UPACAR KECAMA
Skripsi
Oleh Set Benze 08071003
UNIVERS FAKULTA PROGRA MEDAN 2012
RA ADA ATAN BER
en Tarigan S 9
SITAS SUM AS ILMU B AM STUDI
AT KEM RASTAGI K
S
MATERA U BUDAYA
SASTRA C
MATIAN KABUPAT
UTARA
CHINA
MASYAR TEN KARO
RAKAT T
O
Disetujui oleh:
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara MedanProgram Studi Sastra Cina Ketua,
PENGESAHAN
Diterima oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sastra
China pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada :
Hari/Tanggal : Jumat, 27 Juli 2012 Pukul : 12.00 WIB
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,
Dr. H. Syahron Lubis, M.A NIP. 19511013 197603 1 001
Panitia Ujian
No Nama Tanda Tangan 1. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A ( )
2. Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. ( )
3. Dra. Lila Pelita Hati, M.Si. ( )
4. Julina, MTCSOL. ( )
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya
buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar
kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, 27 Juli 2012 Penulis,
ABSTRACT
The title of this study is "Death Ceremony Chinese Communities in the District Berastagi Karo". The authors would like to assess the death ceremonies in the Chinese community in the District Berastagi, Karo from beginning to end, how the rituals of death and meaning of any stage in the ceremony. The author uses the theory of structuralism and functionalism in the study of death rituals in the Chinese community in Berastagi, while the method used is descriptive method with qualitative approach. From the results of this study the authors could find death ceremonies in the Chinese community in the District Berastagi, Karo. Death rituals in the Chinese community in the District Berastagi is a traditional ritual that took place with the intent to show a big respect for the parents who have died. Implementation of the death ceremonies, there are several stages namely; ceremony before entering the crate, in this phase will be prepared of all matters relating to such funerals, wash (cleanse) the body, to clothe the body, preparing the altar (the altar of prayer), fixtures or attributes of death and determine the day put the corpse into the coffin, closing casket, burial or cremation. Entry box and the closing ceremony the coffin, the corpse at this stage will be put in the coffin after the arrival day and time has been specified in advance, if all processes have been completed in this phase is executed then the casket will be closed. After the closing ceremony the coffin, in this stage remains will be buried or cremated. Ceremonies after the burial, the funeral ceremonies at this stage has been completed. Subsequently performed in this phase is the period of mourning for the deceased family. Long period of mourning may last for 7 days, 49 days, 1 year and 3 years. The duration of the mourning period is dependent on the far or close kinship with the deceased.
PRAKATA
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul ”Upacara Adat
Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo”, ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S–1 pada Departemen Sastra
Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis mengakui dengan sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, dan masih banyak memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun
berkat bimbingan dan arahan dari seluruh pihak, kesulitan yang ada dapat diatasi dan
skripsi inipun dapat diselesaikan.
Oleh karena itu dengan penuh keikhlasan hati penulis mengucapkan terima
kasih terutama kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan
Pembantu Dekan (PUDEK) I, II, III, Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A selaku Ketua Program Studi Sastra China
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si selaku Sekretaris Program Sastra China
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra. Lila Plita Hati, M.Si sebagai Dosen Pembimbing I, yang dengan
memberikan pengarahan kepada saya. Dimana beliau telah banyak
mengorbankan waktu dan tenaga dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi
ini.
5. Laoshi Yu Xueling, M.A, selaku Pembimbing II yang telah banyak
memberikan masukan dan waktunya bagi pengerjaan skripsi ini.
6. Dosen-dosen dari Jinan University 暨南大 yang mengajar di Sastra Cina Yang Run Zheng M.A, Shao Zhang Chao,M.A, Dr. Zhu Xiao Hong,Ph.D, Dr. Chen Yi Hua,Ph.D, Yu Xin, M.A, Liu Jin Feng, M.A, Yu Xueling, M.A, Chen Susu MTCSOL. 谢谢您,老师 肯定 忘你们!!
7. Bapak/Ibu Dosen Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada
penulis selaku mahasiswi Satra Cina (S1) selama masa perkuliahan.
8. Teristimewa penulis ucapkan untuk kedua orang tua saya, Ayah (Ir.
Benyamin Tarigan Silangit) dan Ibu (Ndebbi br Sembiring Kembaren) yang telah mengorbankan segala-galanya. Saya persembahkan skripsi ini
sebagai tanda terima kasih kepada Ayah dan Ibu.
9. Kepada abangku Silangit Tarigan Silangit dan kakakku Apuli br Tarigan
Silangit yang telah memberikan semangat dan dorongan kepadaku untuk
menyelesaikan studi Sastra Cina ini.
10.Kak Yosie, Kak Kori, Kak Tri, Kak Endang selaku karyawan Sastra Cina
yang dengan sabar membantu dalam penyusunan dan pengurusan
11.Teman-teman S.China stambuk 2008, khususnya buat sahabat-sahabatku;
Mateus Sitepu, Joisefrii Ginting, Dedi A Purba, Syellwem Wilton Sembiring,
Nelli Juita Sijabat, Reni Evaulina Sihaloho, dan teman-teman 08 lainnya yang
tidak bisa disebutkan satu persatu. SUKSES BUAT KITA SEMUA,
SASCHIN 2008 !!!
12.Adik-adik Sastra Cina 2009-2011 yang telah menjalin tali silaturahmi yang
baik selama masa perkuliahan.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan dalam bidang Kebudayaan.
Medan, 23 Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
PRAKATA ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Batasan Masalah ... 4
1.3 Rumusan Masalah ... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 5
1.4.2 Manfaat Praktis ... 6
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA ... 7
2.1 Konsep ... 7
2.1.1 Kebudayaan ... 8
2.1.2 Masyarakat Tionghoa ... 9
2.1.3 Upacara Adat Kematian ... 11
2.2 Landasan Teori ... 12
2.3. Kajian Pustaka ... 16
3.1 Metode Penelitian ... 18
3.2 Data dan Sumber Data ... 19
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 20
3.4 Teknik Analisis Data ... 21
3.5 Lokasi Penelitian ... 22
BAB IV GAMBARAN UMUM ... 23
4.1. Gambaran Umum Kecamatan Berastagi ... 23
4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi ... 23
4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi ... 25
4.2 MasyarakatTionghoa di Kecamatan Berastagi ... 27
4.2.1 Masuknya Etnis Tionghoa ke Kecamatan Berastagi ... 27
4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi .... ... 28
4.2.3 Mata Pencaharian ... 28
4.2.4 Kepercayaan ... 29
4.2.5 Suku-suku Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi... ... 29
BAB V PEMBAHASAN ... 30
5.1 Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi ... 30
5.3 Pantangan-pantangan Dalam Upacara Adat Kematian ... 34
5.4 Persiapan Upacara Adat Kematian ... 35
5.5 Mengabarkan Berita Kematian ... 37
5.6 Upacara Sebelum Masuk Peti ... 37
5.7 Upacara Memasukkan Jenazah ke Dalam Peti dan Penutupan Petidan penutupan peti ... 40
5.8 Upacara Pemakaman dan Setelah Pemakaman ... 43
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
6.1 Kesimpulan ... 48
6.2 Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
ABSTRACT
The title of this study is "Death Ceremony Chinese Communities in the District Berastagi Karo". The authors would like to assess the death ceremonies in the Chinese community in the District Berastagi, Karo from beginning to end, how the rituals of death and meaning of any stage in the ceremony. The author uses the theory of structuralism and functionalism in the study of death rituals in the Chinese community in Berastagi, while the method used is descriptive method with qualitative approach. From the results of this study the authors could find death ceremonies in the Chinese community in the District Berastagi, Karo. Death rituals in the Chinese community in the District Berastagi is a traditional ritual that took place with the intent to show a big respect for the parents who have died. Implementation of the death ceremonies, there are several stages namely; ceremony before entering the crate, in this phase will be prepared of all matters relating to such funerals, wash (cleanse) the body, to clothe the body, preparing the altar (the altar of prayer), fixtures or attributes of death and determine the day put the corpse into the coffin, closing casket, burial or cremation. Entry box and the closing ceremony the coffin, the corpse at this stage will be put in the coffin after the arrival day and time has been specified in advance, if all processes have been completed in this phase is executed then the casket will be closed. After the closing ceremony the coffin, in this stage remains will be buried or cremated. Ceremonies after the burial, the funeral ceremonies at this stage has been completed. Subsequently performed in this phase is the period of mourning for the deceased family. Long period of mourning may last for 7 days, 49 days, 1 year and 3 years. The duration of the mourning period is dependent on the far or close kinship with the deceased.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya secara harfiah berasal dari bahasa latin yaitu colere yang memiliki arti
bercocok-tanam (cultivation) atau disebut juga mengerjakan tanah, mengelolah,
memelihara ladang (Poerwanto, 2005:51). Selain itu budaya berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhhi (budi atau
akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia
(Koentjaraningrat, 1982:9).
Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem
kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi
sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Dan oleh karena itu dapat
diperkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas
adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koenjtaraningrat, 1997:4).
Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia dari Sabang hingga Maruke. Masing-masing suku bangsa tersebut
memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain, salah satunya
Etnis Tionghoa merupakan etnis perantauan yang datang dari negeri China
dan masuk ke Indonesia melaui jalur perdagangan pada abad ke-16 dan akhirnya
menetap serta tinggal di Indonesia, daerah persebarannya meliputi pulau Sumatera,
Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Etnis Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat
patrilineal yang terdiri atas marga atau suku yang tidak terkait secara geometris dan
teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lainnya di Indonesia.
Budaya Tionghoa Indonesia adalah sebagian dari kebudayaan China.
Bentuk-bentuk kebudayaan Tionghoa ini antara lain yaitu; kesusastraan, pengobatan
tradisional, hari raya dan pesta rakyat (festival). Etnis Tionghoa merupakan
masyarakat yang dalam kehidupannya memegang dan menjunjung tinggi
adat-istiadat. Upacara adat kematian adalah salah satu bagian dari kebudayaan mereka
yang hingga kini masih tetap dijalankan dalam kehidupannya.
Etnis Tionghoa dalam persebarannya di Sumatera Utara juga masuk ke
Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo yang akhirnya tinggal dan menetap di wilayah
tersebut. Masyarakat Tionghoa Berastagi merupakan kelompok masyarakat yang
berinteraksi dan dekat dengan masyarakat pribumi dalam kehidupan kesehariannya,
khususnya masyarakat suku Karo karena Berastagi adalah salah satu daerah yang
banyak dihuni oleh suku Karo. Selain sangat akrab, banyak masyarakat Tionghoa
juga sudah memiliki marga sesuai dengan suku-suku Karo yang ada di Berastagi.
Tionghoa di Berastagi tetap mempertahankan adat-istiadatnya dan tidak terpengaruh
dengan kebudayaan setempat, termasuk adat kematian. Selanjutnya yang berbeda dari
masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah pola pelaksanaan upacara adat, seperti adat
upacara kematian.
Bagi masyarakat Tionghoa di Berastagi, kematian merupakan pristiwa
penting, karena menyangkut eksisteni kehidupannya di masa yang akan datang, ini
disebabkan mereka memilki kepercayaan bahwa kematian merupakan sumber
kesialan, sehingga upacara adat kemataian tersebut harus dilaksanakan.
Upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa di Berastagi merupakan
lambang rasa hormat dan bakti (hao) anak kepada orang tua untuk yang terakhir
kalinya, juga sebagai penebus kesalahan anak semasa orang tua masih hidup.
Disamping itu dilaksanakannya uapacara kematian juga bertujuan untuk
memanjatkan doa agar arwah yang meninggal dapat pergi dengan damai dan tenang
kekehidupan yang selanjutnya (akhirat). Dalam pelaksanaannya, menurut bapak Ng
Ming Hua salah satu masyarakat Tionghoa di Berastagi yang penulis wawancarai,
upacara ini cukup rumit bahkan bagi masyarakat Tionghoa sendiri, terutama dalam
upacara kematian orang tua (hoksai). Dalam upacara kematian juga akan terdapat
atribut-atribut kematian seperti, pangkat (ha), uang akhirat (gincua/kimcua), dupa
(hio) dan lainnya. Masyarakat Tionghoa di Berastagi juga memiliki kepercayaan
bahwa sebuah upacara kematian yang dilaksanakan dengan baik dan benar dapat
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengetahui lebih dalam mengenai upacara adat kematian masyarakat Tionghoa
dengan mengangkat judul “Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di
Kecamatan Berastagi”.
1.2 Batasan Masalah
Menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan
penelitian, penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian upacara adat
kematian masyarakat Tionghoa dengan hanya membahas upacara adat yang
dilangsungkan pada upacara kematian orang tua.
Lokasi penelitian yang menjadi objek penelitian yang dilakukan adalah di
Kecamatan Berastagi terkhusus di Kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan II, alasan
mengapa objek penelitian dilakukan di kelurahan tersebut dikarenakan masyarakat
Tionghoa di Kecamatan Berastagi paling banyak tinggal di daerah tersebut.
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan usaha untuk mengarahkan peneliti pada
permasalahan yang lebih fokus, dan berdasarkan latar belakang yang telah penulis
kemukakan di atas. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1.4Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka
penelitain ini bertujuan: Untuk mendeskripsikan upacara adat kematian orang tua
pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap upacara
adat kematian masyarakat Tionghoa adalah:
1. Memberikan tambahan pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai
upacara adat kematian pada masyarakat Tionghoa.
2. Menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan, dan
memeberi manfaat bagi kelestarian budaya masyarakat Tionghoa.
3. Menjadi salah satu bahan rujukan bagi peneliti lain yang sejenis untuk
penelitian kebudayaan lainnya, fokus pada objek yang sama.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian upacara adat
kematian etnis Tionghoa adalah sebagai sumbangan pemikiran untuk bahan
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri
umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Pengertian konsep dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 588) adalah gambaran mental dari suatu
objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi
untuk memahami hal-hal lain.
“Woodruff (dalam Amin, 1987) mendefinisikan konsep sebagai berikut: (1) suatu gagasan/ide yangrelatif sempurna dan bermakna, (2) suatu pengertian tentang suatu objek, (3) produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda).”
Selain itu, konsep juga dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka
menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam eksistensi, memperlakukan
seolah-olah mereka identik. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan
sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau
kejadian tertentu. Pengertian konsep sendiri adalah universal dimana mereka bisa
diterapkan secara merata untuk setiap eksistensinya.
Konsep merupakan peta perencanaan untuk masa depan sehingga dapat
dijadikan pedoman dalam melangkah kedepan. Konsep biasanya dipakai untuk
sosial tertentu yang sifatnya abstrak. Untuk memahami hal-hal yang ada dalam
penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep yaitu:
2.1.1 Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut
Kroeber dan Kluckhohn (1952), dengan mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi
yang dibuat ahli-ahli antropologi. Membagi kebudayaan atas 6 golongan, yaitu:
“(1) Deskriptif, yang menekan unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif , yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.”
