• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN INDONESIA DI ERA REFORMASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN INDONESIA DI ERA REFORMASI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN LEMBAGA

PERADILAN INDONESIA

DI ERA REFORMASI

Muhammad Muhtarom

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Pabelan Tromol Pos I Kartasura, Surakarta 57102

Abstrak

Pada era reformasi, lembaga yang paling mendapat perhatian dalam rangka menegakkan supremasi hukum adalah lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas dan tidak memihak. Peradilan harus independent serta impartial (tidak memihak). Pera-dilan yang bebas pada hakikatnya berkaitan dengan keinginan untuk memper-oleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Tugas dan fungsi pengadilan tidak sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat. Untuk itu perlu reformasi sistem peradilan menyangkut penataan kelembagaannya (institu-tional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (legal substance reform).

Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan sebagai cara untuk melakukan penegakan hukum, yaitu meliputi substansi hukum lembaga peradilan dan struktur sistem peradilan.

Kata Kunci: lembaga peradilan, penegakan hukum.

Pendahuluan

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia secara konstitusional diamanatkan dalam Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegas-kan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah

Mahka-mah Agung dan oleh sebuah MahkaMahka-mah Konstitusi. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi merupakan wujud dari Kekuasaan Keha-kiman yang merdeka untuk menyeleng-garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(2)

mer-deka mengandung makna, bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman tersebut baik yang bersifat fungsional maupun institusional tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh kekua-saan manapun. Hal tersebut juga ditegaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan ketentuan yang terdapat dalam Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, antara lain dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Keha-kiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahka-mah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan beberapa peraturan perundangun-dangan lainnya yang merupakan pera-turan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tersebut.

Era reformasi yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 salah satu penyebabnya adalah pengaruh perubahan nilai terhadap perilaku politik, ekonomi dan hukum. Oleh karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik, ekonomi dan hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakkan kembali supremasi hukum.

Dilihat dari sejarahnya supremasi hukum adalah suatu doktrin hukum yang timbul dan berkembang di negara-negara Eropa Barat sejak dimaklumatkannya

Dictatus Papae oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075, pada suatu abad ketika vitalitas ajaran agama Kristen memasuki puncaknya. Manifesto Paus ini berisi tidak kurang dari 27 (dua puluh tujuh) butir yang disusun dan dimaklumatkan secara sepihak. Isi maklumat itu menya-takan bahwa Paus (yang juga uskup di Roma) ialah satu-satunya pemegang kekuasaan hukum yang tertinggi dan universal atas segala urusan (baik yang rohani maupun yang sekuler) di kawasan imperium Barat atas orang-orang Kristen dan atas para padri, dan bukan para penguasa dunia, baik yang raja maupun yang kaisar. Pada masa itu kondisi yang terjadi adalah negara dunia yang dipimpin oleh kaisar mengembangkan ahli-ahlinya sendiri yang membangun sistem hukum berdasarkan asas-asas hukum Romawi, sedangkan gereja di bawah kepemim-pinan Paus mengembangkan sistem hukumnya sendiri atas dasar ajaran Yesus Kristus yang selanjutnya dikenal dengan nama Kanonik. Dari sejarah ini diketahui adanya suatu pengakuan akan peran hukum sebagai dasar kehidupan berne-gara yang selanjutnya menjadi sesuatu yang sangat bermakna.

(3)

dalam hal ini hukum dasar dan Undang-undang sebagai rinciannya dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Ciri-ciri negara berdasarkan hukum dalam arti materiil adalah sebagai berikut: a. Adanya pembagian kekuasaan

da-lam negara

b. Diakuinya hak asasi manusia dan dituangkannya dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. c. Adanya dasar hukum bagi

kekua-saan pemerintahan (asas legalitas) d. Adanya peradilan yang bebas dan

merdeka serta tidak memihak e. Segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pada era reformasi yang terjadi saat ini, dalam rangka menegakkan supremasi hukum, lembaga yang paling banyak disorot adalah lembaga peradilan. Seba-gai salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas dan tidak memihak. Peradilan harus independent serta impartial (tidak memihak). Pera-dilan yang bebas pada hakikatnya ber-kaitan dengan keinginan untuk mem-peroleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Tugas dan fungsi pengadilan tidak sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat (Sulistiyono, 2005: 152-184).

