MAKALAH ISLAM DAN BUDAYA JAWA
TRADISI ISLAM DALAM UPACARA KEMATIAN
Dosen Mata Kuliah:
Drs. Abd Faishol, M.Hum Disusun Oleh:
Aisyah (246141041) Anggita Pratiwi (246141029) Muhammad Khoirul Fuad (246141049)
Vikko Brahmasila (2461410438)
BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB DAN BAHASA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2025
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...2
A. Latar Belakang... 2
BAB II PEMBAHASAN...4
A. Konsep Kematian dalam Islam...4
1. Hakikat Kematian... 4
2. Tata Cara Pemakaman... 7
B. Sejarah dan Perkembangan Tradisi Upacara Kematian di Jawa...9
1. Tradisi Upacara Kematian Sebelum Masuknya Islam (Pengaruh Hindu-Buddha)....9
2. Islamisasi Tradisi Upacara Kematian...9
C. Tradisi-Tradisi Upacara Kematian di Jawa...11
1. Rangkaian Prosesi Upacara Kematian...11
2. Tradisi-Tradisi Upacara Kematian...12
D. Perspektif Ulama dan Masyarakat...14
E. Transformasi dalam Konteks Modernisasi dan Globalisasi...16
BAB III PENUTUP... 17
A. Kesimpulan... 17
DAFTAR PUSTAKA... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian merupakan peristiwa alami yang tidak terelakkan dalam kehidupan manusia.
Setiap individu yang hidup pada akhirnya akan mengalami kematian sebagai bagian dari siklus kehidupan. Namun, bagi masyarakat Jawa, kematian bukan hanya sekadar peristiwa biologis, melainkan peristiwa yang juga memiliki dimensi spiritual, sosial, dan budaya yang sangat mendalam. Oleh karena itu, kematian tidak hanya dihadapi secara individual, tetapi juga menjadi bagian dari ritus sosial1 yang melibatkan keluarga, kerabat, dan komunitas masyarakat setempat.
Dalam praktiknya, masyarakat Jawa memiliki berbagai tradisi yang berkaitan dengan upacara kematian. Tradisi-tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad dan mengalami perkembangan seiring masuknya Islam ke Nusantara. Islam membawa ajaran tentang tata cara pengurusan jenazah yang sesuai dengan syariat, seperti memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan jenazah. Tetapi, dalam realitas sosial, tradisi lokal yang telah ada sebelumnya tetap bertahan dan mengalami akulturasi dengan ajaran Islam. Hal ini melahirkan berbagai ritual yang khas dalam upacara kematian di Jawa, seperti tahlilan, yasinan, dan selamatan kematian yang dilaksanakan pada hari-hari atau situasi tertentu setelah kematian seseorang.
Tahlilan dan selamatan kematian merupakan bentuk doa bersama yang bertujuan untuk memohonkan ampunan bagi almarhum dan mempererat tali silaturahmi antartetangga. Ritual ini dianggap memiliki makna sosial yang tinggi karena menjadi momen kebersamaan bagi keluarga yang ditinggalkan. Selain itu, ritual-ritual ini juga berfungsi sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada almarhum dan sebagai ekspresi kepedulian sosial dalam komunitas.
Namun, dalam perkembangannya, tradisi upacara kematian di masyarakat Jawa juga menjadi subjek perdebatan di antara berbagai kelompok Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama
1 Serangkaian tindakan, upacara, atau prosesi yang dilakukan secara kolektif dalam suatu masyarakat untuk memperingati, menegaskan, atau memperkuat nilai-nilai sosial, identitas kelompok, dan keteraturan sosial.
Berunsur simbolik, norma budaya, serta praktik yang diwariskan secara turun-temurun. Contohnya termasuk upacara pernikahan dan kematian.
(NU) mendukung praktik tahlilan sebagai bagian dari tradisi Islam Nusantara yang diwariskan oleh para ulama terdahulu. NU memandang bahwa praktik ini memiliki landasan dalam ajaran Islam dan tidak bertentangan dengan syariat, selama dilakukan dengan niat baik dan tidak memberatkan keluarga yang berduka. Sebaliknya, Muhammadiyah memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap tahlilan dan ritual semacamnya. Mereka berpendapat bahwa praktik ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis serta merupakan bentuk sinkretisme (proses perpaduan yang sangat beragam) budaya yang sebaiknya dijauhi.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan dinamika keberagamaan di Indonesia dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya lokal. Di satu sisi, ada kelompok yang berusaha mempertahankan tradisi sebagai bagian dari warisan budaya Islam di Nusantara. Di sisi lain, ada pula kelompok yang ingin memurnikan ajaran Islam dengan kembali kepada praktik yang dianggap lebih sesuai dengan syariat. Perdebatan ini menunjukkan bahwa praktik keagamaan di Indonesia tidak bersifat statis, melainkan terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial, pemahaman keislaman, dan pengaruh globalisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang sejarah, perkembangan, dan berbagai perspektif terhadap tradisi upacara kematian di masyarakat Jawa. Dengan ini, diharapkan dapat diperoleh wawasan yang lebih luas mengenai bagaimana Islam dan budaya lokal berinteraksi dalam membentuk praktik keagamaan yang khas di Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Kematian dalam Islam
1. Hakikat Kematian
Dalam Islam, kematian bukanlah akhir dari keberadaan seseorang, melainkan merupakan fase transisi menuju kehidupan yang kekal di akhirat. Kehidupan manusia terdiri dari tiga fase utama, yaitu kehidupan dunia, kehidupan di alam barzakh (kubur), dan kehidupan akhirat. Kematian menandai perpindahan dari fase pertama menuju fase kedua, yang kemudian akan berlanjut ke kehidupan yang abadi setelah hari kiamat. Konsep ini sejalan dengan keyakinan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara dan kehidupan sejati dimulai setelah kematian.
