ABSTRAK
MAKNA UBORAMPE DALAM UPACARA KEMATIAN PADA
MASYARAKAT JAWA DI KECAMATAN PURBOLINGGO KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Oleh
Marcelinus Wahyu Putra Kristianto
Kebudayaan dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan ide-ide atau pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat kepada anggota masyarakat lain dari generasi ke generasi. Upacara kematian terdapat dalam budaya Jawa yang pada pelaksanaannya menggunakan berbagai macam perlengkapan yang disebut
dengan uborampe. Mayoritas masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo
melaksanakan upacara kematian yang merupakan tradisi dari nenek moyang
dengan tetap mempertahankan beberapa uborampe yang digunakan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah makna simbolis Uborampe
dalam Upacara Kematian Pada Masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur? Adapun metode yang digunakan adalah Metode Hermeneutik. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu makna
simbolis uborampe dalam Upacara Kematian Pada Masyarakat Jawa di
Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik Observasi partisipan, Wawancara, dan Kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah Teknik Analisis data Kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, berbagai uborampe upacara kematian mengingatkan kepada manusia akan apa saja yang harus dimiliki atau dibutuhkan saat hendak menghadap kepada Sang Pencipta. Seperti halnya Orang Jawa yang yakin bahwa kematian hanyalah suatu proses menuju ke tahap kehidupan yang selanjutnya,
maka uborampe kematian merupakan simbol kebutuhan manusia guna menuju ke
DAFTAR ISI
C. Tujuan, Kegunaan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 6
1. Tujuan Penelitian ... 6
2. Kegunaan Penelitian ... 6
3. Ruang Lingkup Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka ... 9
1. Konsep Makna ... 9
2. Konsep Uborampe ... 13
3. Konsep Upacara Kematian ... 17
4. Konsep Kematian ... 19
5. Konsep Adat Jawa ... 21
B. Kerangka Pikir dan Paradigma ... 23
1. Kerangka Pikir ... 23
2. Paradigma ... 24
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode yang Digunakan ... 28
B. Lokasi Penelitian ... 31
C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 31
1. Veriabel Penelitian ... 31
2. Definisi Operasional Variabel ... 32
D. Sumber Data ... 32
E. Teknik Pengumpulan Data ... 34
1. Teknik Observasi Partisipan ... 35
2. Teknik Kepustakaan ... 35
3. Teknik Wawancara ... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ... 41
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 41
1.1. Lokasi Dan Keadaan Alam Kecamatan Purbolinggo ... 41
1.2. Sejarah Singkat Kecamatan Purbolinggo ... 43
1.3. Penduduk ... 45
1.4. Keadaan Sosial Budaya ... 47
2. Deskripsi Upacara Kematian ... 51
2.1. Maksud Upacara Kematian ... 51
2.2. Persiapan Upacara Kematian ... 52
2.3. Prosesi Upacara Kematian ... 54
2.4. Uborampe Upacara Kematian ... 63
3. Makna Simbolis Uborampe Upacara Kematian ... 67
3.1. Makna Simbolis Uborampe Memandikan Jenazah ... 67
3.2. Makna Simbolis Uborampe Pembungkusan Jenazah ... 69
3.3. Makna Simbolis Uborampe Penguburan Jenazah ... 72
B. Pembahasan... 77
1. Makna Simbolis Uborampe Upacara Kematian ... 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 88
B. Saran ... 89
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rincian Pemanfaatan Lahan... 42
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Usia ... 45
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 46
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 47
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rincian Pemanfaatan Lahan... 42
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Usia ... 45
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 46
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 47
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kebudayaan dalam masyarakat tidak begitu saja ada dengan sendirinya.
Kebudayaan itu sendiri merupakan sebuah hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia
yang diperoleh melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 2009: 144). Dengan
demikian budaya masyarakat dapat pula menjadi sarana untuk menyalurkan
ide-ide, gagasan, serta pengetahuan yang dimiliki masyarakat kepada anggota
masyarakat yang lain secara turun-temurun.
Secara umum, kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni kebudayaan secara ideal
yang berisi ide-ide, norma-norma dan peraturan. Wujud kedua dari kebudayaan
berupa pola-pola perilaku masyarakat yang terwujud dari sistem-sistem dan
struktur-struktur sosial masyarakat. Terakhir adalah kebudayaan dalam wujudnya
sebagai benda-benda hasil karya manusia atau secara fisik (Koentjaraningrat,
1985: 5).
Dalam memahami kebudayaan tidaklah cukup hanya mengetahui wujudnya saja.
Kebudayaan tidaklah cukup hanya dipahami sebagai ide atau gagasan, pola
perilaku maupun benda-benda. Kebudayaan itu, karena dapat berfungsi sebagai
sarana untuk menyalurkan ide-ide atau pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat kepada anggota masyarakat lain dari generasi ke generasi, maka
demikian kebudayaan dianggap sebagai tempat atau wadah yang membawa
makna yang hendak disalurkan kepada masyarakatnya, artinya kebudayaan itu
juga harus dipahami maknanya, yang terkandung dalam berbagai wujudnya baik
sebagai gagasan, pola perilaku maupun benda-benda.
Di Indonesia khususnya juga terdapat beragam bentuk kebudayaan karena
memiliki suku bangsa yang beragam pula. Salah satu suku bangsa yang terdapat
di Indonesia adalah suku Jawa yang memiliki bentuk kebudayaannya sendiri yaitu
kebudayaan Jawa. Dalam kebudayaan Jawa terdapat nilai-nilai serta norma-norma
yang dipakai dan dipatuhi serta diwariskan secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya yang menjadi pandangan
hidup orang Jawa kemudian mengendap dalam tradisi dan adat-istiadat yang
dipegang teguh dan terwujud dalam salah satunya yaitu upacara-upacara adat
(Thomas Wiyasa Bratawidjaja, 2000: 9).
Upacara – upacara adat Masyarakat Jawa ada bermacam-macam dan memiliki
makna sendiri-sendiri. Dalam setiap upacara adat tentu digunakan berbagai
macam srana atau perlengkapan untuk melaksanakan dan mendukung jalannya
tata upacara tersebut. Berbagai macam perlengkapan itu oleh Orang Jawa disebut
dengan uborampe.
Salah satu upacara adat yang masih dilaksanakan hingga sekarang adalah upacara
kematian. Dalam melaksanakan upacara kematian tentu menggunakan uborampe
yang berbeda dengan upacara adat-upacara adat yang lain. Penggunaan uborampe
yang jika dilihat secara fisik hanya menunjukan sisa-sisa kepercayaan terhadap
penyembahan nenek moyang.
Uborampe itu, misalnya saja dalam penggunaan payung yang diletakkan di atas
makam orang yang sudah meninggal, atau yang menyertai pengusungan jenazah
sampai ke kuburan, memiliki kesan bahwa jenazah yang meninggal masih bisa
merasakan panas terik matahari atau guyuran hujan. Kesan-kesan yang tampak
secara lahiriah itu seringkali menimbulkan anggapan orang bahwa uborampe yang
digunakan dalam upacara kematian tidak berguna sama sekali, bahkan terkesan
ribet.
Terlepas dari pemahaman di atas, bisa jadi uborampe yang digunakan dalam
upacara kematian itu menyimpan makna atau nilai-nilai yang ingin diwariskan
kepada anak cucu atau masyarakat secara turun-temurun. Sebagai bagian dari
kebudayaan Jawa, uborampe dapat menjadi sarana atau wadah yang dapat
membawa dan menyampaikan ide-ide atau pandangan hidup masyarakat yang
memiliki kebudayaan itu, yakni Masyarakat Jawa, sebab dalam kebudayaan jawa,
perilaku Orang Jawa yang mencerminkan nilai-nilai dan ide-ide itu selalu
terwujud melalui dua tataran yaitu lugas dan simbolis, sedangkan uborampe
berada pada tataran simbolis (Tjaroko HP Teguh Pranoto, 2009 : 7), sehingga
melalui Uborampe yang digunakan dalam upacara kematian tersebut dapat
diketahui bagaimana masyarakat Jawa memahami, menghayati, serta memandang
hal-hal yang berkaitan dengan kematian manusia.
