• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SIMBOL DALAM UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN

印尼棉兰华人亲属在丧礼中使用的物品意义研究

Yìnní mián lán huárén qīnshǔ zài sānglǐ zhōng shǐyòng de wùpǐn yìyì yánjiū

SKRIPSI

OLEH:

Dameria Elisabet Hutajulu NIM : 080710001

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SIMBOL KEKERABATAN DALAM UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN

印尼棉兰华人亲属在丧礼中使用的物品意义研究

Yìnní mián lán huárén qīnshǔ zài sānglǐ zhōng shǐyòng de wùpǐn yìyì yánjiū

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Budaya Sastra Cina.

SKRIPSI

Dikerjakan oleh:

Dameria Elisabet Hutajulu NIM : 080710001

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. Chen Shushu, MTCSOL NIP. 19600711 198903 2 001

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Pengesahan Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada :

Hari/Tanggal : 13 Juli 2012 Pukul : 09.00 – 11.30

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Dr. Syuhron Lubis, M.A. NIP : 19511013 197603 1 001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Dr. T. Thyrhaya, M.A ( )

2. Dra. Nur Cahaya Bangun, M. Si. ( )

3. Drs. Johnson Pardosi, M.Si ( )

4. Chen Shushu, MTCSOL ( )

(4)

Disetujui oleh

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi Sastra Cina Ketua,

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan

oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam

daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedih

menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, 13 juli 2012 Penulis

(6)

ABSTRACT

The title of the paper is “Analisis Simbol Bagi Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan”. In This pa per, the wr iter to a na lyze the function a nd mea ning of symbols which a re used in Chinesse’s funeral ceremony. The symbols are孝服Xià ofú (costum), 纱 Shābù (pa ngka t), 帽子Mà ozi (ha t), 窗 扇Chuāngshàn (sa sh). The concept of the pa per is ta lking a bout a ll the symbols used in Chinesse Funera l Ceremony. The methodology of the pa per is descriptive qua lita tive a na lysis. The theory used in this pa per is funcitiona l a nd semiotic, theories to see the function a nd mea ning of a ll symbols used in Chinesse Funera ls Ceremonia l. The result is that all symbols used in the Chinesse Funerals Ceremonial have it’s own function and mea ning to the system of kinship.

Keywords : Symbols; Chinesse Funerals

(7)

Pertama-tama saya panjatkan Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih dan

berkatNya dalam hidup saya hingga saat ini selalu menyertai dan mengiringi langkah saya.

KasihNya yang mengajarkan saya kesabaran dalam menulis skripsi, dan berkatnya yang tidak

berkesudahan selalu melimpah dalam hidup saya. Hingga saya dapat menyelesaikan skripsi

yang diberi judul “Analisis Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian

di Kota Medan”.

Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Budaya,

Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Sepanjang

Menyusunan skripsi tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan

dukungan, semangat, materi, waktu, bimbingan dan doa kepada penulis. Oleh karena itu saya

ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A, selaku Ketua Program Studi Sastra Cina, Universitas

Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina,

Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing I yang telah banyak

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan dan kritikan yang

(8)

4. Chen Shushu, MTCSOL selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan

waktu, memberikan banyak masukan, kritikan, dan semangat kepada saya selama

menulis skripsi Mandarin.

5. Bapak Drs. Johnson Pardosi, M.Si selaku dosen yang juga banyak membantu saya

memberikan masukan, kritik dan meluangkan waktunya selama menulis skripsi.

6. Ibu Dra.Chen Kui Ik M.Pd selaku dosen juga informan saya yang sangat banyak

membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Trimakasih untuk waktu dan tenaga

yang diberikan.

7. Seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program Studi Sastra China dari saya

semester satu sampai semester akhir semester delapan ini, dan staf pengajar Fakultas

Ilmu budaya yang telah memberikan ilmunya kepada saya dan mendidik saya selama

masa perkuliahan..

8. Kedua orang tua yang saya sayangi Ayahanda S.Hutajulu (Alm) dan Ibunda tercinta

R.Ritonga yang telah membesarkan saya, mendidik, memberikan doa, nasehat,

semangat, kasih sayang dan pengorbanan baik moril dan materil. Kepada abang dan adik

saya tercinta Samuel Hutajulu dan Christian Abara Hutajulu yang selalu memberikan

dukungan doa dan semangat kepada saya.

9. Teman-teman seperjuangan saya yang selalu ada disaat suka maupun duka, yang telah

banyak membantu dalam memberikan semangat, saran, kritik, dan canda tawa yang

menghibur dikala hati gunda. Mereka adalah pejuang dalam skripsi saya Miyanty

(9)

Lasma Darnica Hutabarat, juga teman-teman angkatan 2008 yang sama-sama berjuang

dalam menulis skripsi ini.

10. Teman terkasih saya Botak Laso yang selau memberikan semangat, doa, dan waktunya

disaat suka dan duka selama penulisan skripsi ini.

11. Keluarga persekutuan Adelphotes abang Jeckson Situmorang, kakak Naning, adik kecil

kami Adelfia, Juni, Fida, kakak Hilda, Ridho, City, Rahminie Parapat, Sry Dinda, abang

Hasan, kakak Kristine, abang Panda dan semua teman-teman yang tidak bias saya

sebutkan satu persatu. Terimakasi untuk doa, dan semangat selama penulisan skripsi ini.

12. Teman-teman spesial saya Andro Hutabarat, Yudhistira Siahaan, Marini, Sandro,

Renny, zai dan semua anak CCB yang tidak saya sebutkan satu persatu. Terimakasih

atas doa dan dukungannya.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi yang saya sajikan ini

sangat jauh dari sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan, oleh

(10)

Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu. Demikianlah ucapan terima kasih ini saya sampaikan, semoga Tuhan Yang Maha

Esa selalu memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Dan penulis berharap semoga skripsi

ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 13 Juli 2012

Penulis

Dameria Elisabet H

NIM 080710001

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………... i

KATA PENGANTAR………... ii

DAFTAR ISI………...…. v

DAFTAR GAMBAR………... ix

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang………..….1

1.2Batasan Masalah………...………..…5

1.3Rumusan Masalah………..5

1.4Tujuan Penelitian………6

1.5Manfaat Penelitian………..6

1.5.1 Manfaat Teoris………...…………6

1.5.2 Manfaat Praktis………..6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI………...7

2.1 Kajian Pustaka……….7

2.2 Konsep……….9

2.2.1 Masyarakat Hokkian………..9

2.2.2Kebudayaan………...11

2.2.3 Upacara Kematian....…………...………..…………13

2.2.3.1 Upacara Sebelum Masuk Peti………..14

2.2.3.2 Upacara Masuk Peti……….15

2.2.3.3 Upacara Pemakaman...………16

2.2.3.4 Upacara Sesudah Pemakaman.………...……….16

2.2.4 Simbol Kekerabatan…………...……….…17

2.3 Landasan Teori………...………...………...18

2.3.1 Teori Fungisional……….………1

2.3.2 Teori Semiotik……….20

BAB III METODE PENELITIAN……….……….……….23

3.1 Metode Penelitian………...………23

(12)

3.1.2 Teknik Pengumpulan Data………....……….24

3.1.3 Teknik Analisis Data………..……….………..…….24

BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA…..……..……27

4.1 Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan……….……….27

4.2 Penduduk Tionghoa di Kota Medan……….……….………..31

4.3 Agama dan Kepercayaan………..…….……….32

4.3.1 Toisme……….……….………33

4.3.2 Konfusianisme………....………..…..…35

4.3.3 Buddhisme………..……37

4.4 Sistem Kekerabatan……...……….…....40

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………….………...…….45

5.1 Jenis Simbol Kekrabatan dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan………..………..…45

5.1.1 Pakaian………..……….……….……45

5.1.1.1 Pakaian Untuk Orang Meninggal…….………..………46

5.1.1.2 Pakaian Untuk Keluarga Orang yang MeninggaL……….…..46

5.1.2 Pangkat…………..………..………...…………48

5.1.3 Topi……...……….……….51

5.1.4 Selempang..……….………53

5.2 Fungsi dan Makna Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan…….……….……...………...………….55

5.2.1 Fungsi Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa...55

5.2.1.1 Pakaian……….………..…………...55

5.2.1.2 Pangkat……….……….58

5.2.1.3 Topi ………...……….……….…….60

5.2.1.4 Selempang……….………...……….63

(13)

