• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN

DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA

DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

Oleh Vili Yanthi

Gaya bahasa retoris dan kiasan dalam suatu novel cukup penting untuk dikaji

secara mendalam. Cukup penting karena gaya bahasa merupakan unsur

pembangun suatu novel yang sekaligus merupakan masalah dalam penelitian ini.

Adapun tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasikan gaya bahasa retoris dan

kiasan, fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan dan mendeskripsikan

kelayakan novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMA.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif.

Sumber data penelitian ini adalah novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye cetakan kedua April 2013, jumlah halaman 360, diterbitkan oleh PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta. Teknik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

teknik dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa analisis terhadap novel Negeri di Ujung Tanduk meliputi kelompok gaya bahasa retoris dan kelompok gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris yang paling banyak digunakan adalah gaya bahasa asindeton

(183) frekuensi dan aliterasi (104) frekuensi, gaya bahasa yang cukup banyak

digunakan adalah gaya bahasa tautologi (79) frekuensi, erotesis atau pertanyaan

(2)

(2) frekuensi, elipsis (1) frekuensi, dan litotes (1) frekeunsi, sehingga jumlah

frekuensi gaya bahasa retoris dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye sebanyak (523) penggunaan. Gaya bahasa kiasan yang paling banyak

digunakan adalah gaya bahasa metafora (55) frekuensi, dan persamaan (simile)

(33) frekuensi, gaya bahasa yang cukup banyak digunakan adalah gaya bahasa

personifikasi (20) frekuensi, antonomasia (10) frekuensi, sinekdoke (6) frekuensi,

dan metonomia (3) frekuensi, dan gaya bahasa yang paling sedikit digunakan

adalah gaya bahasa alegori, eponim, epitet, dan ironi (1) frekuensi, jumlah

frekuensi gaya bahasa kiasan dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye sebanyak (131) penggunaan.

Berdasarkan data tersebut, penggunaan gaya bahasa retoris dan kiasan sudah

sesuai dengan ragam baku yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik

sehingga layak dijadikan media pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang

pada silabus Kurikulum 2013 untuk SMA kelas XII semester genap, KI 3 serta

KD 3.3 dan penelitian ini dapat menjadi salah satu refrensi guru dalam

(3)
(4)

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN

DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA

DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

Skripsi

Oleh

VILI YANTHI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

Daftar Grafik

I. Grafik 1. Frekunesi Penggunaan Gaya Bahasa Retoris... 69

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

HALAMAN JUDUL... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

(7)

1.16 Erotesis atau Pertanyaan Retoris... 25

4.1.1 Gaya Retoris dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye... 59

4.1.2 Gaya Kiasan dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye... 61

4.2 Pembahasan ... 63

4.2.1 Gaya Retoris dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye... 64

a Aliterasi ... 64

b Asonansi ... 67

(8)

h Elipsis ... 73

4.2.2 Gaya Kiasan dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye... 82

a Persamaan atau Simile... 82

4.2.3 Kelayakkan Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia di SMA ... 92 V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 101

5.2 Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102

(9)

Daftar Tabel

I. Tabel 1. Frekuensi penggunaan gaya bahasa retoris... 68

(10)
(11)
(12)

MOTO

“jika sedekah itu kamu berikan secara berterus terang, itu adalah baik, dan jika kamu lakukan secara diam-diam, lalu kamu berikan kepada orang-orang

fakir miskin, itu lebih baik lagi,

dan dapat menghapuskan sebagaian dari kesalahanmu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan”

(Q.S Al-Baqarah: 271)

“Allah tidak akan memberikan pertolongan itu

melainkan untuk mengobarkan semangat juang dan ketabahan hatimu Sedangkan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Kuasa dan bijaksana”

(Q.S Ali Imran:126)

Bahagia sesungguhnya adalah ketika kita

melakukan kesalahan, kebodohan, menjalankan kehidupan yang begitu perih dan kita mengingat itu tertawa bahagia

(13)
(14)

PERSEMBAHAN

Mengucap alhamdulillah dan rasa syukur

atas nikmat dan segenap jiwa raga yang telah Allah berikan anugerah dan hidayah-Nya menguatkan saya hingga akhir.

Segala puji untuk Tuhanku Allah SWT dengan penuh rasa kasih sayang dan cinta

kupersembahkan buah karya ini kepada

Orang tuaku tercinta

Nenekku Atu Supiah dan Bapak Supian yang telah memberikan kasih sayang tak terhingga yang senantiasa mendoakan, membimbing, dan menguatkanku.

Berkat doa kalian terbuka jalan untukku atas restu kalian restu Allah datang.

Ibuku tercinta Mamak Faulina,

semoga selalu senantiasa mendapatkan limpahan kasih sayang Allah SWT.

Saudara kandungku Kiyay Fendi Septeri, Daing Afril Yandi, dan Adikku Okta Firnando

serta Harry Muhhamad Rizky yang selalu memberi bantuan, dukungan, motivasi, dan doanya. Terima kasih atas

segala yang pernah dikorbankan untukku.

Almamater tercinta Universitas Lampung yang telah mendewasakanku,

mengajarkanku betapa pentingnya semangat untuk berjuang.

Semoga Allah senantiasa memberikan jalan lurus hidayah serta kebaikkan hidup

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandar Lampung, pada 21 Februari 1992, anak

ketiga dari empat bersaudara, putri dari pasangan Supian dan

Faulina (Alm).

Pendidikan penulis diawali di SD Negeri 1 Tanjung Agung Bandar Lampung dan

lulus pada tahun 2004, melanjutkan sekolah tingkat pertama di SMP PGRI 1

Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke SMA

Bina Utama Dharma Karya (Budaya) Bandar Lampung dan lulus pada tahun

2010.

Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Mahasiswa

Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Pada Januari 2013 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Bali,

Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Pada bulan Juli hingga September 2013

penulis melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) dan Kuliah Kerja

Nyata (KKN) di SMPN 1 Sumber Jaya Lampung Barat Desa Sukapura

(16)

SANWACANA

Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT karena rahmat dan hidayah-Nya telah

memudahkan dan menerangi jalan pikiran penulis dalam menyusun skripsi yang

berjudul “Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan Dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk

Karya Tere Liye”. Adapun penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Pendidikan.