Kebudayaan Tionghoa adalah karya orang Tionghoa dalam sejarah
perkembangannya yang sangat panjang dan merupakan kristalisasi kecerdasan serta
daya cipta orang Tionghoa. Dalam sejarah selama ribuan tahun, budaya Tionghoa
selalu bersinar, dan memiliki pengaruh yang luar biasa bagi orang-orang Tionghoa
baik masa lalu maupun sekarang. Disamping itu, dengan setelah adanya jalur sutera
pada zaman dinasti Han, budaya Tionghoa juga menyumbang dan berpengaruh
terhadap sejarah dan kebudayaan barat. Terlebih pada saat ini, dimana komunikasi
secara global tidak menemui halangan, maka penyebarannya sangat cepat dan
terhadap budaya Tionghoa, misalnya untuk mempelajari bahasa Mandarin. Semakin
banyaknya sekolah, kursus ataupun kelas untuk belajar bahasa Mandarin yang dibuka
adalah salah satu contoh dari segi bahasa, juga aspek-aspek lain seperti masakan
tradisional, seni pertunjukan, karya sastra seperti buku seni perang Sun zi/Sunzi
Bingfa 子兵法, kisah tiga kerajaan san guo yanyi 演 , dan lainnya.
2.1.2 Masyarakat Tionghoa
Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnik di Indonesia.
Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang
(Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tang
ren (orang Tang). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia
mayoritas berasal dari China selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang,
sementara yang berasal dari China utara menyebut diri mereka sebagai Han ren
(orang Han).
Leluhur orang Tionghoa Indonesia migrasi secara bergelombang sejak ribuan
tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul
dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan
terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno
di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di
Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarga-negaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional
Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia. Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan
China di Indonesia, yang berasal dari kata zhong hua dalam Bahasa Mandarin.
Zhong hua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Tionghoa (dialek Hokkien dari kata 中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah,
dalam Bahasa Mandarin ejaan pinyin, kata ini dibaca "zhong hua") merupakan
sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini
dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata "China" yang kini
memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan. Kata
ini juga dapat merujuk kepada orang-orang keturunan Tiongkok yang tinggal di luar
Republik Rakyat China seperti, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan
Taiwan.
Populasi masyarakat Tionghoa sendiri di Indonesia berdasarkan volkstelling
(sensus) di masa Hindia Belanda, mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk
Indonesia di tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di
Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi
Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat
Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.
responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah
keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang
dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara
kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
2.1.3 Upacara Adat Kematian
Adat adalah kebiasaan, lembaga, rasam, peraturan, hukum (Kamus Besar
Umum Bahasa Indonesia,1994:7). Upacara adalah alat tanda kerajaan seperti payung
kerajaan. Upacara adat adalah upacara yang dilaksanakan sesuai dengan adat (Kamus
Besar Umum Bahasa Indonesia,1994:1595).
Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan
tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam
kehidupan masyarakat, antara lain upacara kematian, upacara perkawinan dan
upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat juga merupakan salah satu cara
menelusuri jejak sejarah masyarakat Indonesia, dimana pada masa praaksara
jejak-jejak sejarah tersebut banyak dijumpai dalam upacara-upacara adat. Selain melalui
mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah
pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara yang
dimaksud bukanlah upacara dalam pengertian upacara yang secara formal sering
dilakukan, seperti upacara penghormatan bendera. Melacak melalui upacara, yaitu
kebudayaan tersebut.
Upacara kematian merupakan upacara yang dikenal pertama kali dalam
kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Upacara penguburan menimbulkan
kepercayaan bahwa roh orang meninggal akan pergi ke satu tempat tidak jauh dari
lingkungan di mana ia pernah tinggal semasa hidupnya, dimana sewaktu-waktu roh
tersebut dapat dipanggil untuk menolong masyarakat jika ada bahaya atau kesulitan.
Masyarakat Tionghoa adalah tipe masyarakat yang sangat menjunjung tinggi
keharmonisan antara kehidupan manusia dengan alam itu sendiri. Bagi masyarakat
Tionghoa, lahir, tua, sakit, dan mati adalah siklus yang harus dilalui oleh semua
orang. Kematian bagi masyarakat Tionghoa merupakan sesuatu yang sangat tabu
dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut komunitas ini, kematian berarti
sesuatu yang sangat buruk, meskipun pada dasarnya mereka percaya kepada
kehidupan setelah kematian, baik itu kehidupan di alam neraka ataupun terlahir
kembali di dunia (reinkarnasi).
2.2 Landasan Teori
Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis
berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah
penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut maka dalam
sebuah penelitian membutuhkan landasan teori yang mendasarinya, karena landasan
Dalam penelitian ini penulis mempergunakan teori strukturalisme dan
fungsionalisme kebudayaan. Teori strukturalisme adalah salah satu teori yang
dikemukakan dan dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss. Strukturalisme adalah
strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia yakni struktur dari
proses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas
budaya. Strukturalisme beramsusi bahwa pikiran manusia senantiasa distrukturkan
menurut oposisi binari, dan kaum strukturalis mengklaim bahwa oposisi-oposisi
tersebut tercermin dalam berbagai variasi fenomena kebudayaan, termasuk bahasa,
mitologi, kekerabatan dan makanan (Saifuddin, 2005:64-65).
Bagi Levi-Strauss, budaya pada hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau
atau atau konfigurasi sistem perlambangan. Lebih lanjut untuk memahami sesuatu
perangkat lambang budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan
dengan sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Akan
tetapi ketika Levi-Strauss berbicara tentang fenomena kultural sebagi sesuatu yang
bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan relevan atau arti lambang secara empirik.
Yang ia perhatiakan adalah pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling
berkaitan secara logis untuk membentuk sistem keseluruhan. Pengertian struktur
dalam hal ini adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi antara berbagai
komponen masyarakat, pola-pola yang secara relatif bertahan lama karena
interaksi-interksi tersebut terjadi dalam cara yang kurang-lebih terorganaisasi (Kaplan dan
Berdasarkan pengertian teori tersebut penulis akan mencoba mengkaji
bagaimana berlangsungnya upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di
Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo dari awal hingga akhir.
Selain menggunakan teori strukturalisme, dalam penelitian ini penulis juga
menggunakan teori fungsionalisme untuk mengkaji fungsi dari pada pelaksanaan
upacara kematian tersebut. Fungsi yang dimaksud penulis dalam hal ini adalah fungsi
dari setiap upacara yang dilaksanakan dalam upacara adat kematian masyarakat
Tionghoa di Kecamatan Berastagi.
Teori fungsionalisme sendiri dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan
oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu
Bronislaw Malinowski. Ia mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk
menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori
fungsionalisme kebudayaan atau a funcitional theory of culture.
Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan
fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan
bermanfaat bagi masyarakat tempat unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan
fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan
yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian
dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar
dalam kebudayaan yang bersangkutan. Pandangan Malinowski terhadap fungsi dari
atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder
dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan,
reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan,
kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul
kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga
dipenuhi oleh kebudayaan (Ember dan Ember, 1996:59-60).
