• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan Industri Bordir Di Tasikmalaya Studi Etika Moral Ekonomi Islami Pada Komunitas Tatar Sunda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketahanan Industri Bordir Di Tasikmalaya Studi Etika Moral Ekonomi Islami Pada Komunitas Tatar Sunda"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

PADA KOMUNITAS TATAR SUNDA

JOHAROTUL JAMILAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Ketahanan Industri Bordir di Tasikmalaya: Studi Etika Moral Ekonomi Islami pada Komunitas Tatar Sunda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 25 Agustus 2016

(3)

Moral Ekonomi Islami pada Komunitas Tatar Sunda. (Dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN sebagai Ketua, NURMALA K PANJAITAN dan DIDIN S. DAMANHURI sebagai Anggota).

Terbentuknya ekonomi lokal dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya ditandai oleh kemunculan golongan sosial pengusaha bordir yang keberadaannya dapat dirunut berikut ini. Pertama, berdasarkan asal-usul sosialnya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha bordir dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya berasal dari kelompok non elit/ kelas bawah/ masyarakat ekonomi marginal, terutama dari kalangan orang kebanyakan (cacah/somah) dalam struktur feodal Sunda. Kedua, terkait dengan mekanisme kemunculannya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha bordir dalam masyarakat Sunda Tasikmalaya, merupakan hasil dari adanya keterlekatan etika moral agama (Islam) dan etika moral budaya (Sunda) dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir dan terbukanya kesempatan yang sama bagi siapa saja yang dapat meraihnya (stratifikasi sosial terbuka).

Kelangsungan sosial golongan pengusaha lokal mencakup dua dimensi sekaligus. Pertama, berdasarkan dimensi status/ peranan sosial golongan pengusaha lokal di Tasikmalaya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha lokal tersebut hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai pendukung ekonomi lokal, dengan ciri-ciri formasi sosial pengusaha lokal yang khas (hybrid). Penelitian ini menunjukkan bahwa para pengusaha lokal mampu bangkit dan berkembang (survive) dengan campur-tangan negara, mereka bahkan tumbuh secara progresif, melakukan pengembangan atas usahanya dengan cara mengikuti persaingan global melalui ekspansi penjualan skala nasional/internasional dan mengeksport ke luar negeri dan ikut menopang kertepurukan ekonomi bangsa ketika tertimpa krisis ekonomi 1997/ 1998 serta krisis 2008. Mereka tidak hanya menyumbang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi lokal, namun juga menjadi penggerak transformasi sosial-ekonomi masyarakat Sunda Tasikmalaya dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.

Bertahan dan berkembangnya ekonomi industri bordir tersebut tidak lepas dari dinamika yang terjadi pada para pengusaha bordir di Tasikmalaya tersebut dengan muncul dan tenggelamnya berbagai tipe pengusaha. Keterlekatan etika Islam dan Sunda pada tindakan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya menghasilkan tiga tipe pengusaha. Pertama, Pengusaha Islami-Sundanis yaitu pengusaha terlekat kuat dengan etika agama (Islam). Kedua, Pengusaha Sunda-Islami yaitu pengusaha yang terlekat kuat dengan etika budaya Sunda. Ketiga, Pengusaha Sunda Kapitalis yaitu yang terlekat kuat pada etika kapitalis.

(4)

terlalu lemah dalam ikatan nilai-nilai agama dan budaya.

Etika Religiusitas Islam pengusaha bordir di Tasikmalaya menolong pengusaha untuk dapat bertahan dalam bisnis bordir, tetapi sejarah bisnis keluarga tidak bisa ditinggalkan. Kelas menak dalam industri bordir, memiliki kecenderungan lebih bertahan dibanding kelas cacah /somah disebabkan pada kelas menak usaha mereka sudah turun temurun dan memiliki pengalaman serta latar pendidikan yang relatif tinggi. Sebenarnya kelas cacah pun memiliki kesempatan yang sama untuk dapat maju, tetapi memiliki kecenderungan rentan hancur. Jadi pengusaha yang cenderung bertahan dan mengalami kemajuan adalah kelas pengusaha menak religius, sedang yang rentan hancur/bangkut adalah pengusaha cacah modern

Keywords: islamic moral ethics, sundanese moral ethics, islamic-sundanese entrepreneurs, sundanese-islamic entrepreneurs, capitalist entrepreneurs

(5)

Moral Ethics Study of Islamic Economy in Sundanese Land Community, (Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN as the Chairman, NURMALA K PANJAITAN and DIDIN S DAMANHURI as the Members).

The form of local economics in Tasikmalaya Sundanese Society is signed by the emergence of embroidery enterpreneur social class whose existence can be traced as follows. Firstly, based on their social origin, it can be concluded that the class of embroidery entrepreneur in Tasikmalaya Sundanese Society comes from non-elite group/lower class/marginal economic society, especially among the common people (cacah/somah) in Sundanese feudal structure. Secondly, related to its emergence of mechanism, it can be concluded that the class of embroidery entrepreneur in Tasikmalaya Sundanese Society, is the result of the embeddedness of moral ethics religion (Islam) and moral ethics culture (Sunda) in economics act of embroidery entrepreneurs and the open up of equal opportunities for anyone who can achieve it (open social stratification).

Social sustainability of local entrepreneur class includes two dimension at once. First, based on status dimension/social role of the local entrepreneur class in Tasikmalaya, it can be concluded that this local entrepreneur class present and develop in the context and as a suporter of local economy, with the social formation characteristic of typical local entrepreneur (hybrid). This research shows that the local entrepreneurs can get up and grow (survive) with the intervention of the state, they even grow progressively, developing its business by following global competition through the sales expansion in national/international scale and export abroad, and participate in sustaining the nation’s economic adversity when it was hit by economic crisis in 1997/1998 as well asthe crisis in 2008. They did not only contribute to the development of local economic development, but also become the motor of the socio-economic transformation of Tasikmalaya Sundanese Society from an Agrarian society into industrial society.

The surviving and the developing of the economic embroidery industry could not be separated from the dynamics of the embroidery entrepreuneurs in Tasikmalaya with the emerging and the sinking of various types of businessmen. The embeddedness of Islamic and Sundanese ethics on the economic acts of embroidery entrepreneurs in Tasikmalaya produces tree types. First, Entrepreneurs of Sundanese Islam that is the entrepreneur strongly embedded with religious ethics (Islam). Second, Entrepreneurs of Islamic Sunda that is the entrepreneurs strongly embedded with Sundanese culture ethics. Third, Capitalist Entrepreneurs who strongly embedded to the capitalist ethics.

(6)

and cultural values.

Islamic Religiousity Ethics of embroidery entrepreneurs in Tasikmalaya help entrepreneurs to be able to survive in embroidery business, however the history of a family business can not be abandoned. Menak class in the embroidery industry, have a tendency to last more compared to Cacah/Somah Class due to in Menak class, the business has been handed down and they have experience as well as they relatively have high educational background. Actually Cacah Class, also have the same opportunity to be ahead, but they have a greater vulnerability to destroy. So that the entrepreneur who tend to survive and progress are the Religious Menak Entrepreneurs Class, on the other hand the entrepreneur who are vulnerable toward destruction/bankruptcy are Modern Cacah Entrepeneurs.

(7)

@Hak Cipta milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)

PADA KOMUNITAS TATAR SUNDA

JOHAROTUL JAMILAH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr Lala M Kolopaking, MS 2. Dr Sofyan Sjaf, MSi

(10)

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunianya sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Ketahanan Ekonomi Industri Bordir di Tasikmalaya: Studi Etika Moral Ekonomi Islami dan Sunda” dapat diselesaikan. Salam dan salawat senantiasa penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membuka tabir keilmuan dan senantiasa membimbing manusia ke jalan yang benar dan di ridhoi oleh Allah SWT.

Selama proses penelitian sampai kepada penyusunan disertasi ini penulis banyak melibatkan berbagai pihak, baik yang memberi bantuan moril, materil serta berbagai kemudahan fasilitas bahkan doa yang ihklas dan tulus. Pada kesempatan yang berharga ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan pada beberapa pihak.

Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc., Dr Nurmala K Panjaitan, MS.DEA, dan Prof. Dr. Ir. Didin S Damanhuri, MS, DEA. masing-masing selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang dengan tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing dalam rangka memberi bobot akdemik pada disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Lala M. Kolopaking dan Bapak Dr. Sofyan Sjaf atas kesediaan beliau meluangkan waktu untuk menjadi penguji Luar Kamisi dalam ujian tertutup.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada segenap bapak/ibu dosen di program Studi S2/S3 Sosiologi Pedesaan-Institut Pertanian Bogor atas arahan dan bimbingan selama dalam perkuliahan sehingga memberikan pencerahan dan pemahaman dalam berbagai hal khususnya yang berkaitan dengan disiplin ilmu sosiologi pedesaan.

