• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGGUNAAN

SHELTER TERHADAP RESPONS

FISIOLOGI PENDEDERAN LOBSTER PASIR Panulirus

homarus MENGGUNAKAN SISTEM RESIRKULASI

KUKUH ADIYANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul Evaluasi Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)

Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi. Dibimbing oleh: EDDY SUPRIYONO dan MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR.

Salah satu kendala dalam pembesaran lobster pasir Panulirus homarus adalah rendahnya kelangsungan hidup benih. Hal tersebut terjadi karena benih yang ditebar tidak mengalami proses aklimatisasi terlebih dahulu. Selain itu, ukuran yang tidak seragam juga dapat menyebabkan terjadinya kanibalisme pada saat moulting. Penggunaan shelter dimaksudkan untuk meminimalkan kontak antar benih lobster, mengurangi stres selama moulting serta memaksimalkan pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menentukan jenis shelter yang meminimumkan respons stres dan memberikan produksi benih lobster yang baik.

Pada penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 2 ulangan. Jenis perlakuan adalah penggunaan shelter dari jaring, pipa paralon, lubang angin dan tanpa shelter sebagai kontrol. Variabel gambaran hemolymph yang digunakan untuk mengkaji respons stres diantaranya adalah Total Hemocyte Count (THC), glukosa, dan total protein. Variabel kualitas air selama penelitian yang diuji meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, karbondioksida, nitrat, nitrit dan amonia. Pengujian biometri meliputi bobot, panjang total, dan tingkat kelangsungan hidup. Uji proksimat dilakukan pada pakan (ikan teri) dan lobster.

Hasil pengujian hemolymph (THC, glukosa, dan total protein) selama penelitian menunjukkan, shelter paralon menghasilkan respons stres lebih rendah dan stabil apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kondisi kualitas air selama penelitian, secara keseluruhan masih memenuhi standar budidaya untuk lobster. Penggunaan shelter paralon menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Laju pertumbuhan bobot harian lobster tertinggi dicapai pada shelter paralon, yaitu sebesar 1,38±0,04%. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada penggunaan shelter paralon sebesar 65,26±1,41%, sedangkan terendah terdapat pada kontrol sebesar 39,47±2,12%. Penggunaan shelter tidak mempengaruhi kandungan proksimat lobster. Penggunaan shelter paralon menghasilkan rasio konversi pakan (FCR) terendah (8,53±0,16), sedangkan tertinggi terdapat pada kontrol (9,33±0,16).

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan, penggunaan shelter pada pendederan lobster Panulirus homarus memberikan respons stres yang lebih rendah dibandingkan kontrol, ditinjau dari respons THC, glukosa, dan total protein hemolymph lobster selama penelitian. Shelter paralon merupakan shelter yang terbaik, karena mampu menekan tingkat stres dan menghasilkan tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya.

(5)

Physiology Responsse on Different Shelters Reared in Recirculated System. Supervised by: EDDY SUPRIYONO and MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR.

Low survival rate is one of the obstacles face in lobster seed aquaculture. This is because reared lobster seeds doesn’t pass prior acclimatization process. In addition, non-uniform seed size also leads to cannibalism among lobsters at moulting phase. The use of shelter is intended to minimize physical contact among lobsters, reduce stress during moulting and maximize growth. This study aims to analyse and determine the best type of shelter that alleviated stress response and generated higher lobster seed productivity.

This research used completely randomized design with four treatments and all experimental treatment run duplicate. Type of treatment shelter were nets shelter, modified PVC pipes, vents and without shelter as a control. There were several variables to assess stress response, Total Hemocyte Count (THC), glucose, and total protein. Water quality variables were recorded during the study includes temperature, salinity, dissolved oxygen, carbon dioxide, nitrate, nitrite and ammonia. Biometric parameter (weight, total length and survival rate) were measured during the study. Proximate examination performed on feed (anchovies) and lobster.

The results in hemolymph (THC, glucose, and total protein) during the study indicates, PVC pipe shelter showed the lowest and stable stress response when compared with other treatments. Water quality conditions during the study meet overall standards requirement for lobster aquaculture. The use of PVC pipe shelters produce the best growth in terms of weight and lobster total length. Lobster daily growth weight rate in PVC pipe shelter is 1,38 ± 0,04%. The highest survival rate showed in PVC pipe shelter treatment for 65,26 ± 1,41%, while the lowest was in control for 39,47 ± 2,12%. Various shelter materials didn’t affect lobster proximate content. Lobster which lived in various shelter material didn’t show different proximate content. PVC pipe shelter result in the lowest (8,53±0,16) feed conversion ratio (FCR), while control treatment showed the highest (9,33 ± 0,16).

Based on the study results it can be concluded that, shelters used in Panulirus homarus nursery showed lower stress response than without shelter, in terms of several parameters THC, glucose, and total protein lobster hemolymph during the study. PVC pipe shelter is the best, it reduced stress level and yielded better growth and survival rate among the other treatments.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

EVALUASI PENGGUNAAN

SHELTER TERHADAP RESPONS

FISIOLOGI PENDEDERAN LOBSTER PASIR

Panulirus

homarus MENGGUNAKAN SISTEM RESIRKULASI

KUKUH ADIYANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Kukuh Adiyana NIM : C151120571

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, M Sc Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Budidaya Perairan

Dr Ir Sukenda, Msc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian tesis berjudul “Evaluasi Penggunaan Shelter terhadap Respons Fisiologi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Menggunakan Sistem Resirkulasi” ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2013 sampai dengan Januari 2014. Tempat penelitian di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ancol Timur, Jakarta Utara.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr Ir Eddy Supriyono, MSc dan Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc selaku dosen pembimbing, Dr Ir Tatag Budiardi, MSi selaku penguji luar komisi, Dr Ir Widanarni MSi selaku ketua program studi, Bapak Mardi, Bapak Ranta, serta rekan-rekan Ilmu Akuakultur 2012. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri dan keluarga tercinta atas semua doa, dukungan dan semangat yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Kukuh Adiyana

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 METODE PENELITIAN 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Alat dan Bahan 3

Tahapan Penelitian 5

Rancangan Penelitian 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Kualitas Air 7

Respon Gambaran Hemolymph Lobster 14

Respon Pertumbuhan 20

Proksimat 23

Rasio Konversi Pakan 25

Kelangsungan Hidup 25

4 SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 30

(12)

DAFTAR TABEL

1 Gambaran proksimat ikan teri 4 2 Gambaran proksimat lobster pada awal penelitian 24 3 Gambaran proksimat lobster pada akhir penelitian 24

DAFTAR GAMBAR

1 Jenis shelter yang digunakan dalam perlakuan.

Modifikasi paralon (a), lubang angin (b), dan jaring (c) 4 2 Sistem resirkulasi pada kolam penelitian 5

3 Susunan material Filter 5

4 Kondisi suhu selama Penelitian 8 5 Kondisi oksigen terlarut selama penelitian (09:00 WIB) 8 6 Kondisi oksigen terlarut selama penelitian (16:00 WIB) 9 7 Kondisi pH selama Penelitian 9 8 Kondisi salinitas selama penelitian 10 9 Kondisi CO2 selama penelitian 11

10 Kondisi nitrit selama penelitian 12 11 Kondisi nitrat selama penelitian 13 12 Kondisi amonia selama penelitian 14 13 Respon THC lobster pada berbagai macam shelter

selama penelitian 15

14 Respon glukosa lobster pada berbagai macam shelter

selama penelitian 17

15 Lobster sakit (atas) dan lobster sehat (bawah) 18 16 Respon total protein hemolymph lobster pada berbagai macam

shelter selama penelitian. 19

17 Bobot total lobster pada berbagai macam shelter selama

penelitian 21

18 Laju pertumbuhan bobot harian lobster pada berbagai macam

shelter selama penelitian 21

19 Panjang total lobster pada berbagai macam shelter

selama penelitian 23

20 Rasio konversi pakan lobster pada berbagai macam shelter

selama penelitian 25

21 Kelangsungan hidup lobster pada akhir penelitian 26

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permintaan kebutuhan lobster air laut di pasar internasional mencapai 2000-2500 ton/tahun, sementara pasokan lobster di pasar tidak tersedia secara kontinyu (Drengstig dan Bergheim 2013). Hal ini disebabkan oleh daya dukung lobster yang semakin menurun di alam dan pengaruh musim, yang menyulitkan untuk kegiatan penangkapan lobster di alam. Untuk mengatasi masalah tersebut beberapa penelitian mengenai teknik budidaya larva lobster Panulirus ornatus untuk tujuan pembesaran secara komersial juga telah banyak dilakukan di Australia, namun demikian upaya kegiatan budidaya tersebut belum begitu berhasil (Sachlikidis et al. 2010). Salah satu kendala dalam kegiatan budidaya pembesaran lobster adalah rendahnya kelangsungan hidup benih yang dibudidayakan (Thuy dan Ngoc 2004). Selain itu, kebutuhan benih yang seragam dan adaptif adalah salah satu permasalahan dalam budidaya pembesaran lobster yang perlu dipecahkan.

