• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stabilitas Gas Co2 Pada Minuman Berkarbonasi Selama Penyimpanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Stabilitas Gas Co2 Pada Minuman Berkarbonasi Selama Penyimpanan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

STABILITAS GAS CO

2

PADA MINUMAN BERKARBONASI

SELAMA PENYIMPANAN

BERLIANA SIMANJUNTAK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Stabilitas Gas CO2 pada Minuman Ringan Berkarbonasi Selama Penyimpanan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Berliana Simanjuntak

(4)

RINGKASAN

BERLIANA SIMANJUNTAK. Stabilitas Gas CO2 pada Minuman Berkarbonasi selama Penyimpanan. Dibimbing oleh DEDE R. ADAWIYAH dan EKO HARI PURNOMO.

Stabilitas suatu produk sering dihubungkan dengan mudah tidaknya produk tersebut mengalami perubahan fisik dan kimia. Pada produk minuman berkarbonasi, kestabilan gas CO2 sebagai salah satu faktor mutu produk sangatlah penting untuk diketahui, karena keberadaan gas CO2 berperan menimbulkan sensasi rasa menggelitik dimulut ketika meminum minuman berkarbonasi. Kestabilan gas CO2 juga berhubungan dengan permeabilitas gas dari kemasan yang dipakai, formulasi produk serta reaksi kimia yang terjadi selama penyimpanan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa laju perubahan volume dan kelarutan gas CO2 minuman berkarbonasi selama penyimpanan pada suhu 6⁰C, suhu 25⁰C dan suhu 55⁰C yang dikemas dengan kemasan plastik, gelas dan kaleng. Serta menentukan waktu paruh produk dengan menggunakan pendekatan Arrhenius.

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa minuman berkarbonasi yang dikemasn dalam kemasan plastik mengalami persentase kehilangan gas CO2 yang paling banyak ketika disimpan pada ketiga suhu penyimpanan dibandingkan dengan kemasan gelas dan kaleng. Persentasi penurunan volume gas CO2 pada kemasan plastik pada penyimpanan suhu 6⁰C adalah 0,002% per hari, pada suhu 25⁰C adalah 0,003% per hari dan pada suhu 55⁰C adalah 0,007% per hari. Sementara persentase penurunan kelarutan gas CO2 yang paling tinggi dialami oleh kemasan kaleng pada penyimpanan suhu 55⁰C sebesar 0,026% per hari. Sedangkan kedua kemasan yang lain (gelas dan plastik) yang disimpan pada suhu dan waktu yang sama hanya mengalami penurunan gas CO2 terlarut sebesar 0,019% per hari. Sehingga waktu paruh (t1/2) produk jika disimpan pada suhu 25⁰C pada kemasan kaleng adalah 206 hari (7,0 bulan), pada kemasan gelas adalah 200 hari (6,7 bulan) dan pada kemasan plastik adalah 104 hari (3,5 bulan).

(5)

SUMMARY

BERLIANA SIMANJUNTAK. CO2 Stability of Carbonated Soft Drink during Storage. Supervised by DEDE R. ADAWIYAH and EKO HARI PURNOMO.

Stability of product is a function of its chemical reactiveness. For carbonated soft drink, stability of CO2 is one of the critical parameter to consider as it is related to the sensory acceptance due to the presence of CO2 that create a tingling sensation whenever it is consumed. The stability of this CO2 is also related to the permeability of its packaging, different ingredients used in the formulation and the chemical reaction that has happening during storage.

The purpose of this research is to analyse the changes of the volume and solubility of CO2 in carbonated soft drink stored in 3 different temperatures - 6⁰C, 25⁰C and 55⁰C, using 3 different type of packaging – can, glass and PET bottle. Later it can then calculate its half-life (t1/2) based on Arrhenius method.

The result measured from this experiment shown that carbonated soft drink packed in plastic bottle has the highest percentage in losing the carbonation (lost of CO2 when stored in three different storage temperature compare to can and glass bottle. The volume of CO2 lost in plastic bottle about 0,002% per day when the product stored in 6⁰C, 0,003% per day lost in 25⁰C and almost 0,007% per day in 55⁰C. Other parameter measured int his experiment which is solubility of CO2 shown that plastic bottle has the highest percentage of CO2 solubility when the product stored in 55⁰C which is 0,026% per day. While glass bottle and can stored at the same temperature is decreased by 0,019% per day. Thus the half-life (t1/2) of this carbonated soft drink product when stored in ambient room (25⁰C), packed in can is 206 days (7.0 month), in glass bottle is 200 days (6.7 month) and in plastic bottle is 104 days (3.5 month).

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada

Program Studi Teknologi Pertanian

STABILITAS GAS CO

2

PADA MINUMAN BERKARBONASI

SELAMA PENYIMPANAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Stabilitas gas CO2 pada Minuman Berkarbonasi selama Penyimpanan

Nama : Berliana Simanjuntak NIM : F252130135

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dede R, Adawiyah MSi Ketua

Dr. Eko Hari Purnomo, STP, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 27 Agustus 2016

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal dalam Yesus Kristus atas segala kemurahan dan kesetiaann-Nya sehingga karya ilmiah ini akirnya bias diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2015 – Februari 2016 ini ialah stabilitas gas CO2 pada minuman berkarbonasi selama Penyimpanan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dede R, Adawiyah MSi dan Bapak Dr. Eko Hari Purnomo, STP, MSc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabra dan memberi banyak masukan serta motivasi pada penulis dalam menyusun tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada ibu Dr. Elvira Syamsir MSi selaku penguji luar komisi yang telah menguhi penulis pada ujian tesis dan Ibu Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi selaku Ketua Program Studi Magister Profesional Teknologi Pangan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada civitas akademika dan Sekretariat Pascasarjana Magister Profesional Teknologi Pangan, Sdri Beatrix Sibarani dan Sdri Ernida Syafitri beserta staf analis laboratorium kimia-nya yang telah membantu selama penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan ketiga adik saya terkasih atas doanya serta seluruh teman-teman seangkatan di PS MPTP angkatan IX atas segala dukungannya baik selama perkuliahan maupun pada saat penyusunan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini bisa memberikan informasi yang baru dan bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 METODE PENELITIAN 3

