• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi Panacra elegantulus Herrich-Schaffe (Lepidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias Aglaonema

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biologi Panacra elegantulus Herrich-Schaffe (Lepidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias Aglaonema"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BIOLOGI Panacra elegantulus Herrich-Schaffe

(LEPIDOPTERA: SPHINGIDAE) PADA

TANAMAN HIAS AGLAONEMA

RIZKY MARCHERIA ARDIYANTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Biologi Panacra elegantulus Herrich-Schaffe (Ledpidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias

Aglaonema adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Rizky Marcheria Ardiyanti

(4)
(5)

ABSTRAK

RIZKY MARCHERIA ARDIYANTI. Biologi Panacra elegantulus Herrich-Schaffe (Lepidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias Aglaonema. Dibimbing oleh NINA MARYANA.

Aglaonema merupakan tanaman hias dari famili Araceae. Banyak orang yang menyukai dan membudidayakan tanaman ini karena keindahannya. Salah satu hama dalam budidaya Aglaonema adalah Panacra elegantulus (Lepidoptera: Sphingidae). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek biologi hama ini pada tanaman Aglaonema. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari Januari hingga April 2014. Telur dan larva diperoleh dari lapangan dan dipelihara di laboratorium. Aspek biologi hama yang diamati meliputi jumlah instar larva, stadium larva dan pupa, lama hidup imago, dan reproduksi betina. Diamati pula musuh alami hama ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa P. elegantulus terdiri dari empat instar. Rata-rata produksi telur imago betina 23.67 butir. Telur diletakan di bawah atau di atas permukaan daun. Rata-rata stadium telur, larva, dan pupa masing- masing adalah 4.25, 23.18, dan 13.12 hari. Pupa muda berwarna hijau dan berubah menjadi coklat. Lama hidup imago jantan dan betina adalah 4.18 dan 6.09 hari. Musuh alami hama ini terdiri dari dua famili dari ordo Hymenoptera (Eulophidae dan Braconidae) dan satu famili dari ordo Diptera (Tachinidae), ketiga parasitoid tersebut adalah parasitoid larva.

(6)
(7)

ABSTRACT

RIZKY MARCHERIA ARDIYANTI. Biologi Panacra elegantulus Herrich-Schaffe (Lepidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias Aglaonema. Supervised by NINA MARYANA.

Aglaonema is an ornamental plant of family Araceae. Many people love to cultivate this plant due to its beauty. One of the detention in Aglaonema

cultivating is Panacra elegantulus (Lepidoptera: Sphingidae). The aim of this study was to observe the biology of this pest on Aglaonema. The study was conducted at Insect Biosystematics Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, from January to April 2014. Eggs and larvae were collected from the field and then kept in the laboratory. Biological aspects of this pest were observed. The result showed that

P. elegantulus has four instars. The average number of eggs produced by a female was 23.67. Eggs were laid under or upper side of leaf surface. Average of eggs, larvae, and pupae stadia were 4.25, 23.18, and 13.12 days respectively. The young pupae was green and turned in to brown. The longevity of male and female were 4.18 and 6.09 days respectively. Natural enemies of this pest were two families of order Hymenoptera (Eulophidae and Braconidae) and one family of order Diptera (Tachinidae). All of the parasitoids were larval parasitoid.

(8)
(9)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

BIOLOGI Panacra elegantulus Herrich-Schaffe

(LEPIDOPTERA: SPHINGIDAE) PADA

TANAMAN HIAS AGLAONEMA

RIZKY MARCHERIA ARDIYANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(12)
(13)

Judul Skripsi : Biologi Panacra elegantulus Herrich-Schaffe (Lepidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias Aglaonema

Nama Mahasiswa : Rizky Marcheria Ardiyanti NIM : A34100025

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. Ketua Departemen Proteksi Tanaman

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Biologi Panacra elegantulus Herrich-Schaffe (Lepidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias Aglaonema”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan berbagai macam bantuan kepada penulis, Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi selama penulis menyelesaikan studi di Departemen Proteksi Tanaman, dan Dr. Ir. Titiek Siti Yuliani, SU selaku dosen penguji tamu yang telah banyak memberikan kritik dan saran kepada penulis selama menyelesaikan tugas akhir ini.