Model kajian fungsional memungkinkan secara pragmatik tentang suatu
simbol dan untuk membuktiakan bahwa dalam realitas budaya tindakan verbal
maupun tindakan yang lain menjadi jelas setelah meleui efek yang dihasilakannya.
Titik terpenting dari fungsisonalisme adalah analisis budaya berdasarkan pada analogi
organisme. Maksudnya, sistem fenomena budaya tak jauh berbeda dengan organisme
yang bagian-bagiannya tidak sekedar saling berhubungan melainkan saling
memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas dan semua sistem budaya memeiliki
syarat fungsionalisme tertentu untuk memungkinkan eksistensi hidupnya (Saifuddin,
2005:64).
Berdasarkan defenisi tersebut, penulis akan menggunakan teori ini untuk
mengkaji fungsi daripada peranan dari setiap individu yang ikut terlibat didalamnya
ikut mempengaruhi hingga membentuk suatu kesatuan yang utuh dalam upacara
2.3 Kajian Pustaka
Sabriandi Edrian, tesis (2008): Analisis Semiotik Syair-Syair Kematian Etnis
China di Kota Medan. Dalam tesisnya membagi pelaksanaan upacara kematian
kedalam empat tahap: (1) Belum masuk peti (2) Upacara masuk peti dan penutupan
peti, (3) Upacara pemakaman, dan (4) Sesudah pemakaman. Tesis ini akan penulis
gunakan sebagai pembagian dasar dalam tahapan upacara adat kematian masyarakat
Tionghoa. Perasamaan penelitian yang penulis lakukan dengan tesis tersebut adalah
objek yang sama-sama membahas mengenai upacara kematian etnis Tionghoa.
Perbedaan antara penelitian yang penulis lakuakan dengan tesis tersebut terletak pada
pembahasannya, dimana objek yang penulis teliti dalam penulisan ini adalah upacara
adat kematiannya sedangakan tesis itu sendiri membahas mengnai syair-syair doa
dalam upacara kematian etnis Tionghoa dan dalam tesis tersebut juga belum
manjelaskan bagimana upacara adat kematiannya, hanya menjelaskan secara garis
besarnya dimana upacara kematian etnis Tionghoa dibagi menjadi empat tahapan.
Defri Elias Simatuapang, skripsi (2008): Konsep “Kematian Ideal” Pada
Masyarakat Batak. Dalam skripsinya mengklasifikasikan kematian berdasarkan usia
dan status yang mati, upacara adat yang dijalankan akan disesuaikan dengan usia dan
status yang mati. Skripsi ini penulis gunakan sebagai gambaran dalam membedakan
upacara adat kematian masyarakat Tionghoa berdasarkan usia dan status yang mati.
Kematian pada Masyarakat Melayu di Medan. Dalam artikelnya membedakan
palaksanaan upacara kemataian berdasarkan status sosial, antara kaum bangsawan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian kebudayaan perlu mengikuti karateristik budaya yang terintegrasi.
Budaya adalah leket (inherent) pada bidang-bidang yang terstruktur dengan rapi.
Keterkaitan antara usur kehidupan itulah yang membentuk sebuah budaya. Dengan
demikian budaya bukan sekedar tumpukan acak fenomena atau buakan sekedar
kebiasaan yang lazim, melainkan tertata rapi dan penuh makna. Karena itu penelitian
budaya seyogiayanya mampu mengungkap hal-hal yang demikian secara holistik.
Penelitian budaya bukanlah parsial, yang hanya memperhatiakan unsur tertentu saja,
melainkan harus menyeluruh dan koheren. Oleh karena unsur-unsur pembentuk
budaya itu sangat kompleks, sehingga penelitian perlu dilakukan kearah hal tersebut.
Secara umum penelitian kebudayaan merupakan sebuah refleksi dari sebuah
fenomena. Fenomena real diperoleh melelui pengamatan, studi kepustakaan dan
wawancara terhadap informan, karene itu sebagian besar penelitian kebudayaan lebih
mengarah ke penelitian lapangan (empirik).
Berdasarkan keterangaan di atas dapat ditarik pemehaman bahwa ciri has
penelitian kebudayaan antara lain: (a). Latar penelitian biasanya spesifik,
mengungkap permasalahan-permasalahan yang ada pada suatu daerah. (b). Penelitian
Rancangan kepenelitian budaya bersifat sementara, longgar dan lentur, tergantung
kondisi lapangan. (d). Penelitian budaya mengandalkan analisis terusmenerus sejak
dari lapangan sampai laporan. Bahkan ketika laporan mulai ditulis, jika ada kesalahan
harus cepat diperbaiaki.
Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam
melaksankan penelitian (dalam menggunakan data). Metode memiliki peran yang
sangat penting, metode merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan
dalam sebuah penelitian.
Atas dasar ciri-ciri penelitian tersebut maka metode yang dipergunakan adalah
metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat
deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan gejala atau
kelompok tertentu atau untuk menentukan adanya hubungan tertentu antara suatu
gejala lain dalam masyarakat. Penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian
kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya
mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada
objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana
dalam penelitian kuantitatif.
3.2 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu data
upacara adat kematian masyarakat Tionghoa, sumber utama data yang diambil adalah
dari informan penulis. Para informan ini dipandang secara keilmuan memiliki
kapasitas sebagai ahli atau memiliki pengetahuan lebih tentang upacara adat
kematian, sedangakan data pendukung dalam penelitian ini diperoleh melaui studi
kepustakaan.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik
wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada
subjek penelitian. Sebagai langkah dasar dalam melakukan wawancara penulis
berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan,
“...kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu: persiapan
wawancara, tehnik bertanya dan pencatat data hasil wawancara”.
Berdasarkan pendapat Koentjaraningrat tersebut, maka penulis juga mengacu
pada pendapat Soehartono (1995) yang mengatakan, “...wawancara adalah tehnik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara
langsung oleh pewawancara, jawaban responden akan dicatat atau direkam dengan
alat perekam (tape recorder).”
Koentjaraningrat (1981:139) juga menemukakan bahwa wawancara itu sendiri
terdiri dari beberapa bagian yaitu:
langsung dari suatu masalah ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pokok permasalahan. Wawancara sambil lalu adalah diskusi langsung yang dilakukan untuk menambah/melengkapi data yang sudah terkumpul.”
Sesuai dengan pendapat dari Koentjaraningrat dan Soehartono mengenai
teknik dalam wawancara, maka penulis sebelum wawancara telah mempersiapkan
hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan wawancara demi kelancaran seperti alat
tulis dan pertanyaan-pertanyaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan
didapat dengan mewawancarai langsung objek yang menjadi penelitian yaitu
masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi.
Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir
dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini
dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaaan, guna melengkapi dari apa
yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara.
Sumber bacaaan atau literatur itu dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah
dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi
tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah,
aritkel dan berita-berita dari situs internet.
3.4 Teknik Analisis Data
Tekhnik analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah tekhnik
analisis data kualitatif yaitu mengumpulkan data, informasi dan fakta melalui tekhnik
wawancara selanjutnya memilih data yang penting dan penyusunan dilakukan secara
sistematis. Data dan informasi yang bersifat kualitatif yang telah dikumpulkan
tersebut kemudian diinterpresentasikan oleh penulis sesuai dengan tujuan penelitian
yang telah dirumuskan sebelumnya.