Spesial penghargaan penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta yaitu Bapak H. Mamun dan Ibu Hj. Idah Suhidah yang telah memberikan didikan, kasih sayang, perhatian dan doa sampai saat ini. Penghargaan yang sama penulis sampaikan kepada kedua mertua penulis masing-masing Bapak H. Muhammad Syarif dan Ibu Hj. Suti yang dengan sabar dan ikhlas memberikan bantuan moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para tineliti dan informan yang dengan setia dan sabar melayani penulis sambil memberikan data-data yang berharga bagi penulisan disertasi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang paling istimewa penulis sampaikan kepada suami tercinta Drs. H Momon Abdurrahman yang dengan setia mendampingi dengan penuh pengertian, kesabaran, dan tak henti-hentinya memberi dorongan dan doa restunya kepada penulis. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada ketiga buah hati tercinta masing-masing Aqila Hirnika, Muhammad Wilman Mustoven, Prinsa Felisita yang banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang dari penulis karena kesibukan dalam menjalani studi.

(11)
(12)

RINGKASAN

HALAMAN PENGESAHAN PRAKATA

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISTILAH

I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah 1

Rumusan Masalah 6

Pertanyaan Penelitian 8

Tujuan Penelitian 8

Hipotesis Pengarah 9

Kegunaan Penelitian 9

Novelty 9

Ruang lingkup 10

II KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL

State Of The Art 11

Kajian Teoritis 21

Tindakan ekonomi dan Tindakan Sosial 21

EmbeddedTheory (Keterlekatan Sosial) 22

New institutionalism dan Isomorphism Ethic dalam Kaitan

Tindakan Ekonomi 24

Entrepreneurship 25

Jaringan sosial Ekonomi 26

Etika Ekonomi Sunda 27

Etika Ekonomi Islami 29

Sistem Nilai dalam Pesantren 30

Kerangka Pemikiran 31

III METODOLOGI

Paradigma Penelitian 34

Waktu, Lokasi dan Objek Penelitian 35

Teknik Pengumpulan Data 36

Teknis Analisis data 37

(13)

Gambaran Umum Tasikmalaya 39

Sejarah dan Transformasi Industri Bordir Tasikmalaya 42

Penggunaan Alat-Alat Kerajinan Bordir dari Masa ke Masa 55

Perubahan Motif dan Jenis Kerajinan Bordir 57

Ikhtisar 58

V ETIKA MORAL DAN JARINGAN SOSIAL EKONOMI DALAM

TINDAKAN EKONOMI PEMGUSAHA BORDIR TASIKMALAYA

Pendahuluan 61

Keterlekatan Etika Moral dalam Tindakan Ekonomi

Pengusaha Bordir 61

Etika Moral Ekonomi Islami 61

Etika Moral Ekonomi Budaya Sunda 68

Etika Ekonomi Kapitalis 73

Struktur dan Jaringan Pengusaha Bordir Tasikmalaya 74

Jaringan Sosial Pengusaha melalui Lembaga Keagamaan 82

Isomorfisme Tindakan Ekonomi Pengusaha Bordir 85

Ikhtisar 87

VI TIPOLOGI PENGUSAHA BORDIR TASIKMALAYA DAN

JARINGAN SOSIAL

Pendahuluan 88

Tipologi Pengusaha Bordir Tasikmalaya 88

Tipe Pengusaha Islami-Sundanis 89

Tipe Pengusaha Sunda-Islami 97

Tipe Pengusaha Kapitalis 103

Perbedaaan Karakteristik Tipologi Pengusaha Bordir 108

Transformasi Etika Ekonomi Formal ke Etika Ekonomi Moral 115

Suksesi Kepemimpinan Keluarga Pengusaha Bordir 120

Penetrasi Nilai -Nilai Islam Sunda Dalam Industri Bordir 124

Ikhtisar 125

VII TEORITISASI KETAHANAN PENGUSAHA INDUSTRI

BORDIR TASIKMALAYA

Ketahanan Industri Bordir: Teori Keterlekatan Religio-Kultural

dalam Jaringan Sosial 127

Ketahanan Industri Bordir: Perspektif Menak-Cacah 132

VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Simpulan 142

(14)
(15)

Perkembangan Ekonomi

Tabel 2 Hasil Studi Penelitian Terdahulu tentang Keterlekatan Tindakan Ekonomi terhadap Nilai Budaya

Tabel 3 Penelitian Terdahulu tentang Ishomorphisme Tabel 4 Penelitian Terdahulu tentang Indsutri Pedesaan Tabel 5 Jumlah Tineliti dan Informan

Tabel 6 Luas Wilayah, Jumlah, Kepadatan Penduduk di Tasikmalaya tahun 2013 Tabel 7 Jumlah Penduduk, laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) dan Jumlah

Rumah Tangga di Kota Tasikmalaya, tahun 2003 -2014

Tabel 8 Tahapan Kesejahteraan Keluarga di Kota Tasikmalaya Tahun 201 Tabel 9 Jumlah Siswa menurut Usia tahun 201

Tabel 10 Perkembangan Nilai Produksi Bordir Lima Tahun Terakhir Tabel 11 Perkembangan Jumlah Investasi Industri Bordir di Tasikmalaya Tabel 12 Perkembangan Tenaga Kerja Industri Bordir Tasikmalaya

Tabel 13 Keterlekatan pada Nilai Islam dalam Tindakan Ekonomi Pengusaha Bordir

Tabel 14 Keterlekatan nilai-nilai Sunda dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir Tabel 15 Keterlekatan etika ekonomi kapitalis dalam tindakan ekonomi Pengusaha

bordir

Tabel 16 Jumlah Pengusaha Bordir Tasikmalaya Berdasarkan UU UMKM no.20 tahun 2008

Tabel 17 Kesamaan tindakan ekonomi pengusaha bordir Tabel 18 Jaringan Pengusaha Bordir dalam Kegiatan Produksi

Tabel 19 Tipologi Pengusaha Bordir di Tasikmalaya berdasarkan Kuat dan Lemahnya Keterlekatan Etika Agama dan Budaya

Tabel 20 Tipologi Pengusaha Bordir berdasar Lama Usaha, Besarnya Usaha, dan Dinamika Usaha

Tabel 21 Relasi Sosial Ekonomi Pengusaha Bordir

Tabel 22 Perbandingan tipologi pengusaha bordir Tasikmlaya

Tabel 23 Hasil analisis hubungan nilai etika terhadap fungsi dan dampak sosial-ekonomi

Tabel 24 Pelapisan sosial pada masyarakat Sunda Priangan Feodal Tabel 25 Pengelompokan dan Asal Usul Keberadaan Pengusaha Lokal

Tabel 26 Pelapisan Sosial masyarakat Tasikmalaya Kontemporer dalam Kegiatan Bordir

Tabel 27 Karakteristik Menak Lama dan Menak Baru

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Dinamika Industri Bordir Di Tasikmalaya: Studi Etika Moral Ekonomi Islam Dan Sunda

Gambar 2 Peta Kota Tasikmalaya

(16)

Pengusaha Islami-Sunda

Gambar 7 Bagan Jaringan Sosial Pengusaha Islami-Sundanis Gambar 8 Bagan tindakan ekonomi tipe pengusaha Sunda-Islami Gambar 9 Jaringan Sosial Pengusaha Sunda Islam

Gambar 10 Bagan keterlekatan tindakan ekonomi pada nilai-nilai ekonomi modern Gambar 11 Jaringan Sosial Pengusaha Sunda Kapitalis

Gambar 12 Bagan Analisis Perkembangan, Stagnan, dan Rentan pada Tipologi Pengusaha Bordir

Gambar 13 Suksesi Kepemimpinan/Kaderisasi Perusahaan Bordir Tasikmalaya Gambar 14 Bagan Ketahanan Industri Bordir Tasikmalaya

Gambar 15 Gambar Transformasi Menak-Cacah dari Feodal-Tradional ke Modern-Ekonomi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Foto Kegiatan Usaha Bordir Lampiran 2 Transkrip Wawancara

(17)

Amanah; sesuatu yang dipercayakan Bageur: baik dalam perbuatan Bener: benar dalam bertindak

Bengkung ngariung bongkok ngoronyok : melakukan sesuatu selalu berbarengan Cageur: sehat jiwa raga

Cengkau: perantara antara pengusaha dan pekerja di luar perusahaan Etika: kajian tentang baik dan buruk

Etika islami: nilai moral baik dan buruk berdasarkan ajaran Islam Halal: sesuatu yang dibolehkan berdasarkan ajaran Islam

Ikhlas: perbuatan tanpa mengharapkan sesuatu Ikhtiar: berusaha untuk melakukan yang terbaik

Islam-sundanis: akulturasi Islam dan Sunda dengan nilai Islam yang lebih dominan

Kacai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak: bersama-sama dalam suka dan duka Embeddedness : keterlekatan

Makloon: pemberian jasa dalam rangka penyelesaian pekerjaan

Mun teu ngaprek moal nyapek, mun teu ngareh moal ngarih, mun teu ngakal moal ngakeul; bekerja keras untuk mendapatkan hasil

Moral: nilai baik dan buruk yang dipraktekan dalam kehidupan Overembedded: keterlekatan lebih kuat

Oversocialized: tindakan ekonomi tunduk dan patuh pada nilai, norma, adat istiadat dan agama, yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan

Pinter: cerdas

Rasionalitas: pola pikir untuk bertindak sesuai dengan nalar dan logika manusia Riba’: larangan Islam dalam ekonomi karena menyimpang dari aturan ajaran Islam Sabar: menerima peristiwa yang buruk tanpa mengeluh

Sauyunan: bersama-sama dalam keadaan apapun Silih asah; saling berbagi kemampuan

Silih asih: saling menyayangi Silih asuh: saling menjaga Singer: mawas diri

Sunda Islami: akulturasi Islam dan Sunda dengan nilai Sunda yang lebih dominan

Tawakal: bekerja keras dan hasilnya diserahkan kepada Tuhan YME Underembedded: keterlekatan lebih lemah

(18)

Latar Belakang

UKM di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi. Selain untuk meningkatkan pendapatan, UKM juga berperan untuk pemerataan pendapatan. Berdasarkan data BPS dan Kementrian Koperasi (2010), bahwa eksistensi UKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia. Pertama, jumlah industrinya yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja (mengurangi angka pengangguran) dan kemiskinan, dan ketiga, kontribusi UKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 56% dari total PDB di tahun 2010. Di samping itu UKM juga memiliki peran yang besar dalam ketahanan terhadap krisis terutama krisis ekonomi dan moneter tahun 1997. Bahkan, UKM sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor produknya.