Orang Jawa yang masih berpegang teguh dengan tradisi nenek moyang, tidak
di wilayah lain, tetap melaksanakan upacara adat dengan segala uborampe-nya.
Salah satu masyarakat yang dalam upacara adat, khususnya yang berkaitan dengan
kematian masih mempertahankan penggunaan uborampe adalah masyarakat Jawa
di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
Mayoritas masyarakat di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur
merupakan masyarakat transmigran dari Jawa (Yogyakarta, Jawa Tengah dan
Jawa Timur). Sebagai masyarakat transmigran dari Jawa, mereka tidak serta-merta
meninggalkan budaya asli, yakni budaya Jawa. Hingga kini mereka masih tetap
mempertahankan tradisi-tradisi yang berasal dari moyangnya di Jawa. Walaupun
memang, dalam pelaksanaannya, tradisi tersebut tidak menggunakan uborampe
secara lengkap, penyebabnya ialah uborampe kematian sering dianggap sebagai
sesuatu yang tidak berguna, atau kalaupun beberapa dari uborampe itu setidaknya
memiliki manfaat dalam hal pengurusan jenazah biasanya telah diganti dengan
benda yang lebih maju (maksudnya tidak menggunakan benda tradisional). Tentu
hal ini tidak menjadi masalah selama makna dari uborampe itu tidak hilang begitu
saja.
Masalah tersebut biasanya disebabkan karena perihal penggunaan beberapa
uborampe tersebut tidak ada tuntunannya dalam agama yang dianut masyarakat.
Sehingga satu-satunya alasan dari beberapa masyarakat masih menggunakan
uborampe kematian sesuai Adat Jawa adalah karena kebiasaan atau sekedar
tradisi. Hal ini tentu sudah menunjukan bahwa pengetahuan masyarakat akan
Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai makna yang
terkandung dalam uborampe yang digunakan dalam upacara kematian oleh
Masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
B.Analisis Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi
masalah sebagai berikut :
1. Makna Simbolis Uborampe dalam Upacara Kematian Pada
Masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung
Timur.
2. Makna Harfiah Uborampe dalam Upacara Kematian Pada Masyarakat
Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
2. Pembatasan Masalah
Supaya penelitian ini tidak terlalu luas jangkauanya maka penulis membatasi
masalah yang akan dikaji pada Makna Simbolis Uborampe dalam Upacara
Kematian pada Masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten
Lampung Timur.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas maka perumusan masalah dalam
Kematian pada Masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten
Lampung Timur?
C.Tujuan, Kegunaan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengetahui makna simbolis dari Uborampe yang digunakan dalam Upacara
Kematian pada Masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten
Lampung Timur.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat serta
pihak-pihak yang membutuhkan, adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, dalam memberikan sumbangan pengetahuan dalam rangka
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu sosial dan budaya
mengenai makna dari simbol-simbol kebudayaan berupa uborampe yang
digunakan dalam upacara kematian menurut adat Jawa.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada
masyarakat Jawa agar setelah memahami makna uborampe, dapat
melestarikan penggunaannya dalam upacara adat, terutama upacara
3. Ruang Lingkup Penelitian
a. Objek Penelitian : Makna simbolis dari Uborampe yang digunakan
dalam upacara kematian pada Masyarakat Jawa.
b. Subjek Penelitian : Masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo
Kabupaten Lampung Timur
c. Tempat Penelitian : Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung
Timur
d. Waktu Penelitian : 2013
REFERENSI
Koentjaraningrat.2009.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: PT Rineka Cipta. Halaman 144
__________.1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia. Halaman 5
Thomas Wiyasa Bratawidjaja.2000.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 9
II.TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Makna
Dalam memahami konsep “makna” yang digunakan dalam penelitian ini,
peneliti mengacu pada pendapat beberapa ahli diantaranya yaitu :
Konsep “makna” yang kemukakan oleh E. Sumaryono dimana “makna”
diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek (E.
Sumaryono, 2013: 30). Makna itu diperoleh tergantung dari banyak faktor;
siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat
ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa
(E.Sumaryono, 2013: 29-30).
Pendapat senada dikemukakan oleh Mudjia Raharjo, yakni “makna” bukan
sekedar isyarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkapkan
sebuah realitas dengan sangat jelas, tetapi pada saat yang sama dapat
menyembunyikan rapat-rapat, tergantung pada pemakainya. Lebih jauh lagi
menurutnya, untuk dapat memahami “makna” maka diperlukan pemahaman
konteks; kapan, dimana, dan dalam keadaan apa serta kepada atau oleh siapa
di atas, makna suatu bahasa harus dipahami sesuai dengan peristiwanya, atau
secara kontekstual.
Mengenai sifat bahasa dalam memberikan makna, adalah dengan mengacu
pada pendapat Erwin Goodenough yang dikutip oleh Frederick William
Dillistone dalam bukunya yang berjudul Daya Kekuatan Simbol, yang dalam
buku ini ia membedakan antara bahasa yang bersifat denotatif, yaitu tepat,
ilmiah, harfiah, dan bahasa yang bersifat konotatif, yaitu berasosiasi, tidak
persis tepat, memungkinkan beragam penafsiran, dalam hal ini simbol
termasuk dalam kategori yang kedua (Frederick William Dillistone, 2006:
19). Dari pendapat tersebut, maka pemaknaan bahasa dapat dipisahkan antara
makna harfiah, yakni makna yang tampak, faktual, primer dan makna
simbolis yakni makna yang tersembunyi, sekunder, makna yang diperkaya
dan mengacu pada simbol-simbol (Frederick William Dillistone, 2006: 129).
Dalam memahami konsep bahasa dalam ilmu antropologi, mengikuti
pendapat dari S. Takdir Alisjahbana yang menganggap bahasa sebagai sistem
lambang-lambang, sehingga lingkupnya tidak terbatas pada ucapan, suara
atau tulisan/teks, melainkan sebagai benda-benda kebudayaan, yaitu benda
kebudayaan alat. Sedangkan fungsinya sebagai alat maksudnya adalah bukan
hanya membantu manusia mencapai nilai, tetapi pertama sekali ia adalah
media atau alat untuk mengucapkan nilai-nilai itu sendiri (S. Takdir
Alisjahbana, 1986: 253). Dengan demikian, konsep bahasa lebih mengarah
kepada benda-benda kebudayaan yang merupakan lambang-lambang atau
Sedangkan simbol atau lambang, memiliki pengertian yang berbeda dengan
tanda. Perbedaan itu menurut Agus Cremers dan De Santo Johanes,
dijelaskan sebagai berikut :
“Simbol adalah tanda konkret dimana suatu penanda (signifiant yang tidak hadir) dihadirkan karena adanya hubungan motivatif (kesamaan ciri-ciri analog dan asosiatif) dengan penanda aktual (signifiant yang ada). Linguis F Bresson mengatakan: ‘simbol merupakan suatu objek, gerak isyarat atau gambaran yang menurut hubungan signifiant (penanda) dengan signifie
(yang ditandakan) mengacu pada suatu objek (tindakan dan sebagainya) lain. Berbeda dengan tanda, simbol memiliki hubungan analogis dengan objek lain itu. Searah dengan definisi linguistis, Levi-Strauss membatasi simbol sebagai ekuivalen signifikatif dari hal yang ditandakan (signifie), dan yang berasal dari tingkatan realitas lain daripada signifie itu” (Cloude Levi-Strauss, 2001: 154).
Maka menurut pendapat di atas, perbedaan antara lambang atau simbol
dengan tanda adalah apa yang ada di dalamnya, yaitu “makna”.
Simbol-sombol memliki keterkaitan analogis dengan konsep yang dibawanya.
Sedangkan tanda lebih menunjuk pada wujud lahiriah yang dapat diamati,
yang tidak memiliki keterkaitan dengan konsep yang ditunjukan oleh
keberadaan tanda tersebut.
Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, suatu simbol, meskipun membawa
makna tetapi makna yang dibawanya tidaklah berasal dari simbol itu sendiri
tetapi diberikan oleh manusia. Artinya, sebuah objek bukanlah simbol
sebelum diberikan makna terhadap objek itu oleh manusia. Manusialah
sebagai pemberi makna terhadap sebuah objek sehingga menjadi sebuah
simbol. Berdasarkan wujudnya, simbol terbagi menjadi empat jenis yakni
simbol yang berupa materi/fisik (rumah, kendaraan, makanan, pakaian, dan
sebagainya), simbol yang berupa gerak, simbol yang berupa bunyi, dan
Untuk mempertegas konsep “makna” sebagai apa yang dibawa oleh simbol,
adalah dengan mengikuti Clifford Geerzt yang mendefinisikan konsep makna
dalam istilah budaya mengacu kepada apa yang dibawa oleh budaya. Budaya
itu sendiri merupakan simbol-simbol yang harus ditafsirkan maknanya
(Clifford Geerzt, 2000: 17).
“Bagi Geerzt, simbol adalah ‘kendaraan’ budaya, oleh karena itu makna-makna simbol tidak diteliti dari simbol-simbol itu sendiri melainkan untuk apa masyarakat menampakkan simbol. Jadi Geerzt menggolongkan budaya sebagai fenomena sosial, atau sebagai sebuah sistem intersubjektif terhadap simbol-simbol dan maknanya” (Sindung Haryanto, 2013: 19).
Terkait dengan lingkup budaya yang akan diteliti oleh penulis, yakni budaya
Jawa, maka perlu kiranya menjelaskan kaitan antara “makna” dan “simbol”
dengan budaya Jawa, yakni dengan mengikuti pendapat dari Suwardi
Endraswara yang memberikan penjelasan sebagai berikut :
“Mengintip jendela bening budaya Jawa, ibarat memasuki hutan simbol yang rimbun...Tak habis-habisnya jika orang mau membicarakan budaya Jawa, terutama aspek-aspek falsafah hidup jawa. Tak akan membosankan. Bahkan dari hari ke hari semakin asyik saja bila kita mau mengulas falsafah hidup Jawa. Karena, budaya Jawa memang berlapis-lapis, mungkin sampai lapis ketiga, empat, kelima dan seterusnya. Penuh makna. Banyak timbunan sejuta simbol filosofi... hanya saja, makna yang mereka sodorkan selalu meloncat-loncat, kalau enggan dikatakan gagal. Ada juga yang mengenal budaya jawa hanya sepotong roti (lapis legit) saja. Ini akan menyebabkan pemahaman falsafah hidup Jawa hanya tertangkap kulit-kulit saja” (Suwardi Endraswara, 2012: iii).
Pendapat di atas sesuai dengan kesimpulan yang diberikan oleh Heddy Shri
Ahimsa-Putra, yaitu bahwa budaya Jawa atau kebudayaan Jawa dapat
didefinisikan sebagai perangkat simbol-simbol yang digunakan oleh orang
Jawa untuk melestarikan kehidupannya, yang diperoleh melalui proses belajar
dalam kehidupan mereka sebagai warga masyarakat Jawa (Heddy Shri
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa “makna” merupakan suatu konsep yang dibawa oleh
kebudayaan masyarakat dimana kebudayaan itu dipahami sebagai simbol dan
berkaitan dengan subjek yakni masyarakat sebagai pemberi makna tersebut
yang dapat ditafsirkan berdasarkan konteksnya.
2. Konsep Uborampe
Pengertian umum mengacu pada pendapat Raditya Mahendra, yakni
uborampe merupakan konsep yang merujuk pada peralatan dan semua piranti
juga syarat melakukan sebuah ritual/ kegiatan (Raditya Mahendra, 2011: 1).
Wahyana Giri mengatakan bahwa setiap orang Jawa yang lahir sudah
diperkenalkan dengan ritual selamatan kelahiran dengan segala uborampe
(perlengkapan)-nya. Komentarnya perihal penggunaan uborampe adalah
sebagai berikut:
Jika dianalisis maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum,
uborampe adalah istilah dalam Bahasa Jawa yang menunjuk pada semua
perlengkapan yang digunakan dalam setiap upacara adat, seperti upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian, juga menunjuk pada perlengkapan yang
digunakan dalam ritual, misalnya ritual sajen, disebut uborampesajen.
Contoh dari uborampe sajen, misalnya yang digunakan pada ritual geblagan,
yaitu apam, kolak, ketan, gula kelapa, teh pahit atau kopi, rokok, kembang
telon, dan uang wajib (Rangkai Wisnumurti, 2012: 145). Dalam upacara
tingkeban, yakni perlengkapan yang digunakan sebagai lambaran waktu
nyirami diperlukan uborampe berupa meja, bangun tulak, kain sindur, kain
lurik, yuyu sekandang, mayang mekar atau lentrek, daun dadap srep, daun
kluwih, daun alang-alang (Thomas Wiyasa Bratawidjaja, 2000: 29).
Uborampe atau perlengkapan yang digunakan pada upacara ruwatan terdiri
dari tuwuhan, empat batang kayu bakar, satu lembar tikar, satu bantal baru,
sebuah sisir rambut, sebuah cermin, sebuah payung, sebotol minyak wangi,
tujuh macam kain batik, dua bilah pisau, gedhang ayu (pisang raja), dan
seterusnya (Thomas Wiyasa Bratawidjaja, 2000: 39).
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan uborampe adalah semua perlengkapan yang digunakan baik
dalam upacara adat, ritual maupun tradisi. Oleh sebab itu konsep uborampe
yang dimaksudkan oleh penulis dalam penelitian ini adalah semua
perlengkapan yang digunakan selama proses upacara kematian. Konsep di
atas didukung oleh penjelasan Mulyadi dimana konsepnya mengenai
“Dalam melaksanakan upacara kematian, khususnya upacara pemakaman
jenazah atau panguburing layon terdapat beberapa kegiatan dan
perlengkapan yang disebut ‘uborampe’ mulai dari uborampe pangrukti layon sampai uborampe panguburing layon, yaitu perlengkapan merawat jenasah sampai perlengkapan penguburan jenasah” (Mulyadi, 1984: 39).
Secara lebih rinci, Mulyadi memaparkan berbagai uborampe yang digunakan
selama upacara pemakaman jenazah yang berada di Daerah Istimewa
Yogyakarta meliputi:
1. Dupa,
2. Sawur yaitu campuran uang logam, beras kuning dan bunga, 3. Lampu sentir,
4. Sapu gerang yaitu sapu yang sudah tua,
5. Payung,
6. Sepasang maejan (nisan),
7. Sebuah tempayan kecil atau kendi,
8. Tambir,
9. Roncek,
10.Degan (kelapa ijo muda),
11.Gagar mayang (Mulyadi, 1984: 46).
Menurut Tim Pusaka Jawatimuran, perlengkapan yang digunakan dalam
upacara kematian menurut adat Jawa Timur sesuai urutannya yaitu :
1. Saat proses perawatan jenazah menggunakan meja yang dilapisi tikar untuk meletakan jenazah, air dalam kaleng yang diletakan di alas meja, dan lentera atau lampu minyak yang diletakan di dekat kepala jenazah. 2. Saat menyucikan jenazah, digunakan tiga buah tempat air (jun) dan bokor
berisi ramuan untuk keramas atau mencuci rambut. Jun yang pertama dan kedua berisi air yang diberi ramuan kembang telon dan diberi daun kelor; jun ketiga hanya berisi air bersih sebagai bilasan.
3. Saat proses mengkafani digunakan tikar yang bersih, kemudian
kain yang ada di atas kepala dan ujung kain yang ada di kaki serta untuk ikat pinggang (Tim Pusaka Jawatimuran, 2012: 1-3).
