• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maskulinisasi Belut Sawah Monopterus albus melalui penyuntikan 17a-metiltestosteron dan peningkatan suhu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Maskulinisasi Belut Sawah Monopterus albus melalui penyuntikan 17a-metiltestosteron dan peningkatan suhu"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

MASKULINISASI BELUT SAWAH

Monopterus albus

MELALUI PENYUNTIKAN

17α

-METILTESTOTERON

DAN PENINGKATAN SUHU

LILIS DESMAWATI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Maskulinisasi Belut Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan Peningkatan Suhu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

LILIS DESMAWATI. Maskulinisasi Belut Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan Peningkatan Suhu. Dibimbing oleh HARTON ARFAH dan DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Belut sawah (Monopterus albus) merupakan ikan hermaprodit protogini dengan peralihan kelamin dari betina, interseks menjadi jantan. Penelitian ini bertujuan mengarahkan kelamin menjadi jantan pada belut sawah melalui induksi

17α-metiltestosteron (MT) dan peningkatan suhu. Perlakuan dirancang secara faktorial dengan dua perlakuan yaitu dosis 17α-metiltestosteron (0 dan 50 mg/kg ikan) dan suhu (ruang dan 32 oC). Setiap perlakuan digunakan 15 ekor belut sawah, dengan kisaran panjang 26,01±2,23 cm dan bobot 13,67±4,31 g. Induksi hormon MT diberikan melalui penyuntikan intramuskuler sekali dosis per minggu sebanyak 5 kali, sedangkan perlakuan suhu diberikan selama 6 minggu. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan MT pada suhu ruang (B) menghasilkan belut sawah jantan 50% serta interseks 50% dan pada suhu 32 oC (D) diperoleh 100% interseks, sedangkan perlakuan tanpa MT pada suhu 32 oC (C) menghasilkan 57,15% interseks serta 42,85% betina, dan pada kontrol (A) menghasilkan 28,57% interseks dan 71,43% betina. Induksi MT 50 mg/kg pada suhu ruang mampu mengarahkan kelamin jantan belut sawah pada ukuran panjang 24,6-26,2 cm. Kata kunci: belut sawah, Monopterus albus, 17α-metiltestosteron, suhu, jantan

ABSTRACT

LILIS DESMAWATI. Masculinization of the Ricefield Eel Monopterus albus by injection of 17α-metiltestosteron and Increased Temperature. Supervised by HARTON ARFAH and DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Ricefield eel (Monopterus albus) is hermaphrodite protoginy fish with the sex change from female, interseks and male. This study aimed to stimulate of sex change to obtain male ricefield eel by injection 17α-metiltestosteron (MT) and increased temperature. The treatment is designed factorial with two treatments,

17α-methyltestosterone doses (0 and 50 mg/kg body weight) and temperature (room and 32 ° C). Each treatment consisted of 15 ricefield eel, with average body length 26,01±2,23 cm and weight of 13,67±4,31 g. Induced MT hormone with intramuscular method once dose every week as much as five weeks, whereas the induction temperature treatment as long as six weeks. The results treatment MT and in room water temperature (B) showed 50% male, 50% intersexes, and temperature at 32oC (D) showed 100% intersexes, whereas the treatment without MT added and temperature at 32 oC (C) showed 57,15% intersexes, 42,85% female, and then control treatment (A) showed 28,57% intersexes and 71,43% female. Induced MT 50 mg/kg body weight capable to direction male ricefield eel at the body length24,6-26,2 cm.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Budidaya Perairan

MASKULINISASI BELUT SAWAH

Monopterus albus

MELALUI PENYUNTIKAN

17α

-METILTESTOTERON

DAN PENINGKATAN SUHU

LILIS DESMAWATI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Maskulinisasi Belut Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan Peningkatan Suhu” ini berhasil diselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ir Harton Arfah, MSi dan Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan dukungan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini,

2. Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku dosen pembimbing akademik dan penguji skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan sarjana di Departemen Budidaya Perairan. 3. Bapak Ranta, Mbak Lina, Kang Abe, Bapak Arman, dan Bapak Henda yang

telah banyak membantu pelaksanaan penelitian,

4. Keluarga tercinta, Bapak Muhyidin, Ibu Rumiyati, Mbak Eka, Titik, Wiwin, Putra, dan Nail atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan baik secara materi maupun moril,

5. Teman-teman seperjuangan PBI 47 dan BDP 47 yang telah banyak membantu terutama Cindy, Fira, Dian, Dita, Evi, Alit, Rere, Aslia, Saki, Ina, Kurdi, Ryan, Dea, dan Euis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis, ilmu pengetahuan, masyarakat, dan seluruh pihak yang membutuhkan

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL………ix

DAFTAR GAMBAR………...ix

DAFTAR LAMPIRAN………....ix

PENDAHULUAN………... ..1

Latar Belakang………... ..1

Tujuan Penelitian……….. 2

METODE……… .2

Materi Uji……… .2

Ikan Uji ……….2

Persiapan Hormon ………2

Rancangan Penelitian ………...2

Prosedur Penelitian ………..3

Persiapan Wadah dan Pemeliharaan Ikan ……….3

Perlakuan Maskulinisasi ………...3

Pengelolaan Kualitas Air ...………...3

Parameter Penelitian ……….4

Indeks Kematangan Gonad ………...4

Histologi Gonad dan Identifikasi Status Kelamin ………4

Penambahan Bobot Mutlak ………4

Penambahan Panjang Mutlak ………..5

Tingkat Kelangsungan Hidup ………...5

Analisis Data ………...……….5

HASIL DAN PEMBAHASAN ………5

Hasil ……….5

Morfologi Gonad ………..5

Indeks Kematangan Gonad ………...6

Histologi Gonad ………7

Jenis Kelamin Belut Sawah…………..……….8

Pertambahan Bobot Mutlak …..………9

Pertambahan Panjang Mutlak ...………9

Tingkat Kelangsungan Hidup ……….10

Pembahasan ………10

KESIMPULAN DAN SARAN ……….13

Kesimpulan ….………13

Saran ………..13

DAFTAR PUSTAKA ………14

LAMPIRAN ………...16

(10)