Selesainya penulisan dan penyusunan skripsi tidak lepas dari bantuan, dorongan,

semangat, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dengan

kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada

1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si. selaku Dekan FKIP Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Muhammad Fuad, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung dan selaku pembahas. Terima

kasih atas segala bimbingan, nasehat, saran, kritik dan motivasinya selama ini.

3. Bapak Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FKIP Universitas Lampung dan selaku pembimbing 1. Terima kasih atas

segala bimbingan, saran, kritik dalam proses penyelesaian skripsi.

4. Bapak Dr. Edy Suyanto, M.Pd. selaku Pembimbing II. Terima kasih atas

bimbingan, dan motivasinya selama ini.

5. Ibu Sumarti, S. Pd., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik (PA) terima kasih

(17)

6. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung.

7. Bapak dan Ibu di bagian Akademik FKIP Universitas Lampung.

8. Bapak Drs. Tontowi, M.Si. dan Bapak Surya. Terima kasih atas jiwa sosial

yang diberikan kepada penulis.

9. Guru SD, SMP, SMA. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan hingga

penulis dapat seperti ini.

10.Bapak Supian dan Nenekku Atu Supiah. Terima kasih atas jerih, payah,

tenaga, doa, dukungan, motivasi, nasehat dan kasih sayangnya hingga penulis

dapat seperti ini.

11.Mamakku FauLina semoga selalu mendapat limpahan kasih sayang Allah

SWT.

12.Kakakku Fendi Septeri dan Afril Yandi serta adikku Okta Firnando, Harry

Muhamad Rizky dan nakenku Qienza Frendly Alfarizi Terima kasih atas

dukungan , tenaga moral maupun material, kasih sayang kalian selama ini dan

nakenku semoga menjadi anak yang berguna bagi orang tua dan masyarakat.

13.Keluarga besar dari Mamak dan Bapak.

14.Keluarga di Durian Payung: Ayahtuan H. Chaidar Kundo, S.H., Ibutuan Hj.

Hermayati, S.Pd., Ajo Irham Syah Kundo, S.I., Atu Chairani Kundo, S.E.

Bang Riswan Herafiansyah, S.H. Batin Burman Tanaka Kundo, S.H. Abang

Chairil Kundo, S.H, M.H., Abang Darma A. Kundo, S.H., dan Tante Minten.

Terima kasih atas kasih sayang, semangat, motivasi dalam bentuk moral

maupun material hingga penulis dapat menjadi seperti ini.

(18)

16.Kakak tingkat 2007-2009 beserta adik tingkat 2011-2013.

17.Ustad Abi Mukti. Terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan oleh

penulis.

18.Orang yang selama ini pernah mendampingiku. Terima kasih atas waktu dan

tenaga yang diberikan.

19.Customer setiaku. Terima kasih telah setia berbelanja dan mempercayai.

Semoga selalu diberikan kemurahan rezeki untuk kita semua.

20.Teman-teman terbaik, Rika Wilda Sari, S.Pd, Deacy, Efri Fitriyani, S.Pd,

Novita, Yunita, Kemponk (Sefty), Ria, Riris Kristiani Kaban, Yulinda

Sundari, S.E., Adit Al-Fikri, . Terima kasih atas segala support, bantuan dan

kesetiaan kalian, semoga persahabatan kita kekal selamanya.

21.Teman KKN PPL Tya, Novita, Mifta, Rika, Sari, Nindi, Sukesi, Ahmad,

Fathur, Ridwan. Terima kasih atas kebersamaannya.

Semoga segala sesuatu yang telah diberikan secara tulus kepada penulis, baik

semangat, bimbingan dan doa, mendapatkan ridho dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan banyak

kekurangan, tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

berbagai pihak yang memerlukannya.

Bandar Lampung, September 2014 Penulis

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan.

Hubungan bahasa dan sastra dikatakan seperti dua sisi mata uang, keduanya tidak

bisa dipisahkan sebab nilainya bergantung dari kualitas antarhubungannya.

Melalui kualitas intelektual bahasa menyediakan sarana dalam bentuk bunyi,

huruf, kata, kalimat, paragraf, dan seterusnya. Sebaliknya, melalui kualitas

emosionalitas karya sastra memanfaatkannya, menganalisisnya, dengan berbagai

cara yang tersedia. Penyusunan cerita sejarah, berita, iklan, opini, dan novel,

khususnya gaya bahasa adalah cara-cara terpenting yang digunakan oleh

pengarang.

Bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang tentu saja berbeda dengan bahasa

yang digunakan orang kebanyakan. Seorang penulis sering menggunakan gaya

bahasa dalam berkarya. Dalam karya sastra penafsiran yang berbeda justru

merupakan ciri-ciri kualitas atau keindahan yang mengandung seni. Oleh karena

itu, seorang penyair banyak yang menggunakan gaya bahasa yang digunakan

untuk memperindah karyanya, di sisi lain pembaca dapat memberikan beragam

penafsiran pada suatu karya. Kegiatan menganalisis gaya bahasa merupakan salah

(20)

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang mengandung unsur tokoh,

alur, latar, rekaan, yang menggelarkan kehidupan manusia ataas dasar sudut

pandang pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan

dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulis (Purba, 2010:63).

Penelitian ini meneliti salah satu karya sastra fiksi yaitu novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye. Meneliti tentang gaya bahasa dalam novel Tere Liye. Mengapa peneliti memilih karya Tere Liye tersebut karena Ia alumni Universitas

Indonesia setelah lulus dari SMUN 9 Bandar Lampung ia dari keluarga sederhana

yang orang tuanya berprofesi sebagai petani biasa. Sampai saat ini telah

menghasilkan 14 karya. Bahkan beberapa di antaranya telah diangkat ke layar

lebar. Sebagai penulis, ia banyak belajar dari pengalaman pendidikannya, gaya

bahasanya dibungkus sehingga menarik. Pilihan gaya bahasa seperti ini membuat

kalimat jadi fleksibel dan mudah dipahami. Pembaca tak perlu berkerut kening

ketika membacanya. Peneliti mencatat ada beberapa hal penting yang bisa

ditemukan dari novel ini.