a. Kematian sebagai Perjalanan Pulang
Dalam perspektif Islam, kematian merupakan proses kembali kepada Allah SWT. Telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an mengenai hal ini:
نوْ عُ جَ وْ عُ اجَ وْجَاِ جَ عُ اِتِۗ وْ جَ وْ عُ جَ اِ اۤ جَ سٍ وْ جَ عُ!عُ
"Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan." (QS. Al-Ankabut: 57)
Ayat ini menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, sedangkan tujuan akhir setiap manusia adalah kembali kepada Allah. Konsep ini juga sejalan dengan pandangan tradisional masyarakat Jawa, yang memaknai kematian sebagai "mulih"
atau kembali ke asal mula. Dalam filsafat Jawa, kematian adalah perjalanan kembali kepada Tuhan, yang tercermin dalam ajaran "sangkan paraning dumadi"—sebuah konsep yang menekankan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Filosofi tersebut berbunyi:
“Kawruhana sejatining urip ana jeruning alam donya/bebasane mampir ngombe/umpama manuk mabur/lunga saka kurungan niki/pundi pencokan
benjang/awja kongsi kaleru/njan sinanjan ora wurung ba/cal mulih/umpama lunga sesanja/ mulih mula mulanira.”
(ketahuilah sejatinya hidup, hidup di alam dunia, ibarat perumpamaan mampir minum, ibarat burung terbang, pergi dan kurungannya, di mana hinggapnya besok, jangan sampai keliru, umpama orang pergi bertandang, saling bertandang, yang pasti bakal pulang, pulang ke asal mulanya) (Layungkuning, 2013: 109-110)2.
Pemikiran ini juga telah berakar dalam tasawuf yang berkembang di Jawa melalui ajaran Wali Songo, yang berusaha mengharmonisasikan ajaran Islam dengan kearifan lokal.
Misalnya, Syekh Siti Jenar, seorang tokoh kontroversial dalam sejarah Islam Jawa, mengajarkan bahwa kehidupan dunia adalah "alam kematian", sementara kematian justru merupakan kebangkitan menuju kehidupan yang sejati. Walaupun ajaran ini kemudian banyak dikritik karena dianggap menyimpang dari aqidah Islam, tetapi tetap terasa pengaruhnya dalam pemahaman mistik mengenai kematian.
b. Kematian sebagai Pembebasan dari Dunia
« - -
"اِا#جَوْ عُ جَ جَ $جَ %اِ&اِ'وْعُ وْ %عُ(وْ)اِ اجَوْ *عُ ل)$ ه لع هل ىلص هاِلجَ 0عُ )عُ1جَ 0جَا2جَ 0جَا2جَ 3جَجَ 4وْجَ 5عُ ى6اِ7جَ %وْعجَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392)
Hadis ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia penuh dengan ujian dan cobaan, sedangkan kematian bagi orang beriman adalah pembebasan dari segala kesulitan dunia dan awal dari kehidupan yang lebih baik di akhirat. Di kalangan masyarakat Islam Jawa, pemahaman ini juga ditemukan dalam konsep kejawen yang memandang dunia sebagai tempat penderitaan dan kematian sebagai perjalanan menuju kehidupan sejati. Pemikiran ini berakar pada ajaran tasawuf, yang berkembang kuat di Jawa melalui peran Wali Songo dan ulama- ulama lainnya. Salah satu ulamanya adalah Syekh Siti Jenar3, yang menggambarkan dunia sebagai alam kematian dan tubuh manusia sebagai terali besi (sel penjara) yang menahan (mengekang) jiwa.
2 Abdul Karim, “Makna Ritual Kematian dalam Tradisi Islam Jawa,” (Sabda: 2017), 165
3 Tokoh sufi yang hidup pada masa Kesultanan Demak di abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Ia dikenal karena ajaran mistiknya yaitu konsep Manunggaling Kawula Gusti yang kontroversial, yang berbeda dengan ajaran Islam ortodoks yang dianut oleh Wali Songo dan Kesultanan Demak.
c. Kematian sebagai Ujian bagi yang Masih Hidup
Islam juga mengajarkan bahwa kematian bukan hanya ujian bagi yang meninggal, tetapi juga bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Kehilangan seseorang yang dicintai merupakan cobaan yang dapat menguji kesabaran, keteguhan iman, dan keikhlasan seseorang dalam menerima takdir Allah SWT. QS. Al-Baqarah ayat 155 menyebutkan bahwa Allah akan menguji manusia dengan kehilangan orang yang dicintai:
%جَ4وْاِ 8اِ9صّٰ اِ ;شِّ6جَ$جَ اِتِۗ صّٰ جَ =جَ $جَ اِ عُ وْ>جَ?وْ$جَ 0اِ جَ &وْ>جَ?وْ %جَ&شِّ @سٍوْ جَ $جَ Aاِوْ(عُوْ $جَ Bاِوْ Cجَوْ %جَ&شِّ DسٍEوْ;جَ6اِ وْ #عُجَ جَ لعُ8وْجَجَ$جَ
"Dan sungguh, Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang- orang yang sabar."
Ayat ini menunjukkan bahwa kehilangan seseorang adalah bagian dari ujian hidup yang harus dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan iman. Dalam Islam, sikap terbaik yang harus dimiliki ketika menghadapi kematian orang terdekat adalah bersabar (ṣabr) dan menerima takdir Allah dengan ikhlas.