BAB V1 SIMPULAN……….………68

6.1 Simpulan………..……….…..68

6.2 Saran………..……….69

DAFTAR PUSTAKA……….70

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Asal Usul Suku Tionghoa………...30

Bagan………..43

Gambar 5.1 Pakain yang di pakai oleh keluarga orang meninggal……….47

Gambar 5.2 Pangkat moa terbuat dari kain moa, dengan ukuran panjang 3cm dan lebar

3cm……….49

Gambar 5.3 Pangkat moa yang terbuat dari kain moa………50 Gambar 5.4 Pangkat yang terbuat dari kain katun atau tetron, dengan ukuran

panjang 3cm lebar 3cm………...50 Gambar 5.5 Pangkat hitam dan putih yang terbuat dari kain katun atau tetron

dipakai selama 49 hari……….50

Gambar 5.6 Topi yang di pakai anak laki-laki………...60

Gambar 5.7 Topi yang di pakai anak perempuan yang sudah menikah………..52

Gambar 5.8 Ikat kepala yang digunakan anak perempuan yang belum menikah……52

Gambar 5.9 Selempang yang terbuat dari kain katun atau tetron ini memiliki

ukuran panjang 200cm dan lebar 3cm………..54

Gambar 6.0 Prosesi upacara kematian dengan mengenakan baju berwarna putih dan celana hitam………...58 Gambar 6.1Prosesi upacara kematian dengan menggunakan pangkat………60 Gambar 6.2 Pihak keluarga memakai topi pada saat upacara penguburan

berlangsung………..62

Gambar 6.3 Selempang yang di pakai oleh menantu saat upacara kematian

berlangsung………..64

(15)

ABSTRACT

The title of the paper is “Analisis Simbol Bagi Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan”. In This pa per, the wr iter to a na lyze the function a nd mea ning of symbols which a re used in Chinesse’s funeral ceremony. The symbols are孝服Xià ofú (costum), 纱 Shābù (pa ngka t), 帽子Mà ozi (ha t), 窗 扇Chuāngshàn (sa sh). The concept of the pa per is ta lking a bout a ll the symbols used in Chinesse Funera l Ceremony. The methodology of the pa per is descriptive qua lita tive a na lysis. The theory used in this pa per is funcitiona l a nd semiotic, theories to see the function a nd mea ning of a ll symbols used in Chinesse Funera ls Ceremonia l. The result is that all symbols used in the Chinesse Funerals Ceremonial have it’s own function and mea ning to the system of kinship.

Keywords : Symbols; Chinesse Funerals

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Tionghoa terdiri dari 56 suku bangsa. Suku Hokkian yang berasal dari provinsi

Fujia n adalah salah satu suku yang paling banyak berimigrasi di Indonesia khususnya Medan.

Suku Hokkian juga merupakan suku yang pertama kali datang ke kota Medan. Suku Hokkian

yang berimigrasi ke Indonesia, kini telah menjadi warga negara Indonesia. Sesuai Pasal 2 UU

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia bahwa “orang Tionghoa

yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup

nasional”.

Awal kedatangan suku Hokkian ke Sumatera Utara adalah sebagai kuli kontrak dan buruh

kebun bangsa Belanda. Setelah bangsa Belanda tidak lagi berkuasa di Indonesia khu susnya

Sumatera Utara, perkebunan Belanda tersebut mereka ambil alih dan dikerjakan oleh suku

Hokkia n untuk memenuhi nafkah mereka.

Sama seperti setiap suku ataupun bangsa yang ada di dunia ini, masyarakat Tionghoa

memiliki budaya sendiri. Suku Hokkian sebagai salah satu suku bangsa Tionghoa , juga

memiliki adat dan budayanya sendiri. Setiap proses kehidupan mereka dinyatakan dalam

berbagai upacara budaya misalnya, kelahiran, perkawinan, maupun kematian.

Upacara kematian salah satu budaya masyarakat Tionghoa yang erat kaitannya dengan

kepercayaan masyarakat Tionghoa . Upacara kematian juga dilaksanankan sebagai bentuk

(17)

sesuai dengan ritual keagamaan yang benar, masyarakat Tionghoa percaya bahwa mereka

sebagai keturunan dari orang yang meninggal tidak akan diganggu oleh roh orang yang telah

meninggal.

Pelaksanaan upacara kematian yang dilaksanakan dengan tata cara tradisi yang lengkap di

percaya akan meringankan penderitaan orang meninggal. Upacara kematian juga dianggap

sebagai upacara pengantar roh ke surga melalui doa-doa yang dipanjatkan. Ritual yang

panjang dan penuh makna membuat ritual upacara kematian terasa sangat sakral.

Prosesi upacara kematian dilaksanakan dengan memakai atribut, yaitu sepasang lampion

putih, simbol kekerabatan (pakaian, pangkat, slempang, dan topi), dupa (hio), uang akhirat

(Gincua), dan lainnya. Tiap atribut memiliki fungsi dan makna masing-masing. Misalnya,

sepasang lampion putih, apabila salah satu dari kedua lampu lampion tersebut tidak menyala,

artinya pasangan dari orang yang meninggal tersebut masih hidup. Tetapi jika kedua lampu

lampion menyala, artinya pasangan dari orang yang meninggal tersebut telah meninggal

mendahului dia. Lampu lampion sebelah kiri adalah pihak laki-laki, dan lampu lampion

sebelah kanan adalah pihak perempuan. Sepasang lampion memiliki makna sebagai penerang

jalan orang yang meninggal untuk jalan menuju surga. Uang akhirat (Gincua ) yang dipercayai

sebagai uang yang akan dipakai orang meninggal di alam baka. Dalam pelaksanaan upacara

kematian uang akhirat akan dibakar, dan dipersembahkan kepada orang yang meninggal uang

akhirat yang terdiri dari emas atau perak, ukurannya besar atau kecil, menjadi penentu besar

(18)

Simbol kekerabatan merupakan salah satu atribut yang digunakan dalam upacara kematian

yang memiliki fungsi dan makna untuk menyatakan hubungan kekerabatan antara orang yang

meninggal dengan keluarga orang yang meninggal. Hubungan kekerabatan dalam keempat

simbol ini dapat di lihat dari warna yang digunakan.

Simbol dalam konsepnya dapat mewakili segala gagasan, tindakan dan komunikasi yang

kongkrit. Pada umumnya simbol melambangkan pengertian yang tersirat, sehingga membuat

kesan misteri dam magis. Kesan seperti itulah yang menjadi tantangan bagi manusia untuk

menggungkapkan makna di balik simbol tersebut. Fungsi simbol itu sendiri sebagai pengganti

suatu objek yang ingin ditampilkan dengan cara yang lain (Zeffry, 1999:25).

Seperti halnya simbol yang digunakan dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti

rambu-rambu lalu lintas memiliki fungsi dan makna sendiri. Begitu juga dalam upacara

budaya, khususnya dalam penelitian ini simbol yang digunakan dalam upacara kematian

masyarakat Tionghoa memiliki fungsi dan makna yang menyatakan hubungan kekerabatan

masyarakat Tionghoa antara orang yang meninggal dengan keluarga dari orang yang

meninggal. Simbol dalam upacara kematian ini dipakai oleh keluarga dari orang yang

meninggal.

Pemakaian simbol dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa hingga saat ini masih

dilaksanakan. Hanya saja pada umumnya masyarakat Tionghoa cenderung hanya mengetahui

apa saja jenis simbol kekerabatan tersebut, tetapi kurang memahami apa makna dan fungsi

dari simbol tersebut. Terutama untuk kaum muda masyarakat Tionghoa saat ini. Hal ini dapat

dilihat pada setiap upacara kematian kaum muda masyarakat Tionghoa hanya mengikuti

(19)

selempang tersebut. Menurunnya eksistensi upacara kematian dilihat dari kurangnya

pemahaman dan minat kaum muda masyarakat Tionghoa saat ini.