DAFTAR TABEL

1. Panjang dan bobot rata-rata awal belut sawah………... 2 2. Nilai kualitas air pemeliharaan belut sawah………... 4

3. Jenis kelamin belut sawah hasil pengamatan histologi gonad………. 8

4. Persentase jenis kelamin dan rata-rata panjang tubuh belut sawah pada minggu ke-6 pasca induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu….…………... 9

DAFTAR GAMBAR

1. Gonad belut sawah minggu ke-0 dan minggu ke-6 pada induksi maskulinisasi

dengan MT dan suhu………... 6

2. Indeks kematangan gonad belut sawah minggu ke0-6 pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)………... 7 3. Histologi gonad belut sawah pada diinduksi maskulinisasi dengan MT dan

suhu: M (minggu), IM (telur immature), MI (telur maturing), OA (oosit atresia), sg (spermatogonia), sc (spermatosit), sd (spermatid), sz

(spermatozoa)………..….…………... 7

4. Bobot mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)……… 9 5. Panjang mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu:

A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)……… 10 6. Tingkat kelangsungan hidup belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan

MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu

32oC)………...… 10

DAFTAR LAMPIRAN

1. Wadah pemeliharaan belut sawah: (A) tanpa peningkatan suhu dan (B)

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Belut sawah Monopterus albus merupakan hewan hermaprodit protogini dengan peralihan kelamin dari betina, interseks kemudian jantan. Secara alami peralihan kelamin belut dari betina ke jantan dimulai setelah belut mengalami pemijahan, diikuti dengan menghilangnya jaringan ovari dan terbentuknya sel interstitial (Leydig) (Chan & Philips 1967). Jenis kelamin belut diperkirakan sangat berkaitan dengan panjang tubuhnya. Belut sawah dengan panjang tubuh >35 cm telah mengalami perubahan menjadi jantan (Chan & Philips 1967; Riani & Ernawati 2004).

Masa diferensiasi belut sawah menjadi jantan belum diketahui secara pasti sehingga menjadi kendala ketersediaan sinkronisasi kelamin jantan dan betina yang matang untuk proses reproduksi. Upaya untuk memperoleh kepastian fase peralihan kelamin belut menjadi jantan dapat dilakukan menggunakan teknologi sex reversal. Sex reversal pada belut sawah dapat diarahkan melalui dua mekanisme yaitu hereditas dan faktor lingkungan (Gong et al. 2011). Faktor lingkungan yang dapat digunakan sebagai pengalihan kelamin yaitu eksogenus steroid berupa 17α-metiltestosteron dan suhu lingkungan. 17α-metiltestosteron (MT) merupakan hormon sintetis dengan sisi atom karbon ke-17 dalam gugus testosteron ditempeli gugus metil agar lebih tahan lama di dalam tubuh ikan (Zairin 2002). Implantasi MT 150 µg/kg pakan dapat meningkatkan kadar hormon testosteron dalam plasma darah ikan belida Notopterus chilata (Pamungkas 2006). Kenaikan kadar testosteron pada gonad dapat merangsang diferensiasi gonad dan spermatogenesis (Yamazaki 1983).

Hormon 17α-metiltestosteron yang masuk ke tubuh ikan mampu memberikan rangsangan balik terhadap hypotalamus untuk memacu produksi GnRH selanjutnya merangsang hipofisa melepas gonadotropin (Sumantadinata 1997). Peningkatan hormon gonadotropin (FSH dan LH) akan mempercepat pematangan telur pada gonad belut sehingga memungkinkan terjadinya proses interseks. Aplikasi MT dapat dilakukan melalui pakan, perendaman, dan suntikan atau implantasi. Perendaman induk ikan gapi Poecilia reticulata Peters dalam larutan MT 2 mg/l selama 24 dan 48 jam menghasilkan anak berfenotip jantan sebesar 100% (Zairin et al. 2002). Induksi MT 5 mg/kg bobot juvenil kerapu lumpur Ephinephelus suillus sebanyak 12 kali suntikan mengaktifkan proses spermatogenesis pada gonad (Tan-Fermin et al. 1994), serta implantasi gabungan androgen (MT, 11-Ketotestoteron, dan Testoteron Propionate) dengan dosis 1000 µg/kg bobot Epinephelus coioides mempengaruhi peralihan kelamin ke arah jantan bahkan menjadi jantan fungsional (Shinn-Lih et al. 2003).

Suhu sebagai stimulus eksternal dapat menggerakkan waktu sintesis dan sekresi hormon melalui sumbu otak (hypotalamus)-pituitary-gonad (Levy et al. 2011). Perubahan suhu lingkungan mempengaruhi produksi kadar testosteron,

(12)

2

menunjukkan kadar testosteron lebih besar dibandingkan kontrol, bahkan terdapat individu interseks hingga 83,33% (Syahputra 2014).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah merangsang peralihan kelamin belut sawah untuk mendapatkan belut sawah jantan pada umur dan ukuran yang sesuai melalui induksi 17α-metiltestoteron (MT) dan suhu.

