• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertuturan Dalam Kumpulan “Cerita Rakyat Dari Karo” Karya Z. Pangaduan Lubis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertuturan Dalam Kumpulan “Cerita Rakyat Dari Karo” Karya Z. Pangaduan Lubis"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aslinda, dan Leni S. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama. Chaer, A. dan Leoni A. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka

Cipta.

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.

Pangaduan, Z. Lubis. 1997. Cerita Rakyat dari Karo. Jakarta: Grasindo. Prinst, Darwin. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1989. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rahardi, Kunjana. 2010. Kajian Sosiolinguistik, Ihwal Kode dan Alih Kode. Bogor: Ghalia Indonesia.

Rani, Abdul, dkk. 2000. Analisis Wacana. Malang: Bayumedia.

Siregar, Asrul. 1997. Pragmatik dalam Linguistik. (Makalah). Medan: FS USU. Soebadio, Hayati. 1981. Cerita Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Subroto, Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: UNS Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

(2)

Skripsi

Hutapea, Vera Nurcahaya. 2010. “Tuturan pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba”. Medan: Fakultas Sastra, USU.

Kaban, Seri Ulina. 2002. “Referensi Kumpulan Cerita Rakyat Karo BDJJ”. Medan: Fakultas Sastra, USU.

Manurung, Ida Vandayani. 2012. “Implikatur Tindak Tutur Humor Abang Jampang di Harian Sinar Indonesia Baru”. Medan. Fakultas Sastra, USU. Saragih, B. Pemil. 2006. “Peristiwa Tutur pada Seminar Internasional Tradisi

Lisan Indonesia-Malaysia (Tinjauan Sosiolinguistik)”. Medan: Fakultas Sastra, USU.

Sari, Irma. 2013. “Pertuturan pada Upacara Tujuh Bulan atau Tingkeban dalam Adat Jawa”. Medan: Fakultas Sastra, USU.

Internet

(3)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sudaryanto (1993: 9), metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara melaksanakan metode. Dalam penelitian ini data diperoleh dengan menggunakan metode simak atau penyimakan. Metode ini digunakan karena penulis hanya menyimak penggunaan bahasa dalam setiap teks tuturan yang terdapat dalam legenda kumpulan “Cerita Rakyat dari Karo”. Metode ini dinamakan demikian karena pelaksanaan metode ini adalah dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Pertama-tama cerita tersebut di baca berulang-ulang dan sekaligus disimak.

Teknik dasar yang digunakan dalam metode simak adalah teknik sadap dan teknik catat. Teknik sadap ialah teknik yang dipakai untuk penyimakan yang diwujudkan dengan penyadapan dan peneliti sendiri sebagai instrumen dalam penyadapan, yaitu peneliti membaca, mempelajari, dan memeriksa penggunaan bahasa yang terdapat pada tuturan dalam kumpulan Cerita Rakyat dari Karo. Sebagai teknik lanjutannya, penulis menggunakan teknik simak bebas libat cakap. Hal ini disebabkan penulis tidak terlibat dalam dialog, melainkan penulis berkedudukan sebagai pemerhati bahasa.

(4)

karya Z. Pangaduan Lubis. Buku ini diterbitkan oleh Grasindo, percetakan Gramedia, cetakan kedua. Buku tersebut terdiri dari delapan judul cerita, yaitu

1) Tuan Bagunda Raja dan Manuk 2) Asal Mula Padi

3) Si Jinaka 4) Guru Diden 5) Putri Ginting Pase 6) Dua Orang Pencuri 7) Si Aji Bonar 8) Guru Kandibata.

Dalam penelitian ini hanya menganalisis sebagian dari cerita. Cerita yang dijadikan sebagai bahan analisis sebagai berikut.

1) Tuan Bagunda Raja dan Manuk Si Nanggur Dawa 2) Asal Mula Padi

3) Putri Ginting Pase

3.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Setelah semua data dikumpulkan, untuk menyelesaikan permasalahan 

yang telah ditetapkan maka diadakan analisis terhadap data. Data dianalisis 

dengan menggunakan metode padan yang menggunakan alat penentunya di 

(5)

(Sudaryanto: 13). Berdasarkan alat penentunya data dalam penelitian ini akan 

dianalisis dengan metode padan dengan alat penentunya referent.  

Dengan  metode  ini,  peneliti  akan  merenung‐renung,  memikir‐mikir, 

mencocok‐cocokkan satuan‐satuan lingual tertentu (Subroto, 2007: 60). Untuk 

mendukung metode ini, maka teknik analisis yang digunakan adalah teknik pilah 

unsur penentu atau teknik PUP dan daya pilah pembeda reaksi sebagai teknik 

dasar. Adapun alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh 

penelitinya. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data dalam bentuk 

tulisan, maka penulis akan meneliti apakah penutur dan mitra wicara dalam 

wacana  tersebut  akan:  (a)  bertindak  mengikuti  atau  menentang  apa  yang 

dituturkan mitra wicaranya, (b) berkata dengan isi yang informatif, (c) tergerak 

emosinya, atau (d) diam namun menyimak dan berusaha memahami apa yang 

dituturkan mitra wicaranya (Sudaryanto, 1993: 13‐25).  

Dalam hal ini peneliti berusaha menyimak segala pertuturan yang ada 

dalam kumpulan Cerita Rakyat dari Karo. Dari sini tuturan dapat dikategorikan  sebagai kalimat perintah, kalimat tanya, kalimat berita, topik, kalimat seru, dan 

segmen kalimat atau gatra dan yang lain. Untuk teknik lanjutannya, peneliti 

menggunakan teknik hubung banding menyamakan (HBS). 

Contoh data (1) :

(6)

Menurut cerita, adalah seorang putri kayangan yang bernama Inang Seribu Tua. Pada suatu ketika, Inang Seribu Tua melahirkan seorang putra. Putranya itu ia beri nama Tuan Bagunda Raja. Karena tidak diketahui siapa ayah dari Tuan Bagunda Raja, maka ia dipandang sebagai putra dewa.

Setelah Tuan Bagunda Raja dewasa, Inang Seribu Tua menganjurkan supaya dia berumah tangga. Mendengar anjuran ibunya itu, berkatalah Tuan Bagunda Raja, “Saya mau berumah tangga, tetapi harus dengan

putri saudara laki-laki dari ibu.”

“Tapi saya tidak punya saudara laki-laki,” kata ibunya Inang Seribu Tua

(Lubis, 1997: 1).

(7)

Bagunda Raja seharusnya memberi putri saudara laki-lakinya (dalam masyarakat karo disebut permain) untuk dinikahi oleh putranya.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori. Berdasarkan lima kategori tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak tutur yang terkandung dalam tuturan pada data (1) termasuk ke dalam ilokusi Assertif atau Representatif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, atau meminta.

Berdasarkan metode dan teknik tersebut contoh data (1) dikategorikan 

sebagai tuturan yang mengandung pernyataan yang menyertakan topik yang 

hendak  diinginkan  oleh  si  penutur.  Contoh  di  atas  merupakan  salah  satu 

peristiwa  tutur  dalam  bentuk  pernyataan  seorang  anak  kepada  ibunya. 

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, peristiwa tutur dari contoh di atas 

dapat  dianalisis  dengan  penggunaan  komponen‐komponen  peristiwa  tutur. 

Komponen peristiwa tuturnya ialah 

1. Setting, di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung. Jadi setting peristiwa tutur dalam tuturan tersebut berlangsung pada suatu ketika di kediaman Inang Seribu Tua dan putranya di Kayangan, sedangkan

scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis

pembicaraan. Jadi scene peristiwa tutur dalam tuturan tersebut adalah ketika Tuan Bagunda Raja telah dewasa dan diminta oleh ibunya untuk segera berumah tangga.

(8)

participants peristiwa tutur dalam tuturan tersebut adalah Tuan Bagunda Raja

dan Inang Seribu Tua.

3. Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Jadi ends peristiwa tutur dalam tuturan tersebut adalah bahwa Tuan Bagunda Raja itu bertujuan memberitahu ibunya bahwa ia ingin berubah tangga jika ibunya menikahkannya dengan anak dari saudara laki-laki ibunya (dalam masyarakat karo disebut permain). Di sisi lain Inang Seribu Tua menginformasikan bahwa ia tidak mempunyai saudara laki-laki.

4. Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran, bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicara. Jadi bentuk ujaran peristiwa tutur dalam tuturan tersebut biasa-biasa saja, sama seperti tuturan sehari-hari. Dari segi isi, tuturan di atas mengandung satu pokok pikiran, yaitu menyatakan bahwa Tuan Bagunda Raja ingin berumah tangga dengan putri saudara laki-laki dari ibunya, sementara ibunya menyatakan tidak mempunyai saudara laki-laki . Isi tuturan ini sesuai dengan anjuran ibunya Inang Seribu Tua agar putranya itu segera berumah tangga.

(9)

suasana tuturan Tuan Bagunda Raja kepada ibunya, yaitu disampaikan dengan bahasa yang santun dan berusaha untuk memberitahukan satu sama lain.

6. Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities juga mengacu pada kode ujaran: bahasa, dialek, atau register. Jadi Instrumentalities pada tuturan tersebut disampaikan melalui jalur lisan, yaitu percakapan antara seorang ibu dan anak.

7. Norm of Interaction and Interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi misalnya yang berhubungan dengan cara bertanya. Seperti yang kita ketahui secara umum, dalam sebuah percakapan lisan maka peristiwa tutur itu pasti terjadi dalam situasi dan tempat yang bersamaan, jadi peneliti menyimpulkan Norm of Interaction and Interpretation dalam peristiwa tutur tersebut terjadi dalam percakapan empat mata oleh penutur dan lawan tuturnya, yaitu hanya antara Tuan Bagunda Raja dan Inang Seribu Tua.

8. Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya. Jadi Genres dalam tuturan tersebut adalah disampaikan dalam bentuk tuturan atau berupa percakapan antara penutur dan lawan tuturnya, dalam hal ini antara seorang anak Tuan Bagunda Raja dengan ibunya Inang Seribu Tua.

(10)

Raja meminta agar ibunya menikahkannya dengan putri dari saudaranya laki-laki, namun ibunya mengaku tidak mempunyai saudara laki-laki.

Teknik lanjutan yang digunakan berkenaan dengan metode padan ini adalah teknik hubung banding menyamakan (HBS). Jadi dalam hal ini persepsinya disamakan. Dengan demikian peneliti dan partisipan dalam cerita Tuan Bagunda Raja memiliki persepsi yang sama terhadap tuturan pada data di atas tersebut, yaitu melalui peristiwa tutur pada data (1) peneliti menyimpulkan bahwa Tuan Bagunda Raja akan berumah tangga hanya dengan putri saudara laki-laki dari ibunya sementara ibunya tidak ingin agar anaknya menikah dengan putri dari saudara laki-lakinya.

3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

(11)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Jenis-Jenis Tindak Tutur dalam Kumpulan Cerita Rakyat dari Karo Austin mengatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak, yaitu (1) tindak ‘lokusi’ (makna dasar), yaitu mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam suatu ungkapan. Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan sesuatu secara pasti. Gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi ujarannya, (2) tindak ‘ilokusi’ (maksud kalimat), yaitu suatu tindak yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pernyataan, mengeluarkan perintah atau permintaan. Dalam tindak ilokusi didapatkan suatu daya atau kekuatan yang mewajibkan si penutur untuk melaksanakan suatu tindak tertentu, (3) tindak ‘perlokusi’ (efek suatu ungkapan), yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.

(12)

meminta, menasihati, memohon, menuntut, (3) ekspresif adalah ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan belasungkawa, mengkritik dan sebagainya, (4) komisif adalah ilokusi yang mendorong penutur melakukan suatu tindakan, misalnya menjanjikan, menawarkan, bersumpah, mengusulkan dan sebagainya, (5) deklaratif yaitu ilokusi yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya mengundurkan diri, membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama dan sebagainya.

4.1.1 Tuan Bagunda Raja dan Manuk si Nanggur Dawa

Cerita ini merupakan mite karena para pelakunya terdiri dari makhluk kayangan. Pada zaman dahulu, orang-orang percaya bahwa cerita ini benar-benar terjadi. Isi cerita atau mite ini bagus karena menggambarkan pandangan nenek moyang suku-bangsa karo tentang penciptaan bumi, bulan, matahari, dan mata angin (Lubis, 1997: 6).

Contoh data (2):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Tuan Bagunda Raja sebagai berikut.

“Istri tuanku tidak mendapat anak karena tuanku telah melakukan

kesalahan terhadap mertua atau kalimbubu tuanku.”

(13)

“Tuanku membawa istri tuanku kemari tanpa memberitahukan lebih

dahulu kepada mertua atau kalimbubu tuanku," kata dukun itu.

“Jadi apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi kesalahan itu?”

tanya Tuan Bagunda Raja.

“Tuanku bersama istri harus pergi mohon maaf kepada mertua atau

kalimbubu tuanku,” kata sang dukun (Lubis, 1997: 3-4).

Dalam tuturan pada data (2) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya adalah setelah berumah tangga selama bertahun-tahun istri Tuan Bagunda Raja tidak mendapatkan keturunan karena Tuan Bagunda Raja membawa pergi istrinya tanpa memberi tahu mertuanya atau kalimbubu sehingga ia harus meminta maaf terlebih dahulu kepada sang mertua atau kalimbubu. Tuturan pada data (2) mempunyai daya ilokusi memberi solusi atau nasihat (kompetitif). Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan pemberian nasihat, maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dan melakukannya. Dengan demikian, setelah mendengar nasihat dari dukun sakti itu Tuan Bagunda Raja akan menyadari bahwa tindakan membawa putri kalimbubu tanpa memberitahunya adalah tindakan yang tidak benar.

(14)

Contoh data (3):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Tuan Bagunda Raja sebagai berikut.

“Kau laki-laki atau perempuan?”

“Saya laki-laki,” jawab bayi itu.

“Siapa nama yang harus diberikan kepadamu nanti kalau kau sudah

lahir?”

“Namakan aku nantu Tuan Paduka Aji.”

“Apa jabatanmu kelak dan dimana tempat tinggal yang kau kehendaki?”

“Jabatanku kelak adalah penghancur dan aku akan bertempat tinggal di

dunia bawah (Lubis, 1997:4).”

Dalam tuturan pada data (3) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya adalah Tuan bagunda raja ingi menanyakan jenis kelamin, nama, jabatan dan tempat tinggal yang diinginkan anak yang masih di kandungan istrinya. Tuturan pada data (3) mempunyai daya ilokusi pertanyaan. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan pertanyaan, maka daya perlokusinya adalah pernyataan atau jawaban. Dengan demikian, setelah bayi itu mendengar pertanyaan ayahnya Tuan Bagunda Raja, bayi itu membuat pernyataan untuk menjawab pertanyaan Tuan Bagunda Raja ayahnya.

(15)

termasuk ke dalam ilokusi asertif atau representatif, yaitu ilokusi yang bertujuan menanyakan dan menyatakan.

4.1.2 Asal Mula Padi

Cerita asal mula padi ini adalah cerita mitos. Cerita ini disebut mitos karena karena pada masa dahulu orang Karo percaya bahwa cerita ini memang benar terjadi. Di samping itu, di dalam cerita ini terdapat tokoh dewa yang menurunkan Si Beru Dayang ke atas dunia dan menjelmakannya menjadi padi agar dapat dipergunakan manusia sebagai bahan makanan.

Contoh data (4):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Asal Mula Padi ini sebagai berikut.

Pada waktu penduduk yang berkumpul itu asyik memperhatikan buah yang besar itu dengan perasaan takjub, tiba-tiba terdengar suara yang tidak diketahui dari mana asalnya. Suara itu mengatakan, “Buah yang besar itu

adalah penjelmaan Si Beru Dayang yang diturunkan ke bumi. Kalian

potong-potonglah buah itu sampai halus dan tanamlah

potongan-potongannya yang halus itu. Kalau nanti Si Beru Dayang sudah tumbuh

dan berbuah berilah dia makanan (Lubis, 1997:7-8).”

(16)

ilokusi memberi nasihat (kompetitif). Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan pemberian nasihat, maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran untuk melakukannya. Dengan demikian, setelah mendengar nasihat itu penduduk itu akan segera melakukan pesan atau nasihat dari suara yang mereka dengar itu.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak ilokusi yang terkandung dalam tindak tutur pada data (4) termasuk ke dalam ilokusi direktif, yaitu berfungsi menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur, yaitu sang dewa memberi nasihat kepada penduduk Tanah Karo.

Contoh data (5):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Asal Mula Padi ini sebagai berikut.