Pembenihan lobster secara komersial belum banyak dilakukan, selain itu teknik pemeliharan larva lobster masih sulit untuk dipahami (Vijayakumaran et al. 2010; Jones 2010). Kegiatan budidaya lobster sedang marak dilakukan oleh beberapa negara ASEAN. Lobster yang umum dibudidayakan adalah lobster pasir Panulirus homarus. Pada budidaya lobster di Vietnam, benih lobster yang tertangkap di pelihara selama 30 - 60 hari terlebih dahulu, sebelum dibudidaya dalam keramba di laut (Chau et al. 2008). Pada masa pemeliharaan benih inilah, terjadi kematian yang cukup tinggi, yaitu lebih dari setengah bagian, terkadang seluruh benih mengalami kematian (Thuy dan Ngoc 2004). Menurut Phillips et al. (2003), Kematian larva pada lobster Panulirus cygnus di alam diperkirakan sangat tinggi (80-98%), yang terjadi pada saat puerulus menetap di dasar perairan serta akibat transportasi benih untuk kegiatan budidaya di darat.

Di Indonesia, khususnya di kawasan Pelabuhan Ratu, kegiatan budidaya lobster dalam keramba jaring apung dilakukan untuk membesarkan benih berukuran kurang dari 50 gram/ekor. Pada kegiatan budidaya pembesaran lobster ini, ukuran benih yang digunakan sangat beragam, dengan kepadatan tebar 33 ekor/ m2. Selain itu, pada kegiatan pembesaran lobster ini, benih yang digunakan tidak melalui proses aklimatisasi terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan tingkat kematian pada benih yang dibudidayakan sangat tinggi. Keberagaman ukuran benih yang digunakan, menyebabkan potensi terjadinya kanibalisme semakin tinggi (Johnston et al. 2006). Larva lobster bersifat sangat kanibal karena ketika menemukan sebuah objek mereka akan menguji apakah benda tersebut dapat dimakan atau tidak (Burton 2003). Tingkat kematian benih lobster yang tinggi tentunya dapat mengurangi keuntungan pembudidaya. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan adalah perlu dilakukan kegiatan pendederan benih lobster, sebelum dilakukan penebaran di keramba.

(14)

resirkulasi pada pembesaran lobster dapat digunakan untuk menjaga kualitas air dan meminimumkan resiko terjadinya serangan penyakit. Sistem resirkulasi juga lebih ramah lingkungan yaitu dengan pemanfaatan kembali air yang digunakan,sehingga tidak ada penggantian air selama kegiatan budidaya. Pendederan lobster Panulirus homarus secara indoor menggunakan sistem resirkulasi, juga dimaksudkan untuk aklimatisasi benih. Proses pendederan lobster ini bertujuan untuk memberi kesempatan bagi benih lobster untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru, sehingga benih yang dihasilkan bersifat lebih adaptif terhadap perubahan kondisi lingkungan, dan dapat mengurangi tingkat kematian benih (Syda-Rao et al. 2010; Mohammed et al. 2010).

Pengaruh penggunaan shelter pada budidaya lobster dalam beberapa penelitian menunjukkan hasil yang positif. Menurut James et al. (2002), penggunaan shelter pada lobster meningkatkan kelangsungan hidup, tetapi tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan lobster. Penelitian lain menunjukkan penggunaan shelter jaring pada lobster P. cygnus dengan ukuran sekitar 2,26 ± 0,13 gram, menghasilkan kelangsungan hidup dan SGR masing-masing sebesar 91,7 + 3,7 % dan 1,25 ± 0,03% (Johnston et al. 2006). Dari hasil penelitian ini, penggunaan shelter jaring meminimalkan kontak antar benih lobster, mengurangi stres selama moulting serta memaksimalkan pertumbuhan.

Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari fungsi mekanik, fisik, dan biokimia dari makhluk hidup. Salah satu parameter yang dapat diuji untuk mengetahui pengaruh penggunaan shelter terhadap respons fisiologi lobster adalah respons stres. Salah satu cara untuk menganalisis respons stres adalah dengan uji gambaran darah, baik secara fisika maupun kimia. Respons stres dapat dievaluasi secara subjektif dengan menggunakan pengamatan tingkah laku atau secara kuantitatif dengan mengukur perubahan pada beberapa variabel fisologis seperti penggunaan oksigen, komposisi darah, pH, hormon, ion dan hemosit (Lorenzon et al. 2007).

Menurut Jussila et al. (2001); Verghese et al. (2007); Yildiz et al. (2004), Total Hemocycte Count (THC) adalah salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai indikator terjadinya stres pada krustasea. Selain THC, jumlah konsentrasi glukosa dalam hemolymph meningkat sebagai respons stres yang diakibatkan oleh penanganan, salinitas, penyakit dan polutan (Lorenzon et al. 2007). Variabel metabolik lainnya seperti total protein dapat digunakan untuk pemantauan kondisi fisiologi pada krustasea akibat stres (Mercier et al. 2006)

Menurut Chau et al. (2008), informasi mengenai efek penggunaan berbagai tipe atau jenis shelter terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih lobster belum banyak diketahui. Selain hal tersebut, penelitian mengenai efek penggunaan shelter terhadap respons fisiologi benih lobster khususnya Panulirus homarus belum pernah dilakukan, sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut.

Perumusan Masalah

(15)

menyebabkan potensi terjadinya kanibalisme antar lobster pada saat moulting lebih besar. Kurangnya benih yang seragam dan adaptif adalah salah satu permasalahan dalam budidaya pembesaran lobster yang memerlukan solusi. Aplikasi shelter dan sistem resirkulasi adalah salah satu solusi yang dapat digunakan dalam usaha pendederan lobster. Pada kegiatan pendederan dengan aplikasi shelter dan sistem resirkulasi ini diharapkan, benih yang dihasilkan mempunyai kemampuan lebih adaptif dan berukuran seragam. Kajian tinjauan mengenai aplikasi shelter dan sistem resirkulasi terhadap respons fisiologi benih lobster perlu dilakukan, mengingat penelitian mengenai teknik pemeliharaan benih dan hubungannya dengan respons fisiologi benih lobster belum banyak dilakukan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh penggunaan shelter terhadap respons fisiologi pendederan lobster Panulirus homarus.

2. Menentukan jenis shelter yang meminimumkan respons stres dan memberikan produksi benih lobster yang baik.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk kegiatan budidaya pendederan lobster Panulirus homarus dengan menggunakan sistem resirkulasi.

2 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu dan tempat penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2013 sampai dengan Januari 2014, di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Jalan Pasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta Utara.

Alat dan Bahan

Benih lobster air laut

Benih lobster yang digunakan dalam penelitian ini berjenis lobster pasir Panulirus homarus yang didapat dari wilayah Lombok Selatan sebanyak 900 ekor. Bobot benih lobster yang digunakan dalam peneltian ini 2,12±0,02 gram/ ekor.