Menurut Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Uborampe itu yang umum digunakan
dalam upacara kematian menurut Adat Jawa adalah ember yang berjumlah
ganjil, bunga setaman, gayung yang berjumlah ganjil, bangku tempat duduk,
mangkok berisi merang, sabun mandi yang dibungkus kain mori berjumlah
lima, merang, sobekan mori, kain batik, tenda, mori selebar 7 kacu (1,5 m),
sisir, bedak dan cat bibir, kapas, minyak cendana, alkohol, peti, bantal-guling,
daun pandan wangi, gelu, nisan, kemenyan, payung, dan keranda (Thomas
Wiyasa Bratawidjaja, 2000: 129).
Oleh sebab itu, berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, uborampe dalam
upacara kematian yang dimaksudkan oleh penulis hanya meliputi uborampe
pangrukti layon sampai uborampe panguburing layon, yaitu perlengkapan
merawat jenasah sampai perlengkapan penguburan jenasah.
Uborampe yang digunakan dalam upacara kematian, seperti halnya uborampe
dalam upacara-upacara lain, dapat dianggap sebagai sebuah simbol (Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1981 : 237). Bagi Orang Jawa
sendiri, tindakannya (terkait dengan adat-istiadat) selalu terwujud dalam dua
tataran yaitu lugas yang melibatkan doa atau mantra dan simbolis yang
melibatkan uborampe (Tjaroko HP Teguh Pranoto, 2009: 7), atau dalam
penelitian ini disebut dengan harfiah dan simbolis.
Simbol itu sendiri harus dapat dipandang sebagai :
2. Yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau mengungkapkan atau mengingatkan atau merujuk kepada atau berdiri menggantikan atau mencorakkan atau menunjukan atau berhubungan dengan atau bersesuaian dengan atau menerangi atau mengacu kepada atau mengambil bagian dalam atau menggelar kembali atau berkaitan dengan ;
3. Sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir : sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan” (Frederick William Dillistone, 2006: 20).
Berdasarkan teori di atas maka uborampe kematian jika dipandang sebagai
sebuah simbol haruslah memiliki pola seperti diatas, dimana nomor 1
merupakan simbol itu sendiri dan nomor 3 adalah referen, sedangkan nomor 2
adalah hubungan yang ditunjukannya terhadap referen tersebut (Frederick
William Dillistone, 2006: 21). Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka dalam
penelitian ini tujuannya adalah untuk menemukan makna sebagai referen dari
simbol uborampe kematian tersebut.
3. Konsep Upacara Kematian
Untuk memahami pengertian mengenai upacara kematian secara lengkap,
perlu dijabarkan mengenai konsep upacara dalam istilah antropologi, maka
dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan upacara adalah sebagai
religious institution yakni sebuah pranata yang bertujuan memenuhi
kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib.
Menurutnya juga, sistem upacara itu melaksanakan dan melambangkan
konsep-konsep dalam sistem keyakinan. Sistem upacara merupakan wujud
kelakuan (behavioral manifestation) dari religi (Koentjraningrat, 1985:
Secara khusus, mengenai inti upacara bagi orang Jawa, Clifford Geerzt
mengatakan bahwa di pusat seluruh sistem keagamaan orang Jawa terdapat
suatu upacara yang sederhana, formal, tidak dramatis dan hampir-hampir
mengandung rahasia slametan. Slametan adalah versi Jawa dari apa yang
barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia
(Clifford Geerzt, 1989: 13).
Dengan demikian, Clifford Geerzt menggambarkan pola dari upacara
kematian menurut adat Jawa yang mengambil contoh dari daerah Mojokuto
meliputi perawatan jenazah seperti memandikan, mengusung jenazah ke
makam, upacara di kuburan, dan berakhir dengan diadakanya slametan
(Clifford Geerzt, 1989: 91-103).
Karena definisi upacara kematian dalam Adat Jawa sangat luas, maka upacara
kematian tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yakni:
1. Upacara pemakaman yang meliputi: upacara geblag atau
menyembahyangkan jenazah, upacara menyucikan atau memandikan
jenazah, upacara “telusupan” dan pemberangkatan jenazah, dan upacara
penguburan jenazah.
2. Upacara setelah pemakaman yang disebut “slametan” yang meliputi:
slametan surtanah, telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus
dina, pendak pisan, pendak pindo, sewu dino, dan kol (Mulyadi, 1984:
37).
Pendapat lain mengenai jalannya upacara kematian dikemukakan oleh Tim
ngenai upacara kematian adat Jawa sebagai berikut :
“Di daerah yang masyarakatnya beragama Islam pada umumnya mengikuti cara yang sama dalam melaksanakan upacara pengurusan
jenazah, yaitu membujurkan jenazah, memandikanya, serta
menguburkanya...setelah ia meninggal, maka ia dibujurkan dengan kepala berada di utara. Tangannya dilipat di atas dada, matanya ditutup, dan rahangnya diikat agar mulutnya tidak terbuka. Selanjutnya ia ditutupi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Di daerah Jawa biasanya lalu dipasangi pelita dan dibakari dengan dupa. Upacara memandikan biasanya dilakukan oleh keluarga terdekat, atau dapat pula diserahkan kepada alim ulama. Pada umumnya, cara memandikanya ialah dengan jalan memangkunya. Di daerah Jawa dikenal pula cara lain, yaitu dengan meletakkannya di atas balai-balai. Apabila cara ini yang dipakai, maka biasanya balai-balai itu dialasi dengan batang pisang. Kadang-kadang airnya dicampur dengan daun kelor atau daun pisang yang robek-robek...sebelum jenazah dibungkus dengan kain kafan, maka ia disembayangkan terlebih dahulu. Selanjutnya barulah jenazah itu dibungkus dengan kain kafan, serta kemudian diikat di tiga tempat, yaitu di kaki, pinggang, dan ujung kepala. Di daerah Jawa, tali pengikat dibuka kembali, dan demikian juga muka jenazah ditampakkan. Barulah kemudian peti ditutup. Seandainya tidak maka jenazah dimasukan ke dalam semacam usungan. Di daerah Jawa, sebelum jenazah diarak ke pamakaman, maka keluarga yang ditinggalkan dipimpin untuk melaksanakan upacara berjalan di bawah usungan sebanyak tiga kali. Di daerah Jawa, cara penguburanya ialah dimiringkan ke kanan... pada malam harinya diadakan selametan atau kenduri. Di daerah-daerah yang mesyarakatnya telah menganut Agama Kristen, upacara kematian yang didasarkan adat sudah digantikan oleh upacara menurut agama” ( Tim lembaga research kebudayaan nasional, 1984: 41-43).
Berdasarkan definisi dari para ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan upacara kematian adalah pola perilaku dalam
melaksanakan pengurusan jenazah yang meliputi perawatan, menyucikan,
merapihkan, upacara penguburan jenazah, hingga dilaksanakanya slametan
dimana semua pola perilaku tersebut merupakan simbol dari keyakinan.
4. Konsep Kematian
Konsep kematian mencakup beberapa definisi yang berbeda-beda oleh para
kematian otak pokok (Rangkai Wisnumurti, 2012: 29). Dalam istilah budaya,
kematian merupakan suatu peralihan, yaitu peralihan individu dari alam hidup
ke alam gaib (Mulyadi, 1984: 36).
Konsep kematian bagi Orang Jawa menurut Rangkai Wisnumurti, bukan
sebagai keterputusan dari hidup. Orang mati bukan peralihan keadaan dari
keadaan hidup menjadi keadaan mati, sebab konsep hidup bagi orang Jawa
adalah sesuatu yang abadi (urip tan keno ing pati; artinya ‘hidup tanpa pernah
mati’), sehingga hendak dikatakan bahwa hakikat kehidupan itu sendiri
adalah kematian. Oleh sebab itu, kematian hanya dipahami sebagai mati-nya
jasad, mati-nya nafsu-nafsu duniawi yang pada akhirnya, saat orang
mengalami kematian dianggap mengalami suatu pembebasan diri sehingga
manusia akan mampu menemukan hakikat hidup itu sendiri (Rangkai
Wisnumurti, 2012: 126).