Cerita yang dituturkan di novel ini adalah mengangkat kisah-kisah macam

setengah fiksi setengah nyata karena sepertinya ini kisah yang mengawinkan

beberapa fakta politik di negeri ini. Bagaimanakah wajah politik di Indonesia

sebenarnya? Sebuah negeri di ujung tanduk, yang sebentar lagi akan hancur

berantakan jika tidak ada penegakan hukum di dalamnya? Tak ada yang

benar-benar tahu bagaimana situasi politik "di dalam lingkaran",

jika orang tersebut tak pernah terjun langsung di dunia politik.

(21)

dekat dengan publik. Oleh karena itu, cerita yang ada di dalamnya banyak tentang

politik, ekonomi, perbankan, keuangan, hukum, dalam bingkai yang imajinatif

dan menggugah rasa keingintahuan.

Gaya bahasanya unik serta sederhana. Pembaca tak perlu berkerut kening untuk

memahami apa yang hendak disampaikan. Novel ini bisa dibaca sambil bersantai,

namun tetap serius saat menemukan butiran-butiran makna. Ceritanya juga tidak

menggurui sebab mengangkat hal-hal yang membuka pandangan berpolitik di

Indonesia Tak hanya itu, novel ini juga menceritakan tentang perekonomian

global, rekayasan keuangan, imperium bisnis, mafia hukum, konspirasi, dan

segala hal "mengerikan" lainnya. Seperti fiktif, tapi nyata. Seperti nyata, tapi fiktif

(www.darwisdarwis.multiply.com.).

Tere Liye adalah orang yang cerdas secara bahasa. Dia tampaknya serius

melakukan riset, observasi, mengumpulkan banyak data dan fakta di lapangan,

kemudian mengolahnya menjadi sebuah sajian, hiburan, bacaan, perenungan, dan

proyeksi yang menarik. Pembaca akan selalu menggugah rasa keingintahuannya

setelah membaca setiap bab dan akan mendapatkan kosakata baru karena di

dalamnya ada beberapa bahasa asing yang digunakan pengarang dan terakhir

dalam novel ini terdapat banyak data mengenai gaya bahasa.

Gaya bahasa dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara

(22)

2002:113). Pendapat lain mengatakan gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa

dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata

dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu (Zainuddin, 1991:51).

Berdasarkan pendapat yang telah peneliti uraikan di atas dapat dikatakan secara

umum bahwa gaya bahasa merupakan penyampaian makna sebenarnya dari

kata-kata yang tertulis yang sengaja dilakukan pengarang untuk menimbulkan efek

tertentu. Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra selain untuk memberikan

konotasi tertentu juga untuk menimbulkan efek keindahan. Oleh karena itu,

peneliti mengambil penelitian tentang gaya bahasa khususnya gaya bahasa retoris

dan kiasan karena tertarik dengan penggunaan-penggunaan gaya bahasa yang di

pakai oleh pengarang dalam membungkus karya yang indah dan menarik,

sehingga membuat penikmat karyanya tidak bosan untuk membaca dan

memberikan warna tersendiri.

Selain itu, setelah peneliti menyurvei lima pelajar dari alumni SMA di Bandar

Lampung, salah satu dari mereka Ardian alumni SMA Trisakti kelas XII

menyebutkan gaya bahasa yang ia ketahui hiperbola, personifikasi, litotes, resmi,

tak resmi, sindiran, ironi, persamaan, sedangkan Anggranita Sonia alumni SMAN

3 menyebutkan macam-macam gaya bahasa yaitu kiasan dan sindiran ada simile,

hiperbola, personifikasi, litotes, metafora, retoris. Hal ini membuat peneilti ingin

memperkenalkan lebih mendalam jenis-jenis dan fungsi sastrawi gaya bahasa

retoris dan kiasan kepada pembaca terutama kalangan pelajar yang selama ini

(23)

bahan ajar yang dapat digunakan guru untuk mempelajari gaya bahasa sehingga

siswa mengenal banyak tentang macam-macam gaya bahasa.

Gaya bahasa sangat erat hubungannya dengan mata pelajaran bahasa dan sastra

Indonesia di sekolah. Tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara

umum salah satunya yaitu siswa mampu memahami, menerapkan, menganalisis,

dan mengevaluasi pengetahuan untuk menerapkan pengetahuan prosedural pada

bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan

masalah. Tujuan pembelajaran ini dikatakan berhasil apabila siswa mampu

menerapkan hal-hal yang tercantum dalam tujuan pembelajaran tersebut.

Pengalaman peneliti saat menjadi siswa di SMA, pengetahuan siswa tentang gaya

bahasa tergolong kurang dan minat belajar mereka rendah.

Hal ini tertuang dalam silabus kurikulum 2013 SMA kelas XII semester genap,

KI 3 (Kompetensi Inti) yaitu memahami, menerapkan, menganalisis dan

mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif

berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,

budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan

pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan

minatnya untuk memecahkan masalah dengan KD 3.3 (Kompetensi Dasar) yaitu

menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. Dalam penelitian ini,

peneliti memilih pada teks cerita novel , yaitu menganalisis gaya bahasa

(24)

memberikan pengetahuan secara faktual, konseptual, prosedural, dan

metakognitif.

Penelitian yang berkaitan dengan gaya bahasa sebelumnya sudah pernah

dilakukan oleh Asep Perdiansyah (2007) dengan judul “Gaya Bahasa dalam Novel

Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan Kelayakannya sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia di SMA”. Tujuan penelitian tersebut mendeskripsikan gaya bahasa

dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan menentukan kelayakan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dijadikan alternatif bahan ajar bahasa

Indonesia di SMA, hasil penelitian tersebut gaya bahasa yang digunakan meliputi

gaya bahasa retoris sebanyak 88 frekuensi dan gaya bahasa kiasan sebanyak 263

frekuensi penggunaan dan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata layak

dijadikan alternatif bahan ajar sastra Indonesia di SMA sedangkan judul penelitian

ini “Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya

Tere Liye dan Kelayakannya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA. Perbedaaan

kedua penelitian terletak ditujuan penelitian yaitu mengidentifikasi gaya bahasa

retoris dan kiasan, mendeskripsikan fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan

dan sudah memakai kurikulum 2013 sehingga penelitian ini melengkapi penelitian

sebelumnya.