Setelah buah padi itu mulai mengeras, setiap orang yang menanamnya membawa tepak ke ladang tempat padi itu tumbuh. Tepak tersebut berisi sirih dan telor ayam yang dipersembahkan untuk makanan padi tersebut. kemudian, orang yang membawa tepak itu mencabut tiga rumpun padi lengkap dengan bulir buahnya. Ketiga rumpun padi tersebut diikat menjadi satu kemudian diletakkan di atas tepak tempat sirih. Kemudian sirih yang terdapat di dalam tepak dimakan oleh orang yanng membawanya. Setelah selesai makan sirih berkatalah mereka, “Sekarang engkau kami beri nama

(17)

Dalam tuturan pada data (5) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya merujuk kepada pemberian nama padi atau Si Beru Dayang. Tuturan pada data (5) mempunyai daya ilokusi pernyataan. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan pernyataan, maka daya perlokusinya adalah setelah membaca tuturan pada data (5) pembaca akan mengetahui bahwa setelah buah padi itu mulai mengeras akan dinamakan Si Beru Dayang Pemegahken.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak ilokusi yang terkandung dalam tindak tutur pada data (5) termasuk ke dalam ilokusi deklaratif yang menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan, yaitu memberi nama kepada Si Beru Dayang Pemegahken.

Contoh data (6):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Asal Mula Padi ini sebagai berikut.

(18)

Dalam tuturan pada data (6) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya merujuk kepada pemberian makanan dan nama padi atau Si Beru Dayang. Tuturan pada data (6) mempunyai daya ilokusi perintah dan pernyataan. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan perintah dan pernyataan, maka daya perlokusinya adalah setelah membaca tuturan pada data (6) pembaca akan mengetahui bahwa pada saat menjelang menuai padi penduduk Tanah Karo akan mengadakan upacara memberi makan Si Beru Dayang dan kembali memberi nama Si Beru Dayang

Patunggungken.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak ilokusi yang terkandung dalam tindak tutur pada data (6) termasuk ke dalam ilokusi deklaratif yang menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan, yaitu memberi makan dan nama kepada Si Beru Dayang.

Contoh data (7):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Asal Mula Padi ini sebagai berikut.

Ketika hari yang ditentukan sudah tiba, mereka pun pergi beramai-ramai ke ladang untuk menuai padi. Sebelum mereka mulai menuai padi, beberapa orang tua lebih dahulu berseru kepada padi yang akan mereka tuai, “Sekarang kami akan menuai kalian, dan kalian kami namakan Si

(19)

Dalam tuturan pada data (7) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya merujuk kepada pemberitahuan dan pemberian nama padi atau Si Beru Dayang. Tuturan pada data (7) mempunyai daya ilokusi pemberitahuan. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan pemberitahuan, maka daya perlokusinya adalah setelah membaca tuturan pada data (7) pembaca akan mengetahui bahwa pada saat menuai padi, penduduk Tanah Karo akan berseru bahwa mereka akan menuai padi itu dan kembali lagi memberi nama Si Beru Dayang Pepulungken.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak ilokusi yang terkandung dalam tindak tutur pada data (7) termasuk ke dalam ilokusi deklaratif yang menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan, yaitu memberi makan dan nama kepada Si Beru Dayang.

Contoh data (8):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Asal Mula Padi ini sebagai berikut.

Setelah padi dituai, beramai-ramai pula mereka mengiriknya. Padi yang sudah selesai diirik dikumpulkan dan orang-orang tua berseru kepada padi yang sudah terkumpul itu dengan mengatakan, “Sekarang kalian sudah

kami kumpulkan, bertambah banyaklah kalian sampai menggunung dan

sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang Petambunen (Lubis, 1997:

(20)

Dalam tuturan pada data (8) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya merujuk kepada pemberitahuan dan perintah kepada Si Beru Dayang. Tuturan pada data (8) mempunyai daya ilokusi menyuruh atau memerintah. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan perintah atau suruhan, dengan demikian daya perlokusinya adalah setelah membaca tuturan pada data (8) pembaca akan mengetahui bahwa pada saat menuai padi, penduduk Tanah Karo akan berseru bahwa padi atau Si Beru Dayang yang sudah mereka kumpulkan itu disuruh untuk bertambah banyak dan akan mereka beri nama kembali Si Beru Dayang Petambunen.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak ilokusi yang terkandung dalam tindak tutur pada data (8) termasuk ke dalam ilokusi direktif, yaitu ilokusi yang berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur, yaitu memerintah dan ilokusi deklaratif yang menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan, yaitu memberi makan dan nama kepada Si Beru Dayang.

4.1.3 Putri Ginting Pase

(21)

Contoh data (9):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Putri Ginting Pase ini sebagai berikut.

Pada suatu hari paman Putri Ginting Pase berkata kepadanya, “Besok aku

dan bibimu akan membawa kau ke Kahe.”

“Untuk apa kita ke sana Paman?” tanya Putri Ginting Pase.

“Mengunjungi keluarga,” jawab pamannya.

Dalam tuturan pada data (9) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya merujuk kepada pemberitahuan. Tuturan pada data (9) mempunyai daya ilokusi ajakan. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan ajakan, dengan demikian daya perlokusinya adalah setelah Putri Ginting Pase mendengar ajakan pamannya pada tuturan data (9) Putri Ginting Pase bertanya tujuan pamannya mengjaknya pergi ke Kahe.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak ilokusi yang terkandung dalam tindak tutur pada data (9) termasuk ke dalam ilokusi komisif, yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, yaitu sang Paman mengajak Putri Ginting Pase pergi ke Kahe.

Contoh data (10):

(22)

Tidak berapa lama kemudian datanglah kembali paman dan bibi Putri Ginting Pase bersama seorang lelaki yang hendak membelinya. Laki-laki si pembeli itu memeriksa keadaan Putri Ginting Pase. Setelah dia periksa, laki-laki itu berkata kepada paman Putri Ginting Pase, “Maaf, saya tidak

berani membelinya.”

“Mengapa? Tanya paman Putri Ginting Pase.

“Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu

(Lubis, 1997: 24).

Dalam tuturan pada data (10) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya adalah laki-laki itu memberitahukan kepada paman Putri Ginting Pase bahwa dia itu tidak berani membeli keponakannya. Tuturan pada data (10) mempunyai daya ilokusi memberi penolakan. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya penolakan, maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran Paman Ginting Pase. Dengan demikian, setelah mendengar laki-laki itu menolak untuk membeli keponakannya, paman Putri Ginting Pase akan menyadari bahwa tindakan menjual Putri Ginting Pase adalah tindakan yang salah.

(23)

Contoh data (11):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Putri Ginting Pase ini sebagai berikut.

Pada suatu hari, suami Putri Ginting Pase bertanya kepadanya mengapa dia dahulu datang ke Kahe yang begitu jauh dari Tanah Karo. Maka berceritalah Putri Ginting Pase mengenai segala hal yang terjadi atas dirinya sehingga dia dibawa oleh pamannya ke Kahe untuk dijual. Setelah mendengar semua cerita itu, suami Putri Ginting Pase bertanya kepadanya,

“Sekarang apa yang kau kehendaki?”

“Aku ingin agar kita segera pulang ke kampung asalku,” jawab Putri

Ginting Pase.

“Baiklah, dalam waktu dekat kita akan pulang ke sana,” kata suaminya

(Lubis, 1997: 26).

Dalam tuturan pada data (11) telah terjadi secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya adalah laki-laki itu menanyakan keinginan Putri Ginting Pase apa yang dia inginkan. Tuturan pada data (11) mempunyai daya ilokusi tawaran. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya berupa tawaran, maka daya perlokusinya adalah Putri Ginting Pase memberi jawaban atas tawaran yang diberikan oleh suaminya itu. Dengan demikian, setelah mendengar tawaran suaminya itu Putri Ginting Pase memberitahukan kepada suaminya bahwa dia ingin pulang ke Tanah Karo dan suaminya menjanjikan akan memenuhi permintaan Putri Ginting Pase.

(24)

termasuk ke dalam ilokusi komisif, yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, yaitu suami Putri Ginting Pase menjanjikan akan pulang ke Tanah Karo.

Contoh data (12):

Kutipan wacana yang menunjukkan pertuturan dalam cerita Putri Ginting Pase ini sebagai berikut.

Setibanya mereka di kampung asal Putri Ginting Pase, pengawal yang mereka bawa mengepung kampung itu. Penduduk kampung itu jadi ketakutan dan paman serta bibi Putri Ginting Pase berusaha melarikan diri. Namun, pengawal Putri Ginting Pase berhasil menangkap mereka. Ketika pengawal menghadapkan mereka kepada Putri Ginting Pase, dengan terhiba-hiba mereka berkata,

“Maafkanlah segala kesalahan kami kepadamu, Nak.”