Adapun kesedihan merupakan hal yang wajar, tetapi harus dikendalikan agar tidak mengarah kepada perbuatan yang dilarang dalam Islam, seperti meratap secara berlebihan atau menyalahkan takdir Allah. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar seseorang tetap tabah dan berdoa kepada Allah agar diberikan keteguhan hati dalam menghadapi musibah. Masyarakat Jawa memahami bahwa kehilangan seseorang bukan hanya duka bagi keluarga, tetapi juga bagi komunitas sekitarnya. Inilah alasan dalam tradisi Islam Jawa, kematian sering kali menjadi momen di mana masyarakat berkumpul untuk memberikan dukungan moral dan spiritual kepada keluarga yang ditinggalkan.
d. Kematian sebagai Awal Kehidupan di Alam Kubur
نجَوْ =عُجَ 8وْ4عُ Fاِوْ 4جَ ىصّٰاِ GخٌIجَوْ 6جَ وْ Jاِاِ اۤ1جَ$جَ %وْ&اِ$جَ اتِۗJجَلعُاِ ااۤ2جَ جَ 5عُ خٌ جَ لاِ!جَ اJجَجَاِ KتِۗLجَ!جَ Mعُ!وْجَ جَ اجَ وْ"اِ اNحًاِ اصجَ عُجَ عوْجَ Eوْيْٓلشِّجَ جَ
“Agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah dalih yang diucapkannya saja. Di hadapan mereka ada (alam) barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan.”(QS. Al-Mu’minun: 100)
Islam mengajarkan bahwa setelah seseorang meninggal dunia, ruhnya akan memasuki alam barzakh, yaitu dimensi yang menghubungkan kehidupan dunia dengan akhirat. Barzakh merupakan tempat penantian bagi ruh hingga hari kiamat. Dalam periode ini, manusia akan mengalami nikmat kubur atau azab kubur, tergantung pada amal perbuatannya selama di dunia.
Jika seseorang menjalani kehidupan yang saleh dan beriman kepada Allah, maka kuburnya akan menjadi tempat yang nyaman. Sebaliknya, bagi mereka yang banyak melakukan dosa dan kekufuran, kuburnya akan menjadi tempat siksaan sebelum masuk ke neraka.
Dari Haani’ Maula Ustman radhiallahu ‘anhu berkata,
: :
0جَ )عُ1جَ نجَاِ 0جَاجَ "جَ ، Rجَ5جَ %وْ&اِ E#اِ8وْجَ $جَ E#اِ8وْجَ KLجَ"جَ 1عُاجَ $جَ عُ جَ (جَوْ عُ !جَRوْعُ هعُجَ جَ اِ "جَ ، هعُSجَجَNوْاِ جَ8عُ4جَ ىSجَTجَ ى#جَ6جَ سٍ 8وْ2جَ ىلجَعجَ Uجَ2جَ$جَ جَ اِ نعُاجَ =وْععُ نجَا!جَ
” : اجَ "جَ هعُوْ&اِ Vعُوْ4جَ وْ جَ نوْاِ $جَ ، هعُوْ&اِ عُ Wجَ4وْ7جَ Xعُ*جَوْ 6جَ اجَ "جَ هعُوْ&اِ ا(جَجَ نوْااِ"جَ ، 3اِجَ Yاِ>يْٓ?وْ 0اِIاِاجَ&جَ %وْ&اِ 0سٍZاِوْ&جَ 0عُ$جَ7جَ جَ 8وْجَ وْ نجَاِ 0جَا2جَ جَ لجَ)جَ$جَ هاِوْلجَعجَ هعُلجَ ىلجَصجَ هاِلجَ
هعُوْ&اِ *عُ[جَ7جَ Xعُ*جَوْ 6جَ
“Utsman jika berada di suatu kuburan, ia menangis sampai membasahi jenggotnya. Dikatakan kepadanya, “disebutkan surga dan neraka engkau tidak menangis, tetapi engkau menangis karena ini?”. Beliau berkata, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya kubur adalah tempat persinggahan pertama dari beberapa persingggahan di akhirat, jika ia selamat maka ia dimudahkan, jika tidak selamat maka tidaklah datang setelahnya kecuali lebih berat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2308, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 1878)
2. Tata Cara Pemakaman
Islam memiliki aturan yang jelas mengenai pengurusan jenazah, yang dikenal dengan istilah tajhiz al-mayyit. Tata cara ini bertujuan untuk memastikan bahwa jenazah diperlakukan dengan penuh penghormatan dan sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam berbagai hadis, Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana cara merawat jenazah dengan baik, mulai dari memandikan hingga menguburkannya dengan segera.
وْ #عُ6اِا2جَ1اِ %وْعجَ هعُجَ عُ \جَجَ خٌ ;جَ"جَ ،]جَاِ جَ ىجَ )اِ ]عُ4جَ نوْاِ $جَ ،اJجَجَ &عُ*شِّجَ عُ خٌ وْ Cجَ"جَ حً Nجَاِ اصجَ ]عُجَ نوْااِ"جَ ،3اِIجَاجَ (اِوْ ا6اِ ععُاِ)وْ7جَ
“Bersegeralah (dalam membawa) jenazah. Karena apabila jenazah itu dari orang saleh, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika tidak, berarti kalian telah menyingkirkan kejelekan dari pundak kalian.” (HR. Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944)
a. Tajhiz (Persiapan Jenazah)
Tajhiz adalah langkah awal dalam proses pemakaman, yang mencakup persiapan jenazah setelah kematian terjadi. Dalam tahap ini, jenazah diletakkan di tempat yang bersih, matanya ditutup, dan tubuhnya ditutupi kain. Tahap ini bertujuan untuk memastikan bahwa jenazah diperlakukan dengan penuh penghormatan sesuai dengan ajaran syariat Islam.