Sedangkan asas lebih ditujukan

kepada proses pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses nega-tif. Dengan kata lain, independensi menyangkut nilai-nilai substansial, sedangkan asas con tante justitie berka-itan dengan nilai-nilai prosedur.

Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan sebagai cara untuk melakukan penegakan hukum. Hal senada dikemukakan oeh Luhut MP. Pangaribuan yang menyebut-kan bahwa istilah peradilan dalam persfek-tif penegakan hukum mengacu pada berjalannya satu mekanisme tertentu da-lam satu sistem (yang baku). Berjalannya mekanisme ini digerakkan oleh aparatur penegak hukum (Formal : Polisi, Jaksa, “Advokad” dan Hakim) dalam sistem yang diatur dalam hukum acara. Adanya kecen-derungan harmonisasi aparatur dan sistem yang belum pernah disempurnakan membuat adanya peluang untuk intervensi kekuasaan (Pangaribuan: 1). Secara sosio-logis ternyata “proses hukum tidak hanya berlangsung di atas rel peraturan dan institusi hukum formal, melainkan cukup intensif digerakkan, dibolehkan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor meta juridis, seperti kekuasaan politik, ekonomi dan kebudayaan (Rahardjo, 1997).

(4)

Dalam melakukan pengamatan ter-hadap berlakunya hukum secara lengkap, Satjipto Rahardjo menyebutkan adanya berbagai unsur yang harus terlibat yaitu (Rahardjo, 1983: 13-14):

1. Peraturan sendiri.

2. Warga negara sebagai sasaran per-aturan.

3. Aktivitas birokrasi pelaksana. 4. Kerangka sosial-politik ekonomi

budaya yang ada yang turut menen-tukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang menjadi bagiannya.

Unsur-unsur yang dikemukakan di atas selanjutnya harus dilihat hubungan-nya satu sama lain dalam suatu proses interaksi yang dinamis. Dengan menggu-nakan alat analisa tersebut, maka selan-jutnya akan ditemukan berbagai macam kekhasan berlakunya hukum, yaitu “Hukum yang Tidur”, Hukum yang dike-sampingkan, Hukum yang lumpuh. Kondisi hukum sebagaimana di uraikan oleh Satjipto Rahardjo di atas saat ini paling banyak terjadi dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia (Ibid).

Berdasarkan uraian di atas maka muncul permasalahan bagaimanakah perkembangan aspek substansial dan aspek struktural kelembagaan sistem peradilan di Indonesia sejak masa kemer-dekaan sampai sekarang?

Perkembangan Substansi Hukum Lembaga Peradilan

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dari berbagai konstitusi yang

pernah berlaku di dalamnya selalu diru-muskan mengenai Kekuasaan Keha-kiman yang merdeka, yaitu:

a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Konstitusi Republik Indonesia

Serikat 1949;

c. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950;

d. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang menegaskan betapa “mulia” (menegakkan hukum dan keadilan) dan “merdeka”-nya Kekuasaan Kehakiman (bebas dari pengaruh) terse-but, merupakan penegasan bahwa secara konsisten bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang tetap ingin menerapkan prinsip-prinsip dasar yang kokoh sebagai negara hukum, yaitu untuk menegakkan keadilan dan menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman yang bersih dan berwibawa. Namun demikian, sejarah juga mencatat terjadinya berbagai penyimpangan dan pasang surut perjalanan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dari waktu ke waktu, baik yang bersifat administratif maupun yang sifatnya teknis justisi.

