• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEIKSIS DALAM SERI CERITA RAKYAT KALANTIKA PENULIS CHAIRIL EFFENDY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DEIKSIS DALAM SERI CERITA RAKYAT KALANTIKA PENULIS CHAIRIL EFFENDY"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DEIKSIS DALAM SERI CERITA RAKYAT KALANTIKA

PENULIS CHAIRIL EFFENDY

Irma Sari, Sisilya Saman, Agus Syahrani

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Email: irmasari438@gmail.com

Abstract

Background of this research was to review and to analyze the deixis in folklore series which was the result of transcription from spoken to written language.

The

aimed of this research to classify of types and functions deixis and to describe

the relation between persona deixis and social deixis was Folklore Kalantika

Series.

The form of this research was qualitative with descriptive method. The data in this research was the deixis every folklore. The Source of this research was four folklore in every Folklore Kalantika Series. The data collection technique in this research was using documentation. The instrument was take the data from deixis sentences, in particular of persona deixis sentences and social deixis sentences.

Based on data analysis of the four stories in

folklore Kalantika series, it can be concluded that deixis persona which often used is deixis persona third singular person in the form ‘-nya’, meanwhile on deixis social that often appeared is the form of ‘bapak’ which fuction as the diversification of somebody’s social level. There are connection between deixis persona with deixis social because some forms of deixis social are parts of deixis persona. This thing can be seen from the form of ‘bapak’ which fuction as social degree as seen from genetic relationship adressing and also it has referential for second person or part of deixis persona second singular.

Keywords: Deixis, Folklore. Kalantika Series, Chairil Effendy, Malay of Sambas

Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang makna yang disampaikan penutur baik secara lisan maupun tulisan yang ditafsirkan pembaca atau pendengar. Kajian pragmatik melibatkan interpretasi tentang maksud seseorang ketika ia menuturkan sesuatu dalam konteks tertentu dan bagaimana konteks tersebut memengaruhi tuturan yang diucapkannya. Kajian ini mengharuskan adanya pertimbangan tentang bagaimana penutur mengatur tuturannya berkaitan dengan orang yang ia ajak bicara, tempat dan waktu terjadinya tuturan, serta situasi yang menaungi tuturan tersebut. Jika dibandingkan dengan kajian-kajian linguistik yang lain, pragmatik merupakan satu-satunya kajian

yang memperbolehkan penutur bahasa masuk ke dalam analisisnya.

Pragmatik mengkaji beberapa hal, yaitu deiksis, praanggapan, tindak ujar, implikatur, dan struktur wacana. Deiksis menurut Yule (2014:13) adalah istilah teknis untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis merupakan kajian pragmatik, tetapi deiksis juga dikatakan merupakan gejala semantik yang terdapat pada kata-kata yang dapat

ditafsirkan acuannya dengan

memperhitungkan situasi pembicaraan yang jelas karena di dalam pembicaraan tersebut terdapat peserta tindak tutur yang mempunyai maksud dan tujuan.

(2)

muncul. Penelitian deiksis, khususnya deiksis persona dan sosial yang terdapat di dalam cerita rakyat merupakan sesuatu hal yang unik untuk diteliti. Penggunaan deiksis persona dan sosial di dalam cerita rakyat dapat ditemukan melalui kata penunjuk pada tokoh dan latar sosial yang terdapat dalam cerita. Keempat deiksis tersebut dapat ditemukan dalam Seri Cerita Rakyat

Kalantika.

Seri Cerita Rakyat Kalantika ini merupakan hasil transkripsi, terjemahan, dan perbaikan seperlunya oleh Chairil Effendy dari bahasa lisan ke bahasa tulis. Chairil Effendy adalah seorang profesor sastra lisan pertama di Kalimantan Barat sekaligus seorang dosen di FKIP Universitas Tanjungpura. Selain itu, Chairil Effendy juga menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kalimatan Barat.

Seri Cerita Rakyat Kalantika ini menceritakan kehidupan rakyat pada zaman dahulu yang diselingi dengan kejadian-kejadian fiktif sehingga seri cerita rakyat ini mengandung nilai-nilai budaya dan sosial yang harus dihayati dan diambil nilai serta amanatnya. Selain itu, Seri Cerita Rakyat

Kalantika merupakan wujud melestarikan sastra daerah terutama cerita rakyat yang berkembang di Kalimantan Barat

Sebelum penelitian ini dilakukan, penelitian tentang deiksis sudah pernah dilakukan oleh mahasiswa sebagai berikut: (1) Anita Wulandari (2016) yang berjudul

“Penggunaan Deiksis dalam Kumpulan Cerpen Kompas 2013”. (2) Mery Ansiska

(2009) yang berjudul “Penggunaan Deiksis

Persona dan Tempat dalam Novel Supernova 1 : Kesatria, Puteri dan Bintang Jatuh Karya Dee”. (3) Ogy William (2014) yang berjudul

“Deiksis dalam Bahasa Melayu Pontianak”.

Perbedaan ketiga penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada jenis deiksis yang diteliti dan objek penelitiannya.

Rumusan masalah yang menjadi bahasan dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Bagaimana klasifikasi jenis dan fungsi penggunaan deiksis dalam seri cerita rakyat

Kalantika? (2) Bagaimana hubungan deiksis

persona dan deiksis sosial dalam seri cerita rakyat Kalantika?

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengklasifikasi jenis dan fungsi penggunaan deiksis dalam seri cerita rakyat Kalantika. (2) Menganalisis hubungan deiksis persona dan deiksis sosial dalam seri cerita rakyat

Kalantika.