UKM di negara-negara sedang berkembang pada saat ini sedang menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan ekonomi, politik dan pembangunan yang bisa menjadi peluang maupun ancaman. Permasalahan dan tantangan tersebut diantaranya adalah globalisasi; kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan; industrialisasi, pertanian dan informalisasi ekonomi; korupsi, kebocoran dan inefisiensi; utang luar negeri; lingkungan (ekologi) dan birokrasi (Damanhuri 2012: 79-80).

Ketika perekonomian Indonesia dihadapkan kepada krisis yag multi dimensi, industri kecil menengah (UKM) tetap bertahan dan mampu berperan untuk melaksanakan fungsinya baik dalam memproduksi barang dan jasa di tengah kondisi usaha besar yang tidak mampu mempertahankan eksistensinya. Hal ini cukup beralasan mengingat sektor usaha kecil dan menengah (UKM) memiliki prospek untuk dikembangkan, juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan usaha besar dilihat dari skala usaha, jumlah tenaga kerja, dan kapasitas produksi sehingga memiliki ketangguhan dan ketahanan dalam menjaga kelangsungan usaha.

Berdasarkan data dari kementrian Koperasi dan UKM, pada tahun 2013 jumlah UKM di Indonesia mencapai 56,2 juta unit dan mampu menyerap 97,2% tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada. Pada tahun berikutnya, tahun 2014, pelaku usaha di Indonesia sebanyak 58 juta pelaku, dan 98,7 % adalah pelaku UKM (Kementrian Koperasi dan UKM, 2014). Walaupun demikian, di samping mengalami pertumbuhan, UKM di Indonesia sendiri banyak yang tidak dapat bertahan atau sulit berkembang bahkan mengalami kegagalan.

Sementara itu badai krisis ekonomi yang berkepanjangan mengancam keberadaan UMKM akibat daya beli masyarakat yang menurun karena lebih memprioritaskan kebutuhan pokok. Faktor lain yang menyebabkan industri kecil gulung tikar adalah meningkatnya harga bahan baku (terutama yang berasal dari impor), menurunnya pemasaran, kesulitan memperoleh pinjaman modal, dan keterbatasan akses informasi memperkuat alasan eksistensi industri kecil terancam (Nagib Et al. 2000).

(19)

dipelopori putri seorang bupati Tasikmalaya dalam lapisan kaum menak1, yang belajar membordir dari orang Belanda, sebagai passion atau kegemaran. Alat yang digunakan pada waktu itu masih sederhana menggunakan mesin kejek2 yang dioperasikan secara manual. Perkembangan selanjutnya kerajinan bordir ini tidak hanya dipelajari dan dimiliki oleh kalangan menak dan keturunannya tetapi sudah merambah kepada masyarakat kalangan santana dan rakyat kecil (cacah/somah) yang bekerja sebagai petani, sebagai bagian dari pekerjaan sampingan mereka (Lubis,1998:5; Falah,2010:136-140).

Sampai saat ini, industri bordir di Tasikmalaya sudah puluhan tahun bahkan hampir satu abad, artinya sudah kurang lebih dari dua generasi usaha ini turun temurun meskipun mengalami pasang surut. UKM bordir dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan. Sampai tahun 2014, jumlah industri bordir di Tasikmalaya, yang berpenduduk 657.217 orang, mencapai 1371 unit industri, yang melibatkan 13856 pekerja ( per unit usaha terdiri 1-60 pekerja)3, sedangkan tahun 2012 jumlah UKM industri bordir sebanyak 1317 unit yang melibatkan tenaga kerja sebanyak 12898 orang (Dinas Industri Perdagangan dan UKM, kota Tasikmalaya, 2014).

Industri bordir di Tasikmalaya terpusat di daerah Kawalu, dengan jumlah industri sebanyak 1024 unit dengan 9828 pekerja, sehingga melibatkan 10852 orang (pengusaha dengan tenaga kerjanya). Kecamatan Kawalu yang berpenduduk 84781 orang, sebagian besar mata pencahariannya adalah petani, dan saat ini 12,8% masyarakat Kawalu terlibat dalam industri bordir yang sebagian besar berada di desa Tanjung (Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Tasikmalaya, 2012)

Mayoritas penduduk kecamatan Kawalu Tasikmalaya bergerak dalam bidang pertanian tetapi masyarakat desa Tanjung di kecamatan Kawalu Tasikmalaya ini sebagian besar bekerja atau berpenghidupan dari non pertanian yaitu industri bordir. Industri bordir ini menghadirkan peluang usaha yang luar biasa massif bagi penduduk sekitar dan menghasilkan devisa bagi negara karena berhasil diekspor ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Afrika dan Timur Tengah. Hal ini menunjukkan adanya transformasi sosial yang begitu besar pada masyarakat Kawalu Tasikmalaya sejak dekade tahun 1980an dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri, dan ekonomi industri bordir tetap tegar bertahan meski berbagai cobaan dan krisis yang menghadang.

Kebertahanan suatu usaha (industri) dikaji dari perspektif ilmu yang berbeda-beda dan mendapatkan hasil yang berbeda-beda pula. Ada yang mengkaji dari sisi ilmu manajemen, psikologi, theologi, ekonomi, maupun sosiologi. Khususnya dalam kajian

1 Pada masyarakat Sunda sekitar abad ke 19 dan awal abad 20 status sosial dibedakan dalam tiga lapisan yaitu Menak, Santana dan Cacah atau Somah. Menak menduduki status paling tinggi, biasanya sebutan kalangan bangsawan dan keturunannya. Sebutan ini ditujukan kepada bupati dan keturunannya yang pada awalnya keturunan Raja-raja Sunda. Panggilan untuk kaum Menak ini biasanya Raden atau Juragan. Sedangkan panggilan untuk kaum Santana adalah Asep, Ujang, Agus dan Mas .(Lubis,1997: 5). Santana ini adalah keturunan menak yang menikah dengan golongan di bawahnya (cacah). Golongan Santana berada diantara golongan menak dan golongan cacah. Sedangkan cacah atau somah merupakan masyarakat biasa yang berada pada lapisan terendah. Masing-masing lapisan itu memiliki karakteristik yang berbeda baik dalam sistem maupun perilaku sosial. Seiring dengan perubahan zaman modern, maka pelapisan sosial tersebut tidak ada lagi. (Lubis, 1997: 5)

2Mesin kejek adalah mesin jahit yang digerakkan oleh tangan dan kaki secara manual.

(20)

sosiologi ekonomi, bertahannya suatu usaha industri ini disebabkan oleh tindakan ekonomi aktor yang terlibat dalam jaringan sosial usaha tersebut. Tindakan ekonomi dalam konteks industri merupakan tindakan sosial. Hal ini ditegaskan oleh Weber (1978: 158-164) ; Swedberg, 1998; Boudon, Raymond and Cherkaoui, 2000, 303-308), bahwa tindakan ekonomi merupakan tindakan sosial yang berorientasi pada ekonomi (economically oriented) untuk memenuhi suatu kebutuhan (utility). Menurut Swedberg dan Granovetter (1992: 6); (1) Economic action is form of social action (Tindakan ekonomi adalah suatu bentuk tindakan sosial) ; (2) economic action is socially situated (tindakan ekonomi disituasikan secara sosial); (3) Economic institutions are social constructions (institusi-institusi ekonomi dikonstruksi secara sosial).