Bahan dan Alat 3

Metode 4

Prosedur Analisa 4

Analisa Data 5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Perubahan volume dan kelarutan gas CO2 7

Kinetika laju perubahan volume dan kelarutan gas CO₂ 11

Pendugaan Waktu Paruh produk 14

4 SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 19

(13)

DAFTAR TABEL

1 Permeabilitas terhadap O2, CO2 dan H2O dari beberapa material plastik 8 2 Data kelarutan gas CO2 tanpa perlakuan pengocokan hari ke 0 10 3 Data kelarutan gas CO2 dengan perlakuan pengocokan hari ke 0 10 4 Reaksi Ordo Nol dari masing – masing kemasan untuk parameter

perubahan volume dan kelarutan gas CO2 13

5 Nilai energi aktivasi minuman berkarbonasi pada ketiga kemasan 14 6 Waktu paruh (t1/2) produk pada ketiga kemasan berdasarkan parameter

volume gas CO2 14

DAFTAR GAMBAR

1 Pengukur volume gas Steinfurth Digi Mano 3

2 Ultrasonic Cleanser UC-10 3

3 Perubahan volume gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C (c)

di ketiga kemasan selama penyimpanan 7

4 Penurunan kelarutan gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C (c)

di ketiga kemasan selama penyimpanan 9

5 Kemasan kaleng yang bocor pada suhu 55⁰C selama 2 minggu 10 6 Kurva penentuan reaksi ordo Nol pada produk yang disimpan di suhu

6⁰C dengan parameter (1) volume dan (b) kelarutan gas CO2 pada 3

kemasan selama penyimpanan. 12

7 Kurva penentuan reaksi ordo Satu pada produk yang disimpan di suhu 6⁰C dengan parameter (1) volume dan (b) kelarutan gas CO2 pada 3

kemasan selama penyimpanan. 12

8 Hubungan antara nilai konstanta volume gas CO2(ln k) dengan suhu

penyimpanan (1/T) 14

9 Hubungan antara nilai konstanta kelarutan gas CO2(ln k) dengan suhu

penyimpanan (1/T) 14

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

1

PENDAHULUAN

Minuman berkarbonasi merupakan salah satu produk yang sangat penting pada pasar minuman global. Pada tahun 2015 konsumsinya tercatat bisa mencapai 226 triliun liter (Statista 2016). Meskipun ada kenaikan BBM yang menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat, akan tetapi pertumbuhan volume semua produk minuman berkarbonasi tetap positif selama tahun 2015 di Indonesia (Euromonitor International 2016).

Untuk memproduksi minuman berkarbonasi, gas CO2 diinjeksikan kedalam suatu larutan pada wadah tertutup dan bertekanan (Barker, Jefferson dan Judd 2002a). Oleh karena prosesnya yang berada pada kondisi yang tertutup dan bertekanan inilah maka tekanan di dalam wadah meningkat dan memaksa gas CO2 dalam wadah tersebut larut. Ghose dan Nair (2013) menyebutkan bahwa tekanan ini dibutuhkan untuk mempertahankan gas CO2 tetap berada dalam larutan (yang biasanya disebut sebagai Volume Gas minuman berkarbonasi. Dan tekanan ini menurut Achour (2005) merupakan penentu kualitas sensorinya. Karena dengan adanya gas CO2 ini dalam larutan, sensasi rasa menggelitik dimulut bisa timbul. (Liger-Belair et al., 2015)

Gas CO2 memiliki densitas yang lebih berat dari udara yaitu 1,98 kg/m3 pada suhu 25⁰C. Gas ini sangat larut dalam air dan tingkat kelarutannya bertambah seiring dengan menurunnya suhu (Ashurst 2010). Penurunan suhu dari 25⁰C ke 5⁰C dapat menaikkan jumlah kelarutan gas CO2 sebesar 0.8g/L (Barker, Jefferson dan Judd 2002). Pada produk minuman berkarbonasi tinggi seperti air tonik (water tonic) jumlah CO2 yang terlarut didalamnya bisa mencapai 9 g/L (Descoins et al., 2004).

Produk pangan akan mengalami kerusakan segera setelah diproduksi. Reaksi kerusakan ini bermula dengan adanya persentuhan dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau yang diakibatkan oleh perubahan suhu (Arpah 2007). Tiga faktor utama yang menandakan penurunan mutu pada minuman berkarbonasi menurut Ashurst (2010) adalah kehilangan gas CO2-nya (loss of carbonation), oksidasi atau hidrolisis asam dari perisa dan pewarna yang terdapat pada formulasi produk tersebut serta perubahan warna dan aroma yang disebabkan oleh cahaya.

(15)

2

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka perumasan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Kestabilan gas CO2 minuman berkarbonasi dipengaruhi oleh suhu, lama peyimpanan dan jenis kemasan yang diukur menggunakan indikator volume dan kelarutan gas CO2.