Terima kasih diucapkan kepada keluarga tercinta Bapak Sukardi, Ibu Sri Djanarti, dan Kakak Bagustianto Ardiyansyah, beserta keluarga yang lainnya untuk kasih sayang, dukungan, serta doa yang selalu diberikan. Terima kasih kepada Dr. Izu Andry Fijridiyanto, M.Sc. selaku Kepala Subbidang Pemeliharaan Koleksi Kebun Raya Bogor-LIPI yang telah memberikan izin pengamatan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI, serta Bapak Maman dan Bapak Pandi yang telah membantu penulis selama melakukan pengamatan di Kebun Raya Bogor.

Penghargaan ditujukkan juga untuk teman-teman Wisma Pelangi, Nurul Izmah, Santiara Pramestia Putri, Eka Pujiyanti, Dian Eka Ramadhani, Lidya Agustina Budiarti, Nuraini Annisa, Sri Ramadaniaty, teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada penulis, serta keluarga OMDA IPMRT yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga Laboratorium Biosistematika Serangga atas bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis, dan teman-teman seperjuangan, Andi Dwi Mandasari, M. Ridho Rasid, Johanna C.H. Sinaga, Vincentius H. Dhango, dan Shandy Amarullah Amin. Terima kasih kepada keluarga besar Proteksi Tanaman dan khususnya teman-teman Proteksi Tanaman Angkatan 47, serta pihak lain yang turut membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, September 2014

(16)
(17)

17

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

BAHAN DAN METODE 3

Tempat dan Waktu 3

Metode 3

Pengambilan Sampel Serangga 3

Pemeliharaan Serangga 3

Pengamatan Telur 3

Pengamatan Larva dan Pupa 4

Pengamatan Imago 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Masa Perkembangan dan Perilaku 6

Telur 6

Larva 6

Pupa 8

Imago 8

Kerusakan yang Ditimbulkan 10

Musuh Alami 11

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 15

(18)
(19)

i

DAFTAR TABEL

1 Ukuran dan stadium telur, larva, dan pupa P. elegantulus 7

2 Ukuran dan lama hidup imago P. elegantulus 9

3 Serangan parasitoid pada larva P. elegantulus 12

DAFTAR GAMBAR

1 Wadah plastik dan kurungan berkasa untuk pemeliharaan P. elegantulus 4

2 Fase perkembangan pradewasa P. elegantulus 6

3 Pupa P. elegantulus 8 4 Imago P. elegantulus jantan dan betina 9

5 Ujung abdomen imago P. elegantulus jantan dan betina 10

6 Serangan larva P. elegantulus 11

(20)
(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman hias dapat berupa hias daun, hias bunga, hias buah, dan hias akar. Keempat bagian tanaman ini mempunyai ciri khas masing-masing sehingga memiliki daya tarik sebagai hiasan (Mattjik 2010). Tanaman hias daun memiliki keanekaragaman yang cukup banyak dari segi bentuk, ukuran, warna, dan perpaduan dari warna daun secara utuh dengan pertulangannya. Tanaman hias daun terutama digunakan sebagai penghias ruang (Mattjik 2010).

Aglaonema atau dalam bahasa Indonesia sering disebut “sri rejeki”

tergolong tanaman hias daun, merupakan salah satu genus dalam famili Araceae yang banyak dijumpai di daerah tropis hingga tropis basah. Aglaonema berasal dari daratan Asia, menyebar dari wilayah China bagian selatan, Thailand, Myanmar, Indonesia hingga Filipina. Habitat asli tanaman ini adalah tempat-tempat terlindungi seperti di bawah tajuk rindang hutan dengan intensitas cahaya yang rendah (Balithi 2008). Menurut Sulianta dan Yonathan (2009), beberapa tanaman hias dari famili Araceae dapat bermanfaat sebagai antipolutan di dalam rumah atau perkantoran. Salah satu contohnya adalah tanaman Aglaonema yang mampu mendekomposisi formaldehida dan benzena hingga 48% dalam waktu 24 jam.

Aglaonema termasuk tanaman monokotil berakar serabut yang berbentuk silinder, berwarna putih kekuningan. Batang tanaman Aglaonema berbentuk silinder, tidak berkayu, berwarna putih, hijau atau merah, dan berbuku. Setiap buku pada batang mempunyai satu mata tunas yang berpotensi untuk tumbuh menjadi cabang baru bila kondisi memungkinkan. Daun pada umumnya berwarna hijau dengan variasi gradasi warna, variasi berupa bulatan, dan perforasi pada helaian daun. Tangkai daun berpelepah dan saling menutupi batang, hingga terkesan tanaman Aglaonema tidak mempunyai batang yang jelas (Budiarto 2007).