Purwo (1984:22) menjelaskan bahwa

“referen yang ditunjuk oleh kata ganti

persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak

ujar”. Putrayasa (2014:43) menjelaskan

bahwa “Deiksis perorangan (person deixis); menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara,

yang dibicarakan, dan entitas yanng lain.”

Deiksis persona ini terdiri dari kata ganti persona pertama, kata ganti persona kedua, dan kata ganti persona ketiga.

Purwo (dalam Putrayasa, 2014:53) menyatakan bahwa deiksis sosial menunjukkan perbedaan-perbedaan sosial (perbedaan yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial seperti jenis kelamin, usia, kedudukan di dalam masyarakat, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya) yang ada pada partisipan dalam sebuah komunikasi verbal yang nyata, terutama yang berhubungan dengan segi hubungan peran antara penutur dan petutur, atau penutur dengan topik atau acuan lainnya. Putrayasa (2014:53) mengatakan bahwa deiksis sosial itu merupakan deiksis yang di samping mengacu keadaan referen tertentu, juga mengandung konotasi sosial tertentu, khususnya pada deiksis persona.

Hubungan antara deiksis persona dan deiksis sosial dalam penelitian ini didasarkan pada pernyataan Purwo (1984:23) bahwa

“Bentuk persona kedua engkau dan kamu

hanya dapat dipergunakan di antara peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya, atau dipakai oleh orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi untuk menyapa lawan

(3)

METODE PENELITIAN

Bentuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian kualitatif. Prosedur dalam penelitian ini yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa jenis dan fungsi deiksis persona dan sosial pada konteks kalimat tertentu dan ditindaklanjuti dengan menganalisis hubungan deiksis persona dan deiksis sosial dalam Seri Cerita Rakyat

Kalantika.

Metode yang digunakam dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang mengandung arti bahwa penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan dengan jelas tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalimat-kalimat yang mengandung deiksis berupa kata ganti (pronomina) yang terdapat dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika.

Sumber data yang terdapat dalam penelitian ini adalah semua cerita rakyat yang terdapat dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika. Jumlah cerita yang terdapat dalam Seri Cerita Rakyat

Kalantika adalah empat cerita.

Pengumpulan data dapat diperoleh melalui sumber tertulis Seri Cerita Rakyat

Kalantika yang dilakukan berdasarkan teknik studi dokumenter, yakni suatu teknik pengumpulan data menggunakan dokumen sebagai sumber data penelitian baik itu dokumen pribadi maupun dokumen resmi. Instrumen penelitian ini dilakukan dengan mencatat data-data yang merupakan kalimat-kalimat yang mengandung jenis, bentuk, dan fungsi deiksis berupa pronomina pada keempat cerita dalam Seri Cerita Rakyat

Kalantika ke dalam kartu data.

Contoh kartu data deiksis persona dan deiksis sosial.

Tabel 1

Jenis dan Bentuk Deiksis Persona

No. Bentuk Deiksis

Jenis Deiksis

Jum. Data

Pertama Kedua Ketiga

Tunggal Jamak Tunggal Jamak Tunggal Jamak

1 Aku √ 9

2 -nya √ 19

Tabel 2

Fungsi Enklitik Deiksis Persona

No. Fungsi Enklitik Jumlah Data Jumlah Keseluruhan Data

-ku -mu -nya

1 menyatakan

kepunyaan 19 3 4 26

2 menyatakan objek

tindakan 1 - - 1

Tabel 3

Jenis, Bentuk, dan Fungsi Deiksis Sosial

No. Fungsi

Bentuk Jumlah

Data

Kata Frasa Klausa

1.

Pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan

(4)

Berdasarkan prosedur pengolahan data, data diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Membaca seri cerita rakyat

Kalantika yang dijadikan sumber data; 2) Menyeleksi kalimat yang menggunakan deiksis persona dan sosial; 3) Mengklasifikasikan jenis-jenis deiksis persona dan sosial; 4) Mengklasifikasikan fungsi-fungsi deiksis persona dan sosial; 5) Menganalisis hubungan antara deiksis persona dengan deiksis sosial yang terdapat dalam seri cerita rakyat Kalantika;

Berdasarkan teknik analisis data, data dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Mengklasifikasi data berupa deiksis persona dalam seri cerita rakyat

Kalantika; 2) Mengklasifikasi data berupa deiksis sosial dalam seri cerita rakyat

Kalantika; 3) Menganalisis hubungan antara deiksis persona dengan deiksis sosial yang terdapat dalam seri cerita rakyat Kalantika; 4) Memberikan simpulan dari hasil analisis data.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis dan deskripsi data yang dilakukan dalam cerita rakyat yang

berjudul “Kalantika” ditemukan 6 jenis

dengan 11 bentuk penggunaan deiksis persona dan 2 bentuk deiksis sosial. Pada

cerita rakyat yang berjudul “Putri Rusa”

ditemukan 5 jenis dengan 19 bentuk penggunaan deiksis persona dan 15 bentuk deiksis sosial. Pada cerita rakyat yang

berjudul “Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, dan Putri Limau Manis” ditemukan 6

jenis dengan 15 bentuk penggunaan deiksis persona dan 6 bentuk deiksis sosial. Kemudian pada cerita rakyat yang berjudul

“Putri Jelumpang” ditemukan 6 jenis dengan

15 bentuk penggunaan deiksis persona dan 9 bentuk deiksis sosial.