b. Takfin (Memandikan dan Mengafani Jenazah)
Setelah persiapan awal selesai, jenazah harus segera dimandikan. Memandikan jenazah merupakan kewajiban bagi kaum Muslim dan dilakukan sesuai dengan tata cara yang telah dicontohkan dalam Islam.
c. Shalat Jenazah
Shalat jenazah merupakan salah satu kewajiban bagi umat Islam sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal. Shalat ini hukumnya fardhu kifayah, yang berarti jika sudah ada sebagian Muslim yang melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka seluruh umat Islam yang berada di tempat tersebut akan menanggung dosa.
d. Penguburan (Dafn)
Penguburan atau dafn adalah tahap terakhir dalam pengurusan jenazah menurut syariat Islam. Setelah dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan tuntunan Islam. Penguburan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah dan sebagai wujud kepatuhan terhadap perintah Allah swt dan ajaran Rasulullah SAW.
B. Sejarah dan Perkembangan Tradisi Upacara Kematian di Jawa
1. Tradisi Upacara Kematian Sebelum Masuknya Islam (Pengaruh Hindu-Buddha) Sebelum masuknya Islam, masyarakat Jawa telah memiliki berbagai ritual kematian yang erat kaitannya dengan kepercayaan Hindu-Buddha. Dalam kepercayaan Hindu, terdapat keyakinan tentang samsara, yaitu siklus reinkarnasi di mana seseorang yang meninggal akan mengalami kelahiran kembali. Oleh karena itu, upacara kematian dilakukan sebagai
penghormatan terhadap roh leluhur, yang diyakini dapat memberikan berkah bagi keluarga yang masih hidup.
Salah satu tradisi Hindu yang berpengaruh adalah “ritual selamatan kematian” pada hari-hari tertentu setelah kematian, seperti hari ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti, disebutkan bahwa peringatan semacam ini dilakukan untuk menghormati roh leluhur, yang diyakini akan kembali ke dunia spiritual. Selain itu, dalam agama Hindu juga dikenal upacara sraddha, yaitu ritual peringatan kematian yang dilakukan setelah 12 tahun seseorang meninggal. Upacara ini bertujuan untuk memastikan roh orang yang meninggal mendapatkan tempat yang baik di alam spiritual.
Sementara itu, dalam pengaruh kepercayaan Buddha, masyarakat Jawa meyakini bahwa kehidupan setelah mati merupakan hasil dari perbuatan manusia selama hidup, yang kemudian menentukan apakah seseorang akan bereinkarnasi ke dalam kehidupan yang lebih baik atau lebih buruk. Oleh sebab itu, tradisi-tradisi dalam upacara kematian pada masa Hindu- Buddha di Jawa sangat menekankan pada persembahan kepada arwah leluhur, dengan harapan bahwa roh mereka dapat tenang dan tidak mengganggu keluarga yang masih hidup.
2. Islamisasi Tradisi Upacara Kematian
Ketika Islam masuk ke Jawa pada abad ke-13 hingga 15, para Wali Songo memainkan peran yang penting dalam mengislamkan berbagai aspek budaya lokal, termasuk tradisi upacara kematian. Pendekatan yang digunakan oleh para ulama ini adalah sinkretisme budaya, yaitu mengadaptasikan atau memperpadukan ritual-ritual lokal agar sesuai dengan ajaran Islam tanpa menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Salah satu strategi dakwah yang digunakan oleh Wali Songo adalah mengganti mantra-mantra dalam ajaran Hindu dan Buddha dengan bacaan Islami. Misalnya, dalam upacara selamatan kematian, mantra-mantra (doa) ajaran Hindu dan Budha yang dipercaya dapat menenangkan roh orang yang telah meninggal diganti dengan bacaan tasbih, tahlil, tahmid, dan ayat-ayat Al-Qur'an. Proses ini membuat Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa.
Selain itu, ada pengaruh kuat dari tradisi Islam Champa yang dibawa oleh ulama-ulama asal Kerajaan Champa (Vietnam), seperti Sunan Ampel dan Raden Ali Murthado. Mereka memperkenalkan tradisi kenduri kematian, men-talqin (membimbing kalimat syahadat pada sakaratul maut) orang yang akan mati, serta memperingati kematian pada hari ke-3, ke-7, ke-40,
ke-100, dan ke-1000. Tradisi ini kemudian berkembang di kalangan masyarakat Muslim di Nusantara dan menjadi bagian dari budaya Islam Jawa.
Para Wali Songo juga menekankan pentingnya ziarah kubur, yang sebelumnya telah menjadi bagian tradisi dari kepercayaan animisme (memberikan persembahan dan mengharapkan keberkahan) di Jawa. Dalam Islam, ziarah kubur diubah menjadi sarana untuk mengingat kematian dan mendoakan orang yang telah meninggal, sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umat Islam untuk berziarah kubur sebagai pengingat akan kehidupan akhirat. Pada zaman sekarang, praktik tradisi ziarah kubur dan haul masih sangat kuat, terutama dalam komunitas yang mengikuti ajaran Nahdlatul Ulama (NU). Haul adalah peringatan tahunan bagi orang yang telah meninggal, yang diisi dengan doa bersama dan kajian keagamaan.
Para Wali Songo4 ataupun ulama-ulama lainnya tidaklah serta-merta menghapus dan mengganti praktik-praktik ajaran Hindu dan Budha, tetapi secara perlahan mengganti dan menghapusnya dengan islamisasi. Contohnya; sesaji dan persembahan kepada roh leluhur dihilangkan, digantikan dengan doa untuk almarhum. Kemudian sesajen diganti dengan sedekah kepada fakir miskin, sebagai bentuk amal jariyah bagi orang yang telah meninggal.