Motif dan corak daun Aglaonema juga bervariasi. Ada yang dihiasi oleh urat daun yang mirip tulang ikan, ada pula yang bintik putih mirip beras tumpah, dan ada yang bercorak mirip baju prajurit, bahkan dalam satu spesies variannya cukup besar. Terkadang cukup sulit membedakan antara Aglaonema dan Dieffenbachia.

Aglaonema biasanya lebih kecil dan pendek. Ketika disobek, daunnya tidak berbau dan tidak gatal. Dieffenbachia lebih tinggi dan besar, daun lebih lebar, berbau, dan cenderung gatal ketika disentuh (Angkasa et al. 2006).

Produksi Aglonema di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 1 553 429 pohon, pada tahun 2012 produksinya sebesar 1 618 047 pohon, dan pada tahun 2013 produksi Aglaonema sebesar 1 598 159 pohon (Balithi 2014). Budidaya tanaman hias daun sangat menguntungkan, karena harga jualnya yang tinggi. Namun, dalam budidaya tanaman hias daun terdapat kendala produksi di antaranya adalah masalah hama dan penyakit. Hama yang menyerang Aglaonema adalah tungau, kutu putih, kutu daun, kutu perisai, dan ulat (Courtier 1993). Berbagai tanaman

Aglaonema di wilayah Bogor terserang oleh hama Panacra elegantulus

(Lepidoptera: Sphingidae).

(22)

2

Habitat hama ini meliputi tepi hutan, kebun, dan taman dengan kumpulan tanaman Araceae. Persebaran hama ini meliputi negara India Utara, Myanmar, Nepal, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, dan China selatan (Lok et al. 2012). Penelitian mengenai hama ini belum pernah dilakukan di Indonesia.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui beberapa aspek biologi P.

elegantulus pada tanaman hias Aglaonema.

Manfaat

(23)

3

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Rata-rata suhu maksimum di laboratorium adalah 30.24 oC, dengan kelembapan rata-rata sebesar 84%. Suhu minimum di laboratorium rata-rata 25.42 oC, dengan kelembapan rata-rata sebesar 53.18%. Penelitian berlangsung dari bulan Januari sampai April 2014.

Metode Pengambilan Sampel Serangga

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva P. elegantulus

yang diambil dari tanaman Aglaonema di Kebun Raya Bogor, perumahan kawasan Bogor Raya Permai, dan sekitar Kampus IPB Dramaga, Bogor. Serangga yang diambil dari lapangan adalah serangga pada fase telur dan larva. Pengamatan instensif dilakukan terhadap beberapa tanaman Aglaonema untuk mengetahui telur yang baru diletakkan. Larva yang diambil adalah larva dari berbagai instar, baik larva instar I yang baru keluar dari telur maupun larva instar lanjut. Tanaman

Aglaonema di lapangan diamati satu kali seminggu. Telur dan larva yang ditemukan di lapangan diambil dan dijadikan sebagai sampel. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan dengan cara menggunting daun yang mengandung telur maupun larva, kemudian sampel dimasukkan ke dalam wadah plastik dan dibawa ke laboratorium.

Pemeliharaan Serangga

Serangga yang diambil untuk dipelihara berupa telur dan larva P.

elegantulus. Daun yang mengandung telur ditempatkan di dalam cawan petri yang berdiameter 9 cm x 1.7 cm yang dialasi kertas, kemudian larva dimasukkan ke diletakkan kertas di atasnya. Masing-masing wadah hanya diisi satu larva. Setiap hari kertas dan daun diganti agar tetap bersih dan segar. Setelah larva membentuk pupa, pupa dipindahkan ke dalam wadah plastik yang berdiameter 5.5 cm x 15 cm. Pada wadah hanya diletakkan satu pupa. Bagian bawah wadah sebelumnya telah diberi tanah agak lembap dan pupa diamati hingga menjadi imago.

Pengamatan Telur

(24)

4

maka daun tersebut diambil dan dibawa ke laboratorium. Daun yang mengandung telur digunting kemudian diletakkan di dalam cawan petri berdiameter 9 cm x 1.7 cm dan diamati setiap hari. Pengukuran telur dilakukan di bawah mikroskop stereo. Telur yang dijadikan sampel adalah telur yang diperoleh dari lapangan maupun dari pembedahan abdomen imago betina. Ulangan yang digunakan pada pengamatan telur adalah 30 individu telur.