Hal inilah yang menjadi latar belakang peneliti memilih novel Tere Liye sebagai

bahan ajar di sekolah, dengan harapan agar siswa dapat termotivasi dalam

mempelajari gaya bahasa. Peneliti memilih karya sastra ini bertujuan

(25)

siswa. Dengan termotivasinya siswa mempelajari gaya bahasa ada harapan bagi

guru untuk mencapai tujuan pembelajan

yang tercantum dalam Kurikulum 2013.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai

berikut. “Bagaimanakah gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat dalam novel

Negeri Di Ujung Tanduk karya Tere Liye dan kelayakannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA)?”. Rumusan masalah di atas

dengan rincian sebagai berikut.

a. Apa saja gaya bahasa retoris dan kiasan.

b. Bagaimana fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan.

c. Kelayakannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gaya bahasa retoris dan kiasan yang

terdapat di dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye dan

kelayakkannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA. Tujuan penelitian di

atas dapat di rinci sebagai berikut.

a. mengidentifikasikan jenis gaya bahasa retoris dan kiasan.

b. mendeskripsikan fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan.

(26)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan praktis bagi

penulis, siswa, guru bahasa Indonesia, dan penelitian lain. Adapun manfaat

tersebut sebagai berikut.

1.4.1Manfaat Teoretis

a. penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat secara akademis, yaitu

dapat menambahkan refrensi penelitian di bidang kesastraan khususnya gaya

bahasa.

b. penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi para peneliti selanjutnya

dalam mengembangkan teori gaya bahasa, khususnya gaya bahasa langsung

tidaknya makna yang meliputi gaya bahasa retoris dan kiasan.

c. penelitian ini dapat menjadi contoh untuk peneliti selanjutnya yang akan

meneliti novel Tere Liye yang berjudul Negeri di Ujung Tanduk yang ingin meniliti selain gaya bahasa retoris dan kiasan.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. memberikan pengetahuan kepada guru bahwa penelitian ini bisa dipakai sebagai

salah satu bahan acuan untuk memberikan bahan ajar kepada siswa atau calon

guru, khususnya tentang gaya bahasa.

b. membantu guru bidang studi bahasa Indonesia untuk mencari alternatif bahan

pembelajaran gaya bahasa di SMA.

c. memberikan pengetahuan kepada peneliti mengenai deskripsi gaya bahasa

(27)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye serta gaya bahasa yang terdapat dalam novel, Fungsi sastrawi gaya bahasa

retoris dan kiasan dan kelayakkan sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA

untuk mendeskripsikan gaya bahasa tersebut, dalam penelitian ini peneliti

berpedoman pendapat Gorys Keraf yaitu.

(1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata;

(2) Gaya bahasa berdasarkan nada;

(3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;

(4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, peneliti merasa penting untuk

menganalisis tentang gaya bahasa dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye, hal ini dapat dilihat dari gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya

makna yang meliputi (Keraf, 2002);

1. gaya bahasa retoris yang terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof (inversi),

apofasis (preterisio), apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis,

eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme, tautologi, perifrasis,

prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, selipesis, zeugma,

koreksio atau epanortosis, hiperbola, paradoks, oksimoron;

2. gaya bahasa kiasan yang terdiri atas persamaan atau simile, metafora, alegori,

parabel, personifikasi atau prosopopeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke,

metonomia, antononasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuedo,

(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karya Sastra Nonfiksi dan Fiksi

Karya sastra terbagi menjadi dua yaitu, karya sastra nonfiksi dan fiksi. Karya

sastra nofiksi adalah karya sastra yang ditulis berdasarkan kajian keilmuan dan

atau pengalaman. Pada umumnya, buku merupakan penyempurnaan buku yang

telah ada sedangkan, karya sastra fiksi yaitu cerita rekaan atau cerita khayalan.

Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan

pada kebenaran sejarah (Nurgiantoro, 2010:2). Karya sastra fiksi menyaran pada

suatu karya yang menceritakan sesuatu yang tidak terjadi sungguh-sungguh

sehingga tidak perlu mencari kebenearanya di dunia nyata.

Sebagai karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan

kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai

permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian

diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh

karena itu, fiksi dalam buku Teori Pengajian Fiksi (Nurgiantoro, 2010:2), dapat

diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk

akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan

antar manusia. Pengarang mengemukakan hal ini berdasarkan pengalaman dan

pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan

(29)

penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Oleh karena itu, fiksi

merupakan sebuah cerita, karenanya terkandung juga dalamnya tujuan

memberikan hiburan. Membaca sebuah karangan fiktif berarti menikmati cerita,

menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin (Nurgiantoro, 2010:3). Cerita

fiksi adalah roman, cerpen, drama, puisi, dan novel.

2.2 Novel

Dalam sastra Indonesia kontemporer, novel adalah suatu cerita dengan suatu alur,

cukup panjang mengisi satu buku atau lebih yang menganggap kehidupan pria

wanita bersifat imajinatif (2010:62).

Pengertian novel dari kritikus dan pakar sastra Indonesia dijelaskan di bawah ini.

H. B. Jassin berpengertian bahwa novel adalah cerita mengenal salah satu episode

dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu,

sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib pada manusia

(Purba, 2010:63, dalam Faruk, 1997:262).

Dalam Kamus Istilah Sastra, Abdul rozak zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah

menuliskan, novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar

rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang

pengarang, dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan

yang menjadi dasar konvensi penulis (1994:136, dalam Purba, 2010:63).

Dalam Kamus Istilah Sastra, Panuti Sudjiman berpengertian bahwa novel adalah

prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan

(30)

Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance (romansa) dan novel. Novel bersifat realistik, sedangkan roman bersifat puitik dan

epik. Hal itu menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda.

Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi,,

kronik, dan sejarah. Novel berkembang dari dokumen-dokumen, dan secara

stilistika menekankan pentingnya detail dan bersifat mimesis. Novel lebih

mengacu kepada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.

Roman merupakan kelanjutan epik (Wellek dan Waren, 1989:282-283, dalam

Purba, 2010:64).

2.3 Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian mengguankan alat ini akan memengaruhi jelas tidaknya

tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan di titik beratkan pada

keahlian untuk menulis indah, maka style berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf,

2002:112).