(5)

yang sangat mendesak, presiden dapat turut campur dalam soal-soal penga-dilan”. Adanya penyelewengan dan intervensi kekuasaan lain pada institusi Kekuasaan Kehakiman yang telah terjadi tersebut baik disadari maupun tidak telah mengakibatkan pelumpuhan secara sistemik atas Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Padahal negara hukum meng-hendaki suatu lembaga dan prinsip pengadilan yang bebas, namun dalam sejarah perjalanannya pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia masih banyak Adicemari@ oleh intervensi kekuasaan eksekutif di bawah konfigurasi politik, terutama pada era Orde Baru yang otoriter. Hal ini pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada terganggunya sistem peradilan secara keseluruhan dan semuanya itu merupakan penyebab perusakan terhadap Kekuasaan Keha-kiman yang merdeka dan bertang-gungjawab (Muladi, 2002: 227).

Adanya intervensi dan ketidak-percayaan masyarakat pada lembaga peradilan, adanya sorotan negatif dari sebagian pihak mengenai integritas seba-gian hakim dan Hakim Agung, kualitas beberapa putusan lembaga Kekuasaan Kehakiman (peradilan) yang banyak dikritik karena kurang argumentatif, tidak konsisten, dan lain sebagainya hanya menambah jauhnya jarak Kekuasaan Kehakiman dari kondisi ideal yang diharapkan masyarakat.

Untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan adanya reformasi dan pembenahan secara menyeluruh menge-nai berbagai hal yang berkaitan dengan

Kekuasaan Kehakiman, baik yang menyangkut instrument peraturan perundang-undangannya (legal substan-ce), penataan kelembagaan atau organi-sasinya (legal structure), maupun pandangan berbagai pihak terhadap lembaga Kekuasaan Kehakiman itu sendiri (legal culture). Dengan adanya reformasi dan pembenahan di bidang Kekuasaan Kehakiman tentunya diharap-kan adiharap-kan dapat mengembalidiharap-kan keper-cayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga peradilan di Indonesia dan mewujudkan peradilan Indonesia yang bersih, berwibawa, serta mengayomi hak dan kewajiban para pencari keadilan di Indonesia.

Era reformasi yang mewarnai kehidupan bernegara di Indonesia telah banyak membawa berbagai perubahan, tidak terkecuali reformasi dan perubahan di bidang Kekuasaan Kehakiman. Arus reformasi, keinginan, dan desakan untuk melakukan perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan di bidang Kekuasaan Kehakiman dan amandemen terhadap Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah banyak membawa perubahan dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.

(6)

sebuah Mahkamah Konstitusi, merupa-kan salah satu tonggak perjalanan sejarah Kekuasaan Kehakiman terpenting di Indonesia. Disebutkan tonggak sejarah terpenting dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, karena dengan amandemen tersebut lahirlah Kekuasaan Kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konstitusi yang keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Kehadiran Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan masyarakat dalam memperjuangkan haknya untuk menggugat adanya undang-undang yang dirasakan merugikan hak konstitusi-onalnya.

Dengan lahirnya Mahkamah Kons-titusi, secara langsung maupun tidak langsung Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dapat dikatakan menganut sistem bifurkasi (bifurcation system) seperti Jerman, Perancis, dan Rusia. Dalam sistem bifurkasi ini Kekuasaan Kehakiman dibagi menjadi dua cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang bermuara pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Di samping perubahan yang me-nyangkut kelembagaan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana disebutkan di atas, UUD 1945 juga telah

mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman, yaitu Komisi Yudisial. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-nesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mene-gakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sedangkan menge-nai organisasi, wewenang, tugas, dan fungsi Komisi Yudisial diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Hal ini mem-berikan gambaran mengenai politik hukum bangsa Indonesia yang berke-inginan kuat untuk mewujudkan adanya Kekuasaan Kehakiman yang bersih dan bebas dari pengaruh kekuasaan di luar Kekuasaan Kehakiman itu sendiri guna menegakkan keadilan dan kebenaran.