Terdapat perbedaan pandangan dalam melihat tindakan ekonomi masyarakat. Pandangan ekonomi klasik yang digawangi oleh Smith (1776) dan dikembangkan dalam ekonomi neoklasik berasumsi bahwa seseorang melakukan tindakan ekonomi dengan prinsip maksimalisasi keuntungan dan meminimalisasi biaya. Untung dan rugi merupakan hal utama yang dijadikan sebagai pertimbangan, meskipun harus melanggar nilai nilai norma, agama maupun budaya. Prinsip dasar ekonomi mazhab ekonomi neoklasik selalu membatasi pandangannya pada ranah individu yang masing masing memiliki interest dan harapan atas kegunaan (utility). Artinya dalam hal ini tindakan ekonomi berorientasi pada preferensi individu yang mengacu pada kepentingan dan kepuasan individu semata. Dalam pandangan Weber (1978) tindakan ini yang disebut tindakan rasional instrumental atau tindakan rasional formal (Polanyi, 2003). Sedangkan dalam pandangan yang berbeda bahwa tindakan ekonomi seseorang itu dipengaruhi atau berorientasi pada nilai-nilai rasional (Weber, 1978) atau tindakan rasional substantif (Polanyi, 2003).

Tindakan ekonomi yang dilakukan seseorang adalah dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraannya. Dalam pendekatan ekonomi neo-klasik, tindakan ekonomi hanya dipengaruhi oleh pertimbangan rasional. Faktor non rasional (politik, sosial, agama, nilai budaya atau norma) tidak dipertimbangkan karena dinggap tidak rasional. Berbeda dengan pandangan ekonomi neo-klasik, dalam pandangan sosiologi ekonomi, setiap tindakan ekonomi aktor senantiasa terbentuk karena adanya faktor ekonomi dan non ekonomi yang bekerja saling mempengaruhi secara kontinyu (Swedberg, 1994). Artinya tindakan ekonomi tersebut di satu sisi memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan (rasionalitas ekonomi) dan di sisi lain, faktor non ekonomi (nilai, norma, agama, jaringan dan struktur yang ada akan menjadi pertimbangan dalam tindakannya). Di samping itu, tindakan ekonomi aktor selain diarahkan pada kepentingan materi dan berorientasi pada utilility juga menempatkan aktor lain dalam pertimbangannya (Swedberg, 1998). Tindakan ekonomi juga diarahkan oleh kebiasaan (habit), tradisi, dan emosi. (Swedberg, 1998; Weber, 1978).

Berkaitan dengan pandangan sosiologi ekonomi yang antara lain menyebutkan bahwa setiap tindakan ekonomi aktor senantiasa menempatkan aktor lain dalam setiap pertimbangannya. Hal ini sejalan dengan teori embeddedness (keterlekatan) yang dikemukakan oleh Granovetter. Teori embeddedness Granovetter berbicara tentang keterlekatan tindakan ekonomi dalam jaringan hubungan pribadi dengan aktor lain yang disebut relational embeddedness, dan jaringan dalam kelembagaan yang disebut structural embeddedness, seperti pemerintahan, pasar, atau lembaga lain (Granovetter dan Swedberg, 1992; Damsar, 2009).

(21)

Granovetter pengikut Weber, tetapi dia memiliki pandangan yang berbeda tentang tindakan ekonomi seseorang. Aktor melakukan tindakan ekonomi itu secara sosial tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada motif-motif individu maupun nilai-nilai yang dianutnya. Tindakan ekonomi melekat dalam jaringan relasi sosial maupun institusi sosial. Oleh karena itu, tindakan ekonomi yang dilakukan setiap individu tidak bisa dilepaskan dari hubungan sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Konsep seperti memperkuat kerangka pemikiran bahwa nilai-nilai budaya dan agama memiliki pengaruh kuat dalam mendorong kelompok-kelompok masyarakat di pedesaan maupun perkotaan. Adapun menurut Victor Nee (2003), nilai-nilai adat kebiasaan, nilai kepercayaan (agama), norma-norma serta institusi-institusi formal maupun informal mempengaruhi proses pengembangan ekonomi masyarakat. Selanjutnya Nee (2003), menegaskan adanya mekanisme sosial dimana di dalamnya terdapat hubungan keterkaitan dan berkelindan antara unsur formal (state rules) dan unsur informal seperti nilai-nilai agama (share belief), jaringan sosial dan keterlekatan sosial (social embeddedness) menurut konteks sosial budaya tertentu, yang kemudian menjadi basis bagi individu melakukan tindakan sosial guna mencapai kepentingan-kepentingan ekonominya. Pendekatan tersebut menelaah keteraturan struktur kelembagaan formal yang bersinergi dengan kelembagaan informal yang membentuk jejaring sosial dalam mewadahi dan memotivasi serta mengatur tindakan ekonomi. Pada dasarnya apa yang disampaikan Nee (2003) dalam New Institutionalism adalah gabungan dari pemikiran teori pilihan rasional dikemukakan Coleman, teori ekonomi institusional dan teori keterlekatan sosial (embeddedness theory) yang digagas Granovetter.

Konsekuensi dari penggunaan teori tindakan ekonomi mazhab Weberian di atas (Granovetter dan Swedberg) terhadap industri bordir Tasikmalaya, perlu diidentifikasi yang berkaitan relasi antar aktor dan struktur kelembagaan serta nilai-nilai yang mempegaruhi tindakan ekonomi pengusaha bordir Tasikmalaya. Nilai-nilai yang berkembang dalam komunitas bordir Tasikmalaya ini didominasi oleh nilai-nilai moral keagamaan dan budaya. Agama yang dominan dianut oleh pengusaha bordir Tasikmalaya adalah agama Islam (Falah,2010:228), dan budaya yang melekat adalah budaya Sunda (Ekadjati, 1995:14).4

Sehubungan dengan hal di atas maka kajian yang berkaitan dengan tindakan rasionalitas ekonomi dan nilai-nilai etika agama adalah karya Weber (1976) “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”. Dalam karyanya ini Weber mengkaji tentang bagaimana seorang aktor dapat memakmurkan dunia. Caranya adalah dengan bekerja keras, hidup hemat, tidak berfoya-foya, dan menabung. Penganut Calvinisme ini yang menarik perhatian Weber karena mereka rata-rata pebisnis yang sukses. Berbeda dengan penganut Katolik yang menurut Weber tidak sesukses pemeluk Protestan. Keuntungan dari hasil usaha/bisnis tersebut tidak boleh dihambur-hamburkan dan diakumulasikan dengan modal sebelumnya, sehingga secara tidak langsung modal terus mengalami akumulasi. Hal inilah yang menjelaskan tesis Weber tentang hubungan antara etika Protestan dan berkembangnya kapitalisme di Eropa Barat.`

Dalam konteks Islam aktivitas ekonomi merupakan bagian integral dari kehidupan agama. Menurut Chapra (2001) dalam paradigma Islam memberi tekanan pada terintegrasinya nilai-nilai moral dan persaudaraan kemanusiaan dengan keadilan sosial ekonomi yang memiliki tujuan akhir kesejahteraan bersama (falah). Hal ini

(22)

mengindikasikan bahwa dalam pemikiran keilmuan dalam dunia Islam selama ini mengacu paradigma integratif5. Dalam Islam yang berkaitan dengan tindakan ekonomi ada beberapa ajaran, di antaranya adalah masalah fiqh muamalah6 yang sekarang berkembang menjadi ekonomi syari’ah (Amalia, 2009) dan nilai-nilai yang menjadi landasan ekonomi Islam atau etos spiritual individu yaitu iman, ikhsan, ikhlas dan taqwa. Nilai-nilai tersebut diimplementasikan dalam bentuk kesalehan ilahiyah, individual, dan sosial yang menjembatani terciptanya kesejahteraan hidup spiritual dan material. Islam mengajarkan bahwa tindakan ekonomi yang harus dilakukan oleh aktor yang terlibat dalam aktifitas ekonomi adalah untuk memaksimalisasi maslahat. Konsep maslahat ini mengacu pada nilai-nilai kemanfaatan, keberkahan dan keselamatan dunia dan akhirat. Adapun pengejawantahan dari nilai-nilai yang menjadi kewajiban semua umat Islam di antaranya adalah mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah yang menunjukkan umat Islam dianjurkan mempunyai harta lebih, dan berbagi dengan orang lain yang berhak (QS. 2: 4). Di samping itu ada nilai-nilai Islam lainnya, yang dapat mempengaruhi tindakan ekonomi di antaranya, nilai-nilai amanah (trust), jujur, adil, dan lain-lain. Bahkan, dari nilai-nilai ajaran Islam terbentuk berbagai kelembagaan Islam, di antaranya, lembaga keuangan syari’ah, lembaga zakat, lembaga yatim piatu, dan lainnya.

Dalam konteks nilai-nilai budaya Sunda yang berkaitan langsung dengan tindakan ekonomi diantaranya adanya ungkapan peribahasa “mun teu ngoprek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih” (kalau tidak rajin bekerja tidak akan mengunyah, kalau tidak berfikir dan mencari rezeki tidak akan mengaduk nasi) (Warnaen, 1987: 26). Makna dari peribahasa di atas adalah anjuran untuk mencari rezeki atau harta kekayaan dengan berusaha sekuat tenaga dan segala daya upaya, karena kalau tidak diusahakan sendiri tidak akan mendapatkan apa-apa (kekayaan). Artinya bahwa kekayaan itu harus dicari dan diusahakan sendiri. Selain itu, ada beberapa nilai budaya Sunda yang mempengaruhi tindakan ekonomi, di antaranya adalah nilai silih asah-silih asih-silih asuh yang menganjurkan untuk berbagi termasuk dalam kegiatan usaha, nilai cageur-bageur-bener-pinter-singer yang menganjurkan dalam setiap tindakan perlu sehat-baik-benar-cerdas-cekatan yang teraktualiasasi dalam aktifitas ekonomi (Setiawan, 2014).

Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam dan budaya Sunda tentang tindakan ekonomi, di satu sisi menekankan pada anjuran akumulasi kekayaan, di sisi lain tetap diimbangi atau dibatasi dengan memikirkan nasib orang lain agar dapat berbagi demi kesejahteraan bersama. Begitu juga dalam kajian Weber tentang nilai-nilai Calvinisme adalah menganjurkan untuk mengakumulasi modal melalui tindakan hidup sederhana, tidak boros dan rajin menabung, lebih bersifat individual yang tetapi memiliki rasionalitas ekonomi.

Masyarakat Tasikmalaya yang kehidupannya diwarnai budaya Sunda7 dan Islam, pada saat ini, perilaku ekonomi mereka tidak luput dari gempuran etika ekonomi global

5 Tentang paradigma integratif lebih jelasnya lihat dalam Ridzer, Modern Sociological Theory,

(2000).

6 Dalam ajaran hukum (fiqh) Islam ada empat bagian, yaitu, fiqh ibadah dan fiqh mua’amalah, Fiqh

Jinayah dan fiqh Munakahat. Fqh ibadah membahas praktek ritual Islam. Fiqh mu’amalah khusus membicarakan tentang tindakan ekonomi dalam perspektif Islam, fiqh jinayat menjelaskan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang agama dan fiqh munakahat adalah fiqh yang membahas tentang tatacara atau Undang-Undang pernikahan dalam islam.

7 Dalam budaya Sunda dikenal istilah Sunda Priangan. Secara geografis meliputi wilayah Bandung,

(23)

yang memiliki karakteristik etika ekonomi kapitalis dan liberalis. Etika kapitalis dan liberalis inilah yang sudah merasuk hampir ke seluruh pelosok dunia bahkan desa-desa yang ada di negara-negara sedang berkembang, termasuk desa-desa di Tasikmalaya. Etika ekonomi global ini mulai menggerus etika ekonomi lokal yang lebih mengutamakan kebersamaan dan solidaritas.

Oleh karena itu, berdasarkan teori-teori dan penjelasan di atas, masyarakat melakukan kegiatan ekonomi bisa dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang beralasan tindakan ekonominya over/ under embedded (terlekat kuat atau lemah) dengan nilai-nilai yang dianut bersama (shared belelief), melalui jaringan hubungan pribadi ataupun kelembagaan (relational embeddedness maupun structural embeddedness). Shared belief itu bisa berasal dari nilai-nilai agama, budaya maupun lainnya. Hal inilah yang akan dikaji dalam tindakan ekonomi masyarakat Usaha Kecil dan Menengah (UKM) bordir di Tasikmalaya, khususnya tindakan ekonomi pengusaha bordir yang diduga dipengaruhi oleh etika moral ekonomi Islam dan Sunda dalam jaringan-jaringan individu maupun kelompok.

Perkembangan industri bordir di Tasikmalaya yang seakan tidak terpengaruh dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi menimbulkan dugaan bahwa tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para pengusaha bordir tidak semata-mata berlandaskan rasionalitas ekonomi semata, tapi juga oleh aspek lain, seperti diketahui para pengusaha bordir di Tasikmalaya dekat dengan institusi keagamaan seperti pesantren, yayasan yatim piatu, lembaga keuangan syariah dan lain-lain yang syarat dengan nilai-nilai Islam. Selain itu latar belakang budaya lokal Sunda yang mempunyai nilai persaudaraan dan solidaritas yang kuat (silih asih silih asah silih asuh, kacai jadi saleuwi ka darat jadi salebak, bengkung ngariung bongkok ngaronyok/sauyunan) tampak mewarnai tindakan-tindakan masyarakat yang diduga mempengaruhi tindakan para pengusaha bordir ini. Kedua hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah ada pengaruh dari nilai-nilai agama Islam dan budaya Sunda pada tindakan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya yang terlekat dalam jaringan sosial sehingga industri bordir dapat bertahan?

.

Rumusan Masalah

Pada awalnya komunitas perajin bordir merupakan industri kerajinan rakyat, sehingga industri yang dalam pengelolaannya lebih bersifat padat karya, dikerjakan dalam lingkup kecil atau dengan tenaga kerja di lingkungan keluarga saja. Nilai-nilai sosio kultural ekonomi subsisten8 pedesaan masih banyak mewarnai kalkulasi rasionalitas ekonomi mereka dalam mengembangkan aktivitas perdagangan. Dalam hubungan sosial produksi mereka lebih banyak mengedepankan nilai moralitas ekonomi dari pada maksimalisasi keuntungan (rasionalitas formal). Dalam perkembangannya perajin bordir banyak yang mengembangkan usahanya karena mengikuti permintaan pasar dan mereka banyak yang beralih menjadi pengusaha dengan jumlah tenaga kerja sampai ratusan orang. Bentuk produksi dan distribusinyapun mengalami perubahan seiring dengan sistem ekonomi pasar. Sistem ekonomi pasar dengan basis industri modern berlawanan dengan sistem ekonomi tradisional dengan basis kerajinan rakyat. Industri modern dalam pengelolaannya lebih bersifat padat modal, proses produksinya dilakukan secara massal.

8 Ekonomi subsisten adalah suatu kegiatan produk ekonomi tidak berorientasi pasar, tetapi untuk

(24)

Sedangkan industri tradisional pengelolaannya bersifat padat karya dan lebih bersifat kekeluargaan serta lingkup lebih kecil.

Pengusaha bordir Tasikmalaya sebagai salah satu aktor sosial, dalam keadaan sulit sekalipun secara ekonomi berhasil melakukan akumulasi kekayaan, bahkan ketika terjadi krisis ekonomi 1997/ 1998, kegiatan usaha mereka menjadi salah satu pilar yang ikut menyelematkan dari keterpurukan ekonomi bangsa. Mereka memiliki semangat entrepreneur yang tinggi dan adaptif. Tidak hanya menyumbang dalam penyerapan tenaga kerja, namun juga memberikan sumbangan terhadap pendapatan asli daerah, hingga menciptakan berbagai peluang usaha lainnya yang menjadi penopang usaha inti. Sebagai “golongan sosial strategis” meminjam istilah Sitorus (1999), para pengusaha bordir merupakan kekuatan sosial potensil dalam rangka transformasi sosial tidak hanya bagi pengusaha bordir tapi juga masyarakat lainnya di wilayah Tasikmalaya, dari masyarakat petani tradisional menuju masyarakat industri (bordir).

Bertahannya ekonomi industri bordir di Tasikmalaya dari berbagai krisis dan masalah yang menghempaskan usaha mereka, sejalan dengan nilai-nilai kewirausahaan Islami dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam perilaku para pengusaha seperti dalam hubungan jaringan kerja dengan sesama pengusaha, pekerja, serta pedagang. Mereka selalu berusaha untuk menjaga nilai amanah (trust) atau saling percaya, jujur, dan adil. Begitu pula nilai-nilai Sunda yang mempengaruhi masyarakat Tasikmalaya diantaranya silih-asih silih-asah silih-asuh yang memiliki makna sesama warga untuk saling menyayangi dan mengayomi yang termanifestasikan dalam aktifitas ekonominya.

Sebagaimana diuraikan di atas, bagaimana teori embeddedness (Granovetter) dan isomorphism (D’Magio &Powell) sebagai teori kelembagaan baru, ‘bekerja’ sehingga dapat menjadi alat analisis dalam mengkaji ekonomi industri bordir dapat bertahan. Masyarakat Tasikmalaya berbudaya Sunda dan beragama Islam, yang dengan etika moral ekonomi Islam dan Sundanya diduga mempengaruhi ketahanan dan perkembangan industri bordir melalui jaringan sosial baik secara individu dengan individu maupun kelompok ataupun kelembagaan, yang sampai saat ini sudah bertahan puluhan tahun lamanya dan mengalami perkembangan pasang surut. Dengan demikian masalah utama yang ingin dijawab dalam penelitian sosiologi ekonomi yang terkait industri bordir Tasikmalaya adalah “ Mengapa industri bordir di Tasikmalaya dapat bertahan sampai saat ini hampir satu abad?”

Dalam perkembangan industri bordir Tasikmalaya, ada dua peristiwa besar yang berpengaruh signifikan, yaitu, peristiwa meletusnya gunung Galunggung tahun 1982, dan krisis moneter tahun 1997/1998. Saat itu produk pertanian merosot tajam karena lahan sebagian besar tertutup debu vulkanik, sehingga lahan yang bisa ditanami sangat terbatas. Akibatnya masyarakat yang sebelumnya bekerja di pertanian terpaksa beralih pada pekerjaan non pertanian, seperti kerajinan tangan. Sedangkan krisis moneter 1997/1998 mengakibatkan kembalinya masyarakat yang asalnya dari desa ke desa asalnya untuk mencari pekerjaan. Mereka ini mencari sumber nafkah dari kegiatan bordir karena seperti dijelaskan sebelumnya lahan amat terbatas sedangkan masyarakat yang butuh bekerja sangat banyak.