Berdasarkan uraian di atas penulis hanya berbicara mengenai upacara kematian. Penulis

memfokuskan penilitian pada simbol yang digunakan atau dikenakan dalam upacara

kematian, yaitu 孝 服 Xià ofú (pakaian), 纱 Shābù (pangkat), 帽子 Mà ozi (topi), 窗 扇

Chuāngshàn (selempang). Selain menganalisis fungsi dari keempat simbol yang digunakan di

dalam upacara kematian, penulis juga akan mendeskripsikan bentuk simbol tersebut

berdasarkan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif serta menggunakan teori fungisional

dan semiotik untuk menganalisis fungsi dan makna simbol yang digunakan dalam upacara

kematian masyarakat suku Hokkian di kota Medan.

1.2 Batasan Masalah

Menghindari batasan yang terlalu luas dan dapat mengaburkan penelitian, maka

penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian Simbol yang digunakan

dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa suku Hokkian di kota Medan. Penulis

melakukan penelitian di kota Medan kecamatan Medan Area tepatnya di persemayaman

Angsapura jalan Waja No 2-4 Asia. Pemilihan tempat di persemayaman Angsapura

didasarkan karena, dari ketiga persemayaman yang ada di kota Medan, persemayaman

Angsapura kental terhadap kepercayaan Budha, dan lokasinya terletak di lingkungan

(20)

1.3.Rumusan Masalah

Simbol yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam upacara kematian masyarakat

Tionghoa merupakan salah satu atribut yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam upacara

kematian yang terdiri dari beberapa jenis dan memiliki fungsi dan makna sendiri. Berkaitan

dengan latar belakang di atas permasalahan yang akan di angkat dalam skripsi ini:

1. Bagaimana jenis simbol yang digunakan dalam upacara kematian masyara kat Tionghoa suku

Hokkia n ?

2. Bagaimana fungsi dan makna simbol yang digunakan dalam upacara kematian masyarakat

Tionghoa suku Hokkian ?

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin di capai penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan jenis-jenis simbol yang digunakan dalam upacara kematian

masyarakat Tionghoa suku Hokkian.

2. Untuk mendeskripsikan fungsi dan makna simbol yang digunakan dalam upacara kematian

(21)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat terbagi menjadi dua yaitu:

1.5.1 Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian skripsi ini yaitu diharapkan dapat memperkaya

khasanah tentang upacara-upacara budaya masyarakat Tionghoa, serta diharapkan juga dapat

menjadi referensi bagi penelitian lanjutan tentang budaya, khususnya budaya Tionghoa.

1.5.2 Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian skripsi ini yaitu diharapkan dapat menambah

pemahaman pemerhati budaya tentang simbol-simbol yang digunakan dalam upacara

kematuan masyarakat Tionghoa.

Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat Tionghoa,

Khususnya generasi muda masyarakat Tionghoa untuk lebih memahami makna dan fungsi

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan

dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Kajian pustaka

merupakan hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari (KBBI, 1990:951 ).

Sabriandi, Erdian. 2008. dalam Tesis “Analisis SemiotiK Syair-Syair Upacara Kematian

Etnis China dikota Medan”. Medan: USU Press. Tesis ini menguraikan tata urutan upacara

kematian masyarakat cina. Teori didalam tesis ini menggunakan teori semiotik menurut

Charles Sanders Pierce ( 1893- 1914), Ferdinand De Saussure (1857-1913), dan Charles

Morris (1955).

Pardosi, Jhonson. 2008. dalam Logat “Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada

Adat Perkawinan Batak Toba”. Medan: USU Press. Menguraikan tentang makna simbol

-simbol yang dipakai dalam upacara pernikahan masyarakat batak Toba. Teori yang digunakan

pada pembahasan adalah teori interaksi simbolik yang bercikal bakal dari faham

fenomenologi, berusaha memahami tentang suatu “gejala” erat hubungannya dengan situasi,

kepercayaan, motive pemikiran yang melatarbelakangi.

Andhara, Aisya. 2008. dalam Skripsi “Simbol Fú (福) dalam Perayaan Tahun Baru

Cina”. Depok: UI Press. Menguraikan tentang makna simbol Fú 福 dalam perayaan tahun

baru Cina dan memaparkan makna simbol-simbol yang ada dalam tahun baru Cina seperti

(23)

Ningsih, Sri. 2011. dalam Artikel “Upacara kematian Tionghoa upacara kematian

masyarakat Tionghoa. Upacara kematian Sangat erat kaitannya dengan ajaran Konfusius,

yaitu tanda bakti seorang anak kepada orangtuanya, dan tujuannya untuk menunjukkan rasa

hormat kepada orangtua almarhum agar mendapatkan kehidupan yang damai.

Rinto, Jiang. 2011. dalam Artikel “Budaya dan adat-istiadat Tionghoa”. Menyatakan

bahwa pangkat digunakan hanya sebagai tanda belasungkawa oleh masyarakat Tionghoa ,

walaupun dalam keadaannya orang tersebut telah memeluk agama, penggunaan pangkat ini

hanyalah bentuk simbolis saja. Sama halnya dengan pengibaran bendera setengah tiang di

Indonesia, sebagai tanda berkabung untuk menghormati orang yang telah meninggal di

Indonesia.

Xuan, Tong. 2011. dalam Artikel “Tradisi Upacara Pemakaman dan Kematian

Tionghoa”. Menguraikan bahwa upacara yang dilakasanakan dalam upacara kematian,

memiliki tahapan dan aturan menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa .

2.2 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide pemikirian yang akan dituangkan secara konkret

melalui pemahaman dan pengeritian dari para ahli. Konsep merupakan rancangan, ide atau

pengertian yang diabstrakkan dalam istilah kongkret, gambaran mental dari objek atau apapun

yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,

(24)

Singarimbun (1989:33) mendefinisikan konsep sebagai “…istilah dan definisi yang

digunakan untuk menggambar secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi

pusat perhatian”.

Konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan

penyamaan persepsi tentang apa yang akan di teliti serta menghindari salah pengertian yang

dapat mengaburkan tujuan penelitian.

2.2.1 Masyarakat Hokkian

Beberapa ahli memberikan definisi tentang masyarakat, seperti Smith, Stanley, dan

Shores, (1950:5) mendefinisikan masyarakat sebagai ”…suatu kelompok individu-individu

yang terorganisasi serta berfikir tentatang diri mereka sendiri sebagai suatu kelompok yang

berbeda”.

Berdasarkan pengertian di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan dari masyarakat,

bahwa masyarakat merupakan kelompok yang terorganisasi, dan masyarakat juga merupakan

suatu kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok lainnya.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berkumpul dan bermungkim disuatu tempat

yang belajar dan menghasilkan kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003:23).

Masyarakat Tionghoa datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira

pertengahan abad ke-19 pada zaman penjajahan Belanda. Imigran dari Cina ini mayoritas

berasal dari dua daerah yang berbeda yaitu berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan dan

(25)

bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang

mereka gunakan. Ada beberapa suku bangsa Tionghoa yang ada di Medan, diantaranya adalah

suku Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Ai lo hong, dan Tio chio.

Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli

kontrak, dan buruh kebun bagi orang Belanda melalui penyalur yang berasal di Cina dan

disalurkan ke Indonesia khususnya kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui

kekalahannya dan meninggalkan Indonesia, maka masyarakat Tionghoa mengambil alih

perkebunan Belanda dan menjadikan kebun menjadi ladang untuk mereka mencari nafkah.

2.2.2 Kebudayaan

Kebudayaan merupakan sistem ide atau gagasan yang diperoleh melalui proses belajar

manusia. Koentjaraningrat (2009:144) mengatakan, “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

diri manusia dengan belajar”. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia

adalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang

tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks,

beberapa tindakan akibat proses fisiologi.

Berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri, seperti: makan, minum,

atau berjalan dengan kedua kaki. Manusia makan pada waktu tertentu, makan dan minum

dengan menggunakan alat-alat. Prilaku sopan santun manusia yang sering sangat rumit dan

perlu dipelajari dahulu dengan susah payah. Manusia berjalan tidak hanya menurut wujud

(26)

berjalan seperti seorang prajurit, pragawati dengan gaya berjalan yang lebah lembut, dan

lainnya. Semua yang dilakukan manusia melalui proses belajar. (Koentjaraningrat, 2009:146)

Berbicara tentang konsep kebudayaan sama dengan menyelami lautan luas yang tidak

terbatas, sehingga tidak mengherankan bila sejak kemunculan ilmu antropologi sa mpai

dengan perkembangannya yang sekarang terdapat begitu banyak ragam dan variasi mengenai

konsep tersebut.

Kluckhon (2009:145) mengatakan, ”Kebudayaan adalah segala tindakan yang harus

dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior)”.

Eppink (www.Wikipedia.com) mengatakan “…kebudayaan mengandung keseluruhan

pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur

sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang

menjadi ciri khas suatu masyarakat”.

Berdasarkan definisi di atas, diperoleh pengertian bahwa kebudayaan sebagai sesuatu

yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang

terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu

bersifat abstrak.

Perwujudannya kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai

makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya

pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang

kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan

(27)

2.2.3 Upacara Kematian

Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin

dihindari. Kematian pasti akan dialami tiap manusia. Kematian begitu menyengat nyawa,

tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan Agama. Bruce Milne (1982:16)

mengatakan “…kematian merupakan salah satu bentuk hukuman ilahi”. Menurut alkitab

firman Tuhan, walaupun kematian tidak terelakkan, bukan merupakan akhir dari segala

sesuatu. Itu sebabnya manusia yang di beri kesempatan untuk hidup haruslah mempergunakan

kesempatan dengan sebaik-baiknya.

Menurut pandangan filsafat Tionghoa tentang kematian, baik dari Taoisme dan Ruisme,

kematian bukanlah hal yang menakutkan. Kematian dianggap sebagai perjalanan atau juga

kembali ke asal. kembali ke asal yaitu kembali dengan jiwa yang baru, karena masyarakat

Tionghoa mempercayai adanya reinkarnasi setelah kematian. Dalam konsepnya memang

terlihat seperti mengingkari takdir kehidupan manusia, tapi dengan belajar memahami konsep

ruang dan waktu menurut filsafat Tionghoa , kita bisa memahami apa itu keterikatan kepada

ruang dan waktu.

Upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa , merupakan tradisi yang masih sangat tabu

untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka

atau sial. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa apabila upacara kematian

dijalankan dengan ritual keagamaan yang benar maka kelak mereka keturunannya tidak akan

(28)

Menurut konsep budaya Tionghoa maupun filsafatnya, ada tiga hal yang terpenting dalam

kehidupan manusia yaitu lahir, menikah dan meninggal. Seperti yang dikatakan Kong Zi

seorang filsuf Cina mengatakan, “kita bisa mengetahui kematian setelah kita memahami apa

itu kehidupan”. Tradisi Tionghoa sangat menuntut agar anak-anaknya senantiasa

menghormati orang tua. Upacara kematian Tionghoa sendiri ada empat upacara yang

dilakukan yaitu,

1. Upacara sebelum masuk peti mati

2. Upacara masuk peti dan penutupan peti

3. Upacara pemakaman

4. Upacara sesudah pemakaman

2.2.3.1Upacara Sebelum Masuk Peti Mati

Sejak kematian seseorang yang sudah mempunyai cucu, para anak dan cucu harus

membakar kertas perak yang merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat. Kegiatan ini

dilakukan sambil memanjatkan doa.

Sebelum mayat dimasukkan ke dalam peti mati, mayat harus dimandikan, setelah bersih

lalu diberi pakaian yang terbuat dari kain blacu. Sesudah diberipakaian orang yang meninggal

dibaringkan dan kedua mata, lubang hidung, mulut, serta telinga, diberi mutiara sebagai

lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.

Sisi kiri dan sisi kanan peti orang yang meninggal diisi pakaiannya. Sedangkan, sepatu

(29)

orang yang meninggal pada masa hidupnya menggunakan kacamata, maka kedua kaca pada

kaca mata tersebut harus dipecahkan. Hal ini melambangkan bahwa orang yang meninggal

telah berada di alam lain.

2.2.3.2 Upacara Masuk Peti dan Penutupan Peti

Ketika upacara masuk peti berlangsung, seluruh keluarga harus mengenakan pakaian

tertentu yang terbuat dari kain katun atau blacu. Anak laki-laki mengenakan pakaian yang

terbuat dari kain blacu. Kepala memakai topi atau ikat kepala yang terbuat dari kain tetron

atau blacu. Pakaian ini di pakai untuk mengikuti prosesi upacara masuk peti.

Sesudah masuk peti, dilaksanakan upacara penutupan peti dengan memanjatkan doa-doa

yang di pimpin oleh Biksu atau Biksuni bagi yang beragama Budha. Upacara ini cukup lama,

dilaksanakan dengan mengelilingi peti mati. Pada saat upacara ini dilakukan pemecahan

sebuah kaca yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan

masyarakat Tionghoa , pada hari ketujuh mendiang bangun dan akan melihat kaca yang

dipecahkan tersebut sehingga orang yang meninggal menyadari dia bahwa dirinya sudah

meninggal.

2.2.3.3 Upacara Pemakaman

Menjelang peti akan di angkat, diadakan penghormatan terakhir kepada orang yang

meninggal. Penghormatan berupa pembacaan doa-doa dengan dipimpin oleh Biksu atau

(30)

dengan cara berjalan jongkok sambil terus menangis mengikuti arah jalan Biksu atau Biksuni.

Perjalanan menuju tempat pemakaman, pihak anak dari orang yang meninggal juga harus

dilakukan dengan berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah.

Demikian pula setelah selesai penguburan. kembali diadakan upacara penguburan.

Upacara dilakukan untuk memohon kepada dewa bumi (toapekong) agar mau menerima

jenasah dan arwah mendiang. Upacara dilakukan sambil membakar uang akhirat. Setibannya

di rumah, upacara dilanjutkan dengan membasuh muka dengan air kembang. Membasuh

muka dengan air kembang bermakna agar dapat melupakan wajah mendiang.

2.2.3.4Upacara Sesudah Pemakaman

Dari awal upacara kematian berlangsung sampai upacara ini selesai, semua keluarga harus

memakai pakaian dan pangkat yang terbuat dari sepotong blacu yang diikatkan di lengan atas

kiri. Keluarga mendiang tidak boleh memakai pakaian warna ceria seperti, merah, kuning,

coklat, oranye. Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal.

Upacara yang dilakukan sesudah pemakaman hanya memanjatkan doa untuk orang yang

meninggal, agar jalan orang yang meninggal menuju surga lebih mudah.

2.2.4 Simbol Kekerabatan

Simbol merupakan lambang pengertian yang tersirat, sehingga memuat kesan misteri dam

(31)

makna dibalik simbol tersebut. Fungsi simbol itu sendiri sebagai pengganti suatu objek yang

ingin ditampilkan dengan cara yang lain (Zeffry 1999:25).

Kekerabatan adalah hubungan antara tiap keluarga yang memiliki asal-usul silsilah yang

sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah

salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial,

peran, kategori dan silsilah. Hartono, (1993:43) mengatakan “…Ikatan kekerabatan keluarga

menciptakan ikatan yang lebih kuat dari pada ikatan apapun”.

Masyarakat Tionghoa memiliki kekerabatan sama seperti suku Batak di Indonesia.

Memiliki sistem kekerabatan patrilineal yaitu garis keturunan di ambil dari pihak laki-laki

atau ayah. Kekerabatan masyarakat Tionghoa juga di kenal dengan istilah anak dalam dan

anak luar.

Bagi masyarakat Tionghoa anak dalam ialah istilah untuk anak laki-laki dan anak

perempuan yang belum menikah, dan sebutan istilah anak luar hanya digunakan untuk anak

perempuan yang sudah menikah, begitu juga halnya dengan cucu luar, yang berarti bahwa

cucu tersebut merupakan anak dari anak luar (anak perempuan yang sudah menikah).