Cerita “Kalantika”

Terdapat 6 jenis deiksis persona yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu deiksis

persona pertama tunggal dalam bentuk ‘aku’ dan ‘ku-‘, deiksis persona pertama jamak

dalam bentuk ‘kami’ dan ‘kita’, deiksis

persona kedua tunggal dalam bentuk ‘kau’,

deiksis persona kedua jamak dalam bentuk

‘kalian’, deiksis persona ketiga tunggal dalam bentuk ‘dia’, ‘-nya’, ‘anak dewa itu’,

dan ‘anak dewa ini’, dan deiksis persona ketiga jamak dalam bentuk ‘mereka’.

Terdapat dua bentuk deiksis persona

‘aku’ pada cerita ini yang masing-masing merujuk pada Kalantika. Ditemukan

penggunaan bentuk praklitik ‘ku-’ dalam cerita ini yang merupakan variasi bentuk

deiksis persona pertama tunggal ‘aku’ yang fungsinya menyatakan objek tindakan.

Bentuk ‘kami’ dan ‘kita’ dalam cerita ini mempunyai fungsi masing-masing. Bentuk

‘kami’ mempunyai fungsi yang menyatakan

bentuk inklusif, artinya pronomina itu mencakupi pembicara atau penulis dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak pendengar atau pembacanya.

Bentuk ‘kita’ dalam cerita ini mempunyai fungsi yang menyatakan bentuk ekslusif, artinya pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara atau penulis, tetapi juga pendengar atau pembaca, dan mungkin pula pihak lain.

Bentuk ‘kau’ merupakan jenis deiksis

persona kedua tunggal yang merujuk pada satu tokoh yang terdapat dalam cerita. Dalam

cerita ini kata ganti ‘kau’ diucapkan Dewa yang merujuk pada Kalantika. Bentuk ‘kalian’ merupakan jenis deiksis persona kedua jamak yang merujuk pada lebih dari satu tokoh yang terdapat dalam cerita. Pada cerita ini, kata

ganti ‘kalian’ diucapkan oleh Kalantika untuk

merujuk kepada kawan-kawannya di bumi. Bentuk deiksis persona ketiga yang

sering muncul adalah bentuk ‘-nya’ dengan 26 penggunaan. Penggunaan bentuk ‘dia’ dalam cerita ini memiliki fungsi berposisi sebagai subjek. Variasi bentuk dari deiksis

persona ‘dia’ menjadi ‘-nya’ pada cerita ini mempunyai fungsi untuk menyatakan

kepunyaan. Bentuk ‘-nya’ apabila disambungkan dengan nomina, menunjukkan hubungan kepunyaan atau menyebutkan pemilik.

Terdapat penggunaan bentuk deiksis persona ketiga tunggal yang bersifat

demonstratif ‘itu’ dalam cerpen ini. Hal ini

(5)

mengacu kepada suatu tempat yang bukan tempat penutur, jadi dapat diartikan sebagai pronomina ketiga. Kemudian, ditemukan pula satu deiksis persona ketiga jamak dalam

bentuk ‘mereka‘. Penggunaan bentuk

‘mereka’ untuk merujuk pada tokoh yang

lebih dari satu dan tidak ada di tempat pada saat percakapan antartokoh sedang berlangsung. Pada cerita ini, bentuk ‘mereka’ yang digunakan semuanya merujuk pada manusia yang ada di bumi.

Deiksis sosial dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan

dalam bentuk ‘bapak’ dan ‘pak’. Bentuk ‘pak’

merupakan variasi bentuk dari sapaan

‘bapak’. Pada cerita ini bentuk ‘bapak’ dan ‘pak’ semuanya merujuk pada orang tua

kandung laki-laki.

Hubungan deiksis persona dan deiksis sosial dilihat dari hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam suatu dialog. Penggunaan deiksis persona dengan deiksis sosial dapat juga dilihat dari percakapan anak

dewa dengan bapaknya−dewa itu sendiri. “Mengapa kau berikan bibit padi

kepada manusia?” tanya Dewa kepada Kalantika.

“Aku kasihan, Pak,” jawab Kalantika.

“Kalantika, kau telah berbuat lancang. Mulai saat ini kau kukutuk menjadi

batu.” (Kalantika, hal. 6, bar. 21-25)

Penggunaan deiksis persona ‘kau’ yang

diucapkan Dewa kepada anaknya Kalantika terkesan agak kasar karena saat berbicara dengan anaknya, Dewa sedang marah. Dewa marah dengan Kalantika yang telah lancang memberikan bibit padi kepada manusia tanpa izin darinya. Terlepas dari emosi tokoh Dewa dalam cerita ini, penggunaan deiksis persona

‘kau’, ‘aku’, dan ‘Pak’ berhubungan dengan

hubungan kekeluargaan yang terjalin antara Dewa dan anaknya yang bernama Kalantika. Hubungan sosial yang terjalin lebih jelas terlihat saat Kalantika memanggil bapaknya

dengan kata sapaan ‘Pak’ yang juga

merupakan deiksis persona kedua tunggal.

Cerita “Putri Rusa”

Terdapat 5 jenis deiksis persona yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu deiksis

persona pertama tunggal dalam bentuk ‘aku’, ‘-ku’, dan ‘ku-‘, deiksis persona pertama

jamak dalam bentuk ‘kami’ dan ‘kita’,

deiksis persona kedua tunggal dalam bentuk

‘kau’, ‘engkau’, ‘-mu’, ‘bapak’, ‘datuk’,

‘pak’, ‘mak’, ‘tuk’, ‘nong’, ‘kak’, dan ‘dik’,

deiksis persona ketiga tunggal dalam bentuk

‘dia’ dan ‘-nya’, dan deiksis persona ketiga

jamak dalam bentuk ‘mereka’.