Pakan ikan teri

(16)

Tabel 1 Gambaran proksimat ikan teri

Parameter (%)

Ikan teri

Bobot basah Bobot kering Kadar Air 78,62±0,17 Protein 12,83±0,23 60,04±0,58 Karbohidrat 0,71±0,09 3,3±0,40 Lemak 2,31±0,22 10,79±1,11 Abu 5,53±0,07 25,87±0,13

Shelter

Shelter yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 jenis shelter, yaitu shelter dari susunan lubang angin, jaring dan pipa paralon (Gambar 1). Volume dari ketiga jenis shelter yang digunakan adalah sama yaitu ± 8000 cm3.

(a) (b) (c)

Gambar 1 Jenis shelter yang digunakan dalam perlakuan. Modifikasi paralon (a), lubang angin (b), dan jaring (c)

Kolam aklimatisasi

Kolam aklimatisasi yang digunakan berukuran 4 x 1 x 1,5 m, yang terbuat dari pasangan bata dan plester semen. Ketinggian air laut selama aklimatisasi ±1,2 m. Kolam aklimatisasi juga dilengkapi dengan filter fisik yang terdiri dari susunan busa filter dan karbon aktif. Selama proses aklimatisasi benih lobster juga diberi shelter berupa potongan pelepah daun kelapa sebagai tempat berlindung.

Bak Penelitian

(17)

Gambar 2 Sistem resirkulasi pada kolam penelitian

Gambar 3 Susunan material filter

Tahapan Penelitian

Aklimatisasi

Aklimatisasi benih lobster dilakukan selama 7 hari di kolam aklimatisasi. Selama aklimatisasi, benih diberi pakan ikan teri sebanyak 10% bobot tubuh, dengan frekuensi pemberian pakan satu kali sehari (Johnston et al. 2006).

Kegiatan Penelitian

(18)

lobster dalam penelitian ini adalah 95 ekor/ m2. Selama penelitian, pemberian pakan ikan teri sebesar 10% juga dilakukan satu kali dalam sehari (Johnston et al. 2006). Pemeliharaan benih selama penelitian dilakukan selama 70 hari.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 2 ulangan. Jenis perlakuan adalah menggunakan shelter dari jaring (A), pipa paralon (B), lubang angin (C) dan tanpa shelter sebagai kontrol (K).

Pengukuran parameter fisika air meliputi pH, salinitas, temperatur dan DO dilakukan setiap hari. Pengamatan parameter kimia air meliputi: amonia, nitrit, nitrat, CO2 dilakukan pada hari ke-0, 1, 3, 7, kemudian setiap 7 hari sampai akhir

penelitian (APHA,1990).

Pengamatan parameter glukosa dan total hemocycte count (THC) hemolymph dilakukan pada 0, 24 jam, 3 hari, 7 hari, kemudian setiap 7 hari, sampai akhir penelitian. Analisis glukosa mengacu pada metode Wedemeyer dan Yasutake (1977), sedangkan THC mengacu pada Blaxhall dan Daishley (1973). Pengamatan parameter total protein dilakukan pada 0, 24 jam, 3 hari, 7 hari, 14 hari, kemudian setiap 14 hari, sampai akhir penelitian. Analisis total protein mengacu pada Lowry et al. (1981).

Pengujian biometri lobster dilakukan setiap 7 hari, meliputi bobot dan panjang total. Tingkat kelangsungan hidup diamati pada akhir penelitian. Pengukuran biometri mengacu pada Solanki et al. (2012).

Uji proksimat dilakukan pada pakan (ikan teri) dan lobster. Pengujian proksimat dilakukan pada awal dan akhir penelitian yang meliputi kandungan kadar air, karbohidrat, protein, lemak dan abu (Takeuchi 1988).

Data THC, glukosa, total protein, kelangsungan hidup, bobot, panjang total, laju pertumbuhan bobot harian lobster, dan rasio konversi pakan, dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95% menggunakan Software statistik Minitab 16. Apabila berpengaruh nyata, dilakukan uji lanjut menggunakan metode Tukey, untuk melihat perbedaan antar perlakuan yang diuji. Data kualitas air dan proksimat dianalisis secara deskriptif. Beberapa persamaan rumus yang digunakan adalah:

Kelangsungan hidup

(19)

Laju pertumbuhan Spesifik

Laju pertumbuhan spesifik atau Specific Growth Rate (SGR) dihitung dengan menggunakan rumus Solanki et al. (2012):

SGR (%) = [ (Wt/W0)1/t – 1] x 100%

Keterangan:

SGR = Specific Growth Rate (%)

Wt = Bobot rata-rata lobster pada akhir penelitian (gram) Wo = Bobot rata-rata lobster pada awal penelitian (gram) T = Periode penelitian (hari)

Rasio Konversi Pakan

Rasio konversi pakan dihitung dengan menggunakan rumus (Zonneveld et al. 1991):

FCR = F Bt + Bm – Bo Keterangan:

FCR = Konversi pakan F = Jumlah pakan

Bt = Biomassa lobster akhir penelitian (gram)

Bm = Biomassa lobster yang mati selama penelitian (gram) Bo = Biomassa lobster awal penelitian (gram)

Total hemosit

Prosedur pengujian berdasarkan Blaxhall dan Daishley (1973), dengan rumus yang digunakan untuk menghitung total hemosit adalah sebagai berikut:

Total hemosit = rata-rata jumlah sel x 1 x faktor pengenceran Volume kotak besar

Panjang Total

Panjang total dihitung dengan menggunakan persamaan Solanki et al. (2012):

Panjang total = Panjang karapaks + Panjang abdominal

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air

Suhu

(20)

Gambar 4 Kondisi suhu selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Berdasarkan Gambar 4, perubahan suhu selama penelitian terjadi karena pengaruh cuaca pada saat penelitian. Apabila cuaca hujan maka suhu udara dalam ruang menjadi lebih rendah, sehingga menyebabkan temperatur air mengalami penurunan, demikian juga sebaliknya. Menurut Phillips dan Kittaka (2000), pertumbuhan tercepat pada juvenil Panulirus homarus dapat dicapai pada suhu sebesar 28 ºC, dengan panjang karapaks yang dicapai sebesar 60 mm dalam waktu 18 bulan. Data lain, menunjukkan beberapa jenis lobster mempunyai toleransi suhu yang berbeda-beda untuk tumbuh pada kondisi optimum, seperti Panulirus argus tumbuh optimum pada suhu berkisar 25-27 ºC, Panulirus ornatus (30 ºC), Panulirus cygnus (25-26 ºC), dan Panulirus Interruptus (28 ºC). Kondisi suhu selama penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan lobster, karena berada pada rentang 27,33 – 28,88 ºC.

Oksigen Terlarut

Kondisi oksigen terlarut selama penelitian relatif stabil pada kisaran 5,26 – 7,09 mg/L (09:00 WIB) dan 5,15-7,17 mg/L (16:00 WIB). Kondisi oksigen terlarut selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

(21)

Gambar 6 Kondisi oksigen terlarut selama penelitian (16:00 WIB). (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol Tampak pada Gambar 5 dan 6, kondisi oksigen terlarut selama penelitian masih sesuai untuk syarat optimal lobster tumbuh. Menurut Phillips dan Kittaka (2000), konsentrasi oksigen terlarut minimum yang direkomendasikan untuk budidaya lobster adalah 40-80% oksigen saturasi (2,7 – 5,4 mg/L), sedangkan konsentrasi oksigen terlarut letal berkisar antara 0,5 sampai 3 mg/L (bergantung pada spesies). Menurut Boyd dan Tucker (1998), konsentrasi oksigen terlarut yang disarankan untuk kegiatan perikanan adalah > 5 mg/L.

pH

kondisi pH selama penelitian relatif stabil pada kisaran 7,07-7,86. Kondisi pH selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Kondisi pH selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Tampak pada Gambar 7, tren grafik menunjukkan, ada kecenderungan penurunan nilai pH pada awal penelitian. Penurunan ini disebabkan adanya peningkatan CO2 bebas yang dihasilkan dari sisa metabolisme lobster. Menurut

(22)

alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas, dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas, demikian juga sebaliknya.