(7)

Wewenangnya:

Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD

Memutus pembubaran partai politik

Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu

Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD KEKUASAAN KEHAKIMAN

Ps. 24 UUD 1945 & UU No. 4 Th. 2004

MAHKAMAH AGUNG UU No. 14 Th. 1985 Sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 5 Th. 2004

MAHKAMAH KONSTITUSI

UU No. 24 Th. 2003

Wewenangnya:

Mengadili pada tingkat kasasi

Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang

Wewenang lainnya yang

KOMISI YUDISIAL

Pasal 24 B UUD 1945

Undang Undang No. 22 Tahun 2004

Wewenangnya:

• Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR (ps 13 huruf a) • Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim (Ps. 13 huruf b, ps.20 dan 22) berupa : a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; b. meminta laporan berkala tentang perilaku hakim; ke badan

peradilan terkait

c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;

(8)

Pada era reformasi juga telah dila-kukan berbagai perubahan dan pemben-tukan peraturan perundang-undangan di bidang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehaki-man yang merupakan undang-undang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Muladi menyebutkan bahwa pene-gakan hukum pasca reformasi diwujud-kan melalui perlindungan hukum terhadap hak-hak sipil, selain upaya mengem-balikan fungsi hukum sesuai tatanan nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, tanggung jawab, kebebasan, dan keadilan (Muladi:2001). Untuk mencapai hal tersebut, Indonesia memerlukan kondisi-kondisi awal yang menunjukkan bahwa proses penegakkan hukum tersebut dilaksanakan. Kondisi awal itu antara lain

meliputi keberadaan pemerintahan yang terbuka, bertanggung jawab, dan respon-sif. Ini artinya pemerintahan tersebut harus membuka peluang seluas-luasnya bagi keterbukaan informasi, persamaan hukum, keadilan, kepastian hukum, dan peran serta masyarakat.

Dalam rangka membangun sistem peradilan di Indonesia maka hal menda-sar yang harus dilakukan saat ini adalah melakukan reformasi hukum secara total. Reformasi hukum dilakukan dengan menitik beratkan pada reorganisasi dan restrukturisasi hukum yang bersifat proaktif, profesional dan aspiratif terhadap baik perkembangan kebutuhan hukum masyarakat nasional maupun internasional (Atsasmita,358).

Reorganisasi hukum berorientasi kepada penataan kembali materi hukum dan proses penegakan hukum. Penataan kembali materi hukum ditujukan terhadap seluruh produk hukum kolonial dan peraturan perundang-undangan nasional yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat nasional terutama kebutuhan perkembangan ekonomi, politik dan perlindungan HAM baik yang terjadi pada saat sekarang ini maupun yang diprediksikan berlaku pada masa yang akan datang.

(9)

Penje-lasan pasal tersebut dinyatakan :”Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masya-rakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masya-rakat”. Dalam rangka mengemban tugas di atas Mahkamah Agung menjadi sara-na vital untuk menyebarkan The sense of justice of the people.

Perkembangan Aspek Struktural Sistem Peradilan

Dari pembentukan berbagai per-aturan perundang-undangan dalam upaya mereformasi Kekuasaan Kehakiman tersebut, secara kelembagaan juga diper-kenalkan pengadilan-pengadilan baru yang bersifat khusus dalam lingkup peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pembentukan pengadilan khusus tersebut dimungkinkan dan diamanatkan oleh ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk di dalam lingkup badan peradilan dibawah Mahkamah Agung. Beberapa pengadilan khusus yang telah dibentuk tersebut, antara lain:

a. Dalam lingkungan peradilan umum dibentuk badan-badan peradilan lain yang sifatnya khusus:

1. Pengadilan Anak yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor

3 Tahun 1997 tentang Penga-dilan Anak;

2. Pengadilan Niaga yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang ditetapkan menjadi Undang-undang No-mor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Pemerintah Peng-ganti Undang undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan; 3. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

5. Pengadilan Perselisihan Indus-trial yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial;

(10)

terakhir yang tidak dapat dilakukan upaya hukum banding. Namun dalam hal terdapat pihak yang ke-beratan terhadap putusan Penga-dilan Pajak, dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002.

c. Dalam lingkup Peradilan Agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehaki-man dan Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pada saat ini telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di bentuk Mahkamah Syar’iyah sepan-jang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama.