Lalu, bacaan mantra (doa) dalam ritual selamatan disesuaikan dengan ajaran Islam, seperti diadakan pembacaan surah Yasin dan tahlil. Hingga saat ini, banyak masyarakat Jawa yang masih menjalankan selamatan kematian, tetapi dengan versi yang sudah diislamkan dan tidak lagi menggunakan unsur-unsur Hindu-Buddha yang bertentangan dengan syariat Islam.
Pada masa kolonialisme Belanda dan pasca-kemerdekaan, tradisi upacara kematian di Jawa semakin berkembang seiring dengan muncul dan berkembangnya organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain itu, modernisasi yang terjadi selama abad ke-20 juga mulai memengaruhi cara masyarakat memandang ritual kematian. Pada beberapa daerah, ritual yang dahulu dilakukan selama beberapa hari mulai dipersingkat dan lebih difokuskan pada doa dan pengajian.
C. Tradisi-Tradisi Upacara Kematian di Jawa
Tradisi upacara kematian di masyarakat Jawa merupakan hasil dari perpaduan antara nilai-nilai Islam dan warisan budaya lokal yang telah berkembang sejak terjadinya islamisasi di
4 Sembilan ulama yang berperan penting dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga 16 M.
Nusantara. Prosesi kematian di Jawa tidak hanya melibatkan pengurusan jenazah sesuai syariat Islam, tetapi juga berbagai ritual yang memiliki nilai sosial dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat.
1. Rangkaian Prosesi Upacara Kematian
Saat seseorang dalam kondisi sakaratul maut, keluarga biasanya melakukan beberapa ritual yang bertujuan untuk memberikan ketenangan bagi orang yang sedang menghadapi ajalnya. Beberapa praktik yang secara umum dilakukan antara lain:
1) Membacakan surah Yasin dan surah lain-lainnya 2) Berdzikir dan tahlil
3) Memberikan air zam-zam atau air putih 4) Membimbing kalimat syahadat (talqin)
5) Pengumpulan keluarga untuk berpamitan dan saling minta maaf
Setelah seseorang meninggal dunia, beberapa langkah yang umum dilakukan oleh keluarga dan masyarakat sekitar, yaitu:
1) Mengumumkan kematian
2) Mengurus jenazah, di antaranya adalah menutup mata dan mulut mayat, memandikan, dan mengafani mayat.
3) Melakukan shalat jenazah 4) Melakukan pemakaman
Setelah pemakaman, masyarakat Islam Jawa memiliki serangkaian ritual yang bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal dan mempererat hubungan sosial di antara keluarga dan tetangga. Salah satu praktik yang paling umum adalah tahlilan dan selamatan kematian, yang dilakukan pada hari-hari tertentu setelah kematian, seperti hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Praktik ini telah menjadi bagian dari budaya Islam di Jawa dan masih dijalankan hingga kini, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keabsahannya.
2. Tradisi-Tradisi Upacara Kematian
Tahlilan adalah ritual pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, dzikir, dan doa yang dilakukan bersama-sama untuk menghadiahkan pahala bagi orang yang telah meninggal. Biasanya,
tahlilan dipimpin oleh seorang ulama atau tokoh agama setempat dan dihadiri oleh keluarga, tetangga, serta kerabat almarhum. Sering diisi dengan pembacaan Surah Yasin, shalawat, serta kalimat tauhid (tahlil, takbir, tasbih, dan tahmid). Adapun tahapan waktu melakukan tahlilan:
1) Malam pertama setelah kematian. Biasanya dihadiri oleh keluarga dan tetangga terdekat.
2) Hari ke-3 setelah kematian (Nelung Dina). Sebagai tanda penghormatan kepada almarhum dan penguatan spiritual bagi keluarga yang ditinggalkan.
3) Hari ke-7 (Mitung Dina). Masyarakat percaya bahwa pada hari ini, roh almarhum telah meninggalkan rumah menuju alam barzakh.
4) Hari ke-40 (Matangpuluh Dina). Menandai berakhirnya masa berkabung yang dianggap sebagai waktu paling sulit bagi keluarga.
5) Hari ke-100 (Nyatus Dina). Sebagai penghormatan terakhir kepada almarhum dan sebagai pengingat bagi keluarga.
6) Hari ke-1000 (Nyewu Dina). Peringatan terakhir yang menandai bahwa hubungan spiritual antara keluarga dengan almarhum mulai dilepaskan.5 Selamatan kematian merupakan bentuk tradisi kenduri atau perjamuan doa yang diselenggarakan oleh keluarga almarhum dengan mengundang masyarakat sekitar. Tradisi kenduri ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada mayat, sebagai sarana berbagi dan bersedekah kepada masyarakat sekitar, serta sebagai momen mempererat tali silaturahmi antara keluarga, kerabat, tetangga, dan masyarakat.
Selamatan ini juga sering dilakukan dengan sederhana, menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Beberapa keluarga yang kurang mampu bahkan rela berhutang untuk menyelenggarakan selamatan kematian, meskipun hal ini tidak dianjurkan.
Pelaksanaannya dengan pembacaan doa dan tahlil, pembagian makanan, dan pembacaan surah- surah.
Ziarah kubur adalah kegiatan mengunjungi makam orang yang telah meninggal dengan tujuan utama untuk mendoakan mereka dan mengingat kematian. Dalam Islam, ziarah kubur dianjurkan sebagai cara untuk mengingat kehidupan akhirat dan memperkuat ketakwaan kepada Allah SWT.