Kekerabatan masyarakat Tionghoa dapat dilihat juga dari simbol kekerabatan yang

digunakan pada saat upacara kematian masyarakat Tionghoa suku Hokkian. Simbol

digunakan untuk menunjukan hubungan kekerabatan keluarga yang memakai simbol

kekerabatan dengan orang yang meninggal.

Setiap keturunan memakai simbol yang sama sesuai dengan hubungan kekerabatan

(32)

penunjuk hubungan kekerabatan yang dimiliki. Simbol yang digunakan dalam upacara

kematian terdiri dari empat jenis yaitu, pangkat, pakaian, selempang, dan topi.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada

pengetahuan tentang serangkaiaan fakta saja, tetapi tidak aka nada ilmu pengetahuan.

Koentjaraningrat (1973:10) mengatakan, “…untuk menganalisis lebih dalam fungsi dan

makna pangkat dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa , penulis menggunakan teori

fungsional dan semiotik.

2.2.1 Teori Fungsional

Teori fungsional ini adalah teori yang biasa digunakan dalam ilmu sosial dan ilmu budaya.

Teori ini dikemukaan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski lahir di Cracow,

Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam

ilmu sastra slavik, jadi tidak heran jika Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak

memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 Malinowski lulus Fakultas Ilmu Pasti

dan Alam dari Universitas Cracow. Kegemarannya membaca buku-buku folkor dan

dongeng-dongeng rakyat, Malinowski menjadi tertarik kepada ilmu psikologi dan kemudian belajar

psikologi kepada professor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).

Malinowski mengembangkan suatu kerangka teori untuk menganalisis fungsi kebudayaan

masyarakat yang disebut dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a funcitional theory

(33)

Sebuah orientasi teori yang dinyatakan oleh Malinowski (2006:66) mengatakan

“…semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat”.

Pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan dinyatakan dalam setiap pola kelakuan yang

sudah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat yang memenuhi beberapa fungsi mendasar

dalam kebudayaan yang bersangkutan. Malinowski (2006: 67) mengatakan:

“fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuan untuk memenuhi beberapa kebutuhan

dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari pada warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan”.

Untuk meneliti fungsi simbol kekerabatan pada penelitian ini, penulis menggunakan teori

fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme mengacu pada

fungsi tiap jenis simbol yang di pakai oleh masyarakat Tionghoa dalam upacara kematian.

2.2.2 Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semeion yang berarti tanda. Tanda tersebut

dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan

bersama dengan istilah semiologi, baik semiotik atau semiologi sering digunakan

bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular Endaswara (2008: 64).

Berlo (1960:50) mengatakan, “…melalui teori semiotik seseorang dapat menganalisis

(34)

penggunaan lambang, pemaknaan pesan, dan cara penyampaiannya Dalam teori semiotik juga

dibicarakan hubungaan segitiga antara lambang, objek, dan Barthes (1967:79).

Roland Barthes seorang penerus pemikiran Saussure mengemukakan pendapatnya

mengenai semiotik. Kusumarini (2006:26) mengatakan “Denotasi adalah tingkat pertandaan

yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna

eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkatan pertandaan yang menjelaskan

hubungan peanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak

langsung, dan tidak pasti”.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks

dengan pengalaman personal dan cultural penggunaannya, interaksi antara konvensi dalam

teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunaannya. Gagasan Barthes di

kenal dengan “order of signification” yang mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai

kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Inilah

titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah

signifier-signified yang diusung Saussure (Koentjaraningrat, 2009).

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu

masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah

terbentuk system sign-signifier-signfied, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang

kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang

memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna

(35)

Penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes untuk

menganalisis makna simbol kekerabatan yang digunakan dalam upacara kematian masyarakat

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti fungsi dan makna simbol kekerabatan

dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa adalah metode deskriptif dengan menggunakan

pendekatan kualitatif. Fokus penulisan ini yaitu dengan memperhatiakan dinamika hubungan

antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.

Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk menganalisis dan menyajikan fakta secara

sistematik sehingga lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan dan dengan teknik

observasi penulis melakukan penggumpulan data primer dengan cara pengamatan langsung

dan merekam hal-hal yang dapat diamati.

Secara deskriptif penulis dapat memberikan ciri-ciri, bentuk, serta gambaran tentang hasil

penelitian melalui pemilihan data setelah semua data terkumpul. Penulis juga akan

mempertimbangkan semua data dari segi hubungan keterkaitan data tersebut dengan

penelitian yang dilakukan.

3.1.1 Data dan Sumber data

Data adalah keterangan berdasarkan fakta yang ada disimpan atau dicari untuk

mendapatkan kebenaran. Apabila dilihat dari (KBBI 1990:187) data adalah keterangan yang

benar dan nyata, yang dapat dijadikan dasar kajian. Data dalam penelitian ini dibagi menjadi

(37)

Sumber data penelitian ini diperoleh melalui studi lapangan dan kepustakaan. Sumber

data utama di peroleh melalui hasil penelitian lapangan di Angsapura dengan ibu Afuk yang

merupakan pegawai Angsapura dan ibu Cheng Gui Yik keturunan Tionghoa yang memahami

simbol dalam upacara kematian, ibu Rafiah dan bapak Andi yang juga pegawai Angsapura.

Data skunder dalam penelitian ini di peroleh dari buku, artikel, dan jurnal yang memilki

hubungan dengan upacara kematian.

3.1.2 Teknik pengumpulan data

Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini di dapat dari kepustakaan yang

merupakan data pendukung, yaitu: buku-buku, artikel, dan jurnal baik yang berbahasa

Mandarin maupun yang berbahasa Indonesia. Hal pertama yang dilakukan penulis yaitu

mengumpulkan buku-buku, artikel dan jurnal yang berhubungan dengan upacara kematian

masyarakat Tionghoa . Setelah semua terkumpul terlebih dahulu penulis membaca lalu

mengklasifikasikan buku-buku, jurnal, dan artikel yang dapat dijadikan bahan untuk

penelitian.

Setelah data pendukung terkumpul selanjutnya penulis melakukan observasi lapangan

ke tempat penelitian. Hal pertama yang dilakukan penulis, yaitu melihat, menyimak, dan

mendengar setiap keadaan yang ada disekeliling tempat penelitian. Pada hari yang berbeda

penulis melakukan penelitian dengan mewawancarai narasumber yaitu ibu Afuk dan ibu

Rafiah. Hasil observasi berupa catatan wawancara, dokumentasi dan rekaman dikumpulkan

(38)

3.1.3 Teknik analisis data

Data yang sudah diperoleh melalui penelitian lapangan, dan kepustakan akan diolah

dan dilakukan dengan melakukan seleksi data. Data yang tidak memiliki hubungan dengan

penelitian maka data akan digugurkan atau dilengkapi dengan subtitusi data selanjutnya yang

telah lulus dalam seleksi data. Penyeleksian data dilakukan untuk mempermudah proses

penulisan (Abdurahman 2005:38).

Teknik analisis yang dilakukan untuk menganalisi fungsi dalam upacara kematian

yaitu dengan menggunakan teori fungsional yang dikemukakan oleh Malinwoski memaparkan

dan menguraikan setiap fungsi dari simbol yang digunakan dalam upacara kematian. Begitu

juga dengan menganalisis makna simbol dalam upacara kematian yaitu dengan menggunakan

teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes.

Kemudian dilakukan diskusi penulis dengan dosen pembimbing dalam penulisan hasil

penelitian, yang mana akhirnya semua bahan itu dimasukkan kedalam tulisan secara

tersruktur dan logis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,

dengan menggunakan metode ini diperoleh hasil penelitian dibuat berdasarkan garis

pemikiran yang konsisten. Setelah itu data diintrepretasikan secara logis dan analisis

(39)

BAB IV

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN

4.1Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

Berdasarkan data yang di peroleh dari badan pusat statistika kota Medan diketahui bahwa

dahulu kala kota Medan di kenal dengan nama Tanah Deli, keadaan tanahnya berawa -rawa

dengan luas kurang lebih 4000 Ha. Beberapa sungai yang bermuara ke selat Malaka melintasi

kota Medan. Sungai-sungai tersebut adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai,

Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan, Dan Sei Sulung. Setelah zaman kemerdekaan lama

kelamaan istilah Tanah Deli secara berangsur angsur lenyap menjadi kota Medan.