3.5 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan fokus masyarakat Tionghoa yang bertempat
tinggal di Kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan II, Kecamatan Berastagi, Kabupaten
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1 Gambaran Umum Kecamatan Berastagi 4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi
Berastagi merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Karo,
Provinsi Sumatera Utara. Jarak Kecamatan ini dengan pusat pemerintahan kabupaten
sendiri yakni Kota Kabanjahe adalah 11 km, dengan ibukota provinsi yakni Medan
adalah 65 km. Secara administratif Kecamatan Berastagi terdiri dari 6 desa yakni
Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Rumah Berastagi, Desa Guru Singa, Lau
Gumba dan Desa Raya serta 4 daerah kelurahan yakni Kelurahan Gundaling I,
Kelurahan Gundaling II, Kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan Kelurahan Tambak
Lau Mulgap II. Serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tiga Panah dan Barusjahe
Kecamatan Berastagi terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian
1375m dari permukaan laut dengan curah hujan berkisar antara 2000-2500/tahun dan
Keadaan ini menjadikan daerah Berastagi sangat baik sebagai daerah pertanian.
Seluruh daerah pertanian yang terdapat di Berastagi digunakan dengan seefektif
mungkin. Luas keseluruhan daerah Kecamatan Berastagi adalah 30,50 Km², yang
terdiri dari areal pemukiman penduduk, perladangan/persawahan, pariwisata,
bangunan umum, dan lain lain.
Berastagi merupakan salah satu daerah penghasil tanaman pertanian terbesar
di Tanah Karo sehingga untuk menunjang hal tersebut pemerintah setempat membuka
pasar-pasar atau yang lebih dikenal dengan pajak baik pajak umum maupun pajak
sayur sebagai tempat masyarakat baik petani maupun pedagang melaksanakan
aktivitas ekonominya memperjual-belikan hasil pertanian tersebut. Pajak atau pasar
ini umumnya tidak hanya digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Berastagi saja
akan tetapi juga sering dikunjungi oleh masyarakat dari luar kecamatan tersebut atau
bahkan dari luar kota seperti Medan, Kabanjahe, Sibolangit, Pancur Batu dan
sebagainya dalam usaha membeli ataupun menjual barang-barang hasil pertanian dari
dan ke daerah tersebut.
Berastagi juga merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi untuk
pengembangan daerah pariwisata yang besar maka lahan di Berastagi juga banyak
diperuntukkan sebagai lahan pengembangan daerah pariwisata serta
bangunan-bangunan umum yang mendukung kegiatan tersebut serta kegiatan-kegiatan ekonomi
lainnya. Berastagi sebagai daerah pariwisata terbesar di Tanah Karo juga telah
terjadi mengingat bahwa Berastagi merupakan daerah yang berhawa sejuk dengan
potensi ataupun kekayaan alam yang sangat besar sehingga sangat menarik minat
para wisatawan untuk mengunjunginya. Hal ini tentunya turut menyumbangkan
pendapatan yang besar bagi daerah tersebut. Untuk itu, pemerintah setempat berusaha
menyeimbangkannya dengan menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana yang
cukup dalam bidang kepariwisataan tersebut, yakni dengan membangun hotel,
losmen, penginapan, restoran/rumah makan, toko souvenir/cenderamata, dan
keamanan serta kenyaman di daerah tersebut khususnya di daerah yang menjadi
objek atau Daerah Tujuan Wisata (DTW).
Pengangkutan juga merupakan hal yang diperhatikan oleh pemerintah daerah
setempat karena sarana pengangkutan tersebut sangat mendukung dan mempengaruhi
para penduduk dalam melaksanakan aktifitasnya baik dalam aktifitas ekonomi
maupun sosialnya. Selain itu sarana pengangkutan sangat mempengaruhi kehidupan
kepariwisataan di daerah tersebut sebagai alat gerak menuju daerah tujuan wisata
yang hendak dikunjungi oleh para wisatawan.
4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi
Penduduk Berastagi mayoritas adalah suku Karo dan bahasa yang digunakan
dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Karo. Selain itu ada juga suku Batak Toba,
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011
No Desa/Kelurahan Jumlah Rumah
Tangga
Jumlah
Penduduk
1 Gurusinga 989 5012
2 Raya 1272 5791
3 Rumah Berastagi 1949 8493
4 Sempajaya 1461 6566
5 Lau Gumba 349 1418
6 Doulu 500 1741
7 Tambak Lau Mulgap I 677 2895
8 Tambak Lau Mulgap II 798 2566
9 Gundaling I 1137 6461
10 Gundaling II 1828 4144
Tahun 2011 10960 90196
Tahun 2010 10730 40600
Perubahan 230 49596
Sumber : Proyeksi Penduduk Kecamatan Berastagi Catatan : Proyeksi penduduk adalah penduduk November 2011
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dalam tiap tahunnya
4.2 Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Bersatagi 4.2.1 Masuknya EtnisTionghoa ke Kecamatan Berastagi
Masuknya etnis Tionghoa ke Berastagi sudahlah sangat lama. Awal
kedatangannya ke Berastagi diperkirakan mulai semenjak tahun 1870-an, etnis
Tionghoa yang pertama masuk ke Berastagi adalah suku Tioqiu, lalu disusul oleh
suku-suku lainnya. Dalam proses masuknya sendiri telah melalui peroses yang sangat
panjang.
Pada awalnya etnis tionghoa yang datang ke Berastagi adalah buruh yang
bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau pemerintahan Hindia-Belanda yang
terletak di Polonia (tanah ex Bandara Polonia Medan sekarang), Marindal, Bekala
dan kebun-kebun sayur di Amnepura (sekarang Pancur Batu). Masuknya sendiri etnis
tionghoa ke Berastagi disebabkan oleh ketidak sanggupannya lagi menerima
perlakuan yang kurang baik dari Centeng (Mandor) perkebunan dan pemerintahan
Hindia-Belanda yang memperlakukannya secara kurang adil, sehingga pada saat
habis masa kontrak kerjanya dengan perkebunan mereka memutuskan untuk berhenti
(tidak memperpanjang masa ikatan kerjanya) dan memulai perkebunan sendiri
(Luckman Sinar, 2010).
Masuk dan berkembanganya etnis Tionghoa ke Berastagi tidak terlepas dari
mereka. Dimana pada umumnya etnis Tionghoa di Berastagi berasal dari Provinsi
Guangdong yang memiliki keadaan alam kurang lebih sama dengan Berastagi,
sehingga memudahkan mereka untuk beradaptasi dan membuka ladang-ladang dan
kebun-kebun sayur. Disamping itu, kecocokan antara budaya dan tradisi antara etnis
Tionghoa dengan penduduk setempat (suku Karo) juga merupakan faktor penting
lainnya yang mempengaruhi bertahannya etnis Tionghoa di Berastagi hingga saat ini.
Pada awal masukanya etnis Tionghoa di Berastagi umumnya mereka berdomisili di
sekitar jurang lau galuh dan jurang gundaling atau daerah lainnya yang terdapat
sumber air bersih.
4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi
Tabel 4.2
Jumlah Rumah Tangga Masyarakat Tionghoa menurut 4 Kelurahan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011
No Kelurahan Jumlah Rumah Tanga Jumlah Penduduk
1 Gundaling I 25 134
2 Gundaling II 58 345
3 Tambak Lau Mulgap I 69 362
4 Tambak Lau Mulgap II 103 432
Jumlah 255 1273
Sumber : Proyeksi Penduduk Kecamatan Berastagi
Mata pencaharian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi pada umunya
adalah bertani dan berdagang, sebahgian ada juga yang bekerja sebagi guru, montir,
pegawai bank dan lainnya, namun demikian hanya sebahagian kecil. Mayoritas
pekerjaan masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah bertani.