Konsep kematian yang diyakini oleh Orang Jawa di atas, justru mengarah
pada hakikat kehidupan atau hakikat hidup itu sendiri. Hakikat hidup bagi
Orang Jawa sebagaimana yang dijelaskan oleh Suwardi Endraswara adalah
sebagai berikut:
“Hakikat demikian hanya dapat dialami ketika manusia telah mengakhiri hidupnya. Setelah mati, manusia akan semakin tahu bahwa hakikat hidup sebenarnya satu. Hakikat hidup dan mati bagi orang Jawa tersimpul dalam ‘unen-unen’ mati sajroning urip, urip sajroning pejah. Artinya bahwa yang hidup tetap hidup, tetapi yang mati adalah nafsu lahiriahnya.” (Suwardi Endraswara, 2012: 73).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep kematian merujuk pada
suatu peralihan tetapi bukan peralihan keadaan manusia dari hidup ke mati
atau alam kematian, sebab hidup bagi Orang Jawa adalah sesuatu yang abadi.
Maka dapat dipahami mengapa Orang Jawa perlu mengadakan upacara
kematian. Dapat dipahami juga mengapa dalam prosesi upacara kematian
menurut Orang Jawa bukan sekedar menguburkan dan mendoakan, tetapi
juga membutuhkan sarana dan prasarana (perlengkapan) atau uborampe.
Tentu uborampe itu bukan hanya sekedar pelengkap tetapi secara simbolis
perlu mengkomunikasikan nilai-nilai mengenai keyakinan akan kematian
yang pada akhirnya akan akan membawa pengertian pada hakikat hidup
manusia (Jawa).
5. Konsep Adat Jawa
Pengertian adat oleh Harsja W. Bachtiar dalam komentarnya tentang buku
Clifford Geerrtz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, adalah
sebagai satu himpunan norma-norma yang sah yang harus dijadikan pegangan
bagi perilaku seseorang (Clifford Geerzt, 1989: 527).
Selain pendapat di atas, menurut Koentjaraningrat, adat didefinisikan sebagai
wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata-kelakuan.
Menurutnya kemudian, sebutan tata-kelakuan itu, maksudnya menunjukan
bahwa kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata-kelakuan
yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1985: 5,19). Adat,
sebagai wujud ideal kebudayaan, dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah
lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu
Pendapat lain dikemukakan oleh S. Takdir Alisjahbana yang memberikan
pengertian bahwa adat-istiadat adalah sekalian aturan yang mengatur
kelakuan individu dalam masyarakat dari buaian sampai ke kuburan (S.
Takdir Alisjahbana, 1986: 115).
Maka mengacu pada pendapat para ahli diatas, dalam hal ini Adat Jawa
merujuk pada konsep mengenai keseluruhan norma yang dijadikan pedoman
bagi tata kelakuan masyarakat Jawa serta telah dipraktikkan dalam waktu
yang lama atau secara turun-temurun.
Konsep mengenai Orang Jawa yang dikemukakan oleh Magnis Suseno adalah
orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan
penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa (Muhammad Zaairul Haq,
2011: 2).
Pendapat lain dari Muhammad Zaairul Haq, yakni secara antropologi budaya,
masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang dalam hidup kesehariannya
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa yang dipergunakan secara
turun-temurun. Secara geografis, suku bangsa Jawa mendiami tanah jawa yang
meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang,
dan Kediri, sedangkan di luar wilayah tersebut dinamakan Pesisir dan Ujung
timur (Muhammad Zaairul Haq, 2011: 3).
Secara lebih mendalam, Marbangun Hardjowirogo mengatakan bahwa semua
orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berpikiran dan berperasaan seperti
moyang mereka di Jawa Tengah dengan kota-kota Yogya dan Sala sebagai
maupun mereka yang sudah menjadi warga negara Suriname ataupun mereka
yang telah menemukan tempat-tempat tinggal baru di daerah-daerah
transmigrasi di luar Jawa, mereka tetap berkiblat pada Yogya dan Sala dalam
menghayati hidup budaya mereka (Marbangun Hardjowirogo, 1983: 7).
Berdasarkan definisi dari para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Adat Jawa merujuk pada konsep mengenai segala norma yang dijadikan
pedoman bagi perilaku orang Jawa dan dipakai secara turun-temurun baik
oleh mereka yang masih berada di Pulau Jawa, maupun yang sudah
bermigrasi ke daerah lain.
B. Kerangka Pikir dan Paradigma
1. Kerangka Pikir
Budaya Jawa merupakan salah satu dari beragam budaya yang ada di
Indonesia. Budaya Jawa telah dipraktekan oleh masyarakat Jawa secara
turun-temurun yang tidak terbatas oleh tempat tinggal mereka, yaitu baik yang
masih berada di Pulau Jawa maupun yang sudah bermigrasi ke daerah lain.
Budaya Jawa itu dipraktekan dalam salah satu wujudnya yaitu sebagai upacara
kematian. Masyarakat Jawa secara umum, melaksanakan upacara kematian
sesuai dengan adat-istiadat budaya Jawa lengkap dengan segala
uborampe-nya.
Uborampe dalam upacara kematian menurut adat Jawa, adalah semua
perlengkapan yang digunakan dalam upacara pemakaman yang meliputi
uborampe tersebut tentu berhubungan dengan bagaimana pandangan
masyarakat Jawa terhadap kematian.
Berbagai macam uborampe yang digunakan dapat dianggap sebagai simbol
keyakinan Orang Jawa akan kematian. Oleh sebab itu, uborampe dalam
upacara kematian memiliki makna yang hendak disampaikan kepada
masyarakatnya.
2. Paradigma
Garis hubungan :
Garis Makna :
Upacara Kematian Adat Jawa
Uborampe yang digunakan pada
Upacara Kematian dalam Adat Jawa
REFERENSI
E. Sumaryono.2013.Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta: Kanisius. Halaman 30
Ibid. Halaman 29-30
Mudjia Raharjo.2008.Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan
Gadamerian.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 148 Halaman
Frederick William Dillistone.2006.Daya Kekuatan Simbol:The Power Of Symbols. Yogyakarta: Kanisius. Halaman 19
Ibid. Halaman 129
S.Takdir Alisjahbana.1986.Antropologi Baru.Jakarta: PT Dian Rakyat. Halaman 253
Cloude Levi-Strauss. 2001. Mitos, Dukun, dan Sihir. Yogyakarta: Kanisius. Halaman 154
Heddy Shri Ahimsa-Putra.2011.Simbol dan Filsafat Jawa (Transformatif dan Sinkretis). Prosiding Kongres Bahasa Jawa V. Surabaya: Panitia Kongres Bahasa Jawa V, 2011. Halaman 2
Clifford Geertz.2000.Tafsir Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius. Halaman 17
Sindung Haryanto. 2013. Dunia Simbol Orang Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Halaman 19
Suwardi Endraswara.2012.Falsafah Hidup Jawa.Yogyakarta: Cakrawala.