Pengamatan Larva dan Pupa

Pengamatan larva instar I hingga instar IV dan pupa dilakukan secara individu di dalam wadah plastik berkasa. Larva instar I hingga instar IV dipelihara di dalam wadah plastik berkasa berukuran 14.5 cm x 14.1 cm x 10.5 cm (Gambar 1a). Bagian dasar wadah plastik dialasi kertas dan diberi daun Aglaonema sebagai pakan. Setelah larva memasuki instar IV selain diberi pakan daun Aglaonema, bagian dasar wadah plastik pemeliharaan diberi tanah agak lembap, kemudian diletakkan kertas di atasnya. Setiap hari alas kertas dan daun pakan diganti agar tetap bersih dan segar. Pengamatan larva meliputi panjang, lebar, dan stadium masing-masing instar larva. Pengukuran larva dilakukan sehari setelah larva ganti kulit, dengan ulangan 12-25 larva. Panjang tubuh larva diukur dari ujung kepala hingga ujung abdomen, sedangkan lebar tubuh diukur pada bagian yang terlebar yaitu bagian tengah abdomen. Lebar kepala diukur dari lebar maksimum kepala larva. Stadium larva dihitung dengan memerhatikan waktu ganti kulit masing-masing larva setiap instar. Pengamatan juga dilakukan terhadap perilaku setiap instar larva.

Ketika larva telah menjadi pupa, pupa dipindahkan ke dalam plastik berkasa dengan diameter 5.5 cm x 15 cm yang sebelumnya diberi tanah (Gambar 1b). Pengamatan pupa meliputi panjang, lebar, dan stadium pupa dengan ulangan sebanyak 25 pupa. Stadium pupa dihitung sejak larva menjadi pupa hingga pupa menjadi imago.

Gambar 1 Wadah plastik dan kurungan berkasa untuk pemeliharaan P.

(25)

5

Pengamatan Imago

(26)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masa Perkembangan dan Perilaku Telur

Telur P. elegantulus berbentuk bulat dan halus. Telur diletakkan satu per satu di permukaan atas atau bawah daun. Daun yang mengandung telur adalah daun yang bersih dari tanah. Telur yang baru diletakkan berwarna hijau pucat, kemudian setelah 24 jam akan muncul bintik merah pada permukaan atas telur. Warna merah tersebut akan melebar hingga ke seluruh permukaan telur. Bila permukaan telur berwarna merah, hal itu menandakan bahwa telur akan segera menetas (Gambar 2a). Warna merah yang terdapat pada telur adalah bakal larva. Telur menetas dalam waktu 4 hingga 5 hari. Pengamatan penetasan telur dilakukan pada telur yang diperoleh dari lapangan. Hal tersebut dilakukan karena penetasan telur yang berasal dari pembiakan di laboratorium mengalami kesulitan. Rata-rata diameter telur P. elegantulus adalah 0.16 cm (Tabel 1).

Gambar 2 Fase perkembangan pradewasa P. elegantulus, (a) telur, (b) larva instar I, (c) larva instar II, (d) larva instar III, (e) larva instar IV, (f) pra pupa

Larva

Larva terdiri dari empat instar. Pada umumnya larva memakan daun dari bagian bawah permukaan daun. Larva saat pagi hingga siang beristirahat di bagian pangkal batang dan beraktifitas serta makan ketika sore hari.

Larva instar awal yang baru keluar dari telur berwarna merah. Larva dari famili Sphingidae memiliki ciri khas yaitu adanya tanduk di ujung abdomen. Tanduk pada larva instar awal juga berwarna merah (Gambar 2b). Ukuran lebar kepala yaitu 0.13 cm (Tabel 1). Larva instar awal yang baru keluar dari telur akan menuju ke daun yang lebih muda, dan memakan daun dari bagian tepi hingga bagian daun yang dekat dengan tulang daun. Larva instar I makan secara individual. Pada umumnya pada satu daun hanya terdapat satu larva. Larva instar

0.1 cm 1 cm 1 cm

(27)

7

Tabel 1 Ukuran dan stadium telur, larva, dan pupa P. elegantulus

Tahap

= rata-rata, SD = standar deviasi; 2) diameter telur, 3) stadium instar IV termasuk pra pupa

awal memakan daun dari bagian bawah permukaan daun. Hal ini nampaknya larva berlindung dari musuh alami atau gangguan lain. Stadium larva instar I berkisar antara 6-7 hari atau rata-rata 7.00 ± 0.82 hari (Tabel 1).