Bentuk deiksis ‘aku’ yang digunakan

dalam cerita ini terdiri dari 83 penggunaan yang merujuk pada semua tokoh yang ada dalam cerita. Tokoh-tokoh tersebut adalah Raja Magribi, 7 Tuan Putri, Raja Tunggal, Raja Rum, Putri Rusa, Ahmad Muhamad.

Ditemukan penggunaan bentuk

praklitik ‘ku-‘ dan bentuk enklitik ‘-ku’ dalam cerita ini yang merupakan variasi

bentuk deiksis persona pertama tunggal ‘aku’.

Pada cerita ini terdapat 20 penggunaan

bentuk ‘ku-‘ yang merujuk pada Raja Magribi, Raja Rum, Raja Tunggal, dan Putri

Rusa. Terdapat 37 penggunaan bentuk ‘

-ku‘ dalam cerita ini yang merujuk pada Raja Magribi, Raja Tunggal, Raja Rum, Ahmad Muhamad, dan Putri Rusa.

Bentuk ‘kami’ digunakan oleh

pembicara apabila orang yang dimaksud adalah dirinya dan orang yang mewakilinya. Pada cerita ini terdapat 3 penggunaan bentuk

‘kami’ yang merujuk pada Selamat Siberkat, Raja Tunggal, dan rakyat. Bentuk ‘kita’ mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain. Pada cerita ini terdapat 22

bentuk ‘kita’ yang merujuk pada Raja

Magribi, Tujuh Putri Raja Magribi, Raja Tunggal, Selamat Siberkat, Ahmad Muhamad, Raja Rum, semua rakyat, penulis dan pembaca.

Bentuk ‘kau’, ‘engkau’, dan ‘-mu’ merujuk pada satu tokoh yang ada dalam cerita. Pada cerita ini terdapat 5 bentuk ‘kau’ yang diucapkan oleh Raja Rum untuk merujuk pada Raja Tunggal. Pada cerita ini

terdapat 44 bentuk ‘engkau’ yang merujuk

pada Selamat Siberkat, Raja Tunggal, dan

Ahmad Muhammad. Bentuk ‘-mu’

(6)

yang masing-masing merujuk pada Selamat Siberkat, Raja Tunggal, dan Ahmad Muhammad.

Bentuk ‘bapak’ merupakan sebutan

ketakziman untuk persona kedua leksem

kekerabatan, sedangkan bentuk ‘pak’ merupakan variasi dari bentuk ‘bapak’. Pada

cerita ini terdapat 1 bentuk ‘bapak’ yang merujuk pada Raja Rum dan 14 bentuk ‘pak’

yang merujuk pada Raja Rum, Raja Magribi, dan Raja Tunggal. Sama halnya dengan

bentuk ‘bapak’, bentuk ‘mak’, ‘nong’, ‘kak’, dan ‘dik’ juga merupakan sebutan

ketakziman untuk persona kedua leksem kekerabatan. Bentuk ‘mak’ merupakan

variasi dari bentuk ‘emak’ yang dalam cerita

ini terdapat 18 penggunaan untuk merujuk pada Putri Rusa sebagai ibu dari Ahmad Muhamad.

Bentuk ‘nong’ merupakan panggilan

sayang dari orang tua untuk anaknya. Pada cerita ini terdapat 10 bentuk ‘nong’ yang merujuk pada Ahmad Muhamad sebagai anak dari Putri Rusa dan Raja Tunggal. Bentuk

‘kak’ merupakan variasi bentuk dari ‘kakak’

yang biasa digunakan untuk memanggil saudara perempuan yang lebih tua. Pada

cerita ini terdapat 3 bentuk ‘kak’ yang merujuk pada saudara perempuan dari ketujuh putri Raja Magribi. Bentuk ‘dik’

merupakan variasi bentuk dari ‘adik’ yang

biasa digunakan untuk memanggil saudara perempuan yang lebih muda, Pada cerita ini

terdapat 2 bentuk ‘dik’ yang merujuk pada

saudara perempuan dari ketujuh putri Raja Magribi. Bentuk ‘tuk’ merupakan variasi

bentuk dari bentuk ‘datuk’ yang merupakan

leksem gelar. Pada cerita ini terdapat 4

bentuk ‘tuk’ yang diucapkan Selamat

Siberkat untuk merujuk pada Raja Rum. Bentuk deiksis persona ketiga yang

sering muncul adalah bentuk ‘-nya’ dengan 135 penggunaan. Penggunaan bentuk ‘dia’ dalam cerita ini memiliki fungsi berposisi sebagai subjek. Bentuk ‘mereka’ merujuk pada tokoh lebih dari satu dan tidak ada di tempat pada saat percakapan antartokoh sedang berlangsung. Pada cerita ini terdapat 3

penggunaan bentuk ‘mereka’ yang semuanya

merujuk pada ketujuh putri Raja Magribi.

Bentuk-bentuk singkat deiksis persona

‘-ku’, ‘-mu’, dan ‘-nya’ yang ditemukan dalam cerita ini memiliki fungsi yang menyatakan kepemilikan atau kepunyaan,

sedangkan bentuk praklitik ‘ku-’ dalam cerita ini berfungsi untuk menyatakan objek tindakan.

