ANALISIS SIMBOL DALAM UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN
印尼棉兰华人亲属在丧礼中使用的物品意义研究
Yìnní mián lán huárén qīnshǔ zài sānglǐ zhōng shǐyòng de wùpǐn yìyì yánjiū
SKRIPSI
OLEH:
Dameria Elisabet Hutajulu NIM : 080710001
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SIMBOL KEKERABATAN DALAM UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT SUKU HOKKIAN DI KOTA MEDAN
印尼棉兰华人亲属在丧礼中使用的物品意义研究
Yìnní mián lán huárén qīnshǔ zài sānglǐ zhōng shǐyòng de wùpǐn yìyì yánjiū
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Budaya Sastra Cina.
SKRIPSI
Dikerjakan oleh:
Dameria Elisabet Hutajulu NIM : 080710001
Pembimbing 1, Pembimbing 2,
Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. Chen Shushu, MTCSOL NIP. 19600711 198903 2 001
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pengesahan Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada :
Hari/Tanggal : 13 Juli 2012 Pukul : 09.00 – 11.30
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Dr. Syuhron Lubis, M.A. NIP : 19511013 197603 1 001
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Dr. T. Thyrhaya, M.A ( )
2. Dra. Nur Cahaya Bangun, M. Si. ( )
3. Drs. Johnson Pardosi, M.Si ( )
4. Chen Shushu, MTCSOL ( )
Disetujui oleh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi Sastra Cina Ketua,
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedih
menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, 13 juli 2012 Penulis
ABSTRACT
The title of the paper is “Analisis Simbol Bagi Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan”. In This pa per, the wr iter to a na lyze the function a nd mea ning of symbols which a re used in Chinesse’s funeral ceremony. The symbols are孝服Xià ofú (costum), 纱 Shābù (pa ngka t), 帽子Mà ozi (ha t), 窗 扇Chuāngshàn (sa sh). The concept of the pa per is ta lking a bout a ll the symbols used in Chinesse Funera l Ceremony. The methodology of the pa per is descriptive qua lita tive a na lysis. The theory used in this pa per is funcitiona l a nd semiotic, theories to see the function a nd mea ning of a ll symbols used in Chinesse Funera ls Ceremonia l. The result is that all symbols used in the Chinesse Funerals Ceremonial have it’s own function and mea ning to the system of kinship.
Keywords : Symbols; Chinesse Funerals
Pertama-tama saya panjatkan Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih dan
berkatNya dalam hidup saya hingga saat ini selalu menyertai dan mengiringi langkah saya.
KasihNya yang mengajarkan saya kesabaran dalam menulis skripsi, dan berkatnya yang tidak
berkesudahan selalu melimpah dalam hidup saya. Hingga saya dapat menyelesaikan skripsi
yang diberi judul “Analisis Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian
di Kota Medan”.
Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Budaya,
Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Sepanjang
Menyusunan skripsi tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan
dukungan, semangat, materi, waktu, bimbingan dan doa kepada penulis. Oleh karena itu saya
ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A, selaku Ketua Program Studi Sastra Cina, Universitas
Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina,
Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan dan kritikan yang
4. Chen Shushu, MTCSOL selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan
waktu, memberikan banyak masukan, kritikan, dan semangat kepada saya selama
menulis skripsi Mandarin.
5. Bapak Drs. Johnson Pardosi, M.Si selaku dosen yang juga banyak membantu saya
memberikan masukan, kritik dan meluangkan waktunya selama menulis skripsi.
6. Ibu Dra.Chen Kui Ik M.Pd selaku dosen juga informan saya yang sangat banyak
membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Trimakasih untuk waktu dan tenaga
yang diberikan.
7. Seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program Studi Sastra China dari saya
semester satu sampai semester akhir semester delapan ini, dan staf pengajar Fakultas
Ilmu budaya yang telah memberikan ilmunya kepada saya dan mendidik saya selama
masa perkuliahan..
8. Kedua orang tua yang saya sayangi Ayahanda S.Hutajulu (Alm) dan Ibunda tercinta
R.Ritonga yang telah membesarkan saya, mendidik, memberikan doa, nasehat,
semangat, kasih sayang dan pengorbanan baik moril dan materil. Kepada abang dan adik
saya tercinta Samuel Hutajulu dan Christian Abara Hutajulu yang selalu memberikan
dukungan doa dan semangat kepada saya.
9. Teman-teman seperjuangan saya yang selalu ada disaat suka maupun duka, yang telah
banyak membantu dalam memberikan semangat, saran, kritik, dan canda tawa yang
menghibur dikala hati gunda. Mereka adalah pejuang dalam skripsi saya Miyanty
Lasma Darnica Hutabarat, juga teman-teman angkatan 2008 yang sama-sama berjuang
dalam menulis skripsi ini.
10. Teman terkasih saya Botak Laso yang selau memberikan semangat, doa, dan waktunya
disaat suka dan duka selama penulisan skripsi ini.
11. Keluarga persekutuan Adelphotes abang Jeckson Situmorang, kakak Naning, adik kecil
kami Adelfia, Juni, Fida, kakak Hilda, Ridho, City, Rahminie Parapat, Sry Dinda, abang
Hasan, kakak Kristine, abang Panda dan semua teman-teman yang tidak bias saya
sebutkan satu persatu. Terimakasi untuk doa, dan semangat selama penulisan skripsi ini.
12. Teman-teman spesial saya Andro Hutabarat, Yudhistira Siahaan, Marini, Sandro,
Renny, zai dan semua anak CCB yang tidak saya sebutkan satu persatu. Terimakasih
atas doa dan dukungannya.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi yang saya sajikan ini
sangat jauh dari sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan, oleh
Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu. Demikianlah ucapan terima kasih ini saya sampaikan, semoga Tuhan Yang Maha
Esa selalu memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Dan penulis berharap semoga skripsi
ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 13 Juli 2012
Penulis
Dameria Elisabet H
NIM 080710001
DAFTAR ISI
ABSTRAK………... i
KATA PENGANTAR………... ii
DAFTAR ISI………...…. v
DAFTAR GAMBAR………... ix
BAB I PENDAHULUAN……… 1
1.1 Latar Belakang………..….1
1.2Batasan Masalah………...………..…5
1.3Rumusan Masalah………..5
1.4Tujuan Penelitian………6
1.5Manfaat Penelitian………..6
1.5.1 Manfaat Teoris………...…………6
1.5.2 Manfaat Praktis………..6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI………...7
2.1 Kajian Pustaka……….7
2.2 Konsep……….9
2.2.1 Masyarakat Hokkian………..9
2.2.2Kebudayaan………...11
2.2.3 Upacara Kematian....…………...………..…………13
2.2.3.1 Upacara Sebelum Masuk Peti………..14
2.2.3.2 Upacara Masuk Peti……….15
2.2.3.3 Upacara Pemakaman...………16
2.2.3.4 Upacara Sesudah Pemakaman.………...……….16
2.2.4 Simbol Kekerabatan…………...……….…17
2.3 Landasan Teori………...………...………...18
2.3.1 Teori Fungisional……….………1
2.3.2 Teori Semiotik……….20
BAB III METODE PENELITIAN……….……….……….23
3.1 Metode Penelitian………...………23
3.1.2 Teknik Pengumpulan Data………....……….24
3.1.3 Teknik Analisis Data………..……….………..…….24
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA…..……..……27
4.1 Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan……….……….27
4.2 Penduduk Tionghoa di Kota Medan……….……….………..31
4.3 Agama dan Kepercayaan………..…….……….32