Pada zaman penjajahan bangsa Belanda di Tanah Deli masyarakat Indonesia mengalami

tantangan yang sangat berat. Sebelum bangsa Belanda menguasai Sumatera Utara, bangsa

Belanda harus berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Tapanuli yang pada saat itu

dipimpin oleh raja Sisingamangaraja. Tanah Deli dikuasai bangsa Belanda kurang lebih

selama 78 tahun yaitu sejak tahun 1864 sampai 1942.

Berawal dari Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh sekutu

Inggris yang di pimpin oleh Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatan kesultanan

Ismail melemah, maka Sultan Ismail meminta perlindungan dari bangsa Belanda. Sejak saat

itu terbukalah kesempatan Belanda untuk menguasai kerajaan Siak Sri Indrapura yang

dipimpin Sultan Ismail. Pada tanggal 1 februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk

menandatangani perjanjian agar daerah Sumatera Timur dan Tanah Deli masuk kekuasaan

(40)

Setalah pusat pemerintahan dan perdagangan pindah ke Medan Putri dan Istana

kesultanan Deli yang awalnya berada di Kampong Bahari (Labuhan) pindah ke Istana

Maimoon pada tanggal 18 mei 1891 ibu kota Deli resmi pindah ke Medan, dan kekuasaan

dipegang oleh bangsa Belanda.

Pada tahun 1918 tercatat jumlah penduduk Medan sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari

bangsa Eropa 409 jiwa, bangsa Indonesia 35.009 jiwa, bangsa Tionghoa 8269 jiwa, dan

Timur Asing lainnya (bangsa Arab) 139 jiwa. Masyarakat Tionghoa masuk ke Sumatera

Utara pada abad ke 16 sampai 19. Berawal dari penyalur tenaga kerja di Cina yang

menawarkan pekerjaan sebagai kuli bangunan, kuli kontrak, dan petani kebun, lalu

masyarakat Tionghoa datang ke Sumatera Utara. Pada masa penjajahan bangsa Belanda,

masyarakat Tionghoa bersama masyarakat pribumi Indonesia menjadi budak Belanda. Selama

kurang lebih 78 tahun bangsa belanda Belanda menjajah Sumatera Utara, selama itu pula

perbudakan atas masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi Indonesia berlangsung.

Sampai akhirnya tahun 1942 penjajahan bangsa Belanda berakhir di Sumatera Utara dan

ketika itu juga bangsa Jepang mendarat di Sumatera utara untuk mengambil alih kekuasaan

bangsa Belanda.

Pada masa berakhirnya kekuasaan bangsa Belanda masyarakat Tionghoa dan masyarakat

pribumi yang menjadi budak, kuli kontrak, dan petani kebun mengambil alih tanah garapan

untuk di olah secara pribadi. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama dikarenakan bangsa Jepang

segera mengerahkan pasukannya yang bernama Kampetai (Polisi Militer Jepang) untuk

(41)

Penguasaan bangsa Jepang di kota Medan membuat masyarakat pribumi dan Tionghoa

semakin terpuruk. Bangsa Jepang membentuk kegiatan kerja paksa yang dinamakan Heiho,

Romusha , Gyu Gun dan Talapeta . Pada masa ini masyarakat Tionghoa menjadi bulan-bulanan

bangsa Jepang. Bangsa Jepang menganggap masyarakat Tionghoa sebagai budak mereka dan

menghina mereka karena umumnya masyarakat Tionghoa pada saat itu tidak memgenyam

pendidikan. Bangsa Jepang memanggil mereka dengan sebutan Cina. Hal ini lah yang

membuat masyarakat Tionghoa hingga saat ini merasa terhina jika dipanggil dengan sebutan

orang Cina. Sindiran dengan panggilan orang Cina selalu mengingatkan mereka akan

keterpurukan mereka pada masa penjajahan bangsa Jepang.

Setelah bom atom jatuh melanda kota Hiroshima, penguasa Jepang menyadari

kekalahannya dan segera menghentikan segala kegiatannya terutama kegiatan kerja paksa

seperti Heiho, Romusha, Gyu gun, dan Talapeta . Kegiatan ini secara resmi dibubarkan pada

tanggal 20 Agustus 1945, dan pada hari itu juga penguasa Jepang yang disebut Tetsuzo

Na ka shima mengumumkan kekalahan mereka. Dan bangsa Indonesia mengumumkan

kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945.

Masyarakat Tionghoa yang datang ke kota Medan berasal dari dua provinsi yang berada di

Cina yaitu: Fujian dan Guandong. Setiap provinsi memilki suku yang berbeda-beda yaitu:

Hokkia n dan Khek berasal dari provinsi Fujian sedangkan suku Tiochiu dan Konghu berasal

dari provinsi Guandong walaupun sedikit banyak masyarakat suku Hokkian juga menyebar di

provinsi Guangdong. Masyarakat Tionghoa suku Hokkian yang berasal dari provinsi Fujian

merupakan masyarakat pertama yang datang ke kota Medan. Berikut peta yang menunjukakan

(42)

Gambar 4.1 (Sumber foto: Forum Budaya Tionghoa 2007 ) Peta asal usul suku Tionghoa

4.2Penduduk Tionghoa di Kota Medan

Kota medan memiliki luas wilayah mencapai 265,10 km², dan kepadatan penduduk yang

mencapai 7.913 jiwa. Pada tahun 2010 penduduk kota Medan mencapai 2.097.610, di banding

hasil sensus penduduk 2000 terjadi pertambahan penduduk sebesar 193.337 jiwa atau naik

hingga (10.15%). Hal ini menyatakan bahwa setiap tahunnya pertumbuhan kota Medan

sangatlah pesat. Kota Medan terdiri dari 12 suku yaitu: Melayu, Karo, Simalungun,

Tapanuli/Toba, Mandailing, Pakpak, Nias, Jawa, Minang, Aceh, juga Tionghoa .

Menurut survei BPS tahun 2000 penduduk Tionghoa yang mendiami kota Medan

mencapai 202.839 jiwa. Penduduk Tionghoa menyebar diberbagai kecamatan di kota Medan

[image:42.595.177.479.81.283.2]
(43)

Baru, selayang, Sunggal, Helvetia, Petisah, Barat, Timur, Perjuangan, Tembung, Deli, Labuan,

Merelan, dan Belawan.

Medan Area merupakan kecamatan yang banyak ditemui warga negara Indonesia turunan

Tionghoa yaitu sebanyak 29.386 jiwa. Mereka terdapat di kecamatan suka Ramai II 6.513

jiwa, sei Rengas II 6.270 jiwa, dan Pandau Hulu II 8.210 jiwa. Sebagian besar penduduk

dikecamatan Medan Aren merupakan Pedagang (44%) dan pegawai swasta (40%). Daerah

Medan Area terdapat persemayaman bagi masyarakat Tionghoa yang di beri nama Yayasan

Sosial Angsapura di singkat Yasora yang resmi didirikan pada tanggal 21 Januari 1984

terletak di jalan Waja no. 2-4 Medan. Yayasan ini merupakan tepat pesemayaman sosial yang

didirikan oleh masyarakat Tionghoa.

4.3Agama dan Kepercayaan

Pada dasarnya pandangan berpikir masyarakat Tionghoa selalu mengembalikan hakekat

keharmonisan antara kehidupan langit (alam gaib) dan kehidupan di bumi (alam dunia nyata).

Mereka percaya bahwa alam semesta sebagai akibat dari inkarnasi (kekuatan alam). Alam

dikuasai oleh spirit-spirit yang kekuatannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah

ekspresi dari kekuatan-kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit-spirit yang mendiami alam.

Beberapa spirit itu berada dan hidup di dalam fenomena-fenomena alam seperti langit,

matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung, serta fenomena-fenomena alam lainnya.