“Kesalahan paman dan bibi kepadaku dapat kumaafkan. Tetapi kesalahan

membunuh kedua orang tuaku tak dapat dimaafkan,” sahut Putri Ginting

Pase.

“Untuk itu kalian berdua harus diberi hukuman,” kata suami Putri

Ginting Pase (Lubis, 1997: 26-27).

(25)

(seharusnya) Putri Ginting Pase memaafkan paman dan bibinya, namun dia menolak permintaan maaf dari paman dan bibinya itu. Dengan demikian, setelah mendengar permohonan maaf dari paman dan bibinya, Putri Ginting Pase tidak bisa memaafkan paman dan bibinya yang telah membunuh.

Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori. Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak ilokusi yang terkandung dalam tindak tutur pada data (12) termasuk ke dalam ilokusi direktif, yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur, yaitu paman dan bibi Putri Ginting Pase memohon maaf kepadanya, dan ilokusi deklaratif, yaitu ilokusi yang menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan, yaitu Putri Ginting Pase dan suaminya menjatuhkan hukuman kepada paman dan bibinya.

4.2 Komponen Peristiwa Tutur dalam Kumpulan Cerita Rakyat dari Karo Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka dalam setiap proses komunikasi ini terjadilah sebuah peristiwa tutur. Yang dimaksud dengan peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.

(26)

Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi (Chaer, 1995: 61-65).

Dell Hymes 1972 (dalam Chaer 1995: 62), seorang pakar linguistik terkenal mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang jika huruf-huruf awalnya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu meliputi S (setting and scene), P (participants), E (ends:

purpose and goal), A (act sequences), K ( key: tone or spirit of act), I

(instrumentalities), N (norms of interaction and interpretation), dan G (genres).

4.2.1 Tuan Bagunda Raja dan Manuk si Nanggur Dawa 4.2.1.1 Peristiwa Tutur Pertama

Setting peristiwa tutur pertama ini berlangsung di istana Tuan Bagunda

Raja di Kayangan. Scene Peristiwa tutur itu berlangsung pada situasi ketika Tuan Bagunda Raja menanyakan kepada seorang dukun sakti apa penyebab istrinya belum mendapatkan anak.

Participants peristiwa tutur yang pertama ini melibatkan dua pihak, yaitu

(27)

terdapat respon verbal dari pihak penutur dan lawan tutur yakni antara Tuan Bagunda Raja dan dukun sakti.

Contoh: “Istri tuanku tidak mendapat anak karena tuanku telah melakukan

kesalahan terhadap mertua atau kalimbubu tuanku.”

“Kesalahan apa yang kulakukan,” tanya Tuan Bagunda Raja.

Ends peristiwa tutur yang pertama ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan

interogatif dan tujuan argumentatif. Tujuan interogatif maksudnya Tuan Bagunda Raja menanyakan sesuatu kepada dukun sakti itu. Tujuan kedua argumentatif, maksudnya memaparkan jawaban dari pertanyaan Tuan Bagunda Raja.

Contoh tujuan pertama:

 Untuk mengetahui apa sebab istrinya tidak juga mendapat anak, bertanyalah Tuan Bagunda Raja kepada dukun sakti.

 Tuan Bagunda Raja menanyakan kesalahan yang ia lakukan.

“Kesalahan apa yang kulakukan,” tanya Tuan Bagunda Raja.

 Tuan Bagunda raja menanyakan apa yang harus ia lakukan.

“Jadi apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi kesalahan itu?” tanya Tuan Bagunda Raja.

Contoh tujuan kedua:

 Dukun sakti menjawab pertanyaan pertama dari Tuan Bagunda Raja

“Tuanku membawa istri tuanku kemari tanpa memberitahukan lebih

dahulu kepada mertua atau kalimbubu tuanku. Kata dukun itu.

 Dukun sakti menjawab pertanyaan kedua Tuan Bagunda Raja.

“Tuanku membawa istri tuanku kemari tanpa memberitahukan lebih

(28)

 Dukun sakti menjawab pertanyaan ketiga Tuan Bagunda Raja.

“Tuanku bersama istri harus pergi mohon maaf kepada mertua atau

kalimbubu tuanku,” kata sang dukun.

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur pertama ini ditandai

dengan bentuk bahasa pada zaman kerajaan seperti penggunaan kata sapaan ‘Tuanku’.

Contoh:

“Tuanku bersama istri harus pergi mohon maaf kepada mertua atau

kalimbubu tuanku,” kata sang dukun.

Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung dua pokok pikiran, yakni pertanyaan dari Tuan Bagunda Raja dan jawaban dari dukun sakti. Isinya sangat sesuai dengan peristiwa tutur yang biasa kita lihat pada komunikasi lain, yaitu berupa ruang pertanyaan dan jawaban.

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

peristiwa berlangsung. Sebagaimana percakapan antara Tuan dan bawahannya yang sopan, demikian juga terlihat pada peristiwa tutur yang pertama ini. Hal itu ditandai oleh penggunaan kata ‘tuanku’. Tuan Bagunda Raja menanyakan yang ingin ditanyakannya dan dukun sakti itu menjawab apa yang ditanyakan oleh Tuan Bagunda Raja.

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang pertama

(29)

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Seperti yang kita ketahui bagaimana seorang Tuan berbicara dengan bawahan, maka dapat kita bayangkan bagaimana aturan percakapan antara Tuan Bagunda Raja dan dukun sakti itu dalam peristiwa tutur pertama dalam cerita Tuan Bagunda Raja dan Manuk Si Nanggur Dawa ini. Bisa jadi sikap dalam percakapan itu terjadi dalam percakapan semuka.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur pertama

dalam cerita Tuan Bagunda Raja dan Manuk Si Nanggur Dawa ini disampaikan dalam dua bentuk, yaitu berupa pertanyaan Tuan Bagunda Raja dan jawaban dukun sakti.

Contoh:

Pertanyaan pertama:

 Untuk mengetahui apa sebab istrinya tidak juga mendapat anak, bertanyalah Tuan Bagunda Raja kepada dukun sakti.

Pertanyaan kedua:

“Kesalahan apa yang kulakukan,” tanya Tuan Bagunda Raja.

Pertanyaan ketiga:

“Jadi apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi kesalahan itu?”

tanya Tuan Bagunda Raja. Jawaban pertama:

“Tuanku membawa istri tuanku kemari tanpa memberitahukan lebih dahulu kepada mertua atau kalimbubu tuanku. Kata dukun itu.

Jawaban kedua:

(30)

Jawaban ketiga:

“Tuanku bersama istri harus pergi mohon maaf kepada mertua atau kalimbubu tuanku,” kata sang dukun.

Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa reaksi dari Tuan Bagunda Raja berupa reaksi menyimak dan berusaha mengerti apa yang disampaikan dukun sakti itu, sedangkan reaksi yang berupa emosi berasal dari dukun sakti itu karena adanya reaksi dukun berupa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dari Tuan Bagunda Raja.

Reaksi dari Tuan Bagunda Raja dan dukun sakti tidak ada yang berbeda. Artinya ketika Tuan Bagunda Raja bertanya dan dukun menjawab, Tuan Bagunda Raja mendengar dan kembali bertanya lagi sehingga dukun itu kembali menjawab pertanyaan Tuan Bagunda Raja. Jadi dalam hal ini persepsinya dengan hal pokok yaitu bertanya, mendengar dan menjawab.

Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat interogatif yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar tuturan itu memberi jawaban. Jadi, yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan jawaban.

4.2.1.2 Peristiwa Tutur Kedua

Setting peristiwa tutur kedua ini berlangsung di istana pada suatu hari

(31)

Participants peristiwa tutur yang pertama ini melibatkan tiga pihak, yaitu

Tuan Bagunda Raja sebagai penanya dan seorang bayi yang masih berada di dalam kandungan sebagai pihak penjawab, dan istri Tuan Bagunda Raja sebagai pihak pendengar. Bentuk peristiwa tutur ini yang kedua ini ialah komunikasi dua arah, yaitu terdapat respon verbal dari pihak penutur dan lawan tutur yakni antara Tuan Bagunda Raja bayi yang berada di dalam perut istrinya.

Contoh: “Kau laki-laki atau perempuan?”

“Saya laki-laki,” jawab bayi itu.

“Siapa nama yang harus diberikan kepadamu nanti kalau kau sudah

lahir?”

“Namakan aku nantu Tuan Paduka Aji.”

“Apa jabatanmu kelak dan dimana tempat tinggal yang kau kehendaki?”