4.3.1 Toisme……….……….………33
4.3.2 Konfusianisme………....………..…..…35
4.3.3 Buddhisme………..……37
4.4 Sistem Kekerabatan……...……….…....40
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………….………...…….45
5.1 Jenis Simbol Kekrabatan dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan………..………..…45
5.1.1 Pakaian………..……….……….……45
5.1.1.1 Pakaian Untuk Orang Meninggal…….………..………46
5.1.1.2 Pakaian Untuk Keluarga Orang yang MeninggaL……….…..46
5.1.2 Pangkat…………..………..………...…………48
5.1.3 Topi……...……….……….51
5.1.4 Selempang..……….………53
5.2 Fungsi dan Makna Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan…….……….……...………...………….55
5.2.1 Fungsi Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa...55
5.2.1.1 Pakaian……….………..…………...55
5.2.1.2 Pangkat……….……….58
5.2.1.3 Topi ………...……….……….…….60
5.2.1.4 Selempang……….………...……….63
BAB V1 SIMPULAN……….………68
6.1 Simpulan………..……….…..68
6.2 Saran………..……….69
DAFTAR PUSTAKA……….70
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Peta Asal Usul Suku Tionghoa………...30
Bagan………..43
Gambar 5.1 Pakain yang di pakai oleh keluarga orang meninggal……….47
Gambar 5.2 Pangkat moa terbuat dari kain moa, dengan ukuran panjang 3cm dan lebar
3cm……….49
Gambar 5.3 Pangkat moa yang terbuat dari kain moa………50 Gambar 5.4 Pangkat yang terbuat dari kain katun atau tetron, dengan ukuran
panjang 3cm lebar 3cm………...50 Gambar 5.5 Pangkat hitam dan putih yang terbuat dari kain katun atau tetron
dipakai selama 49 hari……….50
Gambar 5.6 Topi yang di pakai anak laki-laki………...60
Gambar 5.7 Topi yang di pakai anak perempuan yang sudah menikah………..52
Gambar 5.8 Ikat kepala yang digunakan anak perempuan yang belum menikah……52
Gambar 5.9 Selempang yang terbuat dari kain katun atau tetron ini memiliki
ukuran panjang 200cm dan lebar 3cm………..54
Gambar 6.0 Prosesi upacara kematian dengan mengenakan baju berwarna putih dan celana hitam………...58 Gambar 6.1Prosesi upacara kematian dengan menggunakan pangkat………60 Gambar 6.2 Pihak keluarga memakai topi pada saat upacara penguburan
berlangsung………..62
Gambar 6.3 Selempang yang di pakai oleh menantu saat upacara kematian
berlangsung………..64
ABSTRACT
The title of the paper is “Analisis Simbol Bagi Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan”. In This pa per, the wr iter to a na lyze the function a nd mea ning of symbols which a re used in Chinesse’s funeral ceremony. The symbols are孝服Xià ofú (costum), 纱 Shābù (pa ngka t), 帽子Mà ozi (ha t), 窗 扇Chuāngshàn (sa sh). The concept of the pa per is ta lking a bout a ll the symbols used in Chinesse Funera l Ceremony. The methodology of the pa per is descriptive qua lita tive a na lysis. The theory used in this pa per is funcitiona l a nd semiotic, theories to see the function a nd mea ning of a ll symbols used in Chinesse Funera ls Ceremonia l. The result is that all symbols used in the Chinesse Funerals Ceremonial have it’s own function and mea ning to the system of kinship.
Keywords : Symbols; Chinesse Funerals
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Tionghoa terdiri dari 56 suku bangsa. Suku Hokkian yang berasal dari provinsi
Fujia n adalah salah satu suku yang paling banyak berimigrasi di Indonesia khususnya Medan.
Suku Hokkian juga merupakan suku yang pertama kali datang ke kota Medan. Suku Hokkian
yang berimigrasi ke Indonesia, kini telah menjadi warga negara Indonesia. Sesuai Pasal 2 UU
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia bahwa “orang Tionghoa
yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup
nasional”.
Awal kedatangan suku Hokkian ke Sumatera Utara adalah sebagai kuli kontrak dan buruh
kebun bangsa Belanda. Setelah bangsa Belanda tidak lagi berkuasa di Indonesia khu susnya
Sumatera Utara, perkebunan Belanda tersebut mereka ambil alih dan dikerjakan oleh suku
Hokkia n untuk memenuhi nafkah mereka.
Sama seperti setiap suku ataupun bangsa yang ada di dunia ini, masyarakat Tionghoa
memiliki budaya sendiri. Suku Hokkian sebagai salah satu suku bangsa Tionghoa , juga
memiliki adat dan budayanya sendiri. Setiap proses kehidupan mereka dinyatakan dalam
berbagai upacara budaya misalnya, kelahiran, perkawinan, maupun kematian.
Upacara kematian salah satu budaya masyarakat Tionghoa yang erat kaitannya dengan
kepercayaan masyarakat Tionghoa . Upacara kematian juga dilaksanankan sebagai bentuk
sesuai dengan ritual keagamaan yang benar, masyarakat Tionghoa percaya bahwa mereka
sebagai keturunan dari orang yang meninggal tidak akan diganggu oleh roh orang yang telah
meninggal.
Pelaksanaan upacara kematian yang dilaksanakan dengan tata cara tradisi yang lengkap di
percaya akan meringankan penderitaan orang meninggal. Upacara kematian juga dianggap
sebagai upacara pengantar roh ke surga melalui doa-doa yang dipanjatkan. Ritual yang
panjang dan penuh makna membuat ritual upacara kematian terasa sangat sakral.
Prosesi upacara kematian dilaksanakan dengan memakai atribut, yaitu sepasang lampion
putih, simbol kekerabatan (pakaian, pangkat, slempang, dan topi), dupa (hio), uang akhirat
(Gincua), dan lainnya. Tiap atribut memiliki fungsi dan makna masing-masing. Misalnya,
sepasang lampion putih, apabila salah satu dari kedua lampu lampion tersebut tidak menyala,
artinya pasangan dari orang yang meninggal tersebut masih hidup. Tetapi jika kedua lampu
lampion menyala, artinya pasangan dari orang yang meninggal tersebut telah meninggal
mendahului dia. Lampu lampion sebelah kiri adalah pihak laki-laki, dan lampu lampion
sebelah kanan adalah pihak perempuan. Sepasang lampion memiliki makna sebagai penerang
jalan orang yang meninggal untuk jalan menuju surga. Uang akhirat (Gincua ) yang dipercayai
sebagai uang yang akan dipakai orang meninggal di alam baka. Dalam pelaksanaan upacara
kematian uang akhirat akan dibakar, dan dipersembahkan kepada orang yang meninggal uang
akhirat yang terdiri dari emas atau perak, ukurannya besar atau kecil, menjadi penentu besar
Simbol kekerabatan merupakan salah satu atribut yang digunakan dalam upacara kematian
yang memiliki fungsi dan makna untuk menyatakan hubungan kekerabatan antara orang yang
meninggal dengan keluarga orang yang meninggal. Hubungan kekerabatan dalam keempat
simbol ini dapat di lihat dari warna yang digunakan.
Simbol dalam konsepnya dapat mewakili segala gagasan, tindakan dan komunikasi yang
kongkrit. Pada umumnya simbol melambangkan pengertian yang tersirat, sehingga membuat
kesan misteri dam magis. Kesan seperti itulah yang menjadi tantangan bagi manusia untuk
menggungkapkan makna di balik simbol tersebut. Fungsi simbol itu sendiri sebagai pengganti
suatu objek yang ingin ditampilkan dengan cara yang lain (Zeffry, 1999:25).
Seperti halnya simbol yang digunakan dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti
rambu-rambu lalu lintas memiliki fungsi dan makna sendiri. Begitu juga dalam upacara
budaya, khususnya dalam penelitian ini simbol yang digunakan dalam upacara kematian
masyarakat Tionghoa memiliki fungsi dan makna yang menyatakan hubungan kekerabatan
masyarakat Tionghoa antara orang yang meninggal dengan keluarga dari orang yang
meninggal. Simbol dalam upacara kematian ini dipakai oleh keluarga dari orang yang
meninggal.