Spirit-spirit alam tersebut adalah spirit yang berasal dari arwah leluhur yang kekuatan

(44)

Menurut dasar pikiran masyarakat Tionghoa , seluruh fenomena alam itu dapat dibagi dua

klasifikasi yaitu yang dan yin. Yang merupakan prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah

selatan, panasnya cahaya (siang), dan segala yang termasuk keaktifan, sedangkan yin adalah

suatu prinsip dasar wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala yang bersifat

pasif. Masyarakat Tionghoa beranggapan bahwa manusia harus dapat menyesuaikan diri

dengan ritme alam semesta. kehidupan harus harmonis dengan tiga dasar yaitu: kehidupan

langit, bumi, dan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu harus disesuaikan pula dengan

fengsui yang berarti angin dan air. Penyesuaian fengsui memiliki makna hidup manusia harus

disesuaikan dengan arah angin dan keadaan air di mana manusia bertempat tinggal. Tiap

bangunan yang dipergunakan harus pula disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan

terhindar dari segala malapetaka.

Dalam kehidupan masyarakat Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Toisme,

Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme) dan

dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). Dalam kehidupannya,

masyarakat Tionghoa memang sangat toleran terhadap soal-soal agama. Setiap agama di

anggap baik dan bermanfaat, begitu pula dengan ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha

yang mempunyai banyak kesamaan-kesamaan pandangan dan saling membutuhkan sehingga

ketiga ajaran tersebut berpadu menjadi satu (Supardi 2000).

4.3.1 Toisme

Ta oisme merupakan ajaran pertama bagi masyarakat Tionghoa yang dikemukakan

(45)

amat kecewa akan kehidupan dunia, sehingga memutuskan untuk pergi mengasingkan diri

dengan tidak mencampuri urusan keduniawian. Laotze kemudian menulis kitab Tao Te Ching

yang kelak menjadi dasar pandangan ajaran Taoisme.

Ta o berarti “jalan” dan dalam arti luas yaitu realitas absolut, yang tidak terselami,

dasar penyebab, dan akal budi. Kitab Tao Te Ching memuat ajaran bahwa seharusnya

manusia mengikuti geraknya (hukum alam) yaitu dengan melihat kesederhanaan hukum alam.

Ajaran Tao mengajarkan bahwa manusia dapat menghindarkan diri dari segala keadaan yang

bertentangan dengan irama alam semesta. Taoisme diakui sebagai suatu presistematik berpikir

terbesar di dunia yang telah mempengaruhi cara berpikir masyarakat Tionghoa Agoeng

(1998:44).

Menurut ajaran Taoisme menyimpulkan hidup dengan posisi yang wajar, tidak

melebih-lebihkan, tidak melawan hakekat yang telah ditetapkan dan tetap berpegang dengan

alam. Haryono, (1994: 33) menyimpulkan bahwa pada dasarnya filsafat Taoisme dibangun

dengan tiga kata, yaitu

1. Tao Te, “tao” adalah kebenaran, hukum alam, sedangkan “te” adalah kebajikan. Jadi Tao Te berarti hukum alam yang merupakan irama dan kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya.

2. Tzu-Ya n artinya wajar. Manusia seharusnya hidup secara wajar, selaras dengan cara bekerja sama dengan alam.

3. Wu-Wei berati tidak campur tangan dengan alam. Manusia tidak boleh mengubah apa yang sudah diatur oleh alam.

Pada zaman pertengahan dinasti Han muncul seorang yang bernama Zhang Dao Ling,

yang juga menulis kitab Tao. Zhang Dao Ling juga menyembuhkan orang sakit, membuat

(46)

hingga pada akhirnya ajaran-ajarannya menjadi dasar dari agama Tao yang kemudian disebut

Ta o Jia o.

Pada penerapannya, aliran mereka berbeda dengan ajaran Tao yang dilontarkan oleh

Laotze. Jika Laotze mengajarkan hidup selaras dengan alam, Tao Jiao justru mengajarkan

upaya untuk menentang kehendak alam. Semua usaha mereka lakukan dengan jalan hidup

abadi seperti: membuat jimat-jimat dan kias guna menolak pengaruh jahat, sakit, penyakit,

dan sebagainya Setiawan, (1982: 156-157).

4.1.3.2 Konfusianisme

Konfusia nisme atau Konghuchu mulai di kenal di Cina melalui pemikiran-pemikirannya

yang cemerlang yang dilontarkan pada zaman Dinasti Chou (770-221 SM). Konghuchu lahir

pada tahun 551 SM berasal dari kota Lu, provinsi Sha ndong. Pada masa itu Dinasti Chou

tengah kehilangan kendali terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian

dari wilayah Cina.

Konghuchu dibesarkan oleh ibunya dan sudah kehilangan ayahnya ketika masih berusia

tiga tahun. Ketika dewasa dan bekerja sebagai pegawai di kuil bangsawan Zhou, Konghuchu

mengikuti semua detail-detail yang terdapat dalam perayaan yang akhirnya menjadikannya

sebagai seorang yang ahli dalam ritual agama kuno.

Konfusia nisme adalah humanisme, tujuan yang hendak di capai adalah kesejahteraan

manusia dalam hubungan yang harmonis dengan masyarakatnya. Kodrat manusia menurut

konfusius adalah pemberian langit, yang berarti bahwa dalam hal tertentu berada di luar

(47)

seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam manusia. Oleh

karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral

yang mempersatukan manusia dengan seluruh isi alam semesta.

Bagi Konfusius, manusia adalah bagian dari konstitutif seluruh isi alam semesta.

Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan harmoni alam di luarnya.

Ungkapan yang paling terkenal yang merupakan inti ajarannya yaitu tidak berbuat kepada

orang lain apa yang dia tidak sukai orang lain perbuatan pada dirinya. Secara praktis ajaran

Konfusius dapat disimpulkan menjadi tiga pokok yaitu,

1. Pemujaan terhadap Tuhan (Thian)

Konfusius mengajarkan keyakinan kepada pengikutnya bahwa Thian atau Tuhan

menjadi awal atas sumber kesadaran alam semesta dan segalanya. Konfusius menekankan

bahwa diperlukan sembahyang korban terhadap Thian. Pengertian Tuhan dalam kepercayaan

Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain yaitu sebagai

pencipta alam semesta dan segala isinya.

Kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai Thian atau Shangdi

atau Siang Te. Thian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini. Karena itu, kedudukan-Nya

berada di tempat yang paling agung, sedangkan para dewa dan malaikat yang lain adalah para

pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai dengan

(48)

2. Pemujaan terhadap Leluhur

Pemujaan terhadap leluhur adalah menolong seseorang untuk mengingat kembali

asal-usulnya yaitu asal mula manusia berasal dari leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap leluhur

memerlukan persembahan yang berupa sesajen. Sesajen dipersembahkan pada saat upacara

pemujaan akan dilaksanakan. Pelaksanaan upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dipimpin

oleh ayah sebagai kepala keluarga.

3. Penghormatan terhadap KonfusiusP

Masyarakat Tionghoa memiliki kewajiban untuk menghormati Konghuchu yang

mereka anggap sebagai guru besar,seperti halnya penghormatan terhadap orang tua.

Konghuchu di anggap telah berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai

sekarang masih terus diterapkan. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan

masyarakat Tionghoa membuat secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak ditujukan

kepada manusia sebagai makhluk hidup.

4.1.3.4 Buddhisme

Agama Buddha sudah menjadi bagian dari filosofi Cina selama hampir 2000 tahun.

Meskipun Buddha bukanlah merupakan agama asli, melainkan pengaruh dari India, tetapi

ajaran Buddha mempunyai pengaruh yang cukup berarti pada kehidupan masyarakat

Tionghoa. Pokok ajaram agama Buddha adalah bagaimana menghindarkan manusia dari

(49)

berpengetahuan akan sangat mudah terkena kejahatan dan sulit untuk membebaskan diri dari

penderitaan.

Pendiri agama Buddha adalah Sidharta Gautama. Beliau dilahirkan dari keluarga

bangsawan di India. Sewaktu kecil, ayahnya menjauhkan Sidharta dari segala macam bentuk

penderitaan dunia, sampai pada suatu hari secara tidak sengaja beliau melihat orang-orang

yang selama ini belum dilihatnya yaitu orang-orang tua, seorang yang sakit dan yang

meninggal. Kenyataan tersebut membuatnya kemudian meninggalkan istana dan bertapa di

bawah pohon bodhi.