Gaya bahasa atau langgam bahasa adalah cara penutur mengungkapkan

maksudnya. Banyak cara yang dapat dipakai untuk menyampaikan sesuatu: ada

cara yang memakai perlambangan (majas metafora, personifikasi); ada cara yang

(31)

lainnya). Semua itu pada prinsipnya merupakan corak seni berbahasa atau retorika

untuk menimbulkan kesan tertentu pada mitra berbahasa (L. Finoza, 1993: 105).

Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinatif, bukan dalam

pengertian yang benar-benar secara alamiah saja.. gaya bahasa ialah pemakaian

ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan

penyususnan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu (Zainuddin,

1991:51).

Gaya bahasa dan kosakata memunyai hubungan erat, hubungan timbal balik. Kian

kaya kosakata seseorang, kian beragam pulalah gaya bahasa yang dipakainya.

Peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas turut memperkaya kosakata

pemakainya. Itulah sebabnya maka dalam pengajaran gaya bahasa merupakan

suatu teknik penting untuk mengembangkan kosakata para siswa (Tarigan,

1985:5).

Pendapat lain mengatakan pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa,

penggaya bahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah

kata-kata pendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang

tersitar (Nurgiantoro, 2000:296).

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah peneliti uraikan, dapat dikatakan

secara garis besar bahwa gaya bahasa merupakan penyimpangan makna dari

kata-kata yang tertulis yang sengaja dilakukan oleh pengarang untuk menimbulkan

efek tertentu atau menimbulkan konotasi tertentu. Sebuah pendapat menyebutkan

(32)

1. ada perbedaan dengan sesuatu yang diungkapkan misalnya melebihkan,

mengiaskan, melambangkan, mengecil atau menyindir.

2. kalimat yang disusun dengan kata-kata yang menarik dan indah.

3. pada umumnya mempunyai makna kias (Zainuddin, 1992:52).

Secara singkat dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan

pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian

penulis (Keraf, 1985:113). Dari beberapa pendapat di atas, peneliti memilih teori

yang diungkapkan oleh Gorys Keraf (1985) karena jelas dan mudah dimengerti

gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas

yang memperlihatkan jiwa dan penulis (pemakai bahasa).

2.4 Ragam Gaya Bahasa

Pembagian atau penggolongan gaya bahasa sampai saat ini belum memilki

kesamaan persis dari beberapa ahli seperti pembagian gaya bahasa berikut.

1) Gaya bahasa terdiri atas tiga macam (Zainuddin, 1991), yaitu:

a. gaya bahasa perbandingan:

b. gaya bahasa sindirian:

c. pribahasa dan ungkapan yang sering digunakan sehari-hari.

2) Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya

bahasa berdasarkan titik tolok unsur bahasa yang dipergunakan (Keraf, 2002),

yaitu:

a. gaya bahasa berdasarkan pilihan kata;

(33)

c. gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;

d. gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

Dengan pertimbangan bahwa pembagian gaya bahasa dalam buku Gorys Keraf

lebih luas dan jelas, maka penulis lebih tertarik untuk mengacu pada teori dalam

buku Gorys Keraf khususnya mengenai gaya bahasa berdasarkan langsung

tidaknya makna yang terkandung di dalamnya untuk meneliti novel Tere Liye

yang berjudul Negeri Di Ujung Tanduk.

2.5 Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata

Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi (bukan bahasa resmi), gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan. 1. Gaya Bahasa Resmi

Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang

dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh

mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Sebab

itu, gaya bahasa resmi pertama-tama adalah bahasa dengan gaya tulisan dalam

tingkat tertinggi, walaupun sering dipergunakan juga dalam pidato-pidato umum

yang bersifat seremonial.

2. Gaya Bahasa Tak Resmi

Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam

bahasa standar, khususnya dalam kesexmpatan-kesempatan yang tidak formal

(34)

buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik, dalam

perkuliahan, editorial, dan sebagainya.

3. Gaya Bahasa Percakapan

Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata popular dan kata-kata

percakapan. Namun di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis,

yang secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan ini.

2.6 Gaya Bahasa Berdasarkan Nada

Gaya bahasa dilihat dari segi nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi

atas: gaya yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah. 1. Gaya Sederhana

Gaya ini baiasanya cocok untuk memberi intruksi, perintah, pelajaran,

perkuliahan, dan sejenisnya. Sebab itu untuk mempergunakan gaya ini secara

efektif, penulis harus memilki kepandaian dan pengetahuan yang cukup.

2. Gaya Mulia dan Bertenaga

Gaya ini penuh dengan vitalitas dan biasanya dipergunakan untuk mengerakkan

sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga

pembicara, tetapi juga dapat mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan.

Nada yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi pendengar.

3. Gaya Menengah

Gaya menengah adalah yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana

(35)

damai, maka nadanya juga bersifat lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan

mengandung humor yang sehat.

2.7 Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari gaya bahasa klimaks,

antiklimaks, paralelisme, antithesis, dan repetisi. Repetisi terbagi lagi menjadi

beberapa gaya yaitu epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke,

mesodiplosis, epanalipsisi, dan anadiplosis.

1. Paralelisme

Paralelisme merupakan suatu gaya yang berusaha mencapai kesejajaran dalam

pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi pragmatikal yang sama dalam

sebuah kalimat atau klausa (Rani, 1996:148). Contoh sebagai berikut.

a. Kedengarannya memang aneh, dia merasa kesepian di tengah kota metropolitan

ini.

b. Negara kita ini negara hukum, semua yang salah harus ditindak tegas tanpa harus pandang bulu.

2. Klimaks

Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengndung uruttan-urutan pikiran

yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan

sebelumnya. Contoh sebagai berikut:

a. dalam dunia perguruan tinggi yang dicengkram rasa takut dan rasa rendah diri,

tidak dapat diharapkan pembaharuan, kebanggaan akan hasil-hasil pemikiran yang

(36)

b. kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman, dan pengalaman harapan.

3. Antiklimaks

Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Antiklimaks

sebagai gaya bahasa merupakan satuan acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan

dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks

sering kurang efektif karena gagasan yang penting ditempatkan di awal kalimat,

sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada

bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu. Misalnya:

Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya (mengandung ironi).