Halaman iii
Heddy Shri Ahimsa-Putra. Op cit. Halaman 4
Wahyana Giri.2010.Sajen dan Ritual Orang Jawa.Yogyakarta: Penerbit Narasi. Halaman 14 dan 17
Rangkai Wisnumurti. 2012. Sangkan Paraning Dumadi : Konsep Kelahiran dan Kematian Orang Jawa.Jogjakarta: Diva Press. Halaman 145
Thomas Wiyasa Bratawidjaja.2000.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 29
Ibid. Halaman 39
Mulyadi, dkk. 1984. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Halaman 39
Ibid. Halaman 46
Tim Pusaka Jawatimuran. 2012. Upacara Tradisonal Kematian Daerah Jawa
Timur.
http://jawatimuran.wordpress.com/tag/upacara-tradisional-kematian-daerah-jawa-timur. Diakses tanggal 5 Mei 2013
Thomas Wiyasa Bratawidjaja. Op cit. Halaman 129
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman 237
Tjaroko HP Teguh Pranoto. 2009. Tata Upacara Adat Jawa. Yogyakarta : Kuntul Press. Halaman 7
Frederick William Dillistone. Op Cit. Halaman 20
Koentjaraningrat.1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Halaman 17 dan 147
Clifford Geertz.1989.Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 13
Ibid. Halaman 91-103
Mulyadi, dkk. Op cit. Halaman 37
Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN)-LIPI.1984.Kapita Selekta
Manifestasi Budaya Indonesia.Bandung: Penerbit Alumni. Halaman 41-43
Rangkai Wisnumurti. 2012. Op Cit. Halaman 29
Wisnumurti, Rangkai. Op cit. Halaman 126
Suwardi Endraswara. Op cit. Halaman 73
Clifford Geertz. Op cit. Halaman 527
Koentjaraningrat. Op cit. Halaman 5 dan 19
Koentjaraningrat.2009.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: PT Rineka Cipta. Halaman 151
S.Takdir Alisjahbana. Op cit. Halaman 115
Muhammad Zaairul Haq.2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa : Menggali Butir-Butir Ajaran Lokal Jawa Untuk Menuju Kearifan Hidup Dunia dan Akhirat. Yogyakarta : Aditya Media Publishing. Halaman 2
Ibid. Halaman 3
Marbangun Hardjowirogo. 1983. Manusia Jawa. Jakarta: Yayasan Indayu.
III. METODE PENELITIAN
A. Metode yang Digunakan
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode hermeneutik. Hermeneutika
berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti
“menafsirkan” dan “penafsiran”. Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika
diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan (dewa) dalam mitologi
Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menterjemahkan pesan dewa ke
dalam bahasa manusia (Mudjia Raharjo, 2008: 27-28).
E. Sumaryono menjelaskan bahwa hermeneutika merupakan proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti (E. Sumaryono, 2013: 24).
Menurut Fakhruddin Faiz, hermeneutika sebagai suatu metode atau cara untuk
menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks
untuk dicari arti dan maknanya, untuk itu metode ini mensyaratkan adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian
dibawa ke masa sekarang (Mudjia Raharjo, 2008: 29).
Wilhelm Dilthey mengatakan bahwa sebagai bagian dari metode verstehen, tugas
pokok hermeneutik adalah bagamana menafsirkan sebuah teks klasik atau realitas
sosial di masa lampau yang asing sama sekali agar menjadi milik orang yang
kegiatan hermeneutik selalu bersifat triadik, menyangkut tiga subjek yang saling
berhubungan. Tiga subjek yang dimaksud meliputi : the world of the text (dunia
teks), the world oh the author (dunia pengarang) dan the world of the reader
(dunia pembaca) yang masing-masing memiliki titik pusaran tersendiri dan saling
mendukung dalam memahami sebuah teks (Edi Mulyono, 2012: 100).
Penelitian ini menggunakan metode hermeneutik karena penelitian ini bertujuan
untuk mencari makna dari simbol-simbol tradisi, yaitu makna uborampe.
Menurut Maryaeni, pada dasarnya, penelitian kebudayaan merupakan usaha
memahami fakta yang keberadaanya diwakili oleh sesuatu yang lain. Maryaeni
menyimpulkan bahwa pendekatan/metode kualitatif cenderung lebih tepat
digunakan dalam penelitian kebudayaan. Kebudayaan, menurutnya, mengacu
pada adat-istiadat, bentuk-bentuk tradisi lisan, karya seni, bahasa, pola interaksi
dan sebagainya (Maryaeni, 2012: 5).
Maryaeni menjelaskan bahwa penelitian kualitatif kebalikan dari kuantitatif, yaitu
berusaha memahami fakta yang ada dibalik kenyataan, yang dapat diamati atau
diindera secara langsung. Dalam istilah metodologi kualitatif, fakta yang terdapat
dibalik kenyataan langsung disebut verstehen (Maryaeni, 2012: 3)
Oleh sebab itu, karena penelitian ini bertujuan untuk meneliti kebudayaan
masyarakat dan mencari makna, maka digunakan metode hermeneutik dengan
pendekatan kualitatif.
Melalui metode yang dipakai dalam penelitian ini, peneliti mencoba mencari
makna dari berbagai macam uborampe tersebut dalam tiga subjek yang saling
situasi dan kondisi yang melingkupi penggunaan uborampe yaitu dalam konteks
upacara kematian yang terkait atau dipengaruhi oleh pengalaman hidup pelaku
(informan). Kedua, makna ditelusuri berdasarkan observasi peneliti tentang
bagaimana simbol (uborampe) tersebut digunakan dimana melalui cara ini peneliti
dapat mengetahui apakah keberadaan uborampe tersebut sebagai simbol memiliki
hubungan dengan makna yang tersirat dalam penggunaanya yaitu tujuan
penggunaan uborampe tersebut. Ketiga, peneliti menelusuri makna uborampe
berdasarkan latar belakang kultural atau budaya masyarakat pemilik atau pelaku
asli yaitu budaya Jawa. Ketiga hal di atas merupakan aspek yang saling
mempengaruhi dalam menemukan makna sebuah simbol (uborampe) yang dapat
digambarkan melalui skema berikut ini :
Diolah dari skema hermeneutika romantisisme oleh Maulidin (Mudjia Raharjo,
2008: 92).
Peneliti
Pengalaman Pelaku (informan) dan Peneliti
Uborampe
Budaya masyarakat : Budaya Jawa
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
Lokasi ini dipilih karena di Kecamatan Purbolinggo mayoritas masyarakatnya
adalah suku Jawa, sehingga peneliti dapat melihat fakta dan realitas yang akan
ditelitinya pada masyarakat yang memang memliki karakteristik tersebut. Dari
mayoritas suku Jawa yang ada di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung
Timur ini, sebagian besar masyarakatnya juga masih melakukan upacara kematian
sesuai adat Jawa bersama dengan slametan-nya.
Lokasi ini dipilih selain karena mayoritas penduduknya adalah suku Jawa, juga
karena Kecamatan Purbolinggo merupakan tempat kelahiran penulis dengan
harapan penulis akan lebih mudah melaksanakan penelitian karena kedekatan
emosional dan karena itu penulis dapat berkomunikasi dengan para informan yang
rata-rata berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Jawa.
C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
1. Variabel Penelitian
Variabel adalah konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai.
Variabel-variabel ilmu-ilmu sosial berasal dari sauatu konsep yang perlu diperjelas dan
diubah bentuknya sehingga dapat diukur dan dipergunakan secara operasional
(Moh. Natzir, 2005: 122).
Dengan demikian variabel penelitian merupakan objek yang akan diteliti. Oleh
kematian pada Masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten
Lampung Timur.
2. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu
variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti, atau menspesifikasikan
kegiatan, ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk
mengukur konstrak atau variabel tersebut (Moh. Natzir, 2005: 126).
Dengan demikian maka definisi operasional variabel adalah suatu petunjuk
yang menekankan pada cara mengukur suatu variabel dengan cara memberi
arti atau mendefinisikan kegiatan agar mudah diteliti. Oleh sebab itu maka
definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah makna simbolis
uborampe dalam upacara kematian pada Masyarakat Jawa di Kecamatan
Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
D. Sumber Data
Penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk menggambarkan karakteristik
populasi atau menarik generalisasi kesimpulan yang berlaku bagi suatu populasi,
melainkan lebih terfokus kepada representasi terhadap fenomena sosial (Burhan
Bungin, 2007: 53), sehingga hasil dari penelitian ini bukan dimaksudkan untuk
mengambil kesimpulan yang berlaku umum atau berlaku untuk keseluruhan
populasi yakni seluruh masyarakat di Kecamatan Purbolinggo, tetapi hanya untuk
masyarakat yang terkait fenomena sosial yang diamati yakni masyarakat yang
Untuk memilih informan kunci atau situasi sosial lebih tepat dilakukan secara
sengaja (purposive sampling) (Burhan Bungin, 2007: 53), maka dalam penelitian
informan kunci dan situasi sosial yang akan diamati yaitu masyarakat yang
memiliki keterkaitan dengan upacara kematian (informan kunci) dan upacara
kematian itu sendiri (situasi sosial). Pada penelitian kualitatif, bagian yang
terpenting adalah menentukan informan kunci (key informan).