Deiksis sosial dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan dalam bentuk ‘bapak’, ‘pak’, ‘emak’, ‘mak’,

‘nong’, ‘kakak’, ‘kak’, ‘adik’, dan ‘dik’,

sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa julukan dalam bentuk ‘tuan putri’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa gelar kebangsawanan dalam bentuk

‘raja’ dan ‘datuk’, menjaga sopan santun

berbahasa dalam bentuk ‘hamba’ dan ‘patik’, dan menjaga sikap sosial dalam bentuk

‘ampun-ampun seribu ampun, sembah patik harap diampun’.

Bentuk ‘bapak’ dan ‘pak’ semuanya merujuk pada orang tua kandung laki-laki. Terdapat tiga tokoh yang dipanggil ‘bapak’ dalam cerita ini, yaitu Raja Magribi, Raja Rum, dan Raja Tunggal. Jumlah data yang

menggunakan bentuk ‘bapak’ ada 15. Bentuk ‘emak’ dan ‘mak’ semuanya merujuk pada

orang tua kandung perempuan yang dalam hal ini adalah Putri Rusa. Terdapat 9 deiksis

sosial ‘emak’ dan 17 bentuk ‘mak’ yang

digunakan pada cerita ini.

Bentuk sapaan ‘nong’ merupakan

panggilan sayang untuk anak yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu. Selain itu, terdapat 10 penggunaan bentuk ‘nong’ dalam cerita ini. Terdapat 6 penggunaan

bentuk ‘kakak’, 3 penggunaan bentuk ‘kak’, 3 penggunaan bentuk ‘adik’, dan 2 penggunaan bentuk ‘dik’.

Julukan ‘tuan putri’ menggambarkan

seorang perempuan yang cantik dan biasanya berasal dari kalangan bangsawan yang hidup

di kerajaan. Pada cerita ini, julukan ‘tuan putri’ yang didapatkan karena putri tersebut

merupakan anak Raja Magribi yang memiliki kecantikan luar dalam. Jadi, tingkatan sosial

seorang ‘tuan putri’ ini tidak hanya didapat

(7)

15 penggunaan bentuk ‘tuan putri’ yang

digunakan dalam cerita ini.

Deiksis sosial dalam bentuk ‘datuk’

merupakan nama panggilan untuk ‘raja’,

yaitu Raja Rum. Rakyatnya memanggil raja dengan panggilan ‘datuk’ semata-mata untuk menghormati pemimpin mereka. Panggilan

‘datuk’ ini juga merupakan hasil konvensi

dari rakyat yang dalam cerita ini bersuku Melayu. Kata ganti ‘hamba’ dan ‘patik’ yang digunakan dalam cerita ini berfungsi untuk menjaga sopan santun berbahasa antara orang yang berstatus sosial lebih rendah dengan yang berstatus sosial lebih tinggi. Pada cerita ini penggunaan kata ganti ‘hamba’ dan ‘patik’ merujuk pada pembantu raja yang bernama Selamat Siberkat.

Terdapat pula satu kebiasaan berbahasa yang dilakukan pembantu raja dan rakyatnya saat bertemu langsung dengan raja, yaitu seperti sembah sujud dengan mengucapkan kalimat seperti berikut.

“Datuk, ampun-ampun seribu ampun, sembah patik harap diampun.” (PR, hal. 13, bar. 14)

Penggunaan kalimat ‘ampun-ampun seribu ampun, sembah patik harap diampun’ saat bertemu raja menegaskan sikap hormat yang telah menjadi konvensi antara raja dan rakyatnya.

Deiksis persona dan deiksis sosial dalam cerita ini saling berhubungan karena sebagian bentuk deiksis sosial merupakan bagian dari deiksis persona, seperti penggunaan bentuk

‘bapak’, ‘emak’, ‘kakak’, ‘adik’, ‘datuk’, ‘nong’ di deiksis persona dan ‘bapak’, ‘emak’, ‘kakak’, ‘adik’, ‘datuk’, ‘nong’di

deiksis sosial. Tingkatan sosial yang dilihat dari sapaan kekerabatan ‘bapak’, ‘emak’,

‘kakak’, ‘adik’, ‘datuk’, dan ‘nong’ tersebut

memiliki rujukan orang kedua atau bagian dari deiksis persona kedua tunggal.

Selain itu, penggunaan kata ganti

‘hamba’ dan ‘patik’ dalam deiksis sosial juga

berkaitan dengan deiksis persona karena kata ganti tersebut memiliki rujukan orang seperti kata ganti dalam deiksis persona. Kata ganti

‘hamba’ dan ‘patik’ memiliki arti ‘saya’

dengan maksud untuk merendahkan diri, jadi

kata ganti ‘hamba’ dan ‘patik’ sama dengan

deiksis persona pertama tunggal dalam

bentuk ‘saya’ atau ‘aku’.

Cerita “Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, dan Putri Limau Manis”

Terdapat 6 jenis deiksis persona yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu deiksis

persona pertama tunggal dalam bentuk ‘aku’, ‘-ku’, dan ‘ku-‘, deiksis persona pertama

jamak dalam bentuk ‘kami’ dan ‘kita’,

deiksis persona kedua tunggal dalam bentuk

‘engkau’, ‘-mu’, ‘bapak’, ‘datuk’, ‘pak’, dan

‘tuk’, deiksis persona kedua jamak dalam

bentuk ‘kalian’, deiksis persona ketiga tunggal dalam bentuk ‘dia’ dan ‘-nya’, dan deiksis persona ketiga jamak dalam bentuk

‘mereka’.