4.2.4 Kepercayaan
Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi menganut agama Buddha,
Konghucu , Kristen dan Islam.
4.2.5 Suku-suku Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi
Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi ada 6 suku yaitu, Tio-Chiu,
Lingga, Hokkian, Konghu, Khek dan Hailam. Mayoritas suku Tionghoa di Berastagi
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa dapat juga disebut hoksai, yang
merupakan bentuk maupun lambang bakti (hao) dari anak, saudara, menantu dan
cucu, juga sebagai lambang kasih kepada orang tua. Hoksai sendiri memiliki dua arti
yakni, penghormatan terakhir (upacara kematian) dan penyembahan kepada leluhur
atau orang tua yang telah meninggal. Merawat dan menjaga abu leluhur juga
termasuk hoksai.
Masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa seseorang yang telah
meninggal, secara otomatis statusnya berubah menjadi dewa, bahkan umurnya dapat
ditambah tiga tahun (satu tahun untuk bumi, satu tahun untuk udara dan satu tahun
untuk laut), oleh sebab itu orang tersebut harus disembah terutama oleh mereka yang
lebih muda, termasuk anak, menantu, dan cucu. Hal ini dilakukan karena masyarakat
Tionghoa memiliki kepercayaan, ‘semakin banyak keturunannya yang
menyembah/menyembahyangi seseorang yang telah meninggal, maka statusnya
sebagai dewa akan semakin tinggi dan sebagai imbalannya keturunannya akan
Dalam pelaksanaan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa, peranan dari
seorang anak laki-laki sangat penting, khususnya bagi anak laki-laki yang paling tua,
di samping sebagai penerus marga (she) dan pembawa rejeki (hokky) terutama
sebagai pengganti orang tua untuk meneruskan merawat abu leluhur juga untuk
menggantikan sang ayah untuk megurus kelurganya.
Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa di Berastagi juga mendapatkan
pengaruh dari agama Buddha, sehingga masyarakat biasanya akan melafalkan gelar
Buddha atau melafalkan paritta. Hal ini dimaksudkan agar arwah memperoleh
ketenangan. Biasanya ini dilafalkan terus-menerus selama beberapa hari ataupun
direkam dan diputar terus menerus.
5.2Perlengkapan Upacara Adat Kematian
Pelaksanaan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa terdapat beberapa
atribut/perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan upacara tersebut,
diantaranya:
1. Peti mati
Peti mati bagi masyarakat Tionghoa dianggap sebagai rumah baru bagi
seseorang yang telah meninggal. Peti mati ini dibagi menjadi dua jenis yaitu,
peti mati tradisional (kuno) dan modern. Peti mati tradisional adalah peti mati
yang terbuat dari sebatang pohon besar yang dipahat sehingga menjadi sebuah
menggunting kuku sebelum 49 hari setelah hari kematian dari almarhum bisa
menyakiti arwah almarhum. Oleh karena itu, sanak keluarga dianjurkan untuk
melakukan semua ini terlebih dahulu.
5.4 Persiapan Upacara Adat Kematian
Begitu terjadinya kematian, semua kaca dan bahan yang bisa memantulkan
bayangan harus ditutup dengan kertas atau kain berwarna merah, hal ini dilakukan
agar arwah yang meninggal tidak terkejut sewaktu melihat bayangan dirinya terpantul
dari cermin/ kaca. Kemudian semua altar sembahyang dewa-dewi harus ditutup
dengan kain berwarna merah. Jenazah tidak boleh langsung menatap langit.
Setelah itu, jenazah di bersihkan dengan cara dibasuh menggunakan handuk
yang direndam dalam air terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena masyarakat
Tionghoa percaya, manusia datang ke dunia adalah dengan bersih, ketika kembali ke
surga juga harus dengan bersih, maka harus dibersihkan. Kemudian pada jenazah
dipakaikan baju bersih, biasanya berwarna putih atau setelan jas.
Sesudah jenazah diberi pakaian, jenazah akan diletakkan di rungan tengah
(ruangan tempat nantinya upacara kematian dilangsungkan), dalam meletakkan
jenazah tidak boleh langsung di atas lantai, harus dilapisi terlebih dahulu dengan
triplek, kain putih atau dapat juga kasur, disamping jenazah juga akan diletakkan
pakaian-pakaian yang sering dipakai almarhum, ataupun apabila semasa hidupnya
diletakkannya jenazah harus dijaga siang dan malam agar jangan sampai dilangkahi
oleh binatang, terutama kucing. Hal ini dikarenakan masyarakat Tionghoa memiliki
kepercayaan apabila ada kucing yang melangkahi jenazah, maka jenazah akan
bangkit dan berdiri. Tidak lupa juga dipersiapkan altar, diatas meja altar ini terdapat
hiolo (tempat hio dan lilin di tancapkan untuk dibakar) juga buah-buahan sebagi
persembahan untuk almarhum.
Begitu kematian terjadi, setelah uang akhirat tersedia akan segera dibakar,
maksud dari membakar uang akhirat tersebut adalah sebagai uang pegangan
almarhum dalam perjalanannya diakhirat, baik itu menuju surga maupun neraka.
Semakin banyak uang akhirat yang dibakar, maka jalan yang ditempuh oleh
almarhum diakhirat akan semakin mudah. Hal ini dilakukan karena masyarakat
Tionghoa meyakini bahwa pada saat menempuh perjalanan tersebut akan banyak
dijumpai arwah-arwah gentayangan, siluman-siluman dan hantu-hantu yang dapat
menghalangi almarhum untuk sampai ketempat yang ditujunya.
Sembari membakar uang akhirat anak-anak dan keluarga almarhum akan
berkumpul untuk membicarakan dan menentukan jenazah akan disemayamakan atau
dikubur dimana, apabila sebelum meninggal almarhum telah berpesan ingin dikubur
di suatu tempat maka akan dilakukan sesuai dengan keinginan alamarhum, pada saat
berkumpul ini juga akan ditentukan hari memasukkan jenazah kedalam peti,
penutupan peti dan penguburan dengan terlebih dahulu meliahat hari dan jam baik
kematian masyarakat Tionghoa merupakan hal yang sangat penting, ini dikarenakan
apabila terjadi kesalahan dalam penentuannya (bagi yang percaya) maka keluarga
almarhum dapat terkena bala ataupun kesilan. Penentuan hari dan jam baik dilihat
dari kitab thong su (buku ramalan Tionghoa), namun demikian apabila selama tujuh
hari semenjak terjadinya kematian tidak ditemukan hari dan jam yang tepat, maka
akan dibutkan penangkal. Penangkal ini biasanya sebuah semangka dan diletakkan
dimeja altar yang pada saat pemberangkatan jenazah menuju pemakaman nantinya
akan dilempar kelantai hingga pecah. Hal ini dimaksudkan untuk menolak bala
ataupun kesialan. Dalam pembicaraan ini semua keputusan akan diambil/harus atas
persetujuan oleh anak laki-laki tertua almarhum.
5.5 Mengabarkan Berita Kematian
Setelah kematian terjadi, sanak keluarga harus segera mengabarkan berita
kematian. Anaka laki-laki pergi kerumah keluarga yang lainnya untuk mengabarkan
berita kaematian, serta didepan pintu rumah ataupun dijalan-jalan dekat rumah
menempelkan pengumuman berita kematian tersebut. Berita kematian juga dapat
dikabarakan melalui suratkabar.