Pemakaian simbol dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa hingga saat ini masih
dilaksanakan. Hanya saja pada umumnya masyarakat Tionghoa cenderung hanya mengetahui
apa saja jenis simbol kekerabatan tersebut, tetapi kurang memahami apa makna dan fungsi
dari simbol tersebut. Terutama untuk kaum muda masyarakat Tionghoa saat ini. Hal ini dapat
dilihat pada setiap upacara kematian kaum muda masyarakat Tionghoa hanya mengikuti
selempang tersebut. Menurunnya eksistensi upacara kematian dilihat dari kurangnya
pemahaman dan minat kaum muda masyarakat Tionghoa saat ini.
Berdasarkan uraian di atas penulis hanya berbicara mengenai upacara kematian. Penulis
memfokuskan penilitian pada simbol yang digunakan atau dikenakan dalam upacara
kematian, yaitu 孝 服 Xià ofú (pakaian), 纱 Shābù (pangkat), 帽子 Mà ozi (topi), 窗 扇
Chuāngshàn (selempang). Selain menganalisis fungsi dari keempat simbol yang digunakan di
dalam upacara kematian, penulis juga akan mendeskripsikan bentuk simbol tersebut
berdasarkan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif serta menggunakan teori fungisional
dan semiotik untuk menganalisis fungsi dan makna simbol yang digunakan dalam upacara
kematian masyarakat suku Hokkian di kota Medan.
1.2 Batasan Masalah
Menghindari batasan yang terlalu luas dan dapat mengaburkan penelitian, maka
penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian Simbol yang digunakan
dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa suku Hokkian di kota Medan. Penulis
melakukan penelitian di kota Medan kecamatan Medan Area tepatnya di persemayaman
Angsapura jalan Waja No 2-4 Asia. Pemilihan tempat di persemayaman Angsapura
didasarkan karena, dari ketiga persemayaman yang ada di kota Medan, persemayaman
Angsapura kental terhadap kepercayaan Budha, dan lokasinya terletak di lingkungan
1.3.Rumusan Masalah
Simbol yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam upacara kematian masyarakat
Tionghoa merupakan salah satu atribut yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam upacara
kematian yang terdiri dari beberapa jenis dan memiliki fungsi dan makna sendiri. Berkaitan
dengan latar belakang di atas permasalahan yang akan di angkat dalam skripsi ini:
1. Bagaimana jenis simbol yang digunakan dalam upacara kematian masyara kat Tionghoa suku
Hokkia n ?
2. Bagaimana fungsi dan makna simbol yang digunakan dalam upacara kematian masyarakat
Tionghoa suku Hokkian ?
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin di capai penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan jenis-jenis simbol yang digunakan dalam upacara kematian
masyarakat Tionghoa suku Hokkian.
2. Untuk mendeskripsikan fungsi dan makna simbol yang digunakan dalam upacara kematian
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat terbagi menjadi dua yaitu:
1.5.1 Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian skripsi ini yaitu diharapkan dapat memperkaya
khasanah tentang upacara-upacara budaya masyarakat Tionghoa, serta diharapkan juga dapat
menjadi referensi bagi penelitian lanjutan tentang budaya, khususnya budaya Tionghoa.
1.5.2 Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian skripsi ini yaitu diharapkan dapat menambah
pemahaman pemerhati budaya tentang simbol-simbol yang digunakan dalam upacara
kematuan masyarakat Tionghoa.
Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat Tionghoa,
Khususnya generasi muda masyarakat Tionghoa untuk lebih memahami makna dan fungsi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan
dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Kajian pustaka
merupakan hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari (KBBI, 1990:951 ).
Sabriandi, Erdian. 2008. dalam Tesis “Analisis SemiotiK Syair-Syair Upacara Kematian
Etnis China dikota Medan”. Medan: USU Press. Tesis ini menguraikan tata urutan upacara
kematian masyarakat cina. Teori didalam tesis ini menggunakan teori semiotik menurut
Charles Sanders Pierce ( 1893- 1914), Ferdinand De Saussure (1857-1913), dan Charles
Morris (1955).
Pardosi, Jhonson. 2008. dalam Logat “Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada
Adat Perkawinan Batak Toba”. Medan: USU Press. Menguraikan tentang makna simbol
-simbol yang dipakai dalam upacara pernikahan masyarakat batak Toba. Teori yang digunakan
pada pembahasan adalah teori interaksi simbolik yang bercikal bakal dari faham
fenomenologi, berusaha memahami tentang suatu “gejala” erat hubungannya dengan situasi,
kepercayaan, motive pemikiran yang melatarbelakangi.
Andhara, Aisya. 2008. dalam Skripsi “Simbol Fú (福) dalam Perayaan Tahun Baru
Cina”. Depok: UI Press. Menguraikan tentang makna simbol Fú 福 dalam perayaan tahun
baru Cina dan memaparkan makna simbol-simbol yang ada dalam tahun baru Cina seperti
Ningsih, Sri. 2011. dalam Artikel “Upacara kematian Tionghoa upacara kematian
masyarakat Tionghoa”. Upacara kematian Sangat erat kaitannya dengan ajaran Konfusius,
yaitu tanda bakti seorang anak kepada orangtuanya, dan tujuannya untuk menunjukkan rasa
hormat kepada orangtua almarhum agar mendapatkan kehidupan yang damai.
Rinto, Jiang. 2011. dalam Artikel “Budaya dan adat-istiadat Tionghoa”. Menyatakan
bahwa pangkat digunakan hanya sebagai tanda belasungkawa oleh masyarakat Tionghoa ,
walaupun dalam keadaannya orang tersebut telah memeluk agama, penggunaan pangkat ini
hanyalah bentuk simbolis saja. Sama halnya dengan pengibaran bendera setengah tiang di
Indonesia, sebagai tanda berkabung untuk menghormati orang yang telah meninggal di
Indonesia.
Xuan, Tong. 2011. dalam Artikel “Tradisi Upacara Pemakaman dan Kematian
Tionghoa”. Menguraikan bahwa upacara yang dilakasanakan dalam upacara kematian,
memiliki tahapan dan aturan menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa .
2.2 Konsep
Konsep merupakan rancangan ide pemikirian yang akan dituangkan secara konkret
melalui pemahaman dan pengeritian dari para ahli. Konsep merupakan rancangan, ide atau
pengertian yang diabstrakkan dalam istilah kongkret, gambaran mental dari objek atau apapun
yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,
Singarimbun (1989:33) mendefinisikan konsep sebagai “…istilah dan definisi yang
digunakan untuk menggambar secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi
pusat perhatian”.
Konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan
penyamaan persepsi tentang apa yang akan di teliti serta menghindari salah pengertian yang
dapat mengaburkan tujuan penelitian.
2.2.1 Masyarakat Hokkian
Beberapa ahli memberikan definisi tentang masyarakat, seperti Smith, Stanley, dan
Shores, (1950:5) mendefinisikan masyarakat sebagai ”…suatu kelompok individu-individu
yang terorganisasi serta berfikir tentatang diri mereka sendiri sebagai suatu kelompok yang
berbeda”.
Berdasarkan pengertian di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan dari masyarakat,
bahwa masyarakat merupakan kelompok yang terorganisasi, dan masyarakat juga merupakan
suatu kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok lainnya.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berkumpul dan bermungkim disuatu tempat
yang belajar dan menghasilkan kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003:23).
Masyarakat Tionghoa datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira
pertengahan abad ke-19 pada zaman penjajahan Belanda. Imigran dari Cina ini mayoritas
berasal dari dua daerah yang berbeda yaitu berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan dan
bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang
mereka gunakan. Ada beberapa suku bangsa Tionghoa yang ada di Medan, diantaranya adalah
suku Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Ai lo hong, dan Tio chio.
Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli
kontrak, dan buruh kebun bagi orang Belanda melalui penyalur yang berasal di Cina dan
disalurkan ke Indonesia khususnya kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui
kekalahannya dan meninggalkan Indonesia, maka masyarakat Tionghoa mengambil alih
perkebunan Belanda dan menjadikan kebun menjadi ladang untuk mereka mencari nafkah.
2.2.2 Kebudayaan
Kebudayaan merupakan sistem ide atau gagasan yang diperoleh melalui proses belajar
manusia. Koentjaraningrat (2009:144) mengatakan, “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar”. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia
adalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang
tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks,
beberapa tindakan akibat proses fisiologi.
Berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri, seperti: makan, minum,
atau berjalan dengan kedua kaki. Manusia makan pada waktu tertentu, makan dan minum
dengan menggunakan alat-alat. Prilaku sopan santun manusia yang sering sangat rumit dan
perlu dipelajari dahulu dengan susah payah. Manusia berjalan tidak hanya menurut wujud
berjalan seperti seorang prajurit, pragawati dengan gaya berjalan yang lebah lembut, dan
lainnya. Semua yang dilakukan manusia melalui proses belajar. (Koentjaraningrat, 2009:146)
Berbicara tentang konsep kebudayaan sama dengan menyelami lautan luas yang tidak
terbatas, sehingga tidak mengherankan bila sejak kemunculan ilmu antropologi sa mpai
dengan perkembangannya yang sekarang terdapat begitu banyak ragam dan variasi mengenai
konsep tersebut.
Kluckhon (2009:145) mengatakan, ”Kebudayaan adalah segala tindakan yang harus
dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior)”.
Eppink (www.Wikipedia.com) mengatakan “…kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat”.
Berdasarkan definisi di atas, diperoleh pengertian bahwa kebudayaan sebagai sesuatu
yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak.
Perwujudannya kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
2.2.3 Upacara Kematian
Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin
dihindari. Kematian pasti akan dialami tiap manusia. Kematian begitu menyengat nyawa,
tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan Agama. Bruce Milne (1982:16)
mengatakan “…kematian merupakan salah satu bentuk hukuman ilahi”. Menurut alkitab
firman Tuhan, walaupun kematian tidak terelakkan, bukan merupakan akhir dari segala
sesuatu. Itu sebabnya manusia yang di beri kesempatan untuk hidup haruslah mempergunakan
kesempatan dengan sebaik-baiknya.
Menurut pandangan filsafat Tionghoa tentang kematian, baik dari Taoisme dan Ruisme,
kematian bukanlah hal yang menakutkan. Kematian dianggap sebagai perjalanan atau juga
kembali ke asal. kembali ke asal yaitu kembali dengan jiwa yang baru, karena masyarakat
Tionghoa mempercayai adanya reinkarnasi setelah kematian. Dalam konsepnya memang
terlihat seperti mengingkari takdir kehidupan manusia, tapi dengan belajar memahami konsep
ruang dan waktu menurut filsafat Tionghoa , kita bisa memahami apa itu keterikatan kepada
ruang dan waktu.
Upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa , merupakan tradisi yang masih sangat tabu
untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka
atau sial. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa apabila upacara kematian
dijalankan dengan ritual keagamaan yang benar maka kelak mereka keturunannya tidak akan
Menurut konsep budaya Tionghoa maupun filsafatnya, ada tiga hal yang terpenting dalam
kehidupan manusia yaitu lahir, menikah dan meninggal. Seperti yang dikatakan Kong Zi
seorang filsuf Cina mengatakan, “kita bisa mengetahui kematian setelah kita memahami apa
itu kehidupan”. Tradisi Tionghoa sangat menuntut agar anak-anaknya senantiasa
menghormati orang tua. Upacara kematian Tionghoa sendiri ada empat upacara yang
dilakukan yaitu,
1. Upacara sebelum masuk peti mati
2. Upacara masuk peti dan penutupan peti
3. Upacara pemakaman
4. Upacara sesudah pemakaman
2.2.3.1Upacara Sebelum Masuk Peti Mati
Sejak kematian seseorang yang sudah mempunyai cucu, para anak dan cucu harus
membakar kertas perak yang merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat. Kegiatan ini
dilakukan sambil memanjatkan doa.
Sebelum mayat dimasukkan ke dalam peti mati, mayat harus dimandikan, setelah bersih
lalu diberi pakaian yang terbuat dari kain blacu. Sesudah diberipakaian orang yang meninggal
dibaringkan dan kedua mata, lubang hidung, mulut, serta telinga, diberi mutiara sebagai
lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.
Sisi kiri dan sisi kanan peti orang yang meninggal diisi pakaiannya. Sedangkan, sepatu
orang yang meninggal pada masa hidupnya menggunakan kacamata, maka kedua kaca pada
kaca mata tersebut harus dipecahkan. Hal ini melambangkan bahwa orang yang meninggal
telah berada di alam lain.
2.2.3.2 Upacara Masuk Peti dan Penutupan Peti
Ketika upacara masuk peti berlangsung, seluruh keluarga harus mengenakan pakaian
tertentu yang terbuat dari kain katun atau blacu. Anak laki-laki mengenakan pakaian yang
terbuat dari kain blacu. Kepala memakai topi atau ikat kepala yang terbuat dari kain tetron
atau blacu. Pakaian ini di pakai untuk mengikuti prosesi upacara masuk peti.
Sesudah masuk peti, dilaksanakan upacara penutupan peti dengan memanjatkan doa-doa
yang di pimpin oleh Biksu atau Biksuni bagi yang beragama Budha. Upacara ini cukup lama,
dilaksanakan dengan mengelilingi peti mati. Pada saat upacara ini dilakukan pemecahan
sebuah kaca yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan
masyarakat Tionghoa , pada hari ketujuh mendiang bangun dan akan melihat kaca yang
dipecahkan tersebut sehingga orang yang meninggal menyadari dia bahwa dirinya sudah
meninggal.
2.2.3.3 Upacara Pemakaman
Menjelang peti akan di angkat, diadakan penghormatan terakhir kepada orang yang
meninggal. Penghormatan berupa pembacaan doa-doa dengan dipimpin oleh Biksu atau
dengan cara berjalan jongkok sambil terus menangis mengikuti arah jalan Biksu atau Biksuni.
Perjalanan menuju tempat pemakaman, pihak anak dari orang yang meninggal juga harus
dilakukan dengan berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah.
Demikian pula setelah selesai penguburan. kembali diadakan upacara penguburan.
Upacara dilakukan untuk memohon kepada dewa bumi (toapekong) agar mau menerima
jenasah dan arwah mendiang. Upacara dilakukan sambil membakar uang akhirat. Setibannya
di rumah, upacara dilanjutkan dengan membasuh muka dengan air kembang. Membasuh
muka dengan air kembang bermakna agar dapat melupakan wajah mendiang.
2.2.3.4Upacara Sesudah Pemakaman
Dari awal upacara kematian berlangsung sampai upacara ini selesai, semua keluarga harus
memakai pakaian dan pangkat yang terbuat dari sepotong blacu yang diikatkan di lengan atas
kiri. Keluarga mendiang tidak boleh memakai pakaian warna ceria seperti, merah, kuning,
coklat, oranye. Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal.
Upacara yang dilakukan sesudah pemakaman hanya memanjatkan doa untuk orang yang
meninggal, agar jalan orang yang meninggal menuju surga lebih mudah.
2.2.4 Simbol Kekerabatan
Simbol merupakan lambang pengertian yang tersirat, sehingga memuat kesan misteri dam
makna dibalik simbol tersebut. Fungsi simbol itu sendiri sebagai pengganti suatu objek yang
ingin ditampilkan dengan cara yang lain (Zeffry 1999:25).
Kekerabatan adalah hubungan antara tiap keluarga yang memiliki asal-usul silsilah yang
sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah
salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial,
peran, kategori dan silsilah. Hartono, (1993:43) mengatakan “…Ikatan kekerabatan keluarga
menciptakan ikatan yang lebih kuat dari pada ikatan apapun”.