Bentuk ‘aku’ yang digunakan dalam

cerita ini terdiri dari 55 penggunaan yang merujuk pada semua tokoh yang ada dalam cerita. Tokoh-tokoh tersebut adalah Putri Batu Karang, Pak Pemancing, Selamat Siberkat, Raden Dewi Nyaya, dan Raja.

Ditemukan penggunaan bentuk

praklitik ‘ku-‘ dan bentuk enklitik ‘-ku’ dalam cerita ini yang merupakan variasi bentuk deiksis persona pertama tunggal

‘aku’. Pada cerita ini terdapat 9 penggunaan

bentuk ‘ku-‘ yang merujuk pada Pak Pemancing dan Raja yang berfungsi untuk menyatakan kepunyaan atau kepemilikan. Kemudian terdapat 25 penggunaan bentuk

‘ku-‘ yang merujuk pada Pak Pemancing, Putri Batu Karang, Raden Dewi Nyaya, dan Raja yang berfungsi sebagai objek tindakan.

Terdapat 11 penggunaan bentuk ‘kami’ yang semuanya merujuk pada ketiga putri Pak Pemancing, yaitu Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, dan Putri Limau Manis, seperti pada kalimat berikut. selain itu, terdapat 29 bentuk ‘kita’ yang merujuk pada Selamat Siberkat, Raden Dewi Nyaya, Raja, Pak Pemancing, dan Putri Batu Karang.

Deiksis persona kedua tunggal dalam

(8)

Putri Bungsu. Selain itu, terdapat 14 bentuk

‘bapak’ yang merujuk pada Pak Pemancing dan Raja, serta 23 bentuk ‘pak’ yang juga

merujuk pada Pak Pemancing dan Raja.

Bentuk ‘kalian’ merupakan jenis

deiksis persona kedua jamak yang merujuk pada lebih dari satu tokoh yang terdapat dalam cerita. Pada cerita ini terdapat 4

penggunaan bentuk ‘kalian’ yang diucapkan

Raja untuk merujuk pada rakyat. Pada deiksis

persona, bentuk ‘dia’ merujuk pada tokoh

dalam cerita. Terdapat 14 bentuk ‘dia’ yang digunakan dan merujuk pada Pak Pemancing, Selamat Siberkat, Putri Batu Karang, dan Raja.

Kemudian, terdapat bentuk ‘-nya’ yang merupakan variasi bentuk dari kata ganti

‘dia’ yang bersifat enklitik karena tidak bisa

berdiri sendiri sehingga selalu bergabung dengan kata yang mendahuluinya dan berfungsi untuk menyatakan kepunyaan.

Bentuk ‘mereka’ merujuk pada tokoh lebih

dari satu dan tidak ada di tempat pada saat percakapan antartokoh sedang berlangsung. Terdapat 12 penggunaan bentuk ‘mereka’ yang merujuk pada Raden Dewi Nyaya, Selamat Siberkat, Rakyat, Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, Putri Limau Manis dan nenek datuk raja.

Deiksis sosial dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan

dalam bentuk bapak’, ‘pak’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa julukan dalam bentuk ‘tuan putri’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa gelar kebangsawanan dalam bentuk ‘raja’ dan

‘datuk’, dan sebagai pembeda tingkatan

sosial seseorang berupa profesi dalam bentuk Pak Pemancing.

Bentuk ‘bapak’ dan ‘pak’ pada cerita ini merujuk pada Pak Pemancing yang merupakan orang tua angkat Putri Batu Karang, Putri Nyiur Gading, dan Putri Limau Manis, serta orang tua kandung laki-laki dari Raden Dewi Nyaya, yaitu Raja. Jumlah data

yang menggunakan bentuk ‘bapak’ ada 14 terdiri dari 2 penggunaan bentuk ‘bapak’

merujuk pada Raja dan 12 penggunaan

bentuk ‘bapak’ yang merujuk pada Pak

Pemancing.

Julukan ‘tuan putri’ pada cerita ini diberikan hanya karena putri tersebut cantik jelita dan bukan merupakan kalangan bangsawan. Bentuk ‘datuk’ merupakan nama

panggilan untuk ‘raja’, yaitu Raja Rum. Panggilan ‘datuk’ ini juga merupakan hasil

konvensi dari rakyat yang dalam cerita ini bersuku Melayu. Terdapat 19 penggunaan bentuk ‘datuk’ dalam percakapan cerita.

Terdapat satu bentuk deiksis sosial dalam cerita yang berfungsi sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa profesi,

yaitu ‘Pak Pemancing’. Pada cerita ini ‘Pak Pemancing’ adalah tokoh utama yang

memang diceritakan dengan menggunakan nama Pak Pemancing. Berdasarkan nama tokoh itu sendiri, jelas Pak Pemancing adalah seorang rakyat biasa yang pekerjaannya memancing ikan di sungai.

Deiksis persona dan deiksis social dalam cerita ini saling berhubungan karena sebagian bentuk deiksis sosial merupakan bagian dari deiksis persona, seperti

penggunaan bentuk ‘bapak/pak’, di deiksis persona dan ‘bapak/pak’ di deiksis sosial. Tingkatan sosial yang dilihat dari sapaan

kekerabatan ‘bapak/pak’ tersebut memiliki

rujukan orang kedua atau bagian dari deiksis persona kedua tunggal. Kemudian, pada kata

sapaan gelar untuk raja, yaitu ‘datuk’. Pada cerita ini, kata ‘datuk’ juga termasuk dalam

deiksis persona kedua tunggal yang merujuk pada Raja atau sebagai kata ganti dari Raja yang sekaligus sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang.