5 Suwito, Agus Sriyanto, & Arif Hidayat. 2014. Tradisi Kematian Wong Islam Jawa. JPA, Vol. 15, No. 2.
3جَجَ Yاِ>يْٓ?وْ عُ !شِّRجَعُ اJجَجَ ااِ"جَ ا5جَ$1عُ$Zعُ"جَ هاِ&شِّ7عُ اِ 8وْ2جَ 3اِ1جَا4جَIاِ E"اِ *سٍجَ Nجَعُ اِ نجَاِ 7عُ *وْجَ "جَ 1اِ 8عُعُ وْ 3اِ1جَا4جَIاِ %وْعجَ وْ #عُSعُوْJجَجَ Mعُوْ!عُ *وْ2جَ
“Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat.” (HR. Tirmidzi no. 1054, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dalam konteks masyarakat Islam Jawa, ziarah kubur tidaklah hanya berfungsi sebagai sarana mendoakan, tetapi juga memiliki nilai sosial dan budaya. Kegiatan ini sering dilakukan dalam momen-momen tertentu, baik oleh keluarga almarhum maupun oleh masyarakat luas. Di masyarakat Islam Jawa, ziarah kubur dilakukan pada berbagai kesempatan yang dianggap memiliki makna spiritual tertentu6. Beberapa waktu yang paling umum untuk berziarah adalah menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, hari Jumat dan malam Jumat Kliwon, Haul, dan Rebo Wekasan7.
Tata cara umum yang biasanya dilakukan dalam tradisi ziarah kubur:
1) Bersiap (Membersihkan diri dan niat)
2) Masuki makan dengan beradab yang baik (memberi salam) 3) Membersihkan dan menata rapi makan
4) Membacakan surah-surah dan doa
5) Menaburkan bunga dan menyiram makam 6) Mengadakan sedekah
Haul berasal dari bahasa Arab hauliyah, yang berarti "satu tahun". Dalam konteks tradisi Islam Jawa, haul adalah peringatan tahunan kematian seseorang yang diisi dengan pengajian, doa bersama, dan sedekah. Haul biasanya diadakan untuk ulama, kyai, pemimpin agama, tokoh masyarakat, atau leluhur yang dihormati, tetapi juga bisa dilakukan untuk anggota keluarga. Haul memiliki makna penting dalam masyarakat Islam Jawa, di antaranya adalah menghormati dan mengenang jasa, sebagai sarana dakwah dan mencari ilmu, mempererat hubungan sosial dan silaturahmi, serta sebagai bentuk amal jariyah.
Tradisi haul di Jawa mulai berkembang pada masa Wali Songo, yang menggunakan acara haul sebagai sarana dakwah Islam. Para ulama dan kyai meneruskan tradisi ini untuk memperingati wafatnya tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam Nusantara. Salah satu haul
6 Suwito, Agus Sriyanto, & Arif Hidayat. 2014. Tradisi Kematian Wong Islam Jawa. JPA, Vol. 15, No. 2.
7 Rabu terakhir di bulan Safar dalam penanggalan Hijriah. Masyarakat Islam Jawa meyakini bahwa hari tersebut merupakan hari turunnya berbagai musibah, sehingga perlu dilakukan amalan tertentu untuk menangkalnya.
terbesar di Indonesia adalah haul KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Tebuireng, Jombang, yang setiap tahun dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai daerah. Tradisi ini juga berkembang di berbagai pesantren besar seperti pesantren Lirboyo, Sidogiri, dan Al-Anwar Sarang.
D. Perspektif Ulama dan Masyarakat
Perbedaan pendapat mengenai tradisi upacara kematian di Jawa menjadi perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat. Sebagian ulama dan organisasi Islam menerima serta mempertahankan tradisi seperti tahlilan, selamatan, dan haul, sementara kelompok lain lebih memilih menghindari praktik yang tidak memiliki dalil eksplisit dalam Al-Qur'an dan hadis.
Perbedaan ini mencerminkan keragaman pemahaman Islam di Indonesia, terutama dalam konteks budaya lokal yang telah berkembang selama berabad-abad.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh kuat dalam tradisi Islam Nusantara, termasuk dalam ritual kematian seperti tahlilan, selamatan, dan haul. NU mendukung tradisi tahlilan dan selamatan kematian sebagai bagian dari Islam Indonesia, yang merupakan perpaduan antara ajaran Islam dan budaya lokal.
Diyakini bahwa doa dari keluarga dan masyarakat untuk orang yang telah meninggal dapat memberikan manfaat bagi sang almarhum, sesuai dengan konsep amal jariyah. Mereka mengacu kepada pendapat ulama Mazhab Syafi'i, yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al- Quran dan doa dapat disampaikan kepada orang yang telah meninggal.