Secara keseluruhan nilai pH selama penelitian masih sesuai untuk menunjang kehidupan lobster. Menurut Boyd dan Tucker (1998), nilai pH yang disarankan untuk kegiatan akuakultur berkisar antara 6,5-9, sedangkan pH yang optimum untuk biota laut berkisar antara 7,5-8,5. Krustasea pada perairan payau umumnya mempunyai nilai toleransi pH yang lebih luas. Penelitian pada udang panaeid menunjukkan pH yang optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 5,5-8,5. Menurut Wickins dan Lee (2002), nilai pH yang disarankan untuk lobster clawed dan lobster spinny masing- masing sebesar 7,8-8,2 dan 8,0-8,5.

Salinitas

Kondisi salinitas selama penelitian berkisar antara 34,14 – 37,71 ppt.. Kondisi salinitas selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Kondisi salinitas selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Berdasarkan Gambar 8, secara keseluruhan nilai salinitas masih sesuai untuk kehidupan lobster. Menurut Phillips dan Kittaka (2000), juvenil lobster P. polyphagus dan P. Cygnus mempunyai toleransi rentang salinitas yang cukup luas, yaitu masing-masing sebesar 17-50 dan 25-45ppt. Kondisi salinitas optimal pada lobster spinny dilaporkan pada kisaran 32-36 ppt (Wickins dan Lee 2002).

Kondisi salinitas selama penelitian cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena adanya proses evaporasi air kolam, sehingga volume air mengalami penurunan tetapi kandungan total padatan terlarut tetap. Hal tersebut menyebabkan nilai salinitas yang terukur mengalami peningkatan.

CO2

Kondisi CO2 selama penelitian berkisar antara 0,39 – 5, 19 mg/L. Kondisi

(23)

Gambar 9 Kondisi CO2 selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon,

(C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Berdasarkan Gambar 9, secara keseluruhan konsentrasi CO2 selama

penelitian masih sesuai untuk kehidupan lobster. Menurut Swingle (1968), kandungan CO2 bebas sekitar 12 mg/L dapat menyebabkan stres pada ikan,

sedangkan pada konsentrasi 30 mg/L menyebabkan beberapa jenis ikan mengalami kematian. Penelitian lain menunjukkan, konsentrasi CO2 yang

disarankan untuk budidaya lobster air tawar adalah < 5 mg/l.

Tren grafik CO2 selama penelitian mempunyai kecenderungan penurunan.

Pada awal penelitian konsentrasi CO2 relatif lebih tinggi. Hal ini disebabkan

kemungkinan lobster mengalami tingkat stres yang lebih tinggi di awal penelitian karena belum beradaptasi, sehingga produk sisa metabolisme seperti CO2 yang

dihasilkan juga mengalami peningkatan. Penurunan CO2 selama penelitian ini

juga berkaitan dengan tingkat kelangsungan hidup lobster yang dipelihara. Semakin lama waktu penelitian, tingkat kelangsungan hidup juga akan semakin rendah, sehingga konsentrasi CO2 yang dihasilkan juga semakin rendah.

Kondisi Nitrit Selama Penelitian

(24)

Gambar 10 Kondisi nitrit selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Berdasarkan Gambar 10, secara keseluruhan konsentrasi nitrit selama penelitian masih sesuai untuk kehidupan lobster. Menurut Drengstig dan Bergheim (2013), kandungan nitrit yang disarankan pada budidaya lobster Homarus gammarus menggunakan sistem resirkulasi adalah < 5 mg/l. Penelitian lain menunjukkan, juvenil P. monodon mempunyai toleransi nitrit pada konsentrasi sebesar 3,8 mg/L dengan salinitas 20 ppt (Boyd and Tucker, 1998).

Tren grafik nitrit selama penelitian mempunyai kecenderungan naik kemudian mengalami penurunan. Pada penelitian sampai dengan hari ke-28, konsentrasi nitrit mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan adanya akumulasi sisa pakan dan feces lobster, sementara bakteri pengkonversi nitrit menjadi nitrat belum terbentuk dengan baik, sehingga menyebabkan konsentrasi nitrit mengalami peningkatan. Pada hari ke-35 sampai akhir penelitian, konsentrasi nitrit cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan, konversi nitrit menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter mulai berjalan.

Kondisi Nitrat Selama Penelitian

(25)

Gambar 11 Kondisi nitrat selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Tampak pada Gambar 11, secara keseluruhan konsentrasi nitrat selama penelitian masih sesuai untuk kehidupan lobster. Pada budidaya lobster J. Edwardsii menggunakan sistem resirkulasi (Phillips dan Kittaka 2000) dan budidaya lobster spinny (Wickins dan Lee 2002), konsentrasi nitrat yang disarankan, sebaiknya kurang dari 100 mg/L.

Tren grafik menunjukkan, pada awal penelitian (sampai hari ke-21) konsentrasi nitrat mengalami peningkatan perlahan. Konsentrasi nitrat berkisar dari 0,11 x 10-1 – 2, 62 mg/L. Konsentrasi nitrat kemudian cenderung mengalami peningkatan sampai akhir penelitian, meskipun fluktuatif. Peningkatan konsentrasi nitrat ini menunjukkan proses nitrifikasi oleh bakteri telah berjalan. Menurut Boyd dan Tucker (1998), nitrifikasi adalah oksidasi berurutan amonia menjadi nitrat yang dilakukan oleh dua kelompok bakteri kemoautotrof dalam kondisi aerobik. Proses nitrifikasi berlangsung melalui persamaan reaksi sebagai berikut:

NH4+ + 1,5 O2 NO2- + 2H+ + H2O ( dibantu Nitrosomonas)...(1)

NO2- + 0,5 O2 NO3- (dibantu Nitrobacter)...(2)

Sesuai dengan persamaan (1) diatas, amonia dikonversi menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomas. Nitrit kemudian dikonversi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Nitrifikasi menyebabkan kadar amonia dalam air mengalami penurunan, dan konsentrasi nitrat mengalami peningkatan.

Kondisi Amonia Selama Penelitian

(26)

Gambar 12 Kondisi amonia selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Tampak pada Gambar 12, secara keseluruhan konsentrasi amonia masih memenuhi syarat untuk kehidupan lobster. Pada budidaya lobster J. Edwardsii menggunakan sistem resirkulasi (Phillips dan Kittaka 2000), dan lobster spinny (Wickins dan Lee 2002), konsentrasi amonia disarankan tidak lebih dari 0,1 mg/L.

Tren grafik amonia, pada awal penelitian cukup rendah, berkisar antara 0,67 x 10-3 – 0,15 x 10-2 (hari ke-0 sampai 14). Hal tersebut menunjukkan, ekskresi amonia oleh lobster (sisa pakan dan feses) belum banyak terakumulasi di air. Pada hari ke-21 sampai 35, konsentrasi amonia mengalami peningkatan, sebagai indikasi meningkatnya akumulasi buangan sisa pakan dan feses. Konsentrasi amonia kemudian cenderung mengalami penurunan sampai pada akhir penelitian. Hal ini disebabkan, proses nitrifikasi, yaitu konversi amonia menjadi nitrit, kemudian nitrit menjadi nitrat oleh bakteri mulai berjalan, sehingga konsentrasi amonia mengalami penurunan.

Respons Gambaran Hemolymph Lobster

Respons THC Hemolymph Lobster pada Berbagai Macam Shelter

Stres menggambarkan kondisi terganggunya homeostasi hingga berada diluar batas normal serta proses-proses pemulihan untuk diperbaiki. Stres berpengaruh pada sistem kekebalan ikan melalui jalur metabolik (Hastuti et al. 2004; Leland et al. 2013; Yeh et al. 2010). Total Hemocyte Count memainkan peranan penting dalam sistem imun krustasea. Menurut Gunanti et al. (2009), komposisi hemolymph dapat diukur dan dapat digunakan sebagai penilaian kesehatan krustasea melalui karakteristik dan aktivitas sistem pertahanan terhadap agen infeksius yang diperankan oleh hemosit. Hemosit berperan dalam fagositosis, enkapsulasi, degranulasi dan agregasi nodular terhadap patogen atau partikel asing.