Cerita “Putri Jelumpang” (PJ)

Terdapat 6 jenis deiksis persona yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu deiksis persona pertama tunggal dalam bentuk ‘aku’,

‘-ku’, dan ‘ku-‘, deiksis persona pertama

jamak dalam bentuk ‘kami’ dan ‘kita’,

deiksis persona kedua tunggal dalam bentuk

‘engkau’, ‘-mu’, ‘bapak’, ‘kak’, ‘adik’, dan

(9)

deiksis persona ketiga jamak dalam bentuk

‘mereka’.

Bentuk deiksis ‘aku’ yang digunakan

dalam cerita ini terdiri dari 6 penggunaan yang merujuk pada tiga tokoh yang ada dalam cerita, yaitu burung gagak, Raja, dan Putri Jelumpang.

Bentuk ‘-ku‘ merupakan deiksis persona enklitik yang berfungsi untuk menyatakan kepunyaan. Pada cerita ini

terdapat 9 penggunaan bentuk ‘-ku‘ yang merujuk pada Putri Jelumpang, Mak Inang, Raja dan Istri Raja. Bentuk ‘ku-‘ merupakan deiksis persona praklitik yang berfungsi untuk menyatakan objek tindakan. Pada cerita ini terdapat 1 penggunaan bentuk ‘ku-‘ yang merujuk pada Raja. Kemudian, terdapat

2 penggunaan bentuk ‘kami’ yang semuanya

merujuk pada putri-putri kayangan dan 3

bentuk ‘kita’ yang merujuk pada Raja, istri

Raja, dan putri-putri kayangan.

Bentuk ‘engkau’ dan ‘-mu’ merujuk pada satu tokoh yang ada dalam cerita.

Terdapat 4 bentuk ‘engkau’ yang diucapkan

oleh putri-putri kayangan untuk merujuk pada Putri Jelumpang dan 6 bentuk ‘-mu’ yang merujuk pada Putri Jelumpang yang berfungsi untuk menyatakan kepunyaan.

Bentuk ‘bapak’, ‘kak’, dan ‘adik’

merupakan sebutan ketakziman untuk persona kedua leksem kekerabatan. Terdapat

1 bentuk ‘bapak’ yang diucapkan Putri

Jelumpang untuk merujuk pada Raja. Pada

cerita ini bentuk ‘kak’ tidak hanya digunakan

untuk merujuk pada saudara perempuan, tetapi pada seorang perempuan muda yang

umurnya lebih tua. Namun, bentuk ‘adik’

pada cerita ini tidak merujuk pada leksem kekerabatan atau adanya hubungan kekeluargaan antar tokoh, tetapi merujuk pada kata sapaan untuk orang yang lebih muda, yaitu Putri Jelumpang.

Bentuk ‘kalian’ merupakan jenis

deiksis persona kedua jamak yang merujuk pada lebih dari satu tokoh yang terdapat dalam cerita. Terdapat 1 penggunaan bentuk

‘kalian’ yang diucapkan Raja untuk merujuk

istrinya dan pembantu-pembantunya.

Bentuk ‘-nya’ merupakan variasi

bentuk dari kata ganti ‘dia’ yang bersifat

enklitik karena tidak bisa berdiri sendiri sehingga selalu bergabung dengan kata yang mendahuluinya. Pada cerita ini terdapat 66

penggunaan bentuk ‘-nya’ yang merujuk pada Putri Jelumpang, Raja, Mak Inang, dan Putri Bungsu. Bentuk ‘-nya’ apabila disambungkan dengan nomina, menunjukkan hubungan kepunyaan atau menyebutkan pemilik.

Bentuk ‘mereka’ merujuk pada tokoh

lebih dari satu dan tidak ada di tempat pada saat percakapan antartokoh sedang

berlangsung. Pada cerita “Putri Jelumpang” terdapat 5 penggunaan bentuk ‘mereka’ yang

semuanya merujuk pada Raja dan istrinya. Deiksis sosial dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan

dalam bentuk ‘bapak’, ‘kakak’, ‘kak’, ‘dik’,

sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa julukan dalam bentuk ‘tuan putri’, sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa gelar kebangsawanan dalam bentuk

‘raja’, dan sebagai pembeda tingkatan sosial

seseorang berupa profesi dalam bentuk ‘mak

inang’, ‘mak bidan’, dan ‘hulubalang’.

Bentuk ‘bapak’ pada cerita ini merujuk pada Raja yang merupakan orang tua kandung laki-laki dari Putri Jelumpang.

Bentuk ‘kak’ dan ‘dik’ yang digunakan

dalam cerita ini mengacu pada hubungan kekerabatan yang tingkatan sosialnya setara karena kakak dan adik adalah saudara.

Julukan ‘tuan putri’ pada cerita ini didapatkan karena putri tersebut merupakan anak Raja yang memiliki kecantikan luar

dalam. Jadi, tingkatan sosial seorang ‘tuan putri’ ini tidak hanya didapat dari

kecantikannya, tetapi juga dari darah bangsawan yang melekat padanya. Terdapat

35 penggunaan bentuk ‘tuan putri’ yang

digunakan dalam cerita ini.

(10)

turun-temurun. Terdapat 15 penggunaan

bentuk ‘raja’ dalam cerita ini.

Profesi yang tergambar dalam cerita ini menyesuaikan dengan latar belakang

kehidupan dalam cerita yang

berlatarbelakangkan kehidupan kerajaan.