:
1جَ*جَ $جَ هجَل *عُ4وْاِ 4عُ خٌعُ 1جَ ا5جَ_عُجَ 4جَ >جَ? نوْ وْ عُ وْ `عُلوْ2جَ 4 0جَا2جَ لجَ)جَ$جَ هاِوْلجَعجَ هل ىلجَصجَ هل 0جَ )عُ1جَ نجَجَ هعُوْعجَ هل Eجَaاِ1جَ 1وْاWجَ4جَ %وْ6اِ وْجَ وْ &جَ اجَ*اِشِّ)جَ %وْعجَ
, ىbاِاWجَشِّ جَ هوْجَ ا&جَ %عُ6وْاِ cوْ$عُcجَ وْ 6عُجَ Xعُ$جَ1جَ وْ !عُاجَ وْ &جَ ىلجَعجَ ا5جَ_عُجَ 2وْاِ هعُجَ هعُل جَ جَ dجَ >جَ?اِ 3جَ Yاِ>جَ?وْ , , (
, , , , , ,
نوْا8جَTاِ %عُ6وْ $جَ ىوْ اِ Jجَوْ 8جَوْ جَ ىوْاِ جَ 8وْ eجَ جَ وْ 8جَوْ [جَ ىوْ6اِجَ %عُ6وْاِ ىوْ اِ fجَ8جَوْ جَ وْ #اِ Nجَ وْ جَ *وْ جَ Tوْجَ
Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosa dosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian.” (H.R. Abu Dawud, dll)
ناِاجَ 4>اِ?وْا6اِ اجَ عُ 8جَ)جَ %جَ4Rاِجَ اجَاِ جَ Yوْ>اِ?اِ$جَ اجَ جَ وْ اِ dوْ جَ Jعُلجَ
"Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami." (QS. Al-Hasyr: 10)
: :
،هاِ6اِ gعُجَ Sجَوْ4عُ سٍ لوْعاِ $وْ7جَ ،سٍ 4جَ1اِاجَ سٍ 2جَ*جَصجَ hسٍKLجَجَ %وْ&اِ >?جَاِ هعُلعُجَ عجَ هعُوْعجَ gجَeجَجَ وْ ،نعُاWجَوْ>اِ?وْ جَ ا&جَ جَ اِ 0جَا2جَ هاِلجَ 0جَ )عُ1جَ نجَ7جَ ،3جَجَ 4وْجَ 5عُ E6اِ7جَ %وْعجَ ﷺ هعُجَ ععُ*وْ4جَ iسٍاِ اصجَ *سٍجَ$جَ $وْ7جَ
Dari Abu Hurairah r.a bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya."(HR. Muslim, No. 1631)
" : : : وْ جَ جَ 0جَا2جَ ؟اJجَوْ عجَ kجَ*جَ9جَجَ 7جَ نوْ7جَ اJجَعُ جَ وْ جَ "جَ7جَ ،Mوْجَ "شِّعُ عُ E&شِّ7عُ نجَاِ ،هاِلجَ 0جَ )عُ1جَ ا4جَ Mعُلوْ2عُ 0جَا2جَ هعُجَ 7جَ ،3جَcجَا8جَععُ %اِ6وْ *اِوْ )جَ %وْعجَ
"Sa‘d bin ‘Ubadah bertanya: 'Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia. Apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?' Rasulullah SAW menjawab, 'Ya(, itu bermanfaat baginya).'”(HR. Bukhari No. 2760, Muslim No. 1004)
Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang berpegang pada pemurnian ajaran Islam berdasarkan Al-Qur'an dan hadis, serta menolak praktik-praktik yang dianggap sebagai bid’ah (hal baru dalam ibadah yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW). Muhammadiyah tidak membiasakan tahlilan dan selamatan kematian, karena tidak ditemukannya dalil yang secara eksplisit mensyariatkannya dalam Al-Qur’an dan hadis. Muhammadiyah menekankan bahwa amal yang dapat bermanfaat bagi orang yang telah meninggal adalah doa langsung, sedekah, dan amal ibadah pribadi. Muhammadiyah lebih mengajarkan bahwa keluarga sebaiknya mendoakan almarhum tanpa perlu ritual tertentu, cukup dengan membaca Al-Qur'an dan memperbanyak amal saleh. Muhammadiyah juga tidak membiasakan ziarah kubur yang diiringi dengan ritual tertentu, tetapi tetap memperbolehkan ziarah untuk mendoakan almarhum dengan cara yang sederhana.
Masyarakat Jawa sendiri memiliki berbagai sikap terhadap tradisi upacara kematian.
Ada yang mempertahankan tradisi seperti tahlilan, selamatan kematian, dan haul, sementara ada pula yang memilih untuk meninggalkan atau menyederhanakan ritual tersebut. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial, pemahaman agama, serta modernisasi dan globalisasi. Mayoritas masyarakat di wilayah Jawa Tengah dan Timur masih mempertahankan tradisi tahlilan dan selamatan kematian, yang biasanya dilakukan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 setelah kematian. Khususnya pada daerah sekitar pesantren besar seperti Pesantren Lirboyo (Kediri) dan Sidogiri (Pasuruan). Di wilayah Jawa Barat dan Yogyakarta, praktik tahlilan dan selamatan kematian dilakukan skala kecil dan disederhanakan. Beberapa
masyarakat dan yang dari desa-desa pelosok terdapat ritual selamatan kematian antara campuran doa-doa Islam dengan sesajen dan dupa, misalnya beberapa masyarakat Sunda.
E. Transformasi dalam Konteks Modernisasi dan Globalisasi
Seiring berkembangnya zaman, tradisi upacara kematian di Jawa mengalami berbagai perubahan akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi. Jika sebelumnya ritual kematian bersifat kolektif dan berbasis komunitas, kini praktiknya mulai disederhanakan dan lebih bersifat personal. Modernisasi juga membawa perubahan dalam cara masyarakat mengumumkan kematian, menggelar doa bersama, hingga menyikapi tradisi seperti tahlilan dan selamatan kematian.
Pada masa lalu, selamatan kematian dilakukan dengan mengadakan kenduri besar yang melibatkan banyak orang, bahkan berlangsung selama tujuh hari berturut-turut. Namun, kini terjadi penyederhanaan dalam berbagai aspek. Jika dahulu selamatan dilakukan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, hingga ke-1000, kini beberapa keluarga hanya mengadakan doa bersama pada hari ke-3 dan ke-7 saja. Di beberapa daerah perkotaan, masyarakat mulai meninggalkan selamatan kematian secara bertahap, digantikan dengan doa pribadi atau sedekah langsung kepada fakir miskin. Kini banyak keluarga yang memilih untuk menyalurkan dana selamatan dalam bentuk amal jariyah daripada menyiapkan hidangan besar untuk dibagikan kepada masyarakat. Jika dulu pengumuman kematian dilakukan melalui kentongan atau pengeras suara di masjid, kini banyak keluarga yang memilih untuk menggunakan media sosial seperti WhatsApp, Facebook, atau Instagram untuk menyebarkan berita duka.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tradisi kematian di masyarakat Jawa merupakan hasil akulturasi antara ajaran Islam dan budaya lokal. Tradisi ini berkembang dari masa ke masa dan memiliki latar belakang sejarah yang panjang, terutama dalam konteks pengaruh Hindu-Buddha sebelum Islamisasi dan peran Wali Songo dalam mengadaptasi tradisi lokal agar sesuai dengan ajaran Islam.