METODE

Materi Uji

Ikan Uji

Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah diperoleh dari hasil tangkapan didaerah Sukabumi. Panjang rata-rata dan bobot rata-rata belut sawah yang digunakan perperlakuan disajikan pada Tabel 1. Jumlah ikan yang digunakan setiap perlakuan yaitu 15 ekor. Sebelum diberi perlakuan, ikan diadaptasikan pada lingkungan pemeliharaan secara terkontrol selama 1,5 bulan dan diberi pakan cacing sutra.

Tabel 1 Panjang dan bobot rata-rata awal belut sawah

Perlakuan Panjang rata-rata (cm) Bobot rata-rata (gram) A (tanpa MT dan suhu ruang) 26,29±2,07 15,09±4,75 B (MT 50* dan suhu ruang) 26,06±1,75 12,97±4,01 C (tanpa MT dan suhu 32oC) 25,77±1,69 13,02±3,78 D (MT 50* dan suhu 32oC) 26,23±2,32 13,45±4,60

*mg/kg bobot belut

Persiapan Hormon

Hormon yang digunakan dalam penelitian berupa hormon sintetis 17α -metiltestosteron. Hormon 17α-metiltestosteron 100 mg dilarutkan dalam 1 ml alkohol 70%, kemudian diencerkan dengan 9 ml minyak zaitun sehingga kadar alkohol menjadi 7%.

Rancangan Penelitian

(13)

3 Perlakuan A : Tanpa 17α-metiltestosteron dan suhu ruang (28-29 oC)

Perlakuan B : 17α-metiltestosteron 50 mg/kg dan suhu ruang (28-29 oC) Perlakuan C : Tanpa 17α-metiltestosteron dan suhu 32 oC

Perlakuan D : 17α-metiltestosteron 50 mg/kg dan suhu 32 oC

Prosedur Penelitian

Persiapan Wadah dan Pemeliharaan Ikan

Wadah yang digunakan berupa 4 buah akuarium berukuran 80x40x40 cm3. Sebelum digunakan akuarium terlebih dahulu dibersihkan menggunakan sabun kemudian dibilas bersih. Selanjutnya akuarium dicuci kembali dengan klorin (N3OCl) dengan dosis 1000 ppm lalu dibilas hingga bersih. Sterilisasi juga

dilakukan pada peralatan yang akan digunakan seperti selang aerasi, pipa paralon, dan batu aerasi. Semua sisi akuarium ditutup dengan plastik hitam, selain itu setiap akuarium diberi shelter sebanyak 2 buah, berupa pipa paralon berdiameter 2 inci dan panjang 20 cm. Setelah siap akuarium diisi air setinggi 10 cm kemudian dipasang aerator dan heather sesuai suhu perlakuan (Lampiran 1). Sebelum perlakuan ikan dipelihara selama 1,5 bulan untuk adaptasi lingkungan. Kemudian ikan dipindahkan pada wadah sesuai perlakuan dengan masing-masing perlakuan 15 ekor. Perlakuan ini berlangsung selama 6 minggu. Selama pemeliharaan belut diberi pakan cacing sutra dua kali sehari pada pagi dan sore hari dengan metode pemberian ad satiation yaitu selalu tersedia pakan dalam wadah.

Perlakuan Maskulinisasi

Sebelum disuntik, belut dipingsankan menggunakan stabilizer dengan cara merendam belut pada dosis 1 ml/l air selama ± 20 menit. Setelah pingsan belut ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram dan diukur panjang tubuhnya menggunakan penggaris 30 cm dengan ketelitian 0,1 cm. Kemudian belut disuntik secara intramuskuler baik tanpa pemberian MT maupun dengan pemberian MT. Belut sawah tanpa perlakuan MT disuntik dengan larutan fisiologis (NaCl) dengan dosis 3 ml/kg bobot belut, sedangkan perlakuan MT disuntik dengan MT dengan dosis 50 mg/kg bobot belut. Penyuntikan dilakukan menggunakan syringe berukuran 0,5 ml dengan jarum berukuran 0,3 mm x 8 mm. Ikan disuntik satu kali dalam seminggu sebanyak 5 kali yaitu pada minggu ke-0, 1, 2, 3, dan 4. Setelah disuntik, ikan disadarkan kembali dengan meletakkan ke dalam akuarium yang diberi aerasi kuat. Kemudian masing-masing media pemeliharaan yang diberi el bayu sebanyak 3 mg/L air untuk mempercepat penyembuhan luka.