(27)

Gambar 13 Respons THC lobster pada berbagai macam Shelter selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05)

Tampak pada Gambar 13, respons THC lobster pada berbagai macam shelter cenderung fluktuatif. Secara keseluruhan konsentrasi THC berada pada kisaran 81,50±16,26 – 914,87±68,76 x 104 sel/ml. Pada awal penelitian (hari ke-0), konsentrasi THC mempunyai kecenderungan lebih tinggi (870,00±73,65 x 104 sel/ml). Hal ini disebabkan, benih lobster mengalami stres dan belum beradaptasi akibat penanganan awal pemasukan dari kolam aklimatisasi ke kolam perlakuan. Menurut Verghese at al. (2007), perubahan kondisi lingkungan yang baru dapat menyebabkan terjadinya stres terhadap lobster Panulirus homarus, sehingga akan mempengaruhi respons imun yang ditandai dengan perubahan jumlah konsentrasi THC, aktivitas phenoloxidase dan aktivitas fagositosis. Menurut Leland et al. (2013), peningkatan jumlah THC dalam jangka pendek pada awal penelitian, mengindikasikan adanya respons stres akibat penanganan dan respons terhadap perubahan lingkungan yang terjadi.

Pada hari ke-1, konsentrasi THC cenderung mengalami penurunan, kemudian meningkat kembali sampai dengan hari ke-7. Hal ini, menunjukkan proses adaptasi benih lobster terhadap lingkungan yang baru, masih berjalan. Menurut penelitian Fotedar et al. (2006), konsentrasi THC pada lobster Panulirus cygnus mengalami kenaikan pada saat penangkapan dan transport akibat stres, kemudian akan mengalami penurunan setelah 16-48 jam di kolam pemeliharaan.

(28)

3). Demikian juga hari ke-7, perlakuan shelter paralon berbeda nyata (p<0,05) dengan shelter lubang angin dan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan shelter jaring.

Konsentrasi THC pada semua perlakuan cenderung mengalami penurunan pada hari ke-14, kecuali pada kontrol mengalami kenaikan dan lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Pada hari ke-21 sampai hari ke-70, konsentrasi THC pada perlakuan shelter paralon mempunyai kecenderungan lebih rendah dan stabil apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan, shelter paralon memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menekan stres sehingga THC lobster yang dihasilkan lebih rendah dan stabil apabila dibandingkan perlakuan lainnya.

Respons stres yang dihasilkan pada tiap shelter berkaitan dengan respons tingkah laku lobster terhadap objek shelter. Menurut Rossong et al. (2011), lobster juvenile lebih menyukai shelter yang terbuat dari bahan yang mempunyai warna yang lebih gelap/ tidak transparan dan mempunyai banyak celah. Selain itu, lobster juvenil lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlindung di dalam shelter dibanding lobster dewasa. Menurut Kari dan Spanier (2007), lobster S. Elisabethae dan S. Aequinoctialis lebih menyukai bentuk shelter yang menyerupai lubang gua dalam batu atau karang seperti di habitat alaminya, dengan 2 jalan masuk pada ujung shelter yang terbuka. Pada penelitian lain secara laboratorium, lobster lebih menyukai substrat buatan yang berasal dari bahan plastik yang mempunyai permukaan lebih kasar. Berdasarkan hal tersebut, shelter paralon memberikan respons stres yang lebih rendah dan stabil karena shelter paralon mempunyai bentuk menyerupai lubang dengan 2 sisi permukaan yang terbuka pada ujung shelter, berwarna gelap dan berbahan Polyvinyl Chloride (PVC) yang merupakan polimer termoplastik.

Respons Glukosa Hemolymph Lobster pada Berbagai Macam Shelter

(29)

Gambar 14 Respons glukosa lobster pada berbagai macam shelter selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05)

Tampak pada Gambar 14, respons glukosa lobster pada berbagai macam shelter cenderung fluktuatif. Secara keseluruhan konsentrasi glukosa berada pada kisaran 7,65±2,85 – 21,67±3,05 mg/ dL. Pada awal penelitian (hari ke-0), konsentrasi glukosa mempunyai kecenderungan lebih tinggi (20,80±2,123 mg/dL) apabila dibandingkan dengan kondisi glukosa selama penelitian. Hal ini disebabkan benih lobster mengalami stres pada saat handling awal untuk ditebar pada kolam pemeliharaan. Stres yang terjadi dikarenakan adanya perubahan ke kondisi lingkungan yang baru (perpindahan kolam, air, dan suhu). Menurut Hastuti et al. (2003) stres menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglisemia), dimana mekanisme terjadinya adalah sebagai berikut: (1) pemecahan glikogen hati dan otot melalui jalur glikogenolisis yang menghasilkan glukosa dan merupakan efek metabolisme katekolamin; (2) pemecahan protein dan lipid melalui jalur gluko-neogenesis yang merupakan efek metabolisme kortisol; (3) inaktifasi insulin sebagai efek metabolisme hormon stres sehingga menutup penggunaan glukosa oleh sel.

Pada hari ke-1 (24 jam), konsentrasi glukosa pada semua perlakuan telah mengalami penurunan pada kisaran 8,29±2,85 – 12,10±3,17 mg/dL. Hal ini, sesuai dengan penelitian yang dilakukan Lorenzon et al. (2007), dimana pemberian perlakuan stres pada lobster Homarus americanus, setelah 24 jam pengamatan, kadar glukosa hemolymph mengalami penurunan yang signifikan dari 0.85 mmol/L menjadi 0,4 mmol/L.

(30)

Pada kurun waktu penelitian hari ke- 1 sampai hari ke-14, konsentrasi glukosa pada semua perlakuan relatif stabil yaitu berkisar antara 7,97±1,40 – 14,65±2,86 mg/dL. Pada hari ke-21 sampai hari ke 28, terjadi peningkatan kadar glukosa pada perlakuan shelter lubang angin dan kontrol. Hasil analisis ragam pada hari ke-21 dan 28, menunjukkan perlakuan shelter paralon berbeda nyata (p<0,05) dengan shelter lubang angin, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan shelter jaring dan kontrol. Tren peningkatan kadar glukosa ini juga diikuti oleh perlakuan lainnya pada hari ke-42 sampai akhir penelitian (hari ke-70). Peningkatan kadar glukosa ini merupakan indikator terjadinya stres pada benih lobster yang dipelihara. Stres yang terjadi kemungkinan disebabkan benih lobster terkena penyakit Milky hemolymph Disease. Menurut Hoang et al. (2008), Milky hemolymph Disease ini mucul sekitar akhir tahun 2006 di Vietnam. Penyebab penyakit ini adalah Rickettsail-like bacteria (RLB), yang kemungkinan berasal dari pakan segar (teri) yang diberikan. Beberapa ciri dari penyakit ini adalah lobster menjadi lemah, nafsu makan menurun, munculnya warna keputihan pada otot perut, dan lobster mengalami kematian. Dari serangkaian pengamatan yang dilakukan warna hemolymph yang dihasilkan oleh lobster yang terinfeksi menjadi berwarna putih susu keruh, berbeda dengan hemolymph lobster yang sehat (bening). Gambar 15 berikut menunjukkan gejala lobster yang terinfeksi Milky Hemolymph Disease dan lobster sehat.

Gambar 15 Lobster sakit (atas) dan lobster sehat (bawah)

Meskipun selama penelitian, lobster terindikasi penyakit Milky Hemolymph Disease, namun tampak jelas respons stres yang dihasilkan oleh beberapa perlakuan tampak berbeda. Tampak pada Gambar 15, konsentrasi glukosa selama penelitian pada perlakuan shelter paralon relatif lebih rendah dan stabil apabila dibandingkan perlakuan lainnya, yang cenderung lebih tinggi dan fluktuatif. Hal tersebut menunjukkan, pemberian shelter paralon mempunyai kemampuan menekan stres, apabila dibandingkan shelter jaring, lubang angin dan kontrol.