4. Antitesis

Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang

bertentangan, dengan mempergubakan kata-kata atau kelompok kata yang

berlawanan. Misalnya:

Mereka sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memperoleh keuntungan daripadanya.

5. Repetisi

Repetisi adalah perulanagan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang

dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.

Misalnya:

(37)

2.8 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

Berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam sebuah kata

maupun kelompok kata maka gaya bahasa dapat dibedakan atas dua bagian, yakni

gaya langsung atau gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.

1. Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, atau

preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, ellipsis, eufemisme, litotes,

hysteron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi,

erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau eponortosis,

hiperbola, paradoks, dan oksimoron.

1.1 Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang

sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk

perhiasan atau untuk penekanan. Misalnya:

Takut titik lalu tumpah

Keras-keras kerak kena air lembut juga 1.2 Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal

yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa

untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya:

Ini muka penuh luka siapa punya

(38)

1.3 Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan

pembalikan sususanan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya:

Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.

1.4 Apofasis atau Preterisio

Apofasis disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau

pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura

membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu.

Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya

memamerkannya. Misalnya:

Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.

1.5 Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para

hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh

orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu masa. Sang orator

secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung pada sesuatu yang tidak

hadir kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek

khayalan atau sesuatu yang abstrak, se=hingga tampaknya ia tidak berbicara

kepada hadirin. Misalnya:

Hai kamu dewa-dewa yang ada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu perinduan ini.

(39)

1.6 Asindeton

Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat

di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan

dengan kata sambung. Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma,

seperti ucapan terkenaldari Julius Caesar: Veni, Vidi, Vivi, “saya datang, saya

lihat, saya menang”. Perhatikan contoh berikut:

Misalnya:

Materi pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dari cugito

ergo sum dicoba, medium bahasa dieksplotir, imaji-imaji, metode,

prosedur dijungkir balik, masih itu-itu juga. Dan kesesakam,

kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang

melepaskan nyawa. 1.7 Polisindeton

Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton.

Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berururtan dihubungkan satu sama lain

dengan kata-kata sambung. Misalnya:

Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?

1.8 Kiasmus

Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian,

baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan atau sama

lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan

(40)

Semua kesabaran kami telah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melaanjutkan usaha itu.

1.9 Elipsis

Elipsis adalah suatu gaya berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang

dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar,

sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.

Misalnya:

Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa- apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...

Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah kalimat disebut

anakoluton, misalnya:

Jika anda gagal melaksanakan tugasmu ... tetapi baiklah kitak tidak Membicarakan hal itu.

Bila pemutusan ditengah-tengah kalimat itu dimaksudkan untuk menyatakan

secara tak langsung suatu peringatan atau karena suatu emosi yang kuat, maka

disebut aposiopesis. 1.10 Eufemismus

Kata eufemismus atau aufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang

berarti “mempergunkan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang

baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemismus adalah semacam acuan berupa

ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau

ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan

menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak

menyenangkan. Misalnya:

(41)

Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (= gila).

1.11 Litotes

Litotes adalah gaya bahasa yang dipaki untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan

merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya atau

suatu pikiran dengan menyangkal lawan katanya. Misalnya:

Kedududukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.

Saya tidak akan merasa bahagia bila mendapat warisan satu milyar

rupiah.

1.12 Histeron Proteron

Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebaikan dari

sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan

sesuatu yang terjadi kemudian pada awal pristiwa juga disebut hiperbaton.

Misalnya:

Saudara-saudara, sudah lama terbukti bahwa anda sekalian tidak lebih baik sedikit pun dari pada pesuruh, hal itu tampak dari anggapan yang berkembang akhir-akhir ini.

Jendela ini telah memberi sebuah kamar kepadamu untuk dapat berteduh dengan tenang.

1.13 Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan

kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau

gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada

yang ingin dibedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang

(42)

tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari

sebuah kata yang lain. Misalnya:

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.

Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan

makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata dengan telinga saya, dengan

mata kepala saya.

Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. Globe itu bundar bentuknya.

Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang

kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercangkup

dalam jam 20.00, dan bundar sudah mencangkup dalam globe.

1.14 Perifrasis

Sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme yaitu

mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak

dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan

satu kata saja. Misalnya:

Ia telah beristirahat denagn damai (= mati, atau meninggal).

1.15 Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang

mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelumnya pristiwa atau

gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa

kecelakaan dengan peswat terbang, sebelum sampai kepada peristiwa kecelakaan

itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal

(43)

Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak mengenal

orang itu.

Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan

tempat itu.

1.16 Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan

dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang

wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Misalnya:

Terlalu banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa.

Herankah saudara kalau harga itu terlalu tinggi? Apakah saya menjadi wali kaka saya?

Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan

manipulasi di Negara ini? 1.17 Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua kontruksi

rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang

sebenarnya salah satunya memunyai hubungan dengan kata pertama.

Dalam silepsis, kontruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi

secara semantik tidak benar. Misalnya:

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Fungsi dan sikap bahasa

Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang

satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan; demikian

(44)

berbeda, yang satu berarti “fungsi dari bahasa” dan yang lain “sikap terhadap

bahasa”.

Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya,

sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun

secara gramatikal). Misalnya:

Dengan membelalakan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.

1.18 Koreksio atau Epanortosis

Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula

menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya:

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. 1.19 Hiperbola

Hiperbola adalah semacam agay bahasa yang menagndung suatu pernyataan yang

berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Misalnya:

Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku. 1.20 Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang

nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks juga berarti semua hal yang menarik

perhatian karena kebenarannya. Misalnya:

Musuh sering merupakan kawan yang akrab.

Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah.

1.21 Oksimoron

Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata

untuk mencapai efek yang bertentangan. Misalnya:

(45)

Untuk menjadi manis seseorang harus menjadi kasar.

2. Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Gaya

bahasa kiasan terdiri dari persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel dan

fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonomia, antonomasia,

hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, innuendo, antifrasis, dan pun atau

paronomasia.

2.1 persamaan atau simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan

itu secara eksplisit dijelaskan dengan pemakaian kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, dan serupa. Misalnya:

(a) Kulit gadis itu lembut seperti sutra.

(b) Hidupnya kacau ibarat benang yang kusut.

Kalimat (a) mencoba menyamakan kulit seorang gadis dengan kain sutra, pada

kalimat (b) membandingkan hidup yang kacau dengan benang yang kusut.