2. Perhitungan waktu paruh produk minuman berkarbonasi dipengaruhi oleh suhu dan jenis kemasan yang diujikan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisa laju perubahan volume dan kelarutan gas CO2 minuman berkarbonasi yang disimpan pada 3 suhu dengan menggunakan jenis kemasan yang berbeda – beda serta menghitung waktu paruh produk melalui pendekatan Arrhenius.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan informasi bagi tim R&D di industri minuman mengenai gambaran laju perubahan gas CO2 yang dihubungkan dengan suhu dan kemasan.

2. Bermanfaat dalam menentukan jumlah volume gas CO2 awal yang diperlukan sehingga pada saat produk sudah mencapai waktu kadaluwarsanya, produk tersebut masih bisa diterima tingkat karbonasinya.

3. Menjadi masukan bagi pembuat peraturan atau asosiasi yang berhubungan dengan produk minuman ringan tentang standar yang harus ditetapkan untuk volume gas CO2 pada minuman berkarbonasi.

Ruang Lingkup Penelitian

(16)

2

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk minuman berkarbonasi dengan merk X. Varian yang dipilih adalah varian yang tidak mengandung pewarna, dikemas dalam kemasan kaleng (250ml), gelas (200ml) dan plastik jenis PET (250ml). Untuk analisa kelarutan gas CO2, bahan kimia yang digunakan adalah NaOH 0.01N, indicator pp (penopthalein) yang dipakai pada saat uji titrasi.

Alat – alat yang dipergunakan pada penelitian ini adalah; alat pengukur tekanan gas CO2 dengan merk Steinfurth Digi Mano, Ultrasonic Cleaner UC-10, Termometer, Erlenmeyer, Pipet tetes, Pipet volume, Titrimeter (buret) dan Gelas ukur.

Alat pengukur tekanan gas CO2 ini dilengkapi dengan pengukur tekanan (pressure

gauge)digital, penusuk tutup kemasan (piercing device) sehingga bisa langsung diketahui berapa besar tekanan gas dalam kemasan yang diukur.

Gambar 1. Pengukur volume gas Steinfurth Digi Mano

Alat Ultrasonic Cleaner UC-10 pada gambar 4 bertujuan untuk menghilangkan buih – buih yang muncul pada produk ketika melakukan pengukuran volume gas CO2. Sehingga ketika melanjutkan pengukuran untuk parameter kelarutan gas CO2, angka yang didapatkan dengan uji titrasi bisa lebih akurat.

(17)

4

Adapun frekuensi pengambilan sampel untuk dianalisa adalah sebagai berikut: dianalisa 2 kali (duplo) baik untuk pengukuran volume gas maupun kelarutan gas CO2.

Prosedur Analisa

Metode analisa yang dilakukan pada kedua variabel ini adalah: 1. Volume gas CO2

Untuk pengukuran parameter volume gas CO2, produk dalam kemasan terlebih dahulu dikocok (sebanyak 10 – 15 kali) sehingga semua gas CO2 yang ada pada produk tersebut naik ke permukaan larutan. Kemudian produk tersebut diletakkan dibawah alat penusuk (piercing device) dan ditekan sedemikian rupa sehingga gas – gas CO2 yang berada pada bagian permukaan larutan (headspace) kemasan bergerak keluar dan pressure gauge pada alat pengukur muncul dengan angka tertentu. Angka yang muncul pada alat tersebut kemudian dikalikan dengan 1.98 g/L dan dicatat sebagai besaran volume gas CO2. Liciardello, Coriolani dan Muratore (2010) menyebutkan bahwa 1 GV = 1.98 g/L . Angka ini dipakai sebagai acuan konversi tekanan ke volume gas CO2 ).

2. Kelarutan gas CO2 (metode titrimetri - buret)

Dengan menggunakan sampel yang sama (setelah dikocok) pada pengukuran volume gas CO2, diambil larutan produk sebanyak 10ml kemudian ditetesi dengan indikator phenoptalein. Jika tidak terjadi perubahan warna pada larutan yang ditetesi phenoptalein, maka itu berarti produk tersebut mengandung gas CO2. Kemudian larutan tersebut dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0.01N. Proses titrasi dihentikan jika terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Kemudian dicatat jumlah (ml) titrannya hasil titrasi dan dengan menggunakan persamaan berikut, dapat diketahui berapa kelarutan gas CO2nya.

(18)

dimana:

CO2 (mg/l) = konsentrasi CO2 terlarut dalam air ml titran (ml) = volume titran NaOH yang terpakai N titran = Normalitas NaOH 0.01N

ml sampel = volume cairan sampel yang digunakan

Analisa Data

Data yang didapat dari pengujian tersebut dibuat dalam bentuk grafik yang menunjukkan hubungan antara volume dan kelarutan gas CO2 dengan waktu penyimpanan pada suhu dan kemasan yag berbeda.

Dari grafik hubungan antara volume dan kelarutan gas CO2 kemudian dilanjutkan dengan:

1. Merumuskan kinetika laju penurunan konsentrasi gas CO2 (volume dan kelarutannya) dengan persaman ordo reaksi nol dan satu yang kemudian dipilih berdasarkan nilai slope ya

Persamaan reaksi ordo Nol

A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t Ao = nilai mutu awal

t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun) k = konstanta laju rekasi ordo Nol atau Satu

2. Merumuskan perhitungan umur simpan produk melalui pendekatan Arrhenius dengan persamaan berikut.

……….persamaan (4)

………..……….…..persamaan (5)

dimana:

k = konstanta penurunan suhu

(19)

6

Ea = energy aktivasi (kal/mol) T = suhu mutlak (K)

R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)

Nilai k0menunjukkan konstanta penurunan mutu yang disimpan pada suhu

normal, k menyatakan penurunan mutu dari salah satu kondisi yang digunakan, sedangkan Ea/R merupakan gradient yang diperoleh dari plot Arrhenius. Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut, diperoleh nilai k.