(25)

bermacam-macam perlengkapan rumah tangga seperti taplak meja, seprei, produk ekspor, sampai pada perlengkapan pakaian muslim yang saat ini sangat diminati oleh masyarakat. Produk bordir dari UKM Tasikmalaya ini sanggup bertahan sampai puluhan tahun lamanya sejak awal kemunculan kerajinan bordir, sementara UKM-UKM lain tidak mampu bertahan terhadap krisis ekonomi maupun pasar global. Apa yang menyebabkan usaha UKM ini bisa bertahan dan berkembang sampai saat ini? Mengapa industri bordir di Tasikmalaya mampu bertahan dan berkembang dalam krisis sosial ekonomi selama ini? Apakah industri-industri yang sejak awal diwarnai kultur Sunda dan Islam merupakan suatu aspek yang menyebabkan industri tetap bertahan sampai sekarang. Mengapa perkembangan industri bordir terjadi mobilitas sosial dari aktor-aktornya, mengingat bordir yang dulunya merupakan produk eksklusif dari kaum menak (turunan ningrat), saat ini banyak diproduksi dan dipakai masyarakat biasa (cacah) ?

Sejalan dengan pendapat Granovetter adanya keterlekatan (embeddedness) dalam jaringan aktor-aktor, dan adanya kesamaan bentuk (isomorphism) etika ekonomi mereka dalam industri bordir bisa terjadi antara pengusaha-pengusaha yang berlatar belakang etnis Sunda dengan aktor-aktor yang berasal dari jaringan yang terbentuk dari kelembagaan Islam. Dengan demikian akan dilihat berbagai tipologi pengusaha dalam jaringan relasi antara budaya Sunda dengan kelembagaan-kelembagaan Islam. Sejauhmana keterlekatan (embeddedness) kedua aspek ini turut membentuk entepreneurship pada pengusaha-pengusaha bordir di Tasikmalaya. Bagaimana mereka memaknai perilaku ekonomi dalam hal ini antara aktor-aktor etnis Sunda dan Islam?

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana industri bordir di Tasikmalaya dapat bertahan sampai saat ini selama hampir satu abad?

a. Faktor-faktor apa yang membuat ketahanan industri bordir di Tasikmalaya?

b. Bagaimana tindakan ekonomi pengusaha bordir yang terlekat dengan etika moral ekonomi islami dalam jaringan sosial sehingga industri bertahan? 2. Bagaimanakah tipologi pengusaha bordir di Tasikmalaya yang terbentuk

berdasarkan tindakan ekonominya sehingga industri bordir dapat bertahan ? 3. Pada kelompok sosial manakah (Menak dan Cacah/Somah) yang berpengaruh

terhadap ketahanan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan:

1. Menganalisis faktor utama yang menyebabkan industri bordir di Tasikmalaya dapat bertahan sampai saat ini yang telah mencapai hampir satu abad.

2. Menganalisis tindakan ekonomi pengusaha bordir yang terlekat dengan etika moral ekonomi islami dalam jaringan sosial sehingga industri bertahan. 3. Menganalis tipologi pengusaha bordir di Tasikmalaya yang terbentuk

(26)

4. Menganalisis dan mengidentifikasi pada kelompok sosial pengusaha yang mana (Menak dan Cacah), yang mempengaruhi ketahanan ekonomi industri bordir di Tasikmalaya

Hipotesis Pengarah

Hipotesis pengarah penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi atas suatu teori, maupun yang dapat berfungsi sebagai petunjuk kemungkinan arah penelitian dan sama sekali tidak mengikat. Hipotesis pengarah yang dirumuskan bersifat fleksibel, longgar dan terbuka untuk dilakukan perubahan-perubahan bahkan penggantian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Karena hipotesis pengarah tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka hipotesis pengarah dalam penelitian ini merupakan penjabaran dari pertanyaan penelitian.

1. Embeddedness (keterlekatan) antara etika moral Islami dan etika budaya Sunda dalam jaringan sosial kemitraan, perkawinan (intermarriage), dan suksesi kepemimpinan transisional mempengaruhi tindakan ekonomi pengusaha bordir sehingga industri dapat bertahan

2. Tindakan ekonomi yang terlekat (embedded) dengan etika moral Islami dan Sunda membentuk tipologi pengusaha bordir yang berbeda.

3. Etika moral Islam dan Sunda pada kelas sosial pengusaha bordir Menak mempengaruhi ketahanan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya

Kegunaan Penelitian

Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan teori dan konsep sosiologi ekonomi pedesaan khususnya menyangkut ketahanan ekonomi, mobilitas sosial ekonomi, keterlekatan tindakan ekonomi, kelembagaan dan tipologi pengusaha (aktor). Kegunaan praktis diharapkan para pihak yang terkait, terutama pengambil kebijakan agar dapat menciptakan regulasi yang menguntungkan semua pihak, sehingga pada gilirannya akan tercipta kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat di tingkat lokal. Lebih jauhnya diharapkan mampu menjadi model untuk pemberdayaan masyarakat di wilayah lain.

Novelty

1. Penelitian tentang studi Ketahanan Industri Bordir ini adalah melalui pendekatan etika moral ekonomi (Islami) dan budaya (Sunda), sedangkan studi-studi sebelumnya menggunakan analisis etika moral budaya, atau etika moral agama saja.

2. Penelitian ini menggunakan kerangka teori dan konsep keterlekatan (embeddedness) dari Granovetter dan kesamaan bentuk etika (isomorphism) dari D’Magio & Powell, sedangkan kajian-kajian sebelumnya hanya menggunakan teori embeddedness.

(27)

masyarakat Sunda (khususnya tanah Priangan), sudah tidak ada lagi, akan tetapi industri bordir memunculkan golongan cacah (masyarakat kebanyakan/petani) bertransformasi menjadi menak baru (elit sosial ekonomi baru) dengan karakteristik yang hampir sama.

4. Penelitian ini membuktikan bahwa ketahanan dan keberlangsungan industri bordir di Tasikmalaya disebabkan adanya keterlekatan etika moral agama Islam dan budaya Sunda dalam tindakan ekonomi pengusaha melalui jaringan sosial, sehingga novelty yang diajukan adalah teori keterlekatan Islam-kultural (Islamy-cultural embeddednesstheory).

5. Ketahanan dan perkembangan industri bordir di Tasikmalaya juga diperkuat oleh struktur jaringan, khususnya keterlibatan dari pemerintah dalam jaringan sosial ekonomi produksi dan distribusi.

Ruang lingkup

Penelitian ini dibatasi pada kajian sosiologi ekonomi komunitas bordir di Tasikmalaya khususnya di kecamatan Kawalu yang berkaitan dengan ketahanan ekonomi industri bordir. Karena penelitian ini merupakan studi kasus, maka hasilnya tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh populasi (pengusaha bordir di Tasikmalaya).

Menurut Kamus besar bahasa Indonesia, ketahanan adalah daya tahan, kekuatan, stamina, imunitas, kekebalan, resistensi, Toleransi, kegigihan, keuletan, kekuatan/ketetapan hati, kesabaran, ketabahan, ketegaran. Ketahanan budaya adalah kekuatan dan keteguhan sikap suatu bangsa, dalam mempertahankan budaya asli, termasuk budaya daerah dari pengaruh budaya asing yang kemungkinan dapat merusak dan membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Ketahanan ekonomi adalah daya tahan, kegigihan, keuletan, kekuatan, kesabaran, ketabahan dalam segala aktifitas yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi.

(28)

State of The Art

Berbagai literatur yang peneliti review terbagi dalam tiga bagian yaitu hasil studi tentang tindakan ekonomi rasional yang terlekat dengan nilai moral agama, studi tentang keterlekatan (embeddedness) tindakan ekonomi dengan nilai-nilai budaya, studi tentang isomorphisme etika dan kelembagaan baru (new institutionalism dan neo-institutionalism), serta kajian industri pedesaan dan UKM yang dapat bertahan dan berkembang. Kajian sosiologis tentang tindakan ekonomi rasional dapat terlihat dari hasil studi-studi yang banyak dilakukan oleh sarjana luar (Barat dan non Barat) dan sarjana dalam negeri; diantaranya Weber (1976), Bellah (1992), Geertz (1983;1992), Peterson & Predenburg (2009), Castles (1992), Collins (1997), Kato (2014), Mujiburrahman (2009), Malik (2010), Faizal (2013), Wilde et.al (2010), Lenggono (2011) dan Ahmad (2013). Kajian tentang embeddedness atau keterlekatan tindakan ekonomi dapat terlihat dari hasil studi: DiMagio & Louch (1998), Kafi (2012), Iskandar (2012), dan Syukur (2013). Sedangkan studi yang berkaitan dengan isomorphisme dan kelembagaan baru diantaranya hasil studi; Holder Webb & Cohen (2012), Chua & Rahman (2010), dan Iskandar (2012) serta kajian bordir di Tasikmalaya; Yulianti (2007).

