai lengkingan atau gonggongan, (3) whistle biasanya digunakan untuk komunikasi. Tabel 1 menyajikan kisaran frekuensi yang
dihasilkan oleh beberapa spesies Cetacea dari sub ordo Odontoceti.
Tabel 1 Kisaran frekuensi suara pada beberapa mamalia.
Minimum
(Tursiop truncatus)
0,1 0,06 50,0 115,0 Jonson (1967)
Killer whale
(Orcineus orca)
0,02 0,013 15,0 31,0 Hall and Jhonson (1972)
River dolphin
(Inia geoffrensis)
0,32 0,21 30,0 100 Jacobs and Hall (1972)
(Trichechus manatus)
0,38 0,25 18,0 30,0 Gerstein et al.
(1999)
Pada kedalaman lebih dari 200 meter dimana cahaya tidak lagi dapat
menembus laut, dengan keadaan ini maka mamalia laut mengandalkan suara
dibandingkan cahaya sebagai alat utama dalam komunikasi serta lebih
berhati-hati dari keadaan lingkungan sekitarnya. Selain itu banyak juga mamalia laut
yang tinggal di lingkungan yang membatasi penglihatannya, seperti di daerah
turbiditas. Maka mamalia laut akan mengandalkan kemampuannya dalam suara.
Misalnya lumba-lumba sungai yang memiliki kemampuan penglihatan yang
terbatas hanya pada saat membedakan yang gelap dan terang .
2.5.1 Echolocation
Echolocation adalah kemampuan binatang dalam memproduksi frekuensi yang sedang atau tinggi serta mendeteksi echos dari suara tersebut untuk menentukan jarak dari suatu obyek dan untuk mengenali keberadaan fisik di
sekitarnya. Echolocation ini memberikan informasi yang detail dan akurat tentang sekeliling dan memproduksi frekuensi tinggi (Supangat 2006). Proses
Gambar 11 Mekanisme produksi dan penerimaan suara pada lumba-lumba (Evans 1987).
Mamalia laut yang mampu melakukan echolocation memiliki kemampuan yang luar biasa untuk membedakan detail obyek dengan baik. Hal ini diduga
karena tulang pada tengkoraknya telah tersusun untuk membentuk pemantul
parabolik yang menfokuskan suara di dahi. Melon, organ tubuh berlilin yang berbentuk lensa dan terletak di dahi, memfokuskan suara yang dihasilkan di nasa plugs sehingga suara tersebut akan dipancarkan ke arah yang dikehendaki oleh mamalia laut tersebut. Pada saat yang bersamaan, gelombang suara pantulan
dari obyek yang kembali disalurkan melalui fatty channel, yang berisi minyak dan terletak di rahang bawah, hingga mencapai inner ear. Penyaluran suara dapat dibuat lebih tepat dan teliti dengan bantuan buih yang bergelembung (Evans
1987).
Nybakken (1992) menyatakan bahwa alat penerima dan penghasil suara
Cetacea yang digunakan untuk ekolokasi sudah sangat berkembang, sama
seperi kita menggunakan sonar unuk menduga kedalaman. Gelombang suara
pada ekolokasi atau sonar dikeluarkan dari sumber ke arah tertentu. Gelombang
suara ini bergerak lancar dalam air sampai membentur benda padat. Jika
membentur benda, maka gelombang itu akan terpantul dan kembali ke
sumbernya. Interval waktu saat suara pertama kali dikeluarkan dan
pergerakannya menuju sasaran serta kembalinya setelah terpantul merupakan
ukuran jarak antara sumber dan benda. Dengan berubahnya jarak, waktu echo
kembali juga berubah. Pengeluaran gelombang suara secara terus-menerus dan
evaluasi sensorik dari gelombang yang terpantul selagi berenang merupakan
mengetahui jarak benda itu, hewan tersebut dapat menjauhinya (predator) atau
mendekatinya.
Suara dengan frekuensi rendah digunakan hewan yang berekolokasi
untuk menempatkan dirinya dalam badan air sesuai dengan benda-benda yang
ada di sekitarnya. Namun suara dengan frekuensi rendah tidak memberikan
informasi mengenai bentuk benda itu. Untuk mendapatkan informasi ini,
diperlukan suara dengan frekuensi lebih tinggi yang memantul dari benda dan
memberikan perincian lebih lanjut. Oleh karena itu, kebanyakan hewan laut yang
mempunyai kemampuan ekolokasi yang berkembang dengan baik juga
mempunyai kemampuan mengubah frekuensi suara yang dihasilkan (Nybakken
1992).
2.5.2 Komunikasi
Mamalia laut tidak memiliki pita suara dan jarang terlihat mengeluarkan
gelembung ketika menghasilkan suara pada mamalia laut untuk berkomunikasi.
Evans (1987) menyatakan bahwa dugaan pertama adalah bahwa suara
diproduksi pada larynx (pangkal tenggorokan), sama seperti mamalia lainnya. Dugaan lainnya yaitu bahwa suara echolocation (click) maupun suara komunikasi (whistle) dihasilkan di daerah nasal plug. Udara yang ditekan diduga lewat dari
nasal sacs ventral ke plug lalu ke dorsal sac sebagai sebuah rangkaian pulsa suara, dimana whistle diproduksi dari sisi kiri dan click dari sisi kanan. Udara lalu
disimpan di dorsal nasal sac dan di daur ulang ke lower sac untuk letusan suara berikutnya.