3. Dikarenakan pada penelitian ini tidak ada data untuk batas kritis produk, maka selanjutnya pendugaan umur simpan produk dihitung dengan menggunakan pendekatan waktu paruh (t1/2) melalui persamaan ini.

t

1/2

= [A

o

] / 2k

………...persamaan (6)

dimana:

t1/2 = waktu paruh Ao = nilai mutu awal

(20)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penurunan volume dan kelarutan gas CO2

Secara umum dari gambar 3 dapat dilihat bahwa parameter volume gas CO2 pada kemasan kaleng, gelas dan plastik mengalami penurunan pada ketiga suhu penyimpanan. Sampai akhir masa penyimpanan 120 hari pada suhu 6⁰C, produk mengalami penurunan sebesar 9% (kemasan kaleng), 7% (kemasan gelas) dan 22% (kemasan plastik). Begitu juga dengan produk pada suhu 25⁰C turun sebesar 15% (kemasan kaleng), 11% (kemasan gelas) dan 38% (kemasan plastik) sampai 126 hari penyimpanan. Sedangkan produk yang disimpan selama 18 hari pada suhu 55⁰C juga turun sebesar 16% (kemasan kaleng), 35% (kemasan gelas) dan 47% (kemasan plastik) sampai 18 hari penyimpanan.

Gambar 3. Penurunan volume gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C (c) pada kemasan kaleng, gelas dan plastik selama penyimpanan.

Dari gambar 3 diatas juga terlihat bahwa secara umum kehilangan gas CO2 yang paling besar terjadi pada kemasan kaleng. Hal tersebut berhubungan dengan permeabilitas gas dari pengemas yang dipakai. Zeman dan Kubik (2007) menyatakan bahwa koefisien permeabilitas pengemas dipengaruhi oleh struktur kimia kemasan serta metode persiapan dan kondisi proses pembuatan kemasan tersebut. Permeabilitas gas dan uap air dipengaruhi pula oleh bentuk dan ukuran pengemasnya, interaksi dengan polimer serta pengaruh suhu dan tekanan pada saat proses produksi. Kemasan plastik mempunyai barier yang kurang bagus terhadap gas maupun uap air (Steen dan Ashurst (2006) sehingga CO2 bisa keluar

(21)

8

(dan mengakibatkan level karbonasi pada produk minuman berkarbonat menjadi berkurang) dan oksigen bisa masuk seiring dengan waktu. Migrasi ini bisa terjadi dari kemasan ke dalam larutan ataupun sebaliknya. Siracusa (2012) menyatakan bahwa material pada kemasan plastik berbeda dengan material yang digunakan pada kemasan gelas atau kaleng, sehingga kemasan plastik memiliki pori-pori yang tidak dimiliki oleh kemasan gelas atau kaleng. Pori-pori ini menyebabkan molekul-molekul yang kecil seperti gas, uap air dan aroma yang terdapat pada bahan pangan bisa bermigrasi. Dengan demikian perpindahan molekul pada kemasan ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan permeabilitasnya.

Sebagai gambaran, tabel 1 memperlihatkan data permeabilitas beberapa kemasan yang terbuat dari material plastik yang diadaptasi dari Massey. L 2003. Kemasan plastik minuman berkarbonat yang terbuat dari PET dengan permeabilitas terhadap gas CO2 sekitar 1,2 cm/Hg pada suhu 23⁰C

Tabel 1. Permeabilitas terhadap O2, CO2 dan H2O dari beberapa material plastic Permeabilitas

Disisi lain, difusi gas – gas yang terjadi pada produk minuman berkarbonat yang dikemas dalam kemasan plastik juga sangat tergantung pada keefektifan proses penutupannya (Roberston 2010) dan Coles, McDowell dan Kirwan (2003) menekankan juga perlunya kontrol terhadap tekanan selama proses pengisian.. Dari studi yang dilakukan oleh Glevitzky, Bruturean dan Perju (2005) menyebutkan bahwa 30% kehilangan gas CO2 pada plastik (PET) terdistribusi melalui tutup botol (erat tidaknya penutup –capping - pada saat proses pengisian) dan 60% melalui dinding botol (tergantung dari ketebalan kemasan yang dipakai). Dan dari gambar 3 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka semakin besar persentase penurunan volume gas CO2. Trend yang sama didapatkan juga oleh Carrieri, De Bonis dan Ruocco (2012) sehingga disimpulkan bahwa dengan kenaikan suhu sebanyak 4 kali lipat dari 10⁰C akan menyebabkan kehilangan gas CO2 sebesar 83%.

Pada suhu 55C terjadi variasi volume gas CO2 selama penyimpanan seperti yang dapat dilihat pada gambar 3c. Hal tersebut menurut Kilcast dan Subramaniam (2011), kemungkinan besar disebabkan adanya kebocoran (leakage)

pada jarak antara tutup botol (cap) dengan tubuh botolnya (body).

(22)

dibiarkan terbuka tidak lebih dari satu detik, sehingga jumlah gas CO2 yang masuk disetiap kemasan sama. (Coca-Cola Amatil Indonesia 2015).

Untuk parameter kelarutan gas CO2, terjadi kecenderungan penurunan yang hampir sama dengan parameter volume gas CO2 seperti yang dapat dilihat pada gambar 4. Selama 120 hari penyimpanan, kelarutan gas CO2 pada kemasan kaleng di suhu 6⁰C turun sebesar 14%, kemasan gelas dan kemasan plastik sebesar 17%. Sedangkan pada suhu 25⁰C yang disimpan selama 126 hari, kemasan kaleng turun sebesar 19%, kemasan gelas 15% dan kemasan plastik 22%. Sementara pada suhu 55⁰C yang disimpan selama 18 hari kemasan kaleng turun paling banyak yaitu 46%, kemasan gelas dan plastik turun sebesar 35%. Semakin tinggi suhu, maka kelarutan gas CO2 semakin berkurang oleh karena kelarutan CO2 dalam air tergantung dari suhu air dan tekanan gas (Steen dan Ashurst 2006).