Masyarakat Tionghoa memiliki kekerabatan sama seperti suku Batak di Indonesia.
Memiliki sistem kekerabatan patrilineal yaitu garis keturunan di ambil dari pihak laki-laki
atau ayah. Kekerabatan masyarakat Tionghoa juga di kenal dengan istilah anak dalam dan
anak luar.
Bagi masyarakat Tionghoa anak dalam ialah istilah untuk anak laki-laki dan anak
perempuan yang belum menikah, dan sebutan istilah anak luar hanya digunakan untuk anak
perempuan yang sudah menikah, begitu juga halnya dengan cucu luar, yang berarti bahwa
cucu tersebut merupakan anak dari anak luar (anak perempuan yang sudah menikah).
Kekerabatan masyarakat Tionghoa dapat dilihat juga dari simbol kekerabatan yang
digunakan pada saat upacara kematian masyarakat Tionghoa suku Hokkian. Simbol
digunakan untuk menunjukan hubungan kekerabatan keluarga yang memakai simbol
kekerabatan dengan orang yang meninggal.
Setiap keturunan memakai simbol yang sama sesuai dengan hubungan kekerabatan
penunjuk hubungan kekerabatan yang dimiliki. Simbol yang digunakan dalam upacara
kematian terdiri dari empat jenis yaitu, pangkat, pakaian, selempang, dan topi.
2.3 Landasan Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada
pengetahuan tentang serangkaiaan fakta saja, tetapi tidak aka nada ilmu pengetahuan.
Koentjaraningrat (1973:10) mengatakan, “…untuk menganalisis lebih dalam fungsi dan
makna pangkat dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa , penulis menggunakan teori
fungsional dan semiotik.
2.2.1 Teori Fungsional
Teori fungsional ini adalah teori yang biasa digunakan dalam ilmu sosial dan ilmu budaya.
Teori ini dikemukaan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski lahir di Cracow,
Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam
ilmu sastra slavik, jadi tidak heran jika Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak
memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 Malinowski lulus Fakultas Ilmu Pasti
dan Alam dari Universitas Cracow. Kegemarannya membaca buku-buku folkor dan
dongeng-dongeng rakyat, Malinowski menjadi tertarik kepada ilmu psikologi dan kemudian belajar
psikologi kepada professor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).
Malinowski mengembangkan suatu kerangka teori untuk menganalisis fungsi kebudayaan
masyarakat yang disebut dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a funcitional theory
Sebuah orientasi teori yang dinyatakan oleh Malinowski (2006:66) mengatakan
“…semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat”.
Pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan dinyatakan dalam setiap pola kelakuan yang
sudah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat yang memenuhi beberapa fungsi mendasar
dalam kebudayaan yang bersangkutan. Malinowski (2006: 67) mengatakan:
“fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuan untuk memenuhi beberapa kebutuhan
dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari pada warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan”.
Untuk meneliti fungsi simbol kekerabatan pada penelitian ini, penulis menggunakan teori
fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme mengacu pada
fungsi tiap jenis simbol yang di pakai oleh masyarakat Tionghoa dalam upacara kematian.
2.2.2 Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semeion yang berarti tanda. Tanda tersebut
dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan
bersama dengan istilah semiologi, baik semiotik atau semiologi sering digunakan
bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular Endaswara (2008: 64).
Berlo (1960:50) mengatakan, “…melalui teori semiotik seseorang dapat menganalisis
penggunaan lambang, pemaknaan pesan, dan cara penyampaiannya Dalam teori semiotik juga
dibicarakan hubungaan segitiga antara lambang, objek, dan Barthes (1967:79).
Roland Barthes seorang penerus pemikiran Saussure mengemukakan pendapatnya
mengenai semiotik. Kusumarini (2006:26) mengatakan “Denotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna
eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkatan pertandaan yang menjelaskan
hubungan peanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti”.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan cultural penggunaannya, interaksi antara konvensi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunaannya. Gagasan Barthes di
kenal dengan “order of signification” yang mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai
kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Inilah
titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung Saussure (Koentjaraningrat, 2009).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu
masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk system sign-signifier-signfied, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna
Penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes untuk
menganalisis makna simbol kekerabatan yang digunakan dalam upacara kematian masyarakat
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti fungsi dan makna simbol kekerabatan
dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa adalah metode deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Fokus penulisan ini yaitu dengan memperhatiakan dinamika hubungan
antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.
Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematik sehingga lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan dan dengan teknik
observasi penulis melakukan penggumpulan data primer dengan cara pengamatan langsung
dan merekam hal-hal yang dapat diamati.
Secara deskriptif penulis dapat memberikan ciri-ciri, bentuk, serta gambaran tentang hasil
penelitian melalui pemilihan data setelah semua data terkumpul. Penulis juga akan
mempertimbangkan semua data dari segi hubungan keterkaitan data tersebut dengan
penelitian yang dilakukan.
3.1.1 Data dan Sumber data
Data adalah keterangan berdasarkan fakta yang ada disimpan atau dicari untuk
mendapatkan kebenaran. Apabila dilihat dari (KBBI 1990:187) data adalah keterangan yang
benar dan nyata, yang dapat dijadikan dasar kajian. Data dalam penelitian ini dibagi menjadi
Sumber data penelitian ini diperoleh melalui studi lapangan dan kepustakaan. Sumber
data utama di peroleh melalui hasil penelitian lapangan di Angsapura dengan ibu Afuk yang
merupakan pegawai Angsapura dan ibu Cheng Gui Yik keturunan Tionghoa yang memahami
simbol dalam upacara kematian, ibu Rafiah dan bapak Andi yang juga pegawai Angsapura.
Data skunder dalam penelitian ini di peroleh dari buku, artikel, dan jurnal yang memilki
hubungan dengan upacara kematian.
3.1.2 Teknik pengumpulan data
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini di dapat dari kepustakaan yang
merupakan data pendukung, yaitu: buku-buku, artikel, dan jurnal baik yang berbahasa
Mandarin maupun yang berbahasa Indonesia. Hal pertama yang dilakukan penulis yaitu
mengumpulkan buku-buku, artikel dan jurnal yang berhubungan dengan upacara kematian
masyarakat Tionghoa . Setelah semua terkumpul terlebih dahulu penulis membaca lalu
mengklasifikasikan buku-buku, jurnal, dan artikel yang dapat dijadikan bahan untuk
penelitian.
Setelah data pendukung terkumpul selanjutnya penulis melakukan observasi lapangan
ke tempat penelitian. Hal pertama yang dilakukan penulis, yaitu melihat, menyimak, dan
mendengar setiap keadaan yang ada disekeliling tempat penelitian. Pada hari yang berbeda
penulis melakukan penelitian dengan mewawancarai narasumber yaitu ibu Afuk dan ibu
Rafiah. Hasil observasi berupa catatan wawancara, dokumentasi dan rekaman dikumpulkan
3.1.3 Teknik analisis data
Data yang sudah diperoleh melalui penelitian lapangan, dan kepustakan akan diolah
dan dilakukan dengan melakukan seleksi data. Data yang tidak memiliki hubungan dengan
penelitian maka data akan digugurkan atau dilengkapi dengan subtitusi data selanjutnya yang
telah lulus dalam seleksi data. Penyeleksian data dilakukan untuk mempermudah proses
penulisan (Abdurahman 2005:38).
Teknik analisis yang dilakukan untuk menganalisi fungsi dalam upacara kematian
yaitu dengan menggunakan teori fungsional yang dikemukakan oleh Malinwoski memaparkan
dan menguraikan setiap fungsi dari simbol yang digunakan dalam upacara kematian. Begitu
juga dengan menganalisis makna simbol dalam upacara kematian yaitu dengan menggunakan
teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes.