Pengelolaan Kualitas Air

Pengecekan kualitas air seperti suhu, DO, pH, NH3, dan nitrit dilakukan

(14)

4

aerasi untuk menambah oksigen dalam air. Hasil pengelolaan kualitas air selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai kualitas air pemeliharaan belut sawah

Parameter kualitas air Media A Media B Media C Media D Suhu (oC) 27,5-28,5 28,0-29,5 32,0-33,0 32,0-33,0

DO (mg/L) 5,2-6,0 4,7-6,1 5,1-5,8 4,9-5,8

pH 6,98-8,01 6,91-7,90 6,56-7,67 6,16-7,86

Nitrit (mg/L) 0,13-1,48 0,22-0,74 0,4-0,72 0,51-1,02 NH3 (mg/L) 0,006-0,010 0,005-0,088 0,003-0,082 0,001-0,013

Parameter Penelitian

Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad merupakan sebuah nilai perbandingan antara berat gonad dengan keseluruhan bobot tubuh ikan. Pengamatan IKG ini dilakukan pada minggu ke-0, 2, 4, dan 6. Rumus IKG menurut Crim et al. (1988) adalah sebagai berikut:

IKG = Wg

W × 100% Keterangan:

IKG : Indeks Kematangan Gonad (%) Wg : Bobot gonad (gram)

W : Bobot tubuh ikan (gram)

Histologi Gonad dan Identifikasi Status Kelamin

Histologi gonad belut melalui tahapan fixation, decalcification, bleaching, embedding, sectioning, staining, dan mounting yang mengacu pada metode Gunarso (1989) (Lampiran 2). Histologi gonad dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4 sebanyak 3 ekor untuk masing-masing perlakuan, kemudian pada minggu ke-6 semua ikan uji yang tersisa di histologi. Berdasarkan hasil histologi yang diperoleh dapat diketahui status kelamin belut (betina, interseks, dan jantan), persentase jenis kelamin belut dapat dihitung melalui rumus:

Persentase Jenis Kelamin (b,i,j) = Jumlah Ikan (b,i,j)

Jumlah ikan diamati × 100% Keterangan:

b : betina i : interseks j : jantan

Penambahan Bobot Mutlak

(15)

5 Bm =Bt - B0

t Keterangan :

Bm : Bobot mutlak (gram/hari)

Bt : Bobot rata-rata pada akhir pemeliharaan (gram) B0 : Bobot rata-rata awal pemeliharaan (gram) t : Waktu pemeliharaan (hari)

Penambahan Panjang Mutlak

Panjang tubuh belut diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 cm. Penambahan panjang mutlak dihitung dengan rumus:

Pm = Pt – P0 Pm : Panjang mutlak (cm)

Pt : Panjang rata-rata pada akhir pemeliharaan (cm) P0 : Panjang rata-rata awal pemeliharaan (cm)

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup (TKH) dihitung dengan rumus: TKH=Nt

N0 x 100%

Keterangan:

TKH : Tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt : Jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) N0 : Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)

Analisis Data

Data hasil pengamatan indeks kematangan gonad (IKG), pertambahan bobot mutlak dan panjang mutlak dianalisis menggunakan SPSS16.0 dengan taraf kepercayaan 95%. Sedangkan, hasil pengamatan histologi gonad, persentase jenis kelamin, dan tingkat kelangsungan hidup (TKH) dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Morfologi Gonad

(16)

6

transparan (Gambar 1). Volume gonad belut pada minggu ke-0 lebih berisi dibadingkan gonad di minggu ke-6. Gonad belut sawah terbagi menjadi 2 bagian yaitu bagian berkembang dan tidak berkembang (rudimeter).

Gambar 1 Gonad belut sawah minggu ke-0 dan minggu ke-6 pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32 oC), D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32 oC), M (minggu)

Indeks Kematangan Gonad

Pola Indeks kematangan gonad (IKG) belut sawah pada umumnya menurun pada minggu ke-2 kemudian meningkat pada minggu ke-4 IKG dan menurun kembali pada minggu ke-6, kecuali pada perlakuan MT dan suhu 32oC (D), IKG meningkat pada minggu ke-2 kemudian menurun sampai minggu ke-6 (Gambar 2). Akan tetapi, nilai IKG minggu ke-6 semua perlakuan secara statistik tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) (Lampiran 3).

rudimeter

M0

A M6

C M6

B M6

(17)

7

Gambar 2 Indeks kematangan gonad belut sawah minggu ke0-6 pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)

Histologi Gonad

Hasil histologi perkembangan gonad belut sawah pada pengamatan minggu ke0-6 pada perlakuan induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu di sajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Histologi gonad belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (betina), B (interseks), C (jantan), IM (telur immature), MI (telur maturing), OA (oosit atresia), sg (spermatogonia), sc (spermatosit); sd (spermatid), sz (spermatozoa)

Histologi gonad belut sawah menunjukkan tiga tipe gonad yaitu betina, interseks, dan jantan. Gonad belut sawah betina terdapat oosit dengan beberapa

(18)

8

tahap perkembangan telur yaitu immature (IM) dan maturing (MI). Gonad belut sawah interseks terdapat perkembangan oosit dan spermatogenesis. Pada individu interseks telah terbentuk spermatogonia (sg) dan spermatosit (sc), serta peluruhan telur atau oosit atresia (OA). Pada gonad belut sawah jantan sudah tidak terdapat oosit bahkan telah terbentuk spermatozoa (sz) yang telah matang.

Jenis Kelamin Belut Sawah

Berdasarkan hasil histologi gonad yang dilakukan maka dapat ditentukan jenis kelamin belut sawah. Pada minggu ke-0 belut sawah yang digunakan berjenis kelamin betina, setiap dua minggu sekali jenis kelamin belut diperiksa kembali. Jenis kelamin belut sawah selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Pada perlakuan kontrol (A) sampai minggu ke-4 belut sawah masih berkelamin betina, namun pada minggu ke-6 telah terdapat individu interseks. Pada perlakuan MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang (B) individu interseks terdapat sejak minggu ke-2, selanjutnya pada minggu ke-6 diperoleh individu jantan. Pada perlakuan tanpa MT dan suhu 32oC (C) individu interseks mulai diperoleh minggu ke-4 bahkan juga terdapat individu jantan. Akan tetapi, pada minggu ke-6 tidak diperoleh individu jantan melainkan betina dan interseks. Pada perlakuan MT dan suhu 32oC (D) individu interseks diperoleh sejak minggu ke-2, namun sampai minggu ke-6 tidak terjadi inisiasi perubahan kelamin menjadi jantan.