“Jabatanku kelak adalah penghancur dan aku akan bertempat tinggal di

dunia bawah (Lubis, 1997:4).”

Ends peristiwa tutur yang kedua ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan

interogatif dan tujuan argumentatif. Tujuan interogatif maksudnya Tuan Bagunda Raja menanyakan sesuatu kepada bayi itu. Tujuan kedua argumentatif, maksudnya memaparkan jawaban dari pertanyaan Tuan Bagunda Raja.

Contoh tujuan pertama:

 Untuk mengetahui jenis kelamin bayi yang berada di dalam perut istrinya, bertanyalah Tuan Bagunda Raja kepada bayi itu.

“Kau laki-laki atau perempuan?”

 Tuan Bagunda raja menanyakan siapa nama yang akan diberikan kepada bayi itu.

“Siapa nama yang harus diberikan kepadamu nanti kalau kau sudah

(32)

Tuan Bagunda Raja menanyakan jabatan yang diinginkan bayi itu.

“Apa jabatanmu kelak dan dimana tempat tinggal yang kau kehendaki?”

Contoh tujuan kedua:

 Bayi itu menjawab pertanyaan pertama dari Tuan Bagunda Raja.

“Saya laki-laki,” jawab bayi itu.

 Bayi itu menjawab pertanyaan kedua dari Tuan Bagunda Raja.

“Namakan aku nanti Tuan Paduka Aji.”

 Bayi itu menjawab pertanyaan ketiga dari Tuan Bagunda Raja.

“Jabatanku kelak adalah penghancur dan aku akan bertempat tinggal di

dunia bawah.”

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur pertama ini ditandai

dengan bentuk bahasa pada zaman kerajaan seperti pemakaian nama depan yang diawali dengan kata ‘Tuan’.

Contoh: “Namakan aku nanti Tuan Paduka Aji.”

Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung dua pokok pikiran, yakni pertanyaan dari Tuan Bagunda Raja dan jawaban dari seorang bayi. Isinya sangat sesuai dengan peristiwa tutur yang biasa kita lihat pada komunikasi lain, yaitu berupa ruang pertanyaan dan jawaban.

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

(33)

di dekat istrinya yang sedang hamil dan bisa jadi Tuan Bagunda Raja menyentuh dan menatap perut istrinya.

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang kedua

dalam cerita Tuan Bagunda Raja dan Manuk Si Nanggur Dawa ini disampaikan secara lisan dengan ragam resmi.

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Peristiwa tutur yang kedua ini, Tuan Bagunda Raja duduk di dekat istrinya yang sedang hamil. Bayi Tuan Bagunda Raja berada dalam kandungan istrinya, lalu mulailah berlangsung percakapan antara Tuan Bagunda Raja dan bayinya setelah Tuan Bagunda Raja mendengar suara dari perut istrinya. Ketika Tuan Bagunda Raja bercakap-cakap dengan bayi itu, istrinya hanya diam saja.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur kedua

dalam cerita Tuan Bagunda Raja dan Manuk Si Nanggur Dawa ini disampaikan dalam dua bentuk, yaitu berupa pertanyaan Tuan Bagunda Raja dan jawaban bayi yang berada di dalam perut.

Contoh:

Pertanyaan pertama:

 Untuk mengetahui jenis kelamin bayi yang berada di dalam perut istrinya.

“Kau laki-laki atau perempuan?”

Pertanyaan kedua:

(34)

“Siapa nama yang harus diberikan kepadamu nanti kalau kau sudah

lahir?”

Pertanyaan ketiga:

Tuan Bagunda Raja menanyakan jabatan yang diinginkan bayi itu.

“Apa jabatanmu kelak dan dimana tempat tinggal yang kau kehendaki?”

Jawaban pertama:

“Saya laki-laki,” jawab bayi itu.

Jawaban kedua:

“Namakan aku nanti Tuan Paduka Aji.”

Jawaban ketiga:

“Jabatanku kelak adalah penghancur dan aku akan bertempat tinggal di

dunia bawah.”

Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa reaksi dari Tuan Bagunda Raja berupa reaksi menyimak dan berusaha mengerti apa yang disampaikan bayi itu, sedangkan reaksi yang berupa emosi berasal dari bayi yang berada di dalam perut istri Tuan Bagunda Raja karena adanya reaksi bayi itu berupa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dari ayahnya Tuan Bagunda Raja.

(35)

Isi peristiwa tutur ini hanya meminta istri sebagai pendengar untuk menaruh perhatian saja. Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat interogatif yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar tuturan itu memberi jawaban. Jadi, yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan jawaban.

4.2.2 Asal Mula Padi

4.2.2.1 Peristiwa Tutur Ketiga

Setting peristiwa tutur ketiga ini berlangsung di Tanah Karo ketika semua

penduduk tengah berkumpul. Tuturan yang didengar oleh penduduk itu berasal dari dewa yang menurunkan Si Beru Dayang dari langit ke bumi. Scene atau suasana peristiwa tutur itu berlangsung pada situasi ketika penduduk Tanah Karo berkumpul memperhatikan buah yang besar yang ditemukan oleh anak-anak itu.

Participants peristiwa tutur yang ketiga ini melibatkan dua pihak, yaitu

dewa yang berbicara dari langit itu melibatkan raja dan penduduk Tanah Karo yang tengah berkumpul itu sebagai partisipannya. Bentuk komunikasi ini satu arah karena tidak ada respon verbal secara langsung dari raja dan penduduknya. Contoh:

“Buah yang besar itu adalah penjelmaan Si Beru Dayang yang

diturunkan ke bumi. Kalian potong-potonglah buah itu sampai halus dan

tanamlah potongan-potongannya yang halus itu. Kalau nanti Si Beru

Dayang sudah tumbuh dan berbuah berilah dia makanan (Lubis,

(36)

Pada peristiwa tutur ini yang aktif berbicara hanyalah dewa dari langit itu, namun demikian tidak berarti penduduk dan raja itu tidak terlibat di dalamnya, mereka terlibat secara mental/secara tidak langsung.

Ends peristiwa tutur yang ketiga ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan

argumentatif dan tujuan persuatif. Tujuan argumentatif maksudnya dewa itu memberitahu penduduk Tanah Karo mengenai buah yang besar itu. Tujuan kedua persuatif, maksudnya berupa bujukan atau perintah dari petutur kepada lawan tutur.

Contoh:

“Buah yang besar itu adalah penjelmaan Si Beru Dayang yang diturunkan

ke bumi. Kalian potong-potonglah buah itu sampai halus dan tanamlah

potongan-potongannya yang halus itu. Kalau nanti Si Beru Dayang sudah

tumbuh dan berbuah berilah dia makanan (Lubis, 1997:7-8).”

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur ketiga ini

biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda seperti puitis, atau dengan gaya bahasa. Jadi bentuknya biasa saja karena bentuk tutur dewa itu sama seperti tuturan sehari-hari, namun memberikan pengetahuan dan nasihat kepada semua penduduk yang berkumpul itu.

Contoh:

“Buah yang besar itu adalah penjelmaan Si Beru Dayang yang diturunkan

ke bumi. Kalian potong-potonglah buah itu sampai halus dan tanamlah

potongan-potongannya yang halus itu. Kalau nanti Si Beru Dayang sudah

(37)

Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung dua pokok pikiran, yakni berupa pemberitahuan dan perintah atau saran.

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

peristiwa tutur berlangsung. Tuturan ini disampaikan oleh dewa yang menurunkan Si Beru Dayang dari langit ke bumi dan menjelmakannya menjadi buah yang sangat besar, sedangkan para penduduk dan raja tengah berkumpul sedang melihat dan bertanya-tanya tentang buah yang besar itu.

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang ketiga

dalam cerita Asal Mula Padi ini disampaikan secara lisan oleh dewa yang berasal dari langit. Kode/ragam yang digunakan merupakan kode/ragam resmi.

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Peristiwa tutur yang ketiga ini, dewa yang menyampaikan tuturan itu tidak berada di antara penduduk maupun raja, melainkan berada di langit, sedangkan penduduk dan raja melihat-lihat buah itu. Ketika dewa menyampaikan tuturan itu, semua penduduk dan raja hanya diam saja.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur ketiga

dalam cerita Asal Mula Padi ini disampaikan dalam bentuk berupa pemberitahuan dan perintah atau anjuran kepada penduduk.

Contoh:

“Buah yang besar itu adalah penjelmaan Si Beru Dayang yang diturunkan

ke bumi. Kalian potong-potonglah buah itu sampai halus dan tanamlah

potongan-potongannya yang halus itu. Kalau nanti Si Beru Dayang sudah

(38)

Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa reaksi dari para penduduk dan raja berupa reaksi mendengar, menyimak dan berusaha mengerti apa yang disampaikan suara itu.