Kemudian dilakukan diskusi penulis dengan dosen pembimbing dalam penulisan hasil
penelitian, yang mana akhirnya semua bahan itu dimasukkan kedalam tulisan secara
tersruktur dan logis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,
dengan menggunakan metode ini diperoleh hasil penelitian dibuat berdasarkan garis
pemikiran yang konsisten. Setelah itu data diintrepretasikan secara logis dan analisis
BAB IV
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN
4.1Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Berdasarkan data yang di peroleh dari badan pusat statistika kota Medan diketahui bahwa
dahulu kala kota Medan di kenal dengan nama Tanah Deli, keadaan tanahnya berawa -rawa
dengan luas kurang lebih 4000 Ha. Beberapa sungai yang bermuara ke selat Malaka melintasi
kota Medan. Sungai-sungai tersebut adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai,
Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan, Dan Sei Sulung. Setelah zaman kemerdekaan lama
kelamaan istilah Tanah Deli secara berangsur angsur lenyap menjadi kota Medan.
Pada zaman penjajahan bangsa Belanda di Tanah Deli masyarakat Indonesia mengalami
tantangan yang sangat berat. Sebelum bangsa Belanda menguasai Sumatera Utara, bangsa
Belanda harus berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Tapanuli yang pada saat itu
dipimpin oleh raja Sisingamangaraja. Tanah Deli dikuasai bangsa Belanda kurang lebih
selama 78 tahun yaitu sejak tahun 1864 sampai 1942.
Berawal dari Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh sekutu
Inggris yang di pimpin oleh Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatan kesultanan
Ismail melemah, maka Sultan Ismail meminta perlindungan dari bangsa Belanda. Sejak saat
itu terbukalah kesempatan Belanda untuk menguasai kerajaan Siak Sri Indrapura yang
dipimpin Sultan Ismail. Pada tanggal 1 februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk
menandatangani perjanjian agar daerah Sumatera Timur dan Tanah Deli masuk kekuasaan
Setalah pusat pemerintahan dan perdagangan pindah ke Medan Putri dan Istana
kesultanan Deli yang awalnya berada di Kampong Bahari (Labuhan) pindah ke Istana
Maimoon pada tanggal 18 mei 1891 ibu kota Deli resmi pindah ke Medan, dan kekuasaan
dipegang oleh bangsa Belanda.
Pada tahun 1918 tercatat jumlah penduduk Medan sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari
bangsa Eropa 409 jiwa, bangsa Indonesia 35.009 jiwa, bangsa Tionghoa 8269 jiwa, dan
Timur Asing lainnya (bangsa Arab) 139 jiwa. Masyarakat Tionghoa masuk ke Sumatera
Utara pada abad ke 16 sampai 19. Berawal dari penyalur tenaga kerja di Cina yang
menawarkan pekerjaan sebagai kuli bangunan, kuli kontrak, dan petani kebun, lalu
masyarakat Tionghoa datang ke Sumatera Utara. Pada masa penjajahan bangsa Belanda,
masyarakat Tionghoa bersama masyarakat pribumi Indonesia menjadi budak Belanda. Selama
kurang lebih 78 tahun bangsa belanda Belanda menjajah Sumatera Utara, selama itu pula
perbudakan atas masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi Indonesia berlangsung.
Sampai akhirnya tahun 1942 penjajahan bangsa Belanda berakhir di Sumatera Utara dan
ketika itu juga bangsa Jepang mendarat di Sumatera utara untuk mengambil alih kekuasaan
bangsa Belanda.
Pada masa berakhirnya kekuasaan bangsa Belanda masyarakat Tionghoa dan masyarakat
pribumi yang menjadi budak, kuli kontrak, dan petani kebun mengambil alih tanah garapan
untuk di olah secara pribadi. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama dikarenakan bangsa Jepang
segera mengerahkan pasukannya yang bernama Kampetai (Polisi Militer Jepang) untuk
Penguasaan bangsa Jepang di kota Medan membuat masyarakat pribumi dan Tionghoa
semakin terpuruk. Bangsa Jepang membentuk kegiatan kerja paksa yang dinamakan Heiho,
Romusha , Gyu Gun dan Talapeta . Pada masa ini masyarakat Tionghoa menjadi bulan-bulanan
bangsa Jepang. Bangsa Jepang menganggap masyarakat Tionghoa sebagai budak mereka dan
menghina mereka karena umumnya masyarakat Tionghoa pada saat itu tidak memgenyam
pendidikan. Bangsa Jepang memanggil mereka dengan sebutan Cina. Hal ini lah yang
membuat masyarakat Tionghoa hingga saat ini merasa terhina jika dipanggil dengan sebutan
orang Cina. Sindiran dengan panggilan orang Cina selalu mengingatkan mereka akan
keterpurukan mereka pada masa penjajahan bangsa Jepang.
Setelah bom atom jatuh melanda kota Hiroshima, penguasa Jepang menyadari
kekalahannya dan segera menghentikan segala kegiatannya terutama kegiatan kerja paksa
seperti Heiho, Romusha, Gyu gun, dan Talapeta . Kegiatan ini secara resmi dibubarkan pada
tanggal 20 Agustus 1945, dan pada hari itu juga penguasa Jepang yang disebut Tetsuzo
Na ka shima mengumumkan kekalahan mereka. Dan bangsa Indonesia mengumumkan
kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945.
Masyarakat Tionghoa yang datang ke kota Medan berasal dari dua provinsi yang berada di
Cina yaitu: Fujian dan Guandong. Setiap provinsi memilki suku yang berbeda-beda yaitu:
Hokkia n dan Khek berasal dari provinsi Fujian sedangkan suku Tiochiu dan Konghu berasal
dari provinsi Guandong walaupun sedikit banyak masyarakat suku Hokkian juga menyebar di
provinsi Guangdong. Masyarakat Tionghoa suku Hokkian yang berasal dari provinsi Fujian
merupakan masyarakat pertama yang datang ke kota Medan. Berikut peta yang menunjukakan
Gambar 4.1 (Sumber foto: Forum Budaya Tionghoa 2007 ) Peta asal usul suku Tionghoa
4.2Penduduk Tionghoa di Kota Medan
Kota medan memiliki luas wilayah mencapai 265,10 km², dan kepadatan penduduk yang
mencapai 7.913 jiwa. Pada tahun 2010 penduduk kota Medan mencapai 2.097.610, di banding
hasil sensus penduduk 2000 terjadi pertambahan penduduk sebesar 193.337 jiwa atau naik
hingga (10.15%). Hal ini menyatakan bahwa setiap tahunnya pertumbuhan kota Medan
sangatlah pesat. Kota Medan terdiri dari 12 suku yaitu: Melayu, Karo, Simalungun,
Tapanuli/Toba, Mandailing, Pakpak, Nias, Jawa, Minang, Aceh, juga Tionghoa .
Menurut survei BPS tahun 2000 penduduk Tionghoa yang mendiami kota Medan
mencapai 202.839 jiwa. Penduduk Tionghoa menyebar diberbagai kecamatan di kota Medan
[image:42.595.177.479.81.283.2]Baru, selayang, Sunggal, Helvetia, Petisah, Barat, Timur, Perjuangan, Tembung, Deli, Labuan,
Merelan, dan Belawan.
Medan Area merupakan kecamatan yang banyak ditemui warga negara Indonesia turunan
Tionghoa yaitu sebanyak 29.386 jiwa. Mereka terdapat di kecamatan suka Ramai II 6.513
jiwa, sei Rengas II 6.270 jiwa, dan Pandau Hulu II 8.210 jiwa. Sebagian besar penduduk
dikecamatan Medan Aren merupakan Pedagang (44%) dan pegawai swasta (40%). Daerah
Medan Area terdapat persemayaman bagi masyarakat Tionghoa yang di beri nama Yayasan
Sosial Angsapura di singkat Yasora yang resmi didirikan pada tanggal 21 Januari 1984
terletak di jalan Waja no. 2-4 Medan. Yayasan ini merupakan tepat pesemayaman sosial yang
didirikan oleh masyarakat Tionghoa.