5.6 Upacara Sebelum Masuk Peti
Setelah semua persiapan untuk upacara kematian selesai dilakukan, biasanya
pelayat biasanya memberikan sumbangan, sumbangan tersebut biasanya disebut pek
kim (emas putih) atau dalam Bahasa Indonesia lebih sering diterjemahkan adalah
amplop putih dan ketika mereka datang (pelayat) akan membakar dan menancapkan 3
hio (dupa) sebagai tanda penghormatan terakhir, ini dilakuakan hanya bagi yang
percaya. Para pelayat biasa dipersilahkan duduk dan menikmati makanan kecil yang
disediakan dan air putih. Makanan kecil yang disediakan biasa berupa kacang,
roti-rotian, ataupun ketika malam tiba, sering kali pihak keluarga menyediakan sedikit
cemilan, tergantung dari pihak keluarga, kadang bisa berupa bubur atau yang lainnya.
Setiap malam sampai pada hari pemakaman tiba keluarga juga akan
melakukan sembahyang yang dipimpin Sai Kong dengan tujuan untuk membukakan
jalan bagi arwah dengan membacakan paritta atau mantra, yang ikut dalam upacara
sembahyang adalah anak, cucu, istri ataupun suami, saudara laki-laki dan saudara
perempuan, anak cucu dari saudara laki-laki dan saudara perempuan. Biasanya yang
berlutut di barisan paling depan adalah anak laki-laki paling besar, dengan memegang
sebuah bendera bambu (tek), pertanda membalas budi kepada orang tua, dan
almarhum atas keterlambatannya untuk berbakti (lai kuan). Disamping itu pada saat
membawa peti mati masuk kedalam tidak boleh menyentuh pintu kosen rumah, ini
dikarenakan kepercayaan mereka dimana apabila tersentuh maka arwah almarhum
akan tinggal ditempat tersebut dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Namun demikian sebelum jenazah dimasukkan kedalam peti, terlebih dahulu
peti akan diisi dengan uang akhirat, juga benda-benda yang tadinya diletakkan
disebelah jenazah akan turut dimasukkan kedalam peti. Kemudian setelah itu jenazah
akan diangkat dan dimasukkan kedalam peti, dalam proses pemasukan jenazah
kedalam peti ini yang mengangkat dan memasukakannya kedalam peti haruslah
dilakukan oleh anak laki-laki almarhum. Yang mengangkat dari bagian kepala adalah
anak lelaki tertua almarhum kemudian disusul olah adik-adiknya dan anak yang
paling kecil mengangkat bagian kaki almarhum. Setelah jenazah dimasukkan
kedalam peti harus dilihat juga apakah posisi jenazah telah lurus, apabila ada anak
almarhum yang merasa letak jenazah belum lurus maka akan diganjal dengan uang
akhirat. Hal ini dilakuakan dikarenakan masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan
apabila letak dari jenazah yang belum lurus maka rezeki yang nantinya akan didapat
dari pada alamarhum akan berjalan jongkok sembari mengelilingi peti sebanyak tiga
kali (dengan syarat air mata tidak boleh mengenai jenazah) sambil mengikuti
instruksi yang diberikan oleh Saekong. Setelah sembahyang selesai dilakukan maka
peti mati akan ditutup (jip kuan/him kuan) dan dipaku oleh Saekong, masing-masing
dari tiap sudut akan dipaku sebanyak 4 (empat) kali.
Pada saat paku pertama saekong akan mengucapkan “Thao kiteng su heng”
yang maksud maupun artinya: Anak/keluarga ikhlas dengan kepergian almarhum,
anak/keluaraga tinggal untuk melanjutkan kehidupan semoga menjadi orang yang
berhasil.
Pada saat paku yang kedua saekong akan mengucapkan “Ji khi theng tiam cai
kheng” yang maksud maupun artinya: Agar almarhum senantiasa menjadi penerang
dalam kehidupan anak/kelurga yang ditinggalkan.
Pada paku yang ketiga sekong akan mengucapkan “Sa khi theng bang bang
huk kui” yang maksud maupun artinya: Anak/keluarga yang ditinggalkan dapat hidup
dengan senang.
Pada paku yang keempat saekong akan mengucapakan “Sai khi theng hap keh
huk kui” yang maksud dan artinya: Agar semua keluraga diberkati dan diberikan
kesejahteraan.
Hari-hari selanjutnya sampai kepada hari pemakaman, setiap malam sanak
keluarga melakukan upacara sembahyang yang sama pada malam hari yang dipimpin
yang memakai alas kaki, akan bisa menginjak arwah almarhum. Hal ini menunjukkan
pengantaran terakhir oleh sanak keluarga.
Disepanjang perjalanan menuju pemakaman uang akhirat akan ditebarkan
terus-menerus hingga sampai di pemakaman. Waktu berjalan menuju ke pemakaman
yang berjalan terlebih dahulu adalah peti jenazah yang dipikul oleh kerabat
almarhum, kemudian disusul oleh anak, menantu dan cucunya, yang berjalan paling
belakang adalah kerabat almarhum. Dalam perjalanan menuju pemakaman anak
laki-laki tertua harus membawa hiolo (tempat hio), selama perjalanan menuju kuburan hio
tidak boleh mati/padam .
Sesampainya di pemakaman, anak, menentu, cucu dan keluarga dekat
almarhum tidak langsung menuju kuburan, melainkan menunggu terlebih dahulu peti
mati di masukkan kedalam liang lahat. Setelah peti mati selesai dimasukkan kedalam
liang lahat barulah keluarga dipanggil untuk datang kekuburan. Sesampainya
dikuburan keluarga terlebih dahulu akan bersembahyang kepada tua pekong/te
qukong (dewa tanah). Pada saat bersembahyang kepada tuapekong akan
dipersembahkan buah-buahan dan membakar hio (dupa) serta gincua sebagai tanda
permohonan keluarga dengan maksud agar mau menerima arwah almarhum dan
menjaganya dari arwah-arawh gentayangan yang ada dipemakaman tersebut. Setelah
selesai keluarga akan mengikuti instruksi saekong untuk ikut bersembahyang
kuburan. Pada saat sembahyang ini keluarga akan berjalan mengitari kuburan
jenis biji –bijian (kacang merah, kuning, hijau, hitam dan padi) ke dalam liang kubur.
Pelemparan lima jenis biji-bijian ini dipercaya akan membawa berkah bagi anak cucu
dari almarhum. Selain itu juga saekong akan membagi-bagikan lima jenis kacang
tersebut kepada anak almarhum, dengan terlebih dahulu memantra-mantrainya.
Kelima kacang tersebt nantinya akan disimpan dan dibawa pulang atau bagi yang
memiliki lahan pertanian akan ditanam dilahan tersebut, ritual ini disebut dengan
nama gokok. Setelahnya Sai Kong akan mengucapkan kata-kata baik dan
menanyakan kepada semuanya, “好 好 ?” (Baik tidak?) dan semuanya akan
menjawab “好” (Baik!). Upacara pemakaman telah selesai. Selain itu, tempat hio
ditancapkan (hio lo) yang sebelumnya dipakai dibawa pulang oleh anak laki-laki
yang paling tua untuk disembahyangi. Dalam perjalanan pulang hio tidak boleh
mati/padam, sesampainya di rumah Sai Kong akan membacakan mantra untuk
membersihkan rumah dari arwah-arwah jahat selain dari arwah almarhum.