Penggunaan kata seperti dan ibarat yang dimaksudkan untuk membuat kesan yang

sama, meskipun sebenarnya kedua hal yang dibandingkan tersebut berbeda.

2.2 Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara

orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya:

(46)

Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk membentuk sebuah alusi yang baik,

yaitu:

a. harus ada keyakinan bahwa hal yang dijadikan alusi dikenal juga oleh

pembaca;

b. penulis harus yakin bahwa alusi itu membuat tulisannya lebih menjadi

lebih jelas;

c. bila alusi itu menggunakan acuan yang sudah umum, maka usahakan

untuk menghindari acuan semacam itu.

2.3 Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara

langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya (Keraf, 1980:139). Pendapat lain mengatakan bahwa metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang

persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta dalam Tarigan, 1989:15).

Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mengguankan kata-kata

seperti, bak, laksana, dan sebagainya. Contoh sebagai berikut.

(a) Siti adalah bunga desa (b) orang itu seperti buaya darat

Kalimat (a) dan (b) menyamakan secara langsung antara Siti dan orang dengan

bunga desa dan buaya darat. Perbandingan tersebut langsung dilakukan tanpa

mengguankan kata perbandingan seperti, umpama, bak, dan sebagainya.

(47)

Personifikasi merupakan suatu gaya bahasa kiasan yang menggambarkan

benda-benda mati atau barang yang tidak bernyawa seolah-olah hidup seperti manusia.

Contoh sebagai berikut.

(a) Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami.

(b) pohon-pohon itu ikut gembira mendengar nyanyian wanita itu.

Contoh kalimat (a) dan (b) melekatkan sifat-sifat insani pada angin dan pohon. Perbuatan meraung dan gembira hanya dapat dilakukan oleh makhluk bernyawa bukan benda mati.

2.5 Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang menagndung kiasan. Makna kiasan ini

harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama

pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.

Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya

manusia yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk

menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat alegoris, untuk

menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spritual.

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana

binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak

seolah-olah sebagai manusia.

(48)

Eponim adalah gaya yang di mana seseorang yang namanya begitu sering

dihubungkan dengan sifat-sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk

menyatakan sifat itu. Misalnya:

Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan.

2.7 Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus

dari seseorang atau sesuatu hal. Misalnya:

Loceng pagi untuk ayam jantan. Putri malam untuk bulan.

2.8 Sinekdoke

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagaian dari

sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan

untuk menyatakan sebagian. Misalnya:

Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp. 1000,00. 2.9 Metonomia

Metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk

menyatakan suatu hal lain, karena memunyai pertalian yang sangat dekat.

Misalnya:

Saya minum satu gelas, ia dua gelas. Ia telah memeras keringat habis-habisan.

(49)

Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang

berwujud penggunaan sebuah epitet untuk menggantikan nama diri, atau gelar

resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya:

Yang mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini. Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.

2.11 Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan

untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebauh kata

lain. Misalnya:

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah

Adalah manusianya, bukan bantalnya).

2.12 Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan

makna atau maksud berlainan dari apa terkandung dalam rangkaia kata-katanya.

Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu

mengingkari maksud yang sebenarnya. Misalnya:

Saya tahu anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang

perlu mendapatkan tempat terhormat.

Sinisme yaitu suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan

terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Misalnya:

Memang anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini

(50)

Sarkasme merupakan satuan acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia

adalah suatu acuan yang menagndung kepahitan dan celaan. Misalnya:

Lihat sang raksasa itu. (maksudnya si cebol)

2.13 Satire

Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini

tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kriktik tentang kelemahan manusia.

2.14 Innuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang

sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering

tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya:

Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum.

2.15 Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan

makna kebalikannya, yang bhisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau

kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.

Misalnya:

Lihat sang raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol) Engkau memang orang yang mulia dan terhormat!

(51)

Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia

merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat

perbedaan besar dalam maknanya. Misalnya:

Tanggal dua gigi saya tanggal dua.

2.9 Pemilihan Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk berkomunikasi, pembelajaran

bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Ketrampilan ini

diperkaya oleh fungsi utama sastra untuk penghalusan budi, peningkatan rasa

kemanusiaan dan kepedulian sosial, menumbuhkan apresiasi budaya dan

penyaluran gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif, baik

secara lisan maupun tertulis. Pengajaran sastra ditunjukan untuk meningkatkan

kemampuan siswa untuk menikmati, menghayati dan memahami karya sastra

(Depdiknas, 2003:5).

Berdasarkan mata pelajaran Bahasa dan Sasra Indonesia di SMA, kurikulum 2013

terdiri atas dua aspek, yaitu Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Kompetensi

Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang

diturunkan dari Kompetensi Inti. Kompetensi Dasar adalah konten atau

kompetensi yang terdiri atas sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang bersumber

(52)

dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan

awal, serta ciri dari suatu mata pelajaran. Mata pelajaran sebagai sumber dari

konten untuk menguasai kompetensi bersifat terbuka dan tidak selalu

diorganisasikan berdasarkan disiplin ilmu yang sangat berorientasi hanya pada

filosofi esensialisme dan perenialisme. Mata pelajaran dapat dijadikan organisasi

konten yang dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu atau non disiplin ilmu

yang diperbolehkan menurut filosofi rekonstruksi sosial, progresif atau pun

humanisme. Karena filosofi yang dianut dalam kurikulum adalah eklektik seperti

dikemukakan di bagian landasan filosofi maka nama mata pelajaran dan isi mata

pelajaran untuk kurikulum yang akan dikembangkan tidak perlu terikat pada

kaedah filosofi esensialisme dan perenialisme.

Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap

kelas yang diturunkan dari Kompetensi Inti. Kompetensi Dasar SMA/MA untuk

setiap mata pelajaran yang mencakup: mata pelajaran Wajib Kelompok A, Wajib

Kelompok B, Kelompok Peminatan Matematika dan Sains, Kelompok Peminatan

Sosial, dan Kelompok Peminatan Bahasa.