4.3Agama dan Kepercayaan
Pada dasarnya pandangan berpikir masyarakat Tionghoa selalu mengembalikan hakekat
keharmonisan antara kehidupan langit (alam gaib) dan kehidupan di bumi (alam dunia nyata).
Mereka percaya bahwa alam semesta sebagai akibat dari inkarnasi (kekuatan alam). Alam
dikuasai oleh spirit-spirit yang kekuatannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah
ekspresi dari kekuatan-kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit-spirit yang mendiami alam.
Beberapa spirit itu berada dan hidup di dalam fenomena-fenomena alam seperti langit,
matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung, serta fenomena-fenomena alam lainnya.
Spirit-spirit alam tersebut adalah spirit yang berasal dari arwah leluhur yang kekuatan
Menurut dasar pikiran masyarakat Tionghoa , seluruh fenomena alam itu dapat dibagi dua
klasifikasi yaitu yang dan yin. Yang merupakan prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah
selatan, panasnya cahaya (siang), dan segala yang termasuk keaktifan, sedangkan yin adalah
suatu prinsip dasar wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala yang bersifat
pasif. Masyarakat Tionghoa beranggapan bahwa manusia harus dapat menyesuaikan diri
dengan ritme alam semesta. kehidupan harus harmonis dengan tiga dasar yaitu: kehidupan
langit, bumi, dan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu harus disesuaikan pula dengan
fengsui yang berarti angin dan air. Penyesuaian fengsui memiliki makna hidup manusia harus
disesuaikan dengan arah angin dan keadaan air di mana manusia bertempat tinggal. Tiap
bangunan yang dipergunakan harus pula disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan
terhindar dari segala malapetaka.
Dalam kehidupan masyarakat Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Toisme,
Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme) dan
dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). Dalam kehidupannya,
masyarakat Tionghoa memang sangat toleran terhadap soal-soal agama. Setiap agama di
anggap baik dan bermanfaat, begitu pula dengan ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha
yang mempunyai banyak kesamaan-kesamaan pandangan dan saling membutuhkan sehingga
ketiga ajaran tersebut berpadu menjadi satu (Supardi 2000).
4.3.1 Toisme
Ta oisme merupakan ajaran pertama bagi masyarakat Tionghoa yang dikemukakan
amat kecewa akan kehidupan dunia, sehingga memutuskan untuk pergi mengasingkan diri
dengan tidak mencampuri urusan keduniawian. Laotze kemudian menulis kitab Tao Te Ching
yang kelak menjadi dasar pandangan ajaran Taoisme.
Ta o berarti “jalan” dan dalam arti luas yaitu realitas absolut, yang tidak terselami,
dasar penyebab, dan akal budi. Kitab Tao Te Ching memuat ajaran bahwa seharusnya
manusia mengikuti geraknya (hukum alam) yaitu dengan melihat kesederhanaan hukum alam.
Ajaran Tao mengajarkan bahwa manusia dapat menghindarkan diri dari segala keadaan yang
bertentangan dengan irama alam semesta. Taoisme diakui sebagai suatu presistematik berpikir
terbesar di dunia yang telah mempengaruhi cara berpikir masyarakat Tionghoa Agoeng
(1998:44).
Menurut ajaran Taoisme menyimpulkan hidup dengan posisi yang wajar, tidak
melebih-lebihkan, tidak melawan hakekat yang telah ditetapkan dan tetap berpegang dengan
alam. Haryono, (1994: 33) menyimpulkan bahwa pada dasarnya filsafat Taoisme dibangun
dengan tiga kata, yaitu
1. Tao Te, “tao” adalah kebenaran, hukum alam, sedangkan “te” adalah kebajikan. Jadi Tao Te berarti hukum alam yang merupakan irama dan kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya.
2. Tzu-Ya n artinya wajar. Manusia seharusnya hidup secara wajar, selaras dengan cara bekerja sama dengan alam.
3. Wu-Wei berati tidak campur tangan dengan alam. Manusia tidak boleh mengubah apa yang sudah diatur oleh alam.
Pada zaman pertengahan dinasti Han muncul seorang yang bernama Zhang Dao Ling,
yang juga menulis kitab Tao. Zhang Dao Ling juga menyembuhkan orang sakit, membuat
hingga pada akhirnya ajaran-ajarannya menjadi dasar dari agama Tao yang kemudian disebut
Ta o Jia o.
Pada penerapannya, aliran mereka berbeda dengan ajaran Tao yang dilontarkan oleh
Laotze. Jika Laotze mengajarkan hidup selaras dengan alam, Tao Jiao justru mengajarkan
upaya untuk menentang kehendak alam. Semua usaha mereka lakukan dengan jalan hidup
abadi seperti: membuat jimat-jimat dan kias guna menolak pengaruh jahat, sakit, penyakit,
dan sebagainya Setiawan, (1982: 156-157).
4.1.3.2 Konfusianisme
Konfusia nisme atau Konghuchu mulai di kenal di Cina melalui pemikiran-pemikirannya
yang cemerlang yang dilontarkan pada zaman Dinasti Chou (770-221 SM). Konghuchu lahir
pada tahun 551 SM berasal dari kota Lu, provinsi Sha ndong. Pada masa itu Dinasti Chou
tengah kehilangan kendali terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian
dari wilayah Cina.
Konghuchu dibesarkan oleh ibunya dan sudah kehilangan ayahnya ketika masih berusia
tiga tahun. Ketika dewasa dan bekerja sebagai pegawai di kuil bangsawan Zhou, Konghuchu
mengikuti semua detail-detail yang terdapat dalam perayaan yang akhirnya menjadikannya
sebagai seorang yang ahli dalam ritual agama kuno.
Konfusia nisme adalah humanisme, tujuan yang hendak di capai adalah kesejahteraan
manusia dalam hubungan yang harmonis dengan masyarakatnya. Kodrat manusia menurut
konfusius adalah pemberian langit, yang berarti bahwa dalam hal tertentu berada di luar
seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam manusia. Oleh
karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral
yang mempersatukan manusia dengan seluruh isi alam semesta.
Bagi Konfusius, manusia adalah bagian dari konstitutif seluruh isi alam semesta.
Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan harmoni alam di luarnya.
Ungkapan yang paling terkenal yang merupakan inti ajarannya yaitu tidak berbuat kepada
orang lain apa yang dia tidak sukai orang lain perbuatan pada dirinya. Secara praktis ajaran
Konfusius dapat disimpulkan menjadi tiga pokok yaitu,
1. Pemujaan terhadap Tuhan (Thian)
Konfusius mengajarkan keyakinan kepada pengikutnya bahwa Thian atau Tuhan
menjadi awal atas sumber kesadaran alam semesta dan segalanya. Konfusius menekankan
bahwa diperlukan sembahyang korban terhadap Thian. Pengertian Tuhan dalam kepercayaan
Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain yaitu sebagai
pencipta alam semesta dan segala isinya.
Kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai Thian atau Shangdi
atau Siang Te. Thian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini. Karena itu, kedudukan-Nya
berada di tempat yang paling agung, sedangkan para dewa dan malaikat yang lain adalah para
pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai dengan
2. Pemujaan terhadap Leluhur
Pemujaan terhadap leluhur adalah menolong seseorang untuk mengingat kembali
asal-usulnya yaitu asal mula manusia berasal dari leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap leluhur
memerlukan persembahan yang berupa sesajen. Sesajen dipersembahkan pada saat upacara
pemujaan akan dilaksanakan. Pelaksanaan upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dipimpin
oleh ayah sebagai kepala keluarga.