Untuk lebih memudahkan memah-aMi struktur kekuasaan kehakiman di era reformasi tersebut, maka dapat dilihat bagain berikut ini (Muchsin:2008)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

UU No. 14 Th. 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Th. 2004

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara UU No. 5

Th. 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU

No. 9 Th. 2004

Lingkungan Peradilan Agama UU No. 7 Th. 1989

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006

Lingkungan Peradilan Militer UU No. 31 Th. 1997

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Pengadilan Tata Usaha Negara

Pengadilan Tinggi Agama

Pengadilan Agama

Pengadilan Militer Tinggi

Pengadilan Militer

Pengadilan Militer Pertempuran Pengadilan

Militer Utama

S

ST

TR

RU

UK

KT

TU

U

R

R

B

BA

AD

DA

AN

N

P

PE

ER

RA

AD

DI

IL

LA

AN

N

Lingkungan Peradilan Umum UU No. 2 Th. 1986

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Th.

2004

Pengadilan Tinggi

Pengadilan Negeri

Adapun struktur lembaga peradilan khusus yang berada di bawah wewenang

(11)

Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Penunjang dalam Sistem Peradilan

Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mandiri lahir dari tuntutan reformasi dan untuk melakukan reformasi lembaga peradilan mempunyai fungsi untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mengawasi hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945. Pengawa-san yang dilakukan oleh Komisi Yudisial mencakup pengawasan preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat

represif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan eksistensi dan fungsi yang demikian itu, Komisi Yudisial memegang peranan penting dan strategis dalam upaya mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sekaligus mere-formasi lembaga peradilan dan mewu-judkan lembaga peradilan yang mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwi-bawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.

Alasan utama bagi terwujudnya

MAHKAMAH AGUNG

UU No. 14 / 1985 sebagaimana diubah dengan UU No. 5 / 2004

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

UU No. 5 / 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9 / 2004

Lingkungan Peradilan Agama

UU No. 7 / 1989 sebagaimana diubah

dengan UU No. 3/2006

Lingkungan Peradilan Militer

UU No. 31 / 1997

Pengadilan Anak

UU No. 3 / 1997

Pengadilan Niaga

UU No. 1 / Prp / 1998

Pengadilan HAM

UU No. 26 / 2000

Pengadilan TIPIKOR

UU No. 30 / 2002

Pengadilan Hubungan Industrial

UU No. 2 / 2004

Pengadilan Perikanan

UU No. 31 / 2004

Pengadilan Pajak

UU No. 14 / 2002

Mahkamah Syari’ah Lingkungan Peradilan Umum

UU No. 2 / 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 / 2004

B

(12)

(raison d’atre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum, adalah (Soekotjo Soeparta:2006):

(1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal,

(2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utama-nya adalah untuk menjamin keman-dirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah, (3) Dengan adanya Komisi Yuidisial,

ting-kat efisiensi dan efektivitas kekua-saan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruit-men dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman,

(4) Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial), (5) Dengan adanya Komisi Yudisial,

kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekru-tan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik,

sehingga diasumsikan tidak mem-punyai kepentingan politik.

Sebagai suatu sistem kinerja lem-baga peradilan saat ini oleh sebagian orang dianggap tidak bersih dan kurang berwibawa. Timbulnya pandangan yang demikian itu disebabkan oleh banyaknya penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan. Penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan makin merusak

(13)

Keadaan yang digambarkan di atas terjadi karena tidak efektifnya penga-wasan internal oleh lembaga peradilan. Berkaitan dengan itu, memang diben-tuknya Komisi Yudisial disebabkan oleh tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) tadi. Tidak efektifnya penga-wasan internal itu disebabkan oleh berba-gai faktor, antara lain : (1) Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang diru-gikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketia-daan akses), (4) Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga peradilan tertinggi sampai dengan terendah untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.

Untuk mendukung langkah-langkah pembaharuan peradilan Komisi Yudisial telah melakukan upaya penguatan ke dalam yaitu corporate building dan pengu-atan keluar dalam bentuk kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait yaitu pembangunan jaringan untuk mendorong secara konstruktif agar lembaga peradilan mereformasi diri sebagaimana tertuang dalam Cetak Biru Pembaharuan Mahka-mah Agung RI. Langkahlangkah yang dilakukan oleh Komisi Yudisial harus

diartikan sebagai itikad baik dan akselerasi reformasi lembaga peradilan agar terwujudnya lembaga peradilan yang mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwi-bawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.