“Informan-informan kunci, yakni responden yang mempunyai pengetahuan yang jauh lebih luas mengenai masalah yang ingin diteliti daripada responden lain. Informan kunci berguna untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam yang tidak diketahui oleh orang lain maupun untuk memperoleh perspektif yang tepat mengenai kejadian-kejadian tertentu” (J.Vredenbregt, 1983: 91).
Dalam menentukan informan kunci menggunakan purposive sampling yaitu
dilakukan secara sengaja dengan memiliki beberapa kriteria. Kriteria tersebut
antara lain :
1. Subjek atau informan telah cukup lama menyatu dengan kegiatan yang
akan dicari informasinya dan dapat memberikan penjelasan “diluar
kepala”.
2. subjek yang masih terlibat secara penuh dan aktif pada kegiatan yang
menjadi perhatian peneliti.
3. Subjek mempunyai cukup banyak waktu untuk diwawancarai.
4. Subjek dalam memberikan informasi tidak cenderung dipersiapkan
terlebih dahulu.
5. Subjek yang tergolong masih “asing” dengan penelitian (Burhan Bungin,
Melalui purposive sampling, peneliti memilih beberapa individu sebagai informan
kunci yang relevan terkait fenomena yang diamati, yaitu antara Kaum atau Modin
sebagai pemimpin upacara kematian dengan Tokoh Adat atau orang yang
dituakan atau dianggap mengerti oleh masyarakat, dan masyarakat yang
melaksanakan upacara kematian itu sendiri. Sedangkan situasi sosial yang dipilih
adalah upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan
Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
Prosedur pemilihan sampel itu sendiri melalui tiga tahapan, yaitu: 1) pemilihan
sampel awal (informan kunci), 2) pemilihan sampel lanjutan, 3) menghentikan
pemilihan sampel lanjutan jika sudah tidak terdapat variasi informasi, dimana
dalam melaksanakan ketiga tahapan ini umumnya menggunakan teknik snowball
sampling (Burhan Bungin, 2007: 54).
Dalam menggunakan teknik snowball sampling ini peneliti memilih informan
awal yakni Kaum yang selanjutnya dari Kaum yang merupakan informan awal ini,
mereka akan menunjuk kepada individu lain yang cocok dijadikan informan
lanjutan, begitu seterusnya hingga tidak lagi terdapat variasi informasi (jenuh).
Dengan demikian, pada penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah sampel
(Burhan Bungin, 2007: 53).
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data penelitian (Maryaeni, 2012: 16). Maka untuk mengumpulkan
1. Teknik Observasi Partisipan
Teknik pengamatan terlibat atau disebut juga observasi partisipan adalah
teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung dan
peneliti melibatkan diri dalam fenomena yang diamati (J.Vredenbregt, 1983:
72). Dalam pertisipasi yang dilakukan, peneliti mencatat segala sesuatu atau
semua gejala yang ada dan (mungkin) berperan terhadap data dan analisis data
penelitian, sedangkan hasil observasinya bisa berupa catatan atau rekaman
suatu peristiwa (Maryaeni, 2012: 68). Dalam hal ini peneliti melakukan
pengamatan secara langsung pada upacara kematian yang dilakukan oleh
masyarakat di Kecamatan Purbolinggo.
2. Teknik Kepustakaan
Teknik Kepustakaan atau sering juga disebut studi pustaka, ialah serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca
dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa, studi pustaka merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang
mengharuskan peneliti untuk memperoleh data yang berasal dari literatur –
literatur. Literatur – literature tersebut tidak hanya berupa buku – buku saja,
tetapi juga dapat berasal dari sumber bacaan lain yang dapat menunjang
penelitian termasuk rekaman-rekaman video/audio (Mestika Zed, 2004: 6).
Penulis menggunakan teknik ini dalam pengumpulan data yang akan
digunakan sebagai kerangka awal penelitian dari sumber-sumber penelitian
3. Teknik Wawancara
Disebut juga teknik interview, yakni merupakan salah satu cara pengambilan
data yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk
terstruktur, semi terstruktur, dan tak terstruktur (Maryaeni, 2012: 70). Dasar
dari teknik wawancara adalah dengan mengumpulkan data mengenai sikap
dan kelakuan, pengalaman, cita-cita dan harapan manusia seperti
dikemukakan oleh responden atas pertanyaan peneliti (J.Vredenbregt, 1983:
88).
Peneliti melaksanakan teknik ini adalah dengan mengumpulkan informasi
dengan berkomunikasi secara langsung dengan responden. Pada saat menggali
informasi mengenai makna yang terkandung dalam uborampe yang digunakan
dalam upacara kematian oleh masyarakat di kecamatan Purbolinggo ini,
wawancara dilakukan secara tak terstruktur, artinya tanpa mengikuti
format-format pertanyaan secara ketat melainkan kondisional dengan tujuan untuk
memperluas informasi dan tetap memfokuskan pada pusat-pusat
permasalahan, yakni pemahaman masyarakat terhadap uborampe dalam
upacara kematian dan menangkap makna dari uborampe tersebut.
F. Teknik Analisis Data
Analisis merupakan kegiatan; pengukuran data sesuai dengan rentang
permasalahan atau urutan pemahaman yang ingin diperoleh, pengorganisasian
data dalam formasi, kategori, ataupun unit perian tertentu sesuai dengan antisipasi
ataupun satuan data sejalan dengan pemahaman yang ingin diperoleh, serta
penilaian atas butir atau satuan data sehingga membuahkan kesimpulan
baik-buruk, tepat-tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan (Maryaeni, 2012: 75).
Mengikuti Maryaeni, dalam menganalisis data yang diperoleh, maka langkah-
langkah yang dilakukan dalam teknik analisis data meliputi :
1. Reduksi Data
Reduksi data meliputi penataan data mentah yang berupa catatan lapangan,
rekaman maupun dokumen, pemilihan data yang didasarkan pada hasil
penulisan ulang, transkripsi, maupun memeo saat peneliti melakukan
pengumpulan data. Reduksi data dilakukan untuk penataan data mentah hasil
waawancara dan observasi atas penggunaan uborampe dalam upacara
kematian yang dilakukan oleh masyarakat Jawa di Kecamatan Purbolinggo
Kabupaten Lampung Timur.
2. Penyajian Data
Penyajian data meliputi transposisi data ke dalam bentuk bagan spesifikasi,
matriks, tabel, histogram, grafik dan sebagainya, pemaparan makna,
informasi, ataupun karakteristik X secara empiris sesuai dengan segmentasi
dan sekuensi penjelasan/deskripsi yang diberikan. Data-data disajikan dalam
bentuk tabel atau foto sesuai karakteristik datanya. Dalam pelaksanaan
upacara kematian serta pengguanaan uborampe-nya akan ditampilkan dalam
bentuk tabel atau bagan, yang kemudian disajikan makna yang terdapat
3. Verifikasi dan Penarikan Kesimpulan
Merupakan tahap penulisan ulang, pemaparan makna, informasi, ataupun
karakteristik X dalam dimensi hubunganya dengan masalah, landasan teori
yang digunakan, cara kerja yang dgunakan, dan temuan pemahaman yang
didapatkan. Maka pendeskripsian makna uborampe yang ditulis perlu
disesuaikan dengan teori yang digunakan serta metode yang dipakai dan
REFERENSI
Mudjia Raharjo.2008.Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan
Gadamerian.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Halaman 27-28
E. Sumaryono. 2013.Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta: Kanisius. Halaman 24
Mudjia Raharjo.Op cit. Halaman 29
Edi Mulyono,Dkk.2012.Belajar Hermeneutika : Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praktis Islamic Studies.Jogjakarta: IRCiSoD. Halaman 100
Maryaeni.2012.Metode Penelitian Kebudayaan.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Halaman 5
Ibid. Halaman 3
Mudjia Raharjo.Op cit. Halaman 92
Moh Nazir.2005.Metode Penelitian.Bogor: Ghalia Indonesia. Halaman 122
Ibid. Halaman 126
Burhan Bungin.2007.Analisis Data Penelitian Kualitatif.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Halaman 53
Loc cit.