(31)

Stres menyebabkan terjadinya perubahan respons fisiologi di dalam tubuh. Beberapa variabel metabolik seperti glukosa, total protein, laktat, hemosianin, kapasitas osmoregulasi, total lemak, trigliserida dan kolesterol dapat digunakan untuk pemantauan kondisi fisiologi pada krustasea akibat stres (Mercier et al. 2006). Respons total protein selama penelitian, dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Respons total protein hemolymph lobster pada berbagai macam shelter selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05)

Tampak pada Gambar 16, respons total protein hemolymph lobster pada berbagai macam shelter cenderung fluktuatif. Secara keseluruhan konsentrasi total protein berada pada kisaran 9,22±4,88–51,10±2,59 mg/mL. Pada awal penelitian (hari ke-0), konsentrasi total protein mempunyai kecenderungan lebih tinggi (51,00±2,59 mg/mL). Tingginya konsentrasi total protein ini karena pada hari ke-0, benih lobster mengalami stres dan belum beradaptasi akibat handling awal, pemasukan dari kolam aklimatisasi ke kolam perlakuan. Stres menyebabkan aktivitas metabolisme meningkat untuk memperbaiki homeostatis. Peningkatan aktivitas metabolisme menyebabkan kebutuhan transport oksigen mengalami peningkatan. Pada saat stres, jumlah hemosianin di dalam hemolymph mengalami peningkatan. Peningkatan hemosianin ini berkaitan dengan fungsi utamanya sebagai oksigen transport, yaitu berperan membawa oksigen sampai 94% dari sel ke jaringan (Lorenzon et al. 2007). Pada Dekapoda, hemosianin terlarut pada plasma. Proporsi hemosianin menyumbang lebih dari 60%, bahkan pada beberapa spesies krustasea lebih dari 93% terhadap konsentrasi total protein dalam hemolymph (Sladkova dan Kholodkevich 2011).

(32)

lobster Homarus americanus pada awal transportasi mengalami kenaikan, kemudian akan mengalami penurunan setelah 3-96 jam setelah transportasi.

Tampak pada Gambar 16, konsentrasi total potein pada semua shelter (hari ke-14 sampai 70) mempunyai kecenderungan penurunan meskipun fluktuatif. Konsentrasi total protein pada shelter paralon tampak lebih rendah dan stabil apabila dibandingkan dengan shelter lainnya. Pada hari ke-14 dan 56, tampak perlakuan menggunakan shelter paralon berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan menggunakan shelter lubang angin dan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan shelter jaring. Sedangkan pada hari pengamatan ke-70 meski konsentrasi pada shelter paralon lebih rendah dan stabil, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan lainnya.

Respons Pertumbuhan

Pertumbuhan Bobot

Bobot lobster pada awal penelitian adalah sebesar 2,12±0,02 gram. Bobot lobster pada semua perlakuan meningkat seiring dengan lamanya waktu penelitian (Gambar 17). Kenaikan bobot lobster mempunyai kecenderungan konstan sampai pada hari ke-28, kemudian mengalami perubahan laju kenaikan pada hari ke-35 sampai -49. Pada hari ke-49 sampai -56, pertumbuhan bobot relatif kecil (mendatar), kemudian mengalami peningkatan kembali sampai hari ke-70. Tren grafik menunjukkan bobot losbter pada perlakuan menggunakan shelter paralon relatif lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya (hari ke-42 sampai hari ke-70). Penggunaan shelter paralon pada hari ke-70 menghasilkan bobot yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan menggunakan shelter lubang angin dan jaring. Bobot lobster tertinggi pada hari ke-70, terdapat pada penggunaan shelter paralon sebesar 5,53±0,16 gram dan terendah pada kontrol sebesar 4,81±0,09 gram.

(33)

Gambar 17 Bobot lobster pada berbagai macam shelter selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Gambar 18 Laju pertumbuhan bobot harian lobster pada berbagai macam shelter selama penelitian. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05)

(34)

penelitian. Menurut Johnston et al. (2006), pertumbuhan yang cukup tinggi pada puerulus lobster Panulirus cynus (2,21±0,11 gram) pada kurun waktu 30-60 hari menunjukkan tingginya transformasi pemanfaatan pakan menjadi massa tubuh. Pada fase puerulus persentase peningkatan bobot yang terjadi lebih tinggi, apabila dibandingkan pada juvenil. Pada kurun waktu hari ke-49 sampai -56, pertumbuhan bobot relatif kecil (mendatar), kemudian mengalami peningkatan kembali sampai hari ke-70. Tren peningkatan bobot seperti anak tangga, menunjukkan pertumbuhan lobster terjadi secara berkala, dimana pada fase mendatar kemudian naik, lobster mengalami moulting untuk kemudian tumbuh menjadi lebih besar (Bianchini dan Ragonese 2007).

Laju pertumbuhan bobot harian lobster (SGR) selama penelitian berkisar antara 1,14±0,03% (shelter kontrol) - 1,38±0,04% (shelter paralon). Menurut Johnston et al. (2006), penggunaan shelter jaring pada puerulus lobster Panulirus cygnus yang diberi pakan basah menghasilkan SGR tertinggi sebesar 1,25±0,03%. Hasil penelitian lain terhadap juvenil lobster Jasus edwardsii dengan aplikasi shelter dan pakan basah menghasilkan SGR sebesar 1,32% (Phillips dan Kittaka 2000). Penggunaan pakan pelet pada puerulus lobster Panulirus homarus (0,16±0.02 gram) selama 56 hari menghasilkan SGR sebesar 1,8% Huu dan Jones (2014). Secara garis besar laju pertumbuhan bobot harian lobster selama penelitian masih dalam kondisi yang normal, dengan SGR tertinggi pada penggunaaan shelter paralon. Menurut Weatherley (1972), Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal (sifat genetik & kondisi fisiologis) dan faktor eksternal yakni berkaitan dengan lingkungan yang menjadi media pemeliharaan. Penggunaan shelter paralon menghasilkan SGR tertinggi, karena dari tinjauan fisiologi (THC, glukosa, total protein) yang telah dilakukan, menghasilkan respons stres yang paling rendah dan stabil apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Respons stres yang lebih rendah membutuhkan energi yang lebih kecil untuk homeostasi. Lebih rendahnya energi yang digunakan untuk homeostasi selama stres, memungkinkan alokasi pemanfaatan energi metabolik investasi seperti pertumbuhan lebih baik (Hastuti et al. 2004). Dari serangkaian analisis data tersebut, dapat disimpulkan shelter paralon merupakan shelter yang terbaik karena menghasilkan bobot total dan laju pertumbuhan yang tertinggi dibanding perlakuan lainnya.

Panjang Total.

(35)

Gambar 19 Panjang total lobster pada berbagai macam shelter selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon, (C) shelter lubang angin, (K) kontrol

Pertambahan bobot krustasea secara berkala setelah moulting akan diikuti oleh pertumbuhan panjang tubuh (Hartnoll 1982). Tubuh lobster secara umum terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian gabungan kepala dengan dada atau toraks (disebut sebagai cephalotoraks) dan abdomen. Cephalotorax secara keseluruhan dilingkupi oleh cangkang (karapaks), sedangkan bagian abdomen terdiri dari 6 ruas dan sebuah ekor kipas. Berdasarkan Gambar 22, pertumbuhan panjang total pada semua perlakuan perlahan mengalami kenaikan yang sama sampai hari ke-35. Pada hari ke-42 sampai -70, panjang total lobster yang menggunakan shelter paralon terlihat lebih tinggi apabila dibandingkan perlakuan lainnya. Hal tersebut sesuai dengan pertumbuhan bobot lobster (Gambar 17), yang memiliki tren yang sama. Secara garis besar penggunaan shelter paralon memberikan hasil pertumbuhan panjang total lobster yang paling baik apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan, shelter paralon memberikan respons stres yang lebih rendah dan stabil (hasil analisis respons glukosa, THC, total protein), sehingga energi yang digunakan untuk homeostasi selama stres lebih rendah. Lebih rendahnya energi yang digunakan untuk homeostasi selama stres, memungkinkan alokasi pemanfaatan energi metabolik investasi seperti pertumbuhan lebih baik (Hastuti et al.2004).

Proksimat

Pada penelitian ini, pengujian proksimat lobster dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Pada Tabel 2 dapat dilihat, kandungan kadar air pada lobster adalah sebesar 73,11±0,06%. Kandungan protein, karbohidrat, lemak dan abu pada lobster masing-masing sebesar 15,47±0,21%; 3,98±0,59%; 1,26±0,24%; 6,19±0,09.