Larva instar II ditandai dengan berubahnya warna mulai dari kepala hingga abdomen. Larva pada awalnya berwarna merah kemudian akan berubah menjadi hijau mengkilap kekuningan, tanduk bagian belakang berwarna merah muda (Gambar 2c). Larva instar II tidak jauh berbeda dengan larva instar I, yaitu memakan daun yang masih muda. Larva instar II lebih aktif dan memakan lebih banyak daun dibandingkan dengan larva instar I. Rata-rata lebar kepala larva instar II yaitu 0.24 cm, dengan rata-rata panjang tubuh 2.42 ± 0.59 cm dan lebar tubuh rata-rata 0.24 ± 0.06 cm (Tabel 1). Stadium larva instar II berkisar antara 4-5 hari dengan rata-rata 4.42 hari.

Larva instar III ditandai dengan terlepasnya kulit kepala. Tungkai asli, tungkai palsu, dan omatidium terlihat secara jelas tanpa menggunakan mikroskop (Gambar 2d). Warna abdomen larva instar III hampir menyerupai warna dari daun inangnya, terlebih kuncup daun. Seperti yang dijelaskan oleh Kalshoven (1981), bahwa larva dari famili Sphingidae dapat berkamuflase dengan baik sehingga dapat melindungi diri dari serangan predator. Tanduk pada bagian akhir abdomen mulai terlihat berwarna hijau dengan warna merah muda. Rata-rata lebar tubuh larva instar III adalah 0.45 cm dengan panjang tubuh sebesar 4.19 cm (Tabel 1). Perubahan lebar kepala terlihat jelas dibandingkan instar sebelumnya dengan rata-rata 0.47 cm. Hal ini karena larva instar III jauh lebih aktif makan dibandingkan larva instar II, dan larva instar III dapat memakan hingga pertulangan daun. Stadium larva instar III berkisar antara 4-5 hari dengan rata-rata 4.72 hari.

Larva instar IV berwarna hijau kekuningan. Setelah 24 jam, bagian kepala larva instar IV akan dikelilingi garis lebih gelap (Gambar 2e). Pada bagian dorsal kepala dan abdomen terdapat garis berwarna coklat. Pada bagian lateral abdomen terdapat bintik berwarna coklat. Tanduk bagian ujung juga mulai berwarna coklat. Larva instar IV terlihat seperti ular yang bersisik, oleh karena itu ada yang memberi julukan“snake caterpillar”. Saat terganggu larva instar akhir akan menarik kepalanya dan memperbesar ruas abdomen dan memberi kesan seperti

(28)

8

ular kecil karena terdapat tanda-tanda sisik di kepala, sehingga dapat mengelabuhi predator (Lok et al. 2012).

Larva instar IV memiliki rata-rata panjang tubuh 6.88 cm dan rata-rata lebar tubuh 0.75 cm, sedangkan rata-rata lebar kepala 0.78 ± 0.18 cm (Tabel 1). Setelah dua hari ganti kulit, larva instar IV masih aktif makan walaupun tidak seaktif larva instar III. Tiga atau empat hari setelah ganti kulit larva instar IV sudah tidak aktif makan. Stadium larva instar IV termasuk pra pupa rata-rata 7.04 ± 1.02 hari.

Menjelang masa pra pupa, tubuh larva memendek, sehingga terlihat lebih lebar dan pendek. Warna tubuh pra pupa hijau kekuningan (Gambar 2f). Masa pra pupa terjadi selama dua hari, ditandai dengan menurunnya aktifitas dan larva tidak makan. Larva akan melindungi tubuhnya dengan membentuk benang-benang yang mengelilingi tubuhnya. Saat pemeliharaan di laboratorium larva akan membuat benang-benang yang melindungi tubuhnya dengan merekatkan ujung daun dengan daun. Saat di lapangan larva berada di tanah. Rata-rata panjang pra pupa 4.24 cm dengan rata-rata lebar tubuh 0.87 cm (Tabel 1).