Jacob Vredenbregt.1983.Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat.Jakarta: Gramedia. Halaman 91
Burhan Bungin.Op cit. Halaman 54
Loc cit
Ibid. Halaman 53
Maryaeni.Op cit. Halaman 16
Maryaeni.Op cit. Halaman 68
Mestika Zed.2004.Metode Penelitian Kepustakaan.Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Halaman 6
Maryaeni.2012. Op cit. Halaman 70
Jacob Vredenbregt. Op cit. Halaman 88
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berbagai uborampe upacara kematian
mengingatkan kepada manusia akan apa saja yang harus dimiliki atau dibutuhkan
saat hendak menghadap kepada Sang Pencipta. Uborampe tersebut merupakan
simbol pandangan hidup yang berkaitan dengan kepercayaan Orang Jawa di
Kecamatan Purbolinggo akan kematian. Seperti halnya Orang Jawa yang yakin
bahwa kematian hanyalah suatu proses menuju ke tahap kehidupan yang
selanjutnya, maka uborampe kematian merupakan simbol kebutuhan manusia
guna menuju ke tahap kehidupan yang abadi.
Uborampe pada upacara kematian merupakan suatu simbol yang maknanya
sebagai persiapan kondisi atau persiapan keadaan yang menurut kepercayaan
supaya dianggap layak untuk menghadap Tuhan. Keadaan manusia yang hendak
menghadap Tuhan haruslah suci oleh sebab itu diperlukanlah uborampe yang
memiliki maksud untuk mensucikan serta untuk membekali. Sehingga ketika
manusia telah memiliki keadaan suci, bebas dari dosa, dan membawa banyak
bekal (amal/sedekah, iman kepercayaan, dan ibadah) maka dapat dipastikan
bersama Tuhan. Bukan sebaliknya, yakni dalam keadaan yang penuh dosa yang
pasti justru akan menjauhkan manusia dari Tuhan.
B. Saran
Sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan maka ada beberapa saran
yang dapat peneliti sampaikan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Mengingat makna yang terkandung dalam uborampe yang penuh dengan
nilai-nilai mulia, maka sebagai Masyarakat Jawa, khususnya Masyarakat
Jawa di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur, agar tetap
mempertahankan tradisi dan budayanya sehingga tidak kehilangan arah
hidup dan jati dirinya.
2. Diharapkan kepada pemerintah untuk dapat memberikan kontribusi seperti
menginventaris tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat supaya
nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam uborampe sebagai salah satu
bentuk kebudayaan agar tidak hilang seiring berjalannya waktu serta
supaya masyarakat dapat mengetahui identitas dan jati dirinya sebagai
bangsa Indonesia mengingat banyaknya pengaruh dari budaya asing yang
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra,Heddy Shri.2011.Simbol dan Filsafat Jawa (Transformatif dan Sinkretis). Prosiding Kongres Bahasa Jawa V. Surabaya: Panitia Kongres Bahasa Jawa V, 2011. 15 Halaman
__________.2006.Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya
Sastra.Yogyakarta: Kepel Press. 493 Halaman
Alisjahbana,S.Takdir.1986.Antropologi Baru.Jakarta: PT Dian Rakyat. 345 Halaman
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa.2000.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 146 Halaman
Bungin, Burhan.2007.Analisis Data Penelitian Kualitatif.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.274 Halaman
Dillistone,Frederick William.2006.Daya Kekuatan Simbol:The Power Of Symbols. Yogyakarta: Kanisius.236 Halaman
Endraswara, Suwardi.2012.Falsafah Hidup Jawa.Yogyakarta: Cakrawala. 268 Halaman
Geertz, Clifford.2000.Tafsir Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius.282 Halaman
__________.1989. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.Jakarta: Pustaka Jaya. 551 Halaman
Giri, Wahyana.2010.Sajen dan Ritual Orang Jawa.Yogyakarta: Penerbit Narasi. 136 Halaman
Haq, Muhammad Zaairul.2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa : Menggali
Butir-Butir Ajaran Lokal Jawa Untuk Menuju Kearifan Hidup Dunia dan Akhirat. Yogyakarta : Aditya Media Publishing. 272 Halaman
Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak. 215 Halaman
Ihromi, T.O(Ed).2006.Pokok-Pokok Antropologi Budaya.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 229 Halaman
Koentjaraningrat.1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. 151 Halaman
__________.2009.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: PT Rineka Cipta. 338 Halaman
Levi-Strauss,Cloude.2001.Mitos, Dukun, dan Sihir.Yogyakarta: Kanisius.193 Halaman
Maryaeni.2012.Metode Penelitian Kebudayaan.Jakarta: PT Bumi Aksara.107 Halaman
Mulyadi, dkk. 1984. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
164 Halaman
Mulyono,Edi,Dkk.2012.Belajar Hermeneutika : Dari Konfigurasi Filosofis
Menuju Praktis Islamic Studies.Jogjakarta: IRCiSoD. 307 Halaman
Nazir,Moh.2005.Metode Penelitian.Bogor: Ghalia Indonesia. 554 Halaman
Pranoto, Tjaroko HP Teguh. 2009. Tata Upacara Adat Jawa. Yogyakarta : Kuntul Press. 164 Halaman
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 288 Halaman
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa : Menggali Untaian Kearifan Lokal.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 253 Halaman
Raharjo, Mudjia.2008.Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan
Gadamerian.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 148 Halaman
Ricoeur, Paul.2012.Teori Interpretasi. Jogjakarta: IRCiSoD. 244 Halaman
Santosa, Iman Budhi.2010.Nasihat Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press. 246 Halaman
Santosa, Iman Budhi.2012.Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, dan Intisari
Sumaryono, E.2013.Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta: Kanisius. 150 Halaman
Tim Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN)-LIPI.1984.Kapita Selekta
Manifestasi Budaya Indonesia.Bandung: Penerbit Alumni. 308 Halaman
Vredenbregt, Jacob.1983.Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat.Jakarta: Gramedia.139 Halaman
Wisnumurti, Rangkai. 2012. Sangkan Paraning Dumadi : Konsep Kelahiran dan
Kematian Orang Jawa.Jogjakarta: Diva Press. 323 Halaman
Zed,Mestika.2004.Metode Penelitian Kepustakaan.Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 94 Halaman
Sumber Internet:
Febriant, Budy. 2010. Kecamatan Purbolinggo. http://kecamatanpurbolinggo. blogspot.com/2010/11/kecamatan-purbolinggo.html. Diakses tanggal 5 Juni 2013
Mahendra, Raditya. 2011. Filsafat Makna Dari Bagian-Bagian Ubo-Rampe Sebuah-Ritual-Jawa. http://karsonojawul.blog.uns.ac.id/2010/11/03/filsafat-makna-dari-bagian-bagian-ubo-rampe-sebuah-ritual-jawa. Diakses tanggal 8 Januari 2013
Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. 2011. Sejarah Lampung Tengah.
http://www.lampungtengahkab.go.id/gambaran-umum/sejarah-daerah.html.
Diakses tanggal 5 Juni 2013
Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. 2012. Sejarah Lampung Timur.
http://www.lampungtimurkab.go.id/index.php?mod=menu_2&opt=sm_6. Diakses tanggal 31 September 2012
Tim Pusaka Jawatimuran. 2012. Upacara Tradisonal Kematian Daerah Jawa Timur. http://jawatimuran.wordpress.com/tag/upacara-tradisional-kematian-daerah-jawa-timur. Diakses tanggal 5 Mei 2013
Sumber Lain :
Wawancara dengan Bapak Khodim (2 Juli 2013)
Wawancara dengan Bapak Ngatijo (10 Juni 2013)
Wawancara dengan Bapak Wagiran (6 Juli 2013)
Wawancara dengan Ibu Supriyantini (10 Juni 2013)