Tabel 3 Jenis kelamin belut sawah hasil pengamatan histologi gonad Perlakuan Minggu

* jumlah ikan (ekor), ** mg/kg bobot belut

(19)

9

Tabel 4 Persentase jenis kelamin dan rata-rata panjang tubuh belut sawah pada minggu ke-6 pasca induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu

Perlakuan

Penambahan bobot mutlak belut sawah antar perlakuan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 4) yaitu berkisar 0,0079-0,0150 gram/hari (Gambar 4).

Gambar 4 Bobot mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)

Penambahan Panjang Mutlak

Penambahan panjang mutlak antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 5) yaitu berkisar 0,12-0,53 cm (Gambar 5).

(20)

10

Gambar 5 Panjang mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup belut yang diinduksi hormon MT (perlakuan B dan D) lebih rendah dibandingkan tanpa induksi MT (perlakuan A dan C), sedangkan suhu 32oC menekan kelangsungan hidup belut yang diinduksi hormon MT (D) dibandingkan tanpa MT (C) (Gambar 6).

Gambar 6 Tingkat kelangsungan hidup belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC).

Pembahasan

Perubahan kelamin belut sawah (Monopterus albus) secara berurutan yaitu juvenile hermaprodit, betina fungsional, interseks (peralihan), kemudian jantan

(21)

11 fungsional. Perubahan secara alami dari betina ke jantan terjadi setelah belut mengalami pemijahan, diikuti dengan menghilangnya jaringan ovari dan terbentuknya sel interstitial (Leydig) (Chan & Philips 1967). Gonad belut sawah terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang berkembang dan tidak berkembang (rudimeter) (Gambar 1). Hewan hermaprodit yang berurutan baik protogini maupun protandri, sejak awal diferensiasi gonad, jaringan ovarian dan testikular yang rudimeter (sangat kecil) telah ada di setiap ekor ikan (Sjafei et al. 1993).Posisi rudimeter tidak berubah baik telah atau belum matang gonad yaitu di rongga perut sebelah kiri (Bachri 2000).

Indeks kematangan gonad belut sawah tidak berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan (Lampiran 3) dan cenderung menurun pada akhir pemeliharaan (Gambar 2). Nilai IKG tidak berbeda nyata diduga karena semua perlakuan mengalami peralihan kelamin (interseks) sehingga IKG menurun. Penurunan nilai IKG dikarenakan adanya telur atresia (luruh), sedangkan kenaikan IKG karena perkembangan oosit telur. Atresia merupakan suatu proses degenaratif dari folikel-folikel ovari yang hilang atau penyerapan oosit vitelogenik pada saat sebelum ovulasi (Santos et al. 2008). Penurunan bobot gonad pada hewan hermaprodit menunjukkan perubahan dari ovarium menuju perkembangan testes. Morfologi gonad pada minggu ke-0 dan minggu ke-6 terlihat berbeda (Gambar 1). Pada minggu ke-0 gonad masih berisi telur dan berwarna kuning, sedangkan di minggu ke-6 tidak terlihat telur dan warna transparan. Perubahan morfologi ini menunjukkan degenerasi gonad. Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa degenerasi gonad dari ovarium yang mengarah pada perkembangan testis mengakibatkan penurunan bobot gonad dan mengarah pada penurunan IKG (Gong et al. 2011; Garcia et al.2013).

Masa transisi atau interseks pada belut sawah diketahui dengan munculnya jaringan testes (spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan spermatozoa) serta menghilangnya jaringan ovarium (oosit atresia) pada gonad (Gambar 3). Ikan hermaprodit protogini ketika masih muda gonadnya memiliki daerah testes dan ovarium, setelah jaringan ovarium berfungsi dan dapat mengeluarkan telur akan terjadi masa transisi yaitu membesarnya jaringan testes dan mengecilnya ovarium (Effendie 1997). Secara morfologi belut sawah yang berjenis kelamin betina punggung berwarna coklat kehitaman, perut kekuningan, kepala kecil dan ekor panjang dengan ujung meruncing. Sedangkan berjenis kelamin jantan punggung berwarna coklat kehijauan, perut kuning kecoklatan, kepala besar, dan ekornya agak pendek dengan bagian ujung tumpul.

Belut sawah yang mengalami transisi kelamin (interseks) tanpa perlakuan MT pada suhu kamar (kontrol) diduga berumur lebih tua dibandingkan belut sawah pada kelompok perlakuan lainnya. Belut sawah yang digunakan berasal dari hasil tangkapan di alam sehingga tidak dapat diketahui keseragaman umur belut sawah yang digunakan, meskipun diperoleh ukuran yang seragam. Perubahan kelamin belut sawah berkaitan dengan panjang tubuhnya dan umur belut sawah (Riani & Ernawati 2004). Berdasarkan berbagai penelitian belut sawah jantan memiliki panjang >35 cm (Chan & Philips, 1967; Sarwono, 1999; Riani & Ernawati, 2004).