(36)

perlakuan dengan perlakuan lainnya. Kandungan protein lobster berkisar antara (15,35±0,06 - 15,59±0,06 %), karbohidrat (3,845±0,05 - 3,945±0,05), lemak (1,25±0,08 - 1,345±0,06), dan abu (6,16±0,01 - 6,23±0,03).

Gambaran proksimat lobster pada awal dan akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3 berikut.

Tabel 2 Gambaran proksimat lobster pada awal penelitian

Parameter (%) Lobster Kadar Air 73,11±0,06 Protein 15,47±0,21 Karbohidrat 3,98±0,59 Lemak 1,26±0,24 Abu 6,19±0,09

Tabel 3 Gambaran proksimat lobster pada akhir penelitian

Parameter (%)

Perlakuan

A B C K

Kadar Air 73,14±0,04 73,08±0,03 73,105±0,02 73,13±0,03 Protein 15,46±0,07 15,59±0,06 15,54±0,08 15,35±0,06 Karbohidrat 3,895±0,05 3,92±0,04 3,845±0,05 3,945±0,05 Lemak 1,31±0,03 1,25±0,08 1,305±0,04 1,345±0,06 Abu 6,195±0,01 6,16±0,01 6,205±0,02 6,23±0,03

Pada penelitian ini digunakan pemberian pakan basah berupa ikan teri. Berdasarkan tabel 1, persentase berat kering protein, karbohidrat, lemak, dan abu pada ikan teri masing-masing sebesar 60,03±0,58%; 3,29±0,40%; 10,78%±1,11; 25,87±0,13%. Menurut Johnston et al. (2007), pakan optimal untuk pertumbuhan lobster P. Ornatus (53% protein, 10% lemak), P cygnus (50% protein, 6% lemak), J. edwardsii (31% protein, 27% karbohidrat, 13,5% lemak). Menurut Williams (2007), rentang persentase optimal karbohidrat dan lemak untuk lobster J. edwardsii masing-masing sebesar 16-51% dan 3-19%. Secara umum, kadar protein dan lemak pada pakan basah (ikan teri) yang diberikan pada lobster masih sesuai untuk pertumbuhan optimal lobster.

(37)

Rasio Konversi Pakan

Rasio konversi pakan (FCR) lobster selama penelitian adalah sebesar 8,53±0,16 – 9,33±0,16 (Gambar 24). Rasio konversi pakan lobster terendah (8,53±0,16) terdapat pada perlakuan menggunakan shelter paralon, sedangkan tertinggi (9,33±0,16) terdapat pada kontrol. Rasio konversi pakan lobster selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 20 berikut ini.

Gambar 20 Rasio konversi pakan lobster pada berbagai macam shelter selama penelitian.

Metabolisme yang berjalan baik akan berpengaruh terhadap nilai efisiensi pakan yang dikonsumsi oleh lobster. Nilai efisiensi pakan menunjukkan persentasi pakan yang dimanfaatkan oleh lobster untuk pertumbuhan (diwakili oleh penambahan bobot tubuh) berbanding dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Masih tingginya rasio konversi pakan ini, disebabkan pakan ikan teri yang diberikan, memiliki kandungan kadar air yang cukup tinggi yaitu 78,63±0,17%. Menurut Phillips dan Kittaka (2000), penggunaan pakan basah pada juvenil lobster menghasilkan rasio konversi pakan 3-9, akan tetapi pada penelitian lain, juga dilaporkan mencapai > 22. Beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi konversi pakan adalah jenis pakan, usia lobster, ukuran tubuh, feeding level, salinitas dan suhu.

Kelangsungan Hidup

(38)

Gambar 21 Kelangsungan hidup lobster pada akhir penelitian. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05) Tingginya tingkat kelangsungan hidup lobster pada penggunaan shelter paralon menunjukkan lebih rendahnya tingkat stres benih lobster yang dipelihara. Menurut Fotedar et al. (2006); Verghese at al. (2007), stres dapat menyebabkan turunnya kemampuan imunologi terhadap penyakit, gangguan pertumbuhan, kinerja reproduksi yang buruk, dan kelangsungan hidup lebih rendah.

Dari kajian respons THC, glukosa, dan total protein, shelter paralon terbukti mampu menekan stres dengan kondisi yang lebih baik jika dibandingkan dari perlakuan lainnya. Pada kontrol, tingkat kelangsungan hidup yang dihasilkan paling rendah. Hal ini disebabkan selain karena tingkat stres yang lebih tinggi, perlakuan tanpa shelter memungkinkan kontak antar lobster lebih tinggi sehingga akan menurunkan tingkat kelangsungan hidup. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lorenzon et al. (2007), bahwa penggunaan shelter meminimalkan kontak antar benih lobster, mengurangi stres selama moulting, memaksimalkan pertumbuhan dan menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah:

1. Penggunaan shelter pada pendederan lobster Panulirus homarus menghasilkan respons stres yang lebih rendah dibandingkan kontrol, ditinjau dari respons THC, glukosa, dan total protein hemolymph lobster selama penelitian.

(39)

Saran

Perlunya dilakukan pengkajian respons stres terhadap beberapa variabel fisiologi lainnya seperti hormon, produk metabolisme, dan tingkah laku. Pengkajian respons stres terhadap variabel fisiologi lainnya, dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana interaksi yang ditimbulkan antar variabel selama berlangsungnya stres pada lobster. Fish Blood. Journal of Fish Biology 5:577-581.

Boyd CE, Tucker CS. 1998. Pond aquaculture water quality management. New York (US): Springer Science+Business Media.

Burton CA. 2003. Lobster Hatcheries and Stocking Programmes: An Introductory Manual. Sea Fish Industry Authority Aquaculture Development Service. Seafish Report SR552. ISBN: 0 903941 66 X.

Chau NM, Ngoc NTB, Nhan LT. 2008. Effect of Different Types of Shelter on Growth and Survival of Panulirus ornatus Juveniles. Di dalam: Williams KC, editor. Spiny Lobster Aquaculture in the Asia-Pacific Region; 2008 Des 9-10; Nha Trang, Vietnam. Canberra (AU): Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 85-88

Drengstig A, Bergheim A. 2013. Commercial Land-Based Farming of European lobster (Homarus gammarus L.) in Recirculating Aquaculture System (RAS) Using a Single Cage Approach. Journal of Aquacultural Engineering 53:14– 18.

Effendie ML. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri. Fotedar S , Evans L, Jones B. 2006. Effect of holding duration on the immune

system of western rock lobster, Panulirus cygnus. Journal of Comparative Biochemistry and Physiology, Part A 143:479–487.

Gunanti Maharani, Sunarti, Juni Triastuti dan Tutik Juniastuti. 2009. Kerusakan dan Jumlah Hemosit Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) yang Mengalami Zoothamniosis. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, April 2009.

Hartnoll, RG. 1982. Growth. Di dalam: Bliss DE, editor. The Biology of Crustacea. Embryology, Morphology and Genetics. Volume 2. New York (US): Academic Press. hlm 111– 196.

(40)

Pakan Mengandung Kromium-Ragi. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan Indonesia Jilid 11(1):15 – 21.

Hastuti S, Supriyono E, Mokoginta I, Subandiyono (2003). Respons Glukosa Darah Ikan Gurami (Osphronemus gouramy, LAC.) Terhadap Stres Perubahan Suhu Lingkungan. Jurnal Akuakultur Indonesia, 2:73-77.

Hoang DH, Sang HM, Kien NT, Bich NTK..(2008). Culture of Panulirus ornatus lobster fed fish by-catch or co-cultured Perna viridis mussel in sea cages in Vietnam. Di dalam: Williams KC, editor. Spiny Lobster Aquaculture in the Asia-Pacific Region; 2008 Des 9-10; Nha Trang, Vietnam. Canberra (AU): Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 118-125. Huu HD, Jones CM. 2014. Effects of dietary mannan oligosaccharide

supplementation on juvenile spiny lobster Panulirus homarus (Palinuridae). Journal of Aquaculture (432):258–264.

James PJ, Tong L, Paewai M. 2002. Effect of Stocking Density and Shelter on Growth and Mortality of Early Juvenile Jasus edwardsii Held in Captivity. Journal of Marine and Freshwater Research. 52:1413-1417.