Penurunan kelarutan gas CO2 memiliki kecenderungan yang berbeda dengan volume gas CO2. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, besarnya penurunan volume gas CO2 sangat ditentukan oleh kemasan yang digunakan. Sedangkan pada parameter kelarutan gas CO2, kecenderungan penurunan pada suhu 6⁰C hampir sama pada semua kemasan. Pada suhu 25⁰C, kemasan gelas terlihat mampu mempertahankan kelarutan gas CO2 sampai hari ke 56, akan tetapi selanjutnya mengalami penurunan sehingga konsentrasi CO2 terlarutnya sama dengan kemasan lain. Pada suhu 55⁰C, terlihat fenomena yang berlawanan dengan volume gas CO2 dimana penurunan kelarutan gas CO2 paling besar terjadi pada kemasan kaleng, sedangkan pada kemasan plastik dan gelas menunjukkan kecenderungan penurunan kelarutan gas CO2 yang hampir sama.

(23)

10

Fenomena kontradiktif yang ditemukan pada parameter kelarutan gas CO2 dalam penelitian ini belum diketahui penyebab pastinya apakah disebabkan karena perlakuan yang diberikan kepada kemasan berupa guncangan (kocokan) yang dialami oleh produk sehingga memaksa gas – gas CO2 pada headspace kemasan keluar ataukah adanya pengaruh lain seperti perbedaan jumlah volume gas awal dari masing – masing kemasan yang diukur (yang berasal dari pabrik).

Hal lain yang menjadi perhatian pada saat melakukan penelitian ini adalah produk dalam kemasan kaleng yang disimpan pada suhu 55⁰C selama 2 minggu pertama ditemukan dalam kondisi yang sudah meledak (bocor dan mengeluarkan gas) seperti yang diperlihatkan pada gambar 7.

Gambar 5. Kemasan kaleng yang bocor pada suhu 55⁰C selama 2 minggu. Akibat kejadian ini pengamatan harus diulang kembali (sampel yang dipakai dibeli dengan batch baru yang berbeda dari batch awal kemasan kaleng pada suhu 6⁰C, 25⁰C dan yang berbeda juga dengan kedua kemasan lainnya). Disamping itu dengan adanya kejadian ini, maka diputuskan untuk mengurangi interval waktu pengamatan pada suhu 55⁰C baik pada kemasan kaleng sendiri maupun kemasan botol dan plastik dari setiap 1 minggu selama 1 bulan menjadi setiap 2 hari selama 18 hari. Walaupun produk sudah diganti dan tidak terjadi kebocoran yang sama seperti pada penelitian pertama, hasil yang didapatkan memperlihatkan kecenderungan yang berbeda/kontradiktif dengan parameter volume gas CO₂.

Kemudian untuk mencari penyebab lain dari kencenderungan yang kontradiktif ini, dilakukan kembali pengukuran terhadap kelarutan gas CO₂ dari produk yang dibeli dengan batch baru yang berbeda dari batch awal yang dipakai pada penelitian sebelumnya. Pengukuran dilakukan juga pada masing – masing kemasan akan tetapi hanya pada hari ke 0 saja. Pada analisa ini produk tidak diberikan perlakuan guncangan (dikocok) melainkan langsung melakukan pengukuran kelarutan gas CO₂ dengan prosedur yang sama melalui titrasi pada ke tiga kemasan.

(24)

Tabel 2. Data kelarutan gas CO2 tanpa perlakuan pengocokan hari ke 0

SAMPEL KALENG GELAS PLASTIK

1 1555,90 1214,14 1465,96

2 1412,00 1349,04 1313,07

Rata -rata 1483,95 1281,59 1389,52

Pengukuran ini dipakai sebagai acuan awal dari data kelarutan gas CO₂ pada produk tanpa perlakuan pengocokan pada hari ke 0 dengan tujuan bisa digunakan untuk membandingkan nilai yang didapat dengan data awal kelarutan gas CO2 yang diukur setelah produk mengalami pengocokan pada hari ke 0 seperti yang terdapat pada tabel 3.

Tabel 3. Data kelarutan gas CO2 dengan perlakuan pengocokan hari ke 0

SAMPEL KALENG GELAS PLASTIK

1 1309,15 1150,05 1242,73

2 1431,80 1183,88 1341,80

Rata -rata 1370,48 1166,96 1292,27

Dari kedua hasil ini dapat dilihat bahwa nilai kelarutan gas CO₂ tanpa perlakuan pengocokan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan nilai kelarutan gas CO₂ dengan perlakuan pengocokan pada kemasan kaleng. Perlu diketahui bahwa nilai kelarutan gas CO2 tanpa perlakuan pengocokan ini bisa dianggap sebagai nilai yang diproduksi langsung dari produsen. Perbedaan nilai ini sendiri dapat disimpulkan bahwa fluktuasi dari produksi sangat mempengaruhi nilai atau trend selama penyimpanan.

Selain nilai kelarutan gas CO₂ awal yang tidak sama dari produsen dan mengingat kejadian yang terjadi pada penelitan awal seperti yang ditunjukkan pada gambar 7, maka kemungkinan adanya seaming yang tidak erat pada bagian atas kaleng selama penyimpanan (pada suhu 55⁰C) bisa mengakibatkan kebocoran yang halus walaupun tidak meledak pada gambar 7. Kebocoran halus ini mempengaruhi nilai yang didapatkan dari analisa baik pada parameter volume dan kelarutan gas CO2 yang akibatnya muncul fenomena yang kontradiktif seperti grafik produk kemasan kaleng pada gambar 4.