Reaksi dari penduduk dan raja itu tidak ada yang berbeda. Reaksinya sama tidak ada yang tergerak emosinya, jadi dalam hal ini persepsinya disamakan yaitu berbicara dan mendengar.

Isi peristiwa tutur ini hanya meminta para penduduk dan raja sebagai pendengar untuk menaruh perhatian saja. Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat topik yang isinya untuk memberitahukan tentang buah yang menjelma menjadi Si Beru Dayang atau yang akan menjadi bibit padi sebagai topik dalam cerita ini.

4.2.2.2 Peristiwa Tutur Keempat

Setting peristiwa tutur keempat ini berlangsung di ladang tempat padi itu

tumbuh ketika penduduk Tanah Karo yang menanam padi pergi ke ladang membawa tepak berisi sirih dan telor ayam yang akan dipersembahkan untuk makanan padi. Scene atau suasana peristiwa tutur itu berlangsung pada saat orang yang membawa sirih itu selesai makan sirih.

Participants peristiwa tutur yang keempat ini melibatkan beberapa pihak,

(39)

Contoh:

“Sekarang engkau kami beri nama Si Beru Dayang Pemegahken”

Pada peristiwa tutur ini yang aktif berbicara hanyalah yang mempersembahkan makanan untuk jelmaan padi itu, namun demikian tidak berarti penduduk yang lain tidak terlibat di dalamnya, mereka terlibat secara mental/secara tidak langsung.

Ends peristiwa tutur yang keempat ini mempunyai tujuan, yaitu tujuan

ekspositif. Tujuan ekspositif maksudnya salah satu dari penduduk itu menginformasikan sesuatu kepada jelmaan padi itu.

Contoh:

“Sekarang engkau kami beri nama Si Beru Dayang Pemegahken”

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur keempat ini biasa-biasa

saja, tidak ada yang berbeda seperti puitis, namun diselingi dengan gaya bahasa kedaerahan yaitu penggunaan kata ‘Pemegahken’. Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung pokok pikiran, yakni berupa pemberian nama atau menerangkan sesuatu.

Contoh:

“Sekarang engkau kami beri nama Si Beru Dayang Pemegahken”

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

(40)

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang keempat

dalam cerita Asal Mula Padi ini disampaikan secara lisan oleh penduduk yang mempersembahkan makanan untuk padi itu. Kode/ragam yang digunakan merupakan kode/ragam resmi.

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Tuturan ini disampaikan oleh penduduk yang mempersembahkan makanan untuk padi itu yang memposisikan dirinya duduk tepat berhadapan dengan tiga rumpun jelmaan padi yang telah dicabut tersebut.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur ketiga

dalam cerita Asal Mula Padi ini disampaikan dalam bentuk berupa pemberitahuan atau keterangan tentang Si Beru Dayang.

Contoh:

“Sekarang engkau kami beri nama Si Beru Dayang Pemegahken”.

Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa reaksi dari para penduduk dan jelmaan padi itu berupa reaksi mendengar apa yang disampaikan penduduk yang mempersembahkan makanan untuk padi itu.

Reaksi dari penduduk dan jelmaan padi itu tidak ada yang berbeda. Reaksinya sama tidak ada yang tergerak emosinya, jadi dalam hal ini persepsinya disamakan yaitu berbicara dan mendengar.

(41)

memberitahukan tentang Si Beru Dayang atau yang menjadi bibit padi sebagai topik dalam cerita ini.

4.2.2.3 Peristiwa Tutur Kelima

Setting peristiwa tutur kelima ini berlangsung di ladang tempat padi itu

tumbuh ketika penduduk Tanah Karo yang menanam padi pergi ke ladang padi yang akan dituai. Scene atau suasana peristiwa tutur itu berlangsung pada saat orang tua pergi ke ladang padi yang akan dituai dan berjalan mengelilingi ladang tersebut sambil berseru “Makanlah kalian wahai padi, makanan untuk kalian

sudah kami sediakan. Sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang

Patunggungken (Lubis, 1997: 9).”

Participants peristiwa tutur yang kelima ini melibatkan beberapa pihak,

yaitu para penduduk Tanah Karo yang sedang mengelilingi ladang padi yang akan dituai untuk mempersembahkan makanan untuk padi tersebut dan menempatkan jelmaan padi yang akan di tuai sebagai partisipannya. Bentuk komunikasi ini satu arah karena tidak ada respon verbal secara langsung para partisipannya.

Contoh:

“Makanlah kalian wahai padi, makanan untuk kalian sudah kami

sediakan. Sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang

Patunggungken (Lubis, 1997: 9).”

(42)

Ends peristiwa tutur yang kelima ini mempunyai tujuan, yaitu tujuan

ekspositif. Tujuan ekspositif maksudnya salah satu dari penduduk itu menginformasikan sesuatu kepada jelmaan padi itu.

Contoh:

“Makanlah kalian wahai padi, makanan untuk kalian sudah kami

sediakan. Sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang Patunggungken

(Lubis, 1997: 9).”

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur kelima ini

biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda seperti puitis, namun diselingi dengan gaya bahasa kedaerahan yaitu penggunaan kata ‘Patunggungken’.

Contoh:

“Makanlah kalian wahai padi, makanan untuk kalian sudah kami

sediakan. Sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang Patunggungken

(Lubis, 1997: 9).”

Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung pokok pikiran, yakni berupa pemberian nama atau menerangkan sesuatu.

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

peristiwa tutur berlangsung. Tuturan ini disampaikan oleh penduduk yang mempersembahkan makanan untuk padi itu yang memposisikan dirinya berjalan mengelilingi ladang padi yang akan dituai.

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang keempat

(43)

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Tuturan ini disampaikan oleh penduduk yang mempersembahkan makanan untuk padi itu yang memposisikan dirinya berjalan mengelilingi ladang padi yang akan dituai.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur kelima

dalam cerita Asal Mula Padi ini disampaikan dalam bentuk berupa perintah dan pemberitahuan atau keterangan tentang Si Beru Dayang.

Contoh:

“Makanlah kalian wahai padi, makanan untuk kalian sudah kami

sediakan. Sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang

Patunggungken (Lubis, 1997: 9).”

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa reaksi dari para penduduk dan jelmaan padi itu berupa reaksi mendengar apa yang disampaikan penduduk yang mempersembahkan makanan untuk padi itu.

Reaksi dari penduduk dan jelmaan padi itu tidak ada yang berbeda. Reaksinya sama tidak ada yang tergerak emosinya, jadi dalam hal ini persepsinya disamakan yaitu berbicara dan mendengar.

(44)

4.2.2.4 Peristiwa Tutur Keenam

Setting peristiwa tutur keenam ini berlangsung di ladang tempat padi itu

tumbuh ketika penduduk Tanah Karo pergi ke ladang padi yang akan dituai. Scene atau suasana peristiwa tutur itu berlangsung pada saat penduduk beramai-ramai pergi ke ladang padi yang akan dituai dan berseru “Sekarang kami akan menuai

kalian, dan kalian kami namakan Si Beru Dayang Pepulungken (Lubis, 1997:

10).”

Participants peristiwa tutur yang keenam ini melibatkan beberapa pihak,

yaitu para penduduk Tanah Karo dan orang tua yang sedang berseru kepada padi yang akan dituai dan menempatkan jelmaan padi yang akan di tuai sebagai partisipannya. Bentuk komunikasi ini satu arah karena tidak ada respon verbal secara langsung para partisipannya.

Contoh:

“Sekarang kami akan menuai kalian, dan kalian kami namakan Si Beru

Dayang Pepulungken (Lubis, 1997: 10).”

Pada peristiwa tutur ini yang aktif berbicara hanyalah beberapa orang tua yang berseru kepada padi yang akan dituai, namun demikian tidak berarti penduduk yang lain tidak terlibat di dalamnya, mereka terlibat secara mental/secara tidak langsung.

Ends peristiwa tutur yang keenam ini mempunyai tujuan, yaitu tujuan

ekspositif. Tujuan ekspositif maksudnya beberapa orang tua itu menginformasikan sesuatu kepada jelmaan padi itu.

Contoh:

(45)

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur keenam ini

biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda seperti puitis, namun diselingi dengan gaya bahasa kedaerahan yaitu penggunaan kata ‘Pepulungkenken’.

Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung pokok pikiran, yakni berupa pemberian nama atau menerangkan sesuatu.