1. Hasil Studi tentang Hubungan Agama (Nilai Moral) dan Tindakan Rasional Ekonomi

Studi yang utama tentang hubungan agama dengan tindakan rasional ekonomi yang banyak dijadikan rujukan, meskipun masih menjadi perdebatan, adalah karya Weber (1976), “Protestant Ethic and The Spirit Capitalism”. Dalam karyanya ini Weber mengkaji tentang kemungkinan adanya hubungan antara nilai-nilai agama dengan perilaku ekonomi.9 Weber meneliti bagaimana masyarakat Eropa Barat yang mengalami perkembangan secara ekonomi sehingga mencapai semangat kapitalisme. Weber (1976), menemukan adanya nilai-nilai keagamaan (spirit) dalam Protestan khususnya Sekte Calvin yang puritan. Dalam ajaran Protestan ini adanya ”calling” (panggilan) yaitu konsepsi agama tentang tugas hidup yang ditentukan oleh Tuhan, yaitu harus bekerja sebagai tugas suci untuk mencapai keselamatan sebagai ummat terpilih. Dalam kerangka teologis semangat kapitalisme ini selaras dengan cara mengumpulkan kapital melalui ketekunan bekerja, hemat, perhitungan, rasional dan sanggup menahan diri. Sukses hidup yang dihasilkan oleh bekerja keras bisa dianggap sebagai pembenaran bahwa ia sebagai pemeluk agama merupakan orang yang terpilih. Abdullah (1979), menyebutkan “semangat kapitalisme”dimungkinkan oleh proses “rasionalisasi dunia”.

Studi lain yang berkaitan dengan suksesnya pengusaha karena karena keterlekatan nilai-nilai moral keagamaan dalam jaringan sosial adalah karya Bellah (1992), yang meneliti tentang Agama Budhis Tokugawa. Bagi Bellah, --yang mengkritisi karya Weber tentang etika religius yang terlalu menitikberatkan kepada motivasi pribadi-- dengan tidak menegasikan motivasi pribadi yang mempengaruhi perkembangan ekonomi Jepang, juga terkait dengan struktur kelembagaan tradisional dalam situasi-situasi tertentu. Dalam Tokugawa Religion, dibahas bagaimana pengaruh Budhisme Jodo serta Gerakan Hotoku dan gerakan Shingaku di Jepang yang memungkinkan terjadinya

9 Tesis Weber ini sampai sekarang sering diperdebatkan dan menjadi penelitian empiris dan tesisnya

(29)

kemajuan Jepang karena rasionalis tindakan. Sistem dan struktur sosial di Jepang struktur sosial meliputi gambaran sistem nilai, empat subsistem fungsional (ekonomi, politik, integrasi dan motivasional) serta unsur2 konkrit. Sistem nilai diutamakan dengan nilai politis yang lebih ditonjolkan dengan partikuler dan prestasi (peformance). Partikuler lebih ditunjukan dengan tanggungjawab lebih diutamakan pada kolektifitas seperti kepala keluarga, tuan feodal dan kaisar. Sistem politik juga sebagai nilai utama kesetiaan seperti para samurai kepada Shogun dan masyarakat umum kepada Kaisar secara sukarela. Aliran konfusius sangat mempengaruhi nilai moralitas para prajurit dan samurai dengan bushidonya yang intinya mengajarkan kepada kesetiaan, hidup hemat dan sederhana, menahan diri dan sikap rajin dan pengabdian diri yang tinggi serta penghargaan diri terhadap pengembangan ilmu. Nilai-nilai tersebut tidak hanya mempengaruhi para prajurit serta samurai tetapi pedagang, petani serta masyarakat awam. Gerakan hotoku adalah gerakan yang dipelopori seorang petani yang memilki rasa tanggungjawab moral serta untuk meningkatkan produksi para petani dalam sistem kekeluargaan dan kesetiaan dan patuh terhadap orang tua. Sedangkan singoku merupakan gerakan kaum pedagang di perkotaan yang dijadikan rujukan oleh gerakan petani di pedesaan.

Sejalan dengan penelitian Bellah, Collins (1997), berdasarkan hasil penelitiannya, menunjukkan motivasi agama yang mendorong umatnya untuk menjadi kapitalisme, tidak hanya berasal dari agama Kristiani Eropa, tetapi agama Budha di Jepang yang merubah komunitas petani menjadi pembuka jalan industri kapitalisme, pada era Tokugawa.

Karya Clifford Geertz (1983), “ The Religion of Java” yang diterjemahkan menjadi “Abangan Santri dan Priyai dalam Masyarakat Jawa”, membahas tentang masyarakat Islam di Jawa yang dia kategorikan menjadi tiga golongan yaitu golongan Santri, Priyayi dan Abangan. Golongan santri terdiri dari para pedagang tradisonal sukses yang dipengaruhi oleh nilai-nilai etika religius (Islam) juga dukungan struktur kelembagaan. Etika ekonomi para pedagang (kaum santri) ini adalah hemat, ulet dan muslim taat, sehingga dari sikap tersebut mendorong terciptanya rasionalitas ekonomi. Sedangkan struktur kelembagaan yang ada di Mojokuto adalah karena menjadi pusat perdagangan dan membentuk jaringan bisnis yang panjang dan padat. Pedagang merupakan tokoh-tokoh utama yang jumlahnya melebihi normal dalam kapasitas kota sebesar itu.

(30)

persamaan-persamaan yang kemudian muncul, ketika kedua golongan masyarakat tersebut muncul sebagai enterpreneurs di daerahnya masing-masing. Fakta-fakta tersebut terlihat dalam persamaan berikut; pertama, pada kedua masyarakat terjadi perubahan-perubahan yang memungkinkan munculnya economic rationality dan kemudian digunakan dalam kehidupan sehari-hari; Kedua, pada kedua masyarakat timbul suatu proses pertumbuhan dari nilai-nilai baru – semacam economic ethic – yang memberikan keleluasaan pada economic rationality untuk memainkan perannya dalam kehidupan masyarakat.

Penelitian Kato (2014) yang menyebutkan bahwa ekonomi kapitalis dalam Islam tidaklah asing sebagai teologi yang mendorong Muslim ikut berpartisipasi dalam bisnis. Dia menjelaskan bagaimana seorang muslim yang religius tetapi juga seorang pengusaha yang berhasil. Kato memberikan contoh kasus seorang ustadz yang terkenal dan dipercaya masyarakat yaitu Yusuf Mansur dengan strategi mengasimilasikan antara sedekah dan usaha Multi Level Marketing (MLM) nya. Penelitian Kato ini menunjukkan adanya nilai-nilai agama yang mendorong seseorang menjadi businessman melalui jaringan multi level marketing untuk mengembangkan usaha dalam berbagai bidang melalui penanaman modal bersama antar anggota.

Selanjutnya penelitian Petersen dan Vredenburg (2009) yang menunjukkan bahwa CSR perusahaan mempertimbangkan, tidak hanya moralitas bahkan ada perhitungan ekonomi, dan berdampak pada rasionalitas ekonomi perusahaan, di antaranya pengembangan pasar baru bagi perusahaan. Artinya ada hubungan antara etika moral dengan rasionalitas ekonomi. Melalui CSR perusahaan mendapat keuntungan secara ekonomi karena secara tidak langsung perusahaan tersebut mempromosikan produknya dan memperluas jaringan pemasaran melalui tempat-tempat baru yang diberi bantuan CSR.

Penelitian lain adalah apa yang dilakukan oleh Ahmad dan Kadir (2013), yang meneliti tentang karakteriktik entrepreneur dan praktek nilai-nilai Islam yang hasilnya berpengaruh terhadap kesusksesan pengusaha di Kelantan dan Selangor, Malaysia. Tindakan ekonomi dengan rasionalitas nilai inilah yang membuat para entrepreneur tersebut menjadi berhasil dalam usahanya

Penelitian Lenggono (2011) menggambarkan bagaimana pembentukan ekonomi lokal pada masyarakat Bugis di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kemunculan golongan sosial pengusaha perikanan lokal (Ponggawa) berasal dari golongan non elit atau kelas bawah dalam struktur sosial masyarakat Bugis yang feodal. Selain itu kemunculan Ponggawa ini merupakan hasil dari beroperasinya kebijakan pembangunan yang membuka “ruang” bagi terciptanya “berkah terselubung”, akibat absennya negara dalam mengelola hutan negara.

(31)

Lenggono juga mengungkapkan hubungan patron-klient antara Ponggawa dengan pengusaha migran yang lebih lemah, menciptakan hubungan eksploitatif terselubung dengan membangun mekanisme hutang (lunak namun mengikat), serta mengembangkan jalur perdagangan berlapis, bahkan melakukan eksploitasi dengan penciptaan struktur pasar yang monopolistis dan monopsonistis. Meskipun demikian, pola hubungannya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi passe’ (menolong) sehingga mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatif. Pola hubungan patron-klient yang adaptif inilah yang mampu menopang keberlangsungan ekonomi lokal berbasis pertambakan yang sarat persaingan dan ketidakpastian.