Kinetika laju perubahan volume dan kelarutan gas CO2

(25)

12

Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi Ordo 0 dan Ordo 1. Sebelum menentukan orde reaksi yang akan dipilih, terlebih dahulu data hasil penelitian diplotkan pada grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dan persentasi penurunan nilai mutu/hari pengamatan (k). Sumbu x menyatakan lama penyimpanan (hari) dan sumbu y menyatakan persentasi penurunan nilai mutu pada setiap pengamatan.

Pada Ordo 0, plot dilakukan antara rataan persentasi hasil pengamatan dan waktu penyimpnaan, sedangkan untuk Ordo 1, nilai rataan persentasi hasil pengamatan terlebih dahulu dibuah dalam bentuk lon (ln) lalu diplotkan dengan waktu penyimpanan.

Gambar 6: Kurva penentuan reaksi orde nol pada produk yang disimpan di suhu 6⁰C dengan parameter volume (a) dan kelarutan (b) gas CO2 pada kemasan kaleng, gelas dan plastik selama penyimpanan

Gambar 7. Kurva penentuan reaksi orde satu pada produk yang disimpan disuhu 6⁰C dengan parameter (a) volume dan (b) kelarutan gas CO2 pada 3

kemasan selama penyimpanan.

(26)

diujikan. Dari persamaan regresi linear y = ax + b pada masing – masing parameter, didapatkan nilai k dan R². Jika pada kurva yang diplotkan nilai R²nya lebih mendekati 1, maka reaksi yang terjadi mengikuti reaksi ordo 0. Dalam penelitian ini, meskipun dari rataan hasil persentase volume dan kelarutan gas CO2 ada beberapa data yang mengikuti reaksi Ordo 1, akan tetapi data yang mendekati Ordo 0 lebih banyak didapatkan, sehingga untuk plot Arrheniusnya dipilih ordo reaksi Ordo 0.

Setelah ordo reaksi ditentukan berdasarkan regresi linear pada gambar 6 dan 7, nilai – nilai k dan R² yang didapatkan pada Ordo 0 kemudian ditabulasikan seperti pada tabel 4 yang selanjutkan dipakai pada plot persamaan Arrhenius. Tabel 4. Reaksi ordo Nol dari masing – masing kemasan untuk parameter perubahan volume dan kelarutan gas CO2

Suhu

(C) Kemasan

Volume gas CO2 Kelarutan gas CO2

nilai k nilai k

Selanjutnya untuk mengetahui kestabilan produk minuman berkarbonasi selama penyimpanan pada penelitian ini, hasil dari pengujian pada masing – masing parameter volume dan kelarutan gas CO₂ dilanjutkan dengan mencari hubungan nilai ln k dan 1/T dengan menggunakan data dari tabel 4.

(27)

14

Gambar 8. Hubungan antara nilai konstanta volume gas CO2(ln k) dengan suhu penyimpanan (1/T) untuk tiga jenis kemasan yang berbeda.

Gambar 9. Hubungan antara nilai konstanta kelarutan gas CO2(ln k) dengan suhu penyimpanan (1/T) untuk tiga jenis kemasan yang berbeda

Dari kedua persamaan yang dihasilkan pada gambar 8 dan gambar 9, dapat diketahui nilai energi aktivasi pada masing – masing kemasan. Nilai energi aktivasi ini dihasilkan dari perkalian antara nilai a (dari persamaan y = ax + b

pada gambar 8 dan gambar 9 dengan nilai konstanta gas (R)).

Untuk parameter volume gas CO2, kemasan kaleng memiliki energi aktivasi

sebesar 45,735 kJ/mol, kemasan gelas 47,323 kJ/mol dan kemasan plastik 46,133 kJ/mol seperti pada tabel 3. Energi aktivasi yang didapatkan pada

penelitian ini lebih tepatnya disebut sebagai stabilitas gas CO₂. Sedangkan untuk parameter kelarutan gas CO₂ kemasan kaleng menghasilkan energi aktivasi sebesar 16,117 kJ/mol, kemasan gelas 4,174 kJ/mol dan kemasan plastik 5,502 kJ/mol. Dari rerataan data yang didapatkan selama penelitian (seperti pada gambar 4) dan juga fenomena kemasan yang bocor pada saat disimpan selama 2 minggu disuhu inkubator (55²C) yang tidak diketahui penyebabnya serta hasil energi aktivasi yang tinggi dibandingkan dengan kedua kemasan yang lain maka parameter kelarutan gas CO2 tidak dipakai dalam penentuan waktu paruh produk minuman berkarbonasi.

0,003 0,0031 0,0032 0,0033 0,0034 0,0035 0,0036 0,0037

ln k

0,003 0,0031 0,0032 0,0033 0,0034 0,0035 0,0036 0,0037

ln k

1/T

(28)

Tabel 4. Nilai energi aktivasi minuman berkarbonasi pada ketiga kemasan.

Waktu paruh (t1/2) adalah waktu yang dibutuhkan agar konsentrasi gas CO2 pada produk yang digunakan dalam penelitian ini berkurang menjadi setengah (1/2) dari konsentrasi semula. Nilai k yang sudah didapat dari persamaan Arrhenius, kemudian digunakan untuk mendapatkan waktu paruh (t1/2) produk dengan menggunakan persamaan waktu paruh (pada persamaan 5). Waktu paruh masing – masing produk pada berbagai suhu penyimpanan ditabulasikan seperti pada tabel 4 berikut ini.