‘Mak Bidan’ merupakan sebuah profesi yang

pekerjaannya membantu seorang wanita hamil saat melahirkan. ‘Mak Inang’ sama dengan pengasuh yang merupakan seorang perempuan dengan tugas merawat anak tuannya yang dalam cerita ini adalah anak Raja. ‘Hulubalang’ adalah seorang laki-laki yang menjadi pengawal dalam kerajaan yang bertugas menjaga keamanan istana sekaligus sebagai pekerja yang selalu siap melaksanakan perintah Raja.

Deiksis persona dan deiksis sosial pada cerita ini saling berhubungan karena sebagian bentuk deiksis sosial merupakan bagian dari deiksis persona, seperti penggunaan bentuk

‘bapak’, di deiksis persona dan ‘bapak’ di deiksis sosial. Tingkatan sosial yang dilihat

dari sapaan kekerabatan ‘bapak’ tersebut

memiliki rujukan orang kedua atau bagian dari deiksis persona kedua tunggal.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan penjabaran hasil analisis tentang penggunaan deiksis dalam Seri Cerita Rakyat Kalantika, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1) Terdapat 6 jenis deiksis persona yang digunakan dalam keempat cerita tersebut, yaitu deiksis persona pertama tunggal, deiksis persona pertama jamak, deiksis persona kedua tunggal, deiksis persona kedua jamak, deiksis persona ketiga tunggal, dan deiksis ketiga jamak. Semua jenis tersebut terdiri dari 20 bentuk deiksis, yaitu ‘aku’, ‘-ku’, ‘ku-‘, ‘kita’, ‘kami’, ‘kau’,

‘engkau’, ‘-mu’, ‘bapak’, ‘datuk’, ‘pak’,

‘mak’, ‘tuk’, ‘nong’, ‘kak’, ‘adik’, ‘dik’, ‘kalian’,‘dia’, ‘-nya’, ‘anak dewa itu’, ‘anak

dewa ini’, dan ‘mereka’. Deiksis persona

ketiga tunggal dalam bentuk ‘–nya’ sering

digunakan dalam setiap cerita. Deiksis sosial yang terdapat dalam empat cerita ini dilihat dari 3 fungsinya, yaitu sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang, menjaga sopan

santun berbahasa, dan menjaga sikap sosial. Berdasarkan semua cerita dalam buku Kalantika, terdapat 19 bentuk deiksis sosial, yaitu ‘bapak’, ‘pak’, ‘emak’, ‘mak’, ‘nong’,

‘kakak’, ‘kak’, ‘adik’, ‘dik, ‘tuan putri’, ‘datuk’, ‘raja’, ‘hamba’, ‘patik’, ‘Pak Pemancing’, ‘Mak Inang’, ‘Mak Bidan’, dan ‘hulubalang’. Bentuk yang selalu ada dalam setiap cerita adalah bentuk ‘bapak’ dan ‘pak’

yang berfungsi sebagai pembeda tingkatan sosial seseorang berupa sapaan kekerabatan. 2) Fungsi deiksis persona dikhususkan pada

empat bentuk deiksis, yakni bentuk enklitik ‘

-ku’, ‘-mu’, dan ‘-nya’ yang berfungsi untuk menyatakan kepemilikan dan bentuk praklitik

‘-ku-‘ yang berfungsi untuk menyatakan objek tindakan. 3) Terdapat hubungan antara deiksis persona dengan deiksis sosial karena sebagian bentuk deiksis sosial merupakan bagian dari deiksis persona. Hal ini dapat

dilihat dari penggunaan bentuk ‘bapak’ pada

keempat cerita dalam buku Kalantika. Tingkatan sosial yang dilihat dari sapaan kekerabatan ‘bapak’ memiliki rujukan orang kedua atau bagian dari deiksis persona kedua tunggal.

Saran

Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan diperoleh saran kepada guru bahasa Indonesia, yakni guru sebaiknya menyelipkan teori tentang deiksis kepada siswa saat membahas suatu wacana atau cerita khususnya cerita rakyat sehingga memudahkan siswa untuk memahami isi cerita.

DAFTAR RUJUKAN

Effendy, Chairil. 2013. Seri Cerita Rakyat: Kalantika. Pontianak: Pustaka Melayu Gemilang.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Putrayasa, Ida Bagus. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Gambar

Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengusulkan program kerja yang akan dilakukan oleh penulis selama satu bulan, pihak Bidang Aplikasi & Informatika menyetujui usulan penulis dengan

Analisis data yang digunakan dalam pnelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika

Sementara itu, rendahnya harga jagung asal impor dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1) Tingkat efisiensi usahatani jagung di negara eksportir (utamanya

Saat ini banyak terdapat berbagai aneka cemilan di kota Palembang, namun dengan keunggulan yang ditawarkan oleh Purple Snack ini diharapkan calon konsumen lebih

Rancangan penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.Komoditas pertanian di Kota Batu memiliki potensi untuk menjadi obyek wisata dengan

16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya (dan Peraturan Walikota No. 51 Tahun 2015), terkesan Pemkot Surabaya telah memposisikan diri sebagai pemilik

Kredit dengan jaminan hak tanggungan pun tidak memberikan kepastian pelunasan piutang Kreditor Separatis akan terpenuhi seluruhnya dengan pengaturan sesuai

karyawannya, maka perlu terlebih dahulu dijelaskan apa yang menjadi sasaran dari pada pelatihan tersebut. Dalam pelatihan tersebut ada beberapa sasaran utama yang