Sedangkan Kompetensi Inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi SKL

dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka yang telah menyelesaikan

pendidikan pada satuan pendidikan tertentu atau jenjang pendidikan tertentu,

gambaran mengenai kompetensi utama yang dikelompokkan ke dalam aspek

sikap, pengetahuan, dan keterampilan (afektif, kognitif, dan psikomotor) yang

harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata

pelajaran. Kompetensi Inti harus menggambarkan kualitas yang seimbang antara

(53)

Kompetensi Inti berfungsi sebagai unsur pengorganisasi (organising element)

kompetensi dasar. Sebagai unsur pengorganisasi, Kompetensi Inti merupakan

pengikat untuk organisasi vertikal dan organisasi horizontal Kompetensi Dasar.

Organisasi vertikal. Kompetensi Dasar adalah keterkaitan antara konten

kompetensi dasar satu kelas atau jenjang pendidikan ke kelas/jenjang di atasnya

sehingga memenuhi prinsip belajar yaitu terjadi suatu akumulasi yang

berkesinambungan antara konten yang dipelajari siswa. Organisasi horizontal

adalah keterkaitan antara konten kompetensi dasar satu mata pelajaran dengan

konten kompetensi dasar dari mata pelajaran yang berbeda dalam satu pertemuan

mingguan dan kelas yang sama sehingga terjadi proses saling memperkuat.

Kompetensi Inti dirancang dalam empat kelompok yang saling terkait yaitu

berkenaan dengan sikap keagamaan (kompetensi inti 1), sikap sosial (kompetensi

inti 2), pengetahuan (kompetensi inti 3), dan penerapan pengetahuan (kompetensi

4). Keempat kelompok itu menjadi acuan dari Kompetensi Dasar dan harus

dikembangkan dalam setiap peristiwa pembelajaran secara integratif. Kompetensi

yang berkenaan dengan sikap keagamaan dan sosial dikembangkan secara tidak

langsung (indirect teaching) yaitu pada waktu peserta didik belajar tentang

pengetahuan (kompetensi inti kelompok 3) dan penerapan pengetahuan

(kompetensi Inti kelompok 4).

Kompetensi Inti SMA/MA adalah sebagai berikut:

KELAS X KELAS XI KELAS XII

1. Menghayati dan mengam al kan ajaran agama yang dianutnya

1. Menghayati dan mengam al kan ajaran agama yang dianutnya

(54)

2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari

solusi atas berbagai

permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial

dan alam serta dalam

menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

2. Mengembangkan

perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari

solusi atas berbagai

permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial

dan alam serta dalam

menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

2. Mengembangkan

perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan,

gotong royong,

kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif),

menunjukkan sikap

sebagai bagian dari solusi

atas berbagai

permasalahan bangsa,

serta memosisikan diri sebagai agen transformasi

masyarakat dalam

prosedural dalam ilmu

pengetahuan, teknologi,

seni, budaya, dan

humaniora dengan

wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait

fenomena dan kejadian,

serta menerapkan

pengetahuan prosedural

pada bidang kajian yang

spesifik sesuai dengan

bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

3. Memahami, menerapkan,

dan menjelaskan

pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural, dan

metakognitif dalam ilmu

pengetahuan, teknologi,

seni, budaya, dan

humaniora dengan

wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait

penyebab fenomena dan

kejadian, serta menerapkan

pengetahuan prosedural

pada bidang kajian yang

spesifik sesuai dengan

bakat dan minatnya untuk

dan metakognitif dalam

ilmu pengetahuan,

teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan

wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait

penyebab fenomena dan

kejadian, serta

menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang

kajian yang spesifik

sesuai dengan bakat dan minatnya

untukmemecahkan masalah

4. Mencoba, mengolah, dan

menyaji dalam ranah

konkret dan ranah abstrak

terkait dengan

pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu

menggunakan metode

sesuai kaidah keilmuan

4. Mencoba, mengolah, dan

menyaji dalam ranah

konkret dan ranah abstrak

terkait dengan

pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri bertindak, secara afektif dan kreatif serta mampu mengguankan

metode sesuai kaidah

keilmuan

4. Mencoba, mengolah,

menyaji, dan mencipta

dalam ranah konkret dan

ranah abstrak terkait

dengan pengembangan

dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri bertindak secara afektif dan kreatif serta mampu

menggunakan metode

(55)

Pada program pembelajaran untuk kelas XII semester genap , standar kemampuan

bersastra pada siswa adalah memahami, menerapkan, menganalisis dan

mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif

berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,

dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan

peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan

pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan

minatnya untuk memecahkan masalah dan Kompetensi Dasar menganalisis teks

cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun

tulisan.

Berdasarkan kurikulum 2013 sebagai berikut:

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

3. Memahami, menerapkan, menganalisis

dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang

ilmu pengetahuan, teknologi, seni,

budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena

dan kejadian, serta menerapkan

pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

3.1 Memahami struktur dan kaidah teks

cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan

3.2 Membandingkan teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan

3.3 Menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan

3.4 Mengevaluasi teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel berdasarkan kaidah-kaidah baik melalui lisan maupun tulisan.

Dengan menentukan bahan pembelajaran sastra yang sesuai dengan Kurikulum

2013 yang berlaku saat ini, diharapkan siswa dapat menumbuhkan apresiasi

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana implementasi analisis diksi dan citraan pada novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye sebagai bahan pembelajaran Bahasa.. Indonesia

Sehubungan dengan itu, peneliti akan melakukan penelitian terhadap novel ini dengan judul “Konflik Politik dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye: Tinjauan

Struktur yang membangun novel Negeri Di Ujung Tanduk karya Tere Liye yakni secara struktural tema dalam novel yaitu kehidupan berpolitik dan hokum alur dalam novel

Atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Permasalahan Sosial dalam Novel Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye:

Kelima rumusan masalah dari penelitian ini yaitu, (1) bagaimana latar sosio- historis Tere Liye sebagai pengarang novel Negeri di Ujung Tanduk ?, (2) bagaimana struktur

Menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “KRITIK SOSIAL DAN NILAI MORAL DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN

Dari beberapa aspek sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek sosial yang terdapat dalam novel Negeri Di Ujung Tanduk karya Tere Liye merupakan suatu hal yang

Perjuangan Politik Tokoh Utama dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye 185 Penegakan hukum menjadi permasalahan serius yang dihadapi tokoh sehingga perlu adanya