(29)

16

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari data awal pengukuran volume gas CO2 didapat bahwa kemasan plastik memiliki volume gas CO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan gelas dan kaleng. Selama penyimpanan, penurunan volume dan kelarutan gas CO2 plastik pada suhu yang sama berturut – turut adalah 200 (6,7 bulan) hari dan 104 hari (3,5 bulan).

Disamping itu, untuk parameter kelarutan gas CO2 dengan atau tanpa perlakuan pada hari ke 0 tidak ditemukan perbedaan yang jelas yang dialami disetiap kemasan yang diukur. Fluktuasi nilai awal didapatkan dari produsen yang mengakibatkan sulit menentukan apakah penurunan selalu terjadi selama penyimpanan atau tidak.

Saran

1. Untuk melihat kestabilan gas CO₂ selama penyimpanan, sebaiknya suhu penyimpanan minuman berkarbonasi tidak lebih dari 50⁰C dikarenakan fenomena yang terjadi pada kemasan kaleng pada saat penelitian ini dilakukan.

2. Parameter kelarutan gas CO2 sebaiknya tidak perlu diukur dikarenakan data yang didapatkan dengan atau tanpa perlakuan pengocokan tidak menunjukkan nilai yang signifikan yang bisa dijadikan menjadi suatu kesimpulan.

3. Untuk para produser minuman berkarbonat, jika ingin mengetahui kelarutan gas CO2, sebaiknya analisa titrasi dilakukan pada produk langsung tanpa melakukan pengocokan terlebih dahulu.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Achour M. 2005. A new method to assess the quality of food products during storage. Journal of Food Engineering 75 (2005) 500-564. Alain Savry, Tunisia. Arpah M. 2007. Penetapan kadaluarsa pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Ashurst PR. 2010. Carbonated Beverages. Elsevier Inc.

Barker GS, Jefferson B, Judd SJ. 2002. Domestic carbonation process optimization.Cranfield University, UK. Journal of Food Engineering, 52, 405-412.

Barker GS, Jefferson B, Judd SJ. 2002a. The control of bubble size in carbonated beverages. Chemical engineering science, 57, 565-573.

[BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2015. Peraturan Kepala BPOM tentang Kategori Pangan [internet]. [diacu 2015 Juni 15]. Tersedia dari:

http://www.pom.go.id/

Carrieri G, De-Bonis MV, Ruocco G. 2012. Modelling and experimental validation of mass transfer from carbonated beverages in polyethylene terepththalate bottles. Journal of Food Engineering 108 (2012) 570-578. Italy. [CCA] Coca-Cola Amatil Indonesia. 2015. A-Z tentang produk kami. [internet].

[diacu 2015 Juni 16]. Tersedia dari http://coca-colaamatil.co.id/

Coles R, McDowel D, Kirwan MJ. 2013. Food packaging technology. Blacwell Publishing Ltd.

Descoins C, Mathlouthi M, Moual ML, Hennequin J. 2004. Carbonation monitoring of beverage in a laboratory scale unit with online measurement of dissolved CO2. A paper in Food Chemistry. Elsevier accepted 25 November 2004.

Euromonitor International. 2016. Soft Drinks in Indonesia. [internet]. [diacu 2016 Juli 8]. Tersedia dari: http://euromonitor.com/soft-drinks-in-indonesia/report. Ghose P, Nair P. 2013. Packaging of carbonated beverages. International Journal

of Agriculture and Food Science Technology. ISSN 2249-3050, vol ke-4, number 5 (2013), pp. 421-430. Research India Publication.

Glevitzky, M, Bruturean GA, Perju D. 2005. Studies regarding the variation of carbon dioxide in certain carbonated beverages stored in polyethylene terepththalate bottles. Politehnica University of Timisoara, Department of Chemical Engineering. Romania Scientific Bulletin volume 50 (64), 1-2, 2005. Kicast D, Subramaniam P. 2011. Food and beverage stability and shelflife.

Woodhead Publishing Ltd.

Kusnandar F. 2012. Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode Accelerated Shelf-life Testing (ASLT). Artikel dalam Food Review Indonesia. Licciardello F, Coriolani C, Muratore G. 2010. Improvement of CO2 retention of

PET bottles for carbonated soft drinks. Special issue in Italian Journal of Food Science.

Liger-Belair G, Sternenberg G, Brunner S, Robillard B, Cilindre C. 2015. Bubble dynamics in various commercial sparkling bottled waters. Journal of Food Engineering 163 (2015) 60-70. France.

(31)

18

Profaizer M. 2007. Shelflife of PET bottles estimated via a finite elements. Method simulation of carbon dioxide and oxygen permeability. Journal of Italian Food and Beverage Technology – XLVII April edition.

Robertson GL. 2005. Food Packaging. Chapter 16. Shelf life of Packaged Food: Its measurement and estimation. Marcel Dekker, New York.

Robertson GL. 2010. Food Packaging. Principles and practice. Ed ke-3, CRC Press. Taylor and Francis group, New York.

Siracusa V. 2012. Food Packaging Permeabiliity Behaviour: A report. Department of Industrial and Mechanical Engineerinng, University f Catania. International Journal of Polymer Science. Vol 2012, Article ID 302029, DOI: 10.1155/2012/302029. Hindawi Publishing Corporation. Received 25 Nov 2011; Accepted 16 Feb 2012.

Statista. 2016. The Statistics Portal – global consumption of packed beverages by beverage type 2015 [internet]. [diacu 2016 Juni 14]. Tersedia dari: http://www.statista.com.