(22)

12

meningkatkan kadar testosteron pada gonad. Kadar testosteron yang meningkat ini akan mempengaruhi determinasi kelamin belut sawah ke arah jantan. Peningkatan testosteron pada hewan hermaprodit protogini secara alami terjadi ketika pergantian kelamin. Menurut Chan dan Phillips (1969) sekresi estradiol secara alami pada belut sawah lebih banyak diproduksi pada fase betina sedangkan sekresi testosteron lebih banyak diproduksi pada fase jantan. Sehingga pemberian MT tersebut dapat meningkatkan testosteron kemudian terjadi determinasi kelamin belut sawah ke arah jantan. Selain itu, Perubahan kelamin pada ikan hermaprodit protogini dikontrol oleh hormon gonadotropin melalui poros hypotalamus-pituitari-gonad (Garcia et al. 2013). Hormon 17α-metiltestoteron yang masuk ke tubuh ikan mampu memberikan rangsangan balik terhadap hypotalamus untuk memacu produksi GnRH selanjutnya merangsang hipofisa melepas gonadotropin (Sumantadinata 1997). Gonadotropin akan memproduksi testosteron dan 17β-estradiol yang berfungsi dalam perkembangan gonad. Selain itu, peningkatan hormon gonadotropin (FSH dan LH) akan mempercepat pematangan telur pada gonad belut sawah selanjutnya ke tahap peralihan kelamin (interseks).

Perlakuan suhu 32oC baik tanpa pemberian MT maupun dengan pemberian MT hanya mendapatkan individu interseks. Perlakuan tanpa MT pada suhu 32 oC (C) menghasilkan 57,15% interseks dan perlakuan MT pada suhu 32 oC (D) menghasilkan 100% interseks. Secara alamiah perubahan lingkungan seperti suhu diterima oleh organ perasa yang meneruskan ke sistem saraf pusat (hypotalamus), kemudian hypotalamus melepaskan GnRH (gonadotropin releasing hormone) yang bekerja merangsang kelenjar hipofisa untuk melepaskan GTH (gonadotropin) (Sumantadinata 1997). Sebagai stimulus eksternal suhu dapat menggerakkan waktu sintesis dan sekresi hormon dalam hypotalamus (Levy et al. 2011), selain itu dapat mempengaruhi produksi testosteron, 17β-estradiol, dan enzim aromatase pada gonad (Athauda et al. 2012).

Meskipun perlakuan suhu 32oC menghasilkan >50% interseks, perlakuan ini dinyatakan belum mampu mempercepat alih kelamin belut sawah. Perubahan suhu lingkungan bekerja merangsang kelenjar hipofisa untuk melepaskan GTH (gonadotropin) bukan menghambat enzim aromatase, sehingga testosteron yang terbentuk tetap diubah menjadi estradiol. Hal ini telah diperiksa oleh Syahputra (2014) bahwa pemeliharaan belut sawah pada suhu 32oC, hanya mampu menaikkan konsentrasi testosteron plasma ketika terjadi kejut suhu dari keadaan alami, selanjutnya konsentrasi menurun sampai akhir perlakuan, sedangkan konsentrasi estradiol plasma stabil sampai akhir pemeliharaan. Begitu pula dengan pemberian hormon MT pada suhu 32oC (D) tidak menghasilkan individu jantan diduga karena kadar testosteron pada gonad tidak lebih tinggi dari kadar estradiol karena kerja suhu yang meningkatkan GTH tanpa menghambat kerja enzim aromatase.

(23)

13 pada media air jernih menunjukkan respon stres tinggi dilihat dari peningkatan glukosa darah. Stres pada ikan menyebabkan pertumbuhan terhambat berkaitan dengan nafsu makan ikan menurun (Handajani dan Widodo 2010). Selain faktor stres, pertumbuhan belut sawah relatif lambat sehingga pemeliharaan selama 42 hari belum cukup untuk menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Khan dan Ngan (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan belut sawah dari 25 gram ke ±190 gram per individu membutuhkan waktu selama 6 bulan.

Kelangsungan hidup belut sawah yang diberi perlakuan hormon (C dan D) menunjukkan hasil rendah yaitu <50%, sedangkan kelangsungan hidup belut sawah tanpa perlakuan hormon (A dan B) >50% (Gambar 6). Rendahnya kelangsungan hidup belut sawah diduga efek paradoksial hormon MT karena penggunaan dosis atau lama pemberian belum tepat. Hunter dan Donaldson (1983) menyatakan bahwa fenomena paradoksial dapat terjadi karena penggunaan dosis hormon yang berlebihan yang berakibat meningkatnya mortalitas, menurunnya tingkat pertumbuhan, bahkan menyebabkan ikan menjadi steril.

Dosis MT yang efektif dan efisien untuk maskulinisasi belut sawah belum diketahui. Penggunaan MT pada belut sawah yang telah dilakukan oleh Tang et al. (1974) dengan dosis 4 dan 8 mg/kg melalui injeksi 2 minggu sekali selama 8 minggu juga belum dapat mengubah kelamin ke arah jantan. Pada kasus ini, metiltestosteron yang diberikan pada Monopterus albusi tidak signifikan meningkatkan proses sex reversal, sedangkan adanya peningkatan spermatogenesis terjadi karena proses alami dari perubahan kelamin belut sawah (Tang et al. 1974).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Induksi 17α-metiltestosteron 50 mg/kg pada suhu ruang mampu mengarahkan kelamin jantan belut sawah pada ukuran panjang 24,6-26,2 cm. Peningkatan suhu media belum mampu menjadi sinyal lingkungan yang dapat mengubah kelamin belut sawah menjadi jantan.