Perbedaan pandangan ulama terhadap tradisi ini menunjukkan adanya keragaman interpretasi terhadap dalil syar’i. Nahdlatul Ulama (NU) mendukung tahlilan dan selamatan kematian sebagai bagian dari tradisi Islam Nusantara yang memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan hadis, sedangkan Muhammadiyah dan kelompok reformis Islam lebih memilih doa secara langsung tanpa ritual tertentu.
Di sisi lain, masyarakat Jawa juga mengalami perubahan dalam praktik ritual kematian.
Pengaruh modernisasi dan globalisasi telah menyebabkan pergeseran dari ritual kolektif ke pendekatan yang lebih personal, dengan semakin banyaknya orang yang memilih untuk menyederhanakan selamatan kematian atau menggantinya dengan amal jariyah. Meskipun terjadi perubahan, nilai utama dari tradisi kematian di Jawa tetap bertahan, yaitu mendoakan almarhum, mempererat silaturahmi, dan menjaga nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial.
Melalui pemahaman yang lebih mendalam terhadap tradisi-tradisi ini, diharapkan masyarakat dapat menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan ajaran Islam yang murni. Dengan tetap mempertahankan nilai-nilai utama dalam ritual kematian, generasi mendatang dapat terus menjunjung tinggi warisan leluhur tanpa mengesampingkan prinsip- prinsip dan syariat agama yang menjadi pedoman dalam kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Suwito, Agus Sriyanto, dan Arif Hidayat. 2014. "Tradisi Kematian Wong Islam Jawa." Jurnal Pendidikan Agama 15 (2): 211–215.
Abi Aufa, Ari. 2017. "Memaknai Kematian dalam Upacara Kematian di Jawa." An-Nas:
Jurnal Humaniora 1 (1).
Karim, Abdul. 2017. "Makna Ritual Kematian dalam Tradisi Islam Jawa." Sabda 12 (2):
161–163.
Indriani, Atika Nurwan. 2022. Tradisi Upacara Kematian Ditinjau dari Nilai-Nilai Islam dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Masyarakat Karya Maju XII Lampung Barat. Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Huda, M. Thoriqul, Adinda Maharani Laila Putri Warma, dan Nur Maria Setyorini. 2023.
"Tradisi Sawur dalam Proses Pemakaman Jenazah Masyarakat Islam dalam Perspektif Teori Sakral dan Profan Emile Durkheim." Indonesian Journal of Humanities and Social Sciences 4 (2): 289–292.
Maulana, Ramlan. 2015. "Tradisi Tahlilan: Sebuah Refleksi Sejarah." PCNU Kendal.
Diakses 19 Maret 2025. https://pcnukendal.com/artikel/id/3694/tradisi-tahlilan- sebuah-refleksi-sejarah.
Husnul Haq. 2019. "Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat." NU Online. Diakses 19 Maret 2025.https://www.nu.or.id/amp/syariah/hukum-tahlilan-menurut-mazhab- empat-bpZVe.
Redaksi Muhammadiyah. 2020. "Hukum Makanan Dari Acara Hari Kematian."
MUHAMMADIYAH.OR.ID. Diakses 19 Maret 2025.
https://muhammadiyah.or.id/2021/11/adakah-tuntunan-mengadakan-selamatan-untuk- orang-yang-telah-meninggal/.
Ilham. 2021. "Adakah Tuntunan Mengadakan Selamatan untuk Orang yang Telah Meninggal?" MUHAMMADIYAH.OR.ID. Diakses 19 Maret 2025.
https://muhammadiyah.or.id/2020/09/hukum-makanan-dari-acara-hari-kematian/.
Syifa. 2021. "Tuntunan Tahlilan dalam Pandangan Muhammadiyah."
MUHAMMADIYAH.OR.ID. Diakses 19 Maret 2025.
https://muhammadiyah.or.id/2021/11/tuntunan-tahlilan-dalam-pandangan- muhammadiyah/.
Abas, Rudi Sirojudin. 2021. "Tradisi Tahlilan Bukan Warisan Hindu-Budha." NU Jabar.
Diakses 19 Maret 2025. https://jabar.nu.or.id/amp/ngalogat/tradisi-tahlilan-bukan- warisan-hindu-budha-5jFq9.
Harbani, Rahma. 2022. "Tahlilan 3, 7, 40, 100 Hari Kematian dalam Islam, Seperti Apa Hukumnya?" Detik Hikmah, 9 Desember 2022.
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6451944/tahlilan-3-7-40-100-hari- kematian-dalam-islam-seperti-apa-hukumnya.
Nuryani, Wiwik. 2023. "Tradisi Tahlilan 7 Hari, 40 Hari, 100 Hari, 1000 Hari." Website Kedungboto Desa. Diakses 19 Maret 2025.
http://kedungboto.desa.id/kabardetail/MWsvTmRGZWZRS2ZMUk04S3F6Smo0dz0 9/tradisi-tahlilan-7-hari--40-hari--100-hari--1000-hari.html.