Dalam rangka mewujudkan lem-baga peradilan yang bersih dan berwi-bawa itu Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang berwenang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi adalah bersifat konsitusional. Wewenang penga-wasan oleh Komisi Yudisial itu meliputi pengawasan yang bersifat preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat represif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 24 A ayat (3) dan Pasal 24 B ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perun-dang-undangan yang berlaku. Di sinilah sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia.

(14)

menegakkan kehormatan hakim, akan memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang timbul dari masya-rakat. Sedangkan dalam menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan men-jaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.

Kesimpulan

Perkembangan pengaturan tentang kekuasaan kehakiman sejak masa orde lama sampai reformasi telah mengalami peningkatan dan penyempurnaan secara substansial dan struktural. Berdasarkan UUD 1945, Amandemen Keempat pengaturan kekuasaan kehakiman secara garis besar adalah sebagai berikut: · Kekuasaan kehakiman dilakukan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada diba-wahnya dan oleh sebuah Mahka-mah Konstitusi

· Prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman yang merde-ka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.

· Urusan organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan berada satu atap (One Roof System) di bawah kekuasaan Mahkamah Agung

· Pembinaan badan peradilan (umum, agama, militer dan tata usaha nega-ra) berada di bawah Mahkamah Agung. Untuk badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

Reformasi sistem peradilan seha-rusnya tidak hanya menyangkut penataan kelembagaannya (institutional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (legal substance reform), tetapi juga harus menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat sebagai keseluruhan (cultural reform). Sistem peradilan yang diharapkan yang akan berlaku di masa datang adalah suatu sistem yang mampu menempatkan hukum kembali ke akar moralitasnya, akar religiusnya dan akar kulturalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 2001. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya). Jakarta: Penerbit Ghalia.

(15)

Asshiddiqie, Jimly. Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan, <http://www.theceli.com/ pub/files/ Kekuasaan Kehakiman di masa depan.doc>

Azed, Abdul Bari. “Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman”. Makalah disampaikan pada Seminar mengenai yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional. Yogyakarta, 7 September 2006.

Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habiebie Center.

Muladi. 2001. Penegakkan Hukum Pasca Reformasi. Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September.

Pangaribuan, Luhut. MP, (http: // Hukum On Line. Html).

Rahardjo, Satjipto. 1983. Permasalahan Hukum di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.

Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum Dan Perubahan Sosial. Bandung: Penerbit Alumni.

Rahardjo, Satjipto. Kompas 30 Mei 1997.

Soeparto, Soekotjo. Peran Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan yang Bersih dan Berwibawa. Makalah Seminar Sehari “Penegakan Hukum di Indonesia,” Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tanggal 22 Maret 2006.

Sulistiyono, Adi. 2006. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sulistiyono, Adi. 2005. Menggapai Mutiara Keadilan: Membangun Pengadilan yang Independen dengan Paradigma Moral. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September.

Sumantri, Srie. “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Sebagai Prasarat Negara Hukum Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Seminar 50 Tahun Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

kalimat dengan jelas serta tidak dapat dimengerti, maka poin yang diperoleh

Karena yang ingin dibangun adalah manusia dan masyarakat Indonesia, sehingga paradigma pembangunan harus berdasarkan kepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia

[r]

dalam bentuk diktat, buku ajar, modul, atau materi lain dalam bentuk soft_file. • Bahan ajar juga bisa berupa

Sebuah Skripsi Yang Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Pada Departemen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan. © Jaka Bagja Darma

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan nyata dan sejelas mungkin dari

Berdasarkan hasil wawancara dengan Fasheria Khendia Utomo, Kasi Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, bahwa pemerintah daerah dan

Proses utama dari aplikasi pembelajaran aksara Jepang berbasis Android adalah proses mempelajari detil-detil tiap aksara seperti cara membaca, cara menulis, dan arti