Shin J, Selke SEE. 2014. Food Processing, Principles and Application. Ed ke-2 chapter 11. Food Packaging, Wiley Blackwell.

Steen D, Ashurst PR. 2006. Carbonated Soft Drinks: Formulation and Manufacture. Blackwell publ.

Wujie, Zhufei, Xujing. 2011. The influence of Water Quality on Food Quality and the Treatment of Water for Food Processing. 3rd International Conference on Environmental Science and Information Application Technology (ESIAT 2011). Procedia Environmental Sciences 10 (2011) 2671-2676.

Zahrati Z, Aridinanti L. 2013. Penerapan Metode DMAIC di PT. Coca-Cola Bottling Indonesia Jawa Timur.

(32)
(33)

20

Lampiran 1 Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 6⁰C

Nomor batch BKS522:37 BKS501:50 BKS812:46 BKS822:15 SB3C17:43 BKS207:47

Kode

Produksi 2-Aug-16 12-Aug-16 8-Aug-16 8-Aug-16 30-Jan-16 21-Feb-16

0 1.803 1.805 1.552 1.523 2.614 2.817

30 1.787 1.787 1.616 1.503 2.707 2.763

60 1.757 1.757 1.565 1.488 2.606 2.613

90 1.682 1.674 1.481 1.441 2.509 2.483

120 1.682 1.589 1.426 1.424 2.161 2.076

Lampiran 2 Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 25⁰C Nomor batch BKS522:37 BKS501:50 BKS812:46 BKS822:15 SB3C17:43 BKS207:47

Kode

Produksi 2-Aug-16 12-Aug-16 8-Aug-16 8-Aug-16 30-Jan-16 30-Jan-16

(34)

Lampiran 3 Data awal hasil pengukuran volume gas CO2 pada suhu 55⁰C Nomor batch BKS516:19 BKS514:56 BKS812:46 BKS822:15 BKS207:45 BKS207:40

Kode

Produksi 10-Jun-16 10-Jun-16 8-Aug-16 8-Aug-16 21-Feb-16 21-Feb-16

0 2.442 2.365 1.795 1.235 3.895 3.396

Lampiran 4 Data awal hasil pengukuran kelarutan gas CO2 pada suhu 6⁰C

Lama Penyimpanan

(hari)

KALENG GELAS PLASTIK

Sample 1 Sample 2 Sample 1 Sample 2 Sample 1 Sample 2 Nomor batch BKS522:37 BKS501:50 BKS812:46 BKS822:15 SB3C17:43 BKS207:47

Kode

Produksi 2-Aug-16 12-Aug-16 8-Aug-16 8-Aug-16 30-Jan-16 21-Feb-16

0 1068.53 1068.53 987.53 987.53 1060.14 1057.02

30 1039.25 1053.89 966.06 973.38 1009.98 1017.30

60 995.34 995.34 922.15 922.15 973.38 966.06

90 944.11 944.11 888.56 888.56 919.38 919.38

(35)

22

Lampiran 5 Data awal hasil pengukuran kelarutan gas CO2 pada suhu 25⁰C Nomor batch BKS522:37 BKS501:50 BKS812:46 BKS822:15 SB3C17:43 BKS207:47

Kode

Produksi 2-Aug-16 12-Aug-16 8-Aug-16 8-Aug-16 30-Jan-16 21-Feb-16

0 1068.53 1061.21 928.54 928.54 1045.52 1053.89

Lampiran 6 Data awal hasil pengukuran kelarutan gas CO2 pada suhu 55⁰C Nomor batch BKS516:19 BKS514:56 BKS812:46 BKS822:15 BKS207:45 BKS207:40

Kode

Produksi 10-Jun-16 10-Jun-16 8-Aug-16 8-Aug-16 21-Feb-15 21-Feb-15

(36)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balige pada tanggal 25 September 1977 sebagai anak sulung dari pasangan Hisar Simanjuntak dan Hilderia Siahaan.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, lulus pada tahun 2000. Dan pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Magister Profesional Teknologi Pangan pada Program Pascasarjanan IPB.

Gambar

Gambar 3. Penurunan volume gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C (c)
Gambar 4. Penurunan kelarutan gas CO2 pada suhu 6⁰C (a), 25⁰C (b) dan 55⁰C
Gambar 5. Kemasan kaleng yang bocor pada suhu 55⁰C selama 2 minggu.
Gambar 6: Kurva penentuan reaksi orde nol pada produk yang disimpan di suhu
+4

Referensi

Dokumen terkait

Diinformasikan kepada seluruh jemaat bahwa penyampaian persembahan dapat melalui transfer bank atau melalui scan QR dengan menginformasikan peruntukan dari persembahan kepada

Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar http://ejournal.uhnsugriwa.ac.id/index.php/ppg Volume. Orang dengan gaya belajar ini mampu memahami sesuatu lebih baik

Jika dibandingkan dengan cara pemindahan tanah yang lain, pada tahap-tahap tertentu cara gali/ angkut menggunakan Buldoser tidak selalu ekonomis; penggunaan Buldoser

Untuk keperluan tersebut, perlu diteliti kapasitas aliran (debit) dan ketinggian air jatuh (head) dari Sungai Kelampuak sehingga nantinya dapat diperkirakan potensi

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kemampuan pemahaman konsep matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model MEA (Means-End Analysis) disertai

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik

Tesis dengan judul ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KOMODITAS BAWANG MERAH DI KABUPATEN KEDIRI adalah hasil karya saya, dan dalam naskah

Gambar di samping ini mengisahkan Medi sedang berdiri tegak di titik A dan melihat ujung antena C dengan sudut elevasi 30°A. Jarak Medi ke pangkal antena B