Saran

(24)

14

DAFTAR PUSTAKA

Alit IG. 2009. Pengaruh padat penebaran terhadap pertambahan berat dan panjang badan belut sawah (Monopterus albus). Jurnal Biologi. XIII (1): 25-28

Arfah H, Mariam S, dan Alimuddin. 2005. Pengaruh suhu terhadap reproduksi dan nisbah kelamin ikan gapi (Poecillia reticulata Peters). Jurnal Akuakultur Indonesia. 4 (1): 1-4

Athauda S, Anderson T, Nys Rd. 2012. Effect of rearing water temperature on protandrous sex inversion in cultured asian seabass (Lates calcalifer). General and Comperative Endriconology. 175: 416-423

Bahri F. 2000. Studi Mengenai Aspek Biologi Ikan Belut Sawah (Monopterus

Chan STH, Phillips JG. 1969. The Biosynthesis of Steroids by the Gonads of the Ricefield Eel Monopterus albus at Various Phases During Natural Sex reversal. General and Comparative Endocrinology. 12: 619–636

Crim LW, Shenwood NM, Wilson CE. 1988. Sustained Hormon Release II, Effectiveness of LHRH analog (LHRHa) Administration by Either Single Time Injection or Cholesterol Pellet Implantation on Plasma Gonadotropin Levels in a Bioassay Model Fish The Juvenile Rainbow Trout. Aquaculture. 74:87-95

Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor

Garcia CEO, Bruno CA, Paulo HM, Amanda MN, Jandir ARF, Andreone TM, Ricardo AZ, Lucile MFW, Renata GM. 2013. Involvement of Pituitary Gonadotropins, Gonadal Steroids and Breeding Season in Sex Change of Protogynous Dusky Grouper, Epinephelus marginatus (Teleostei: Serranidae), Induced by a Non-Steroidal Aromatase Inhibitor. General and Comparative Endocrinology. 192: 170-180

Gong S, Goubin Z, Lei Z, Yongchao Y, Hanwen Y. 2011. Effects of Estradiol Valerate on Steroid Hormones and Sex Reversal of Female Rice Field Eel, Monopterus albus (Zuiew). Journal of World Aquaculture Society. 42: 96-104 Gunarso W. 1989. Mikroteknik. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor Handajani H, Widodo W. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press. Malang

Hunter GA, Donaldson, EM. 1983. Hormonal sex control and its application to fish culture. pp. 223-303. In Fish Physiology. W.S. Hoar and D.J. Randall (Eds.). Vol. IX. Academic Press. New York

Khanh NH, Ngan HTB. 2010. Current Practices of Rice Field Eel Monopterus Albus (Zuiew, 1793) culture in Viet Nam. Research institute for Aquaculture. Vol XV (3) : 26-29

Levy G, David D, Degani G. 2011. Effect of environmental temperature on growth-and reproduction-related hormones gene expression in the female blue gourami (Trichogaster tricopterus). Comparative Biochemistry and Physiology. Part A 160: 381-389

(25)

15 chitala). Tesis. Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

Perdana BP. 2013. Kinerja Produksi Belut Monopterus albus pada Media Budidaya yang Berbeda. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Riani E, Ernawati Y. 2004. Hubungan perubahan jenis kelamin dan ukuran tubuh ikan belut sawah (Monopterus albus). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11 (2): 139-144

Shinn-Lih Y, Ching-Ming K, Yun-Yuan T, Ching-Fong C. 2003. The effect of exogenous androgens on ovarian development and sex change in female orange-spotted protogynous grouper, Epinephelus coioides. Aquaculture. 218: 729-739

Sjafei DS, Rahardjo MF, Affandi R, Brojo M, Sulistiono. 1993. Fisiologi Ikan II; Reproduksi Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Sumantadinata K. 1997. Prospek Bioteknologi dalam Pengembangan Akuakultur dan Pelestarian Sumberdaya Perikanan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Pemuliaan Ikan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor

Syahputra H. 2014. Maskulinisasi belut sawah (Monopterus albus) melalui induksi aromatase inhibitor dan suhu. Tesis. Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

Tan-Fermin JD, Garcia LMB, Castillo AR. 1994. Induction of sex inversion in juvenile grouper, Ephinephelus suillus (Valenciennes) by injection of 17α -methyltestoteron. Ichtyologi Journal. 40 (4): 413-420

Tang F, Chan STH, Lofts B. 1974. Effect of steroid hormones on the process of natural sex reversal in the rice-field eel, Monopterus albus (Zuiew). General and Comparative Endocrinology. 24: 227-241

Yamazaki F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture. 33: 329-354

Zairin M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Depok

(26)

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Wadah pemeliharaan belut sawah: (A) tanpa peningkatan suhu dan (B) dengan peningkatan suhu

Lampiran 2 Histologi Gonad mengacu pada Gunarso (1989)

1. Fiksasi jaringan gonad ikan direndam dalam larutan BNF selama 24 jam, setelah itu direndam alkohol 70% selama 24 jam

2. Dehidrasi sampel dengan merendam ke dalam larutan alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95% secara berurutan selama 2 jam, selanjutnya direndam dalam alkohol absolut I selama 12 jam, alkohol absolut II selama 1 jam, dan alkohol:xylol (1:1) selama 30 menit

3. Clearing sampel dengan merendam dalam larutan xylol I, xylol II, dan xylol III secara berurutan selama 30 menit. Kemudian secara berurutan direndam cairan parafin I dan parafin II masing-masing selama 45 menit di dalam oven bersuhu 60oC

4. Embedding yaitu mencetak sample dalam blok parafin setelah mengeras sampel dipotong dan ditempelkan pada gelas objek

5. Deparafinasi dilakukan dengan merendam preparat jaringan ke dalam larutan xylol I dan xylol II selama 5 menit, selanjutnya dalam alkohol absolut I, alkohol absolut I, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70%, alkohol 50%, dan akuades masing-masing selama 3 menit.