Menurut Supangat (2006), mamalia laut dalam berkomunikasi
menggunakan suara dengan sinyal akustik tertentu, dimana sinyal ini bervariasi
tergantung kebutuhan serta keadaan lingkungan. Ada beberapa macam fungsi
komunikasi mamalia laut seperti seleksi intraseksual, seleksi interseksual,
memandu anak, memandu kelompok, pengenalan individu serta menghindari
bahaya.
Leatherwood and Reeves (1990) mengatakan bahwa “whistle like squeal” pada lumba-lumba hidung botol bukan digunakan untuk echolocation tetapi dihasilkan dalam konteks komunikasi sosial. Lumba-lumba mengeluarkan whistle
ketika terpisah dari induk, anak atau anggota kelompoknya. lumba-lumba hidung
3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina
Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di
Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik utamanya adalah pantai dengan air
laut yang tenang, pasir berwarna kehitam-hitaman, karang laut dengan ikan
tropisnya.
Kabupaten Buleleng terletak di belahan utara Pulau Bali dan secara
geografis terletak pada posisi 80 03’40”- 8023’00’’ LS dan 114025’55”- 115027’28’’ BT. Batas utara dari Kabupaten Buleleng adalah Laut Bali, sebelah barat dengan
Kabupaten Jembrana, sebelah timur dengan Kabupaten Karangasem, dan
sebelah selatan berbatasan dengan empat kabupaten yaitu Kabupaten Badung,
Bangli, Gianyar, dan Tabanan. Kabupaten Buleleng terdiri dari sembilan
kecamatan, meliputi 146 Desa/Kelurahan dan 163 desa adat dengan luas
wilayah 1.365,88 km2 atau 24,25% dari luas Pulau Bali.
Kabupaten Buleleng beriklim tropis dan dipengaruhi oleh angin musim
yang berganti setiap enam bulan sekali. Musim kemarau berkisar antara bulan
April hingga Oktober dan musim hujan dimulai dari bulan Oktober hingga April.
Curah hujan terendah terdapat di daerah pantai dan curah hujan tinggi terdapat
di daerah pegunungan. Keadaan topografi Kabupaten Buleleng sebagian besar
merupakan daerah berbukit yang membentang di bagian selatan, sedangkan di
bagian utara adalah dataran rendah dan membentang pantai dari barat ke timur
sepanjang 144 km yang berbatasan dengan Laut Bali. Luas perairan laut
Kabupaten Buleleng kurang lebih 1.196,8 km2 dengan kedalaman batimetri perairan laut berkisar antara 0-1000 m.
Jumlah penduduk berdasarkan hasil registrasi pada tahun 2005
berjumlah sebanyak 618.076 jiwa, dari jumlah 160.709 Kepala Keluarga. Dari
jumlah tersebut terdiri dari penduduk perempuan sebanyak 312.878 jiwa atau
50,63 % dan penduduk laki-laki sebanyak 305.198 jiwa atau 49,37% dari kondisi
tersebut tercermin penduduk perempuan relatif dominan jika dibandingkan
dengan penduduk laki-laki. Perkembangan penduduk di Kabupaten Buleleng
disajikan pada Tabel 2.
Rata-rata perkembangan penduduk di Kabupaten Buleleng selama kurun
pertumbuhan penduduk di Kabupaten Buleleng termasuk dalam kategori rendah.
Tabel 2 Perkembangan penduduk di Kabupaten Buleleng (1999-2005).
Tahun Jumlah Penduduk
(orang) Perkembangan (%)
1999 577.019 0,27
Sumber Data : Buleleng Dalam Angka (2006)
Salah satu daya tarik dari Kabupaten Buleleng adalah melihat atraksi
lumba-lumba dari dekat pada habitat aslinya. Daya tarik lainnya adalah adanya
terumbu karang sebagai lokasi untuk aktifitas selam (diving) di Pantai Lovina. Pantai Lovina menyimpan pesona yang luar biasa. Gelombang laut yang
tenang, pasir berwarna kehitam-hitaman dan dijumpai gerombolan lumba-lumba
di pagi hari membuat Pantai Lovina amat digemari oleh turis mancanegara.
Ketenangan air laut sangat cocok untuk rekreasi air seperti diving, snorkling, berenang, memancing, berlayar, mendayung dan berendam di air laut. Dari
kawasan perairan Lovina juga dapat terlihat keindahan pemandangan deretan
perbukitan yang biru dari timur ke barat sejauh mata memandang (Gambar 12).
Tidak ada bukti-bukti atau sumber-sumber yang jelas bagaimana asal
usulnya nama Lovina ini. Ada yang versi yang mengatakan bahwa nama Lovina
diberikan karena adanya dua buah pohon santen yang ditanam oleh putra
keturunan raja Buleleng yang kemudian tumbuh saling berpelukan. Dalam hal ini
Lovina berasal dari bahasa latin berarti saling mengasihi atau saling menyayangi.
Nama Lovina kemudian oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Buleleng,
Drs I Ketut Ginantra selama masa jabatan beliau dari tahun 1988 sampai 1993,
diartikan sebagai singkatan dari love dan ina yang artinya cinta Indonesia .
Secara resmi, kawasan ini disebut wisata kalibukbuk, namun dikenal
dengan kawasan wisata Lovina. Kawasan ini meliputi 2 (dua) kecamatan, yaitu
Kecamatan Buleleng yang terdiri atas Desa Pemaron, Desa Tukadmungga, Desa
Anturan dan Desa Kalibukbuk ; dan Kecamatan Banjar yang terdiri atas Desa