Setelah bertapa selama enam tahun akhirnya Sidharta Gautama memperoleh

pencerahan dengan menemukan obat penawar bagi penderitaan, jalan keluar dari lingkaran

tanpa akhir yaitu melalui kelahiran kembali kepada suatu jalan menuju nirwana. Jalan ini

yang kemudian dikenal juga sebagai inti dari ajaran Buddha.

Buddhisme masuk ke Cina kira-kira abad 3 Masehi, pada masa pemerintahan Dinasti

Ha n. Ajaran Buddha di Cina mendapat pengaruh dari kepercayaan yang sudah ada

sebelumnya yaitu Taoisme dan Konfusiansianisme. Hal ini terlihat dari percampuran ketiga

ajaran tersebut dengan munculnya sekte Sha n, yang juga muncul di Jepang dengan nama Zen

yang merupakan Buddhisme India bercorak Taoisme Cina. Wujud dari agama ini adalah

timbulnya versi-versi signifikan dari dewata-dewata buddha , seperti Avalokitecvara, Maitreya,

dan sebagainya. Avalokitecvara berubah menjadi Dewi Welas Asih (Guan Yin atau Kwan Im).

Dewi ini sangat populer sekali dikalangan orang Cina, tempat orang memohon pertolongan

dalam kesukaran, memohon keturunannya, dan lain sebagainya. Kwan Im dalam

(50)

berbaju putih, Kwan Im membawa botol air suci, dan Kwan Im bertangan seribu.

Ava lokitecva ra , Ma itreya juga mempunyai wujud lain di Cina yaitu Mi le fo, seorang yang

bertubuh gemuk dan raut muka yang selalu tertawa. Dewa ini dikenal sebagai dewa

pengobatan.

Selain dewata-dewata Buddhis, di dalam sistem kepercayaan masyarakat Tionghoa

mengenal tiga penggolongan utama dewata, yaitu:

1. Dewata penguasa alam semesta yang mempunyai wilayah kekuasaan di langit. Para

dewata golongan ini di pimpin oleh dewata tertinggi yaitu Yu Huang Da Di, Yuan Shi

Tia n Sun, dan termasuk di dalamnya antara lain dewa-dewa bintang, dewa kilat, dan

dewa angin.

2. Dewata penguasa bumi yang memiliki kekuasaan di bumi, walau sebetulnya mereka

termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah dunia dan manusia, termasuk

akhirat. Mereka dikatakan sebagai para dewata yang menguasai Wu-Xing (lima unsur),

yaitu: (a) kayu (dewa hutan, dewa kutub, dan lain sebagainya); (b) api (dewa api, dewa

dapur); (c) logam (dewata penguasa kekayaan dalam bumi); (d) air (dewa sumur, dewa

sungai, dewa laut, dewa hujan, dan lain sebagainya); (e) tanah (dewa bumi, dewa gunung,

penguasa akhirat, dewa pelindung kota, dan lain sebagainya)

3. Dewata penguasa manusia, yaitu para dewata yang mengurus soal-soal yang

bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran, perjodohan, kematian, usia,

rezeki, kekayaan, kepangkatan dan lain sebagainya. Termasuk dalam golongan dewata

penguasa manusia ini adalah para dewata pelindung usaha pertokoan, dewata

(51)

dewata-dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari daerah

yang sama.

4.4Sistem Kekerabatan

Kekerabatan merupakan hubungan antara tiap keluarga yang memiliki asal-usul silsilah

yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan

adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok

social, peran, kategori dan silsilah. Menurut Hartono (1993:43) “Ikatan kekerabatan keluarga

menciptakan ikatan yang lebih kuat dari pada ikatan apapun”.

Masyarakat Tionghoa memiliki sistem kekerabatan yang diambil menurut garis keturunan

laki-laki atau ayah disebut juga patrilineal. Anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan

keluarga. Sistem kekerabatan masyarakat Tionghoa dikenal juga istilah cucu dalam dan cucu

luar. Anak laki-laki dan anak prempuan yang belum menikah disebut anak dalam, sedangkan

anak perempuan yang sudah menikah disebut anak luar karena anak perempuan dianggap

telah menjadi orang luar atau milik keluarga dari suaminya. Cucu dalam berasal dari anak

laki-laki dan cucu luar berasal dari anak perempuan.

Kekerabatan masyarakat Tionghoa memiliki sebutan tersendiri dalam panggilan nama tiap

anggota keluarga. Kakak laki-laki dipanggil dengan sebutan 哥 哥 gēgē, dan adik laki-laki

yang paling muda dipanggil dengan sebutan 弟 弟 dìdì. Kakak laki-laki tertua dipanggil

dengan sebutan 大 哥dàgē. Kakak perempuan dipanggil dengan sebutan jiejie,

èrjie jika memilki kakak perempuan ke dua, adik perempuan dipanggil dengan sebutan 妹 妹

(52)

Cucu dalam berasal dari anak laki-laki, memanggil kakek dengan sebutan yéye dan

nenek dengan sebutan 奶 奶 nǎinai. Sedangkan cucu luar berasal dari anak perempuan,

memanggil kakek dengan sebutan 外 公wàigōng dan nenek dengan sebutan 外婆 wàipó.

Cucu dalam memangil saudara perempuan dari ayah dengan sebutan gūgū. 大

dàgū adalah sebutan untuk saudara perempuan ayah yang paling tua, dan 小 xiǎogū adalah

sebutan untuk saudara perempuan ayah yang paling muda. Cucu dalam memanggil saudara

laki-laki ayah yang paling tua dengan sebutan 伯伯 bóbo dan saudara laki-laki ayah yang

paling muda dengan sebutan 叔叔 shūshu.

Cucu luar memangil saudara laki-laki ibu dengan sebutan 舅 舅Jiùjiu. 大 舅dà jiù adalah

sebutan untuk saudara laki-laki ibu yang paling tua, dan小舅 xiaojiu adalah sebutan untuk

saudara laki-laki ibu yang paling muda. Cucu luar memanggil saudara perempuan ibu dengan

sebutan 阿 姨āyí. 大 姨dà yí adalah sebutan untuk saudara perempuan ibu yang paling tua,

dan 小姨xiǎoyí adalah sebutan untuk saudara perempuan ibu yang paling muda

Cicit dalam berasal dari anak cucu dalam dan cicit luar berasal dari anak cucu luar

memiliki sebutan yang sama untuk memanggil kakek dan nenek yaitu 祖母zhèng zǔmǔ

(53)

Gambar

Gambar 4.1 (Sumber foto: Forum Budaya Tionghoa 2007 )                                          Peta asal usul suku Tionghoa
Gambar 5.1 (Sumber foto: Dameria Elisabet H)                                                          Pakaian yang di Pakai oleh Keluarga Orang yang Meninggal
Gambar 5.2 (Sumber foto: Dameria Elisabet H)                                                          Pangkat moa terbuat dari kain moa,                                                                   dengan ukuran panjang 3cm dan lebar 3cm
Gambar 5.5 (Sumber foto: Dameria Elisabet H)                                                          Pangkat hitam dan putih yang terbuat dari kain katun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika kita simak dari asumsi yang telah dijelaskan diatas, sebelum kita mengkaji lebih dalam mengenai fungsi gondang sabangunan pada upacara kematian saurmatua pada masyarakat

5.1 Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa dapat juga disebut hoksai , yang. merupakan bentuk maupun lambang

Tujuan upacara kematian pada masyarakat Melayu sesuai dengan ajaran agama Islam yaitu mati dalam Islam.. Untuk membedakan pelaksanaan

Pemaknaan simbol-simbol yang digunakan pada upacara pelepasan jenazah yang dilakukan masyarakat Tionghoa beragama Khonghucu di

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu

Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat Perka winan Ba ta k Toba. Medan:

Judul skripsi ini adalah ―Struktur Upacara Perkawinan Masyarakat Tionghoa Suku Hakka di Kota Medan‖.. Skripsi ini menganalisis struktur upacara perkawinan masyarakat

Dalam menjalankan penelitian ini, tujuan dari penulis adalah untuk mengetahui mengenai tiap-tiap tahap dari prosesi upacara kematian masyarakat Cina Benteng dan untuk