6. Pewarnaan preparat dilakukan dengan merendam dalam haematoksilin selama 7 menit kemudian dibilas pada air (aquadest) mengalir selama 5 menit. Selanjutnya kembali direndam dalam eosin selama 3 menit

7. Dehidrasi kembali dilakukan dengan merendam preparat dalam alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol absolut I, dan alkohol absolut II masing-masing selama 3 menit

8. Selanjutnya preparat direndam dalam larutan xylol I dan xylol II masing-masing selama 3 menit

(27)

17 9. Preparat yang telah diwarnai dilapisi perekat berupa entellan neu kemudian

ditutup dengan cover glass.

Lampiran 3 Indeks Kematangan Gonad belut sawah minggu ke-0 sampai minggu ke-6

Ulangan ke- Indeks Kematangan Gonad (%)

A* B* C* D*

1 0,00672 0,00571 0,00569 0,00526

2 0,00499 0,00487 0,00614 0,00497

3 0,00572 0,00419 0,00613 0,00608

Jumlah 0,01743 0,01479 0,01797 0,01631 Rata-rata 0,0058a 0,0049a 0,0059a 0,0081a Standar error 0,00050 0,00439 0,00014 0,00033

*huruf yang sama menunjukkan data tidak berbeda nyata (p>0,05)

Lampiran 4 Bobot mutlak belut sawah sampai minggu ke-6 Ulangan ke- Pertumbuhan (gram)

A* B* C* D*

1 0,001 0,019 0,001 0,016

2 0,020 0,004 0,037 0,002

3 0,003 0,007 0,006 0,028

Jumlah 0,024 0,030 0,044 0,045 Rata-rata 0,008a 0,010a 0,015a 0,015a Standar error 0,010 0,008 0,020 0,013

*huruf yang sama menunjukkan data tidak berbeda nyata (p>0,05)

Lampiran 5 Panjang mutlak belut sawah sampai minggu ke-6 Ulangan ke- Pertumbuhan (cm)

A* B* C* D*

1 0,5 0,8 0,3 0,7

2 0,2 0,1 0,3 0,6

3 0,1 0,1 0,6 0,3

Jumlah 0,8 1 1,2 1,6

Rata-rata 0,267a 0,333a 0,400a 0,533a Standar error 0,21 0,40 0,17 0,21

(28)

18

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Lilis Desmawati, dilahirkan di Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung pada tanggal 6 Desember 1992. Penulis merupakan putri kedua dari enam bersaudara pasangan Muhyidin dan Rumiyati. Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri 1 Waygelang (1998-2004), SMP Negeri 1 Kota Agung (2004-2007), dan SMA Negeri 1 Kota Agung (2007-2010). Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI).

Selama kuliah penulis pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan jurnalistik yaitu Koran Kampus IPB (Korpus) sebagai Reporter periode 2010-2011. Selama dua periode selanjutnya (2011-2013) penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Akuakultur (Himakua) divisi Pengembangan Riset dan Keilmiahan. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik tahun 2013. Penulis pernah lolos dalam pengajuan PKM Penelitian yang didanai oleh DIKTI tahun 2013. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan lomba business plan skala nasional yang diadakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta pada April 2013 dan lolos sebagai juara harapan 1 serta Universitas Gadjah Mada pada November 2013 dan lolos sebagai juara harapan 2. Selain itu, penulis pernah menerima beasiswa BRI 100 tahun 2011-2012 dan 2012-2013, pada tahun 2013-2014 penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan Karya Salemba Empat (KSE).

Gambar

Tabel 1 Panjang dan bobot rata-rata awal belut sawah
Tabel 2 Nilai kualitas air pemeliharaan belut sawah
Gambar 1 Gonad belut sawah minggu ke-0 dan minggu ke-6 pada induksi
Gambar 2 Indeks kematangan gonad belut sawah minggu ke0-6 pada induksi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan di Labolatorium Kultur Jaringan Kebun Bibit Permanen (KBP) Dinas Pertanian dan Kehutanan Lamongan, dengan penambahan BAP 1 ppm dan kinetin 1 ppm pada media

Beberapa kelebihan dari penggunaan teknik kultur jaringan dibandingkan dengan cara konvensional ialah (1) faktor perbanyakan tinggi, (2) tidak tergantung pada musim karena

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres kerja pada karyawan.. Subjek penelitian adalah karyawan

maka dapat disimpulkan Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor Pemberian Kredit mempunyai hubungan.. yang tidak signifikan terhadap variabel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode convenience sampling , yaitu pengambilan sampel secara nyaman

- Mahasiswa mampu memberikan penilaian terhadap contoh tipe window Presentasi studi kasus 3x50 7 Mahasiswa/i dapat memilih perangkat interaksi yang tepat dalam desain UI

Tingkat partisipasi sekolah jenjang SD/MI dapat dilihat dari tiga indikator, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka

 hipotesa : variasi dalam spesies adalah heritable (bawaan) &amp; adaptif terhadap habitat pada batas spesies  Ecotype... Variasi