Setelah proses pemakaman selesai dan kembali ke rumah, keluarga yang
hubungannya agak jauh mencuci muka dengan air bunga, hal ini dilakukan oleh
semua yang menghadiri upacara pemakaman, terkecuali anak dan cucu almarhum.
Air bunga dipercaya bisa membersihkan tubuh dari hawa-hawa yang bersifat
negative, terutama bagi yang didalam keluarganya terdapat anak kecil. Konon
katanya banyak sekali kejadian anak kecil dengan umur yang tidak cocok dengan
almarhum, bisa terjadi hal-hal yang membahayakan si anak. Oleh sebab itu, apabila
memandikan dirinya dengan air bunga.
Selama anak cucu atau saudara dekat masih mengenakan ha, tidak
diperkenankan untuk mengunjungi rumah orang lain tanpa seizin tuan rumah, kecuali
ketika ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan saudara yang dekat. Masyarakat
Tionghoa percaya selama ha masih dikenakan, masih ada bagian dari unsur negatif
yang mengikuti kita. Lamanya memakai ha tergantung dari status hubungan dengan
almarhum, misalnya pihak perempuan mengenakan ha hanya selama 49 hari,
sementara pihak laki-laki dianjurkan untuk memakai selama 1 tahun, bahkan ada
yang memakai sampai dengan 3 tahun dalam arti sedang dalam masa berduka atas
peninggalan almarhum selama 1 tahun sampai 3 tahun. Ada beberapa hal yang
dilarang untuk dilakukan oleh sanak keluarga setelah masa meninggalnya almarhum.
Pada zaman dahulu, larangan-larangan ini dipertahankan selama 3 tahun lamanya.
Hari-hari besar tidak boleh dirayakan, termasuk membuat bakcang, membuat cenel,
memakan kue bulan, dan tahun baru. Pada waktu tahun baru imlek tidak
diperkenankan untuk berkunjung ke rumah-rumah saudara, namun saudara
diperkenankan untuk mengunjungi kita. Sanak keluarga tidak diperkenankan untuk
memberikan dan menerima angpao. Tidak diperkenankan memakai pakaian atau
segala jenis yang berwarna merah, termasuk merias diri. Suami dan istri tidak
diperkenankan untuk tidur bersama.
Setelah 7 hari penguburan, anak almarhum akan kembali kekuburan untuk
yang ke 35 (go chit) hanya anak perempuan yang bersembahyang. Setelah samapai ke
7 hari yang ke 7 (chit chit ) upacara kematian sudah selesai, semua baju-baju dan
perlengkapan kematian akan dibakar. Dalam waktu 49 hari makam dari pada
almarhum juga harus sudah selesai di bangun.
Pada hari ke-49 untuk kelurga yang cukup berada dapat membakar
mobil-mobilan, rumah-rumahan, TV, perabotan rumah tangga dan orang-orangan yang
terbuat dari kertas untuk dipersembahkan kepada almarhum, ritual ini dikenal dengan
nama kong tek. Maksud daripada kong tek ini adalah sebagai persembahan kepada
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi
merupakan sebuah upacara adat yang dilangsungkan dengan maksud untuk
menghormati orang tua yang telah meninggal.
Dalam pelaksanaa upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di Kecamatan
Berastagi terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu: Upacara sebelum masuk peti, dalam
tahap ini akan dipersiapkan segala hal yang berhubungan dengan upacara kematian
seperti, memandikan (membersihkan) jenazah, memberi pakaian jenazah,
mempersiapakan meja altar (altar sembahyang), perlengkapan ataupun atribut
kematian dan menentukan hari memasukkan jenazah ke dalam peti, penutupan peti,
penguburan ataupun kremasi. Upacara masuk peti dan penutupan peti, pada tahap ini
dahulu sudah di tentukan, apabila semua proses dalam tahap ini telah selesai
dijalankan maka peti akan ditutup. Upacara setelah penutupan peti, dalam tahap ini
jenazah akan dikubur atau dikremasi. Upacara setelah penguburan, pada tahap ini
upacara kematian telah selesai. Selanjutnya yang dilakukan dalam tahap ini adalah
masa berkabung bagi keluarga almarhum. Lama masa berkabung dapat berlangsung
selama 7 hari, 49 hari, 1 tahun dan 3 tahun. Lamanya masa berkabung ini tergantung
pada jauh dekatnya hubungan kekerabatan dengan almarhum.
6.2Saran
Adapun saran yang ingin dismpaikan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Karya ilmiah ini dapat dilanjutkan dan disempurnakan oleh peneliti
barikutnya yang berkenaan dengan upacara adat kematian
2. Penulis berharap agar penelitian khususnya tentang kebudayaan masyarakat
Tionghoa lebih banyak di kembangkan dan lebih bermanfaat, sehingga kita
dapat mempelajari tentang kebudayaan masyarakat tionghoa, tidak hanya
DAFTAR PUSTAKA
Basarshah-H, Luckman Sinar. 2010. Kedatangan Imigran-Imigran China Ke Pantai Timur Sumatera Pada AbadKe-19.Forkala Sumut.
Ember, Carol R dan Melvin Ember. 1996. “Teori dan Metode Antropologi Budaya” dalam T.O. Ihromi Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Endraswara Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kaplan, David dan Manners, Robert A. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1991. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Koentjaraningrat. 2007. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Nababan. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Poerwanto. 2005. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspertif Antropologi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI)
Rafael, M.R. 2000. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Saifuddin, A.F. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Pradigma. Jakarta: Prenada Media.
Soelaeman, M Munandar. 1990. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Refika Aditama. T.O. Ihromi, 1995. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.
Publikasi Elektronik
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Pengertian_kebudayaan diakses pada tanggal 21
April 2012 .
http://web.budayationghoa.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1876
&Itemid=1 diakses pada tanggal 30 April 2012.
LAMPIRAN
1. Daftar Informan
1. Nama : Hakim.
Umur : 77 tahun.
Alamat : Jl. Kenanga No 80 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I.
Pekerjaan : Petani & Tokoh Masyarakat.
2. Nama : Ng Ming Hua.
Umur : 68 tahun.
Alamat : Jl. Udara No5 A.
3. Nama : Apo.
Umur : 56.
Alamat : Jl. Kenanga No 81 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I.
Pekerjaan : Petani & Pengurus Pagoda Shwedagon Berastagi
4. Nama : Kiang Kai Sun & Jiang Ai Li.
Umur : 65 & 55 tahun.
Alamat : Jl. Letnan Rata Peranginangin, Gang Lau Meciho No1.
Pekerjaan : Pedagang & Ibu rumah tangga.
5. Nama : Tok Bak Hua.
Umur : 48 tahun.
Alamat : Jl. Jamin Ginting No 2 Pancur Batu Desa Lama.
Pekerjaan : Pedagang.
6. Nama : Dra. Chen Kui Ik, m.Pd.
Umur : 50 tahun.
Alamat : Jl. Pasar 5 Komplek I Permai No C3 Kelurahan
Lalang.
7. Nama : Hendrik
Umur : 39 tahun.
Alamat : Perumahan Graha Mandala No 7 Kabanjahe.
Pekerjaan : Pedagang.
8. Nama : Rismawati
Umur : 59 tahun.
Alamat : Jl. Pasar 5 Asam Kumbang No 08 Kelurahan Lalang.
Pekerjaan : Pedagang & Pengetua Adat.
9. Nama : Pohan
Umur : 38 tahun.
苏
苏
Sumber: BPSS Kab.Karo