Pupa

Pada pupa yang baru terbentuk, bagian atas berwarna hijau dan bagian lainnya berwarna coklat muda. Pupa yang akan menjadi imago berubah warna menjadi coklat dan lebih gelap dibandingkan dengan pupa saat awal terbentuk (Gambar 3a). Pupa memiliki tipe obtekta yaitu bakal antena, alat mulut, sayap, serta tungkai menyatu dengan tubuh dan tidak dapat dipisahkan.

Gambar 3 Pupa P. elegantulus, (a) pupa, (b) eksuvia pupa

Saat pemeliharaan di laboratorium, pupa berada di dalam tanah. Pupa saat di lapangan dapat ditemukan di dalam tanah. Perbedaan antara pupa jantan dan pupa betina tidak terlihat jelas. Panjang dan lebar pupa yaitu 3.62 cm dan 0.78 cm. Stadium pupa berkisar antara 11-13 hari dengan rata-rata 13.12 hari (Tabel 1).

Kendala pemeliharaan di laboratorium adalah adanya perbedaan suhu dan kelembapan antara di laboratorium dan di lapangan. Oleh karena itu ada beberapa pupa yang dipelihara gagal membentuk imago. Hal ini dapat disebabkan kelembapan yang kurang sehingga pupa kering, atau terlalu lembap sehingga pupa terserang cendawan.

Imago

Imago yang keluar dari pupa berupa ngengat (Gambar 4). Dasar warna sayap ngengat jantan dan betina adalah coklat, tetapi untuk imago jantan berwarna coklat muda dengan sedikit warna kuning di bagian sayap bawah. Sayap imago

(29)

9

betina berwarna coklat gelap dengan sedikit warna kuning pada bagian bawah sayap.

Gambar 4 Imago P. elegantulus jantan (kiri) dan betina (kanan)

betina berwarna coklat gelap dengan sedikit warna kuning pada bagian bawah sayap. Bagian lateral abdomen imago betina berwarna coklat keemasan.

Lok et al. (2012) menyatakan bahwa sayap imago jantan bagian depan berwarna coklat dengan tanda putih bintik-bintik coklat dan hitam. Tanda di sayap miring dengan garis hitam dan dikelilingi coklat segitiga. Sayap belakang berwarna coklat dengan tempelan coklat keputihan. Imago betina tidak jauh berbeda dengan imago jantan yaitu, berwarna coklat tetapi dengan tempelan coklat pucat. Menurut Akkuzu et al. (2007), sayap memiliki karakteristik berbentuk segitiga yang sempit dan tajam.

(30)

10

Perbedaan antara imago jantan dan betina, selain dari warna sayap juga dapat dilihat dari bentuk dan ukuran abdomen (Gambar 5). Imago jantan memiliki abdomen yang lebih kecil dan ramping dibandingkan dengan imago betina.

Gambar 5 Ujung abdomen imago P. elegantulus, (a) imago jantan dan (b) imago betina

Abdomen imago betina lebih besar karena mempunyai bakal telur di dalam tubuhnya. Ujung abdomen imago betina lebih runcing dibandingkan ujung abdomen imago jantan. Seperti yang dijelaskan oleh Akkuzu et al. (2007), karakter tubuh imago berbentuk seperti peluru runcing dan panjang. Tubuh imago betina lebih besar dibandingkan imago jantan.

Perbandingan jumlah antara imago jantan dan imago betina adalah 3 : 5 (N=40). Masa pra oviposisi imago betina adalah 2-3 hari dengan rata-rata 2.75 hari. Siklus hidup P. elegantulus adalah 43.18 hari. Imago betina meletakkan telur satu per satu di setiap helai daun, dalam satu helai daun biasanya terdapat lebih dari satu individu telur. Untuk mengetahui reproduksi seekor imago betina maka dilakukan pembedahan pada abdomen, setelah imago tersebut mati. Bila diasumsikan reproduksi telur adalah jumlah telur yang diletakkan dan jumlah telur di dalam abdomen, maka keperidian betina adalah 23.67 ± 1.63 butir.

Kendala yang ditemui saat pemeliharaan imago di laboratorium adalah imago sulit bertelur. Telur yang telah diletakkan oleh imago pada daun tidak menetas. Hal tersebut terjadi karena imago yang dipelihara tidak berkopulasi dengan imago jantan. Kendala tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor suhu dan kelembapan udara yang berbeda antara laboratorium dengan keadaan di lapangan. Selain itu kemungkinan ruang pemeliharaan yang kurang luas, karena ngengat famili Sphingidae adalah penerbang yang kuat. Menurut Akuzzu et al. (2007) famili Sphingidae merupakan penerbang yang sangat kuat, mereka dapat terbang hingga 40-50 km/jam.