Contoh:

“Sekarang kami akan menuai kalian, dan kalian kami namakan Si Beru

Dayang Pepulungken (Lubis, 1997: 10).”

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

peristiwa tutur berlangsung. Tuturan ini disampaikan oleh beberapa orang tua yang akan menuai padi itu yang menyerukan sesuatu kepada padi yang akan dituai.

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang keenam

dalam cerita Asal Mula Padi ini disampaikan secara lisan oleh beberapa orang tua yang akan menuai padi itu. Kode/ragam yang digunakan merupakan kode/ragam resmi.

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Tuturan ini disampaikan oleh beberapa orang tua yang menyerukan sesuatu kepada padi yang akan dituai itu.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur keenam

(46)

Contoh:

“Sekarang kami akan menuai kalian, dan kalian kami namakan Si Beru

Dayang Pepulungken (Lubis, 1997: 10).”

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa reaksi dari para penduduk dan jelmaan padi itu berupa reaksi mendengar apa yang disampaikan oleh beberapa orang tua kepada padi yang akan mereka tuai itu.

Reaksi dari penduduk dan jelmaan padi itu tidak ada yang berbeda. Reaksinya sama tidak ada yang tergerak emosinya, jadi dalam hal ini persepsinya disamakan yaitu berbicara dan mendengar.

Isi peristiwa tutur ini hanya menempatkan para penduduk dan jelmaan Si Beru Dayang sebagai pendengar saja. Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat topik yang isinya untuk memberitahukan tentang Si Beru Dayang sebagai topik dalam cerita ini.

4.2.2.5 Peristiwa Tutur Ketujuh

Setting peristiwa tutur ketujuh ini berlangsung di ladang tempat padi yang

sudah dituai. Scene atau suasana peristiwa tutur itu berlangsung pada saat penduduk beramai-ramai mengirik padi yang sudah dituai sambil mengatakan

“Sekarang kalian sudah kami kumpulkan, bertambah banyaklah kalian sampai

menggunung dan sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang Petambunen

(Lubis, 1997: 10).”

Participants peristiwa tutur yang ketujuh ini melibatkan beberapa pihak,

(47)

yang sedang diirik dan menempatkan jelmaan padi yang sudah dituai sebagai partisipannya. Bentuk komunikasi ini satu arah karena tidak ada respon verbal secara langsung para partisipannya.

Contoh:

“Sekarang kalian sudah kami kumpulkan, bertambah banyaklah kalian

sampai menggunung dan sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang

Petambunen (Lubis, 1997: 10).”

Pada peristiwa tutur ini yang aktif berbicara hanyalah beberapa orang tua yang berseru kepada padi yang sudah diirik, namun demikian tidak berarti penduduk yang lain tidak terlibat di dalamnya, mereka terlibat secara mental/secara tidak langsung.

Ends peristiwa tutur yang ketujuh ini mempunyai tujuan, yaitu tujuan

ekspositif. Tujuan ekspositif maksudnya beberapa orang tua itu menginformasikan sesuatu kepada jelmaan padi yang sudah diirik itu.

Contoh:

“Sekarang kalian sudah kami kumpulkan, bertambah banyaklah kalian

sampai menggunung dan sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang

Petambunen (Lubis, 1997: 10).”

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur ketujuh ini

(48)

Contoh:

“Sekarang kalian sudah kami kumpulkan, bertambah banyaklah kalian

sampai menggunung dan sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang

Petambunen (Lubis, 1997: 10).”

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

peristiwa tutur berlangsung. Tuturan ini disampaikan oleh beberapa orang tua yang sudah selesai mengirik padi dan menyerukan sesuatu kepada padi yang sudah mereka kumpulkan.

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang ketujuh

dalam cerita Asal Mula Padi ini disampaikan secara lisan oleh beberapa orang tua yang sedang mengumpulkan padi yang sudah selesai diirik. Kode/ragam yang digunakan merupakan kode/ragam resmi.

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Tuturan ini disampaikan oleh beberapa orang tua yang menyerukan sesuatu kepada padi yang sudah mereka kumpulkan.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur ketujuh

dalam cerita Asal Mula Padi ini disampaikan dalam bentuk berupa pemberitahuan atau keterangan tentang Si Beru Dayang.

Contoh:

“Sekarang kalian sudah kami kumpulkan, bertambah banyaklah kalian

sampai menggunung dan sekarang kalian kami namakan Si Beru Dayang

(49)

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa reaksi dari para penduduk dan jelmaan padi itu berupa reaksi mendengar apa yang disampaikan oleh beberapa orang tua kepada padi yang sudah mereka kumpulkan.

Reaksi dari penduduk dan jelmaan padi itu tidak ada yang berbeda. Reaksinya sama tidak ada yang tergerak emosinya, jadi dalam hal ini persepsinya disamakan yaitu berbicara dan mendengar.

Isi peristiwa tutur ini hanya menempatkan para penduduk dan jelmaan Si Beru Dayang sebagai pendengar saja. Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat topik yang isinya untuk memberitahukan tentang Si Beru Dayang sebagai topik dalam cerita ini.

4.2.3 Putri Ginting Pase

4.2.3.1 Peristiwa Tutur Kedelapan

Setting peristiwa tutur kedelapan ini berlangsung pada suatu hari di Tanah

Karo tempat Putri Ginting Pase, bibi dan pamannya tinggal. Scene atau suasana peristiwa tutur ini berlangsung setelah ayah dan ibu Putri Ginting Pase meninggal dan tinggal bersama paman dan bibinya. Pada saat itu pamannya mengajaknya pergi ke Kahe.

Contoh:

“Besok aku dan bibimu akan membawa kau ke Kahe.”

“Untuk apa kita ke sana Paman?” tanya Putri Ginting Pase.

“Mengunjungi keluarga,” jawab pamannya.

Participants peristiwa tutur yang ketujuh ini melibatkan dua pihak, yaitu

(50)

Pase (orang yang pertama berbicara) mengajak Putri Ginting Pase pergi ke Kahe. Peristiwa tutur ini merupakan bentuk komunikasi dua arah, yaitu terdapat respon verbal dari partisipan.

Contoh:

“Besok aku dan bibimu akan membawa kau ke Kahe.”

“Untuk apa kita ke sana Paman?” tanya Putri Ginting Pase.

“Mengunjungi keluarga,” jawab pamannya (Lubis, 1997: 24).

Ends peristiwa tutur yang ketujuh ini mempunyai dua tujuan, yaitu

persuatif dan tujuan interogatif. Tujuan persuatif maksudnya berupa ajakan. Dalam hal ini paman Putri Ginting Pase mengajak Putri Ginting Pase pergi ke Kahe.

Contoh:

“Besok aku dan bibimu akan membawa kau ke Kahe.”

Tujuan yang kedua ialah tujuan interogatif maksudnya menanyakan sesuatu kepada lawan tuturnya, dalam hal ini Putri Ginting Pase menanyakan sesuatu kepada pamannya.

Contoh:

“Untuk apa kita ke sana Paman?”

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur ketujuh ini

biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda seperti puitis, namun tuturan pada peristiwa tutur ini merupakan tuturan yang memberikan pengetahuan kepada Putri Ginting Pase mengenai tujuan mereka pergi ke Kahe.

(51)

“Untuk apa kita ke sana Paman?” tanya Putri Ginting Pase.

“Mengunjungi keluarga,” jawab pamannya (Lubis, 1997: 24).

Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung beberapa pokok pikiran, yakni ajakan untuk pergi ke Kahe dan pengetahuan mengenai tujuan pergi ke Kahe.

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

peristiwa tutur berlangsung. Tuturan ini disampaikan oleh dua pihak partisipan, yaitu Putri Ginting Pase dan pamannya. Tuturan itu disampaikan pada suatu hari pada saat paman Putri Ginting Pase mengajaknya ke Kahe. Tuturan itu disampaikan dengan cara berbohong untuk mengajak Putri Ginting Pase Ke Kahe.

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang ketujuh

dalam cerita Putri Ginting Pase ini disampaikan secara lisan oleh Putri Ginting Pase dan pamannya. Kode/ragam yang digunakan merupakan kode/ragam resmi.

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Tuturan ini disampaikan dengan tujuan persuatuf atau berupa ajakan kepada Putri Ginting Pase untuk mengunjungi keluarga padahal maksud sebenarnya adalah untuk menjual Putri Ginting Pase.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur

kedelapan ini disampaikan dalam bentuk berupa ajakan, pertanyaan, dan jawaban. Contoh:

“Besok aku dan bibimu akan membawa kau ke Kahe.”