Apa yang telah dikaji oleh Lenggono (2011) dengan ekonomi lokal pengusaha ikan di Delta Mahakam berkaitan dengan para pengusaha yang dapat ‘melebarkan sayap’ usahanya ke berbagai bidang untuk menjadi kapitalis yang ekspansionis. Hal ini tidak terjadi pada pengusaha bordir di Tasikmalaya. Meskipun para pengusaha bordir ini usahanya sudah besar atau menjadi pengusaha sukses akan tetapi mereka tetap loyal dan berkomitmen dalam usaha bordir maupun usaha-usaha yang mendukung kegiatan bordir. Begitu juga studi Malik (2010), yang meneliti perubahan orientasi keagamaan orang Gu-Lakudo, sinkretis-mistik Islam dengan agama tradisi leluhur pada konsepsi Islam modern-rasional menumbuhkan etos ekonomi kompetitif bersumber pada nilai ajaran Islam dalam perdagangan. Malik menemukan adanya transformasi nilai-nilai agama mendorong terjadinya rasionalitas ekonomi pada pengusaha Gu-Lakudo. Penyatuan antara kegiatan keagamaan yang dilakukan di mesjid dan perdagangan di pasar yang didalangi seorang agen H Abdul Syukur. Temuan Malik ini berbeda dengan yang terjadi pada pengusaha bordir Tasikmalaya yang justru adanya perpaduan keterlekatan nilai-nilai agama dan budaya Sunda yang mendorong etos ekonomi pengusaha semakin menguat.

Penelitian Syukur (2013) tentang rasionalitas tindakan ekonomi penenun menunjukkan “mix rasionality” antara tindakan rasional formal dengan tindakan rasionalitas moral ekonomi dalam satu tindakan nyata. Tindakan mix-rasionalitas adalah tindakan ekonomi moral dan rasional yang menyatu dalam satu tindakan kompromistis.

Selanjutnya Syukur (2013), mengemukakan tiga tipe penenun yang memiliki tindakan berbeda dalam kehidupan sosial ekonominya. Tipe pertama, rasional moral lebih menonjol dari rasionalitas formal. Tipe kedua, Penenun ATBM yang tindakan sosial ekonominya cenderung seimbang antara tindakan rasional formal dengan tindakan rasional moralnya, sedangkan tipe ketiga, pengusaha tenun yang memiliki tindakan rasional formal yang lebih menonjol dibandingkan dengan rasional moral.

(32)

dan penenun ATBM) juga mendapatkan keuntungan ekonomi atas kerja (kain tenun yang dihasilkan oleh klien (buruh tenun).

Semua hasil studi tentang adanya hubungan antara etika moral (nilai-nilai agama dengan perilaku ekonomi, lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 1

Tabel 1 Studi penelitian terdahulu tentang hubungan nilai-nilai agama dengan perkembangan ekonomi

Peneliti Hasil Penetian

Weber (1976) Adanya Hubungan agama Protestan dengan

perkembangan ekonomi kapitalis di Eropa melalui tindakan rasional seperti hemat, hidup sederhana, menabung

Bellah (1992), Terdapat hubungan Nilai-nilai moral agama Tokugawa dengan perkembangan ekonomi di Jepang melalui gerakan Hotoku dan Singoku

Geertz (1983) Nilai -nilai etika religius (Islam) yang menghasilkan segolongan kaum enterpreneurs dari kalangan santri di Mojokuto karena adanya etika ekonomi hemat, ulet dan taat serta struktur kelembagaan perdagangan yang mendukung.

Peterson & Predenburg (2009)

Terdapat hubungan antara etika moral dengan rasionalitas ekonomi melalui jaringan CSR Collins (1997) Adanya hubungan Motivasi agama menjadi

perkembangan kapitalisme seperti di Eropa dan Jepang Kato (2014) Nilai-nilai agama yang mendorong seseorang menjadi

businessman melalui jaringan MLM

Mujiburrahman (2009) Tidak ada hubungan antara identitas agama dan ekonomi etnisitas

Malik (2010) Adanya transformasi nilai-nilai agama Islam mendorong terjadinya rasionalitas ekonomi pada pengusaha Gu-Lakudo

Lenggono (2011) nilai dasar “bekerja adalah ibadah ” yang bersumber dari ajaran agama Islam memunculkan golongan pengusaha lokal (Ponggawa) di Delta Mahakam melalui hubungan patron-klien dan jaringan berlapis serta absennya negara Ahmad dan Kadir

(2013)

Nilai -nilai Islam berpengaruh terhadap kesuksesan pengusaha di Kelantan dan Selangor, Malaysia Sumber: Data lapangan diolah, 2014

2. Hasil studi tentang Keterlekatan (Embeddedness) Tindakan Ekonomi dengan Nilai Budaya

(33)

dengan kekerbatan masyarakat Nagari, D’Magio dan Louch (1998) tentang keterlekatan dalam jaringan pertemanan dalam jual beli yang beresiko tinggi dan Kafi, et al. (2012) terkait dengan keterlekatan relasional pondok pesantren dengan santrinya.

Pengaruh kapitalisme terhadap perkembangan moda produksi komunitas petani kakao di Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang digambarkan oleh Fadjar (2009) semakin menguat. Hal ini terlihat dengan adanya perubahan moda produksi dari ladang berpindah (padi Ladang) menjadi moda produksi pertanian menetap (kakao untuk komoditas perdagangan). Perubahan moda produksi itu semakin menguat dengan digunakannya teknologi intensif. Dalam perubahan ini, elemen-elemen moda produksi kapitalis masuk merembes terhadap moda produksi non kapitalis namun tidak sampai menghilangkan elemen-elemen non kapitalis (petani sawah). Jadi kedua moda produksi tersebut bekerja secara bersamaan dalam komunitas petani tersebut dan tidak membuat mereka terbelah ataupun terpisah menjadi beberapa kelompok, sehingga peneliti menyebut tipe ekonomi tersebut dengan nama ‘amphibian”.

Fadjar menunjukkan bahwa perubahan sistem perladangan berpindah menjadi pertanian menetap mempengaruhi struktur agraria yang asalnya dari penguasaan kolektif menjadi penguasaan perorangan dengan bukti tertulis (status formal). Meski demikian masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada ikatan moral tradisional (terutama ikatan kekerabatan, pola pewarisan, dan solidaritas lokal untuk menjaga kebutuhan minimum warga se-komunitas) turut mendorong petani untuk menerapkan pola “penguasaan sementara” atas sumberdaya agraria, terutama melalui pola bagi hasil pada usahatani padi sawah dan kakao.

Studi Iskandar (2012) tentang tindakan kerja masyarakat Pidie yang dikaitkan dengan pemahaman agama, adat tradisi dan sejarah lokal menggambarkan bagaimana masyarakat Pidie yang berlatar belakang agama Islam, tindakan kerjanya tidak mencerminkan manifestasi dari nilai-nilai agama yang dianutnya. Hal ini menunjukkan gejala ketidaklekatan (disembeddedness) nilai-nilai agama, dan nilai-nilai adat pada tindakan kerja masyarakat Pidie. Agama hanya berfungsi pada tataran dimensi ritualitas (ibadah). Begitu juga dengan nilai-nilai adat hanya sebatas mengharmonisasikan kegiatan ekonomi antar aktor dalam bermasyarakat. Sedangkan tradisi bekerja untuk menghidupi keluarga dengan mengolah sawah, ladang dan laut yang menjadi ciri masyarakat tradisional agraris Pidie memiliki pola hidup sederhana (subsisten), dan tidak kompetitip (kolektif) . Ciri masyarakat komunal seperti ini menyebabkan individu kurang kreatif dan inovatif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda dengan masyarakat kebanyakan di Pidie, aktor yang memiliki keluasan pergaulan dan pengetahuan, maka semangat kewirausahaannya yang telah teruji karena pengalaman akan menentukan pendapatan yang sangat jauh berbeda.

Menurut Iskandar (2012), ketidakberfungsian (social disfunctionality) agama dan adat disebabkan agama dan adat merupakan faham latent dan umumnya mampu termanifestasi dalam wujud tindakan konkrit melalui agensi. Secara empirik menunjukkan pemuka agama maupun pemuka adat sebagai agen yang sedang mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat.

Berbeda dengan Iskandar, hasil studi M Syukur (2013) menunjukkan bahwa tindakan ekonomi masyarakat Bugis-Wajo yang berprofesi sebagai penenun terlekat (social embeddedness) dengan nilai- nilai adat budaya masyarakat Wajo.

Gambar

Tabel 1 Studi penelitian terdahulu tentang hubungan nilai-nilai agama dengan
Tabel 2. Hasil Studi Penelitian Terdahulu tentang Keterlekatan  tindakan Ekonomi
Gambar 1. Kerangka pemikiran: ketahanan industri bordir di tasikmalaya: studi etika
Gambaran mengenai rincian jumlah responden dan informan dalam penelitian dapat
+7

Referensi

Dokumen terkait