Kerusakan yang Ditimbulkan

(31)

11

elegantulus juga menyerang tanaman dari genus Dieffenbachia. Spesies dari famili Sphingidae memiliki inang spesifik meliputi tanaman dari famili Araceae, Rubiceae, dan Vitaceae (Kalshoven 1981). Hal ini terlihat di sekitar Taman Araceae di Kebun Raya Bogor yang terserang hama P. elegantulus (Gambar 6).

Gambar 6 Serangan larva P. elegantulus, (a) pada pertanaman Aglaonema di Kebun Raya Bogor, (b) serangan pada daun

Musuh Alami

Selama penelitian, dari larva-larva yang diperoleh dari lapangan dan dipelihara di laboratorium diperoleh tiga jenis parasitoid. Parasitoid tersebut adalah dua jenis dari ordo Hymenoptera, yaitu famili Eulophidae dan Braconidae, dan satu jenis dari ordo Diptera, yaitu famili Tachinidae (Gambar 7).

Gambar 7 Parasitoid yang ditemukan selama penelitian dan gejala larva yang terparasit, (a) Eulophidae, (b) Braconidae, (c) Tachinidae, (d) larva yang terparasit Eulophidae, (e) larva yang terparasit Braconidae, dan (f) larva yang terparasit Tachinidae

0.1 cm

(32)

12

Parasitoid famili Eulophidae ditemukan pada larva instar II. Jumlah larva instar II yang terparasit ada delapan individu dari jumlah total 33 individu (Tabel 3). Gejala pada larva ditandai dengan pergerakan larva yang lambat dan pertumbuhannya juga terhambat, hal ini disebabkan larva tidak aktif makan. Warna larva yang terparasit terlihat lebih kusam dibandingkan dengan larva yang sehat. Gejala terlihat pada bagian anterior larva yaitu di sekitar kepala hingga ruas ke dua abdomen. Pada gejala lanjut, larva akan berwarna coklat dan memendek. Parasitoid famili Eulophidae menyerang larva secara bersamaan atau gregarious, yang artinya dalam satu inang larva terdapat lebih dari satu individu parasitoid. Hasil pengamatan menunjukkan dalam satu inang larva terdapat 12-14 individu parasitoid dari famili Eulophidae (Tabel 3). Parasitoid famili Eulophidae ini bersifat sebagai endoparasitoid, yaitu hidup dan berkembang di bagian dalam tubuh serangga inangnya.

Parasitoid famili Braconidae ditemukan pada larva instar III. Ketika larva masih instar II, perkembangan larva mulai lambat dan larva tidak aktif. Jumlah total larva instar III dari lapangan adalah 48 individu, dan 23 individu terparasit oleh famili Braconidae. Ukuran larva terparasit sudah terlihat tidak normal dibandingkan dengan larva yang sehat. Selain itu, terkadang larva instar II tidak mengalami pergantian kulit ke instar III sehingga fase larva instar II yang terparasit lebih lama dibandingkan dengan larva instar II yang sehat. Pupa keluar ketika larva memasuki instar III, dan fase larva instar III yang terparasit lebih lama dibandingkan dengan larva instar III sehat. Gejala akan terlihat pada bagian abdomen larva sebelah kanan ruas ke enam. Pada bagian tersebut akan terlihat lubang dan muncul larva parasitoid instar lanjut membentuk kokon yang berwarna keemasan yang menempel pada abdomen. Setelah pupa parasitoid terbentuk, larva tidak langsung mati. Larva inang akan mati setelah 3-4 hari kemudian. Larva yang mati mengerut sehingga larva terlihat lebih pendek dari ukuran seharusnya.

Tabel 3 Serangan parasitoid pada larva P. elegantulus (individu)

Ordo dan famili Instar larva

Famili Braconidae menyerang larva secara individu atau soliter, yang artinya dalam satu tubuh inang (larva) hanya terdapat satu parasitoid. Jumlah parasitoid yang keluar dari inang sama seperti jumlah inang yang terparasit (Tabel 3). Parasitoid Braconidae ini sama seperti famili Eulophidae yang ditemukan yaitu bersifat endoparasitoid.