“Untuk apa kita ke sana Paman?” tanya Putri Ginting Pase.

(52)

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa reaksi dari para partisipan berupa reaksi mendengar dan berusaha mengerti apa yang disampaikan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini reaksi yang timbul adalah reaksi tanya jawab. Reaksi dari pendengar dan penutur tidak ada yang berbeda, partisipan yang satu menuturkan, partisipan kedua mendengarkan yang dituturkan lawan tuturnya. Jadi, dalam hal ini persepsinya menginformasikan dan mengetahui. Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat interogatif yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar tuturan itu memberi jawaban. Jadi, yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan jawaban.

4.2.3.2 Peristiwa Tutur Kesembilan

Setting peristiwa tutur kesembilan ini berlangsung setelah beberapa

minggu berjalan kaki hingga sampai di Kahe ketika paman dan bibi Putri Ginting Pase menyuruh Putri Ginting Pase menunggu dan beristirahat di satu warung. Kemudian mereka mencari orang yang mau membeli Putri Ginting Pase. Scene peristiwa tutur itu berlangsung pada situasi ketika paman dan bibi Putri Ginting Pase datang kembali bersama seorang laki-laki yang hendak membeli Putri Ginting Pase.

Contoh:

“Maaf, saya tidak berani membelinya.”

“Mengapa? Tanya paman Putri Ginting Pase.

“Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu

(53)

Participants peristiwa tutur kesembilan ini melibatkan beberapa pihak,

yaitu seorang laki-laki, paman, bibi, dan Putri Ginting Pase. Bentuk peristiwa tutur ini ialah komunikasi dua arah, yaitu terdapat respon verbal dari pihak penutur dan lawan tutur yakni antara seorang lelaki dan paman Putri Ginting Pase. Contoh:

“Maaf, saya tidak berani membelinya.”

“Mengapa? Tanya paman Putri Ginting Pase.

“Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu

(Lubis, 1997: 24).

Pada peristiwa tutur kesembilan ini yang aktif berbicara hanya seorang laki-laki dan paman Putri Ginting Pase, namun demikian tidak berarti partisipan yang lain tidak terlibat di dalamnya, mereka terlibat secara mental.

Ends peristiwa tutur yang kesembilan ini mempunyai dua tujuan, yaitu

tujuan argumentatif dan interogatif. Pertama tujuan argumentatif, maksudnya memaparkan jawaban dari pertanyaan paman Putri Ginting Pase. Kedua tujuan interogatif maksudnya paman Putri Ginting pase menanyakan sesuatu kepada laki-laki itu.

Contoh tujuan pertama:

 Laki-laki menolak tawaran paman dan bibi Putri Ginting Pase untuk membeli Putri Ginting Pase.

“Maaf, saya tidak berani membelinya.”

(54)

Contoh tujuan kedua:

 Paman Putri Ginting Pase menanyakan alasan laki-laki itu menolak membeli Putri Ginting Pase.

“Mengapa”

Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur tanya jawab

kesembilan ini biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda seperti puitis dan dengan gaya bahasa. Peristiwa tutur ini merupakan tuturan yang memberikan pengetahuan kepada para partisipan bahwa laki-laki itu tidak berani membeli Putri Ginting Pase.

Contoh:

“Maaf, saya tidak berani membelinya.”

“Mengapa? Tanya paman Putri Ginting Pase.

“Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu

(Lubis, 1997: 24).

Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung dua pokok pikiran, yakni pertanyaan dari paman Putri Ginting Pase dan jawaban dari seorang laki-laki. Isinya sangat sesuai dengan peristiwa tutur yang biasa kita lihat pada komunikasi lain, yaitu berupa ruang pertanyaan dan jawaban.

Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat

(55)

itu paman Putri Ginting Pase menanyakan sebab mengapa laki-laki itu tidak berani membelinya, tanpa mengutarakan alasan yang jelas laki-laki itu menjawab pertanyaan dari paman Putri Ginting Pase itu.

Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang

kesembilan ini disampaikan secara lisan oleh paman Putri Ginting Pase dan laki-laki itu dengan ragam resmi.

Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan

tingkah laku dalam berinteraksi. Seperti yang kita ketahui bagaimana percakapan antara penjual dan pembeli, maka dapat kita bayangkan bagaimana aturan percakapan antara paman Putri Ginting Pase dan laki-laki itu dalam peristiwa tutur kesembilan ini. Bisa jadi sikap dalam percakapan itu terjadi dalam percakapan semuka setelah laki-laki itu melakukan pemeriksaan terhadap Putri Ginting Pase.

Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur

kesembilan ini disampaikan dalam dua bentuk, yaitu berupa pertanyaan paman Putri Ginting Pase dan jawaban seorang laki-laki.

Contoh:

“Mengapa” tanya paman Putri Ginting Pase.

“Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu.

(56)

Putri Ginting Pase, karena adanya reaksi berupa pertanyaan atas peryataan laki-laki yang hendak membeli Putri Ginting Pase.

Reaksi dari pendengar dan penutur tidak ada yang berbeda. Artinya ketika satu orang berbicara orang lain mendengarkan apa yang dibicarakan. Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat interogatif yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar tuturan itu memberi jawaban. Jadi, yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan jawaban.

4.2.3.3 Peristiwa Tutur Kesepuluh

Setting peristiwa tutur kesepuluh ini berlangsung pada suatu hari ketika

suaminya bertanya mengapa dahulu dia datang ke Kahe yang begitu jauh dari Tnah Karo. Scene peristiwa tutur itu berlangsung pada situasi ketika suami Putri Ginting Pase mendengar cerita istrinya mengenai segala hal yang terjadi atas dirinya sehingga dia dibawa oleh pamannya ke Kahe untuk dijual. paman dan bibi Putri Ginting Pase datang kembali bersama seorang laki-laki yang hendak membeli Putri Ginting Pase.

Participants peristiwa tutur kesepuluh ini melibatkan dua pihak, yaitu

Putri Ginting Pase dan suaminya. Bentuk peristiwa tutur ini ialah komunikasi dua arah, yaitu terdapat respon verbal dari pihak penutur dan lawan tutur yakni antara Putri Ginting Pase dan suaminya.

Contoh:

(57)

“Aku ingin agar kita segera pulang ke kampung asalku,” jawab Putri

Ginting Pase.

“Baiklah, dalam waktu dekat kita akan pulang ke sana,” kata suaminya

(Lubis, 1997: 26).

Pada peristiwa tutur kesepuluh ini kedua partisipan aktif berbicara dalam bentuk tanya jawab antara Putri Ginting Pase dan suaminya.

Ends peristiwa tutur yang kesepuluh ini mempunyai tiga tujuan, yaitu

tujuan interogatif, tujuan argumentatif, dan tujuan persuatif. Pertama tujuan interogatif maksudnya suami Putri Ginting pase menanyakan sesuatu kepada Putri Ginting Pase. Kedua tujuan argumentatif, maksudnya memaparkan jawaban dari pertanyaan suami Putri Ginting Pase. Ketiga tujuan persuatif, maksu

Referensi

Dokumen terkait

Sumber data adalah semua informasi yang berupa benda nyata, abstrak, ataupun dalam bentuk peristiwa/gejala (Sukandarrumidi dan Haryanto, 2007: 20). Sumber data dalam

Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek , sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek karya Djenar

Hubungan makna pengandaian dalam cerita rakyat Belitung yang berjudul Cerite Kampong dari Kampoeng Halaman oleh Bule Sahib ditemui sebanyak enam data dari 653

dalam cerita ini terdiri dari 6 penggunaan yang merujuk pada tiga tokoh yang ada dalam cerita, yaitu burung gagak, Raja, dan Putri Jelumpang. Bentuk ‘ - ku‘

Kumpulan Cerita Rakyat Kalimantan Barat”. Data dalam penelitian ini adalah cerita versi Bahasa Indonesi dalam buku “Petuah Tanah Leluhur: Kumpulan Cerita Rakyat

1. Membaca novel Cerita Calon Arang secara cermat dan berulang-ulang serta menandai peristiwa-peristiwa dalam cerita CCA yang berkaitan dengan penelitian. Mencatat data

Data penelitian ini adalah nilai- nilai pendidikan karakter dalam 8 cerita rakyat Jambi dan sumber datanya buku Cerita Rakyat dari Jambi 2 dengan depalan judul cerita 1 Asal Usul Raja

Pada masa kolonial, sosok perempuan menjadi objek dalam motif batik bercerita yang diadopsi dari Cerita Rakyat Eropa, seperti cerita The Red Riding Hood, Snow White dan berbagai cerita