Johnston D, Melville-Smith R, Hendriks B, Maguire GB, Phillips B. 2006. Stocking Density and Shelter Type for the Optimal Growth and Survival of Western Rock Lobster Panulirus cygnus (George). Journal of Aquaculture 260:114–127.

Johnston D, Melville-Smith R, Hendriks B. 2007. Survival and growth of western rock lobster Panulirus cygnus (George) fed formulated diets with and without fresh mussel supplement. Journal of Aquaculture 273:108–117. Jones CM. 2010. Tropical Spiny Lobster Aquaculture Development in Vietnam,

Indonesia and Australia. Journal of Marine Biological Assay India, 52(2). Jussila J, McBride S, Jago J, Evans LH. 2001. Hemolymph Clotting Time As an

Indicator of Stres in Western Rock Lobster (Panulirus cygnus George). Journal of aquaculture 199:185–193.

Kari LL, Spanier E, Grasso F. 2007. Behavior and Sensory Biology of SlipperLobsters. Di dalam: The Biology and Fisheries of the Slipper Lobster. Crustacean issues 17. Boca Raton (US): CRC Press. hlm 133-181. Leland JC, Butchera PA, Broadhursta MK, Patersonc BD, Mayer DG. 2013.

Damage and physiological stres to juvenile eastern rock lobster (Sagmariasus verreauxi) discarded after trapping and hand collection. Journal of Fisheries Research 137:63– 70.

Lorenzon S, Giulianini PG, Martinis M, Ferrero EA. 2007. Stres Effect of Different Temperatures and Air Exposure During Transport on Physiological Profiles in the American Lobster Homarus americanus. Journal of Comparative Biochemistry and Physiology, Part A 147:94–102. Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein Measurement

with the Folin Phenol Reagent, Journal of Biological Chemistry 93:265– 275.

Mackereth FJH, Heron J, Talling JF. 1989. Water Analysis. Cumbria (UK): Freshwater Biological Association.

(41)

Mohammed G, Syda-Rao S, Ghosh S. 2010. Aquaculture of Spiny Lobsters in Sea Cages in Gujarat, India. Journal of Marine Biological Assay, India, 52: 316-319.

Ocampo L, Patino D, Ramirez C. 2003. Effect of temperature on hemolymph lactate and glucose concentrations in spiny lobster Panulirus interruptus during progressive hypoxia. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 296:71– 77. shelter behavior of juvenile American lobster (Homarus americanus): the influence of a non-indigenous crab. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 403:75–80.

Rustam, Hartinah, Jusoff K, Hadijah ST, Ilmiah. 2013. Characteristics of

Haemolymph’s Juvenile Tiger Prawn, Penaeus monodon (Fabricius) Reared in Ponds. World Applied Sciences Journal (Natural Resources Research and Development in Sulawesi Indonesia) 26:82-88.

Sachlikidis NG, Jones CM, Seymour JE. 2010. The effect of temperature on the Biochemistry and Physiology 47:160—167.

Solanki Y, Jetani KL, Khan SI, Kotiya AS, Makawana NP, Rather MA. 2012. Effect of stocking density on growth and survival rate of Spiny Lobster (Panulirus polyphagus) in cage culture system. International Journal of Aquatic Science 3(1).

Syda-Rao, George RM, Anil MK, Saleela KN, Jasmine S, Kingsly HJ; Hanumanta RG. 2010. Cage Culture of The Spiny Lobster Panulirus Homarus (Linnaeus) at Vizhinjam, Trivadrum Along The South-West Coast of India. Indian Journal of Fisheries 57: 23-29.

Takeuchi T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrient. Fish Nutrition and Mariculture, Tokyo: JICA Kanagawa Intenational Fisheries Training Centre. hlm 179-233. 16. Australian Centre for International Agricultural Research: Canberra. Verghese B, Radhakrishnan EV, Padhi A. 2007. Effect of environmental

(42)

Vijayakumaran M, Anbarasu M, Kumar TS. 2010. Moulting and Growth in Communal and Individual Rearing of The Spiny Lobster, Panulirus homarus. Journal of Marine Biology Assaay India 52: 274 -281.

Weatherley AH. 1972. Growth and Ecology of Fish Population. London (GB): Academic Press.

Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical Methods for the Assessment of the Effects of Environmental Stres on Fish Health. Volume ke-89. Washington DC (US) Department of the Interior Fish and Wildlife Service.

Wickins JF, Lee DOC. 2002. Crustacean Farming Ranching and Culture. Blackwell Science Ltd

Williams KC. 2007. Nutritional requirements and feeds development for post-larval spiny lobster: A review. Journal of Aquaculture 263:1–14.

Yeh ST, Li CC, Tsui WC, Lin YC, Chen JC. 2010. The protective immunity of white shrimp Litopenaeus vannamei that had been immersed in the hot-water extract of Gracilaria tenuistipitata and subjected to combined streses of Vibrio alginolyticus injection and temperature change. Journal of Fish & Shellfish Immunology 29:271-278.

Yildiz HY, Benli ACK. 2004. Nitrite toxicity to crayfish, Astacus leptodactylus, the effects of sublethal nitrite exposure on hemolymph nitrite, total hemocyte counts, and hemolymph glucose. Journal of Ecotoxicology and Environmental Safety 59:370-375.

(43)

ANOVA: THC versus Perlakuan hari ke-3

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

C 2 876,25 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

C 2 914,9 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

K 2 882,00 A

B 2 605,00 B

C 2 576,50 B

(44)

ANOVA: THC versus Perlakuan hari ke- 21

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

C 2 674,75 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan K 2 685,00 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

K 2 687,50 A

C 2 247,50 B

A 2 180,25 BC

(45)

ANOVA: THC versus Perlakuan hari ke- 42

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

A 2 749,50 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

A 2 547,25 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

A 2 847,50 A

C 2 277,88 B

K 2 145,75 BC

(46)

ANOVA: THC versus Perlakuan hari ke- 63

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

C 2 657,75 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

(47)

Uji Tukey

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

A 2 13,229 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

K 2 14,650 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

C 2 21,676 A

K 2 17,341 AB

B 2 9,265 B

(48)

ANOVA: Kadar Glukosa versus Perlakuan hari ke- 28

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

C 2 21,617 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

(49)

Uji Tukey

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

K 2 17,450 A

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

(50)

ANOVA: Total Protein versus Perlakuan hari ke- 3

Perlakuan N Rata-rata Pengelompokan

Gambar

Tabel 1    Gambaran proksimat ikan teri
Gambar 2   Sistem resirkulasi pada kolam penelitian
Gambar 4   Kondisi suhu selama penelitian. (A)  shelter jaring, (B) shelter
Gambar 7   Kondisi pH selama penelitian. (A) shelter jaring, (B) shelter paralon,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada pembelajaran matematika materi perkalian di kelas II SDIMI dapat digunakan permainan &#34;mangkuk dan permen&#34; untuk penanaman konsep perkalian, dan

Berdasarkan kriteria pencapaian tujuan pembelajaran siswa pada hasil test uji coba lapangan pencapaian tujuan pembelajaran siswa pada soal no 1 hasil tes adalah sebesar 80%,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat penyusunan skripsi dengan judul Penggunaan Model Group Investigation

Sedangkan skor rata-rata terendah pada indikator 2 (I-2) membangun keterampilan dasar sebesar 2,23. Untuk membandingkan kemampuan berpikir kritis siswa pada kedua

Hasil dari penelitian ini dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran, yaitu dengan menerapkan metode pembelajaran diskusi yang mana antara peserta

pengrajin kain Songket di Desa Bukit Batu adalah sebagai penelitian yang dilakukan menemukan bahwa kehidupan sosial di Desa Bukit Batu sangat sarat dengan

Jika pembiasaan yang diberikan kepada anak tidak diskriminatif, maka akan terbentuk pribadi-pribadi yang baik sehingga mampu berinteraksi dengan harmonis, karena pembiasaan

Selain itu peneliti juga mempertimbangkan komposisi dan kesesuaian logo dengan konsep perancangan, maka desain yang telah terpilih akan digunakan sebagai logo LAXMI