(33)

13

(34)

14

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rata-rata lama stadium telur, larva, dan pupa P. elegantulus masing-masing 4.25, 23.18, dan 13.12 hari. Larva terdiri atas empat instar. Rata-rata lama hidup imago betina 6.09 hari, sedangkan imago jantan 4.18 hari. Jumlah telur yang dihasilkan imago betina rata-rata 23.67 butir. Serangan larva pada tanaman

Aglaonema dapat mengakibatkan tanaman gundul. Parasitoid yang ditemukan adalah famili Eulophidae, Braconidae, dan Tachinidae.

Saran

(35)

15

DAFTAR PUSTAKA

Akkuzu E, Ayberk H, Inac S. 2007. Hawk moths (Lepidoptera: Sphingidae) of Turkey and their zoogeographical distribution. J Environ Biol. 28(4):723-730.

Angkasa S, Duryatmo S, Firstantinovi ES, Susanto DA, Cahyana D, Dermawan R, Wijayanti L, Apriyanti RN, Tambunan LA. 2006. Aglaonema. Jakarta (ID): PT. Trubus Swadaya.

[Balithi] Balai Penelitian Tanaman Hias. 2008. Panduan karakteristik tanaman hias Aglaonema [Internet]. [diunduh 2013 Nov 20]. Tersedia pada: deptan.go.id.

[Balithi] Balai Penelitian Tanaman Hias. 2014. Produksi tanaman florikultura tahun 2011-2013 [Internet]. [diunduh 2014 Jan 25]. Tersedia pada: http://hortikultura.pertanian.go.id/index.php?option=com_content&view=art icle&id=316&Itemid=917.

Budiarto K. 2007. Panduan karakterisasi tanaman Aglaonema [Internet]. [diunduh 2013 Nov 20]. Tersedia pada: deptan.go.id.

Courtier J. 1993. Growing Indoor Plants. London (GB): Ward Lock.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru- van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Lok AFSL, Ang WF, Tan HTW, Corlett RT, Tan PY. 2012. The native fauna of garden at Hortpark: birds, fishes, amphibians, reptiles, butterflies, moths, damselflies, and dragonflies. [Internet] HortPark (SG): National University of Singapore; [diunduh 2013 Sep 21]. Tersedia pada: http://rmbr.nus.edu.sg/ Raffles_museum_pub_/fauna-native_garden_hortpark.pdf.

Mattjik NA. 2010. Budi daya Bunga Potong dan Tanaman Hias. Bogor (ID). Bogor Agricultural Univ Pr.

(36)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 21 Maret 1992 sebagai anak ke dua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sukardi dan Ibu Sri Djanarti. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Jatirogo, Kabupaten Tuban pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan, pada tahun 2010 sampai 2012 penulis pernah menjadi anggota UKM Bulutangkis IPB. Tahun 2011 sampai 2012 penulis bergabung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) sebagai anggota Divisi Eksternal dan Informasi (EKSINFO), tahun 2012 sampai 2013 sebagai anggota Divisi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PSDM), anggota Club Entomologi, dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) IPMRT pada tahun 2010 sampai sekarang.

Gambar

Gambar 1  Wadah plastik dan kurungan berkasa untuk pemeliharaan P.
Gambar 2  Fase perkembangan pradewasa P. elegantulus, (a) telur, (b) larva instar
Tabel 1  Ukuran dan stadium telur, larva, dan pupa P. elegantulus
Gambar 3 Pupa P. elegantulus, (a) pupa, (b) eksuvia pupa
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sistem disimulasikan pada kondisi setelah adanya filter aktif seri untuk mengurangi harmonisa, dengan pemodelan sistem dalam tugas akhir dapat diamati pada

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, dengan jumlah populasi sebanyak 109 orang pegawai dijadikan sebagai responden ( sensus). Teknik

ini dibuat sejalan dengan pedoman umum tersebut Dengan adanya pedoman ini diharapkan tiap rumah sakit dapat direncanakan pelayanan laboratorium sesuai dengan keias rumah sakit

Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2007: 132) Sistem pembelajaran menggunakan modul memiliki perbedaan dengan system pembelajaran pada umumnya yaitu sistem

Skripsi berjudul “Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Komunitas dengan di Pelayanan Sosial Lanjut Usia (Studi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas

Dengan puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, berkah, dan inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sensualitas Sinden Modern Dalam

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini yang berjudul

Risiko yang dapat terjadi apabila titik kritis perebusan tidak dikendalikan dengan baik adalah kemungkinan rendemen yang dihasilkan tidak maksimal (berkaitan dengan