3. Penghormatan terhadap KonfusiusP
Masyarakat Tionghoa memiliki kewajiban untuk menghormati Konghuchu yang
mereka anggap sebagai guru besar,seperti halnya penghormatan terhadap orang tua.
Konghuchu di anggap telah berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai
sekarang masih terus diterapkan. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan
masyarakat Tionghoa membuat secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak ditujukan
kepada manusia sebagai makhluk hidup.
4.1.3.4 Buddhisme
Agama Buddha sudah menjadi bagian dari filosofi Cina selama hampir 2000 tahun.
Meskipun Buddha bukanlah merupakan agama asli, melainkan pengaruh dari India, tetapi
ajaran Buddha mempunyai pengaruh yang cukup berarti pada kehidupan masyarakat
Tionghoa. Pokok ajaram agama Buddha adalah bagaimana menghindarkan manusia dari
berpengetahuan akan sangat mudah terkena kejahatan dan sulit untuk membebaskan diri dari
penderitaan.
Pendiri agama Buddha adalah Sidharta Gautama. Beliau dilahirkan dari keluarga
bangsawan di India. Sewaktu kecil, ayahnya menjauhkan Sidharta dari segala macam bentuk
penderitaan dunia, sampai pada suatu hari secara tidak sengaja beliau melihat orang-orang
yang selama ini belum dilihatnya yaitu orang-orang tua, seorang yang sakit dan yang
meninggal. Kenyataan tersebut membuatnya kemudian meninggalkan istana dan bertapa di
bawah pohon bodhi.
Setelah bertapa selama enam tahun akhirnya Sidharta Gautama memperoleh
pencerahan dengan menemukan obat penawar bagi penderitaan, jalan keluar dari lingkaran
tanpa akhir yaitu melalui kelahiran kembali kepada suatu jalan menuju nirwana. Jalan ini
yang kemudian dikenal juga sebagai inti dari ajaran Buddha.
Buddhisme masuk ke Cina kira-kira abad 3 Masehi, pada masa pemerintahan Dinasti
Ha n. Ajaran Buddha di Cina mendapat pengaruh dari kepercayaan yang sudah ada
sebelumnya yaitu Taoisme dan Konfusiansianisme. Hal ini terlihat dari percampuran ketiga
ajaran tersebut dengan munculnya sekte Sha n, yang juga muncul di Jepang dengan nama Zen
yang merupakan Buddhisme India bercorak Taoisme Cina. Wujud dari agama ini adalah
timbulnya versi-versi signifikan dari dewata-dewata buddha , seperti Avalokitecvara, Maitreya,
dan sebagainya. Avalokitecvara berubah menjadi Dewi Welas Asih (Guan Yin atau Kwan Im).
Dewi ini sangat populer sekali dikalangan orang Cina, tempat orang memohon pertolongan
dalam kesukaran, memohon keturunannya, dan lain sebagainya. Kwan Im dalam
berbaju putih, Kwan Im membawa botol air suci, dan Kwan Im bertangan seribu.
Ava lokitecva ra , Ma itreya juga mempunyai wujud lain di Cina yaitu Mi le fo, seorang yang
bertubuh gemuk dan raut muka yang selalu tertawa. Dewa ini dikenal sebagai dewa
pengobatan.
Selain dewata-dewata Buddhis, di dalam sistem kepercayaan masyarakat Tionghoa
mengenal tiga penggolongan utama dewata, yaitu:
1. Dewata penguasa alam semesta yang mempunyai wilayah kekuasaan di langit. Para
dewata golongan ini di pimpin oleh dewata tertinggi yaitu Yu Huang Da Di, Yuan Shi
Tia n Sun, dan termasuk di dalamnya antara lain dewa-dewa bintang, dewa kilat, dan
dewa angin.
2. Dewata penguasa bumi yang memiliki kekuasaan di bumi, walau sebetulnya mereka
termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah dunia dan manusia, termasuk
akhirat. Mereka dikatakan sebagai para dewata yang menguasai Wu-Xing (lima unsur),
yaitu: (a) kayu (dewa hutan, dewa kutub, dan lain sebagainya); (b) api (dewa api, dewa
dapur); (c) logam (dewata penguasa kekayaan dalam bumi); (d) air (dewa sumur, dewa
sungai, dewa laut, dewa hujan, dan lain sebagainya); (e) tanah (dewa bumi, dewa gunung,
penguasa akhirat, dewa pelindung kota, dan lain sebagainya)
3. Dewata penguasa manusia, yaitu para dewata yang mengurus soal-soal yang
bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran, perjodohan, kematian, usia,
rezeki, kekayaan, kepangkatan dan lain sebagainya. Termasuk dalam golongan dewata
penguasa manusia ini adalah para dewata pelindung usaha pertokoan, dewata
dewata-dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari daerah
yang sama.
4.4Sistem Kekerabatan
Kekerabatan merupakan hubungan antara tiap keluarga yang memiliki asal-usul silsilah
yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan
adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok
social, peran, kategori dan silsilah. Menurut Hartono (1993:43) “Ikatan kekerabatan keluarga
menciptakan ikatan yang lebih kuat dari pada ikatan apapun”.
Masyarakat Tionghoa memiliki sistem kekerabatan yang diambil menurut garis keturunan
laki-laki atau ayah disebut juga patrilineal. Anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan
keluarga. Sistem kekerabatan masyarakat Tionghoa dikenal juga istilah cucu dalam dan cucu
luar. Anak laki-laki dan anak prempuan yang belum menikah disebut anak dalam, sedangkan
anak perempuan yang sudah menikah disebut anak luar karena anak perempuan dianggap
telah menjadi orang luar atau milik keluarga dari suaminya. Cucu dalam berasal dari anak
laki-laki dan cucu luar berasal dari anak perempuan.
Kekerabatan masyarakat Tionghoa memiliki sebutan tersendiri dalam panggilan nama tiap
anggota keluarga. Kakak laki-laki dipanggil dengan sebutan 哥 哥 gēgē, dan adik laki-laki
yang paling muda dipanggil dengan sebutan 弟 弟 dìdì. Kakak laki-laki tertua dipanggil
dengan sebutan 大 哥dàgē. Kakak perempuan dipanggil dengan sebutan jiejie,
èrjie jika memilki kakak perempuan ke dua, adik perempuan dipanggil dengan sebutan 妹 妹
Cucu dalam berasal dari anak laki-laki, memanggil kakek dengan sebutan yéye dan
nenek dengan sebutan 奶 奶 nǎinai. Sedangkan cucu luar berasal dari anak perempuan,
memanggil kakek dengan sebutan 外 公wàigōng dan nenek dengan sebutan 外婆 wàipó.
Cucu dalam memangil saudara perempuan dari ayah dengan sebutan gūgū. 大
dàgū adalah sebutan untuk saudara perempuan ayah yang paling tua, dan 小 xiǎogū adalah
sebutan untuk saudara perempuan ayah yang paling muda. Cucu dalam memanggil saudara
laki-laki ayah yang paling tua dengan sebutan 伯伯 bóbo dan saudara laki-laki ayah yang
paling muda dengan sebutan 叔叔 shūshu.
Cucu luar memangil saudara laki-laki ibu dengan sebutan 舅 舅Jiùjiu. 大 舅dà jiù adalah
sebutan untuk saudara laki-laki ibu yang paling tua, dan小舅 xiaojiu adalah sebutan untuk
saudara laki-laki ibu yang paling muda. Cucu luar memanggil saudara perempuan ibu dengan
sebutan 阿 姨āyí. 大 姨dà yí adalah sebutan untuk saudara perempuan ibu yang paling tua,
dan 小姨xiǎoyí adalah sebutan untuk saudara perempuan ibu yang paling muda
Cicit dalam berasal dari anak cucu dalam dan cicit luar berasal dari anak cucu luar
memiliki sebutan yang sama untuk memanggil kakek dan nenek yaitu 祖母zhèng zǔmǔ